Anda di halaman 1dari 106

KEPENGHULUAN SEBAGAI DISIPLIN ILMU

Asal kata kepenghuluan berasal dari kata penghulu atau pengulu. 1 Tambahan ke dan an
dalam kepenghuluan adalah suatu upaya menjadikan penghulu sebagai objek kajian dalam
disiplin ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi prodi hukum Syariah, baik berkaitan tentang
profesi, peran dan tupoksi penghulu. Ilmu kepenghuluan adalah ilmu yang mepelajari
profesi, peran dan tugas-tugas penghulu sebagai pegawai negeri sipil atau sebagai pelaksana
teknis Departeman Agama.
Sebagai disiplin ilmu, materi kepenghuluan menjadikan penghulu, peran dan tugasnya
sebagai objek pembahsan. Hal ini dianggap penting, sebagai mahasiswa hukum syariah
khususnya prodi Ahwal as Syakhsiyah, kepenghuluan adalah salah satu materi bidang
keahlian yang harus dipelajari. Mahasiswa syariah prodi Ahwal as Syakhsiyah tidak cukup
mempelajari materi fikih munakahat atau hukum perkawinan saja. Mereka diharapkan
memiliki keterampilan sebagai penghulu agar kelak keterampilan tersebut bermanfaat ketika
mereka ingin memilih profesi atau menjadi pemerhati profesi penghulu. Jika pun tidak
memilih profesi penghulu atau menjadi pemerhati penghulu, suatu keniscayaan disiplin ilmu
kepenghuluan adalah pengetahuan tentang kepenghuluan yang bermanfaat bagi siapa saja
yang ingin mempersiapakan pernikhan di Kantor Urusan Agama.
Dalam perkuliahan prodi Ahwal as Syakhsiyah mata kuliah kepenghuluan adalah mata
kuliah yang memiliki porsi SKS yang tergolong banyak. Kepenghuluan diajarkan dengan
bobot 3 SKS yang terdiri 1 SKS materi dan 2 SKS praktikum. Dalam makul ini, mahasiswa
selain dituntut untuk mengetahui teori kepenghuluan, mereka juga dituntut melakukan
praktik atau kunjungan ke Kantor Urusan Agama sebagai suatu pengetahuan kinerja
penghulu.2 Hal ini menunjukan keseriusan akademik dalam mempersiapakan mahasiswa
untuk berkiprah sebagai penghulu. Menjadi wajar jika baru-baru ini kepenghuluan dijadikan
bagian dari suatu disiplin ilmu yang dipelajari di perguruan tinggi khususnya di fakultas
Syariah.

A. Objek Kajian
1
Amelia Fauziyah, Antara Hitam dan Putih: Penghulu Pada Masa Kolonial, Jurnal, Studia Islamika, Vol.
10. No.2003. Hlm. 180
2
Lihat Rencana Pembelajaran Semester Fakultas Sosial, Ekonomi dan Humaniora Prodi Hukum Syariah
Universitas Nahdlatul Ulama Purwokerto Tahun 2020

1
Objek kajian disiplin ilmu adalah sasaran yang akan dikaji dalam sebuah disiplin ilmu.
Kajian disiplin ilmu memiliki objek kajian material dan formal. Objek kajian yang dikaji
secara material dalam ilmu kepenghuluan adalah penghulu dan tugasnya. Sedangkan objek
kajian secara formal, bahwa ilmu kepenghuluan menkaji penghulu sebagai suatu profesi
yang memiliki kewajiban mencatat nikah sesuai undang-undang pernikahan, dan mengkaji
penghulu sebagai seorang yang dianggap memahami hukum pernikhan, baik secara Syari’at,
secara undang-undang perkawinan atau undang-undang kependudukan. Lebih lanjut
kepenghuluan mengkaji penghulu baik dari pengangkatannya sebagai penghulu, peran
penghulu sebagai pembimbing calon pengantis, syarat-syarat menjadi penghulu, aturan
perundangan yang mentaur penghulu serta tugas-tugasnya sesuai dengan aturan perundang-
undangan.
Penghulu sebagai pewai pencatat pernikahan harus menguasi hukum munakahat dalam
bab fikih Islam, selain itu ia juga harus menguasai aturan perundangan tetang perkawinan di
Indonesia. Penguasaan pengetahuan tersebut juga akan menjadi bagian pokok dalam kajian-
kajian pada mata kuliah ilmu kepenghuluan.

B. Ruang Lingkup Kajian


Sebagai disiplin ilmu, kepenghuluan mengkaji suatu profesi sesorang yang dianggkat
menjadi seorang penghulu, peran dan mengkaji tugas-tugasnya. Bagi mereka yang hanya
melihat penghulu dari sisi penguasaan keilmuan yang harus dimiliki penghulu, maka mereka
akan menyangka bahwa ilmu kepenghuluan sekilas seperti mata kuliah hukum pernikahan
yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam. Sedang bagi mereka yang hanya melihat ilmu
kepenghuluan dari sisi pengangkatannya dan tugas-tugasnya, maka akan menyangka disiplin
ilmu kepnghuluan adalah aturan-aturan yang mengatur tentang penghulu sebagai pegawai
pencatat nikah saja.
Cakupan kajian kepenghuluan secara garis besar bertitik pada keprofesian penghulu
sebagai pencatat nikah atau sebagai orang dianggap tahu tentang hukum pernikhan.
Sehingga ruang lingkup kajiannya dapat dijabarkan sesuai dengan keprofesian dan tugas-
tugas penghulu yang meliputi, Pengertian kepenghuluan, Sejarah institusi kepenghuluan di
Indonesia (pra kolonial, kolonial Belanda, kolonial Jepang dan kemerdekaan), Tugas pokok
dan fungsi Penghulu resmi negara atau penghulu KUA, Akibat hukum yang muncul

2
berdasarkan hukum Islam dan hukum negara dari perkawinan melalui penghulu resmi
negara, Proses pendaftaran nikah/rujuk ke KUA, Tata cara wakil wali nikah oleh penghulu
resmi negara (wali hakim), Fungsi Suscatin (kursus calon pengantin) sebagai metode dan
teknik penasehatan serta konsultasi keluarga sakinah, Tata cara pelaksanaan akad nikah,
Perkawinan campur, Perkawinan beda agama, Rujuk dan Praktek atau simulasi akad
perkawinan dengan penghulu resmi negara.3 Beberapa pembahasn ini dapat dikembangkan
seiring dengan waktu sesuai aturan perundangan yang mengatur tentang penghulu atau
kepentingan pembelajaran di masa selanjutnya.
Berdasarkan urain ruang lingkup pembahsan di atas tentu kita akan dapat memisahkan
antara peraturan perundangan perkawinan dengan kepenghuluan sebagai disiplin ilmu, kita
juga dapat membedakan peraturan perundangan yang mengatur tentang kepenghuluan dan
apa saja tugasnya, kita juga dapat membedakan pencatatn admitrasi pernikahan, perceraian
dan juga sebagian kecil hukum perkawinan. Semuan yang termasuk ruang lingkup
pembahasan tersebut akan dibahas dalam pembahasan ilmu kepenghuluan.

C. Kegunaan
Kegunaan memepelajari suatu disiplin ilmu sangatlah relative, artinya kegunaan
mempelajari disiplin ilmu sangat dipengaruhi oleh keinginan dan hasrat subjek yang
mempelajri ilmu. Semisal, seorang yang mempelajari ilmu sosiologi, seharusnya ia dapat
mengukur tingkat social, dapat menggunakan ilmu sosiologinya untuk melihat peluangnya
menjadi anggota legeslatif, namun ia tidak menggunakan ilmu tersebut untuk hal tersebut,
maka ia bisa dikategorikan orang belum dapat memanfaatkan ilmunya untuk tujuanya. Lebih
lanjut, kegunaan ilmu tergantung pada siapa yang memiliki ilmu. Sisi relatifnya adalah
keguaan ilmu tergantung pada kemauan dan kemampuan subjek untuk memanfaatkan ilmu
yang dimilikinya.
Factor lain yang mempengaruhi kegunaan ilmu adalah perubahan zaman. Seorang yang
tidak menganggap suatu ilmu akan berguna pada masa ia belajar, suatu saat tidak disangka ia
membutuhkan ilmu tersebut, hal ini karena adanya perubahan zaman dan kepentingan di
masa mendatang. Namun walau demikian adanya, kegunaan suatu disiplin ilmu harus

3
Lihat Rencana Pembelajaran Semester Fakultas Sosial, Ekonomi dan Humaniora Prodi Hukum Syariah
Universitas Nahdlatul Ulama Pureokerto Tahun 2020

3
diungkapkan untuk membatasi kegunaan ilmu tersebut dengan ilmu yang lain dan juga untuk
memberi motivasi bagi siapa saja yang mepelajari ilmu tersebut.
Kegunaan ilmu kepenghuluan sebagai salah satu disiplin ilmu adalah sebagai suatu
pengatahuan bagi masyarakat luas tentang profesi kepenghuluan dan tugasnya, hal ini akan
membantu bagi mereka yang akan melaksanakan pernikahan. Minimal mengetahui syarat
apa saja untuk mengajukan pendaftaran nikah di Kantor Urusan Agama di mana mereka
tinggal. Bagi mahasiswa hukum syariah khususnya prodi Ahwal as Syakhsiyah, mata kulia
kepenghuluan dapat menambah pengatahuan mewujudkan karir profesinya saat ia lulus
menjadi sarjana nanti. Selain itu, disiplin ilmu kepenghuluan juga dapat sebagai suatu
pengatahuan awal untuk melakukan suatu penelitian tentang kepenghuluan di Kantor Urusan
Agama.

D. Kekesimpulan.
Setiap disiplin ilmu pasti memliki definisi yang membatasi masuknya pengertian dan
pembahasan ilmu yang lain. Dalam kaitan ini, Ilmu kepenghuluan adalah ilmu yang
mepelajari profesi kepenghuluan, peran dan tugas-tugasnya sebagai pegawai negeri sipil atau
ilmu yang mempelajari penghulu sebagai pelaksana teknis departeman agama. Objek
pembahasnya adalah keprofeisan penghulu, fungsi dan tugasnya. Cakupan kajianya sangat
luas yakni pengangkatan penghulu hingga tugas dan fungsi penghulu. Kegunaan ilmu
kepenghuluan adalah sebagai pengetahuan tentang tugas pokok penghulu dan fungsinya dan
juga sebagai pengetahuan bagaimana cara mengajukan peendaftaran nikahan nikah, rujuk
bagi masyarakat luas.

