Anda di halaman 1dari 8

PRAPERADILAN, KONEKSITAS, DAN

KASUS PRAPERADILAN, KONEKSITAS

HUKUM ACARA PIDANA

Disusun Oleh:
Imelda Zahrotunnisa (1111210009)

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA


SERANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis disini
merasa sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Praperadilan, Koneksitas, dan Kasus Praperadilan, Koneksitas” tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana. Selain
itu, tulisan ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang Praperadilan, Koneksitas, dan
Kasus Praperadilan, Koneksitas bagi pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Dr. Muhyi Mohas, S.H., M.H. selaku
dosen pengampu mata kuliah Hukum Acara Pidana. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini tentu jauh
dari kesempurnaan, masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala kritik dan saran
dari pembaca guna memperbaiki karya-karya dilain waktu.

Serang, 14 November 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ..............................................................................................................................3
1. Praperadilan ....................................................................................................................4
a) Pengertian ................................................................................................................4
b) Tugas .......................................................................................................................4
2. Koneksitas (Pasal 89-94 KUHAP) ................................................................................. 4
a). Penggabungan Gugatan ..........................................................................................5
3. Kasus .............................................................................................................................. 5
a). Kasus Praperadilan .................................................................................................5
b). Kasus Koneksitas ...................................................................................................6
Sumber ................................................................................................................................7
1. Praperadilan

a) Pengertian

Praperadilan merupakan lembaga baru dalam hukum acara pidana


Indonesia, walaupun dapat dipandang sebagai tiruan lembaga hakim komisaris
(recter commissaris). Belanda dan juga O’instruction di Perancis, namun tugas
praperadilan di Indonesia berbeda dengan hakim komisaris di Eropa. Tugas
hakim komisaris di Belanda lebih luas dari pada praperadilan di Indonesia.
Menurut Umar Seno Adji bahwa hakim komisaris di Belanda muncul sebagai
perwujudan hakim yang mempunyai posisi penting yaitu mempunyai
kewenangan untuk menangani upaya paksa, penahanan, penyitaan,
penggeledahan badan, rumah dan pemeriksaan surat-surat. Menurut KUHAP
di Indonesia bahwa praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas itu.
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan
memutuskan. Menurut cara yang diatur dalam undang-undang yaitu :
 Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka/keluarganya/pihak lain atas kuasa tersangka.
 Sah tidaknya penghentian penyidikan/penuntutan atas permintaan demi
tegaknya hukum dan keadilan.
 Permintaan ganti kerugian/rehabilitas oleh tersangka/keluarganya/
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

b) Tugas

Tugasnya terbatas yaitu terdapat dalam pasal 77 & 78 KUHAP


sedangkan, dalam pasal 79,80,81 KUHAP lebih terinci lagi tugas dari pada
praperadilan. Dalam penjelasan UU hanya pasal 80 yang diberi komentar yaitu
bahwa pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan dan
kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.
Dalam pasal 78 KUHAP mengatakan bahwa praperadilan dipimpin
oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu
oleh seorang panitera.

2. Koneksitas (Pasal 89-94 KUHAP)

Koneksitas terjadi jika suatu kasus pidana ada penyertaan (deelneming) dan
salah seorang dari mereka tunduk kepada peradilan militer (hukum yang berbeda),
dalam ini perlu kecenderungan kepentingan apakah kerugiannya lebih banyak ke
Militer, maka diperiksa di Peradilan Militer.
Intinya adalah :
a. Tindak pidana yang dilakukan oleh 2 orang atau lebih dan salah satunya tunduk
kepada peradilan militer.
b. Dan apabila kasusnya diperiksa di peradilan :
o Peradilan sipil , maka kompisasi hakimnya adalah (pasal 94 ayat 2 KUHAP)
- Ketua Majelis adalah sipil
- Anggotanya adalah sipil dan militer.
o Peradilan Militer, maka komposisi hakimnya adalah (pasal 94 ayat 3 KUHAP)
- Ketua Majelis adalah militer
- Anggotanya adalah militer dan sipil diberikan pangkat militer yang sederajat
dengan hakim anggota dari militer agar tidak minder.

a). Penggabungan Gugatan

Jika ada suatu tindak pidana maka tidak tertutup kemungkinan tindak pidana itu
menimbulkan akibat baik bagi korban maupun bagi pelaku, maka hal ini dapat dimintakan
ganti kerugian, prosesnya adalah sebagai berikut :
i. Lewat jalur perdata,
ii. Lewat jalur pidana dengan penggabungan permohonan ganti rugi dengan
perkaranya itu sendiri.
iii. Keuntungan lewat jalur pidana bahwa gugatan perdata tersebut diputuskan
berbarengan dengan putusan perkara pidana, beda dengan yang melalui jalur
perdata yang prosesnya memerlukan waktu yang lama. Kerugiannya yaitu kita
tidak bisa menuntut kerugian materiil, hanya yang riil saja.
iv. Gugatan penggabungan harus dianjurkan paling lama sebelum Penuntut
Umum membacakan requisitoir, bila tidak maka ditolak dan ditempuh jalur
perdata saja.
v. Apabila terdakwanya dibebaskan maka ganti kerugiannya gugur. Namum ada
kalanya gugatan penggabungan itu ditolak walaupun tindak pidana tidak
terbukti. Apabila kasus pidananya tidak dibanding, maka ganti kerugiannya
juga tidak bisa dibanding, jadi sangat tergantung pada perkara pidananya yang
pokok.

