Anda di halaman 1dari 19

“PERKARA KONEKSITAS”

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana
Dosen Pengampu : Dani Amran Hakim,SH.,M.H.

Disusun Oleh:

Kelompok 3

Arita Suri Utami 1921020289


Devi Lestari 1921020303
Febri Pratama 1921020327
Indra Kurniawan 1921020344
Irfan Handika 1921020346
Juwita Yanti 1921020353

PROGRAM STUDI SIYASAH SYARI’AH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN RADEN INTAN LAMPUNG
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wata’ala yang dengan segala kasih
sayang dan menyeru hamba-Nya mengikuti petunjuk yang benar, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini tentang “Perkara Koneksitas”. Shalawat dan
salam atas Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, Rasul Allah yang telah
mencucurkan keringat jihad sebanyak-banyaknya dalam mendakwahkan
kebenaran dan mengamalkan kebajikan.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari rekan satu kelompok saya, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan satu
kelompok saya yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Makalah
ini kami susun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum Acara Pidana
pada semester V tahun akademik 2021/2022.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini memberikan manfaat


maupun inspirasi terhadap pembaca.

Wasalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bandar Lampung, 27 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................i

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1  Latar Belakang Masalah......................................................................1
1.2  Rumusan Masalah...............................................................................2
1.3  Tujuan Penulisan.................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................3
2.1 Pengertian Perkara Koneksitas…………..……………………………….3

2.2 Penyidikan Perkara Koneksitas…………...……………………… ….3


2.3 Penahanan Perkara Koneksitas............................................................5

2.4 Penuntutan Perkara Koneksitas………………………………………10

2.5 Praperadilan Perkara Koneksitas……………………………………..10

2.6 Peradilan Perkara Koneksitas………………………………………....12

BAB III PENUTUP...........................................................................................13


3.1 Kesimpulan..........................................................................................13
3.2 Saran....................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada penerapan peradilan koneksitas, yang menjadi pokok masalah adalah


kewenangan mengadili antara pengadilan umum dan pengadilan militer dimana
kita ketahui bahwa pada peradilan umum yang menjadi penyidik adalah seorang
anggota polisi dan pada peradilan militer adalah seorang polisi militer, dimana
antara kedua lembaga ini telah dipisahkan fungsinya melalui ketetapan MPR RI
Nomor VI /MPR/2000 Tentang pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia1 serta Ketetapan MPR RI Nomor
VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia, maka mulai tanggal 1 juli 2000, POLRI dan TNI dinyatakan
sebagai suatu keseimbangan yang terpisah dengan kedudukan yang setara.

Dari pemisahan kewenangan antara polisi dan Militer dalam hal ini polisi
Militer seringkali terjadi konflik dalam hal melakukan kewenangan melakukan
suatu penyidikan jika terjadi suatu perkara tindak pidana yang melibatkan antara
seorang penduduk sipil yang dilakukan bersama sama oleh seorang militer yang
dalam perkembangannya disebut sebagai perkara koneksitas, tidak hanya konflik
terhadap siapa yang berhak melakukan penyidikan tetapi juga akan timbul konflik
pengadilan mana yang akan Mengadili, artinya dalam perkara koneksitas ada dua
pengadilan yang dapat mengadili yaitu peradilan umum bagi orang sipil dan
peradilan militer bagi mereka yang anggota militer. Bagi orang sipil tunduk
sepenuhnya pada Kitab Undang –undang Hukum Acara Pidana( KUHAP ),
sedangkan bagi anggota militer tunduk sepenuhnya pada hukum acara yang diatur
dalam undang – undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer.2

Pada tindak pidana umum mengenal juga yang namanya penyertaan dimana
melibatkan beberapa orang dalam melakukan suatu tindak pidana, tidak sering
melibatkan orang umum yang bekerja sama dengan seorang Militer, dimana
masyarakat umum tunduk pada peradilan umum dan militer yang tunduk pada
peradilan militer maka dari itu diperlukannya peradilan koneksitas untuk dapat
menyelesaikan hal tersebut, namun didalam prakteknya dalam hal penentuan

1
Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 Tentang pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2
Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.