4
SEJARAH INSTITUSI KEPENGHULUAN DI INDONESIA

Sejarah institusi kepenghuluan diketahui sudah lahir sejak zaman kerajaan Islam di nusantara.
Sistem kerajaan atau monarkhi tersebut memposisikan lembaga kepenghuluan setara dengan
penasehat raja, qādi atau syaikhul al-Islam. Meski begitu perkembangan lembaga kepenghuluan
tidak serta merta menjadi lembaga keagamaan yang stagnan dalam bentuk yang begitu-begitu
saja. Lembaga kepenghuluan setiap priodiknya mengalami perubahan-perubahan posisi di dalam
struktur pemerintahan.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda posisi penghulu berkedudukan sebagai mufti4 dan
sebagai qādi (hakim) yang berkantor di mahkamah as-syari’ah atau pengadilan agama Islam.
Namun di akhir pemrintahan kolonial Belanda tepatnya apada akhir abad 19an, keberadaan
penghulu tidak begitu urgen sebagaimana pada masa sebelumnya. Pada masa kolonial Belnada
seolah fungsi dan posisi penghulu hampir hilang. Hal ini menyusul kebijakan pemerintahan
kolonial Belanda yang melimpahkan persoalan agama ke pengadilan negeri, sedang penghulu
hanya sebagai pnasihat adat, sebagai pemuka agama yang dapat menikahkan dan menjadi wali
nikah. Posisi dan fungsi penghulu pada masa ini dapat dianggap sebagai miniature penghulu
pada masa kemerdekaan, yakni bertugas hanya sebagai pencatat pernikahan, menajdi wali adhal
dan menjadi wakil wali nikah.
Dalam kaitan ini, tentu menarik untuk kita telusuri bagaimana lebih lanjut perkembangan
lembaga kepenghuluan pada masa kerajaan Islam hingga kemerdekaan. Dalam pembahasan ini
penulis akan memetakan perkembanga intansi kepenghuluan dalam empat priode, yakni
kepnghuluan di masa pra kolonial, masa kolonial Belanda, masa Kolonial Jepang dan masa
kemerdekaan.

A. Masa Pra Kolonial


Agar tidak rancu, perlu dijelaskan apa yang dimaksud sejarah penghulu pra kolonial. Sejarah
penghulu di Indonesia pra kolonial yang maksudkan adalah munculnya istilah penghulu pada
saat kerajaan Islam di Indonesia, atau keberdaan pengluhu sebelum adanya pemerintahan
kolonial Belanda, tepatnya pada tahun 1800 an masehi. Dalam sejarah perkembangan Indonesia
pada saat itu, VOC dinyatakan bubar dan Belanda mengambil alih kepulauan nusantra. Istilah
penghulu di Indonesia dapat ditelusuri mulai dari masa kerajaan Islam di Indoneisa sebelum

4
Seorang yang dapat memberi fatwa tentang hukum agama Islam

5
lahirnya pemerintahan kolonial Belanda.5 Dari sini dapat dikatakan bahwa sejarah perkembangan
penghulu tidak terlepas dari sejarah perkembangan kerajaan Islam di Indonesia sebelum
pemerintahan kolonial Belanda.
Sistem kerajaan Islam di Indonesia yang menerapkan sistem yang sedikit berbeda dengan
sistem pemerintahan prisidensial seperti saat ini, telah memposisikan penghulu menjadi jabatan
strategis dalam stuktur kerajaan pada saat itu. Kerajaan Demak adalah kerajaan yang pertama
kali berdiri di tanah Jawa. Sistem stuktural pemerintahan kerajaan Demak saat itu memposisikan
Penghulu sejajar dengan Pati dan Adipati dibawa kekuasaan raja. Pati berkedudukan sebagai
pembantu raja dalam bidang kementrian, Adipati sebagai wakil raja dalam bidang ketahanan dan
militer, dan penghulu sebagai pembantu raja dalam bidang urusan agama.6
Selanjutnya kerajaan Mataram misalnya, kerajaan ini membuat hirarki pemimpin agama dari
tingkat desa hingga pusat kerajaan. Istilah pemimpin agama tingkat desa disebut dengan Kaum,
Amil, Modin, Kayim dan Lebai,7 di tingkat kecamatan atau kawedanan disebut Penghulu Naib,
tingkat kabupaten disebut Penghulu, dan ditingkat pusat kerajaan disebut dengan Kanjeng
Penghulu atau juga disebut Penghulu Agung, hal ini berlaku pada kerajaan mataram baik di
Surakarta ataupun di Jogjakarta.8
Secara umum tugas penghulu pada abad 16-19 M adalah sebagai penasihat raja dalam
masalah agama, menjadi imam masjid agung, menjadi wali nikah atau memastikan kegiatan
keagamaan atau amaliyah agama dilaksanakan oleh masyarakat luas. Di luar itu penghulu juga
sebagai Qādi pada kasus tertentu yang berkaitan dengan aturan kerajaan yang bersifat agama
seperti pembunuhan tanpa hak dan lain sebagainya. Dalam tugas sebagai penasihat raja,
penghulu diwajibkan menguasai ilmu-ilmu umum seperti ilmu perbintangan dan juga cakap
dalam berdiplomasi.9
Tugas penghulu masa kerajaan, sebagiaman di sebutkan dalam Serat Centhini yang juga
dijelaskan oleh Fauzan Naif bahwa tugas-tugas penghulu adalah sebagai hakim, guru,
khatib, muadzin, menikahkan, mengurus jenazah dan juga berdoa (ndongani). Dalam

5
Amelia Fauzia. Antara Hitam dan Putih: Pengulu pada Masa Kolonial Belanda. Studia Islamika, VoI. L0,
No. 2,2003. Hlm.180
6
Amelia Fauzia. Antara Hitam dan Putih: Pengulu pada Masa Kolonial Belanda. Studia Islamika…
7
Lebai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mv adalah Pegawai masjid atau orang yang
mengurus suatu pekerjaan yang bertalian dengan agama Islam di dusun
8
Dalil S.Lev. Pengadilan Agama Islam Di Indonesia, Suatu Study Tentang Landasan Politik Lembaga
Hukum. (Jakarta, PT. Intermasa, 1986), cet.II. Hlm.3
9
Amelia Fauzia. Antara Hitam dan Putih: Pengulu pada Masa Kolonial Belanda. Studia Islamika

6
penelitianya, Naif menyimpulkan bahwa dalam serat centhini tidak disebutkan penghulu
sebagai mufti yang mengelurakan fatwa agama pada masa itu. Mufti adalah seorang yang
memiliki keahlian yang sangat luas tentang agama, sementara menrut Naif hal itu tidak
dimiliki, karena kebanyakan seorang yang bergelar penghulu pada saat itu lebih banyak
menjadi pemimpin doa dalam setiap acara ritual agama. 10
System perekrutan penghulu pada masa ini melalui tiga cara, Pertama, penghulu dipilih
oleh bupati. Penghulu yang dipilih oleh bupati adalah kiai desa, alasan memilih penghulu
dari kalangan kiai adalah kedudukan kiai di amsyarakat sangat strategis, di mana kiai dapat
mengakomodasi permasalahan agama masyarakatnya baik yang bersifat agama atau
pemerintahan, hal ini karena trust masyakat kepada kiai masih tinggi pada masa itu. Kedua,
penghulu diambil dari keluarga penghulu sebelumnya yang di lihat memiliki kopentensi
untuk menyelesaikan masalah agama dan kemasyarakatan. Ketiga, rekrutmen penghulu
mulai memiliki system yang terbuka, yakni perekrutan penghulu dilakukan dengan cara
magang.
Pada tahun 1905 para kiai di jawa berinisiatif untuk mendirikan lemabaga pendidikan
agama yang tujuanya selain memberi pendidikan kepada masyarakat umum lemabga
pendidikan ini juga sebagai pendidikan yang harus diikuti bagi mereka yang ingin menjadi
penghulu. Nama pendidikan tersebuta adalah Madrasah Mamba’ul ‘ulum. Bagi mereka yang
telah mengikuti test kepenghuluan akan lanjut kepada program selanjutnya yakni magang.
System rekrutmen magang tersebut tidak hilang, justru masuk dalam admitrasi pemerintahan
Kolonial.

B. Masa Kolonial Belanda


Di masa awal kolonial Belanda, penghulu masih memililiki posisi strategis, yakni sebagai
Qādi (hakim) pada mahkamah syari’ah pemerintahan hindia belanda. Hal ini bertujuan agar
masyarakat pribumi tidak membrontak pada pemerintahan hindia belanda. Pada masa
kerajaan simbol dan sistem mahkamah syariah sudah berdiri. Semua itu Agar masyarakat
pribumi tidak melakukan penolakan yang masif atas pemerintahan belanda, pemerintahan

Fauzan Naif, Potret Penghulu Jawa, Telaah atas Serat Chentini, Harga Diri Dan Ekspresi Budaya Lokal.
10

Hlm.137-138

7
belanda membiarkan mahkamah syariah itu tetap ada hingga diakhir abad ke 19-an, tepatnya
pada masa jabatan gubernur jendral Herman Willem Daendels.11
Penghulu pada saat itu dijadikan penasehat hukum adat Islam di pengadilan negeri yang
disebut lendaard sebagai bentukan dari pemerintahan Belanda. Penghulu yang masuk posisi
penashat hukum adat Islam adalah penghulu yang berada ditingkat kabupaten di wilayah
provinsi. Penghulu tersebut disebut Kajeng Penghulu Lendaard. 12 Dianggkatnya penghulu
sebagai penasihat adat hukum Islam selain untuk menarik perhatian masyarakat pribumi juga
berfungsi sebagai penelaah kesamaan hukum Benlanda dan hukum adat Islam. Hal ini agar
masyakat mudah menerima pemerintahan belanda. Selain itu, menurut Amelia Fauzia ada
pula upaya kritenisasi yang dilakukan oleh pemerintahan Belanda diterima masyarakat
pribumi agar masyarakat pribumi menerim pemerintahan Belanada.13
Kemudian System mahkamah syariah pada saat ini mulai dihilangkan baik fungsi dan
tugasnya. Pemerintahan Belanda pada saat itu mencoba mengubah aturan-aturan hukum
masyarakat pribumi dan menggantikanya dengan sistem hukum eropa yang menurut mereka
lebih mudah untuk mengambil hak-hak masyarakat pribumi. Banyaknya putusan penghulu
Lendaard yang dianulir oleh hakim Lendaard. Hakim Lendaard banyak memutuskan
perkara sebelum disidangkan oleh penghulu Lendaard. Kondisi seperti ini membuat bingung
masyarakat pribumi, dan membuat masyarakat memberontak kepada pemerintahan Belanda.
Usaha untuk meredam dengan membawa peramsaalahan ini kepada presiden Jawa-Madura
tidak menemui hasil, maka selanjutnya pemerintahan Belanda menyerahkan masalah ini
kepada mentri jajahan. Pada akhirnya dikeluarkan putusan harus didirikanya pengadilan
Islam. Keputusan ini lalu ditanda tangani oleh raja Wiliam III, dan pengadilan itu diberi
istilah Priesteraad.14
Istilah Priesteraad bukanlah istilah yang bisa diplikasikan pada pengadilan masyakat
muslim. Penggunaan istilah inipun menuai mendapat kritik dari Snouck Hurgronje. Istilah
Priesteraad menurut Snouck Hurgronje adalah istilah yang lahir karena ketidak tahuan

