NPM : 110110170353
Mata Kuliah : Ilmu Perundang-Undangan (E)
Dosen : Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D.
Abdurrachman Satrio, S.H.
5
Ibid., hlm. 19.
6
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cetakan 1, Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 49.
Apabila suatu norma hukum itu dilihat dari segi alamat yang dituju (addressat),
atau untuk siapa norma hukum itu ditujukan atau diperuntukkan, dapat dibedakan
antara norma hukum umum dan norma hukum individual, yang dalam
penyebutannya biasa disebut dengan subjek norma.
Norma Hukum Umum
Adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk orang banyak
(addressatnya) umum dan tidak tertentu. ‘Umum’ di sini dapat berarti bahwa
suatu peraturan itu ditujukan untuk semua orang, atau semua warga Negara.
Norma hukum umum sering dirumuskan dengan rumusan ‘barangsiapa’,
‘setiap orang’, ‘setiap warga negara’.7
Norma Hukum Individual
Adalah norma hukum yang ditujukan atau dialamatkan (addressatnya) pada
seseorang, beberapa orang atau banyak orang yang telah tertentu, sehingga
norma hukum yang individual ini biasanya dirumuskan dengan kalimat
sebagai berikut:
- Barito Nasution bin Hendra Nasution yang bertempat tinggal di Jalan Ir.
Soekarno No. 28 Jakarta Pusat…. dst
- Para penonton bioskop Cinemax Jati Asih tanggal 7 September 2019….
Dst
Dengan contoh tersebut terlihat bahwa dalam norma hukum individual itu
ditujukan untuk orang-orang tertentu, jadi berbeda dengan addressat dari
norma hukum umum.8
b. Berdasarkan Hal Yang Diatur
Suatu norma hukum apabila dilihat dari hal yang di atur atau
perbuatannya/tingkah lakunya, dapat dibedakan antara norma hukum yang abstrak
dan norma hukum yang konkret.
Norma Hukum Abstrak
Adalah suatu norma hukum yang melihat pada perbuatan seseorang yang tidak
ada batasnya dalam arti idak konkret. Norma hukum abstrak ini merumuskan
7
Maria Farida Indrati S., Op.Cit., hlm. 26.
8
Ibid., hlm. 27.
suatu perbuatan itu secara abstrak, misalnya disebutkan dengan kata
‘mencuri’, ‘membunuh’, ‘menebang pohon’, dan lain sebagainya.9
Norma Hukum Konkret
Adalah suatu norma hukum yang melihat perbuatan seseorang itu secara lebih
nyata (konkret). Perumusan norma hukum konkret biasanya dirumuskan
dengan kalimat sebagai berikut:
- ….mencuri mobil sedan berwarna hitam merk Honda yang diparkir di
depan Indomaret…. dst
- ….membunuh Nirmala dengan sebuah pisau dapur….. dst
- ….menebang pohon mahoni di pinggir Jalan Riau….. dst
Dari sifat-sifat norma hukum yang umumm-individual dan norma hukum abstrak-
konkret, terdapat empat paduan kombinasi dari norma-norma tersebut, yaitu:10
12
Ibid.
- Hendaknya engkau tidak menganiaya orang lain
Norma hukum sekunder
Adalah norma hukum yang berisi tata cara penanggulangannya apabila
norma hukum primer itu tidak dipenuhi atau tidak dipatuhi. Norma
hukum sekunder ini memberikan pedoman bagi para penegak hukum
untuk bertindak apabila suatu norma hukum primer itu tidak dipatuhi,
dan norma hukum sekunder ini mengandung sanksi bagi seseorang
yang tidak memenuhi suatu ketentuan dalam norma hukum primer.
Norma hukum sekunder ini merupakan ‘das Sollen’ juga yang
biasanya dirumuskan dengan kalimat sebagai berikut:
- …..hendaknya engkau yang mencuri dihukum.