1
kewenangan mengadili sering terjadi suatu kebingungan dalam hal pengadilan
mana yang akan mengadili antara pengadilan militer dan pengadilan umum pada
kasus koneksitas tersebut, sehingga didalam suatu sistem peradilan koneksitas
seringkali membingungkan seseorang bahkan para penengak hukum untuk
menyelesaikan perkara kasus koneksitas tersebut yang melibatkan antara
masyarakat sipil dan militer.Dalam hal kasus koneksitas sering sekali terjadi hal –
hal yang menurut oang lain keliru tapi menurut pendapat sendiri itubenar karena
pemahaman tentang tata cara penyelesaian kasus koneksitas yang diatur dalam
undang – undang itu berbeda – beda sehingga menimbulkansuatu perdebatan
dikalangan masyarakat dan para penegak hukum tentang bagaimana cara
penyidikan perkara koneksitas, penahanan Koneksitas, penuntutan perkara
koneksitas, Praperadilan perkara koneksitas dan peradilan Perkara koneksitas.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian perkara koneksitas?
2. Bagaimana penyidikan perkara koneksitas?
3. Bagaimana penahanan perkara koneksitas?
4. Bagaimana penuntutan perkara koneksitas?
5. Bagaimana praperadilan perkara koneksitas?
6. Bagaimana peradilan koneksitas ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian perkara koneksitas
2. Untuk mengetahui penyidikan perkara koneksitas
3. Untuk mengetahui penahanan perkara koneksitas
4. Untuk mengetahui penuntutan perkara koneksitas
5. Untuk mengetahui praperadilan perkara koneksitas
6. Untuk mengetahui peradilan koneksitas

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perkara Koneksitas

Tindak pidana koneksitas dapat diartikan sebagai tindak pidana yang


dilakukan orang/masyarakat sipil bersama-sama anggota militer, dimana
orang/masyarakat sipil tersebut seharusnya yang berwenang mengadilinya adalah
peradilan umum, sedangkan anggota militer diadili oleh peradilan militer. Bagi
militer diadakan peradilan khusus dengan memperhatikan faktor khusus yang
terdapat dalam bidang kemiliteran. Hal ini berkaitan dengan kerahasiaan negara
dalam dunia militer yang harus dijaga sebab berkaitan dengan keamanan negara
itu sendiri.

Koneksitas berasal dari bahasa latin “Connexio” yang memiliki arti suatu perkara
pidana dilakukan bersama-sama oleh warga sipil dan anggota militer yang
diperiksa oleh peradilan umum kecuali apabila kerugian yang ditimbulkan oleh
tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer, maka diadili oleh
peradilan militer. Acara pemeriksaan koneksitas atau peradilan koneksitas
merupakan mekanisme yang diterapkan terhadap tindak pidana dimana terdapat
penyertaan baik turut serta (deelneming) atau secara bersama-sama (made
dader) yang melibatkan pelaku orang sipil dan pelaku orang yang berstatus
sebagai militer.

2.2 Penyidikan Perkara Koneksitas

Perkara koneksitas adalah tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh


mereka yang termasuk juridiksi peradilan umum dan peradilan militer.
Penyelidikannya dilakukan oleh suatu tim tetap. Untuk menetapkan apakah
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau peradilan militer yang

3
mengadili perkasa koneksitas ini, maka diadakanlah penelitian oleh jaksa tinggi
dan oditur militer tinggi atas dasar hasil penyidikan. Adapun yang menjadi faktor
penentu dalam penelitian bersama itu adalah titik berat yang ditimbulkan oleh
tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum atau kepentingan militer
dan jika perlu dipertimbangkan faktor-faktor tambahan, yaitu sifat tindak pidana,
peranan dan jumlah pelaku pada masing-masing pihak. Menurut Pasal 92
KUHAP, apabila perkara diajukan ke pengadilan negeri, maka berita acara
pemeriksaan yang dibuat oleh tim penyidik dibubuhi cacatan oleh penuntut umum
yang mengajukan perkara bahwa berita acara tersebut diambil alih olehnya, begitu
sebaliknya. Adapun mengenai persidangan perkara koneksitas menurut Pasal
94KUHAP dilaksanakan sebagai berikut :

