Anda di halaman 1dari 26

JURNAL PENELITIAN

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PRESPEKTIF HUKUM


ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

OLEH :
(KELOMPOK 4)

YASSER ARAFAT (10400120052)


ANDI NURFATIMAH (10400120050)
NUR ALIA PRICILIA (10400120063)

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2022
PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAK
ASASI MANUSIA DI INDONESIA
Yasser Arafat, Andi Nurfatimah, Nur Alia Pricilia
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar

Abstrak
Kehadiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan tidak dapat
memberikan perlindungan hukum secara utuh dalam setiap fenomena perkawinan, khususnya
dalam perkawinan beda agama di Indonesia. Suatu ikatan pernikahan disahkan berdasarkan
hukum agama, namun Hak Asasi Manusia sebagai hak istimewa yang menegaskan kebebasan
melangsungkan perkawinan dan memeluk agama sebagai hak dasar yang tidak dapat
diintervensi oleh siapapun. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaturan
perkaiwnan beda agama di Indonesia dan menjelaskan konsekuensi logis perkawinan beda
agama ditinjau dari persepektif hak asasi manusia. Penelitian iini didesain menggunakan
penelitian hukum normatif, dengan studi kepustakaan dari bahan hukum primer dan
sekunder. Hasil penelitan menunjukkan bahwa undang-undang perkawinan belum
memberikan kepastian bagi pasangan yang melangsungkan perkawinan beda agama, masih
terdapat kekaburan norma mengenai perkawinan beda agama dan konflik norma mengenai
sahnya perkawinan dengan kebebasan memeluk agama, selanjutnya Perkawinan beda agama
dinilai diskriminatif, karena agama merupakan hak dasar yang telah dilindungi Undang-
Undang dan tidak ada yang diperbolehkan mencampurinya, maka fenomena tersebut
menimbulkan konsekuensi bagi salah satu pihak dengan menundukan diri mengikuti agama
pasangannya. Dari hal tersebut pemerintah diharapkan melakukan pengamatan mengenai
efektivitas aturan perkawinan di Indonesia serta melakukan harmonisasi agar tidak terjadi
kosong, kabur atau konflik norma dalam hal perkawinan.
Kata Kunci: Perkawinan; Perkawinan Beda Agama; Hukum Islam; Hak Asasi Manusia

I. PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan negara hukum dengan sistem hukum bersifat
majemuk, hal tersebut ditunjukan melalui corak khas yakni gabungan antara sistem
hukum adat, sistem hukum agama, dan sistem hukum barat.1 Adanya sifat tersebut
otomatis akan berpengaruh terhadap hukum positif yang dianut, salah satunya adalah
sistem hukum perkawinan yang berlaku sampai dengan saat ini.

1
Taufik, M. (2013). Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan. Rineka Cipta.
Manusia merupakan subyek hukum yang tergolong sebagai makhluk
multidimensional, memiliki akal pikiran dan kemampuan berinteraksi secara personal
maupun sosial. Hal tersebut yang membuat manusia selalu membutuhkan orang lain
dalam proses kehidupannya untuk bersama-sama berkolaborasi menjalankan fungsi
sosial. Kelompok sosial terkecil dari masyarakat adalah individu dalam sebuah
keluarga, semua berawal dari rumah dalam artian keluarga kecil, untuk itu manusia
memiliki hak untuk menentukan kebahagiaan dan bebas menentukan pilihan termasuk
dalam hal pasangan hidup yang kelak akan hidup bersama dalam sebuah keluarga.
Lahirnya sebuah keluarga kecil diawali dengan adanya sebuah peristiwa hukum yang
disebut sebagai perkawinan, maka ikatan perkawinan dinilai sebagai lembaga yang
menentukan kedudukan seseorang dihadapan mata hukum, karena peristiwa yang
tergolong ke dalam peristiwa hukum akan menimbulkan akibat hukum berupa hak
dan kewajiban.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui
bahwa perkawinan merupakan perbuatan hukum yang dilindungi Undang-Undang
sebagai hak asasi yang dimiliki oleh setiap warga negara, hal tersebut temuat tegas
dalam Pasal 28B ayat(1). Aturan dasar tersebut diperkuat dengan keberadaan Undang
Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan yang hadir sebagai jawaban
dalam memenuhi kebutuhan terhadap kepastian hukum tentang perkawinan di
Indonesia. Kehadiran Undang-Undang Perkawinan (UUP) ternyata tidak secara utuh
menjelaskan berbagai fenomena perkawinan yang terjadi di Indonesia, seperti halnya
perkawinan yang dilakukan oleh pasangan dengan agama yang berbeda. Hanya saja
pada Pasal 2 ayat (1) UUP menyatakan sahnya perkawinan, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Fenomena inilah
yang banyak timbul polemik serta pandangan pro dan kontra.
Aspek lain yang tidak dapat dikesampingkan adanya hak asasi manusia yang
telah diakui dunia, Indonesia sendiri memberikan payung hukum bagi hak istimewa
tersebut melalui Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam
aturan tersebut Pasal 22 menjelaskan bahwa setiap orang memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Realisasi
perkawinan beda agama menjadi sebuah kacamata paradok dalam usulan hak
memeluk agama dalam perkawinan.
Pada sisi yang berlainan, pasangan yang menganut agama berlainan akan
bermasalah untuk menyatukannya menjadi perkawinan secara sah, sehingga salah satu
pihak perlu penundukan diri kepada agama pasangannya.2 Pada sisi sebaliknya,
negara telah menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk bebas menentukan
pilihan termasuk dalam hal memeluk agama. Adanya penolakan terhadap perkawinan
beda agama termasuk perilaku diskriminatif, karena telah keluar dari prinsip HAM itu
sendiri.Peneletian terdahulu mengungkapkan bahwa Hak asasi Manusia yang ada di
Indonesia, bukanlah Hak Asasi Manusia yang sekuler, yang memisahkan agama dari
Negara, yang melegalkan segala cara atas nama “HAM”, ini jelas bertentangan
dengan Pancasila sila pertama, dan ini tidak masuk dalam jati diri bangsa Indonesia.3
Pernikahan beda agam pada dasarnya dilarang, akan tetapi terdapat
pengecualian apabila pasangan laki-laki adalah seorang mukmin dan pasangan
perempuan adalah ahli, pada pasangan semacam inilah para ulama’ berbeda pendapat
dalam menghukumi. Kaidah ushul fiqh “ idza ijtama’a baina al halal wal haram
ghulibaal haram” bisa dijadikan solusi dalam pengambilan hukum sebagai bentuk
ihtiyaat atau kehati hatian dalam pelaksanaan syariah Islam. 4 Perjanjian perkawinan
merupakan persetujuan perjanjian secara tertulis yang dibuat oleh pasangan calon
suami istri dilakukan pada waktu atau sebelum pekawinan dilangsungkan yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan,maka isi perjanjian perkawinan tersebut
mengikat para kedua belah pihak (calon suami istri) dan juga pihak ketiga sepanjang
pihak ketiga tersebut tersangkut.5 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia dan menjelaskan konsekuensi logis
perkawianan beda agama ditinjau dari perspektif hak asasi manusia.

II. RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana Hukum Islam Memandang Pernikahan beda agama ?
2. Bagaimana HAM memandang pernikahan beda agama ?
3. Bagaimana pengaturan pernikahan beda agama di Indonesia ?

III. MANFAAT PENLITIAN


2
Yonesta, F., Isnur, M., Hidayat, N., Febrian, S. H., Sihite, I. L., & Biky, A. (2012). Agama, Negara
dan Hak Asasi Manusia. In Journal of Chemical Information and Modeling (Vol. 53, Issue 9). LBH
Jakarta.
3
Daeng, Y., & Ariga, F. (2017). Larangan Pernikahan Beda Agama Ditinjau dari Perspektif Hak
Asasi Manusia. Journal Equitable 87, 2(2), 70–87.
4
Dardiri, A. H., & Tweedo, M. (2013). Pernikahan Beda Agama Ditinjau Dari Perspektif Islam dan
Ham. Khazanah, 6(1), 99–117.
5
Kambey, E. E. (2017). Analisis tentang Perjanjian Perkawinan Ditinjau dari Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Lex Privatum, 5(9), 1–14.
1. Untuk mengetahui secara mendalam bagaimana hukum Islam memandang
pernikahan beda agama.
2. Untuk mengkaji dan mengetahui bagaimana pandangan HAM mengenai
pernikahan beda agama.
3. Untuk memahami dan menganalisis pengaturan aturan perkawinan di
Indonesia.

IV. TUJUAN PENELITIAN


Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan
khususnya penulis dan pembaca, serta dapat memberikan pandangan konkrit terhadap
fenomena yang terjadi khususnya mengenai pernikahan beda agama.
Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat bagi peneliti sebagai
tambahan ilmu pengetahuan yang pada akhirnya dapat digunakan oleh peneliti ketika
sudah hidup berumah tangga pada khususnya dan bermasyarakat pada umumnya, bagi
masyarakat sebagai masukan dalam menyelesaikan masalah bagi keluarga yang
mempunyai permasalahan serupa dengan penelitian ini, bagi lembaga sebagai
masukan yang konstruktif dan merupakan dokumen yang bisa dijadikan sumber
Pustaka.

V. TINJAUAN TEORITIS
Masyarakat dikagetkan dengan vonis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang
disebut pertama kalinya dalam sejarah mengizinkan nikah beda agama. Kasus itu bermula
ketika pemohon RA dan EDS mengajukan gugatan ke PN Surabaya. Pemohon mendaftarkan
perkara nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby pada Rabu, 13 April 2022.
Permohonan pernikahan beda agama ke PN Surabaya itu mereka ajukan 13
April 2022 lalu. Kemudian, permohonan mereka dikabulkan oleh hakim tunggal
Imam Supriyadi pada 26 April 2022. Dengan Nomor penetapan 916/Pdt.P/2022/PN
Sby. Hakim pun memerintahkan agar Dispendukcapil mencatatkan pernikahan RA
dan EDS. Sebagaimana putusan pengadilan, perintah ini harus dilakukan dan tak bisa
ditolak. Humas PN Surabaya, Suparno, mengatakan ada beberapa pertimbangan yang
diambil oleh hakim tunggal Imam Supriyadi, dalam menangani perkara ini. Pertama,
pernikahan atau perkawinan berbeda agama tidaklah merupakan larangan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
"Bahwasanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
tidak mengatur mengenai perkawinan beda agama. Oleh karena itu dipertimbangkan
untuk mengabulkan permohonannya untuk mengisi kekosongan aturan-aturan UU
Perkawinan". Pertimbangan selanjutnya ialah Pasal 35 huruf a Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, maka terkait dengan
masalah perkawinan beda agama adalah menjadi wewenang pengadilan negeri untuk
memeriksa dan memutusnya. "Kemudian mengacu juga pada UU Adminduk yang
sudah ada, pasal 35 a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang diperbaiki dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013. Dengan demikian, penetapan ini pada
pokoknya adalah mengizinkan untuk mencatatkan perkawinan beda agama di
Dispendukcapil Surabaya,"
Perbedaan agama dalam perkawinan dapat menimbulkan tekanan psikososial
berupa konflik kejiwaan, yang pada gilirannya mengakibatkan disfungsi perkawinan
itu sendiri. Jika terjadi konflik perbedaan agama yang tidak dapat diselesaikan, suami
atau istri kemungkinan tidak akan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan
konsisten, tetapi malahan memiliki pola hidup sekunder. Pola hidup sekunder akan
menimbulkan konflik baru yang lebih sulit diatasi, dan dapat menjerumuskan konflik
keluarga, dan konflik internal.6
Larangan nikah beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam didasarkan pada
alasan yang kuat, dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan,
Bab 1 pasal 2 ayat (1): “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Ini menjadi dasar perkawinan
bagi warga negara Indonesia (termasuk umat Islam di Indonesia) ini merupakan
ketentuan hukum negara yang berlaku umum, mengikat, dan meniadakan perbedaan
pendapat.
Kompilasi hukum islam melarang pernikahan beda agama, Majelis Ulama
Indonesia telah mengeluarkan fatwa pada tanggal 1 Juni 1980 sebagai tanggapan atas
bertambahnya kasus pernikahan beda agama di tengah masyarakat..
Persoalan perkawinan beda agama bukan hanya soal perbedaan agama itu
sendiri, tetapi menjadi sebuah kontroversi dan tanggung jawab Negara dalam
melindungi dan menjamin hak-hak warganya. Menurut perspektif HAM, setiap
pembuatan undang-undang harus mempertimbangkan terlebih dahulu kewajiban

6
H.M. Anshary MK 2010, Hukum Perkawinan di Indonesia Masalah-Masalah Krusial, Pustaka
Pelajar, Jakarta, halaman 55.
Negara untuk mempromosikan (to promote), melindungi (to protect), dan memenuhi
(to fulfil) hak-hak mendasar warga Negara.

VI. METODE PENELITIAN


Tipe penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif, yaitu penelitian
terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum dan penelitian
terhadap sinkronisasi hukum, sumber data yang digunakan adalah bahan hukum
primer meliputi Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Bahan Hukum Sekunder meliputi literatur, artikel, hasil-hasil penelitian.
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara memeriksa, mengumpulkan dan
menelusuri dokumen kepustakaan dengan pencatatan yang kemudian dijadikan bahan
sebagai analisis permasalahan agar dapat menarik simpulan sebagai bentuk
interpretasi atas objek secara konsisten hingga memberikan saran sesuai
permasalahan. Selanjutnya setelah data penelitian terkumpul dianalisis dengan
menggunakan analisis deskriptif . Penelitian Literatur Review peniliti lakukan untuk
mendapatkan landasan teori yang bisa mendukung pemecahan masalah yang sedang
diteliti. Landasan yang peneliti analisis merupakan langkah awal suapaya peneliti
dapat lebih memahami permasalahan yang sedang diteliti dengan benar sesuai dengan
kerangka berpikir ilmiah.7

7
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A (2019). Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.
PEMBAHASAN
A. Pernikahan Beda Agama dalam Pandangan Islam
Islam memandang bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan
sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan
dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-
ketentuan hukum yang harus diindahkan. Hukum islam adalah peraturan yang
dirumuskan dengan merujuk kepada wahyu Allah (Alquran) dan sunnah Rasul tentang
tingkah laku maukallaf yang diakui dan diyakini serta mengikat bagi semua pemeluk
islam. Islam sangat memperhatikan masalah keluarga, karena keluarga merupakan
unit terkecil dalam masyarakat manusia yang ditempatkan sebagai golongan pertama.
Manusia sebagai makhluk hidup secara esensial memiliki kelebihan dari
makhluk lain, sehingga manusia sebagai subjek hukum agam dimana perkawinan
merupakan sunnahtullah menjadi sangat penting. Dengan demikian manusia telah
menempatkan dirinya pada proporsi yang dikehendaki oleh Allah.8
Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah membuat keputusan yang
menyebutkan bahwa Perkawinan Beda Agama merupakan pernikahan antar agama,
yaitu pernikahan antara orang muslim/muslimah dengan non muslim/muslimah atau
dengan orang-orang musyrik dan ahli kitab.9 Perkawinan beda agama adalah
perkawinan antara orang yang berlainan agama, yakni orang Islam baik pria atau
wanita dengan pria atau wanita yang bukan Islam.10
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan beda agama adalah ikatan
lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita yang karena berbeda agama
menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang mengenai syarat-syarat dan tata cara
pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing dengan
tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Pembahasan pernikahan beda agama ini akan dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu:
1. Pernikahan dengan Non Muslim / kafir.
2. Pernikahan dengan ahli kitab.

8
Maloko, Thahir M .2012.Dinamika Hukum Dalam Perkawinan. Makassar. Alauddin university pres.
9
Majlis Ulama Indonesia, 2011, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta.
10
Syarifudin, Amir, 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, Bogor: Kencana.
Dalam pembedaan dua kategori antara non muslim/kafr dengan ahli kitab ini
memang terdapat sebuah pembedaan yang menimbulkan konsekuensi dalam
hukumnya, non muslim/kafir adalah orang-orang yang mengingkari Tuhan.11
sementara pengertian ahli kitab adalah orang yang menganut salah satu agama
Samawi yang mempunyai kitab suci seperti Taurat, Injil , dan Zabur.
1. Pernikahan dengan non muslim / kafir
Defnisi kafr dan muslim merupakan defnisi yang sangat luas, para
ulama’ berpendapat bahwa istilah non muslim atau kafr disimpulkan oleh
pakar Al-Qur’an, Syeikh Muhammad Abduh, segala aktiftas yang
bertentangan dengan ajaran tujuan agama.12 Tentu saja maksudnya tidak
mengarah pada suatu kelompok agama saja, akan tetapi mencakup sejumlah
agama dengan segala bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya. Al-Qur’an
menyebutkan kelompok non muslim ini secara umum seperti terdapat dalam
QS. surat Al-Hajj: 17 :

‫ص ُل بَ ْينَهُ ْم يَوْ َم ْالقِ ٰي َم ۗ ِة‬ ‫هّٰللا‬ ٰ َّ‫اِ َّن الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َوالَّ ِذ ْينَ هَا ُدوْ ا َوالصَّابِـِٕ ْينَ َوالن‬
َ ْ‫ َو ْال َمجُو‬g‫ص ٰرى‬
ِ ‫ ۖاِ َّن َ يَ ْف‬g‫س َوالَّ ِذ ْينَ اَ ْش َر ُك ْٓوا‬
‫اِ َّن هّٰللا َ ع َٰلى ُك ِّل َش ْي ٍء َش ِه ْي ٌد‬
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Sabiin,
Nasrani, Majusi, dan orang-orang yang menyekutukan Allah akan Allah
berikan keputusan di antara mereka pada hari Kiamat. Sesungguhnya Allah
menjadi saksi atas segala sesuatu.13
Dalam ayat Al Qur’an tadi terdapat lima kelompok yang dikategorikan
sebagai non muslim, yaitu Yahudi, Nasrani, ash-Shabi’ah atau ash- Shabiin,
al-Majus, al-Musyrikun. Masing-masing kelompok secara ringkas dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pertama, Yahudi adalah kaum bangsa Israel yang
mengamalkan ajaran nabi Musa/Taurat. Kedua, Nasrani/Nashara yang
diambil dari nama Nashiroh (tempat lahir nabi Isa), mereka adalah kelompok
yang mengajarkan ajaran nabi Isa. Ketiga, Ash-Shabi’ah, yaitu kelompok
yang mempercayai pengaruh planet terhadap alam semesta. Keempat, Al-
Majus yaitu para penyembah api yang mempercayai bahwa jagat raya
11
Karsayuda, 2006, Perkawinan Beda Agama, Total Media Yogyakarta, Yogyakarta.
12
M. Quraish Shihab, M.Quraish Shihab Menjawab – 1001 Soal KeIslaman yang Patut Anda Ketahui,
( Jakarta : Lentera Hati, 2008 )
13
Al-Qur’an dan terjemahanya, QS Al Hajj:17
dikontrol oleh dua sosok Tuhan, yaitu Tuhan Cahaya dan Tuhan baik yang
baik dan yang jahat, yang bahagia dan yang celaka dan seterusnya.14
dan Al-Musyrikun, kelompok yang mengakui ketuhanan Allah SWT, tapi
dalam ritual mempersekutukannya dengan yang lain seperti penyembahan
berhala, matahari dan malaikat. Dari pengertian Non muslim/kafr diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa lawan dari kata kafr adalah mukmin, orang
yang mengimani Allah.
Dalam surat Al-Mumtahanah menjelaskan bahwa adanya pelarangan
untuk tetap meneruskan hubungan pernikahan dengan wanita kafir, sampai
mereka beriman kepada Allah. Larangan pernikahan beda agama dengan non
muslim/kafir secara global telah disepakati oleh para ulama’.15 Lebih lanjut,
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa larangan pernikahan dengan non muslim atau
kafr juga didasarkan pada surat Al-Baqoroh: 221.
2. Pernikahan dengan ahli kitab
Menurut imam Syafi’i bahwa ahlul kitab adalah orang Yahudi dan
orang Nasrani keturunan orang- orang Israel, tidak termasuk bangsa- bangsa
lain yang menganut agama yahudi dan nasrani. Alasan yang dikemukakan
oleh imam Syaf’i adalah bahwa Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada
bangsa mereka, bukan bangsa lain. Pendapat ini berbeda dengan Imam
Hambali dan mayoritas pakar hukum Islam yang menyatakan bahwa
siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau kitab yang pernah
diturunkan oleh Allah, maka dia adalah ahlul kitab. Sementara sebagian
Ulama’ berpendapat bahwa ahli kitab adalah setiap umat yang memiliki kitab
dan dapat diduga sebagai kitab suci.
Pendapat terakhir ini kemudian diperluas lagi oleh para ulama’
kontemporer, sehingga mencakup para agama-agama yang ada di Indonesia
seperti Hindu dan Budha. Sementara menurut Ulama’ Muhammad Rasyid
Ridho dalam tafsir al manaar , setelah beliau memahami dan mepelajari
segala yang berkaitan dengan hukum pernikahan beda agama, beliau
menyimpulkan bahwa wanita musyrik yang tidak diperbolehkan dinikahi

M. Quraish Shihab 2002, Tafsir Al- Misbah (Volume 9), Lentera Hati, Jakarta
14

Imam al-Qodhi, 2008, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Juz II), Dar al Fikr,
15

Beirut.
yang disebutkan dalam Al-Qur’an QS Al- Baqoroh: 221 adalah wanita
musyrik arab.
Pendapat mengenai kebolehan menikahi wanita ahli kitab juga
didukung oleh pendapat jumhur ulama’ yang mengatakan bahwa QS Al-
Maidah: 5 merupakan bentuk pengkhususan dari QS Al-Baqoroh: 221,
sehingga pernikahan dengan ahli kitab menjadi diperbolehkan.Pendapatini
juga mendapat dukungan dari Syaf’iyyah yang menolak bahwa QS Al-
Maidah: 5 yang bersifat khusus dihapus oleh surat Al-Baqoroh: 221, akan
tetapi mereka mensyaratkan bahwa ahli kitab tersebut harus memenuhi
kriteria tertentu.
Pendapat mengenai larangan menikahi wanita ahli kita dirumuskan
oleh sebagian ulama’ yang menyatakan bahwa QS Al-Maidah: 5 merupakan
bentuk khusus dari bentuk umumnya yaitu QS Al-baqoroh: 221 yang
kemudian bentuk umum tersebut menghapus bentuk khusus. Senada dengan
pendapat tersebut, sahabat nabi, Ibnu Umar, menyatakan bahwa pada zaman
beliau, ajaran trinitas tidak lagi wajar dinamai dengan ahlul kitab, karena
keyakinan tersebut merupakan bentuk penyekutuan terhadapAllah.
Dari dua pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada
dasarnya para ulama’ Islam berbeda pendapat dalam memandang hukum
pernikahan beda agama terkait dengan seorang laki-laki muslim yang
menikahi wanita non muslim yang ahli kitab. Perbedaan ini pada dasarnya
berimplikasi terhadap hukum pernikahan beda agama tersebut, yaitu halal
dan haram.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 40 ayat (c), “Dilarang perkawinan
antara seorang pria beragama Islam dengan seorang wanita yang tidak beragama
Islam”; dan pada pasal 44, “Dilarang perkawinan antara seorang wanita beragama
Islam dengan seorang pria tidak beragama Islam”.16 Intinya, Kompilasi Hukum Islam
menyatakan dengan tegas bahwa pernikahan beda agama tidak boleh dilakukan oleh
kaum muslimin di Indonesia. Penetapan larangan nikah beda agama dalam Kompilasi
Hukum Islam didasarkan pada alasan yang kuat.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan, Bab 1 pasal 2 ayat (1):
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”. Ini menjadi pijakan “dasar perkawinan” bagi warga Negara
16
Kompilasi Hukum Islam
Indonesi (termasuk umat Islam di Indonesia) yang merupakan ketentuan hukum
Negara yang berlaku umum, mengikat, dan meniadakan perbedaan pendapat.17
Kompilasi Hukum Islam telah melarang pernikahan beda agama,Majelis
Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa pada tanggal 1 Juni 1980 sebagai
respon atas kontroversi pernikahan beda agama di tengah masyarakat. Fatwa tersebut
memuat dua pernyataan serius tentang masalah nikah beda agama. Pertama, wanita
muslimah tidak dibolehkan (haram hukumnya) menikah dengan pria non muslim.
Kedua, seorang pria muslim diharamkan menikahi wanita bukan muslimah, termasuk
wanita ahlulkitab, karena dipandang mafsadatnya (kerusakannya) lebih besar dari
pada maslahatnya.
Lahirnya fatwa oleh Majelis Ulama Indonesia yang melarang kaum muslimin
pria dan wanita untuk menikah dengan orang- orang non muslim, bahkan juga orang-
orang ahlulkitab (Yahudi dan Kristen), nyatanya telah didorong oleh kesadaran akan
adanya persaingan keagamaan, ada pernyataan khusus alquran yang memberikan izin
kepada pria muslim untuk menikahi kaum wanita ahli lkitab. Hal ini boleh jadi, bahwa
perbedaan pandangan ini sudah dianggap oleh para ulama telah mencapai titik rawan
untuk kepentingan ummat islam, sehingga pintu bagi dilakukannya pernikahan beda
agama harus ditutup sama sekali.18

B. Pernikahan Beda Agama dalam Prespektif Hak Asasi Manusia


Negara Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum. Sesuai dengan
bunyi pasal 1 ayat (3) Undang undang dasar yang menyatakan "Negara Indonesia
adalah negara hukum". Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia adalah salah
satu ciri negara hukum. Pengertian Hak asasi manusia pada pasal 1 angka (1) Undang
undang nomor 39 tahun 1999 adalah "seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia." Jadi Pada dasarnya, Hak Asasi Manusia merupakan hak yang
dimiliki oleh manusia berdasarkan martabatnya sebagai manusia, bukan diberikan

Undang – Undang No. 16 tahun 2019


17

Mudzhar, Mohammad Atho, 1993, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang
18

Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Jakarta: INIS, Seri INIS XVII
oleh hukum yang berlaku serta sifatnya tidak dapat dihilangkan oleh sesama
manusia.19
Sebagai negara Demokrasi Indonesia sudah seharusnya menerapkan hak asasi
manusia dalam segala lini kehidupan bernegara dan bukan hanya sebatas pengakuan
dalam konstitusi sehingga cita-cita Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dapat
tercapai dan bisa dirasakan oleh segenap warga negara Indonesia.Selain itu,
perlindungan dan penegakkan HAM wajib dilaksanakan Indonesia karena Indonesia
telah melakukan perjanjian-perjanjian Internasional dalam masalah penegakan
HAM. Penegakan hak asasi manusia harus terlihat dari segala lini.Pertama, penegakan
hak asasi manusia dalam pemerintahan yang menjadi cerminan adalah perlindungan
dan pemenuhan penegakan hukum yang tidak boleh membeda-bedakan warga negara
di depan hukum, dan beberapa kebijakan yang diambil oleh penyelenggara negara
yang berwenang tidak boleh melanggar hak warga negara. Kedua, dalam masyarakat
penegakan hak asasi manusia penerapannya adalah penghormatan terhadap sesama
warga negara.20
Kedudukan ham di Indonesia sejak amandemen undang undang dasar 1945
menjadi sangat penting. terlihat dari luasnya pengaturan terkait hak asasi manusia dan
pengelompokkannya khusus dalam satu bab tersendiri. Selain UUD 1945, sebelumnya
terdapat Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah
memberikan landasan yang kuat mengenai penghormatan terhadap hak asasi manusia
di Indonesia .
Indonesia sebagai salah satu negara yang berdasarkan hukum material / sosial
menganut prinsip perlindungan ham. Merujuk pada Pasal 3 ayat (3) Undang undang
Hak Asasi Manusia, jaminan perlindungan atas Hak Asasi Manusia ini diberikan
tanpa melakukan diskriminasi. Sementara itu menurut Pasal 1 angka (3) Undang-
undang Hak Asasi Manusia, makna diskriminasi adalah “setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia pada dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status
sosial,status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat
pengurangan, atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi

19
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
20
Mahrus ali, “Membumikan HAM di Indonesia”, law.uii.ac.id, Mei 21 , 2020 ,
https://law.uii.ac.id/blog/2020/05/21/membumikan-ham-di-indonesia/
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif
dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan juga aspek kehidupan
yang lain.”
Terjadinya penolakan terhadap pernikahan beda agama termasuk tindakan
yang diskriminatif, dikarenakan tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia yang
merupakan sebuah tindakan pembatasan yang didasarkan atas perbedaan agama.
Agama dinilai sebagai poin penting bagi setiap manusia, maka Undang undang dasar
sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia telah menjamin masalah
agama. Pada Pasal 28 E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945. Dalam pasal tersebut negara dengan tegas menjamin
adanya kebebasan memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaanya masing
masing . Kebebasan beragama dalam hal ini berarti bahwa negara tidak turut campur
dalam masalah-masalah agama. pengaturan seperti ini bertentangan dengan cita-cita
penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Pengaturan mengenai hak-hak dasar
dalam bidang perkawinan tidak dapat disesuaikan dengan peraturan perundang-
undangan lainnya.21
Dalam Pasal 28 B Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen (perubahan
kedua tahun 2000) terkait dengan pernikahan menyatakan bahwa "setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah."Jaminan atas hak ini juga telah dipertegas dalam Dalam UU tentang HAM di
Indonesia yaitu pasal 10 ayat (1) dan (2) yang berbunyi :
(1) "Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah."
(2) "Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami
dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan."22
Pada pasal 10 ayat (2) prinsip utama dilakukannya perkawinan yang sah
adalah kehendak bebas dari kedua pihak. Kehendak bebas yang dimaksud disini
memiliki makna kemauan yang lahir atas dasar niat suci yang tulus tanpa paksaan,
penipuan serta tekanan terhadap calon suami atau istri. Tapi pada ayat tersebut juga
dinyatakan bahwa perkawinan harus ditentukan menurut UU. Dengan demikian, hak

21
Alfian Yusuf, Irit Suseno, Endang Prasetyawati, perkawinan beda agama dalam perspektif hak
asasi manusia, halaman 12
22
Undang-Undang HAM Pasal 10 Ayat (1) Dan (2)
untuk melaksankan perkawinan dibatasi oleh UU Perkawinan. Dari sini dapat diambil
suatu kesimpulan bahwa perkawinan menurut Undang-Undang Hak Asasi Manusia
hanya melihat dari aspek keperdataan saja dan tidak ada unsur agama yang
diutamakan dalam ikatan perkawinan yang sah. Akan tetapi, Undang-Undang
Perkawinan sampai saat ini masih mengkonsepkan sahnya perkawinan atas dasar
agama.23
Undang-Undang Perkawinan yang sampai saat ini masih berlaku memiliki
konsep yang berbeda dengan undang undang Hak asasi manusia mengenai
perkawinan. Merujuk pada Pasal 2 UU Perkawinan, perkawinan yang sah yaitu
perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-
masing.undang undang ini menitikberatkan pada hukum agama sehingga boleh
tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama.artinya, perkawinan yang sah
harus dilakukan berdasarkan aturan agama masing-masing pihak dan berkewajiban
untuk mencatatkan perkawinannya tersebut di kantor pencatat perkawinan. Pria dan
wanita yang berbeda agama tidak boleh melakukan perkawinan berdasarkan hukum
positif Indonesia.Sementara pada Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Hak Asasi
Manusia menyatakan bahwa"perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia dijamin Undang-Undang tanpa diskriminasi." Pembatasan semacam inilah
yang perlu disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat ini. Adanya penolakan
terhadap pencatatan perkawinan beda agama merupakan sebuah tindakan
diskriminatif berdasarkan agama.
Jika perkawinan beda agama dilarang maka seharusnya ditegaskan dalam
undang undang.Akan tetapi, sampai saat ini undang undang perkawinan sama sekali
tidak memberikan larangan secara tegas dan pasti mengenai perkawinan beda agama.
Artinya terjadi kekaburan hukum dan ketidakpastian hukum terhadap praktik
perkawinan beda agama di Indonesia. Hukum agama merupakan kaedah agama yang
tidak tergolong dalam hukum positif nasional. Karena itu, hukum agama tidak bisa
diberlakukan secara tidak langsung dalam undang undang karena menyangkut
masyarakat secara umum. Pemahaman mengenai perkawinan beda agama yang
dilarang, dari sudut pandang Hak Asasi Manusia telah melakukan pelanggaran atas
hak dasar yakni memeluk agama dan keyakinannya masing-masing.24
23
Made Widya Sekarbuana, Ida Ayu Putu Widiawati, I Wayan Arthanaya. Perkawinan Beda Agama
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal referensi hukum. Vol. 2, No. 1, 2021.
24
Alfian Yusuf, Irit Suseno, Endang Prasetyawati, perkawinan beda agama dalam perspektif hak
asasi manusia, halaman 13
Selain undang undang perkawinan tidak memberikan larangan secara tegas
terhadap perkawinan beda agama , undang undang perkawinan juga mengakui adanya
perkawinan campuran, seperti pada pasal 57 undang undang perkawinan yang
menyatakan : "Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang
ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia." Dalam pasal 56 juga mengatur perkawinan yang
dilakukan di luar negeri antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga
negara Indonesia dengan warga negara asing,25 dalam beberapa kasus bisa saja
perkawinan campuran atau perkawinan yang dilakukan diluar negeri adalah
perkawinan beda agama karena biasanya pasangan yang berhasil menikah beda agama
melakukan prosesi pernikahan di luar negeri.
Pengakuan terhadap perkawinan seperti yang akan menimbulkan
ketidakpastian hukum . Bila warga negara sendiri tidak diperbolehkan untuk
melakukan perkawinan beda agama pasti akan muncul pertanyaan mengapa
perkawinan campuran atau perkawinan di luar negeri diakui oleh Negara.
Di sisi lain, Undang-Undang Hak Asasi Manusia tidak memberikan kepastian
mengenai prinsip dasar perkawinan. Dalam Pasal 10 ayat (1) Undang Undang Hak
Asasi Manusia menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan yang sah
adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Itu berarti perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu sah dari aspek agama dan sah
dari aspek administrasi.
Undang-Undang Perkawinan sudah menyatakan bahwa perkawinan
merupakan ikatan batin .karena itu, Perkawinan yang dilakukan oleh para pihak yang
memiliki keyakinan berbeda sudah seharusnya diakui oleh negara sebagai salah satu
hak dari setiap warga negara sebagaimana telah dijamin dalam Deklarasi universal
hak asasi manusia.
Disini dapat terlihat dengan jelas perbedaan antara konsepsi pernikahan dalam
undang undang hak asasi manusia dan undang undang perkawinan. Di sisi lain
undang undang hak asasi manusia mensyaratkan perkawinan yang sah hanya atas
kehendak bebas dan persetujuan dari kedua mempelai. Sedangkan undang undang

25
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 56 dan 57
perkawinan menetapkan persyaratan sahnya perkawinan tidak hanya sekedar atas
kehendak bebas kedua pihak tapi dilihat dari kehendak hukum agama.
Dampak dari adanya larangan perkawinan beda agama dapat mendorong salah
satu pihak yang akan melangsungkan perkawinan untuk pindah agama dan memeluk
agama yang sama dengan pasangannya hanya untuk memenuhi persyaratan
administratif untuk pengesahan perkawinan yang bersangkutan (formalitas). Hal
tersebut termasuk bentuk penyelundupan hukum. Hal ini juga berpotensi mencederai
jaminan hak atas kebebasan beragama . Pelanggaran terhadap hak beragama ini
karena pasangan yang berbeda agama itu berpindah agama bukan karena kehendak
atau keinginannya tetapi hanya untuk memenuhi persyaratan administratif untuk
melancarkan perkawinan.26
Saat ini terdapat perkembangan dalam hukum positif Indonesia dengan adanya
penetapan putusan mahkamah Agung Nomor 1400K/Pdt/1986 yang menjadi pedoman
hukum bagi pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia. Di dalam putusan itu
Mahkamah Agung menyatakan bahwa undang undang nomor 1 Tahun 1974 tidak
memberikan larangan secara tegas terhadap perkawinan beda agama sehingga
menimbulkan kekosongan hukum.27
Kekosongan hukum itu dapat memberikan dampak negatif bagi kehidupan
masyarakat, contohnya melahirkan penyelundupan hukum sehingga tidak semestinya
dibiarkan berlarut larut. Selain itu Mahkamah Agung dalam pertimbangannya
menyatakan bahwa menurut pasal Pasal 27 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang
berbunyi "semua warga negara memiliki persamaan kedudukannya di dalam hukum."
dimana hal itu meliputi kesamaan hak untuk melangsungkan perkawinan bagi sesama
warga negara meskipun berbeda agama sekalipun, selama tidak dilarang oleh undang-
undang.
Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah Agung menguatkan jaminan
perlindungan Hak Asasi Manusia dalam hukum positif Indonesia, termasuk hak untuk
melakukan perkawinan beda agama. Hal ini sejalan dengan perlindungan hak untuk
menikah dan membentuk keluarga serta hak untuk memeluk agama yang dijamin
dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang HAM, serta
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa hak untuk menikah

26
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid , Tinjauan Yuridis terhadap Perkawinan Beda Agama di
Indonesia dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan Hak Asasi Manusia, halaman 522
27
Putusan mahkamah Agung REG Nomor 1400K/Pdt/1986
dan membentuk keluarga merupakan hak asasi setiap manusia tanpa dibatasi oleh
agama.
Meskipun demikian, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
1400K/Pdt/1986 belum bisa memberikan kepastian hukum terhadap hak untuk
melangsungkan perkawinan beda agama di Indonesia. ini karena meskipun dalam
putusannya Mahkamah Agung telah memberikan ruang bagi pelaksanaan perkawinan
beda agama, akan tetapi Kantor Catatan Sipil masih bisa menyatakan bahwa sebuah
perkawinan tidak dapat dilangsungkan alasannya karena tidak memenuhi undang
undang perkawinan. Oleh karena itu, dibutuhkan peraturan perundang-undangan guna
mengisi kekosongan hukum dalam bidang perkawinan beda agama, karena berkaitan
dengan hak asasi manusia yang perlindungannya menjadi tanggung jawab negara
serta rawan terjadi pelanggaran terhadapnya.28
Merujuk pada Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, yang menyatakan "Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-
undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata
untuk menjamin pengakuan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta
kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
"Tidak adanya peraturan yang mengatur mengenai perkawinan beda agama dalam
undang undang di Indonesia berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap hak untuk
menikah dan hak untuk memeluk agama yang pada dasarnya telah dijamin dalam
peraturan perundang-undangan.”29

C. Pengaturan Pernikahan Beda Agama Di Indonesia


Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sekali keanekaragaman di
dalamnya, diantaranya, kenaekaragaman suku, budaya, adat istiadat, dan agama.
Sebagai makhluk sosial keberagaman tersebut tidak menjadi suatu penghalang untuk
berinteraksi serta hidup bersama, keinginan hidup bersama dapat diwujudkan dengan
ikatan pernikahan yang sah, dalam melangsungkan pernikahan maka perlu ada
pemahaman makna dari pernikahan. Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

28
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid. Tinjauan Yuridis terhadap Perkawinan Beda Agama di
Indonesia dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan Hak Asasi Manusia, halaman 523
29
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 73
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”.30
Dari definisi tersebut makna dari pernikahan yaitu membentuk hubungan dengan
ikatan lahir bathin yang memiliki tanggung jawab membina keluarga untuk hidup
kekal dan bahagia.
Keberagaman agama di indonesia menimbulkan persoalan pernikahan yaitu
timbulnya persolan pernikahan beda agama, ini bukan suatu masalah yang baru di
Indonesia, hal ini menimbulkan permasalahan terkait sah tidaknya pernikahan itu,
serta pesangan yang hendak melangsungkan pernikahan ini harus berjuang untuk
mendapatkan legalitas.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”.31 Sahnya pernikahan apabila pernikahan
itu dilakukan sesuai dengan hukum agama yang tentunya menjadi syarat sah yang
harus dipenuhi. Hukum agama disini menjadi landasan sahnya pernikahan itu, boleh
tidaknya pernikahan itu terjadi tergantung dari ketentuan agama itu sendiri. Maka dari
itu, jika hukum agama mengesahkan pernikahan, maka hukum negara akan ikut
mengesahkan pernikahan tersebut.
Berdasarkan dari rumusan Pasal 2 ayat (1) pernikahan yang tidak
diselenggrakan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing calon
pengantin, maka pernikahan itu tidak bisa dikatakan sah. Pengaturan pernikahan
dalam agama baik itu agama Islam dan agama yang lain sebenarnya telah melarang
pernikahan beda agama ini. Dalam Pasal 8 huruf (f) undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, bahwa “Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang
oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”. 32 Dalam pasal
tersebut pernikahan beda agama dianggap tidak sah, karena ada pembatasan oleh
hukum agama seperti halnya dalam Islam yang jelas telah melarang pernikahan beda
agama.
Sahnya pernikahan yang dimuat juga dalam pasal 2 ayat (2) UU No.1 Tahun
1974 yaitu, “Tiap-tiap perkawinan perlu dicatat menurut peraturan perundang-
undagan yang berlaku”,33 hal ini diperlukan agar pernikahan itu dipandang sah
menurut hukum demi tertib administratif. Pencatatan pernikahan harus sesuai dengan
30
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
31
Ibid.
32
Ibid.
33
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
agama, jika beragama islam maka pencatatan pernikahan dilakukan pegawai pencatat
perkawinan, sedangkan selain islam, maka pencatatan pernikahan dilakukan pada
kantor catatan sipil.
Sebelum berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947, Indonesia masih
menggunakan produk hukum Belanda yaitu Regeling op de Gemengde Huwelijken
(GHR) yang merupakan peraturan pernikahan campuran (PPC). Pada PPC ini terdapat
salah satu ketentuan pernikahan campuran dalam Pasal 7 ayat (2) perbedaan agama,
golongan, penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan
perkawinan. Akan tetapi, ketentuan tersebut telah dicabut dan hadirlah Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang menjadi sistem hukum
pernikahan di Indonesia saat ini.
Di Indonesia pernikahan campur yang diatur dalam pasal 57 UU Nomor 1
tahun 1974, “Yang dimaksud dengan perkawinan campur dalam Undang-undang ini
ialah, perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia”.34 Pasal tersebut serigkali dijadikan sebagai landasan
hukum terhadap pernikahan beda agama, padahal pasal ini jika dipahami pada kata
“tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga-negaraan” yang
artinya seseorang haruslah tunduk pada hukum karena adanya perbedaan
kewarganegaraan, bukan karena perbedaan agama.
Oleh sebab itu, pasal tersebut hanya mengatur pernikahan yang hendak
dilakukan oleh seseorang yang berbeda kewarganegaraan saja, tidak mengatur
pernikahan perbedaan agama. Sering kali pemaknaan dari pasal 57 UU No.1 tahun
1974 tersebut, menganggap bahwa pernikahan beda agama kerapkali dianggap sah
karena telah dicakup dalam perkawinan campuran.35 Undang-undang perkawinan
sebenarnya relatif telah menolak pernikahan beda agama ini, pernikahan akan
dianggap sah jika kedua mempelai tunduk pada hukum yang terdapat larangan
pernikahan dalam agama.36
Muncul penafsiran terhadap pernikahan beda agama. Pertama, pernikahan
beda agama dalam pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1947, pernikahan tidak ada yang

34
Ibid.
35
Amri Aulil. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam. Vol.22, No. 1,
Media Syari’ah 2020. Halaman 12.
36
Arifin Zainal. Perkawinan Beda Agama. Jurnal Lentera: Kajian Keagamaan, keilmuan, dan
teknologi. 2019. Halaman 9.
dilakukan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu, artinya
pernikahan haruslah dilakukan sesuai dengan syarat sahnya pernikahan. Kedua,
pernikahan beda agama dianggap sah dan bisa dilakukan karena tercakup kedalam
ketentuan perkawinan campuran, yang alasannya ada pada Pasal 57 UU No.1 Tahun
1947, pernikahan campuran menitikberatkan kepada pernikahan yang dilakukan oleh
dua orang yang berbeda kewarganegaraan dan juga berbeda agama. Ketiga,
pernikahan beda agama ini tidak diatur secara jelas dalam UU No. 1 Tahun 1974,
sehingga berdasarkan hal tersebut maka pernikahan beda agama ini seringkali
menjadikan peraturan perkawinan campuran sebagai rujukannya.
Perkawinan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam secara normatif di
atur menjadi tiga bagian. Pertama, dalam (Pasal 40 huruf (c) dan Pasal 44)
mengemukakan perbedaan agama merupakan larangan untuk melangsungkan
pernikahan, bab X tentang pencegahan perkawinan karena dilarang oleh hukum islam
dan peraturan undang-undang. Kedua, dalam pasal 61 KHI pernikahan beda agam
bisa dijadikan alasan untuk pencegahan terjadinya pernikahan. Ketiga, perbedaan
agama dijadikan alasan pembatalan pernikahan. Pasal 75 KHI, adanya putusan
pembatalan pernikahan karena dari pasangan suami atau istri telah murtad, keputusan
ini tidak berlaku surut.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1947 tentang perkawinan
merupakan suatu langka agar memastikan hukum pernikahan tunduk pada hukum
positif, akan tetapi hukum perkawinan ini masih menunjukan dualisme. Seperti pada
rumusan Pasal 2 ayat (1) yang memfokuskan pada eksistensi beragama, pasal tersebut
juga dianggap sebagai menutup peluang terjadinya pernikahan beda agama. Disisi
lain, ada yang menganggap bahwa pernikahan tersebut tidak memenuhi ketentuan
menurut Undang-Undang, sebab memeluk agama adalah hak dasar setiap orang sesuai
Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. 37
Disisi lain ada yang beranggapan bahwa pernikahan beda agama dipandang
sah apabila dilakukan dengan berdasarkan agama dari salah satu pihak. Pasangan beda
agama dalam memperjuangkangkan sahnya pernikahan maka dilakukan berbagai cara
yaitu, dengan memohon pada penetapan pengadilan, melakukan pernikahan dengan

Made Widya Sekarbuana, Ida Ayu Putu Widiawati, I Wayan Arthanaya. Perkawinan Beda Agama
37

Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal referensi hukum. Vol. 2, No. 1, 2021.
Halaman 4.
tunduk pada hukum salah satu agama, pernikahan dilakukan di luar negeri, yang
sering kali mendapatkan peluang untuk melegalkan pernikhan beda agama.38
Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan menjadi peluang dalam melegalkan pernikahan beda agama. Pada
pasal 35 huruf (a) UU No. 23 Tahun 2006 berbunyi Perkawinan yang ditetapkan oleh
pengadilan.39 Yang dimaksud dalam pasal tersebut yaitu pernikahan beda agama yang
sebelumnya ditolak dapat disahkan oleh pengadilan, pernikahan beda agama yang
dikabulkan menyebakan kemungkinan pasangan beda agama yang lain untuk ikut
melakukan pernikahan beda agama karena terbukanya peluang bagi mereka untuk
mendapatkan legalitas.40
Dilihat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan beda agama di
Indonesia belum mempunyai payung hukum yang jelas menyangkut masalah tersebut.
Maka dari itu, perlu adanya penyempurnaan menyangkut masalah pernikahan beda
agama. Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 8 huruf f menyangkut
larangan pernikahan agar menambahkan bahwa pernikahan beda agama sebagai
pernikahan yang dilarang.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Bahwa dalam hukum islam pada dasarnya pernikahan beda agama telah
dilarang. Hal ini telah termaktub dalam alquran surat al- Baqarah ayat 221
telah melarang pernikahan antara seorang yang beragama Islam dengan
seorang yang tidak beragama Islam dalam katagori musyrik/musyrikah yang

38
Ibid.
39
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006.
40
Deny Saputra. Peluang Pencatatan perkawinan beda agama ditinjau dari undang-undang Nomor 23
Tahun 2006. Central Library Of Maulana Malik Ibrahim State Islamic University Of Malang. 2018.
Halaman 25.
dipertegas melalui aturan kompilasi hukum islam dan fatwa majelis ulama
indonesia.walaupun terdapat pengecualian dalam QS al-Mā’idah ayat 5,
apabila pasangan laki-laki adalah seorang mukmin dan pasangan perempuan
adalah ahli kitab , pada pasangan semacam inilah para ulama’ berbeda
pendapat dalam menghukumi. Namun, didasarkan pada pertimbangan
kemaslahatan, yaitu tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan
dan kehancuran rumah tangga akibat pernikahan beda agama, maka dapat
ditegaskan bahwa pernikahan yang paling ideal sesuai petunjuk QS al-Rūm
ayat 21, dan yang dapat membawa kepada keselamatan di dunia maupun
akhirat serta keluarga yang bahagia: sakinah, mawaddah dan rahmah adalah
pernikahan dengan orang yang seagama.
2. Bahwa pada dasarnya tindakan penolakan terhadap perkawinan beda agama di
Indonesia merupakan hal yang diskriminatif, karena tidak sesuai dengan
prinsip dasar Hak Asasi Manusia yang membatasi agama warga negaranya.
Agama dinilai sebagai poin penting bagi jiwa pada setiap insan, maka UUD
NRI 1945 sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi telah menjamin hal
tersebut. Melalui Pasal 28 E ayat(1) dan Pasal 29 ayat(2) mengenai kebebasan
memeluk agama, kebebasan dalam hal ini diartikan sebagai hal yang hakiki
maka tidak ada turut campur negara sekalipun. Namun penulis berpendapat
bahwa pada dasarnya hak asasi manusia merupakan hak kodrati yang
diberikan tuhan kepada manusia, maka tidak rasional apabila hak kodrati
tersebut menyimpang dari aturan dan ketentuan Tuhan. Begitupula dalam
Islam, dengan adanya aturan Allah, maka HAM tersebut sudah tentu tidak
boleh bertentangan dengan ajaran yang diperintahkan oleh Allah SWT.
3. Bahwa pernikahan beda agama dalam Undang-Undang Perkawinan tidak
diatur secara tegas dan pasti, maka dapat dikatakan terjadi kekaburan hukum
dan ketidakpastian terhadap praktik perkawinan beda agama di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan khususnya Pasal
2 ayat(1) lebih merujuk pada sahnya perkawinan berdasar hukum agama dan
kepercayaannya, namum dalam realisasinya masih ada pasangan yang tetap
ingin melangsungkan perkawinan dengan agama yang berbeda melalui jalur
permohonan penetapan pengadilan, penundukan sementara pada salah satu
hukum agama dan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri.
B. Saran
Adapun yang disarankan oleh peneliti berdasarkan hasil penelitian ini adalah
pemerintah diharapkan tidak tinggal diam menyikapi masalah ini. Maka kami
mengharapkan kepada pemerintah untuk merevisi undang undang perkawinan dan
prosedur yang dapat ditempuh pernikahan beda agama. Hal ini diharapkan agar tidak
terjadinya kekosongan hukum dalam pernikahan beda agama di Indonesia. Selain itu,
Para praktisi (ulama, ustaz, muballig/mubaligah) harus memberi pencerahan kepada
umat dengan memberikan pengetahuan seputar munākaḥāt, sehingga mereka dapat
memahami esensi pernikahan baik yang termaktub di dalam Alquran dan Hadis,
maupun yang diatur dalam regulasi.

DAFTAR PUSTAKA

UNDANG-UNDANG
Kompilasi Hukum Islam
Putusan mahkamah Agung REG Nomor 1400K/Pdt/1986
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
Undang-Uundang Nomor 23 Tahun 2006.
Al-Qur’an
Al-Qur’an dan terjemahanya, QS Al Hajj:17

JURNAL
Alfian Yusuf, Irit Suseno, Endang Prasetyawati, perkawinan beda agama dalam perspektif
hak asasi manusia, halaman 12
Alfian Yusuf, Irit Suseno, Endang Prasetyawati, perkawinan beda agama dalam perspektif
hak asasi manusia, halaman 13
Amri Aulil. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam. Vol.22,
No. 1, Media Syari’ah 2020. Halaman 12.

Arifin Zainal. Perkawinan Beda Agama. Jurnal Lentera: Kajian Keagamaan, keilmuan, dan
teknologi. 2019. Halaman 9.
Daeng, Y., & Ariga, F. (2017). Larangan Pernikahan Beda Agama Ditinjau dari Perspektif
Hak Asasi Manusia. Journal Equitable 87, 2(2), 70–87.
Dardiri, A. H., & Tweedo, M. (2013). Pernikahan Beda Agama Ditinjau Dari Perspektif
Islam dan Ham. Khazanah, 6(1), 99–117.
Kambey, E. E. (2017). Analisis tentang Perjanjian Perkawinan Ditinjau dari Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Lex Privatum, 5(9), 1–14.
Made Widya Sekarbuana, Ida Ayu Putu Widiawati, I Wayan Arthanaya. Perkawinan Beda
Agama Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal referensi hukum. Vol. 2,
No. 1, 2021.
Made Widya Sekarbuana, Ida Ayu Putu Widiawati, I Wayan Arthanaya. Perkawinan Beda
Agama Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal referensi hukum. Vol. 2,
No. 1, 2021. Halaman 4.
Yonesta, F., Isnur, M., Hidayat, N., Febrian, S. H., Sihite, I. L., & Biky, A. (2012). Agama,
Negara dan Hak Asasi Manusia. In Journal of Chemical Information and Modeling (Vol. 53,
Issue 9). LBH Jakarta.

BUKU
H.M. Anshary MK 2010, Hukum Perkawinan di Indonesia Masalah-Masalah Krusial,
Pustaka Pelajar, Jakarta, halaman 55.

Imam al-Qodhi, 2008, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Juz II), Dar al Fikr,
Beirut.
Karsayuda, 2006, Perkawinan Beda Agama, Total Media Yogyakarta, Yogyakarta.
Maloko, Thahir M .2012.Dinamika Hukum Dalam Perkawinan. Makassar. Alauddin
university pres.

Majlis Ulama Indonesia, 2011, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta.

M. Quraish Shihab, M.Quraish Shihab Menjawab – 1001 Soal KeIslaman yang Patut Anda
Ketahui,( Jakarta : Lentera Hati, 2008 )
M. Quraish Shihab 2002, Tafsir Al- Misbah (Volume 9), Lentera Hati, Jakarta
Mudzhar, Mohammad Atho, 1993, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi
Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Jakarta: INIS, Seri INIS XVII
Syarifudin, Amir, 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, Bogor: Kencana.

Taufik, M. (2013). Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan. Rineka Cipta.

SKRIPSI
Deny Saputra. Peluang Pencatatan perkawinan beda agama ditinjau dari undang-undang
Nomor 23 Tahun 2006. Central Library Of Maulana Malik Ibrahim State Islamic University
Of Malang. 2018. Halaman 25.
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid , Tinjauan Yuridis terhadap Perkawinan Beda Agama
di Indonesia dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan Hak Asasi Manusia, halaman
522

INTERNET
Mahrus ali, “Membumikan HAM di Indonesia”, law.uii.ac.id, Mei 21, 2020,
https://law.uii.ac.id/blog/2020/05/21/membumikan-ham-di-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai