Anda di halaman 1dari 8

1

Pendahuluan
HUKUM ADAT KEKELUARGAAN
ISTILAH LAIN HUKUM ADAT KEKELUARGAAN MENURUT BEBERAPA
AHLI, Prof. Dr. Mr. Barend Ter Haar, Bzn menyebutnya sebagai HUKUM KESANAK
SAUDARAAN, Djaren Saragih, S.H menyebutnya sebagai HUKUM KELUARGA, Prof.
H. Hilman Hadikusuma, S.H menyebutnya sebagai HUKUM ADAT KEKERABATAN.
Jadi, Hukum Adat Kekeluargaan dan Hukum adat Kekerabatan , adalah : “Hukum adat
yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat
(keluarga), kedudukan anak terhadapa orang tua dan sebaliknya, kedudukan anak terhadap
kerabat dan sebaliknya, dan masalah perwalian anak”. Manusia pribadi dilahirkan ke dunia
mempunyai nilai-nilai yang sama seperti nilai hidup (nyawa), kemerdekaan, kesejahteraan,
kehormatan, dan kebendaan.Tetapi... Kehidupan masyarakat, adat budaya serta pengaruh
agama yang dianut oleh manusia menyebabkan penilaian terhadap manusia menjadi tidak
sama, Contoh : Di dalam kehidupan masyarakat di Bali yang mayoritas beragama Hindu,
ada pembedaan kasta/golongan/wangsa, yaitu : Brahmana (Keturunan Pendeta), Ksatria
(Keturunan Bangsawan), Wiesha (Keturunan Pengusaha), Sudra (Rakyat Jelata ).

“Keturunan adalah merupakan unsur essensiel serta mutlak bagi suatu Clan (Suku) atau
Kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya ada generasi
penerusnya “ Oleh karena itu, maka apabila suatu Clan atau Suku ataupun Kerabat merasa
khawatir akan menghadapi kenyataan tidak memilikki keturunan, Clan atau Suku ataupun
Kerabat ini pada umumnya akan melakukan pemungutan anak (Adopsi) untuk
menghindari kepunahannya, atau bahkan berdasarkan persetujuan isterinya seorang suami
akan diizinkan menikah lagi untuk mendapatkan keturunannya. Anak kandung memilikki
kedudukan yangterpenting di dalam setiap masyarakat adat. Di samping oleh orang tuanya
anak itu sebagai generasi penerus anak itu juga dipandang sebagai wadah (tempat
tumpuan) dimana semua harapan orang tuanya kelak, jikalau orang tuanya nanti sudah
tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah sendiri.

Menurut Hukum Adat : ANAK KANDUNG SAH adalah anak yang dilahirkan dalam
perkawinan yang sah, mempunyai ibu yaitu waanita yang melahirkannya dan mempunyai
bapak yaitu suami dari wanita yang melahirkannya. Namun sayang, dewasa ini banyak
kita jumpai bahwa adanya kelahiran anak tidak normal atau tidak sah, diantaranya adalah
Anak lahir di luar perkawinan, Anak yang lahir dari hubungan zinah, Anak lahir setelah
perceraian. Hubungan Anak dengan Orang Tua menimbulkan akibat-akibat hukum
tertentu seperti Adanya larangan perkawinan antara Orang Tua dengan Anak; Adanya
kewajiban saling memelihara antara Orang Tua dengan Anak (hak alimentasi) ; dan Pada
dasarnya setiap anak mempunyai hak waris terhadap Orang Tuanya.

Di dalam Hukum Adat hubungan hukum antaraanak dengan orang tuanya khususnya
denganAyahnya dapat diputuskan dengan perbuatanhukum tertentu, misalnya Anak
tersebutdibuang oleh Bapaknya.Perbuatan ini di Balidisebut Pegat Mapianak dan pada
orang BatakAngkola disebut Mangalip-Alip, demikian puladalam Hukum Adat ada
kemungkinan bahwaseorang anak diserahkan pada orang lainuntuk dapat pemeliharaan.
Yang demikiandinamakan Anak Piara. pada umumnya hubungan anak dengan keluarga
ini sangat tergantung dari keadaan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.Seperti
2

pada pembahsan kelompok kami sebelumnya, terdapat persekutuan-persekutuan yang


susunan masyarakatnya berdasarkan tiga macam garis keturunan : Garis Keturunan Bapak
(Patrilineal); Garis keturunan Ibu (Matrilineal); dan Garis Keturunan Bapak-Ibu
(Parental). Anak tiri adalah anak kandung bawaan ISTRIJANDA atau bawaan dari SUAMI
DUDAyang mengikat tali perkawinan. Sedangkan didalam kedudukan ANAK TIRI tiri
disini tetapberkedudukan sebagai anak dari Bapak , dariIbu yang melahirkannya Apabila
di dalam suatu keluarga salah satudari orang tuanya baik bapak atau ibu sudah tidakada
lagi, maka apabila masih ada anak-anak yangbelum dewasa dalam susunan keturunan
bapak –ibu (Parental), maka orang tua yang masihhiduplah yang memelihara anak-anak
tersebutlebih lanjut. Jika, kedua-duanya tidak ada lagi makayang memelihara anak-anak
yang ditinggalkanadalah salah-satu dari keluarga pihak bapakmaupun pihak ibu yang
terdekat. Lain halnya dengan keluarga yang menganut sistem susunan Masyarakat
Unilateral (baik patrilineal maupun matrilineal) adalah :Example : Dareah Minangkabau,
yang menganut sistem kekeluargaan MATRILINEAL, jika bapaknya yang meninggal
maka ibunya meneruskan kekuasaan terhadap anak-anaknya yang masih belum dewasa
itu. Jika ibunya yang meninggal maka anak-anak yang dimaksud tsb tetap berada pada
kerabat ibunya serta dipelihara seterusnya oleh keluarga ibunya, sedangkan hubungan
antara bapak dengan anak-anaknya dapat terus dipelihara oleh si bapak. Contoh : Dareah
Tapanuli, yang menganut sistem kekeluargaan PATRILINEAL jika bapaknya meninggal
dunia, ibunya meneruskan memelihara anak-anaknya dalam lingkungan bapaknya.
Apabila janda tersebut ingin pulang ke lingkungan keluarganya sendiri atau ingin menikah
lagi maka ia dapat meninggalkan lingkungan keluarga almarhum suaminya, akan tetapi
anak-anaknya tetap tinggal dalam kekuasaan keluarga almarhum suaminya.

Menurut SOEROJO WIGNJODIPOERO, S.H, mengangkat anak adalah : “suatu


perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam lingkungan keluarga sendiri demikian
rupa sehingga hubungan antara orang yang mengambil anak dengan anak yang di ambil
timbul suatu hubungan hukum kekeluargaan yang sama seperti hubungan yang ada
diantara orang tua dengan anak kandungnya sendiri”. Dilihat dari sudut anak yang diambil
sebagai ANAK ANGKAT dikenal macam-macam pengankatan anak, yaitu : Mengangkat
anak bukan warga keluarga; Mengangkat anak dari kalangan keluarga; dan Mengangkat
anak dari kalangan keponkan.
3

HUKUM KEKELUARGAAN DALAM HUKUM ADAT

A. Keturunan

Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada hubungan darah antara seseorang
dengan orang lain. Keturunan merupakan unsur yang penting bagi suatu clan, suku ataupun
kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya ada generasi
penerus. Maka apabila ada clan, suku ataupun kerabat yang tidak memiliki keturunan, pada
umumnya melakukan pengangkatan anak (adopsi) untuk menghindari kepunahan.

Individu sebagai keturunan mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang


berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga, misalnya boleh ikut menggunakan
nama keluarga, saling bantu membantu dan saling mewakili dalam suatu perbuatan hukum
dengan pihak ketiga dan sebagainya.