- Dalam hal perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam


lingkungan Peradilan Umum, majelis hakim terdiri dari ketua dan hakim
anggota terdiri dari gabungan peradilan umum dan peradilan militer secara
berimbang.

- Dalam hal perkara pidana tersebut di adili oleh pengadilan dalam


lingkungan peradilan Militer, maka susunan majelis hakim terdiri dari
hakim ketua dan hakim anggota secara berimbang diberi pangkat Militer
Tituler.

- Ketentuan mengenai susunan majelis hakim tersebut berlaku juga bagi


pemeriksaan tingkat banding.

Perlu ditekankan, pemeriksaan perkara koneksitas ini pada hakikatnya


merupakan suatu pengecualian atau penyimpangan dari ketentuan, bahwa
seseorang seharusnya dihadapkan ke depan pengadilannya masing-masing.
Namun dalam hal ini kepentingan dari yustisiabel tetap mendapat
perhatian sepenuhnya, sebab susunan majelis hakim yang bersidang terdiri

4
dari gabungan antara hakim peradilan umum dan peradilan militer.
Akhirnya dapat dikemukakan bahwa koneksitas yang diatur dalam pasal
89 sampai pasal 94 KUHAP ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 22
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UU 14 Tahun 1970).3

2.3 Penahanan Perkara Koneksitas

Sebenarnya, banyak peraturan yang mengatur terkait dengan penanganan


perkara tindak pidana koneksitas yang salah satunya diatur dalam UU No. 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan KUHAP.

Khusus di dalam KUHAP, penanganan terkait perkara tindak pidana koneksitas


diatur dalam Pasal 89, 90, 91, 92, 93 serta 94 yang diuraikan dibawah ini :

Pasal 89 :

1. Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk


Iingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam Iingkungan peradilan umum kecuali jika menurut
keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri
Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer;4

2. Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan


oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 dan polisi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer
atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing
menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana;

3
Abdul Manan, 2005: 313
4
Yusnita Mawarni, Penetapan Tersangka pada Peradilan Koneksitas dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Lentera Hukum, Volume 5 Issue 2, 2018.

5
3. Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan
bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.

Pasal 90 :

Untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau


pengadilan dalam Iingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diadakan penelitian
bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi
atas dasar hasil penyidikan tim tersebut pada Pasal 89 ayat (2);

Pendapat dan penelitian bersama tersebut dituangkan dalam. berita acara yang
ditandatangani oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);

Jika dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang


pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut, maka hal itu dilaporkan
oleh jaksa atau jaksa tinggi kepada Jaksa Agung dan oleh oditur militer atau
oditur militer tinggi kepada Oditur Jenideral Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia.

1. Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) titik
berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada
kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, maka perwira penyerah perkara segera
membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui oditur
militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut umum, untuk dijadikan dasar
mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang;

2. Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak
pidana tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu
harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat
sebagaimaña dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur
Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk mengusulkan kepada
Menteri Pertahan dan Keamanan, agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman

6
dikeluarkan keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menetapkan,
bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer;

3. Surat keputusan tersebut pada ayat (2) dijadikan dasar bagi perwira penyerah
perkara dan jaksa atau jaksa tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut kepada
mahkamah militer atau mahkamah militer tinggi.

Pasal 92 :

1. Apabila perkara diajukan kepada pengadilan negeri sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 91 ayat (1), maka berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh tim
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dibubuhi catatan oleh penuntut
umum yang mengajukan perkara, bahwa berita acara tersebut telah diambil alih
olehnya;5

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi oditur
militer atau oditur militer tinggi apabila perkara tersebut akan diajukan kepada
pengadilan dalam Iingkungan peradilan militer.

