Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perjanjian perkawinan (prenuptial agreement) merupakan perjanjian yang
dibuat oleh calon suami-istri untuk menentukan hak dan kewajiban di antara calon
suami dan istri pada saat perkawinan telah berlansung. Di Indonesia, perjanjian
perkawinan juga dikenal dengan istilah perjanjian pranikah.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Meski secara definisinya perkawinan
harusnya membentuk ikatan lahir dan batin antara sepasang manusia, ada kalanya
perkawinan atau rumah tangga tersebut menemui banyak permasalahan. Bahkan
beberapa permasalahan tersebut dapat berujung kepada perceraian. Perceraian tidak
jarang menimbulkan sengketa antara suami dan istri, baik dalam masalah harta,
hutang, maupun tanggung jawab terhadap anak-anak hasil perkawinan.
Di era globalisasi, angka perceraian dan sengketa rumah tangga terhitung
sangat tinggi. Atas dasar alasan tersebut, pasangan yang akan melangsungkan
perkawinan sebenarnya membutuhkan kepastian hukum yang dapat melindungi hak
masing-masing, baik selama masa perkawinan tersebut berlangsung atau jika suatu
saat terjadi perceraian atau kematian pasangan. Kepastian hukum tersebut dapat
diperoleh dengan cara membuat perjanjian perkawinan (prenuptial agreement).2
Perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974. Menurut pasal tersebut, perjanjian perkawinan adalah perjanjian tertulis oleh
kedua belah pihak atas persetujuan bersama yang dibuat sebelum melangsungkan
1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tentang Perkawinan. 1974. Jakarta: Kemenag
RI.
2
Tamengkel F. Dampak yuridis perjanjian perkawinan (prenuptial agreement) ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Lex Privatum. 2015;3(1):199-210

1
perkawinan, dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Sesuai dengan
ketentuan dalam pasal tersebut yang menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan
dibuat sebelum melangsungkan perkawinan, maka perjanjian perkawinan juga biasa
disebut dengan perjanjian pranikah. Perjanjian tersebut dapat meliputi hal apapun
sepanjang tidak bertentangan dengan aspek kepatutan, agama, dan norma kesusilaan
yang berlaku. Perjanjian perkawinan mulai berlaku setelah pernikahan
dilangsungkan.3
Di Indonesia, pelaksanaan perjanjian perkawinan masih belum terlalu umum
dilakukan karena banyaknya masyarakat yang menganggap perjanjian tersebut
bersifat tabu. Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa perjanjian perkawinan
adalah ‘pamali’ karena dengan membuat perjanjian tersebut, pasangan seolah-olah
telah merasa pesimis dengan masa depan pernikahan mereka. Edukasi kepada
masyarakat mengenai eksistensi perjanjian perkawinan perlu dilakukan untuk
menekankan bahwa perjanjian perkawinan memiliki banyak manfaat serta dapat
mencegah sengketa berkepanjangan yang dapat terjadi akibat suatu ikatan
perkawinan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas dan untuk lebih memfokuskan diri dalam
pokok pembahasan, maka diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut.
1. Apa pengertian serta hukum jual beli dalam hukum perdata?
2. Bagaimanakah peranan Hukum Perdata dalam transaksi jual beli?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun maksud dan tujuan penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian serta hukum jual beli menurut Hukum Perdata.
2. Untuk mengetahui dan memahami lebih jauh peranan Hukum Perdata dalam
transaksi jual beli.

3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tentang Perkawinan. op.cit.

2
1.4 Manfaat Penelitian
1. Untuk memahami peran hukum perdata dalam mengatur transaksi jual beli dalam
masyarakat
2. Untuk memenuhi tugas pembuatan makalah di jurusan Ilmu Hukum program
pascasarjana Universitas Bung Hatta tahun 2018

3
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Pustaka


Sampai saat ini, belum ada definisi yang baku tentang perjanjian perkawinan.
Ketentuan mengenai perjanjian perkawinan di Indonesia dapat ditemui dalam KUH
Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Dalam Pasal 139 KUH Perdata, dijelaskan bahwa “dengan mengadakan
perjanjian kawin, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa
penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan asal
perjanjian itu tidak menyalahi tata-susila yang baik atau tata-tertib umum.”. Lalu
dalam Pasal 147 dijelaskan bahwa “atas ancaman kebatalan setiap perjanjian kawin
harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung.”.3
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perjanjian perkawinan diatur
dalam Pasal 29. Pada pasal tersebut, perjanjian perkawinan diatur sebagai berikut.1
1. Ayat (1) menjelaskan bahwa “pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
2. Selanjutnya, di ayat (2) dijelaskan bahwa “perjanjian tersebut tidak dapat
disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.”
3. Mengenai waktu berlakunya perjanjian perkawinan, ayat (3) menyebutkan bahwa
“perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.”.
4. Mengenai ketentuan tentang perubahan terhadap perjanjian perkawinan, ayat (4)
menjelaskan bahwa “selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak
dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah
dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.”.
Ayat (1) dan (4) Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut
menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan juga melibatkan pihak ketiga. Yang
dimaksud dengan pihak ketiga pada pasal tersebut adalah orang yang sebelum

