Anda di halaman 1dari 18

PENDAHULUAN

Pada dasarnya hukum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia,

karena pada saat kelahirannya manusia telah bergaul dengan manusia lainnya

yang disebut dengan masyarakat1. Sehingga hukum dan tingkah laku manusia

dalam masyarakat bagaikan satu keping mata uang yang mempunyai dua sisi yang

tidak dapat dipisahkan. Tidak ada tingkah laku manusia dalam kehidupan

bermasyarakat yang lepas dari aturan hukum . Oleh karenanya tidak berlebihan

kalau dikatakan dimana ada masyarakat disitu ada hukum ( ubi societas, ibi ius ) 2.

Hukum dibentuk oleh manusia untuk mengendalikan setiap pergaulan di

antara manusia itu sendiri. Manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup

berkelompok (zoon politicon). Dalam hidup berkelompok tersebut manusia

berinteraksi dengan manusia yang lainnya sehingga hal tersebut tidak menutup

kemungkinan untuk terjadi konflik atau pertentangan di antara mereka. Dengan

konflik atau pertentangan tersebut maka akan terjadi perang semua orang

melawan semua orang ( bellum omnium contra omnes) yang berebut dan

mempertahankan hak yang dimilikinya.

Dengan adanya konflik dan pertentangan tersebut maka diperlukan

pemulihan keadaan seperti semula (restitutio in integrum) yaitu suatu keadaan

yang seimbang dalam suasana yang damai, tertib dan aman. Untuk menciptakan

kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur maka diperlukan adanya hukum.

1
Teguh Prasetyo, Hukum Dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, (Yogyakarta: Media
Perkasa, 2013), hlm.1
2
Arie Purnomosidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila, (Bandung: Nusa Media,
2014), hlm. 142

[1]
Hukum tersebut mempunyai peran yang sentral dalam menciptakan dan

memberikan keadaan di mana masyarakat merasa terlindungi. Di mana hukum

dapat menawarkan perlindungan terhadap kesewenang-wenangan, perlindungan

terhadap anarki dan menawarkan perlindungan terhadap tirani yang dilakukan

oleh pihak lain3.

3
Teguh Prasetyo, Hukum Dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, (Yogyakarta:
Media Perkasa, 2013), hlm.2

[2]
A. PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL

Pada saat ini setidaknya terdapat empat macam hukum yang

diberlakukan oleh negara di dunia, yaitu; pertama, comon law. Common

law pada hakekatnya adalah sebuah judge law , artinya hukum yang

dibentuk oleh peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan berkat

kekuasaan yang diberikan kepada putusan hakim-hakim. Dan undang-

undang nampaknya hampir tidak berpengaruh terhadap evolusi common

law ini4.

Kedua, civil law, yaitu hukum yang diberlakukan di negara-negara

Eropa Kontinental, misalnya; Prancis, Jerman, dan Belanda . Adapun

karakteristik dari civil law itu sendiri adalah adanya kodifikasi , hakim

tidak terikat kepada preseden sehingga undang-undang menjadi sumber

hukum yang terutama, dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial5.

Ketiga, hukum sosialis ( sosialist law ) merupakan hukum yang

lahir dan berkembang di negara-negaa sosialis terutama Uni Soviet, Eropa

Timur, Korea Utara yang diilhami oleh filsafat dan ideologi marxisme.

Hukum sosialis hadir untuk mengimbangi dua kekuatan besar hukum di

dunia yaitu civil law dan common law6.

Keempat, hukum Islam ( Islamic law ) yaitu hukum yang lahir dan

berkemban di negara-negara yang menganut atau menerapkan syari’at

Islam dalam sistem hukumnya7.

4
Emeritus John Gilissen, Sejarah Hukum, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), hlm. 348
5
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: KENCANA, 2008), hlm. 244
6
Zudan Arif, Hukum Indonesia Dalam Berbagai Prespektif, ( Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2014), hlm. 93
7
Ibid, hlm. 94

[3]
Begitu juga halnya dengan Indonesia, sebagai negara yang

merdeka Indonesia seharusnya juga mempunyai hukumnya sendiri.

Namun, sampai saat ini Indonesia masih belum mempunyai hukum

tersendiri, sehingga dalam pemberlakuan hukum, Indonesia masih

menerapkan pluralisme hukum. Hal ini terlihat dari beberapa macam

hukum yang diberlakukan di Indonesia. Setidaknya ada empat hukum

yang diberlakukan oleh Indonesia, yaitu Hukum Adat, Hukum Islam, civil

law, common law.

Penerapan atau pemberlakuan pluralisme hukum tersebut

mengakibatkan terjadinya kerumitan dalam hukum di Indonesia.

Kerumitan dalam hukum tersebut akan timbul mana kala antara hukum

yang satu dengan hukum yang lain saling bertentangan/berbenturan.

Bahkan pertentangan atau perbenturan dalam hukum tersebut tidak dapat

dihindarkan. Hal ini dikarenakan antara keempat hukum tersebut secara

ideologis berbeda. Hukum barat (civil law dan common law) dilandasi

oleh ideologi liberal. Sedangkan hukum Islam dilandasi oleh ideologi

keagamaan ( Islam ). Adapun hukum adat dilandasi oleh ideologi yang

muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat/ bangsa Indonesia8.

Alasan sulitnya Indonesia dalam membangun hukum nasionalnya

sendiri juga diungkapkan oleh Soetandyo Wignyoseobroto. Menurut

beliau kesulitan Indonesia untuk membangun hukum nasional dikarenakan

bukan hanya keragaman hukum rakyat yang umumnya tak terumus secara

8
Zudan Arif, Hukum Indonesia Dalam Berbagai Prespektif, ( Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2014), hlm. 94-95

[4]
secara eksplisit itu saja, akan tetapi juga karena sistem pengelolaan hukum

yang modern meliputi tata organisasi, prosedur-prosedur dan asas-asas

doktrinal pengadaan dan penegakannya telah terlanjut tercipta sepenunya

sebagai warisan kolonial yang tidak akan mudah di rombak atau

digantikan begitu saja dalam waktu singkat. Apalagi membangun hukum

nasional dengan bermula dari titik nol atau bertolak dari suatu konfigurasi

baru yang masih harus ditemukan terlebih dahulu jelaslah tidak mungkin9.

Masalah pembangunan hukum nasional bagi bangsa Indonesia

sangat urgent atau mendesak untuk dilakukan. Karena masyarakat sudah

tidak percaya lagi pada hukum yang ada pada saat ini, terutama di bidang

penegakan hukum. Ketidakpercayaan masyarakat tersebut disebabkan

karena hukum di Indonesia sebagian besar merupakan peninggalan

kolonial Belanda yang menganut sistem ”civil law”. Besarnya pengaruh

hukum sipil ini dikarenakan Indonesia kurang-lebih selama 3,5 abad

dijajah oleh kolonial Belanda. Jadi berlakunya civil law di Indonesia

karena adanya faktor sejarah, yaitu pernah dijajah oleh bangsa Belanda.

Sehingga kolonialisme Belanda membawa serta hukumnya secara

langsung dan sedikit banyak hukum tersebut teresepsi kedalam hukum

bangsa Indonesia yang menjadi jajahannya.

Dengan demikian, adanya civil law tanpa disadari menjadi budaya

berhukum di Indonesia. Sehingga berdampak pula pada kondisi hukum di

9
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-
Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),
hlm. 187-188

[5]
Indonesia yang syarat dengan nuansa positivistik hingga mengakibatkan

cara berhukum di Indonesia terkungkung dalam bingkai formalistik10.

Plurarisme hukum yang dianut oleh Indonesia menjadikan hukum

yang hendak di bangun itu secara hierarki piramida tersusun atas cita

hukum Pancasila, asas-asas hukum nasional, dan kaidah-kaidah hukum

positif yang terdiri atas aturan perundang-undangan, yurisprudensi,

pranata dan kaidah hukum adat sepanjang masih hidup dalam kenyataan

dan belum diangkat menjadi ketentuan undang-undang, kaidah-kaidah

hukum Islam sejauh sudah selesai diresepsi dalam hukum adat atau sudah

menjadi ketentuan undang-undang dan hukum kebiasaan 11. Dengan

demikian, hukum Indonesia merupakan hukum yang dibangun dari proses

penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari berbagai

hukum yang telah ada dan mencerminkan jiwa bangsa Indonesia.

Berdasarkan pembahasan di atas, pembangunan hukum harus

dilandasi oleh (1) nilai ideologis, yaitu nilai yang berdasarkan pada

ideologi nasional yaitu Pancasila; (2) nilai historis, yaitu nilai didasari

paada sejarah bangsa Indonesia; (3) nilai sosiologis, yaitu nilai yang sesuai

dengan tata nilai budaya masyarakat Indonesia; (4) nilai juridis yaitu

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,

serta; (5) nilai filosofis, yaitu nilai yang berintikan pada rasa keadilan dan

kebenaran masyarakat. Hukum yang dilandasi oleh kelima nilai tersebut

10
Teguh Prasetyo, Hukum Dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, (Yogyakarta:
Media Perkasa, 2013), hlm. 144-145
11
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian
Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan
Ilmu Hukum Nasional Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 81

[6]
akan memberikan dampak positif bagi masyarakat untuk dapat menikmati

rasa keadilan, kepastian dan manfaat hukum yang pada akhirnya akan

bermuara kepada pembentukan sikap dan kesadaran masyarakat terhadap

hukum.

Dengan tujuan agar hukum dapat benar-benar menjadi sarana

pembangunan dan pembaharuan masyarakat yang kita harapkan. Sehingga

dalam pembangunan hukum nasional harus dapat berlaku efektif di dalam

masyarakat. Pembangunan hukum adalah konsep yang berkesinambungan

dan tidak pernah berhenti sehingga penegakan hukum tidak boleh

mengabaikan keadaan dan dimensi waktu saat hukum itu di tetapkan dan

berlaku . Selain tidak bijaksana, hal tersebut pada gilirannya akan

berpotensi mengingkari kepastian hukum itu sendiri12.

Bahwa selama ini terkesan pembangunan hukum di Indonesia

dilakukan secara pragmatis tidak tersistematis dan terstruktur sehingga

pembangunan hukum di Indonesia terkesan tambal sulam, acak-acakan

dan tidak mengakar pada nilai-nilai kehidupan masyarakat serta jiwa

bangsa Indonesia. Akibatnya produk hukum yang dihasilkan juga tidak

dapat berlaku efektif yang bisa mendukung cita-cita kemerdekaan dan cita-

cita berbangsa dan bernegara yaitu untuk melindungi bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum;

mencerdaskan kehidupan bangsa; serta ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.


12
Ahmad Ramli, Membangun Hukum Nasional Yang Demokratis Serta Masyarakat Yang
Berbudaya dan Cerdas Hukum, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 6,
Nomor 2, Agustus 2008, hlm. 13

[7]
Sehingga dalam pembangunan hukum yang perlu dilakukan

adalah:

1. Pembentukan terhadap karakter aparat hukum. Karena pembengunan

hukum dilihat sebagai proses merupakan perubahan terencana yang

potensial menimbulkan berbagai konflik sosial diantara kelompok-

kelompok masyarakat13. Sehingga aparat hukum harus mampu

menegakkan dan menerapkan hukum.

2. Pembentukan budaya hukum. Menurut Friedman, budaya hukum

sesungguhnya berfungi sebagai motor penggerak keadilan, yakni

menjembatani sistem hukum dengan sikap manusia dalam suatu

masyarakat14.

3. Pembentukan dan pembaruan terhadap produk hukum yaitu

peraturan perundang-undangan. Hal ini disebabkan banyak produk

hukum yang diberlakukan sudah banyak tertinggal oleh dinamika

yang terjadi di masyarakat baik secara lokal, regional maupun

internasional15.

B. KERANGKA PEMBANGUNAN HUKUM16

1. Pembangunan Bidang Perencanaan Hukum

Secara garis besar kegiatan perencanaan hukum meliputi hal berikut:

13
Ahmad Gunawan, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, (Yogyakarta; Pustaka
Pelajar, 2012), hlm. 162
14
Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang; PT Suryandaru
Utama, 2005), hlm. 89
15
Teguh Prasetyo, Hukum Dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, (Yogyakarta:
Media Perkasa, 2013), hlm. 150-151
16
Padmo Wahyono, Albert Hasibuan dkk, Kerangka Landasan Pembangunan Hukum,
(Jakarta: PUSTAKA SINAR HARAPAN, 1997), hlm.34-40

[8]
a. Perumusan politik hukum yang baik dan tidak menumbuhkan

suatu penyempitan dari arahan-arahan UUD 1945 dan arahan

yang pokok lainnya.

b. Pemahaman bahwa pembangunan hukum tidaklah sempit hanya

di bidang pembentukan hukum ataupun penegak hukum semata-

mata, melainkan meliputi seluruh segi kehidupan hukum.

c. Tidak terdapatnya kegiatan pembangunan hukum yang tumpang

tindih dan bertentangan satu sama lainnya, tanpa adanya satu

sistem.

d. Masalah sumber daya manusia perencanaan hukum dan kegiatan

integrasi sinkronisasi, dalam kegiatan pembangunan secara

menyeluruh.

Dengan demikian langkang-langkah strategis yang disarankan dalam

kegiatan perencanaan hukum ialah:

a. Perencanaan pembangunan hukum sebagai kegiatan yang

profesional dan berkesinambungan oleh semua instansi

pemerintah (khususnya Biro Hukum) dan badan-badan peradilan

lainnya.

b. Melibatkan biro-biro hukum dalam perencanaan pembangunan

teknis sektoral departemen-departemen yang bersangkutan.

c. Memadukan (harmonisasi dan sinkronisasi) semua rencana

pembangunan di bidang hukum ke dalam rencana-rencana

pembangunan hukum nasional (Rencana Legislatif Nasional,

[9]
Rencana Peningkatan Peranan Peradilan, Rencana Peningkatan

Kesadaran Hukum di setiap tahap dan bidangnya).

2. Pembangunan Bidang Pembentukan Hukum

Secara garis besar objek pembangunan di bidang pembentukan

hukum antara lain adalah:

1. Lembaga-lembaga pembentukan hukum dan produk-produk

hukum dan menyangkut prosedur dan mekanisme pembentukan

hukum.

2. Pembentukan politik hukum .

3. Sumber hukum dalam kaitannya dengan pembentukan hukum.

4. Bidang tata hukum dan asas-asasnya.

5. Proses dan teknik perundang-undangan.

6. Pengujian hukum dan masalah penafsiran.

7. Pembinaan dan pengembangan hukum.

8. Hubungan antarsistem hukum.

9. Pembinaan kesadaran masyarakat dalam kaitannya dengan

pembentukan hukum.

3. Pembangunan Bidang Penerapan dan Pelayanan Hukum

Secara umum bidang ini sebagian besar kegiatannya ialah

mengenai penerapan hukum di masyarakat baik oleh instansi

pemerintah di pusat maupun di daerah dan oleh instansi swasta

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

[10]
Dalam hal penyelenggaraan oleh instansi pemerintah, maka

prinsip utama yang ingin diselenggarakan ialah algemene beginselen

van behoorlijk bestuur yang di dalam Inpres No. 15 Tahun 1983

dirumuskan dengan istilah “Sendi-sendi Kewajaran Penyelenggaraan

Pemerintah”, sehingga tercapai aparatur yang bersih dan berwira yang

berhasil guna dan berdaya guna.

Dengan demikian objek kegiatan di bidang pembangunan

hukum ini erat kaitannya dengan sendi-sendi kewajaran

penyelanggaraan pemerintahan yang sangat dipengaruhi oleh:

1. Penegakkan sendi-sendi kewajaran dalam penyelenggaraan

pemerintah (Algemene beginselen van behoorlijk bestuur).

2. Struktur organisasi lembaga pelayanan hukum pada

masyarakat, susunan, kedudukan dan wewenangnya

(bestuursoreganisatie).

3. Tindakan/putusan administratif pelayanan hukum pada

masyarakat, ragamnya, pembentukannya, kekuatan

hukumnya dan sebagainya (bestuurshandelingen).

4. Jaminan kepastian hukum, ketertiban hukum, fungsi

pengayoman dari hukum dan keadilan, tindakan-tindakan

pejabat administrasi termasuk peradilan administrasi dan

sebagainya (bestuurswaarborgen).

5. Sarana dan prasarana/pranata penyelenggaraan pelayanan

hukum, termasuk pembentukan peraturan untuk

[11]
kebijaksanaan pemerintah (hukum birokratik) dan

sebagainya (bestuursinstrumentariumi).

6. Pembinaan sikap perilaku dan profesionalisme aparatur

pemberi pelayanan hukum sebagai abdi masyarakat.

4. Pembangunan Bidang Penegakan Hukum

Berbeda dengan kedua bidang sebelumnya, maka bidang penegak

hukum ini sudah cukup membudaya baik di masyarakat awam

maupun di masyarakat ilmiah. Orang tidak menyadari bahwa adanya

penegak hukum adalah akibat dari adanya hambatan karena

hukumannya mungkin sudah tidak memadai lagi karena telah ada

perkembangan masyarakat atau perkembangan kesadaran hukum, atau

mungkin karena ada kesalahan di dalam penerapannya.

Objek utama dari penegak hukum dengan demikian antara lain

adalah:

1. Pengorganisasian peradilan yang meliputi organisasi, fungsi

yang akan meliputi kekuasaan kehakiman, kepolisian,

kejaksaan dan pemasyarakatan.\

2. Ketentuan-ketentuan mengenai hukum acara pidana , hukum

acara perdata, hukum acara peradilan administrasi, hukum

acara peradilan agama dan hukum acara peradilan militer.

3. Masalah kegiatan preventif penegak hukum.

4. Lembaga pemasyarakatan

[12]
5. Bantuan hukum dalam arti luas, penasihat hukum, konsultasi

hukum, penyelundupan hukum, dan sebagainya.

6. Kebebasan hakim dan administrasi peradilan.

7. Peranan Yurisprudensi.

8. Masalah penemuan hukum (rechtsvinding).

9. Penghukuman.

10. Media komunikasi penegak hukum.

C. PANCASILA SEBAGAI LANDASAN PEMBANGUNAN HUKUM

NASIONAL

Hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-

undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional

negara, yaitu Pancasila dan UUD 194517 atau hukum yang dibangun di

atas kreativitas atau aktivitas yang didasarkan atas cita rasa dan rekayasa

bangsa sendiri18.

Dalam pembangunan hukum di Negara Republik Indonesia ini pun

telah mengenal berbagai landasan tertentu mislanya:

a. Pancasila sebagai landasan ideal

b. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional

c. GBHN sebagai landasan operasional

d. Landasan (tata) hukum masa yang lampau19.

17
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
(Bandung; Alumni, 1991), hlm. 43
18
Iman Syaukani, Dasar-Dasar Politik Hukum, ( Jakarta; PT Grafindo Persada, 2004), hlm.
62

[13]
Dari pemaparan di atas maka dapat dikatakan, bahwa Pancasila

merupakan cita hukum (rechtsidee) dan sumber dari segala sumber

hukum yang merupakan tingkat tertinggi dalam teori jenjang norma

hukum,. Sehingga cita hukum Pancasila dalam pembangunan sistem

hukum nasional mempunyai tiga nilai yaitu:

1. Nilai dasar, yaitu asas-asas yang diterima sebagai dalil yang

sedikit banyak mutlak. Di antaranya ketuhanan, kemanusiaan,

persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan

2. Nilai instrumental, yaitu pelaksanaan umum dari nilai-nilai

dasar. Terutama berbentuk norma hukum yang selanjutnya

dikristalisasi dalam peraturan perundang-undangan .

3. Nilai praktis, yaitu nilai yang sesungguhnya dilaksanakan

dalam kenyataan yang berasal dari nilai dasar dan nilai

instrumental. Sehingga nilai praktis sesungguhnya menjadi

batu uji apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-

benar hidup dalam masyarakat Indonesia. Misalnya, kepatuhan

masyarakat terhadap hukum atau penegak hukum.

Maka , ketiga nilai di atas kemudian dijadikan ke dalam norma-

norma hukum. Mengapa demikian, sebab ketiga nilai ini sangatlah

penting dimana hukum yang hendak dibangun harus dapat memadukan

antara menyelaraskan kepentingan nasional Indonesia baik yang bertaraf

19
Padmo Wahyono, Albert Hasibuan dkk, Kerangka Landasan Pembangunan Hukum,
(Jakarta: PUSTAKA SINAR HARAPAN, 1997), hlm. 9 s

[14]
nasional, regional maupun global. Adapun penjabaran terhadap nilai-nilai

Pancasila dalam pembangunan hukum tersebut adalah:

a. Nilai Ketuhanan. Artinya bahwa dalam pembentukan hukum di

Indonesia harus dilandasi oleh nilai-nilai Ketuhanan atau

keagamaan. Selain itu juga, dalam setiap pembentukan hukum

harus ada jaminan bagi kebebasan beragama dan tidak boleh

ada hukum yang mengistimewakan salah satu agama tertentu.

b. Nilai Kemanusiaan. Artinya bahwa dalam setiap pembentukan

hukum harus mampu menciptakan bangsa yang beradab dan

hukum yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak

asasi manusia.

c. Nilai Persatuan. Ini berarti bahwa dalam pembentukan hukum

harus memperhatikan persatuan atau integritas bangsa dan

negara. Dalam pembentukan hukum tidak boleh

mengakibatkan perpecahan (disintegrasi) dan memecah belah

bangsa dan negara.

d. Nilai Kerakyatan. Artinya bahwa dalam pembentukan hukum

harus dilandasi oleh nilai-nilai deikratis yang melibatkan semua

unsur yang ada di negara baik eksekutif, Legislatif, yudikatif

maupun masyarakat. Sehingga hukum di Indonesia dapat

mendukung terciptanya demokrasi di Indonesia.

[15]
e. Nilai Keadilan sosial. Artinya bahwa pembentukan hukum

nasional harus bertujuan untuk memberikan keadilan dan

kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sementara itu penjabaran nilai-nilai atau sila-sila Pancasila dalam

pembangunan hukum menurut Magnis Suseno mencakup lima hal, yaitu:

a. Pembangunan hukum hanya dapat mempertahankan mutu

manusianya apabila dilandasi oleh sikaphormat terhadap

manusia, mengakui kedudukan manusia yang sama, tidak

memperlakukan manusia sebagai objek perencanaan, tidak

pernah mengorbankan pihak yang satu demi keuntungan pihak

yang lain dan tidak membeli kemajuan dengan menyengsarakan

orang lain.

b. Pembangunan hukum tidak menjadikan manusia sebagai objek

sasaran atau bahkan sarana dan korban bagi usaha kemajuan,

maka hendaknya pembangunan tidak dilaksanakan secara

paternalistik dan teknokratis, melainkan secara dialogis dan

partisipatif.

c. Pembangunan hukum harus menghormati manusia secra

konkrit yang berarti menjamin segi-segi azasi manusia/

menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).

d. Pembangunan hukum harus mengoperasikan prinsip-prinsip

hormat terhadap martabat manusia ke dalam struktur dan

lembaga kehidupan masyarakat.

[16]
e. Pembangunan hukum harus mempunyai sikap hormat terhadap

martabat manusia bagi suatu pembangunan perlu dikemukakan

tutunan normatif terhadap penentuan prioritas pembangunan20.

DAFTAR PUSTAKA

Emeritus John Gilissen, Sejarah Hukum, Bandung: PT Refika Aditama, 2011

Iman Syaukani, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta; PT Grafindo Persada, 2004

Padmo Wahyono, Albert Hasibuan dkk, Kerangka Landasan Pembangunan Hukum,

Jakarta: PUSTAKA SINAR HARAPAN, 1997.

20
Teguh Prasetyo, Hukum Dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, (Yogyakarta:
Media Perkasa, 2013), hlm. 156-158

[17]
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: KENCANA, 2008

Teguh Prasetyo, Hukum Dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, Yogyakarta:

Media Perkasa, 2013

Zudan Arif, Hukum Indonesia Dalam Berbagai Prespektif, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2014

[18]

Anda mungkin juga menyukai