Pasal 93 :

1. Apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1)


terdapat perbedaan pendapat antara penuntut umum dan oditur militer atau oditur
militer tinggi, mereka masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu
secara tertulis, dengan disertai berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa
tinggi, kepada Jaksa Agung dan kepada Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia.

2. Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia


bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan
pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

5
Ibid

7
3. Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pendapat Jaksa Agung yang
menentukan.

Pasal 94 :

1. Dalam hal perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1)
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau lingkungan
peradilan militer, yang mengadili perkara tersebut adalah majelis hakim yang
terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang hakim

2. Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili


perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), majelis hakim
terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota
masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara
berimbang.

3. Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili


perkara pidana tersebut pada Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim
ketua dari Iingkungan peradilan militer dan hakim anggota secara berimbang dari
masing-masing lingkungan peradilan militer dan dari peradilan umum yang diberi
pangkat militer tituler.

4. Ketentuan tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pengadilan
tingkat banding.6

5. Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan secara timbal balik
mengusulkan pengangkatan hakim anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), ayat (3) dan ayat (4) dan hakim perwira sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) dan ayat (4).Dalam pasal-pasal tersebut diatur bahwa tindak pidana yang
dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum
dan lingkungan peradilan militer diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan
umum kecuali menurut Keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan

6
Ibid

8
(Menhankam) dengan persetujuan Menteri Kehakiman (Menkumham) perkara itu
harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan militer. Selanjutnya penyidikan
perkara pidana tersebut dilakukan oleh suatu tim tetap yang dibentuk dengan surat
keputusan bersama Menhankam dan Menkeh yang terdiri dari penyidik peradilan
umum, polisi militer dan oditur militer (Otmil) atau oditur militer tinggi (Otmilti)
sesuai dengan wewenang mereka dan hukum yang berlaku untuk penyidikan
perkara pidana. Pasal 90 mengenai penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi
dan Otmil atau Otmilti atas hasil penyidikan tim tersebut. Kemudian pada Pasal
91 diatur mengenai wewenang mengadili menurut titik berat kerugian yang
ditimbulkan, yaitu apabila titik berat kerugiannya terletak pada kepentingan sipil
maka diperiksa dalam lingkup peradilan umum sedangkan apabila titik berat
kerugiannya terletak pada kepentingan militer maka diperiksa dalam lingkup
peradilan militer. Adapun aturan-aturan dalam KUHAP pada prinsipnya sama
dengan aturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer tepatnya pada pasal 198, 199, 200, 201, 202 dan 203.7

Adapun terkait dengan pembentukan tim tetap koneksitas sebagaimana yang


diatur di dalam Pasal 89 ayat (3) KUHAP dan Pasal 198 ayat (3) UU Peradilan
Militer terdapat aturan pelaksananya yaitu surat keputusan Menhankam dan
Menkeh Nomor K.10/M/XII/1993 dan Nomor : M.57.PR.09.03/1983 tentang
Pembentukan Tim Tetap. Pada Pasal 4 ayat (3) surat keputusan bersama tersebut
menyebutkan bahwa ketua tim tetap bertugas mengkoordinasikan dan melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan penyidikan oleh Tim Tetap yang bersangkutan
agar dapat berjalan lancar, terarah, berdaya guna dan berhasil guna.20 Pasal 7
SKB Menhankam dan Menkeh Nomor K.10/M/XII/1993 dan Nomor :
M.57.PR.09.03/1983 menyebutkan bahwa dalam hal perkara koneksitas
merupakan tindak pidana tertentu yang diatur dalam undang-undang tertentu
dengan ketentuan khusus acara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284
ayat (2) KUHAP. Unsur kejaksaan atau pejabat penyidik lainnya yang berwenang
berdasarkan peraturan perundang-undangan diikutsertakan sebagai tim tetap.