4
terjadinya perkawinan telah memberikan hadiah kepada calon suami atau calon istri
dan tidak ingin apa yang diberikan itu tercampur dalam harta bersama kedua calon
suami/istri.2
Selain KUH Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perjanjian
perkawinan juga dibahas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Namun, aturan-
aturan yang terdapat dalam KHI hanya dapat berlaku bagi orang Islam. Sama halnya
dengan KUH Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, KHI juga tidak
memberikan definisi terhadap perjanjian perkawinan. Dalam KHI, perjanjian
perkawinan diatur dalam Pasal 45 yang berbunyi sebagai berikut: “Kedua calon
mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk: Taklik talak; dan
perjanjian lain yang tidak bertentangan dalam hukum Islam.”.4
Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya mengenai definisi dari perjanjian
perkawinan. Menurut R. Subekti, perjanjian perkawinan adalah perjanjian mengenai
harta benda suami-istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau
pola yang ditetapkan oleh undang-undang.5 Lalu, menurut Komar Andasasmita,
perjanjian kawin atau syarat kawin adalah perjanjian yang diadakan oleh bakal atau
calon suami-istri dalam mengatur (keadaan) harta benda atau kekayaan sebagai akibat
dari perkawinan mereka.6 Jadi, berdasarkan penjelasan peraturan perundang-
undangan serta pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa inti dari perjanjian
perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami-istri untuk menentukan
hak dan kewajiban di antara calon suami dan istri pada saat perkawinan telah
berlansung, baik itu mengatur persoalan harta atau persoalan-persoalan lain, selama
persoalan tersebut tidak bertentangan dengan hukum, agama, dan kesusilaan.
Perjanjian perkawinan mengandung sifat formal dan material. Perumusan
kedua sifat tersebut diambil dari perumusan sifat formal dan material untuk
huwelijkvoorwaarden. Sifat formal untuk huwelijkvoorwaarden dirumuskan oleh
sarjana Belanda bernama Hamaker. Menurut Hamaker, huwelijkvoorwaarden
meliputi tiap perjanjian yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan undang-undang
antara calon suami-istri mengenai perkawinan mereka, tidak dipersoalkan isinya.
Sedangkan rumus dari sifat material huwelijkvoorwaarden dikemukakan oleh Van

5
der Pleeg. Van der Pleeg menerangkan bahwa huwelijkvoorwaarden adalah tiap
ketentuan yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan antara calon suami-istri,
yang timbul dari perkawinan mereka.7 Maka, dari rumusan tersebut dapat
disimpulkan bahwa secara formal, segala perjanjian yang mengatur semua persoalan
perkawinan (tidak hanya persoalan harta) disebut dengan perjanjian perkawinan,
sedangkan secara material, perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang mengatur
mengenai harta kekayaan yang berkaitan dengan perkawinan.
Penjelasan mengenai sifat material perjanjian perkawinan secara tidak
langsung dijelaskan dalam Pasal 119 KUH Perdata yang berbunyi: “Sejak
perkawinan dilangsungkan, secara otomatis terjadi penyatuan harta antara suami-istri,
sepanjang harta itu mereka tidak membuat huwelijkvoorwaarden.”.4 Maka, dapat
diambil kesimpulan bahwa huwelijkvoorwaarden atau perjanjian perkawinan
diperbolehkan untuk mengatur kedudukan harta dalam perkawinan.7
Pembuatan perjanjian perkawinan harus sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Menurut KUH Perdata, perjanjanjian perkawinan harus
dibuat oleh notaris dalam bentuk akta serta tidak boleh melanggar hukum, ketertiban
umum, atau kesusilaan. Perjanjian perkawinan juga tidak boleh mengurangi segala
hak yang disandarkan pada kekuasaan si suami sebagai suami, tidak boleh
mengurangi kekuasaan suami terhadap anak pada saat perpisahan meja dan ranjang,
tidak boleh mengurangi hak-hak yang diberikan undang-undang kepada suami-
istri yang hidup terlama, serta tidak boleh mengurangi hak-hak yang dilimpahkan
kepada suami sebagai kepala keluarga.3,7
Syarat-syarat perjanjian perkawinan juga diatur dalam Pasal 29 Undang-
Undang Perkawinan. Syarat-syarat tersebut antara lain perjanjian tersebut harus
diajukan oleh kedua belah pihak pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan, diajukan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan dalam bentuk akta perkawinan, tidak boleh melanggar batas-batas
hukum agama dan kesusilaan, tidak boleh diubah kecuali dengan persetujuan kedua
belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga, harus berlaku juga kepada pihak ketiga

