Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat tentunya ada persoalan-persoalan
yang timbul antar masyarakat. Permasalahan yang timbul dalam
masyarakatpun sangat beragam, diantaranya adalah permasalahan tindak
perdata atau tindak pidana. Maka dari itu hukum di Indonesia harus
memenuhi asas berkeadilan. Dimana apabila ada pelanggaran baik perdata
maupun pidana maka penegakan hukum harus didirikan. Selain itu pula
hukum di Indonesia memberikan ruang dalam masyarakat yang merasa
dirugikan dalam permasalah-permasalahan tersebut untuk dapat
mengajukan gugatan atau permohonan di pengadilan.
Gugatan atau permohonan merupakan sebuah pengajuan perkara di
pengadilan. Dalam Peradilan Agama gugatan atau permohonan diajukan
kepada Ketua Pengadilan Agama atau dilimpahkan kepada hakim.
Gugatan dan permohonan memiliki perbedaan. Perbedaan uatama gugatan
dan permohonan adalah, diamana gugatan memiliki perkara sengketa yang
harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan. Sedangkan permohonan
tidak adanya sengketa di dalamnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gugatan dan permohonan?
2. Bagaimana formulasi gugatan atau permohonan?
3. Bagaimana tata cara pengajuan gugatan atau permohonan?
4. Apa saja syarat kelengkapan gugatan atau permohonan?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui definisi gugatan dan permohonan.
2. Untuk mengetahu formulasi gugatan atau permohonan.
3. Untuk mengetahui tata cara pengajuan gugatan dan permohonan.
4. Untuk mengetahui syarat kelengkapan gugatan atau permohonan.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Gugatan dan Permohonan


Perkara yang diperiksa pengadilan dilingkungan pengadilan agama
ada dua macam, yaitu Permohonan (voluntair) dan Gugatan (contentieus).
Permohonan adalah mengenai suatu perkara yang tidak ada pihak-pihak
lain yang bersengketa. Sedangkan gugatan adalah suatu perkara yang
terdapat sengketa antara dua belah pihak.1
Dalam pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 sebagai pengganti
UU No. 14 Tahun 1970 tugas dan kewenangan badan peradilan dibidang
perdata ialah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan
sengketa diantara para pihak yang berperkara. Wewenang pengadilan
menyelesaikan perkara diantara pihak yang bersengketa disebut yurisdiksi
contentiosa dan gugatannya berbentuk gugatan contentiosa, juga memberi
kewenangan penyelesaian masalah atau perkara voluntair yaitu gugatan
permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai
tergugat.
Dalam perundang-undangan istilah yang digunakan adalah gugatan
perdata atau gugatan saja. Misalnya dalam pasal 118 ayat (1) HIR
mempergunakan istilah gugatan perdata, akan tetapi dalam pasal-pasal
selanjutnya disebut gugatan atau gugat saja dan juga dalam pasal 1 Rv
yang menyebutkan gugatan namun jika pasalnya dibaca keseluruhan yang
dimaksud dengan gugatan adalah gugatan perdata. Prof. Sudikno
Mertukusumo juga mempergunakan istilah gugatan berupa gugatan
perdata (burgerlijke vordering) tentang hak yang mengandung sengketa
dengan pihak lain. Begitu juga halnya dalam praktik peradilan selama
dipergunakan istilah gugatan, maka penyebutan ini dianggap langsung
membedakan dengan permohonan yang bersifat voluntair.

1
Abdullah Tri Wahyudi. Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2004).
hal 126

2
Ciri-ciri yang melekat pada gugatan (contentiosa), yaitu sebagai
berikut:
a) Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung
sengketa (disputes, differences).
b) Sengketa terjadi diantara para pihak, paling kurang atau
sedikitnya diantara dua pihak.
c) Gugatan contentiosa atau perdata bersifat partai, Dimana yang
mengajukan penyelesaian sengketa disebut penggugat sedangkan
yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian disebut dan
berkedudukan sebagai tergugat.2
Sedangkan ciri-ciri dari permohonan (voluntair), yaitu sebagai
berikut:
a) Masalah yang diajukan berisi kepentingan sepihak.
b) Permasalahan yang diselesaikan di pengadilan biasanya tidak
mengandung sengketa.
c) Tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang menjadi lawan.3
Bentuk gugatan atau permohonan yang dibenarkan undang-undang
dalam praktik terdiri dari dua bentuk, yaitu sebagai berikut:
1) Berbentuk Lisan
Bentuk gugatan atau permohonan lisan diatur dalam pasal 120
HIR (pasal 144 RBG) yang menegaskan: “Bilamana penggugat
atau pemohon buta huruf maka surat gugatanya dapat dimasukkan
dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang mencatat
gugatan itu atau menyuruh mencatatnya”.4 Ketentuan ini sangat
bermanfaat membantu masyarakat yang buta huruf yang tidak
mampu membuat dan memformulasi gugatan tertulis. Cara

2
H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2008).,hlm 28
3
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1992), hal. 41.
4
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar`iyah Di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 13.

3
pengajuan gugatan atau permohonan secara lisan, yaitu
diantaranya sebagai berikut:
a) Syarat Formilnya yaitu penggugat atau pemohon tidak
bisa membaca dan menulis (buta aksara).
b) Pengajuan gugatan atau permohonan dilakukan dengan
lisan, disampaikan sendiri oleh penggugat tidak boleh
diwakilkan.
c) Diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
d) Menjelaskan atau menerangkan isi dan maksud gugatan
atau permohonan.
2) Berbentuk Tertulis
Gugatan atau permohonan yang paling diutamakan ialah gugatan
dalam bentuk tertulis. Hal ini diatur dalam pasal 118 ayat (1) HIR
(pasal 142 RBG), menurut pasal ini gugatan atau permohonan
harus dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan yang
ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya. Dalam pengajuan
dan pembuatan gugatan yang berhak dan berwenang adalah
penggugat sendiri dan kuasa atau wakilnya. Sehingga jika yang
bertindak membuat dan menandatangani surat gugatan adalah
kuasa maka sebelum itu dilakukannya terlebih dahulu
mendapatkan kuasa yang dituangkan dalam bentuk surat kuasa
khusus dari penggugat atau pemohon.5

B. Formulasi Gugatan atau Permohonan


Dalam gugatan atau permohonan terdapat formulasi surat gugatan
atau surat permohonan, dimana yang dimaksud formulasi surat gugatan
atau permohonan yaitu perumusan surat gugatan yang dianggap memenuhi
syarat formil menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-

5
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cet. 12, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal. 48.

4
undangan yang berlaku. Hal-hal yang harus dirumuskan dalam surat
gugatan atau surat permohonan, yaitu sebagai berikut:
1) Ditujukan kepada PN sesuai dengan kompetensi relatif sesuai
dengan patokan kompetensi relatif yang diatur dalam pasal 118
HIR. Jika kompetensi relatifnya salah alamat atau tidak sesuai
maka gugatan atau permohonan tidak dapat diterima karena
hakim tidak berwenang mengadili atau dapat dianggap cacat
formil.
2) Diberi tanggal, hal ini guna menjamin kepastian hukum atas
pembuatan dan penandatanganan surat gugatan atau permohonan
sehingga apabila timbul masalah penandatanganan surat gugatan
berhadapan dengan tanggal penandatanganan surat kuasa segera
dapat diselesaikan.
3) Ditandatangani penggugat atau kuasa, dalam hal ini jika
penggugat atau pemohon tidak dapat menulis maka dapat
membubuhkan cap jempol diatas surat gugatan atau permohonan
sebagai pengganti tanda tangan.
4) Identitas para pihak, dalam hal penyebutan identitas dalam
gugatan sangatlah sederhana. Identitas yang wajib disebut yaitu
meliputi nama lengkap, alamat atau tempat tinggal dan
penyebutan identitas lainnya tidak imperatif.6
5) Fundamentum petendi, berati dasar gugatan atau dasar tuntutan
yang biasanya dalam bahasa Indonesia disebut dalil gugatan atau
permohonan. Fundamentum petendi merupakan landasan
penyelesaian perkara, dimana penggugat wajib untuk
membuktikan dalil gugatannya sesuai dengan yang digariskan
pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR, yang menegaskan
setiap orang yang mendalilkan sesuatu hak atau guna

6
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cet. 12, Op. Cit., hal. 51-56.

5
meneguhkan haknya maupun membantah hak orang lain
diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut.
6) Petitum gugatan, yaitu berisi permintaan kepada pengadilan untuk
dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak penggugat atau pemohon
(hukuman) kepada tergugat atau kepada kedua belah pihak.
Supaya gugatan sah dalam arti tidak mengandung cacat formil
maka harus mencantumkan petitum gugatan yang berisi pokok
tuntutan dengan deskripsi yang jelas.
7) Perumusan gugatan asesor (accesoir), yaitu gugatan tambahan
(additional claim) terhadap gugatan pokok. Tujuannya untuk
melengkapi gugatan pokok agar kepentingan penggugat lebih
terjamin meliputi segala hal yang dibenarkan hukum dan
perundang-undangan.7
Dalam suatu gugatan atau permohonan terdapat beberapa sebutan
terhadap pihak-pihak yang mengajukan gugatan atau permohonan, yaiu
diantaranya:
1) Penggugat dan Tergugat
Penggugat ialah orang yang menuntut hak perdatanya ke
muka Pengadilan Perdata. Penggugat mungkin sendiri dan
mungkin gabungan dari beberapa orang, sehingga muncullah
istilah Penggugat 1, Penggugat 2, dan seterusnya.
Lawan dari Penggugat disebut Tergugat atau gedadhe
(Belanda), al-mudda’a (Arab). Keadaan tergugat juga mungkin
sendiri atau mungkin gabungan dari beberapa orang atau
memakai kuasa, sehingga muncullah isttilah Tergugat 1, Tergugat
2, dan seterusnya.
2) Pemohon dan Termohon
Di samping peradilan dalam arti yang sesungguhnya
(jurisdictio contetiosa), ada kemungkinan seseorang memohon

7
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Prandnya Paramita, 1993), hal.
24.

6
kepada pengadilan untuk minta ditetapkan aatau mohon
ditegaskan sesuatu hak bagi dirinya atau tentang sesuatu situasi
hukum tertentu, baginya sama sekali tidak ada lawan (tidak
berperkara dengan orang lain). Orang yang memohon disebut
dengan istilah “pemohon” atau introductief request (Belanda),
atau al-mudda’y (Arab).
Termohon sebenarnya dalam arti asli bukanlah sebagai
pihak tetapi hanya perlu dihadirkan di depan sidang untuk di
dengar keterangnnya untuk kepentingan pemeriksaan, karena
termohon mempunyai hubungaban hukum langsung dengan
pemohon. Jadi dalam arti asli, termohon tidak imperaktif hadir di
depan sidang seperti halnya tergugat, artinya sekalipun termohon
tidak hadir , bilamana permohonan cukup beralasan (terbukti)
pemohonannya akan dikabulkan dan kalau tidak terbukti akan
ditolak.8
3) Kuasa Khusus dan Penasihat Hukum
Kuasa khusus selalu di kaitkan dengan perkara perdata
sedangkan penasehat hukum selalu dengan perkara pidana. Itu
berarti istilah penasehat hukum tidak akan ditemukan di muka
Pengadilan Agama yang perdata dan istilah Kuasa Khusus tidak
akan ditemukan di muka Pengadilan Agama Pidana.9
Pihak-pihhak dalam perkara perdata boleh memberikan
kuasa kepada orang lain dalam mengurus perkaranya. Yang
memberi kuasa disebut “Pemberi Kuasa” dan yang diberi kuasa
disebut “Pemegang Kuasa”. Pemberian Kuasa Khusus dapat
ditempuh dengan tiga cara, yaitu:
a) Diterapkan dalam surat gugat /surat permohonan atau
dalam jawaban gugatan / jawaban permohonan langsung.

8
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo,2015), hal. 57.
9
Lihat UU Nomor 1 tahun 1970, Pasal 3 . Juga lihat UU Nomor 8 tahun 1981, LN 1981-7 ,
tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 9.

7
b) Dengan cara membuat Surat Kuasa Khusus tersendiri,
dilakukan di muka pejabat yang berwenang, yang paling
tepat adalah di muka Kepaniteraan Pengadilan atau
Notaris.
c) Dengan dilakukan lansung secara lisan oleh penggugat
atau pemohon, tergugat atau termohon pemberi kuasa di
muka sidang.10

C. Kelengkapan Gugatan atau Permohonan


Sekalipun surat gugatan atau permohonan sudah dibuat tetapi
untuk mendaftarkan di Pengadilan Agama tentunya harus dilengkapi
dengan syarat-syarat lainnya. Syarat kelengkapan gugatan atau
permohonan, ada syarat kelengkapan umum dan kelengkapan khusus.
1) Syarat Kelengkapan Umum. Syarat kelengkapan Umum untuk
dapat diterima di daftarkannya suatu perkara di pengadilan adalah
sebagai berikut:
a) Surat gugatan atau permohonan tertulis, atau dalam hal buta
huruf, catatan gugat atau catatan permohonan.
b) Surat keterangan kependudukan/tempat tinggal/domisili bagi
penggugat atau pemohon.
c) Vorchot biaya perkara, kecuali bagi yang miskin dapat
membawa surat keterangan miskin dari lurah/kepala desa
yang disahkan sekurang-kurangnya oleh camat.

Menurut Prinsip Hukum Acara Perdata, apabila tiga hal di atas


sudah dipenuhi, pengadilan secara formal tidak boleh menolak untuk
menerima pendaftaran perkaranya, sebab syarat-syarat kelengkapan
selainnya, sudah merupakan syarat untuk pemeriksaan bahkan mungkin
untuk syarat pembuktian perkara.

10
Roihan A. Rasyid, Op. Cit., hal. 59.

8
2) Syarat Kelengkapan Khusus. Syarat kelengkapan khusus ini
tidaklah sama untuk semua kasus perkara, jadi tergantung kepada
macam atau sifat dari perkaranya. Contohnya sebagai berikut:
a) Bagi Anggota ABRI (Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia) dan kepolisian yang mau kawin atau mau bercerai
harus melampirkan surat izin komandan.
b) Perkara-perkara perkawinan harus melampirkan Kutipan Akta
Nikah, seperti perkaragugatan cerai, permohonan untuk
menceraikan istri dengan cerai talak, gugatan nafkah istri dan
sebagainya.
c) Mereka yang hendak bercerai harus melampirkan surat
keterangan untuk bercerai dari kelurahan/kepala desa masing-
masing, yang disebut model “Tra”.
d) Gugatan waris harus disertakan surat keterangan kematian
pewaris. Dan lain-lain sebagainya.

Khusus bagi Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permohonan


ke pengadilan untuk bercerai atau untuk kawin lebih dari seorang, yang
menurut PP Nomor 10 tahun 1983, harus melampirkan izin dari pejabat
yang berwenang (atasannya). Oleh Mahkamah Agung dengan Surat
Edaran Nomor 5 tahun 198 tanggal 17 April 198 , diberikan bahwa kepada
pemohon diberikan kesempatan untuk menyampaikan izin pejabat yang
berwenang tersebut dalam waktu (enam) bulan sejak perkara terdaftar di
pengadilan. Jika waktu itu lewat, pengadilan dapat memeriksa perkara
tersebut, terlepas daripada ada atau tidaknya izin dimaksudkan. Jadi jelas
sekali bahwa izin pejabat yang berwenang disini bukanlah syarat
kelengkapan umum untuk boleh atau tidaknya perkara didaftarkan di
pengadilan, melainkan sudah termasuk syarat kelengkapan material atau
syarat kelengkapan khusus.