11
Amelia Fauzia. Antara Hitam dan Putih: Pengulu pada Masa Kolonial Belanda. Studia Islamika…Hlm.
186
12
Fauzan Naif, Potret Penghulu Jawa, Telaah atas Serat Chentini, Harga Diri Dan Ekspresi Budaya Lokal.
Hlm. 81
13
Amelia Fauzia. Antara Hitam dan Putih: Pengulu pada Masa Kolonial Belanda. Studia Islamika…Hlm.
187
14
Amelia Fauzia. Antara Hitam dan Putih: Pengulu pada Masa Kolonial Belanda. Studia Islamika…
Hlm.187

8
tentang ajaran Islam, menurutnya yang paling tepat adalah menggunakan raad agama atau
pengadilan agama. Keanehan lain, penghulu yang ada pada Prierteraad tidak digaji oleh
pemerintah, melainkan digaji dari hasil biaya-biaya pendaftaran perkara, pendaftaran nikah,
dan jug kas-kas masjid. Dapat dikatakan didirikan Peradilan Agama di Indonesia, lahir pada
tanggal 1 Agustus 1882, berdasarkan keputusan Raja Belanda William III Nomor 24 tgl 13
Januari 1882 yang dimuat di dalam Staatsblad 1882 No. 152.15
Tugas penghulu masa Kolonial, selain dijelaskan di atas adalah penghulu bertugas
sebagai mediator dan sebagai individu yang menjadi penyeimbang masyarakat muslim
dilingkunganya dengan atasannya. Penghulu pada sebelum masa ini yang awalnya sebagai
instusi pribumi berubah menjadi instutusi koloni, karena posisinya yang ada dalam admitrasi
birokrasi pemerintahan koloni. Salah satu dari konsekuensi perubahan ini adalah adanya
sistem rekrutmen dan prosedur promosi jabatan.16Posisi penghulu pada masa ini dianggap
tidak baik oleh beberapa pengamat. Fungsi-fungsi pokok penghulu sedikit ternodai dengan
kewajiban mereka membela pemerintahan koloni belanda di satu sisi dan memebela pribumi
disisi yang lain.17
Beberapa teori yang meperkuat posisi hukum Islam harus diakomodasi dengan Reed
Agama adalah, Pertama, bahwa hukum mengikuti agama yg dianut seseorang. Oleh karena
itu jika orangnya beragama Islam, maka hukum Islamlah yang berlaku baginya (Teori
Receptie In Complexu Van Den Berg, 1845-1935), Kedua, bahwa untuk mencegah
perlawanan umat Islam terhadap pemerintah Belanda, orang-orang pribumi yang beragama
Islam tetap tinggal dalam lingkungan hukum agama dan adat istiadat mereka (Paul
Scholten), dan Ketiga, hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum Adat.
Jadi hukum Adatlah yang menentukan ada atau tidaknya hukum Islam (Teori Receptive
Snouck Hurgronye, 1857-1936).18
Jenjang penghulu pada masa pemerintahan belanda sesuai stuktur pemerintahan Belanda.
Tingkat pertama penghulu yang berada dikabupaten disebut penghulu kepala atau hoofd

15
Ruslan H.R. Diklat Kepenghuluan, Analisis Putusan Pengadilan Agama Terkait Dengan Nikah Dan Rujuk.
Hlm.3
16
Amelia Fauzia. Antara Hitam dan Putih: Pengulu pada Masa Kolonial Belanda. Studia Islamika…
Hlm.188
17
Amelia Fauzia. Antara Hitam dan Putih: Pengulu pada Masa Kolonial Belanda. Studia Islamika…
Hlm.188-1989
18
Ruslan H.R. Diklat Kepenghuluan, Analisis Putusan Pengadilan Agama Terkait Dengan Nikah Dan
Rujuk. Hlm.3-4

9
penghulu), sedangkan yang kedua penghulu distrik dan onderdistrik dikaewedanan dan
kecamatan.19

C. Masa Kolonial Jepang


Perhatian jepang kepada penghulu semakin jelas. Di masa sebelumnya penghulu berada
pada wilayah kerja mahkama agama yang masih banyak tarik ulur kepentingan. Pada masa
ini Jepang memberi perhatian kepada lembaga keagamaan dengan mendirikan Shumubu
sebagai satu-atunya departemen agama. Dengan adanya Shumubu ini wilayah kerja
penghulu tidak lagi pada wilaya kerja mahkama agama, melainkan pada wilayah departeman
agama. Rifai Shadiq Fathani20 menjelaskan Shumubu membuka cabang di kota-kota pada
tahun 1944, lembaga itu awalnya diketuai oleh orang Jepang bernama Horie pada tahun
1942, lalu kemudian diketuai oleh Husain Djajaningrat dan K.H Hasyim ‘Asy’ari pada tahun
1944.
Keseriusan pemerintahan Jepang menata lembaga penghuluan di bawa Shumubu begitu
kentara saat pemerintahan Jepang di Indonesia mengadakan pelatihan penghulu dan
adminitrasi negara. Kesan masyakat pribumi atas kedatangan Jepang sangat baik hingga
masyakat pribumi menyanjung Jepang dengan sanjunagan “Jepang cahaya Asia, Jepang
penyelamat Asia dan Jepang pemimpin asia”.21
Perbedaan sikap kolonial belanda dan Jepang terhadap penghulu dapat ditengarai
terhadap dua hal, Pertama. Pada masa belanda yang menjadi sandaran politik adalah para
priyai, sedang pada masa Jepang, yang menajadi sandaran politik pada saat itu adalah ulama
nasionalis sekuler. Kedua. Kolonial Belanda dianggap tidak pernah memberi perhatian lebih
pada golongan Islam dan ulamanya, sementara asumsi masyarakat pada masa jepang
menggap Jepang telah memberi perhatina pada orang muslim dan para
ulamanya.22Kendatipun demikian perhatian Jepang kepada penghulu dan masyarakat
pribumi tentunya tidak menapikan tujuan dan kepentingan mereka sebagai negara penjajah.
Sebagaimana Belanda memberikan perhatian di awal-awal penjajahanya memiliki tujuan

19
Lihat M. Fuad Nasar. Profesi Penghulu Mahal. http://bimasIslam.kemenag.go.id/post/opini/penghulu-
profesi-mahal-
20
Rifai Shadiq Fathani, Dinamika Penghulu Indonesia, Kerajaan Islam –Kemerdekaan.
https://wawasansejarah.com/dinamika-penghulu-indonesia/
21

22
Rifai Shadiq Fathani, Dinamika Penghulu Indonesia, Kerajaan Islam –Kemerdekaan.
https://wawasansejarah.com/dinamika-penghulu-indonesia/

10
agar ia diterimah oleh masyarakat pribumi, Jepangpun sama, mereka memberi perhatian
agara diterima oleh masyarkat pribumi.
Tugas penghulu pada saat ini memang diakui mengalami pergeseran, yakni yang awalnya
penghulu memiliki tugas dan wewenag tidak hanya menikahkan, mengurus zakat, wakaf,
menjadi ta’mir masjid kota dan memutus perkara agama, namun juga bertugas sebagai
penyelengara pngajian-pengajian dalam muamalah syariah.

D. Masa Awal Kemerdekaan


Tuntutan pengetahuan yang menjadi standarisasi penghulu ditingkatkan pada priode awal
abad ke 20 M, di mana pada masa sebelumnya para penghulu cukup berlatar belakang santri
langgar atau Surau dan Pesantren saja. Pada masa ini peningkatan standar kopentensi
pengetahuan yang ditetapkan oleh pemerintah mendorong calon penghulu untuk mengenyam
pendidikan tingkat madrasah. Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang banyak
mengadopsi sistem pendidikan Eropa dianggap memiliki peran penting dalam meningkatkan
kualitas penghulu. Madrasah Mambaul Ulum yang didirikan pada tahun 1905 adalah
lembaga pendidikan non pemerintah dibangun atas inisiatif para penghulu.23
Setelah Indonesia merdeka, terdapat beberapa peraturan pernikahan Islam. Di antaranya
adalah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk,
yang ditetapkan pada tanggal 21 Nopember 1946 dan terdiri dari 7 pasal. Ketentuan tentang
pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 1 ayat (1), yaitu: “Nikah yang dilakukan menurut
agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat
oleh Menteri Agama atau oleh Pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan Rujuk yang
dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut Talak dan Rujuk, diberitahukan kepada
Pegawai Pencatat Nikah.24
Sebelum lahirnya Undang-undang pernikahan, di tahun yang sama tepatnya tanggal 3
Januari 1946, pemerintah Indonesia membentuk kementrian agama atau waktu itu masih
beristilah Departeman Agama Republik Indonesia.25 Seolah-olah Shumubu pada masa
Jepang menjadi emberio lahirnya Departemen Agama Republik Indonesia, hal ini melihat
23
Amelia Fauzia. Antara Hitam dan Putih: Pengulu pada Masa Kolonial Belanda. Studia Islamika…
Hlm.184
24
Nafi’ Mubarok, Sejarah Hukum Pencatatan Perkawinan di Indonesia, Justicia Islamica, Vol. 14 No. 1
Tahun 2017. Hlm.78
25
Rifai Shadiq Fathani, Dinamika Penghulu Indonesia, Kerajaan Islam –Kemerdekaan.
https://wawasansejarah.com/dinamika-penghulu-indonesia/

11
dari fungsi dan kedudukan Shumubu pada masa Jepang hampir sama dengan Departeman
Agama pada masa kemerdekaan. Muhammad Fuad Nasar menjelaskan bahwa Kantor
Usrusan Agama yang pertama kali berdiri adalah di kabupaten Kediri pada tahun 1948.
Selanjutnya P3NTR untuk desa-desa di luar Jawa dan Madura. 26
Penghulu masuk ke dalam bagian Departeman Agama Republik Indoensia di bawah
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, yakni subdiriktorat
kepenghuluan. Penghulu yang pada saat itu berada di derektorat Jendral Bimbingan
Masyatakat dan urusan Haji memiliki tugas menyelenggarakan bimbingan masyakat pada
maslah pernikahan, Thalak, Khuluk dan Ruju’. Selain itu sub direktorat kepenghuluan juga
berfungsi sebagai; Pertama, sebagai penghimpun dan penganalisis perundangan di bidang
nikah, Thalak, Khuuk dan Ruju’. Kedua. Merumuskan pemberian bimbingan di bidang
nikah, Thalak, Khuluk dan Ruju’. Ketiga. Merencanakan dan mempasilitasi nikah, Thalak,
Khuluk dan Ruju’. Keempat. Melaksanakan pengendalian nikah, Thalak, Khuluk dan Ruju’.
Secara garis besar fungsi dari pada penghulu adalah sebagai pengawal tegaknya hukum
perkawinan masyarakat muslim indonesia, hal ini dapat dilihat dengan lahirnya aturan
perundangan perkawinan Islam sebagaiaman dalam undang-undang No 1 tahun 1974
tentang perekawinan.
Pada masa selanjutnya, upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang
kepenghuluan, pemerintah merekrut penghulu dari lulusan terbaik di fakultas ushuludin
IAIN rangking 1-10. Hal ini seusai intruksi mentri agama yang saat itu dijabat oleh Tirmidzi
Taher pada tahun 1993-1989.27 Berbeda dengan masa-masa sebelumnya yang mencukupkan
perekrutan penghulu dari kalangan tamatan langgar atau keturunan guru ngaji dan lulusan
madrasah.
Penghulu sebagaimana diterjmahkan oleh PMA No. 30 Tahun 2005 adalah pegawai
negeri sipil sebagai pencatat nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak
secara penuh oleh mentri agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai perundangan yang
berlaku untuk pengawasan nikah atau rujuk menurut agma Islam. 28 Kedudukan penghulu
pada masa saat ini merupakan jabatan fungsional termasuk dalam rumpun keagamaan.
26
Lihat M. Fuad Nasar. Profesi Penghulu Mahal. http://bimasIslam.kemenag.go.id/post/opini/penghulu-
profesi-mahal-
27
Lihat M. Fuad Nasar. Profesi Penghulu Mahal. http://bimasIslam.kemenag.go.id/post/opini/penghulu-
profesi-mahal-
28
Lihat pasal 1 ayat 3 PMA No. 30 Tahun 2005 tentang wali hakim

12
Penghulu juga sebgai pelaksana teknis pada Departeman Agama. 29 Artinya posisi penghulu
pada masa saat ini adalah lebih strategis masa sebelumnya. Berbeda hal pada masa belanda
yang posisinya tidak jelas, apakah ia masuk birokrasi pemerintahan atau hanya sebagai
tokoh masyarakat yang berfungsi membujuk masyarakat pribumi agar patuh pada
pemerintahn Belanda pada saat itu.

E. KeKesimpulan
Kepenghuluan di Indonesia telah lahir sebelum republik Indonesia lahir, di mana kita
kekatahui kepenghuluan di Indonesia telah lahir sejak munculnya sitem kerajaan Islam yang
menyebar di nusantara. Kepengluan memiliki posisi yang strategis, penghulu dapat
didudukan sejajar dengan para mentri pada saat zaman kerajaan. Lalu menjadi tidak jelas
kedudukannya dizaman pemrintahan Belanda karena kedudukanya seolah-olah tidak ada
saat penghulu didudukan sebagai hakim raad agama. Sedikit berubah, Jepang seolah
mengembalikan posisi penghulu pada posisi yang tepat, meski juga tidak dikatakan
sempurna. Adanya lembaga Shumubu seolah-olah memberikan posisi yang elegan bagi
penghulu pada masa Jepang.
System perekrutan penghulu pada masa kemasa tidak kalah menarik untuk diperhatikan,
pada zaman kerajaan Islam penghulu adalah Mufti sehingga tidak main-main keahlian
ilmunya. Namun di masa Belanda perekrutan terkesan serampangan hanya mengadalkan
lulusan surau atau keturunan penghulu sebelumnya, seolah-olah menunjukan penghulu pada
masa itu tidak memiliki kapasitas yang mumpuni, wajar jika beberapa peneliti
menyimpulkan penghulu hanya mampu memimpin doa dan memimpin amaliyah ibadah
saja. Berbalik banding dengan masa 1993-1989, apa yang dilakukan oleh mentri agama saat
itu seolah-olah memposisikan penghulu yang bukan hanya bekerja dibirokrasi saja namun
juga menjadi pemomong masyarakat disekitarnya, terlebih dapat menyelesaikan
permaslahan hukum Syari’at yang dinamis.

29
Lihat pasal 2-3 Kepmenpan No. Kep/42/M.PAN/4/2004

13
PENGHULU RESMI NEGARA DAN PENGHULU TIDAK RESMI MENURUT
UNDANG-UNDANG

Di dalam pernikahan masyarakat muslim Indonesia terdapat seorang wali sebagai rukun
dari sahnya pernikahan. Selain seorang wali, adapula seorang Pegawai Pencatat Nikah
sebagai seorang yang diberi tugas oleh pemerintah untuk melakukan pencatatan pernikahan,
hal ini guna pernikahan mendapat legalitas formal atau mendapat kekutan hukum menurut
hukum yang berlaku di Indonesia. Dengan legalitas formal tersebut suatu saat jika terjadi
sengketa dari penikahan, maka kedua bela pihak atau pihak lain dapat melakukan tindakan
hukum di Peradilan Agama.
Meski Syari’at tidak mensyaratkan kewajiban pencatatan pernikahan dalam pernikahan
masyarakat muslim, pencatatan pernikahan dianggap urgen keberadaannya sehingga
pemerintah sebagai pemegang kekusaan merasa penting untuk mengatur warga negaranya
dengan membuat suatu kebijakan berupa wajibnya pencatatn pernikahan bagi siapa saja
yang ingin melakukan pernikahan. Meski begitu adanya, masih banyak yang tidak sadar
akan pentingnya pencatatan pernikahan di depan pegawai pencatat nikah. Hal ini merujuk
pada sikap masyarakat muslim Indonesia yang masih banyak melakukan pernikahan di bawa
tangan atau nikah tanpa pencatatan pernikahan.
Pembahasan ini akan membahas beberapa hal tentang pegawai pencatat nikah yang dapat
kita sebut dengan penghulu. Penghulu yang dimaksud adalah seorang yang dianggap cakap
dan berwenang menuntun kedua belah pihak dalam pernikahan untuk menikahkan
pengantin. Penghulu dalam pembahasan ini ada dua macam, yakni penghulu resmi negara
dan penghulu tidak resmi. Klasifikasi macam penghulu dan untuk membedakan
macamnyanya akan diulas pembahasan sebagaimana berikut.

A. Penegertian Penghulu Resmi Negara dan Penghulu Tidak Resmi


Dalam Peraturan Mahkamah Agung pegawai pencatat nikah (penghulu) resmi dibagi atas
dua macam. yakni Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan Pegewai Pencatat Nikah Luar Negeri
(PPN LN). PPN adalah pegawai negeri sipil yang ditugaskan oleh Menteri Agama atau
pegawai yang ditunjuk untuk melakukan pencatatan nikah bagi masyarakat Islam di
Indonesia. Sedangkan Pegawai Pencatat Nikah Luar Negeri yang selanjutnya disingkat PPN
LN adalah pegawai yang diangkat oleh Kepala Perwakilan Republik Indonesia Luar Negeri

14
yang melaksanakan tugas pencatatan nikah masyarakat Islam di luar negeri.30 Keduanya,
baika Pegawai Pencatat Nikah atau Pegawai Pencatan Nikah Luar Negeri adalah sebagai
penghulu resmi dalam pembahasan ini. Dianggap sebagai penghulu resmi karena keduanya
adalah pegawai yang secara resmi dianggat oleh pemerintah untuk menjalankan tugas
pencatatan pernikahan di Indonesia. Selain itu mereka memiliki tugas pokok sebagai
pencatat pernikahan dan sebagai pegawai yang berwenang mengeluarkan akte atau buku
rnikh secara resmi.
Sedangkan penghulu tidak resmi adalah penghulu yang dulunya sebagai pembantu
pegawai pencatat nikah dan telah habis kontrak kerjanya. Bisa juga dikategorikan penghulu
tidak resmi adalah penghulu yang berkedudukan sebagai seorang kiai atau tokoh adat yang
diminta untuk menikahkan dengan tanpa didampingi pegawai pencatat nikah, sehingga
pernikahan dihadapannya tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama secara resmi.
Penghulu tidak resmi juga dapat disebut penghulu Kiai atau siapapun yang menikahkan
tanpa seorang pegawai pencatat nikah. Disebut penghulu kiai, karena masyarakat muslim
memiliki kecederungan menggunakan jasa Kiai dalam sebuah pernikahan untuk menuntun
akad pernikahan. Pernikahan dibawah tuntunan sighat akad Kiai tidak dikatakan nikah resmi
jika pernikahannya tidak didampingi atau disaksikan oleh pegawai pencatat nikah, nikahnya
disebut nikah siri.
Perbedaan antara penghulu resmi dan tidak resmi sebetulnya hanya lingkup
kewenangannya saja. Seorang penghulu resmi memiliki kewenagangan untuk mencatat
pernikhan sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam urusan pernikahan, sedang sorang
kiai tidak memiliki kewenagan mencatat nikah, karena ia bukan kepanjangan tangan
pemerintah untuk mencatat pernikahan. Dalam menengarai suatu pernikahan resmi atau
tidak, maka pihak mempelai perlu melakukan upaya pencatatan nikah. Sehingga pernikahan
dicatat atau tidak dicatat menjadi penentu resmi tidaknya pernikahan.
Suatu pernikahan yang dilakukan di depan Kiai namun juga di depan seorang pegawai
pencatat nikah dalam satu majlis, nikah sperti ini disebut nikah resmi dan tidak dikatakan
nikah di bawah tangan. Seorang Kiai dalam praktik pernikahn seperti ini hanya menuntun
akad nikah kedua mepepelai. Kebanyakan Masyakat kita meminta Kiai untuk menikahkan
mepelai sebagai wakil dari wali nasab yang mempercayakan pernikahan anaknya pada kiai,

30
Lihat Pasal 1 Peraturan Mentri Agama Indonesia No: 20 Tahun 2019 Tentang Pencatatn Pernikahan

15
sedangkan pegawai pencatat nikah bertugas sebagai pencacat nikah atau saksi pernikahan.
Namun sebaliknya jika seorang kiai diminta atau tidak diminta menikahkan dan atau
menuntun akad nikah memepelai tanpa didampingi pegawai pencatat nikah atau tanpa
pemberitahuan kepada pegawai KUA, nikah seperti ini dianggap pernikhan tidak resmi atau
nikah di bawa tangan.
Sulit tidak mengatakan pernikahan tidak resmi, jika Kiai diminta menikahkan mempelai
didampingi petugas pegawai pencacat nikah. Meski Kiai bukanlah pegawai pencacat nikah,
pernikahan yang dilakukan didepannya dalam keadaan didampingi pegawa pencatat nikah
akan tetap memiliki kekuatan hukum, hal ini karena pernikhan telah dicatatkan oleh
peutugas pencatat nikah. Berbeda jika ada seorang yang menikahkan baik dilakukan
pegawai pembantu pencatat nikah yang dibebas tugaskan, wali atau dilakukan seorang kiai
tanpa didampingi pegawa pencatat nikah resmi, pernikahan dalam kasus perti ini disebut
nikah tidak resmi, karena pernikahan ini tidak catat oleh pegawai pencatat nikah. Meski
begitu, pernikahannya sah menurut pandangan Syari’at jika meneuhi syarat pernikahan
dalam hukum Syari’at.

B. Syarat Menjadi Penghulu Resmi Negara Dan Jenjang Pangkatnya


Penghulu resmi merupakan bagian dari tata organisasi yang ada dalam susunan organisasi
Kantor Urusan Agama. Setidaknya di Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan ada tiga
susunan organisasi secara garis besar, yakni Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan,
Pegawai Tata Usaha dan juga Kelompok Jabatan Fungsional. 31 Sedangkan kelompok jabatan
fungsiaonal di dalam susunan organisasi Kantor Urusan Agama ada dua macam yakni
kelompok jabatan fungsional tertentu dan kelompok jabatan fungsional umum. Kelompok
jabatan fungsional tertentu terdiri dari penghulu dan penyuluh agama Islam, sedangkan
kelompok jabatan fungsional umum, terdiri dari kelompok jabatan fungsional lainnya,
meliputi pegawai tata usaha dan pegawai lain yang masing-masing dibagi dalam beberapa
kelompok sesuai dengan bidang keahlianya.32
Untuk menjadi penghulu tentunya mekanismenya mengikuti mekanisme perekrutan
Pegawai Negeri Sipil yang diadakan oleh Kemenpan. Artinya pengangkatan penghulu saat
31
Pasal 5 Peraturan Mentri Agama Repbulik Indonesia No: 34 Tahun 2016 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan
32
Pasal 11 Peraturan Mentri Agama Repbulik Indonesia No: 34 Tahun 2016 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan

16
ini berbeda dengan pengangkatan penghulu di masa kerajaan Islam dan pemreintahan
colonial yang diangkat karena pengaruhnya di masyarakat.
Merujuk pada pengertian Penghulu, bahwa penghulu adalah Pegawai Negeri Sipil
sebagai Pegawai Pencatat Nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak
secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut
agama Islam dan kegiatan kepenghulua.33 Hal ini dapat dimengerti bahwa penghulu diangkat
dari calon Apratur Sipil Negara yang lulus Computer Asist Test dan lulus seleksi bidang
yang diselengarakan oleh Kementan pada formasi penghuluan Kemenag. Seperti Apratur
Sipil Negara lain, calon penghulu juga menerima pelatihan –pelatihan sebelum di nobatkan
atau dilantik sebagai penghulu.
Dalam profesi penghulu juga dikenal jenjang jabatan Penghulu, sebagaiaman di sebutkan
dalam pasal 7 ayat 1 Peraturan MENPAN Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005, jenjang jabatan
penghulu dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi, hal ini sesuai dengan uraian di
bawah ini:
Jenjang Pertama adalah Penghulu Pertama, terdiri dari dua golongan yakni Penata Muda
golongan ruang Ill/a dan Penata Muda tingkat I, golongan ruang Ill/b. Adapun kegiatan yang
harus dilakukan penghulu untuk meningkatkan jenjang jabatan ini sebagaimana berikut :34
1. Menyusun rencana kerja tahunan kepenghuluan;
2. Menyusun rencana kerja operasional kegiatan kepenghuluan;
3. Melakukan pendaftaran dan meneliti kelengkapan administrasi pendaftaran kehendak
nikah/rujuk;
4. Mengolah dan memverifikasi data calon pengantin;
5. Menyiapkan bukti pendaftaran nikah/rujuk;
6. Membuat materi pengumuman peristiwa nikah/rujuk dan mempublikasikan melalui
media;
7. Mengolah dan menganalisis tanggapan masyarakat terhadap pengumuman peristiwa
nikah/rujuk;

33
Pasal 1 Peraturan mentri pendayagunaan aparatur negara No: PER/62 /M.PAN/6/2005 Tentang Jabatan
Fungsional Penghulu Dan Angka Kreditnya
34
Lihat pasal 8 Peraturan MENPAN Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005, Tentang Jabatan Fungsional
Penghulu Dan Angka Kreditnya

17
8. Memimpin pelaksanaan akad nikah/rujuk melalui proses menguji kebenaran syarat dan
rukun nikah/rujuk dan menetapkan legalitas akad nikah/rujuk;
9. Menerima dan melaksanakan taukil wali nikah/tauliyah wali hakim;
10. Memberikan khutbah/nasihatf doa nikah/rujuk;
11. Memandu pembacaan sighat taklik talak;
12. Mengumpulkan data kasus pernikahan;
13. Memberikan penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk;
14. Mengidentifikasi kondisi keluarga pra sakinah;
15. Mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah I;
16. Membentuk kader pembina keluarga sakinah;
17. Melatih kader pembina keluarga sakinah;
18. Melakukan konseling kepada kelompok keluarga sakinah;
19. Memantau dan mengevaluasi kegiatan kepenghuluan;
20. Melakukan koordinasi kegiatan lintas sektoral di bidang kepenghuluan.

Jenjang Kedua. Penghulu Muda Penata, terdiri dari dua golongan, yakni golongan ruang
III/c; dan Penata tingkat I, golongan ruang Ill/d. Adapun kegiatan yang harus dilakukan
penghulu untuk meningkatkan jenjang jabatan sebagaimana berikut:35
1. Menyusun rencana kerja tahunan kepenghuluan;
2. Menyusun rencana kerja operasional kegiatan kepenghuluan;
3. Meneliti kebenaran data calon pengantin, wali nikah dan saksi di Balai Nikah;
4. Meneliti kebenaran data calon pengantin, wali nikah dan saksi di luar Balai Nikah;
5. Meneliti kebenaran data pasangan rujuk dan saksi;
6. Melakukan penetapan dan atau penolakan kehendak nikah/rujuk dan
menyampaikannya;
7. Menganalisis pengantin; kebutuhan konseling/penasihatan calon pengantin
8. Menyusun materi dan disain pelaksanaan konseling/penasihatan calon pengantin;
9. Mengarahkan/memberikan materi konseling/penasihatan calon pengantin;
10. Mengevaluasi rangkaian kegiatan konseling/penasihatan calon pengantin;

35
Lihat pasal 8 Peraturan MENPAN Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005, Tentang Jabatan Fungsional
Penghulu Dan Angka Kreditnya

18
11. Memimpin pelaksanaan akad nikah/rujuk melalui proses menguji kebenaran
syarat dan rukun nikah/rujuk dan menetapkan legalitas akad nikah/rujuk;
12. Menerima dan melaksanakan taukil wali nikah/tauliyah wali hakim;
13. Memberikan khutbah/nasihat/doa nikah/rujuk;
14. Memandu pembacaan sighat taklik talak;
15. Mengidentifikasi, memverifikasi, dan memberikan solusi terhadap pelanggaran
ketentuan nikah/rujuk;
16. Menyusun monografi kasus;
17. Menyusun jadwal penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk;
18. Memberikan penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk;
19. Mengidentifikasi permasalahan hukum munakahat;
20. Menyusun materi bimbingan muamalah;
21. Membentuk kader pembimbing muamalah;
22. Mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah II;
23. Mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah III;
24. Menyusun materi pembinaan keluarga sakinah;
25. Membentuk kader pembina keluarga sakinah;
26. Melatih kader pembina keluarga sakinah;
27. Melakukan konseling kepada kelompok keluarga sakinah;
28. Memantau dan mengevaluasi kegiatan kepenghuluan;
29. Menyusun materi bahsul masail munakahat dan ahwal as syakhsiyah;
30. Melakukan uji coba hasil pengembangan metode penasihatan, konseling dan
pelaksanaan nikah/rujuk;
31. Melakukan uji coba hasil pengembangan perangkat dan standar pelayanan
nikah/rujuk;
32. Melakukan koordinasi kegiatan lintas sektoral di bidang kepenghuluan.

Jenjang Ketiga, Penghulu Madya, terdiri dari dua golongan yakni Pembina, golongan ruang
IV/a; Pembina tingkat I, golongan ruang IV/b; Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c.:

19
Adapun kegiatan yang harus dilakukan penghulu untuk meningkatkan jenjang jabatan
sebagaimana berikut:36
1. Menyusun rencana kerja tahunan kepenghuluan;
2. Menyusun rencana kerja operasional kegiatan kepenghuluan;
3. Memimpin pelaksanaan akad nikah/rujuk melalui proses menguji kebenaran syarat dan
rukun nikah/rujuk menetapkan legalitas akad nikah/rujuk;
4. Menerima dan melaksanakan taukil wali nikah/tauliyah wali hakim;
5. Memberikan khutbah/nasihat/doa nikah/rujuk;
6. Memandu pembacaan sighat taklik talak;
7. Menganalisis kasus dan problematika rumah tangga;
8. Menyusun materi dan metode penasihatan dan konsultasi;
9. Memberikan penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk;
10. Mengidentifikasi pelanggaran peraturan perundangan nikah/rujuk;
11. Melakukan verifikasi pelanggaran ketentuan nikah/rujuk;
12. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan nikah/rujuk;
13. Mengamankan dokumen nikah/rujuk;
14. Melakukan telaahan dan pemecahan masalah pelanggaran ketentuan nikah/rujuk;
15. Melaporkan pelanggaran kepada pihak yang berwenang;
16. Menganalisis dan menetapkan fatwa hukum;
17. Melatih kader pembimbing muamalah;
18. Mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah III plus;
19. Menganalisis bahan/data pembinaan keluarga sakinah;
20. Membentuk kader pembina keluarga sakinah;
21. Melatih kader pembina keluarga sakinah;
22. Melakukan konseling kepada kelompok keluarga sakinah;
23. Memantau dan mengevaluasi kegiatan kepenghuluan;
24. Melaksanakan bahsul masail dan ahwal as syakhsiyah;
25. Mengembangkan metode penasihatan, konseling dan pelaksanaan nikah/rujuk;
26. Merekomendasi hasil pengembangan metode penasihatan, konseling pelaksanaan
nikah/rujuk;
36
Lihat pasal 8 Peraturan MENPAN Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005, Tentang Jabatan Fungsional
Penghulu Dan Angka Kreditnya

20
27. Mengembangkan perangkat dan standar pelayanan nikah/rujuk;
28. Merekomendasi hasil pengembangan perangkat dan standar pelayanan
nikah/rujuk;
29. Mengembangkan sistim pelayanan nikah/rujuk;
30. Mengembangkan instrumen pelayanan nikah/rujuk;
31. Menyusun kompilasi fatwa hukum munakahat;
32. Melakukan koordinasi kegiatan lintas sektoral di bidang kepenghuluan.
Jabatan penghulu tersebut diumumkan oleh kepala Jawatan Agama Daerah dengan cara
yang sebaik-baiknya. Proses pengangkatan jabatan penghulu sebagiaman diterangkan di atas
melaului mekanisme penilaian kenerja penghulu atau angka kredit. Karena pengangkatan
jenjang jabatan penghulu berdasarkan angka kredit, maka dimungkinkan pangkat dan
jabatan tidak sesuai dengan hirarki jengang jabatan sebagiaman di atas. 37 Dalam arti lain
seorang penghulu yang telah pada jejang penghulu penata dapat turun jenjang ke jenjang
penghulu pertama, dimana seharusnya ia naik ke jenjang penghulu madya. Penurunan jejang
jabatan dapat terjadi manakala angka kredit seorang penghulu terus menurun atau
melakukan suatu pelanggaran etik profesi.

C. Tugas Pokok Penghulu Resmi


Dijelaskan di atas, bahwa penghulu merupakan bagian dari individu yang ditempatkan di
Kantor Urusan Agama Kecamatan, Kabupaten dan juga Provinsi sesuai tingkatan hirarkinya.
Peraturan Mentri Agama Republik Indonesia No. 34 Tahun 2016 Tentang Organisasi Dan
Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan mengatakan, kepala Kantor Urusan Agama
kecamatan hanya bisa dikepalai oleh penghulu.38Namun hal ini dirubah oleh Keputusan
Mentri Agama Republik Indonesia No 208 tahun 2017 Tentang Pedoman Penyesuaian/
Inpassing, Uji Kompetensi dan Penetetapan Kebutuhan Jabatan Fungsional Penghulu, yang
menyatakan bahwa kepala Kantor Urusan Agama kecamtan dapat dijabat oleh seorang
berlatar belakang penghulu, penyuluh dan atau yang lainya. 39 Dengan adanya peraturan
tentang organisasi Kantor Urusan Agama kecamtan, masa jabatan kepala KUA juga dibatasi.
37
Lihat pasal 7 ayat 4 Peraturan MENPAN Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005, Tentang Jabatan Fungsional
Penghulu Dan Angka Kreditnya
38
Lihat Pasal 6 Peraturan Mentri Agama Republik Indonesia No. 34 Tahun 2016 Tentang Organisasi Dan
Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan
39
Lihat Latar Belakang Keputusan Mentri Agama Republik Indonesia No 208 tahun 2017 Tentang
Pedoman Penyesuaian/ Inpassing, Uji Kompetensi dan Penetetapan Kebutuhan Jabatan Fungsional Penghulu

21
Sesuai pasal 7 ayat 1 Peraturan Mentri Agama Repbulik Indonesia No: 34 Tahun 2016
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan. Batas maksimal
kepala Kantor Urusan Agama dalam perturan tersebut paling dijabat selama 4 tahun lamnya.
Penghulu yang menjadi kepala Kantor Urusan Agama, selain melaksanakan tugas-tugas
sebagai kepala Kantor Urusan Agama di Kecematan, ia juga memiliki tugas secara profesi
yang terpisah dari tugas jabatan fungsioanl dan tugas tambahan. Tugas penghulu secara
tersurat dijelaskan pada latar belakang Keputusan Mentri Agama Republik Indonesia No 208
tahun 2017 Tentang Pedoman Penyesuaian/Inpassing, Uji Kompetensi dan Penetetapan
Kebutuhan Jabatan Fungsional Penghulu. Dalam keputusan tersebut penghulu betanggung
jawab dan berhak untuk melakukan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk,
pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam. 40 Dipertegas oleh Peraturan
MENPAN Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005, Tentang Jabatan Fungsional Penghulu Dan
Angka Kreditnya Bahwa Tugas pokok Penghulu, adalah melakukan perencanaan kegiatan
kepenghuluan, /pengawasan pencatatan nikah/rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk,
penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk, pemantauan pelanggaran ketentuan nikah/rujuk,
pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan muamalah, pembinaan keluarga sakinah,
serta pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan.
Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut talak dan
rujuk, diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah. Yang berhak melakukan pengawasan
atas nikah dan menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya pegawai yang
diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Bila pegawai itu tidak
ada atau berhalangan, maka pekerjaan itu dilakukan oleh orang yang ditunjuk sebagai
wakilnya oleh kepala Jawatan Agama Daerah.41
Penghulu sebagai pegawai pencatat nikah wajib membuat catatan tentang segala
pernikahan yang dilakukan di bawah pengawasannya, selain itu penghulu juga mencatat
tentang talak dan rujuk yang diberitahukan kepadanya. Catatan pernikahan disesuikan
dengan contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama. Selain mencatat pernikahan, penghulu
juga wajib memberikan petikan dari pada buku pendaftaran yang tersebut di atas kepada
yang berkepentingan. Pratikan tersebut berisi tentang nikah yang dilakukan di bawah
40
Lihat Pasal 1 ayat 5 Peraturan Mentri Agama Indonesia No: 20 Tahun 2019 Tentang Pencatatn
Pernikahan
41
Pasal 1 ayat 1-3 Undang-undang Republik Indonesia No: 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatn Nikah, Talak
dan Rujuk.

22
pengawasannya atau talak dan rujuk yang dibukukannya secara gratis, dan penghulu juga
mencatat jumlah uang yang dibayar kepadanya pada surat petikan tersebut. 42Fungsi petikan
atau salinan buku nikah ada sebagai pengganti suatu saat jika buku nikah mempelai hilang
atau rusak.

D. Fungsi Penghulu resmi


Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa penghulu adalah seorang yang menjadi
kepanjangan tangan penguasa dalam bidang pernikhan, maka penghulu telah dianggap
sebagai yang mewakili penguasa untuk masalah pernikahan. Fungsi penghulu, selain
tugasnya mencatat pernikahan adalah sebagai wali hakim atau wali adhal bagi wanita yang
tidak memiliki wali atau menjadi wali dari wanita yang walinya enggan menikahkan
anaknya karena suatu kepentingan.
Ada beberapa alasan wali hakim dapat menjadi wali nikah, pertama wali nasab tidak ada
atau tidak dapat dihadirkan, kedua karena wali nasab enggan menjadi wali dan ketiga karena
tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib. Sebagiaman dijelaskan dalam Pasal 23
Kompilasi Hukum Islam:
1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada
atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau
gaib atau adlal atau enggan.
2. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai
wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Sejalan dengan pasal 23 Kompilasi Hukum Islam, sebuah hadit menjelaskan.
43
‫أميا امرأة نكحت بغري أذن ولهيا فنكحها ابطل فنكحها ابطل فنكحها ابطل فأن اشتتجروا فالسلطان ويل من الويل هل‬
“Siapapun perempuan yang menikah dengan tanpa seorang wali, maka nikahnya batal,
maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, Jika keduanya terlunta-lunta (tidak memiliki
wali) maka penguasa adalah wali dari orang tidak punya wali” HR. Aisyah
Beberapa ulama berpendapat bahwa hukum menolak menjadi wali dari anak perempuan
yang telah berusia layak nikah adalah berhukum haram. Sebagaimana Wahbah Zuhaili
mengatakan, bahwa penolakan wali untuk menikahkan anak perempuanya yang telah
berakal dan baligh dengan laki-laki yang sekufu’ (sepadan) dengan anak perempuan tersebut,
ketika anak perempuan tersebut telah meinta kepada walinya untuk dinikahkan, dan mereka

42
Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia No: 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatn Nikah, Talak dan
Rujuk
43
Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad, (Beirut, Dar Fikr, TT). Juz. Hlm.

23
berdua (kedua pasangan) telah saling mencintai, penolakan wali tersebut oleh wali adalah
dilarang syara’.44

E. KeKesimpulan.
Penghulu resmi adalah penghulu yang memiliki hak dan wewenang untuk mencatat
pernikhan, dan ia diangkat oleh pemerintah sebagai pegawai negeri sipil guna menjadi
tangan panjang pemerintah menangani perihal pernikahan, ruju dan pembimbingan nikah di
Indonesia. Sedangkan penghulu tidak resmi adalah penghulu Kiai, orang tua dana tau
pegawai pencatat nikah swata yang telah habis kontrak yang menikahkan tanpa didampingi
pegawai pencatat nikah.
Fungsi penghulu resmi selain sebagai pegawai pencatat nikah dan beberapa tugas
pokoknya, ia juga sebagai wali hakim yang dapat menikahkan wanita yang walinya enggan
menikahkan atau wali nasabnya tidak ada dan atau sulit dihadirkan.

AKIBAT HUKUM PERNIKAHAN MELALUI PENGHULU RESMI NEGARA DAN


PENGHULU TIDAK RESMI

Setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh manusia pastilah memiliki akibat hukum.
Akibat menurut kamus hukum merupakan sesuatu yang menjadi kesudahan atau hasil dari

44
Wahbah Zuaili.al Fiqh al Islami wadilatuhu. (Beirut, Dar Fikr, 1997). Juz 9. Hlm. 6720

24
pekerjaan, keputusan, persyaratan atau keadaan yang mendahuluinya. 45 Sedangkan yang
dimaksud dengan akibat hukum adalah akibat yang timbul dari hubungan hukum.
Beberapa pakar hukum mendefinisikan akibat hukum sebagai akibat yang ditimbulkan oleh
peristiwa hukum.46 Pipin Syarifin mendefinisikan akibat hukum sebagai segala akibat yang
terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum,
atau akibat-akibat yang lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum. 47
Berdasarkan beberapa definisi yang telah diungkapkan diatas, dapat disimpulkan bahwa akibat
hukum adalah segala sesuatu yang muncul setelah subjek hukum melakukan suatu objek hukum
atau akibat-akibat dari suatu hukum.
Dari pemahaman akibat hukum di atas, yang dimaksud dengan akibat hukum perkawinan
melalui penghulu adalah segala sesuatu yang lahir dan harus ditanggung oleh kedua mempelai
setelah mereka melakukan akad nikah di depan penghulu, baik penghulu resmi negara atau non
negara. Akibat hukum itu berisi tentang suatu yang halal dan suatu yang haram pasca menikah.
Selain itu pula akibat hukum itu berkaitan dengan hak-hak anak dan kewajiban-hak kedua
mempelai pasca mereka resmi menjadi seorang suami istri dalam ikatan pernikahan yang sah,
baik menurut agama Islam atau hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Di Indoensia perkawinan diatur dalam Undang-undang perkawian secara umum, Namun
meski perakwinan telah diatur dalam Undang-undang, subtansi aturan tersebut tidak jauh
berbeda dengan aturan perkawinan dalam hukum Islam dan norma budaya masyarakat di
Indonesia. Tujuan dari aturan itu adalah untuk melindungi hak dan keawajiban suami istri dalam
pernikahan, dan menjaga hak anak karena ia wajib dilindungi dan dikasihi.
Sedikit perbedaan anatara hukum positif dengan hukum Islam mengenai pernikahan. Dalam
hukum positif mewajibkan adanya pencatatan pernikahan bagi setiap siapa saja yang ingin
melangsungkan pernikahan, meski begitu aturan yang terdapat dalam Undang-undang
perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya sela masyakat dapat melangsungkan
perkawinan tanpa dicatatkan, hal ini karena adanya pemahaman masyarakat terhadap hukum
Islam yang tidak mensyaratkan kebasahan pernikahan dengan kewajiban mencatatkan
pernikahan. Sebab itu dalam tema ini akan dibahas perbedaan akibat hukum perkawinan yang
dilakukan melalui penghulu resmi negara sebagai pegawai pencatat nikah resmi dan melalui

45
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta, Rineka Cipta, 2006). Cet VI, Hlm. 24
46
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika. 2008). Hlm. 86
47
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu hukum, (Bandung, Pustaka Setia.1999) Hlm. 71

25
penghulu non negara, yakni orang tua atau tokoh agama yang mewakili orang tua mempelai
perempuan sebagai wali yang meng-ngakadkan pernikahannya.

A. Akibat Hukum Pernikahan Melalui Penghulu Resmi Negara


Istilah pernikahan di Indonesia disebut juga dengan perkawinan. Menurut hukum Islam
nikah atau pernikahan adalah akad yang di dalamnya terdapat kebolehan melakukan hubungan
ِ
ٌ ‫ ن َك‬atau ‫َت ْز ِويْ ٌج‬. Sedang pernikahan menurut pasal 2 UU
suami istri dengan menggunakan lafat ‫اح‬ 48

No 7 Tahun 1974 tentang perkaiwnan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaaqon ghalidhan
untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakan pernikahan dalam Syari’at merupakan suatu
ibadah.49 Dianggap suatu ibadah karenah nikah Sunnah atau suatu perbuatan yang dilakukan oleh
nabi sebagai penyampai Syari’at.
Akad nikah yang sah akan menyebabkan akibat hukum bagi suami istri. Akibat hukum itu
berupa sesutu yang halal dan haram bagi keduanya atau hak anak dan hak-kewajiban keduanya.
Hak dan kewajiban antara suami istri dalam pernikahan timbul setelah akad nikah yang sah.
lebih lanjut seorang yang telah melakukan pernikahan dengan mencatatkan pernikahannya, maka
dengan akad nikah tersebut suami istri secara otomatis akan terbebani atas apa yang menjadi
kewajiban keduanya.
Meski pencatatan pernikahan tidak berpengaruh pada keabsahan pernikahan sesorang dalam
hukum syara’, di Indonesia pernikahan haruslah dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah atau
disebut dengan penghulu. Pasal 3, Ayat (1) UU NO 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk mengatakan barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan
seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1
atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya R 50,- (Lima puluh rupiah)..' Uapaya
pemberian sanksi ini diakui tidak efektif, sebab pelaksanaan sanksi tersebut seolah-olah tidak
berjalan pada realita di masyarakat. Sehingga masyarakat masih banyak kita lihat melakukan
pernikahan di bawah tangan atau tidak dicatatkan didepan penghulu. Namun jika suatu saat nanti
pemerintah mengesahkan Pasal 143 RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan
yang di dalamnya menyebutkan 'Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan
tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)

48
Zainudin bin Abdul Aziz, Fathul Mu’ȋn, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ȃlamȋah, 2015), Cet. III. Hlm.159
49
Kompilasi Hukum Islam dan UU RI. No.2 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, (Jakarta, Citra Media
Wacana). Hlm.144

26
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman
kurungan paling lama 6 (enam) bulan”, mungkin banyak orang akan berfikir dua kali untuk
melakukan nikah siri.
Pencatatan pernikahan sebagaimana disebutkan dalam UU No 1 Tahun 1974 pasal 5 adalah
untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi masyaraakat Islam.50 Selain itu perkawinan yang
dicatatkan akan memberikan kepastian dan perlindungan serta kekuatan hukum bagi suami, isteri
dan anak-anak, juga memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang
timbul karena perkawinan, antara lain hak untuk menerima mewaris, menerima nafaqah dan
sebagainya.51
Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawadah, dan rahmah.52 Kiranya tujuan pernikahan tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya
aturan yang tegas tentang pencatatan pernikahan, maka diaturlah aturan yang mengatur bahwa
pernikahan haruslah dicatat oleh pegawai pencatat nikah atau yang disebut dengan penghulu
resmi negara.
Pencatatan pernikahan tentunya akan melahirkan akibat hukum pada suami istri yang
melangsungkan pernikahan. Setidaknya akibat hukum yang diatur dalam Undang-Undang
tersebut dapat diklasifikasi menjadi dua bagian.
1. Akibat Hukum Pernikahan Yang Berkaitan Dengan Kewajiban Suami Istri.
Ketika suatu pernikahan dianggap sah menurut agama dan dicatatkan oleh pegawai
pencatat nikah, maka ia memiliki akibat hukum, akibat hukum itu salah satunya adalah
kewajiban yang dibebankan kepada suami istri. Secara umum kewajiban suami istri tertuang
dalam UU NO 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 77; Pertama, suami istri memikul
kewajiban yang luhur untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah
yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Kedua, Suami istri wajib saling
mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu
kepada yang lain. Ketiga, Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara
anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasan dan
kepribadian agamanya. Keempat, Suami istri wajib memelihara kehormatannya, dan Kelima,
jika suami dan istri melalaikan kewajibanya masing-masing dapat mengajukan gugatan

50
Kompilasi Hukum Islam ….Hlm.144
51
Liky Faizal, Akibat Hukum Pencatatan Perkawinan…Hlm 89
52
Kompilasi Hukum Islam…Hlm.144

27
kepada Pengadilan Agama.53selain beberapa hal tersebut termasuk kewajiban suami istri
menurut Sayuti Thalib adalah bergaul dengan baik. Pergaulan baik tersebut ditunjukan oleh
sikap suami yang menjaga rahasia istri dan sikap istri menjaga rahasia suaminya. 54 Sejalan
dengan apa yang diajarkan oleh Allah dalam sabdanya.
… …‫ه َُّن لِبَاسٌ لَ ُك ْم َوأَ ْنتُ ْم لِبَاسٌ لَه َُّن‬
Artinya: Mereka (para istri) adalah pakaian bagi kalian (para suami), dan kalian adalah
pakaian bagi mereka (Q.S al-Baqoroh ayat 187)
Kewajiban seorang suami secara khusus, suami merupakan kepala rumah tangga yang
bertanggung jawab terhadap kenyamanan, keamanan dan kesejahteraan rumah tangga. Lebih
lanjut kewajiban suami telah diatur dalam pasal 80 Undang-undang No 1 Tahun 1974,
beberapa kewajiban yang menjadi kewajiban suami adalah, Pertama, suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya. Kedua, Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya
dan memeberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama
dan bangsa. Ketiga, suami dengan kemampuanya wajib memberi nafkah, kiswa (sandang)
dan maskan atau tempat tinggal istri, begitu juga suami wajib memberi biayah rumah
tangga, biaya perawatan, pengobatan anak dan istri, selain itu suami harus memberi biaya
pendidikan anak. Walaupun terdapat kewajiban suami pada istri sebagaimana disebutkan
diatas, istri dapat membebaskan kewajiban suami pada dirinya, dan kewajiban suami
tersebut menjadi gugur jika istri melakukan nusuz atau Ngambek.55Kewajiban suami pada
istri tentunya didasarkan pada kemampuan suami dan kebutuhan istri. Istri tidak dapat
menuntut lebih tentang nafakah, maskan dan kiswa jika suami tidak mampu dan memiliki
keterbatasan, namun demikian suami harus mengupayakan yang terbaik agar istri tetap
menyayangi suami dan menghargai suami sebagai kewajiban istri pada suami.
Sedangkan kewajiban istri pada suami ialah berbakti lahir dan batin di dalam batas-
batas yang dibenarkan oleh hukum Islam, selain itu istri juga memiliki kewajiban
menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-
baiknaya.56 Istri yang ditinggal bekerja oleh suaminya, selain ia menngatur keperluan rumah
tangga, ia juga wajib menjaga harta bersama ataupun harta sendiri. Begitu juga ketika suami

53
Kompilasi Hukum Islam... Hlm. 162
54
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta, UI-Press, 1986), cet. IV. Hlm. 73
55
Kompilasi Hukum Islam…Hlm.163
56
Kompilasi Hukum Islam…Hlm. 164

28
bekerja, istri memiliki kewajiban menjaga kehormatanya dengan tidak berbuat asusilah
dengan lelaki lain.
2. Akibat Hukum Pernikahan Selain Kewajiban Suami Istri.
Maksud akibat hukum pernikahan selain kewajiban suami istri di atas adalah akibat
hukum yang berkaitan dengan hak suami istri setelah pernikahan atau ketika terjadi
perceraian.
Pada dasarnya kewajiban dan hak suami istri dalam pernikahan sama, namun hak suami
istri sedikit berbeda ketika terjadi perceraian. Semisal, ketika terjadi suatu perceraian, maka
suami memberikan mut’ah yang layak pada mantan istri yang sudah di dhughkul atau
setubuhi, pemebeian mut’ah tersebut dapat berupa uang atau harta benda lain. Selain
memberi mut’ah seorang suami juga wajib memberi nafkah, maskan dan kiswa kepada
mantan istri selama masa iddah, kecuali istri tertalak ba’in atau nusuz dan atau dalam tidak
hamil. Suami juga wajib melunasi mahar yang belum dibayar atau masih terhutang,
sedangkan bagi istri yang belum di dhughul, maka istri tersebut diberi separo mahar.
Perceraian juga menyebabkan suami wajib membayar biayah hadhanah (biaya pengurusan)
anak berumur kurang dari 21 tahun yang berada di tangan mantan istri atau wali.57
Sebaliknya seorang istri wajib membayar iwadh atau tebusan pada saat ia mengajukan
khulu’ atau gugat cerai kepada suaminya di pengadilan. Besaran iwadh berdasarkan
kemampuan istri dan kesepakatan istri dan suami pada saat persidangan berlangsung. Jika
tidak ada kesepakatan dalam hal iwadh yang harus diberikan istri pada suami, maka
pengadilan memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa. 58 Seorang Istri juga harus
menunggu iddah saat ia dicerai suami atau ditinggal suami. Saumi juga wajib membayar
setengah mahar apabila suami menggugat cerai istrinya sebelum dhukul hal ini sesuai
ketentuan ayat 1 pasal 35 KHI.
Selain akibat hukum di atas, permaslahan yang muncul adalah tentang harta bersama.
Istri berhak atas menerima harta bersama. Harta bersama adalah harta yang diperoleh oleh
suami istri saat pada masa adanya hubungan pernikahan. Istri yang terkesan tidak bekerja di
luar rumah dan terkesan tidak menghasilkan uang sering sekali kehilangan haknya saat
terjadi perceraian. Hak istri, meski ia adalah seorang ibu rumah tangga dan tidak
menghasilkan uang karena tidak bekerja di luar rumah, ia dalam hokum positif berhak
57
Lihat Kompilasi Hukum Islam pasal 149
58
Lihat Kompilasi Hukum Islam pasal 148