3. Kasus

a). Kasus Praperadilan

Kasus Polisi Budi Gunawan yang mana adalah calon tunggal sebagai Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Pencalonan Budi Gunawan sebagai
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) memancing kritik dari
Komisi Pemberantasan Korupsi atau yang lebih kita kenal dengan nama KPK.
Munculnya kritikan tersebut dikarenakan adanya dugaan keterkaitan Budi
Gunawan dengan beberapa kasus korupsi di Indonesia. yang akhirnya pada sekitar
bulan januari 2015, KPK memutuskan untuk menjadikan Budi Gunawan sebagai
Tersangka atas Kasus Korupsi yang dilakukannya saat masih menjabat sebagai
Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-
2006 dan beberapa jabatan lainnya di Lembaga Kepolisian. Akan tetapi, Budi
Gunawan tidak tinggal diam dengan hal tersebut, pada tanggal 19 Januari 2015 Budi
Gunawan melakukan perlawanan melalui kuasa hukumnya dengan mendaftarkan
gugatan praperadilannya hingga akhirnya gugatan tersebut diterima oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan dan status tersangka Budi Gunawan menjadi batal.
b). Kasus Koneksitas

Kasus dugaan suap dalam proyek pengadaan satelit pemantau di Badan


Keamanan Laut (Bakamla) senilai Rp 200 miliar. Dari lima orang yang ditangkap saat
OTT, empat orang langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Mereka adalah
Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerja Sama Eko Susilo Hadi dan Direktur
Utama PT Melati Technofo Indonesia, Fahmi Darmawansyah, serta dua pegawainya,
Hardy Stefanus dan Muhammad Adami. Adapun Danang Radityo, yang diduga
sebagai anggota TNI, akhirnya dilepas dan KPK hanya bisa berkoordinasi dengan
Pusat Polisi Militer (POM) TNI (Tempo.co, 16 Desember 2016).

Pelepasan pihak yang diduga sebagai oknum TNI memunculkan pertanyaan:


benarkah KPK tidak dapat menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI
aktif? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
(UU Peradilan Militer)-meski masih dapat diperdebatkan-setiap tindak pidana yang
dilakukan oleh anggota TNI akan tunduk pada peradilan militer dan proses hukumnya
ditangani oleh polisi militer (POM) atau oditur militer.

Namun jika kasus korupsi tersebut dilakukan bersama orang sipil, seperti yang
terjadi di Bakamla, KPK seharusnya masih berwenang, meski terbatas dan tidak
langsung. Kewenangan terbatas KPK dalam menangani kasus korupsi yang
melibatkan anggota TNI tercantum dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketentuan ini menyebutkan "KPK
berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang
tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum".

Untuk penanganan kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI bersama


kalangan sipil, KPK dan POM TNI dapat menangani perkara ini secara bersama-sama
melalui peradilan koneksitas. Peradilan koneksitas menangani kasus pidana yang
dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada kekuasaan peradilan umum
dan militer. Proses penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh tim yang terdiri atas
jaksa, polisi militer, dan oditur militer. Adapun proses pemeriksaan di pengadilan
dilakukan oleh lima hakim yang berasal dari unsur hakim peradilan umum dan
peradilan militer.

Peradilan koneksitas untuk kasus korupsi pada dasarnya bukanlah sesuatu


yang baru di Indonesia. Kejaksaan sudah memulai langkah ini pada 2002 dengan
membentuk tim koneksitas dari unsur Kejaksaan dan TNI untuk penanganan kasus
korupsi technical assistance contract antara Pertamina dan Ustraindo Petrogas. Kasus
ini melibatkan Ginandjar Kartasasmita, mantan menteri pada era Soeharto yang juga
tercatat sebagai anggota TNI, serta sejumlah pejabat di Pertamina. Contoh lainnya,
pada 2006, pernah dibentuk Tim Koneksitas dalam penanganan kasus pengadaan
helikopter MI-17, yang diduga merugikan negara sebesar US$ 3 juta.

Sejak berdiri pada 2003 hingga saat ini, KPK belum pernah sekali pun
menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI, meski ada sejumlah laporan
korupsi pengadaan kebutuhan militer yang masuk. Lembaga ini juga belum pernah
membentuk tim koneksitas bersama pihak TNI untuk menangani perkara korupsi yang
melibatkan pelaku dari unsur sipil dan militer.
Terdapat sejumlah keuntungan jika suatu kasus korupsi yang melibatkan
anggota TNI dan kalangan sipil ditangani secara terkait. Pertama, lebih memudahkan
koordinasi dan percepatan penuntasan kasus korupsi. Sebab, jika proses penyidikan
dan penuntutan dilakukan oleh tim koneksitas, tidak akan muncul istilah "bolak-balik"
perkara antara penyidik dan penuntut. Kedua, proses penanganan perkara korupsi
yang ditangani oleh penegak hukum, khususnya KPK, bisa lebih transparan dan
akuntabel daripada yang selama ini ditangani sendiri oleh TNI.

Namun, sekali lagi, proses peradilan koneksitas dalam perkara korupsi akan
sangat bergantung pada komitmen bersama dari masing-masing pemimpin KPK,
Panglima TNI, dan Ketua Mahkamah Agung. Penanganan kasus suap proyek
Bakamla seharusnya menjadi momentum bagi KPK dan TNI untuk membentuk tim
koneksitas untuk pertama kalinya.

Semoga ke depan KPK lebih berani melakukan terobosan penting dengan


membentuk tim koneksitas antikorupsi dan menyelesaikan kasus korupsi di tubuh
militer. KPK dan TNI seharusnya bahu-membahu dalam memberantas korupsi di
Indonesia, termasuk yang melibatkan oknum militer di dalamnya.

Sumber

Hkm304.ddp.esaunggul.ac.id. (2015, 09 April). Praperadilan dan Koneksitas,


http://hkm304.ddp.esaunggul.ac.id/wp-content/uploads/sites/464/2015/09/4.-
Praperadilan-dan-Koneksitas.pp

Anda mungkin juga menyukai