Dari syarat kelengkapan khusus tersebut, jelas sekali kelihatan


bahwa apa yang tersebut diatas sebenarnya tidak lain sudah merupakan

9
syarat untuk pemeriksaan atau pembuktian perkara, sama sekali bukan
syarat untuk boleh atau tidaknya perkara diterima pendaftarannya di
pengadilan.11

D. Tata Cara Pengajuan Gugatan dan Pemohonan


1. Tahap Persiapan
Sebelum mengajukan permohonan atau gugatan ke pengadilan
perlu diperhatika hal-hal sebagai berikut:
a) Pihak yang berpekara : Setiap orang yang mempunyai kepentingan
dapat menjadi pihak dalam berpekara di pengadilan.
b) Kuasa : Pihak yang berpekara di pengadilan dapat menghadapi dan
menghadiri pemeriksaan persidangan sendiri atau mewakilkan
kepada orang lain untuk menghadiri persidangan di pengadilan.
c) Kewenangan Pengadilan : Kewenangan relative dan kewenangan
absolut harus diperhatikan sebelum me,buat permomohan atau
gugatan yang di ajukan ke pengadilan
2. Tahap pembuatan permohonan atau Gugatan
Permohonan atau gugatan pada prinsipnya secara tertulis (pasal 18
HIR) namun para pihak tidak bisa baca tulis (buta huruf) permohonan
atau gugatan dapat dilimpahkan kepada hakim untuk disusun
permohonan gugatan keudian dibacakan dan diterangkan maksud dan
isinya kepada pihak kemudian ditandatangani oleh ketua pengadilan
agama hakim yang ditunjuk berdasarkan pasal 120 HIR.12
3. Tahap pendaftaran permohonan atau gugatan
Setelah permohonan atau gugatan dibuat kemudian didaftarkan di
kepaniteraan pengadilan agam yang berwenang memeriksa dengan
membayar biaya panjar perkara. Dengan membayar biaya panjar
perkara maka penggugat atau pemohon mendapatkan nomor perkara
dan tinggal menunggu panggilan sidang.
11
Contoh syarat kelengkapann khusus bdi atas dikutip dari UU Nomor 1 tahun 1997, PP Nomor 9
tahun 1975, PP Nomor 10 tahun 1983, Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1975 dan lain-
lain.
12
Elfrida R. Gultom, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2017), hal. 15-16

10
Perkara yang telah terdaftar di pengadilan agama oleh panitera
diampaikan kepada ketua pengadilan agama untuk dapat menunjuk
majelis hakim yang memeriksa, memutus, dan mengadili perkara
dengan suatu penetapan ya g disebut penetapan majelis hokum (PMH)
yang terdiri satu orang hakim sebagai ketua majelis dan dua orang
hakim sebagai hakim anggota serta panitera siding. Apabila belum
ditetapkan panitera yang ditunjuk, majelis hakim dapat menunjuk
panitera sidang sendiri.13
4. Tahap Pemeriksaan Permohonan atau Gugatan
Pada hari sidang telah ditentukan apabila satu pihak atai kedua
belah pihak tidak hadir maka persidangan ditunda dan menetapkan hari
sidang berikutnya kepada yang hadir diperintahkan menghadiri sidang
berikutnya tanpa dipanggil dan yang tidak hadir dilakukan
pemanggilan sekali lagi. Dalam praktek pemanggilan pihak yang tidak
hadir dilakukan maksimal tiga kali apabila:
a) Penggugat tidak hadir maka gugatan gugur. Tergugat tidak hadir
maka pemeriksaan dilanjutkan dengan putusan verstek atau
putusan tanpa hadirnya pihak tergugat.
b) Apabial terdapat beberapa tergugat yang hadir ada yang tidak
hadir, pemeriksaan tetap dilakukan dan kepada yang tidak hadir
dianggap tidak menggunakan haknya untuk membela diri.
c) Penggugta dan tergugat hadir, maka Pemeriksaan dilanjutkan
sesuai dengan hukum yang berlaku.14
Berikut adalah proses dan tata cara pemeriksaan permohonan dan
gugatan:
1) Proses Pemeriksaan Permohonan
a. Jalannya Proses Pemeriksaan secara Ex-Parte
Karena yang terlibat dalam permohonan hanya sepihak,
yaitu pemohon sendiri, proses pemeriksaan permohonan