- …..hendaknya engkau yang membunuh dihukum paling lama 15
tahun penjara..
- …..hendaknya engkau yang menganiaya orang lain dihukum
paling lama 10 tahun penjara.13
Di dalam suatu peraturan perundang-undangan, perumusan norma
hukum primer dan norma hukum sekunder seringkali dirumuskan dalam suatu
ketentuan (norma) secara berhimpitan, sehingga seseorang mengalami
kesulitan untuk membedakan antara norma hukum primer dan norma hukum
sekunder.
Perumusan norma hukum primer dan norma hukum sekunder yang
berhimpitan ini biasanya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan
dengan kalimat sebagai berikut:
a) Barangsiapa mencuri dihukum.
b) Barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain dihukum paling lama 15
tahun penjara.
13
Ibid., hlm. 32.
- Norma hukum primernya adalah: ‘hendaknya seseorang tidak
mencuri’.
- Norma hukum sekundernya adalah: ‘hendaknya seseorang yang
mencuru dihukum’.
b) Barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain dihukum penjara paling
lama 15 tahun.
- Norma hukum primernya adalah: ‘hendaknya seseorang tidak
menghilangkan nyawa orang lain’.
- Norma hukum sekundernya adalah: ‘hendaknya seseorang yang
menghilangkan nyawa orang lain dihukum paling lama 15 tahun
penjara’.14
3. Jelaskan perbedaan dan persamaan antara Hans Kelsen dengan Hans Nawiasky
berkenaan dengan hierarki norma!
Jawab:
a. Hierarki Norma Hukum Hans Kelsen (Stufentheorie)
Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsenmengemukakan
teori mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie). Hans Kelsen berpendapat
bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku,
bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi
berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan
bersifat hipotetis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm).
Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma
tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma
Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang
merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu
Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed.
14
Ibid.
Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang
muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma
hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz).
Menurut Adolf Merkl, suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan
berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi sumber dan
menjadi dasar bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu
mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya
suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya.
Apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, pada dasarnya
norma-norma hukum yang berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula.
Berdasarkan teori Adolf Merkl tersebut maka dalam teori jenjang normanya
Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu bersumber
dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga
menjadi sumber dan dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya.
Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (Norma
Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma bawahnya, sehingga apabila
Norma Dasar itu berubah akan menjadi rusak lah sistem norma yang berada di
bawahnya.15
b. Hierarki Norma Hukum Negara Hans Nawiasky (die Theorie von Stufenordnung der
Rechtsnormen)
Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen, mengembangkan teori
gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu Negara. Hans
Nawiasky dalam bukunya yang berjudul ‘Allgemeine Rechtslehre’ mengemukakan
bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen, maka suatu norma hukum dari Negara mana
pun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawahberlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi
berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada
suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar.
15
Ibid., hlm. 42.
Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu Negara itu juga berkelompok-kelompok,
dan pengelompokan norma hukum dalam suatu Negara itu terdiri atas empat
kelompok besar, yaitu:
1) Kelompok I: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
Norma hukum yang tertinggi dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki
norma hukum Negara adalah Staatsfundamentalnorm. Istilah
Staatsfundamentalnorm ini diterjemahkan oleh Notonagoro dalam pidatonya
pada Dies Natalis Universitas Airlangga yang pertama (10 November 1955)
dengan Pokok Kaidah Fundamentil Negara. Kemudian Joeniarto dalam
bukunya yang berjudul ‘Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia’
menyebutnya dengan istilah Norma Pertama, sedangkan Hamid S. Attamimi
menyebutkan istilah ‘Staatsfundamentalnorm’ ini dengan Norma Fundamental
Negara.
Norma fundamental yang merupakan norma tertinggi dalam suatu Negara ini
merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi,
tetapi bersifat ‘pre-supposed’ atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat
dalam suatu Negara dan merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya
norma-norma hukum di bawahnya. Norma yang tertinggi ini tidak dibentuk oleh
norma yang lebih tinggi lagi maka ia bukan merupakan norma yang tertinggi.
Menurut Hans Nawiasky, isi Staatsfundamentalnorm ialah norma yang
merupakan bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu
Negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya.16
2) Kelompok II: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara)
Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz) merupakan
kelompok norma hukum di bawah Norma Fundamental Negara. Norma-norma
dari Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara ini merupakan aturan-aturan
yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan yang masih bersifat
umum yang masih bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma hukum
tunggal.
16
Ibid., hlm. 46.
Menurut Hans Nawiasky, suatu Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara dapat
dituangkan di dalam suatu dokumen Negara yang disebut Staatsverfassung, atau
dapat juga dituangkan dalam beberapa dokumen Negara yang tersebar-sebar yang
disebut dengan istilah Staatsgrundgesetz.
Di Indonesia, Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara ini tertuang dalam
Batang Tubuh UUD 1945 dan Ketetapan MPR, serta di dalam Hukum Dasar
tidak tertulis yang sering disebutkan dengan Konvensi Ketatanegaraan. Aturan
Dasar Negara/Aturan Pokok Negara ini merupakan landasan bagi pembentukan
Undang-Undang (formell Gesetz) dan peraturan lain yang lebih rendah.17
3) Kelompok III: Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’)
Kelompok norma-norma hukum yang berada di bawah Aturan Dasar
Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgerundgesetz) adalah formell Gesetz atau
secara harfiah diterjemahkan dengan Undang-Undang (‘formal’). Berbeda
dengan kelompok-kelompok norma di atasnya, norma-norma dalam suatu
undang-undang sudah merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci,
serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma-norma hukum
dalam Undang-Undang ini tidak hanya norma hukum yang bersifat tunggal,
tetapi norma-norma hukum ini dapat merupakan norma hukum yang
berpasangan, sehingga terdapat norma hukum sekunder di samping norma hukum
primernya. Dengan demikian, dalam suatu Undang-Undang sudah dapat
dicantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana maupun
sanksi pemaksa. Selain itu, Undang-Undang ini berbeda dengan peraturan-
peraturan lainnya karena ia merupakan norma hukum yang selalu dibentuk oleh
suatu lembaga legislatif.18
4) Kelompok IV: Verordnung & Autonome (Aturan Pelaksana & Aturan Otonom)
Kelompok norma hukum yang terakhir adalah peraturan pelaksanaan
(Verordung) dan peraturan otonom (Autonome Satzung). Peraturan Pelaksanaan
dan peraturan otonom ini merupakan peraturan-peraturan yang terletak di bawah
undang-undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam
17
Ibid., hlm. 49.
18
Ibid, hlm. 52
undang-undang. Peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi
sedangkan Peraturan Otonom bersumber dari kewenangan atribusi.19
Kelompok-kelompok norma hukum tersebut hampir selalu ada dalam tata
susunan norma hukum setiap Negara walaupun mempunyai istilah yang berbeda-
beda atau pun adanya jumlah norma hukum yang berbeda dalam tiap kelompoknya.
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat adanya persamaan dan perbedaan antara teori
jenjang norma (Stufentheorie) dari Hans Kelsen dan teori jenjang norma hukum (die
Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen) dari Hans Nawiasky.
PERSAMAAN
Persamaan dari dua teori yang dikemukakan oleh para ahli hukum tersebut
adalah keduanya menyebutkan bahwa norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-
lapis, dalam arti suatu norma itu berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang
di atasnya, norma yang di atasnya berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang
di atasnya lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi dan
tidak dapat ditelusuri lagi sumber dan asalnya, tetapi bersifat ‘pre-supposed’ dan
‘axiomatis’.20
PERBEDAAN
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New York, 1945.
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cetakan ke-1,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,
Cetakan Ke-16, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2018.
21
Ibid., hlm.47-48.