7
Ibid

9
Surat keputusan bersama yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 89 ayat (3)
KUHAP dan Pasal 198 ayat (3) UU Peradilan Militer, sedang pada ayat (2) dari
masing-masing pasal tersebut di atas, ditentukan bahwa Tim Tetap tersebut
melakukan penyidikan sesuai dengan wewenang masing-masing menurut hukum
yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana. Apabila suatu perkara koneksitas
diperiksa melalui mekanisme koneksitas maka aparat penyidik koneksitas terdiri
dari tim tetap yang terdiri atas penyidik kejaksaan, polri, polisi militer dan oditur.
Yang mana cara bekerjanya disesuaikan dengan penggarisan dan batas-batas
wewenang dan apabila dilakukan pemeriksaan secara terpisah (splitsing) maka
perkara dikembalikan ke penyidik yang berwenang menurut hukum acara yang
sesuai dengan peradilannya masing-masing. Dalam hal suatu perkara tidak
dilakukan splitsing, maka penyidikan koneksitas akan berlanjut pada penuntutan
dan pemeriksaan persidangan sesuai dengan peraturan mekanisme koneksitas
yang ada di dalam peraturan perundang-undangan.

2.4 Penuntutan Perkara Koneksitas

Pasal 1 angka 7 KUHAP disebutkan bahwa penuntutan adalah tindakan


penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di pengadilan.
Jaksa/jaksa tinggi dan Otmil/Otmilti mengadakan penelitian bersama yang
hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pendapat Bersama (BAP) atas hasil
penyidikan tim tetap untuk menetapkan pengadilan mana yang akan
memeriksa/mengadili perkara tindak pidana koneksitas.8 Dalam penelitian
bersama tersebut dapat terjadi persesuaian pendapat maupun perbedan pendapat
terkait pengadilan mana yang berwenang dan mengadili.

8
Nasional, supra note 2., hlm. 19.

10
2.5 Praperadilan Perkara Koneksitas

Praperadilan dalam perkara tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh


mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan peradilan militer
sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 KUHAP didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi masing-masing peradilan (PP No.27/1983
Pasal 16).

Pasal 89 ayat 1:

Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk


Iingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam Iingkungan peradilan umum kecuali jika menurut
keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri
Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.

Apabila materi perumusan dalam pasal 89 ayat 1 KUHAP dibaca secara cermat,
maka dapat didapat bahwa yang berwenang memeriksa dan memutuskan perkara
praperadilan koneksitas adalah Pengadilan Negeri. Hal tersebut akan nampak jelas
apabila dihubungkan dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 82 ayat 2 huruf c
KHAP yang menentukan bahwa untuk proses pemeriksaan praperadilan berlaku
acara cepat dan paling lambat 7 hari hakim praperadlan harus sudah menjatuhkan
putusan.

Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka pemeriksaan praperadilan perkara


koneksitas lebh tepat kalau diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri
sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 butir 10 dan diatur dalam BAB X bagian

11
kesatu pasal 77 s/d 83 KUHAP. Sebab jika perkara praperadilan koneksitas
diperiksa oleh pengadilan militer sudah jelas prsedurnya tidak sesederhana seperti
yang diatur dan dimaksud oleh KUHAP (vide pasal 90 s/d 94 KUHAP).

2.6 Peradilan Koneksitas

Kejahatan yang terjadi dalam masyarakat tidak menutup kemungkinan


dilakukan oleh oknum militer atau prajurit TNI bersama-sama dengan orang sipil
yang secara yuridis formal harus diadili dalam satu lingkup peradilan umum
(Pengadilan Negeri) atau dalam lingkup peradilan militer (Pengadilan Militer).
Inilah yang disebut Acara Pemeriksaan Koneksitas yang selengkapnya
dirumuskan dalam bagian Kelima, pasal 198 sampai dengan Pasal 203 UU No. 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer atau ada juga pakar hukum menyebutkan
dengan Peradilan Koneksitas atau Koneksitas yang selengkapnya dirumuskan
dalam BAB XI Pasal 89 sampai dengan pasal 94 UU No. 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP. Acara Pemeriksaan Koneksitas atau peradilan Koneksitas atau
Koneksitas adalah suatu sistem peradilan yang diterapkan atas suatu tindak pidana
dimana diantara tersangka atau terdakwanya terjadi penyertaan (turut serta,
deelneming) atau secara bersama-sama (mede dader) antara orang sipil dengan
orang yang berstatus militer (prajurit TNI).

Menurut Prof Andi Hamzah yang dimaksud dengan peradilan Koneksitas adalah
sistem peradilan Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua,
Sinar Grafika, Jakarta, 2015. Hal. 2149 Leden Marpaung, Proses Penanganan
Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan). Bagian pertama, Edisi Kedua. Sinar
Grafika, Jakarta 2014. Hal. 151.10 HM Rasyid Ariman, Fahmi Raghib, Hukum
Pidana. Setara Press, Malang, Tahun 2015. Hal. 117-118. Masalah penyertaan
(deelneming) ini di dalam pelajaran hukum pidana pada dasarnya berkaitan
dengan masalah pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana yang telah

12
dilakukan. Berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pidana tentu saja akan
berhubungan pula siapa-siapa menjadi pelaku dan siapa-siapa yang menjadi
pembantu di dalam melakukan tindak pidana. Untuk menentukan para pelaku dan
pembantu ini diakui dan dikatakan pula oleh Tresna “bukan merupakan pekerjaan
yang mudah”, baik dilihat dari lapangan teoritis maupun dalam praktik penegakan
hukum pidana.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tindak pidana koneksitas dapat diartikan sebagai tindak pidana yang


dilakukan orang/masyarakat sipil bersama-sama anggota militer, dimana
orang/masyarakat sipil tersebut seharusnya yang berwenang mengadilinya adalah
peradilan umum, sedangkan anggota militer diadili oleh peradilan militer.
Sebenarnya, banyak peraturan yang mengatur terkait dengan penanganan perkara
tindak pidana koneksitas yang salah satunya diatur dalam UU No. 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer dan KUHAP. khusus di dalam KUHAP, penanganan
terkait perkara tindak pidana koneksitas diatur dalam Pasal 89, 90, 91, 92, 93 serta
94.

Pasal 1 angka 7 KUHAP disebutkan bahwa penuntutan adalah tindakan penuntut


umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di pengadilan.

Praperadilan dalam perkara tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh


mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan peradilan militer
sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 KUHAP didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi masing-masing peradilan (PP No.27/1983
Pasal 16).

Dalam bagian Kelima, pasal 198 sampai dengan Pasal 203 UU No. 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer atau ada juga pakar hukum menyebutkan dengan
Peradilan Koneksitas atau Koneksitas yang selengkapnya dirumuskan dalam BAB
XI Pasal 89 sampai dengan pasal 94 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Acara Pemeriksaan Koneksitas atau peradilan Koneksitas atau Koneksitas adalah

13
suatu sistem peradilan yang diterapkan atas suatu tindak pidana dimana diantara
tersangka atau terdakwanya terjadi penyertaan (turut serta, deelneming) atau
secara bersama-sama (mede dader) antara orang sipil dengan orang yang berstatus
militer (prajurit TNI).

3.2 Saran

Dari penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak


kekurangan, baik dari segi penulisan maupun isi dari makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 Tentang pemisahan Tentara Nasional


Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia


dan Kepolisian Negara Republik Indonesia

Yusnita Mawarni, Penetapan Tersangka pada Peradilan Koneksitas dalam


Perkara Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Lentera Hukum, Volume 5 Issue 2, 2018.

Abdul Manan, 2005: 313

Nasional, supra note 2., hlm. 19.

15

Anda mungkin juga menyukai