13
H. A. Mukti Arto, Op. Cit., hal. 60.
14
Elfrida R. Gultom, Op. Cit., hal. 16-17.

11
hanya secara sepihak atau bersifat ex-parte, sedangkan yang
hadir dalam pemeriksaan persidangan hanya pemohon atau
kuasanya. Tidak ada pihak lawan atau tergugat dalam
pemeriksaan sidang benar-benar hadir untuk kepentingan
pemohon. Oleh karena itu, yang terlibat dalam penyelesaian
permasalahan hukum, hanya sepihak yaitu pemohon.
Proses ex-parte pada prinsipnya bersifat sederhana:
a) Hanya mendengar keterangan pemohon atau
kuasanya sehubungan permohonan,
b) Memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan
pemohonan, dan
c) Tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan.
b. Yang Diperiksa di Sidang hanya Keterangan dan Bukti
Pemohonan
Di dalam proses yang bersifat ex-parte, hanya keterangan
dan bukti-bukti pemohon yang diperiksa pengadilan.
Pemeriksaan tidak berlangsung secara contradictoir.
Maksudnya, dalam proses pemeriksaan, tidak ada bantahan
pihak lain.
c. Tidak Dipermasalahkan Penegakan Seluruh Asas Persidangan
Pada proses pemeriksaan yang bersifat ex-parte, asas
pemeriksaan persidangan tidak ditegakkan seluruhnya. Namun
tidak pula sepenuhnya disingkirkan. Yang Tetap Ditegakkan,
yaitu Asas kebebasan peradilan (judicial independence), tidak
boleh dipengaruhi siapapu, tidak boleh ada direktiva dari pihak
mana pun, asas fair trial (peradilan yang adil), tidak bersifat
sewenang-wenang (arbitrary), pemeriksaan sesuai dengan asas
due process of law (sesuai dengan ketentuan hukum acara yang
berlaku), memberi kesempatan yang layak (to give an
appropriate opportunity) kepada pemohon untuk membela dan
mempertahankan kepentingannya.

12
Sedangkan Yang Tidak Perlu Ditegakkan, yaitu Asas audi
alteram partem Dalam proses ex-parte tidak mungkin
ditegakkab asas mendengar jawaban atau bantahan pihak
lawan, karena memang tidak ada pihak tergugat, asas memberi
kesempatan yang sama, demikian juga halnya asas pemberian
kesempatan yang sama kepada para pihak, tidak mungkin
ditegakkan, karena pihaknya terdiri atas pemohon saja.15
2) Tata Cara Pemeriksaan Gugat Kontenstiosa
a. Sistem Pemeriksaan secara Contradictoir
Mengenai sistem pemeriksaan dituangkan dalam Pasal 125
dan Psal 127 HIR. Menurut ketentuan yang dimaksud, sistem
dan proses pemeriksaan ialah dihadiri Kedua Belah Pihak
secara In Person atau Kuasa dan proses Pemeriksaan
Berlangsung secara Op Tegenspraak.
b. Asas Pemeriksaan
Ada beberapa prinsip yang harus ditegakkan dan diterapkan
dalam proses pemeriksaan kontradiktoir, antara lain sebagai
berikut:
a) Mempertahankan tata hukum perdata (bugerlijke
rechtsorde), maksudnya untuk mencapai kebenaran dan
keadilan (to enforce the truth and justice) berdasarkan
undang-undang, hakim bertugas mempertahankan tata
hukum perdata sesuai dengan kasus yang disengketakan.
b) Menyerahkan Sepenuhya Kewajiban Mengemukakan
Fakta dan Kebenaran Kepada Para Pihak, dimana dalam
mencari dan menemukan kebenaran, baik kebenaran
formil maupun kebenaran materiil, hakim terikat pada
batasan-batasan yaitu diantaranya menyerahkan
sepenuhnya kepada kemampuan dan daya ipaya para ihak

15
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cet. 12, Op. Cit., hal. 38-39.

13
yang berperkara untuk membuktikan kebenaran masing-
masing, inisiatif untuk mengajukan fakta dn kebenaran
berdasarkan pembuktian alat bukti yang dibenarkan
undang-undang, sepenuhnya berada di tangan para pihak
yang berperkara dan sehubungan dengan itu, pihak-pihak
yang berperkara mempunyai pilihan dan kebebasan
menentukan sikap, apakah dalil gugatan atau dalil
bantahan akan dilawan atau tidak.
c) Tugas Hakim Menemukan Kebenaran Formil, yaitu
maksudnya setelah hakim dalam persidangan menampung
dan menerima segala sesuatu kebenaran tersebut, dia harus
menetapkan kebenaran itu.
d) Persidangan Terbuka Untuk Umum, yaitu Sistem
pemeriksaan yang dianut HIR dan RBG adalah proses
acara pemeriksaan secara lisan atau mondelinge
procedure. Tidak menganut beracara secara tertulis
sebagaimana yang dulu diatur dalam Rv
(Rechtsvordering).Sistem pemeriksaan secara lisan, sangat
erat kaitannya dengan prinsip terbuka untuk umum.
Tujuan utama prinsip ini, untuk menjaga tegaknya
peradilan fair atau fair trial, yaitu peradilan yang bersih
dan jujur.
e) Audi Alteram Partem, dimana dalam pemeriksaan
persidangan harus mendengar kedua belah pihak secara
seimbang dan pengadilan atau majelis yang memimpin
pemeriksaan persidangan, wajib memberi kesempatan
yang sama untuk mengajukan pembelaan kepentingan
masing-masing,
f) Asas Impersialitas, maksudnya idak memihak (impartial),
bersikap jujur dan adil (fair and just) serta tidak bersikap
diskriminatif, tetap menempatkan dan mendudukkan para

14
pihak yang berperkara dalam keadaan setara di depan
hukum (equal before the law).
g) Pengecualian Terhadap Acara Pemeriksaan Contradictoir,
yaitu menurut ketentuan Pasal 125 dan Pasal 127 HIR,
pemeriksaan yang sah secara formil, apabila dihadiri
kedua belah pihak. Selanjutnya proses pemeriksaan harus
tunduk dan menaati asas-asas pemeriksaan terbuka untuk
umum, audi alteram partem dan imparsialitas. Akan
tetapi, dalam hal tertentu diperbolehkan melakukan
pemeriksaan secara ex-parte. Pemeriksaan hanya
dilakukan terhadap pihak yang hadir saja dengan jalan
mengabaikan kepentingan yang tidak hadir. Jadi dalam hal
dan dengan alasan tertentu, prinsi pemeriksaan
contradictoir, dapat dikesampingkan dalam proses verstek
dan salah satu pihak tidak hadir pada hari sidang kedua
atau didang selanjutnya tanpa alasan yang sah.16

16
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Edisi Kedua Cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017),
hal. 72-80.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Permohonan adalah mengenai suatu perkara yang tidak ada pihak-
pihak lain yang bersengketa. Sedangkan gugatan adalah suatu perkara
yang terdapat sengketa antara dua belah pihak
Formulasi surat gugatan atau permohonan yaitu perumusan surat
gugatan yang dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal-hal yang harus
dirumuskan dalam surat gugatan atau surat permohonan, yaitu ditujukan
kepada PN sesuai dengan kompetensi relatif sesuai dengan patokan
kompetensi relatif yang diatur dalam pasal 118 HIR, diberi tanggal,
ditandatangani penggugat atau kuasa, identitas para pihak, fundamentum
petendi, petitum gugatan dan perumusan gugatan asesor (accesoir).
Surat gugatan atau permohonan sudah dibuat tetapi untuk
mendaftarkan di Pengadilan Agama tentunya harus dilengkapi dengan
syarat-syarat lainnya. Syarat kelengkapan gugatan atau permohonan, ada
syarat kelengkapan umum dan kelengkapan khusus.
Ada beberapa cara tata pengajuan gugatan atau permohonan, yaitu
diantaranya tahap persiapan, tahap pembuatan permohonan atau gugatan,
tahap pendaftaran dan tahan pemeriksaan gugatan atau permohonan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung :


Citra Aditya Bakti, 1992.
Gultom, Elfrida R. Hukum Acara Perdata, Jakarta: Mitra Wacana Media,
2017.
H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata Edisi Kedua Cet. 1, Jakarta:
Sinar Grafika, 2017.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cet.
12, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Fauzan, M. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Syar`iyah Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: Prandnya
Paramita, 1993.
Wahyudi, Abdullah Tri. Pengadilan Agama di Indonesia. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2004.
UU Nomor 1 tahun 1997, PP Nomor 9 tahun 1975, PP Nomor 10 tahun
1983, Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1975 dan lain-lain.

17

Anda mungkin juga menyukai