Keturunan dapat bersifat:

a. Lurus, apabila seseorang merupakan keturunan langsung, misalnya antara bapak


dan anak sampai cucu disebut lurus ke bawah, sebaliknya dari anak, bapak dan kakek
disebut lurus ke atas.

b. Menyimpang atau bercabang, apabila kedua orang atau lebih terdapat adanya
ketunggalan leluhur, misal bapak ibunya sama (saudara kandung), sekakek-nenek dan
sebagainya.

Selain itu, sifat keturunan ada tingkatan-tingkatan atau derajat-derajatnya, misalnya


sorang anak merupakan keturuan tingakat I dari bapaknya, cucu merupakan keturunan
tingkat II dari kakeknya dan sebagainya. Tingkatan atau derajat demikian biasanya
dipergunakan untuk kerabat-kerabat raja, untuk menggambarkan dekat atau jauhnya
hubungan keluarga dengan raja yang bersangkutan.

Dikenal juga keturuanan garis bapak (keturunan patrilineal), yaitu hubungan darahnya
dilihat dari segi laki-laki/ bapak. Dan keturuanan garis ibu (keturunan matrilineal), yaitu
hubungan darahnya dilihat dari garis perempuan/ibu. Suatu masyarakat yang mengakui
keturunan patrilineal (contoh di daerah Minangkabau) atau matrilineal (contoh di daerah
Tanapuli) saja, disebut unilateral. Sedangkan yang mengakui keturunan dari kedua belah
pihak disebut bilateral.

Lazimnya untuk kepentingan keturunannya dibuat “silsilah” yaitu bagan dimana


digambarkan dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang dari suami/ isteri baik yang
lurus ke atas maupun yang lurus ke bawah, ataupun yang menyimpang.
4

B. Hubungan Anak dengan Orang Tua

Anak kandung memiliki kedudukan yang penting dalam keluarga yaitu: sebagai
penerus generasi, sebagai pusat harapan orang tuanya dikemudian hari, sebagai pelindung
orang tua kemudian haris apabila orang tuanya sudah tidak mampu baik secara fisik
ataupun orang tuanya tidak mampu bekerja lagi.

Oleh karena itu, sejak anak itu masih dalam kandungan hingga ia dilahirkan, kemudian
dalam pertumbuhan selanjutnya, dalam masyarakat adat diadakan banyak upacara-upacara
adat yang sifatnya relegio-magis serta penyelenggaraannya berurut-urutan mengikuti
perkembangan fisik anak yang semuanya itu bertujuan melindungi anak beserta ibunya
dari segala macam bahaya dan gangguan-gangguan serta kelak anak dilahirkan, agar anak
tersebut menjadi seorang anak dapat memenuhi harapan orang tuanya.

Wujud upacara setiap daerah berbeda satu dengan daerah yang lainnya. Misalnya
upacara-upacara daerah Priangan, masyarakat adat Priangan mengadakan upacara secara
kronologis sebagai berikut :

a. Anak masih dalam kandungan : bulan ke 3, 5, bulan ke 7 dan ke 9, dan pada bulan
ke 7 upacara adat khusus disebut “Tingkep”.

b. Pada saat lahir : penanaman “bali” atau kalau tidak ditanam diadakan upacara
penganyutan ke laut.

c. Pada saat “tali ari” diputus, diadakan sesajen dan tali ari yang diputus disimpan
di dalam “gonggorekan”-nya (kantong obat), serta pada saat itu juga pemberian nama
kepada bayi.

d. Setelah anak berumur 40 hari, upacara cukur yang diteruskan dengan upacara
“nurunkeun” (pertama kalinya kaki bayi disentuhkan pada tanah).

Disamping itu, juga sangat diperhatikan hari-hari kelahiran anak, misalnya anak lahir
pada hari kamis, maka tiap hari kamis diadakan “sesajen” demi keselamatan anak.

Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah antara suami dan istri adalah hal yang
normal. Tetapi dalam kenyataan, tidak semuanya berjalan dengan normal seperti berikut:
5

1. Anak Lahir di Luar Perkawinan

Bagaimana pandangan masyarakat adat terhadap peristiwa ini dan bagaimana


hubungan antara si anak dengan wanita yang melahirkan dan bagaimana dengan pria yang
bersangkutan?

Pandangan beberapa daerah tidak sama, ada yang menganggap biasa (Mentawai,
Timor, Minahasa dan Ambon); yang mencela dengan keras di buang di luar persekutuan,
bahkan dibunuh dipersembahkan sebagai budak (seperti di daerah kerajaan-kerajaan
dahulu). Dilakukan pemaksaan kawin dengan pria yang bersangkutan (oleh rapat marga di
Sumatra), atau mengawinkan dengan laki-laki lain, dengan laki-laki lain dimaksudkan agar
anak tetap sah seperti di Jawa disebut nikah tambelan dan di suku Bugis disebut pattongkog
sirig. Meskipun demikian, anak tersebut di Jawa disebut anak haram jadah dan di Bali
disebut astra.

2. Anak Lahir karena Hubungan Zinah

Apabila seorang isteri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan seorang pria
lain bukan suaminya, maka menurut hukum adat, laki-laki itu menjadi bapak dari anak
tersebut.

3. Anak Lahir setelah Perceraian

Anak yang dilahirkan setelah perceraian, menurut hukum adat mempunyai bapak bekas
suami si ibu yang melahirkan tersebut, apabila terjadi masih dalam batas-batas waktu
mengandung. Hubungan anak dengan orang tua (anak bapak atau anak ibu) menimbulkan
akibat hukum sebagai berikut:

a. Larangan kawin antara anak bapak atau anak ibu.

b. Saling berkewahiban memelihara dan memberi nafkah

C. Hubungan Anak dengan Keluarga

Pada umunya hubungan anak dengan keluarga ini sangat tergantung dari keadaan social
dalam masyarakat yang bersangkutan. Seperti yang telah diketahui di awal bahwa di
Indonesia ini terdapat persekutuan yang susunan berlandaskan tiga macam garis keturunan
yaitu keturunan ibu, keturunan bapak, dan keturunan ibu bapak.

Maksudnya dalam garis keturunan bapak dan ibu (bilateral), hubungan anak dengan
pihak bapak dan ibu sama eratnya, derajatnya ataupun pentinganya. Lain halnya dalam
garis keturunan unilateral (patrilineal atapun matrilineal) adalah tidak sama eratnya, ,
derajatnya ataupun pentinganya.
6

D. Memelihara Anak Yatim Piatu

Apabila dalam suatu keluarga, salah satu dari orang tuanya bapak atau ibunya sudah
tidak ada lagi, maka anak-anak yang belum dewasa dipelihara oleh salah satu orang tuanya
yang masih hidup.

Jika kedua orang tuanya tidak ada, maka yang memelihara anak-anak yang ditinggalkan
adalah salah satu dari kelurga yang terdekat dan yang paling memungkinkan untuk
keperluan itu. Dalam keadaan demikian biasanya tergantung pada anak diasuh dimana
pada waktu ibu dan bapaknya masih ada, kalau biasanya diasuh dikeluarga ibu, maka anak
akan diasuh oleh keluarga ibu dan sebaliknya.

Dalam keluarga matrilineal, jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya meneruskan
kekuasannya terhadap anak-anak yang belum dewasa. Jika ibunya yang meninggal dunia,
maka anak-anak yang belum dewasa berada pada kerabat ibunya serta dipelihara terus oleh
kerabat ibunya yang bersangkutan, sedangkan hubungan antara anak dengan bapaknya
dapat terus dipelihara.

Dalam keluarga yang patrilineal jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya terus
memelihara anak-anak yang belum dewasa, jika ibunya meninggalkan rumah dan pulang
kerumah lingkungan keluarganya atau kawin lagi, maka anak-anak tetap pada kekuasaan
keluarga almarhum suaminya.

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas, makin hari atau lambat laun mengalami


perubahan dan penyimpangan-penyimpangan menyesuaikan dengan perkembangan
masyarakat dan cara berfikir masyarakat yang modern.

E. Mengangkat atau Pengambilan Anak (Adopsi)

Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke
dalam keluarga sendiri sehingga timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti
yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri. Dilihat dari sudut anak yang
dipungut, maka dapat dibedakan beberapa macam, sebagai berikut:

1. Mengangkat Anak bukan Warga Keluarga

Lazimnya tindakan ini disertai dengan penyerahan barang-barang magis atau sejumlah
uang kepada keluarga anak semula. Alasan adopsi pada umumnya takut tidak ada
keturunan. Kedudukan hukum anak adopsi ini adalah sama dengan anak kandung suami
istri yang mengangkatnya, sedangkan kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat
menjadi putus.

Adopsi harus terang artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan
kepala adat. Hal demikian terdapat di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias dan Kalimantan.

2. Mengangkat Anak dari Kalangan Keluarga

Alasan mengadopsi anak ini sama dengan yang di atas, yaitu karena takut tidak
mempunyai keturunan.
7

Di Bali perbuatan ini disebut nyentanayang, adapun dalam keluarga dengan selir-selir,
maka apabila isterinya tidak mepunyai anak, biasanya anak-anak dari selir-selir itu
diangkat untuk dijadikan anak istrinya.

Prosedur pengambilan anak di Bali sebagai berikut:

a. Wajib membicarakan kehendak untuk mengangkat anak dengan keluarganya


secara matang

b. Dilakukan sesuai dengan adat yaitu dengan jalan membakar benang yang
melangbangkan hubungan anak dengan keluarganya putus

c. Memasukkan anak tersebut dalam hubungan kekeluargaan yang memungut,


istilahnya diperas.

d. Pengumuman kepada warga, pada zaman kerajaan dahulu dibutuhkan surat izin
raja terkait dengan adopsi ini yang berupa surat peras (akta).

3. Mengangkat Anak dari Kalangan Keponakan-Keponakan

Perbuatan ini terdapat di Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah lain. Sebab pengankatan
keponakan sebagai anak karena;

a. Tidak punya anak sendiri

b. Belum dikaruniai anak

c. Terdorong oleh rasa kasihan

Sesungguhnya perbuatan ini merupakan pergeseran kekeluargaan dalam lingkungan


keluarga. Lazimnya ini tidak disertai dengan pembayaran atau penyerahan barang. Tetapi
di Jawa Timur sekedar sebagai tanda bahwa hubungan anak dengan orang tuanya terputus
(pedot), orang tua kadung anak tersebut diberi uang sejunlah rongwang segobang (=17 ½
sen ) sebagai syarat. Sedangkan di Minahasa diberi tanda yang disebut parade sebagai
pengakuan.

Selain itu dikenal juga dengan istilah pemungutan anak yang maksud serta tujuannya
buakn semata karena untuk memperoleh keturunan melainkan lebih untuk memberikan
kedudukan hukum kepada anak yang dipungut agar lebih baik dan menguntungkan dari
semula. Misalnya mengangkat anak laki-laki dari selir (Lampung, Bali) dan mengangkat
anak tiri menjadi anak sendiri.

Perlu ditegaskan, bahwa nak yang diangkat itu pada umumnya mereka yang belum
kawin dan kebanyakan anak yang belum dewasa. Sedangkan yang mengangkat biasanya
orang yang sudah menikah serta yang berumur jauh lebih tua dari pada anak angkatnya,
sehingga anak tersebut memang pantas diangkat menjadi anaknya.

Mungkinkah adopsi dicabut atau digugurkan? Adopsi pada asasnya dapat digugurkan
atau dicabut dalam hal-hal yang dapat juga menjadi alasan untuk membuang anak kandung
sendiri dari lingkungan keluarga.
8

DAFTAR PUSTAKA

https://www.slideshare.net/FerriLee/hukum-adat-kekeluargaan
http://catatanwacana.blogspot.com/2012/02/hukum-kekeluargaan-dalam-hukum-adat.html

Anda mungkin juga menyukai