Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

HADITS AHKAM
POLIGAMI
Dosen Pengampu:
Muhammad Idzhar, Lc., M.H.

Disusun oleh:

Kelompok 7

1. Fachrul Achmad Husin


2. Muhammad Suwandi
3. Zaini Ali

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SAMARINDA


FAKULTAS SYARI’AH
HUKUM KELUARGA
2020
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah Subhanahu Wa ta’ala, karena berkat rahmatnya
kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Poligami. Makalah ini diajukan guna
memenuhi tugas mata kuliah Hadits Ahkam.

kami mengucapkan terima kasih kepada teman kelompok yang telah berkerja sama dalam
membuat makalah ini. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi kepada teman semuanya dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan bagi kita semua.

Samarinda, 29 Februari 2020

Kelompok 7

i
Daftar Isi

Kata Pengantar.....................................................................................................................................i
Daftar Isi..............................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
Pendahuluan........................................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................1
C. Tujuan......................................................................................................................................1
BAB II..................................................................................................................................................2
Pembahasan.........................................................................................................................................2
A. Pengertian poligami.................................................................................................................2
B. Dasar hadits tentang poligami................................................................................................3
C. Pembatasan poligami...............................................................................................................6
D. Syarat poligami........................................................................................................................6
BAB III.................................................................................................................................................8
Penutup................................................................................................................................................8
A. Kesimpulan..............................................................................................................................8
Daftar Pustaka.....................................................................................................................................9

ii
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sebenarnya tujuan dari peraturan tentang poligami dalam Islam itu
diantaranya ialah untuk menyelamatkan dan menolong kaum wanita, sebagaimana
dipraktekkan oleh Rasulullah SAW terhadap istri-istri beliau. Al-Qur’an surat An-
Nisa’ (4) : 3 berfungsi memberikan batasan serta syarat yang ketat, yaitu batasan
maksimal empat istri dengan ketentuan mesti berlaku adil. Artinya tidak boleh ada
anggapan bahwa Al-Qur’an mendorong poligami, tetapi justru memberikan jalan
keluar apabila dalam suatu keadaan terpaksa seorang harus memilih antara perzinahan
dan poligami, atau antara membiarkan wanita terlantar dan sengsara tak bisa nikah
dan menjadi istri kedua.
Pembacaan terhadap dasar nash maupun hadits berkenaan dengan masalah ini
hendaknya dilakukan secara utuh. Untuk menentukan seatu hukum atas boleh atau
tidaknya poligami harus mengkaji semua ayat maupun hadits yang berkenaan
dengannya dengan selektif dan penafsiran yang memperhatikan berbagai persepektif,
baik secara tekstual maupun kontektual. Untuk mengambil suatu kesimpulan hukum
tidak bisa dilakukan secara parsial atau setengah-setengah dalam pembacaannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian poligami
2. Apa dasar hadits tentang poligami
3. Bagaimana pembatasan poligami
4. Apa syarat poligami

C. Tujuan
Mengetahui jawaban dari rumusan masalah yang akan disajikan

1
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian poligami
Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini
beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul
melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan monogamy berarti
perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada jangka waktu
tertentu.1
Poligami adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu
yang sama mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Menurut para ahli sejarah
poligami mula-mula dilakukan oleh raja-raja pembesar Negara dan orang-orang kaya.
Mereka mengambil beberapa wanita, ada yang dikawini dan ada pula yang hanya
dipergunakan untuk melampiaskan hawa nafsunya akibat perang, dan banyak anak
gadis yang diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan kemudian dijadikan gundik dan
sebagainya. Makin kaya seseorang makin tinggi kedudukanya, makin banyak
mengumpulkan wanita. Dengan demikian poligami itu adalah sisa-sisa pada waktu
peninggalan zaman perbudakan yang mana hal ini sudah ada dan jauh sebelum
masehi.
Sebagaimana dikemukakan oleh banyak penulis, bahwa poligami itu berasal
dari bahasa Yunani, kata ini merupakan penggalan kata Poli atau Polus yang artinya
banyak, dan kata Gamein atau Gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Maka
jikalau kata ini digabungkan akan berarti kata ini menjadi sah untuk mengatakan
bahwa arti poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak
terbatas.
Namun dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari
satu dengan batasan. Umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita saja.2

B. Dasar hadits tentang poligami


َ ‫أ َ َم َرهُ النَّبِ ُّي‬AAَ‫ هُ ف‬A‫ي أَ ْسلَ َم َولَهُ َع ْش ُر نِ ْس َو ٍة فِي ْال َجا ِهلِيَّ ِة فَأ َ ْسلَ ْمنَ َم َع‬
ُ ‫لَّى هَّللا‬A‫ص‬ َّ ِ‫ع َْن ا ْب ِن ُع َم َر أَ َّن َغ ْياَل نَ ْبنَ َسلَ َمةَ الثَّقَف‬
َ َ
) ‫ ( رواه ترميدي‬. ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أ ْن يَتَخَ يَّ َر أرْ بَعًا ِم ْنه َُّن‬
Artinya:

1
Al-qamar Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Restu Ilahi, 2005),
h. 19
2
Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dengan Academia, 1996) h. 84

2
Dari ibnu Umar, bahwa Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam,
sedangkan ia mempunyai sepuluh orang istri pada zaman jahiliyah, lalu mereka juga
masuk Islam bersamanya, kemudian Nabi SAW memerintahkan Ghailan untuk
memilih (mempertahankan) empat diantara mereka. (HR. Tirmidzi).
Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata; Hadist ini Hasan Shahih di
dalam kitab al-irwaa no. 1885, dan Shahih Abu Daud no. 1939.3
1. Asbabul Wurud Hadis
Hadits tersebut di atas, membicarakan tentang Ghailan Ats-Tsaqafi yang mana
sebelum masuk Islam mempunyai sepuluh orang istri. Ketika ia masuk Islam ke
sepuluh orang istrinya itu turut masuk Islam bersamanya. Oleh karena dalam Islam
seorang laki-laki tidak boleh beristri lebih dari empat, maka Nabi menyampaikan
hadits di atas. Yakni, menyuruh atau memerintah mempertahankan empat diantara
mereka dan menceraikan yang lainnya.
Hadits senada dengan riwayat di atas adalah sebagaimana juga diriwayatkan
oleh Ibn Majah dan Ahamad dari jalan yang berbeda, yaitu :
‫لَ َم‬A‫ا َل أَ ْس‬AAَ‫ َر ق‬A‫الِ ٍم ع َْن ا ْب ِن ُع َم‬A‫ي عَن َس‬ ِ A‫الز ْه‬
ِّ ‫ر‬A ُّ ‫َح َّدثَنَا يَحْ يَى بْنُ َح ِك ٍيم َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ َج ْعفَ ٍر َح َّدثَنَا َم ْع َم ٌر ع َْن‬
‫ (رواه ابن‬. ‫ا‬AA‫ذ ِم ْنه َُّن أَرْ بَ ًع‬A ْ A‫لَّ َم ُخ‬A‫ ِه َو َس‬A‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬A‫ص‬
َ ‫هُ النَّبِ ُّي‬Aَ‫ا َل ل‬AAَ‫ َو ٍة فَق‬A‫َغ ْياَل نُ بْنُ َسلَ َمةَ َوتَحْ تَهُ َع ْش ُر نِ ْس‬
‫ماجه‬
Artinya:
Telah bercerita kepada kami Yahya bin Hakim; telah bercerita kepada kami
Muhammad bin Ja’far; telah bercerita kepada kami Ma’mar; dari Az-Zuhri; dari
Salim; dari ibnu Umar; berkata : Ghailan bin Salamah masuk Islam, sedangkan
padanya ada sepuluh orang istri, maka Nabi SAW bersabda padanya ; “silahkan ambil
(pertahankan) empat diantara mereka”. (HR. Ibnu Majah)
‫ي أَ ْسلَ َم َوتَحْ تَهُ َع ْش ُر‬
َّ ِ‫ي ع َْن َسالِ ٍم ع َْن أَبِي ِه أَ َّن َغ ْياَل نَ ْبنَ َسلَ َمةَ الثَّقَف‬ ُّ ‫َح َّدثَنَا ِإ ْس َما ِعي ُل أَ ْخبَ َرنَا َم ْع َم ٌر ع َِن‬
ِّ ‫الز ْه ِر‬
َ
‫ (رواه أحمد‬.‫اختَرْ ِم ْنه َُّن أرْ بَعًا‬ َّ ‫هَّللا‬
ْ ‫صلى ُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم‬ َّ َ ‫نِ ْس َو ٍة فَقَا َل لَهُ النَّبِ ُّي‬
Artinya:
Telah bercerita kepada kami Ismail; telah mengkhabarkan kepada kami
Ma’mar dari Az-Zuhri, dari Salim, dari bapaknya, bahwa Ghailan bin Salamah masuk
Islam, dan padanya ada sepuluh orang istri, maka Nabi SAW bersabda padanya;
“pilihlah empat diantara mereka”. (HR. Ahmad)
Rasulullah SAW memberikan ancaman terhadap suami yang tidak berlaku adil
terhadap para istrinya ;
‫ ِد ِه َما‬A‫ال إِلَى أَ َح‬
َ ‫ َم ْن َكانَ َلهُ َزوْ َجتَا ِن فَ َم‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬ َّ ِ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬ ِ ‫ع َْن أَبِ ْي هُ َر ْي َرةَ َر‬
) ‫ ( رواه أبو داود و النّسائى و ابن ماجة و أحمد‬. ً‫فِ ْي ْالقِس ِْم َجا َء يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة َو أَ َح ُد َشاقَ ْي ِه َمائِال‬
3
Muhammad Nashiruddin Albani, Shahih Sunan Ibnu Majah, terj Ahmad Taufik Abdurrahman, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), h. 213

3
Artinya:
“Dari Abi Hurairah RA sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Barang siapa
yang mempunyai dua orang istri lalu ia lebih condong pada salah satunya dalam
memberikan bagian, maka ia akan datang pada hari kiamat kelak salah satu betisnya
dalam kedaan miring (pincang)”.4
2. Penjelasan Kandungan Hukum Hadis
Malik berpendapat: memilih diantara mereka (istri-istri) empat orang dan juga
sama dengan Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud. Sedangkan Abu Hanifah, Ast-tsuar, dan
Ibni Abi Lail berpendapat : memilih mereka para istri yang pertama-tama kali diakad
nikahi.
Secara eksplisit hadits Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad menunjukkan
bolehnya berpoligami dengan ketentuan tidak boleh lebih dari empat. Seandainya
poligami tidak boleh mestinya Nabi memerintahkan Ghailan memilih salah satu saja
dari sepuluh orang istrinya dan menceraikan yang lain. Ini menunjukkan bahwa
batasan maksimal seorang laki-laki yang berpoligami adalah empat orang istri.
Namun, apakah bolehnya berpoligami itu mutlak untuk semua orang tanpa
ada ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi. Apabila kita baca surat An-Nisa’ ayat 3
dan korelasi dengan hasits-hadits lain, seperti hadits tentang pelarangan Ali yang
hendak melakukan poligami, serta ancaman Rasulullah SAW bagi seorang suami
yang tidak dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya sebagaimana tersebut di atas,
maka dapat dipahami bahwa Islam tidak memerintah, apalagi mewajibkan poligami,
dan tidak memberikan kesempatan yang longgar kepada kaum Muslimin untuk
berpoligami. Artinya, seorang yang hendak berpoligami harus memenuhi syarat dan
ketentuan yang berlaku.
Banyak penafsiran mengapa Nabi Saw melarang putrinya dipoligami Ali bin
Abi Thalib ra adalah putri Abu Jahl bin Hisyam, musuh Allah Swt dan musuh Nabi
Saw. tetapi beberapa penafsiran lain menyebutkan memang karena Nabi Saw tidak
menginginkan putri beliau Fathimah ra dipoligami dengan siapapun, karena poligami
itu menyakiti hatinya, dan yang menyakiti hatinya juga menyakiti hati Nabi Saw.
Karena itu, seperti dinyatakan Ibn Hajar al-‘Asqallani, ada ulama yang menyatakan
bahwa poligami bisa saja dilarang jika bisa menimbulkan kerusakan dan kezaliman,
tentu terhadap perempuan dan anak-anak.

4
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 47.-48

4
Dan dalam satu riwayat, di dalam kisah larangan memadu Fatimah r.a. dengan
anak perempuan Abu Jahal terdapat hikmah yang sangat mulia, yaitu bahwa ketika
seorang perempuan menikah, ia akan mengikuti derajat (status sosial) sang suami.
Apabila ia berasal dari golongan mulia dan suaminya juga demikian, maka keduanya
akan tetap berada pada posisi yan mulia. Demikian juga yang berlaku pada diri
Fatimah r.a dan Ali bin Abu Thalib r.a.
Allah swt tidak pernah menyamakan kedudukan Fatimah dengan anak
perempuan Abu Jahal, baik status dirinya maupun keturunannya. Keduanya sangatlah
berbeda. Oleh karena itu, memadu Fatimah dengan anak perempuan Abu Jahal
bukanlah prilkau yang baik dalam pandangan agama ataupun pandangan etika sosial.
Dari sudut fiqh, sebagai rekaman dari sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan
‘poligami itu sunnah’ juga merupakan reduksi yang sangat besar. Sunnah dalam
bahasa fiqh adalah sesuatu yang jika dilakukan memperoleh pahala, dan jika
ditinggalkan tidak memperoleh dosa. Pelabelan sunnah dengan makna fiqh ini
terhadap poligami adalah sesuatu yang perlu diluruskan. Dalam hal nikah bisa saja,
fiqh menawarkan berbagai predikat hukum tergantung kondisi calon suami, calon
isteri atau kondisi masyarakat; bisa wajib, sunnah, mubah atau sekedar diizinkan.
Bahkan Imam al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma’ani menyatakan bahwa nikah bisa
diharamkan ketika calon suami tahu bahwa dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak
isterim, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Dalam hal ini, poligami juga
harus dikaitkan dengan situasi sosial, kondisi calon suami dan calon isteri, tidak
sesederhana pernyataan bahwa poligami adalah sunnah.
Poligami itu sunnah’ adalah penyederhanaan terhadap persoalan yang
sebenarnya kompleks. Sunnah sendiri, atau teks-teks hadis tidak sesederhana
ungkapan tersebut, bahkan fiqh juga mengaitkannya dengan berbagai latar kondisi.
Lebih tepat untuk dikatakan bahwa monogami-poligami dalam karakteristik fiqh
Islam adalah termasuk persoalan parsial, bukan prinsip, yang predikat hukumnya
mengikuti kondisi ruang dan waktu. Prinsipnya adalah keadilan, membawa
kemaslahatan, tidak mendatangkan mudharat dan kerusakan (mafsadah).
Dengan memperhatikan konteks Ayat 3 QS. An Nisa’ yang membolehkan
perkawinan poligami tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa perkawinan poligami
menurut ajaran Islam merupakan kekecualian yang dapat ditempuh dalam keadaan
yang mendesak. Dalam keadaan biasa, Islam berpegang kepada prinsip monogami,

5
kawin hanya dengan seorang istri saja, yang dalam Alquran tersebut dinyatakan akan
lebih menjamin suami tidak akan berbuat aniaya.5

C. Pembatasan poligami
Imam Syafi’i berkata, “Telah dijelaskan di dalam sunnah Rasulullah saw.
Larangan Allah swt. Yang memaparkan bahwa tak seorang laki-laki pun, kecuali
Rasulullah saw., diperbolehkan untuk menikahi lebih dari empat orang perempuan.”6
Demikian pendapat Syafi’i yang juga disepakati oleh para ulama, kecuali
sekelompok ulama dari mazhab Syi’ah yang mengatakan bahwa seorang laki-laki
boleh menikahi lebih dari empat orang perempuan. Bahkan sebagian dari mereka
berkata, “Pembolehan (untuk menikahi perempuan) lebih dari satu itu tidak dibatasi.”
Dalam mengemukakan pendapat, sebagian ulama Syi’ah berpegang teguh
pada apa yang telah diperaktikkan oleh Rasulullah saw., dimana beliau menikahi lebih
dari empat perempuan: perempuan-perempuan yang beliau nikahi semua berjumlah
sembilan, sebagaimana disebutkan di dalam hadist sahih.7

D. Syarat poligami
Berlaku adil kepada para istri, Allah berfirman:
‫َولَ ْن تَ ْستَ ِطيعُوا أَ ْن تَ ْع ِدلُوا بَ ْينَ النِّ َسا ِء َولَوْ َح َرصْ تُ ْم ۖ فَاَل تَ ِميلُوا ُك َّل ْال َم ْي ِل فَتَ َذرُوهَا َك ْال ُم َعلَّقَ ِة ۚ َوإِ ْن تُصْ لِحُوا َوتَتَّقُوا‬
‫فَإ ِ َّن هَّللا َ َكانَ َغفُورًا َر ِحي ًما‬
Artinya:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan),
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (an-Nisa’ [4]:
129)
Keadilan yang dimaksud oleh ayat pertama adalah adil secara lahir, dalam hal-
hal yang bersifat materi dan dapat diukur, bukan adil dalam rasa cinta dan kasih
sayang, karena hal itu sangat mustahil dapat dilakukan oleh semua orang. Keadilan
yang dinafikan oleh ayat kedua adalah keadilan dalam perasaan cinta, kasih dan
hubungan seksual.

5
 Manshur Zuhri, Membaca kembali Sunnah Poligami, (Modul Perkuliahan Hadits Ahkam PMH-V), h. 7-8
6
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj Moh. Abidin dkk, cet. I (Jakarta: Pena Pundi Aksara), h. 424
7
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah..., h. 424

6
Muhammad bin Sirin berkata, “Aku pernah bertanya kepada Ubaidah tentang
maksud ayat ini dan ia menjawabnya, ‘Maksud ayat ini adalah (adil) dalam rasa cinta
dan hunbungan seksual.’”
Abu bakar bin Arabi berkata, “Sangatlah benar pendapat yang mengatakan
bahwa keadilan dalam perasaan cinta tidak bisa dilakukan oleh siapa pun karena hati
manusia berada dalam kekuasaan Allah swt, yang dapat membolak-balikkannya
sesuai dengan kehendak-Nya.8

BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, persoalan poligami adalah persoalan budaya yang ada
sejak ribuan tahun sebelum Islam.Bisa dinyatakan bahwa poligami tidak ada
8
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah..., h. 424

7
kaitannya dengan keberagamaan seseorang, keimanan, ketakwaan dan ketaatannya
kepada Allah Swt. Justru yang terkait dengan keIslaman dan keimanan adalah sejauh
mana setiap orang bisa berbuat baik terhadap orang-orang terlantar dan yang
dipinggirkan serta mereka yang menjadi korban kekerasan struktur sosial.
Ijmak ulama termasuk imam Syafi’i membolehkan poligami dengan syarat
adil dan tidak boleh lebih dari empat orang istri kecuali ulama para syiah mereka
membolehkan poligami terhadap lebih dari empat orang istri karena nabi Muhammad
saw menikah lebih dari empat orang istri.

Daftar Pustaka
Al-qamar Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta:
Restu Ilahi, 2005)
Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dengan Academia,
1996)

8
Muhammad Nashiruddin Albani, Shahih Sunan Ibnu Majah, terj Ahmad Taufik
Abdurrahman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)
Manshur Zuhri, Membaca kembali Sunnah Poligami, (Modul Perkuliahan Hadits Ahkam
PMH-V)
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj Moh. Abidin dkk, cet. I (Jakarta: Pena Pundi Aksara)
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2006)

Anda mungkin juga menyukai