6
yang tersangkut, dan perjanjian baru mulai berlaku saat perkawinan telah
dilangsungkan.1,7
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan tidak
boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Peraturan tersebut juga menegaskan bahwa pengaturan harta pada perjanjian
perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.4 Namun, aturan tersebut
tentunya hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam.
Sehubungan dengan sifat material perjanjian perkawinan yang dijelaskan oleh
Van der Pleeg bahwa perjanjian perkawinan itu mengatur seputar harta kekayaan,
maka dalam berbicara perjanjian perkawinan, hal yang tentu saja akan mengikutinya
adalah masalah pengaturan harta benda dalam perkawinan. Penjelasan mengenai
harta benda dalam perkawinan sedikit memiliki perbedaan antara Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, KUH Perdata dan Kompilasi Hukum Islam.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 35 ayat (2), ”harta
bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”.1 Sedangkan dalam Pasal 139 KUH
Perdata dijelaskan bahwa “dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami
istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-
undang sekitar persatuan harta kekayaan asal perjanjian itu tidak menyalahi tata-
susila yang baik atau tata-tertib umum.”.3 Dengan kata lain, harta bawaan masing-
masing oleh suami-istri yang menurut Undang-Undang Perkawinan adalah di bawah
penguasan masing-masing dapat diatur secara menyimpang dari ketentuan undang-
undang tersebut asal disebutkan di dalam perjanjian perkawinan. Aturan lain dalam
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa terdapat pemisahan antara harta pribadi
atau harta bawaan dengan harta bersama. Namun, pada Pasal 47 ayat (2) dijelaskan
pencampuran harta pribadi atau pemisahan harta bersama tersebut dapat diatur
melalui perjanjian perkawinan.4
Ada beberapa keadaan yang dapat menjadi latar belakang dibuatnya perjanjian
perkawinan oleh calon mempelai, yakni:7

7
1. Apabila terdapat jumlah kekayaan yang lebih besar pada satu pihak dari pihak
lainnya
2. Apabila kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (inberg) yang
cukup besar
3. Apabila masing-masing memiliki usaha sendiri dan jika salah satunya jatuh pailit,
maka yang lain tidak tersangkut
4. Atas hutang yang dibuat sebelum kawin, maka masing-masing akan bertanggung
jawab sendiri-sendiri.
Dalam membuat perjanjian perkawinan, perlu diperhatikan beberapa hal. Hal-
hal yang perlu dipertimbangkan dalam membuat perjanjian tersebut antara lain
keterbukaan dalam mengungkapkan seluruh detail mengenai kondisi keuangan, baik
sebelum dilangsungkannya perkawinan maupun setelah perkawinan, kesukarelaan
kedua belah pihak dalam membuat perjanjian perkawinan, pejabat berwenang yang
dapat obyektif dalam membuat isi perjanjian perkawinan sehingga tercapai keadilan
bagi kedua belah pihak, serta notariil, karena perjanjian perkawinan harus dibuat
dalam bentuk akta oleh notaris sesuai dengan ketentuan KUH Perdata.8

Perjanjian perkawinan memiliki banyak manfaat. Perjanjian tersebut dapat


mengatur berbagai hal selama tidak bertentangan dengan hukum dan norma
kesusilaan, seperti yang dijelaskan pada Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974.1 Hal-hal yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan atara lain pengaturan
harta kekayaan, hutang, serta tanggung jawab terhadap anak-anak dari hasil
perkawinan.8
Perjanjian perkawinan memiliki tujuan sebagai berikut:9
1. Membatasi atau meniadakan sama sekali kebersamaan harta kekayaan menurut
undang-undang
2. Mengenai pemberian-pemberian hadiah (schenking) dari suami kepada istri atau
sebaliknya, atau pemberian hadiah timbal balik antara suami dan istri (Pasal 168
KUH Perdata)

8
3. Membatasi kekuasaan suami terhadap barang-barang kebersamaan yang
ditentukan oleh Pasal 124 ayat (2) KUH Perdata. Hal yang sama berlaku juga
terhadap benda-benda bergerak maupun tak bergerak yang dibawa istri
(aanbrengst) atau terhadap benda-benda yang diperolehnya sepanjang perkawinan
yang beratasnamakan istri (Pasal 140 ayat (3) KUH Perdata)
4. Sebagai testamen dari suami untuk istri atau sebaliknya, atau testamen timbal
balik (Pasal 169 KUH Perdata)
5. Mengenai pemberian hadiah (schenking) oleh pihak ketiga kepada suami dan atau
istri (Pasal 176 KUH Perdata)
6. Sebagai testamen dari pihak ketiga kepada suami dan atau istri (Pasal 178 KUH
Perdata).
Seperti yang dijelaskan pada kajian literatur, perjanjian perkawinan
menimbulkan akibat hukum bagi suami-istri. Berikut adalah alasan dibuatnya
perjanjian perkawinan sekaligus akibat hukum yang dapat ditimbulkan oleh
perjanjian perkawinan.10
1. Dalam perkawinan dengan persatuan secara bulat, perjanjian perkawinan dapat
melindungi istri dari kemungkinan tindakan semena-mena suami atas harta tak
bergerak dan harta bergerak tertentu yang dibawa istri ke dalam perkawinan.
2. Dalam perkawinan dengan harta terpisah, perjanjian perkawinan dapat berperan
sebagai perlindungan bagi istri terhadap kemungkinan
dipertanggungjawabkannya harta tersebut terhadap hutang yang dibuat oleh suami
atau sebaliknya.
Dari penjelasan tersebut, timbul pertanyaan, bagaimana akibat hukum yang
ditimbulkan oleh perjanjian perkawinan jika pasangan suami-istri tersebut bercerai?
Menurut Pasal 1338 KUH Perdata, persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-
undang dapat berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.3 Dengan
demikian, perjanjian perkawinan dapat berperan sebagai sumber hukum formil,
sehingga perjanjian tersebut dapat digunakan sebagai ketentuan hukum yang
dijadikan pegangan oleh hakim dalam memutus persoalan apabila suami-istri tersebut
bercerai, selama perjanjian perkawinan itu dibuat sesuai dengan undang-undang.10

9
Dalam kenyataan sehari-hari, sengketa antara pasangan yang menjalani sidang
perceraian sangat sering ditemukan. Di dalam persidangan sering terjadi saling
bantah-membantah tentang bukti yang diajukan oleh masing-masing pihak. Hal ini
dikarenakan masing-masing pihak merasa saling berhak atas obyek yang
disengketakan. Di sinilah terlihat peran penting dari sebuah perjanjian perkawinan.
Perjanjian perkawinan akan sangat membantu dalam menyelesaikan sengketa bagi
kedua pasangan suami istri tadi. Dengan kata lain, perjanjian perkawinan yang telah
dibuat dan disepakti oleh pasangan suami-istri akan menjadi bukti yang kuat di
persidangan. Di sisi lain, adanya perjanjian tersebut juga sangat membantu
pengadilan untuk memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa.
Jika pasangan suami-istri yang bercerai tersebut tidak membuat perjanjian
perkawinan, bukan berarti pengadilan tidak bisa memberikan putusannya. Hanya saja,
proses pembuktian tentang hal yang dipersengketakan akan menjadi sulit dan
memakan waktu yang lama. Dalam keadaan tersebut, prinsip hukum mengenai
pembuktian disesuaikan dengan yang telah diatur dalam Pasal 1865 KUH Perdata,
yakni “barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan
suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barang siapa
mengajukan peristiwa-peristiwa guna membantah hak orang lain, diwajibkan juga
membuktikan peristiwa-peristiwa itu.”.3
Selain mengenai harta perkawinan, perjanjian perkawinan juga dapat
menjadi pelindung hak-hak anak hasil perkawinan. Menurut Pasal 300 ayat (1) KUH
Perdata, yang melakukan kekuasaan orang tua adalah bapak.3 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 45 menerangkan bahwa kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya sampai anak itu
kawin dan berdiri sendiri. Kewajiban itu berlaku terus menerus meskipun perkawinan
antara kedua orang tua itu terputus.1 Walaupun tanggung jawab kedua orang tua
terhadap anak akan tetap ada jika terjadi perpisahan seperti yang telah diatur dalam
undang-undang, masih banyak ditemukan orang tua yang sudah tidak lagi
menghiraukan anaknya setelah terjadinya perpisahan. Maka dari itu, untuk lebih

10
memperkokoh jaminan terhadap hak anak, ada baiknya persoalan tersebut perlu
dimasukan kedalam perjanjian perkawinan.
Manfaat lain dari perjanjian perkawinan dapat dilihat dari konteks
pemberdayaan perempuan. Perjanjian perkawinan dapat menjadi dasar perlindungan
bagi istri dari kemungkinan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Selain itu, perjanjian perkawinan juga dapat mengatur persoalan-persoalan lain
seperti poligami, mahar, pembagian kerja, keluarga berencana, serta kesepakatan
mengenai menempuh pendidikan bagi pihak istri saat perkawinan tersebut
berlangsung.11
Di samping besarnya manfaat dari perjanjian perkawinan, masih banyak juga
masyarakat yang tidak setuju dengan diadakannya perjanjian tersebut. Beberapa
alasan yang sering melatarbelakangi hal ini antara lain pandangan mengenai
perjanjian perkawinan sebagai suatu hal yang tabu dan ‘pamali’, anggapan bahwa
perjanjian perkawinan menggambarkan adanya perasaan pesimistis dari kedua calon
mempelai mengenai pernikahannya, serta pendapat yang mengatakan bahwa
perjanjian tersebut tidak sesuai dengan adat orang timur.8 Di Indonesia, eksistensi
perjanjian perkawinan kebanyakan baru dikenal oleh pasangan-pasangan yang
berpendidikan tinggi atau pasangan-pasangan yang membawa kekayaan yang besar
untuk mencegah terjadinya sengketa di kemudian hari. Fenomena ini kemungkinan
disebabkan oleh ketidaktahuan calon suami-istri akan pentingnya perjanjian
perkawinan tersebut. Maka dari itu, edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat dari
instasi-instasi yang berwenang mengenai perjanjian perkawinan perlu dilakukan.

11
1.2 Kerangka Teori

Hubungan
perseorangan

Hukum
Perdata
Penjual
Transaksi jual
beli
Pembeli

1.3 Metode Penelitian


Penelitian dilakukan dengan metode studi kepustakaan serta pendekatan yuridis
normatif, yakni dengan mengkaji secara mendalam aturan dalam KUH Perdata yang
berkaitan dengan transaksi jual beli.

12
BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perjanjian perkawinan memiliki banyak manfaat dan berperan sangat penting
dalam mencegah terjadinya sengketa antara pasangan suami-istri di kemudian
hari. Perjanjian perkawinan memiliki kekuatan hukum dan dapat melindungi
kepentingan hukum pasangan suami-istri, baik selama pernikahan berlangsung
maupun setelah terjadinya perceraian. Meski begitu, pandangan masyarakat
Indonesia terhadap eksistensi perjanjian perkawinan masih belum baik. Hal ini
terjadi karena minimnya pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya perjanjian
perkawinan tersebut. Edukasi dari instasi-instasi berwenang sangat dibutuhkan
dalam mengubah paradigma masyarakat Indonesia mengenai perjajian
perkawinan.

B. Saran
Sehubungan dengan kesimpulan yang diperoleh, maka saran yang ingin
disampaikan adalah :
1. Diharapkan adanya kesadaran dari masyarakat, untuk melakukan transaksi jual
beli yang sesuai dengan KUHPerdata, karena para pihak sepatutnya
memperhatikan bentuk dan isi perjanjian secara detail termasuk ketentuan yang
mengatur tentang sengketa diantara mereka
2. Penyuluhan-penyuluhan secara intensif dari Intansi terkait kepada masyarakat
akan cara-cara melakukan transaksi jual beli yang benar dan sesuai dengan
KUHPerdata untuk menjamin kepentingan hukum mereka dan untuk
mengantisipasi dan mengeliminasi kerugian yang akan timbul jika terjadi
pelanggaran perjanjian.

13
DAFTAR PUSTAKA

C. S. T. Kansil, 1991, Hukum Perdata I (Termasuk Asas – Asas Hukum Perdata), PT.
Pradnya Paramita, Jakarta.
Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia PT. Buku Kita, Jakarta.
Hari Saherodji, 1980, Pokok – Pokok Hukum Perdata, Aksara Baru, Jakarta.
Subekti & R. Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek), PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Salim H.S, 2003, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai