Tahun 1816 – 1848 merupakan masa penting dalam hukum adat, karena
merupakan pulihnya kembali pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia, yang
merupakan permulaan politik hukum dari Pemerintah Belanda yang dengan
kesadarannya ditujukan kepada bangsa Indonesia. Dalam reglement tahun 1819
ditentukan bahwa hukum adat pidana akan dinyatakan berlaku bagi golongan
Bumiputera.
Mengenai hukum materiil yang diterapkan oleh Pengadilan-pengadilan
berlaku asas : hukum dari pihak tergugat. Ini berarti bahwa jika dalam sengketa
antara orang Bumiputera dengan orang Eropa yang menjadi tergugatnya adalah
orang Bumiputera, maka yang akan mengadili adalah Landraad yang akan
memperlakukan hukum adat.
Tahun 1928-1945 setelah berjalannya politik hukum adat baru Ter Haar
menggambarkan hasil perundang-undangan di lapangan hukum adat sebagai
berikut:
1. Peradilan adat di daerah yang diperintah secara langsung diberi beberapa
aturan dasar dalam ordonasi dan peraturan pelaksanaan yang dibuat oleh
residen setempat.
2. Hakim desa diberi pengakuan perundang-undangan dalam S1935-102 yang
menyisipkan pasa 3a kedalam RO
3. Tanggal 1 Januari 1938 merepakan hari sejarah bagi hukum adat, karena pada
waktu itu dalam Raud van Justice dikota Betawi mendirikan suatu Adatkamer
(Kamar Adat) yang mengadili dalam tingkat banding perkara-perkara hukum
privat adat yang telah diputuskan oleh Landraden di Jawa, Palembang, Jambi,
Bangka Blitung, Kalimantan dan Bali. Pembentukan Adatkamer itu memberi
jaminan lebih baik kepada penerapan hukum adat, sebab persoalan hukum
adat tidak lagi dititipkan kepada Civiele Kamer di Eaad van Justice, sehingga
perhatian terhadap hukum adatdapat dicurahkan secara khusus.
Setelah Indonesia merdeka, keberadaan hukum adat masih dipertanyakan
terutama berkisar, mampukah hukum adat itu untuk membawa bangsa kearah
kemajuan. Mengenai hal ini ada pendapat yang saling bertentangan. Apakah yang
harus kita utamakan untuk bangsa ini, apakah kita mengutamakan kemajuan
bidang ekonomi atau mengutamakan rasa kebanggaan terhadap rasa
nasionalisame. Jika yang diutamakan adalah pembangunan bidang ekonomi, maka
hukum adat tidak tepat untuk dijadikan dasar dalam pembentukan hukum
nasional. Tetapi apabila yang diprioritaskan adalah menumbuhkan rasa
kebanggaan sebagai suatu bangsa yang berdaulat, maka hukum adat itulah yang
harus dijadikan sumber hukum nasional.
Pemerintah pada waktu itu mengeluarkan Tap MPR No II/1960 yang
menyatakan Hukum adatlah yang dijadikan landasan atau dasar pembentukan
hukum nasional. Dikeluarkan pula UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar
Pokok-pokok agraria. Perhatikan Pasal 5 yang berbunyi : Hukum agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan
yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan
lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama.
Pada era reformasi terjadi empat kali amandemen UUD 1945. Pasal yang
berkenaan dengan hukum adat mulai dimasukkan dalam Pasal Pasal 18B ayat 2
dan Pasal 28 ayat 3 UUD 1945 amandemen kedua dan belum mengalami
perubahan hingga amandemen keempat. Namun, konsep masyarakat hukum adat
adalah konsep yang masih terlalu umum, yang memerlukan penjelasan lebih
lanjut.
Lebih lanjut pengaturan mengenai masyarakat hukum adat ditemui dalam
Pasal 51 ayat (1) huruf b UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(MK) yang merumuskan salah satu kategori pemohon adalah : “Kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang. Menurut MK, suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk
dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat
teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidak-tidaknya
mengandung unsur-unsur.
Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga
kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta
tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Pemikiran mengenai peranan
hukum adat dalam pembentukan hukum nasional sudah ada sebelum Indonesia
merdeka, namun pada saat itu pemikiran tersebut belum dapat diaplikasikan dalam
bentuk peraturan. Awal penerapan pemikiran tersebut baru terlihat di awal tahun
1960 dengan dikeluarkannya Tap MPR No II/1960 dan UU No 5 Tahun 1960
tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam perkembangan selanjutnya,
masyarakat hukum adat sempat terlupakan, namun di era sekarang, negara mulai
memperhatikan lagi hak-hak masyarakat adat yang sudah terabaikan.
Mereka yang ingin mengganti hukum adat dengan suatu kodifikasi hukum
yang berlaku bagi semua golongan rakyat (unifikasi), pada umumnya berpendapat
bahwa :
a. Hukum adat yang tidak tertulis itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
b. Penggunaan sistem hukum adat yang berbeda-beda untuk golongan penduduk
yang berlainan sifatnya dianggap akan menimbulkan kekacauan dalam asas-
asas hukum dan keadilan.
c. Hukum adat itu dinilai lebih rendah dari hukum Eropa dan karena itu sudah
sewajarnya kalau diganti dengan hukum yang lebih baik lagi.
Sebagian besar dari hukum adat ini tidak tertulis sehingga sukar bagi
pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu untuk menentukan hukumnya yang
berlaku bagi bangsa Indonesia Asli. Di antara pembela hukum adat yang terkenal
ialah Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven.
Dari karya van Vollenhoven ini ada 3 hal yang penting dalam
hubungannya dengan pelajaran hukum adat, yaitu :
a. Ia berhasil menghilangkan kesalahfahaman dalam melihat hukum adat,
yang menganggap hukum adat itu identik dengan hukum agama (Islam).
b. Ia membagi wilayah hukum adat Indonesia dalam 19 lingkungan hukum
adat (adatrecht kringen), yang nanti akan kita bicarakan di belakang.
c. Ia sangat gigih membela hukum adat dari usaha pembentuk undang-
undang yang ingin mendesak dan menghilangkan hukum adat, dengan
keyakinan bahwa hukum adat ini merupakan hukum yang hidup, menjiwai
bangsa Indonseia Asli dan mempunyai sistem tersendiri.
Usaha pembelaan van Vollenhoven :
a. Sebelum ada usaha van Vollenhoven, Pemerintah Belanda sudah
berulang-ulang sejak tahun 1955 berusaha menghapuskan hukum adat
bagi golongan bangsa Indonesia Asli dan memperlakukan terhadapnya
hukum yang berlaku bagi golongan Eropa. Pada tahun 1866
Pemerintah Kolonial Belanda hendak menghapuskan hak milik asli
atas tanah dan menggantikan dengan hak eigendom. Tetapi usaha ini
banyak mendapat tantangan dari para sarjana Belanda, sehingga usaha
tersebut gagal dan sebagai akibatnya terbentuklah “Agrarische Wet”
(Undang-undang Agraria) pada tahun 1870.
b. Tahun 1904 ada rancangan untuk mengubah pasal 104 RR dengan
tujuan memaksakan kepada golongan Bumiputera agar memakai
hukum yang sama dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda.
Tetapi van Vollenhoven pada tahun 1905 menentang rencana ini
dengan tulisannya yang berjudul “Geen Juristenrecht voor ger
Inlander” dalam majalah “De XX Eeuw” (abad XX). Sebagai hasilnya
lahirlah suatu undang-undang (Oudejaarswet 1906) yang menentukan
bahwa : hukum Eropa hanya akan diperlakukan terhadap golongan
Bumiputera sekedar hal itu perlu karena kebutuhan masyarakat
mereka; selain itu berlakulah hukum adatnya.
c. Kemudian pada tahun 1913 diumumkan oleh Pemerintah Kolonial
Belanda suatu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek) untuk golongan Indonesia Asli, tetapi untuk
kedua kalinya van Vollenhoven menentang usaha ini, sehingga
Rancangan Undang-undang tersebut ditarik kembali oleh Pemerintah
Belanda.
d. Usaha Pemerintah Kolonial Belanda untuk menghapus hukum adat
masih diteruskna pada tahun 1923, yaitu dengan keluarnya Rancangan
KUH Perdata untuk kedua kalinya, tetapi untuk ke sekian kalinya pula
ditentang lagi oleh van Vollenhoven, sehingga rancangan tersebut pun
ditarik kembali.
Undang-undang Pokok Kehakiman (semual UU No.19 tahun 1964,
kemudian diganti dengan UU No.14 tahun 1970) disebutkan bahwa :
“Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan
dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu
dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.