29
mendapat harta Bersama saat terjadi perceraian. Istri berhak mendapat harta bersama karena
ia juga dianggap bekerja mengatur rumah, membersihkan rumah, masak untuk suami yang
sedang bekerja, mengasuh dan menjagakan anak di rumah. Harta bersama yang menjadi hak
istri pun harus didasrakan pencatatan pernikahan, jika tanpa ada catatan pernikahan (buku
nikah) niscaya hakim peradilan pun menolak gugatan harta bersama yang diajukan oleh istri.
Meski dalam hukum fikih klasik tidak ada istilah harta berama dalam perkawinan,
namun banyak fakar hokum Islam Indonesia berpendapat adanya harta Bersama dalam
pernikahan. Dasar hukumnya adalah syirkah abdan dan syirkah ain, dimana suami istri
dianggap melakukan syirkah abdan secara otomatis saat mereka menikah, hal ini adanya
kerjasama dalam rumah tangga suami kerja diluar rumah dan istri mengasuh anak dan
mebersihkan rumah. Atau pun keduanya melakukan syirkah iinan dimana keduanya
memiliki modal usaha dalam usaha yang mereka jalankan Bersama.
Kewajiban-kewajiban suami istri akibat hokum pernikahan ini, didasarkan atas pernikahan
yang dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah. Hak-hak istri terhadap kewajiban suami di atas
tidak bisa didapat saat suami mengingkari suatu ikatan pernikahan yang tidak dicatatkan, hal ini
karena pengadilan akan menolak permonan istri tentang kewajiban suami tersebut lantaran
kurang bukti beruapa buku nikah.

B. Akibat Hukum Pernikahan Melalui Penghulu Non Negara.


Sebagaimana disebutkan di atas bahwa pernikahan tetaplah sah meski tidak dicatatkan oleh
penghulu resmi negara. Dengannya sangat memungkinkan seorang di masyarakat sekeliling kita
melakukan pernikahan di bawah tangan atau nikah siri. Nikah siri yang di maksud adalah
pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun-rukun perkawinan dan syarat perkawinan
menurut syari’at,59 namun tidak dicatatan di KUA. Nikah siri atau nikah dibawah tangan
biasanya dilakukan melibatkan wali nikah atau seorang pemuka agama yang beri wakil oleh wali
nikah.
Akibat hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan, walaupun secara agama atau
kepercayaan dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan
pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan dianggap
tidak sah di mata hukum Negara. Akibat hukum perkawinan tersebut berdampak sangat
59
A. Hasyim Nawawi,” Perlindungan Hukum dan Akibat Hukum Anak Dari Perkawinan Tidak Tercatat (studi
di pengadilan agama tulungagung)”, Jurnal AHKAM, Volume 3, Nomor 1, Juli 2015, hlm.117

30
merugikan bagi istri dan perempuan pada umumnya, serta bagi anak yang dilahirka, baik secara
hukum maupun secara sosial.60
Pernikahan yang telah melalui pencatatan mengandung kemaslahatan bagi umum, artinya
perkawinan tersebut melindungi hak asasi kaum wanita, sebab menurut hukum positif Indonesia,
perkawinan yang tidak dicatatkan atau nikah di bawah tangan tidak diakui sama sekali oleh
negara.61 Pengakuan pernikahan oleh negara merupakan suatu upaya negara melindungi hak dan
mengatur kewajiban suami istri. Jika saja pernikahan tidak dicatatkan, maka hak dan kewajiban
suami istri hanya berkutat pada hak dan kkewajiban suami istri yang ada dalam hukum Islam
saja. Suami istri tidak dapat memperjuangkan hak-haknya jika terjadi suatu sengketa dalam
pernikahan.
Hukum Islam menjelaskan akibat hukum setelah pernikahan, dalam hal ini Sayid Sabiq
mengkasifikasi hak dan kewajiban suami istri dalam tiga kategori.
1. Hak dan kewajiban suami istri secara bersama.62
Yang dimaksud dengan hak suami istri secara bersamaan ini adalah, suatu hak dan
kewajiban yang muncul atas keinginan dan kesukarelaan suami istri dalam mewujudkanya
dan menerimanya. Hak dan kewajiban suami istri setelah terjadi pada saat akad nikah yang
sah, hal ini meliputi;
a. Halalnya hubungan intim antara suami dan istri, di mana sebelum adanya suatu ikatan
pernikahan hal tersebut tidak halal. Selain hubungan intim halal bagi mereka, suami istri
juga halal melakukan cumbu rayu diantaranya, dalam hubungan intim dan cumbu rayu
ini keduanya saling memberi dan menerima.
b. Haramnya sesuatu yang diharamkan karena hubugan mushaharah, sehingga seorang
istri haram menikahi bapak, kakek, anak, cucu si suami. Begitu juga suami haram
baginya sesuatu yang diharamkan karena hubungan mushaharah, sehingga suami haram
menikahi ibu, nenek, anak, dan cucu perempuan istri.
c. Adanya ketetapan saling mewarisi apabila salah satu dari suami istri meninggal. Hak
waris bagi suami istri ini merupakan akibat hukum dari akad nikah yang sah. Dengan
demikian hak waris tidak akan ada jika pernikahan suami istri tidak sah menurut hukum
Islam.
60
A. Hasyim Nawawi,” Perlindungan Hukum dan Akibat Hukum Anak Dari Perkawinan Tidak Tercatat (studi
di pengadilan agama tulungagung…hlm. 114
61
Lihat PP No. 9 tahun 1975 Pasal 2 Ayat 2
62
Sayid Sabik, Fikih Sunah, (Beirut, Maktabah Aṣrîah, 2011), Juz.2. hlm. 105-106

31
d. Dengan adanya akad nikah yang sah, maka mengakibatkan penetapan nasab anak
kepada suami yang sah. Denganya jika hubungan suami istri tidak sah, maka penetapan
nasab anak adalah ke ibu yang melahirkan anak tersebut.
e. Dan akibat hukum dari pernikahan yang sah selanjutnya adalah adanya pergaulan yang
baik di antara suami istri. Wahbah Zuhali menggambarka bagaimana pergaulan yang
baik suami istri. Menurutnya pergaulan yang baik antara suami istri adalah adanya
uapaya suami istri untuk saling tidak menyakiti, saling menunaikan kewajiban dan tidak
menampakan kebencian antara kedunay.63

2. Kewajiban suami pada istri. Kewajiban suami pada istri meliputi dua hal;64
Pertama. kewajiban yang berbentuk harta benda (al Huqūq al Madȋyah), semisal
membayar mahar. Dalam Islam, membayar mahar yang diwajibkan kapada seorang suami
merupakan bentuk memulyakan seorang istri. Istri berhak memiliki mahar dari seorang
suami, sebab budaya di zaman Jahiliyah perampasan hak istri yang dilakukan oleh walinya
sehingga istri tidak memiliki apa-apa. Kejadian ini mendorong hukum Islam mewajibkan
adanya mahar yang dikeluarkan oleh seorang laki-laki yang ingin menikah.
Seoarang suami juga wajib membari al Jihâz (berkakas rumah tangga), hal ini agar istri
dan anak-anaknya dapat nyamanan, tidak kedinginan dan terkena penyakit. Menurut Sayid
al Jihâz adalah sesuatu yang pokok dan urgen, karena berkaitan dengan kenyamanan dan
keamanan istri dan anak-anaknya.65 Sebagaimana hadits diriwayatkan oleh Nasa’I, bahwa
Nabi Muhammad memberikan al Jihâz kepada Fatimah saat Fatimah menikah dengan Ali
dalam bentuk baju yang memiliki kerah, baju yang tebal dan bantal.
Kewajiban suami selain memberi mahar dan al Jihâz kepada istri, suami juga wajib
memberi nafaqah. Nafaqah yang dimaksud adalah pemeberian suami berupa apa saja yang
dibutuhkan istri, baik makanan, tempat tinggal, asisten rumah tangga dan juga obat-
obatan.66 Seorang suami wajib memberi nafakah pada istri ketika a). Pernikahan suami
pada istri dengan akad yang sah. b). Istri memasrahkan dirinya pada suaminya. c). Istri
dapat digauli sebagaimana layaknya suami istri. d). Bukan perempuan yang tidak dapat

63
Wahbah Zuhali, Fiqh al Islamȋ wa Adilatuhu, (Beirut, Dâr al Fikr al Muâsr, 2014). Juz 7.hlm. 317
64
Sayid Sabik, Fikih Sunah…hlm. 106
65
Sayid Sabik, Fikih Sunah…hlm. 114
66
Sayid Sabik, Fikih Sunah…Hlm.115

32
digauli, dan e). Tidak menolak saat suami ingin berhubungan intim. Adapun alasan
kewajiban memberi nafaqah oleh suami pada istri menurut Syari’at adalah karena seorang
istri berada dalam pengampuan perjanjian suami sehingga istri menjadi dibatasi oleh suami
dan diikat dengan kewajiban-kewajiban suami pada istri.67
Kedua. Kewajiban dalam bukan harta benda (al Huqūq Gaȋru al Madȋyah). Kewajiban
suami dalam bukan harta ini yang dimaksud adalah kewajiban suami pada istri dalam
bersikap dan berucap. Semisal, seoarang suami yang memiliki istri lebih dari satu orang,
maka wajib baginya bersikap adil pada istri-istrinya baik secara dahir mapun batin. Begitu
juga suami memiliki kewajiban tidak membahayakkan istri baik dengan cara melakukan
kekerasan atau yang lainya.68 Suami wajib juga memulyakan istri dengan cara memulyakan
keluarganya. memberinya bimbingan dan pendidikan yang baik, adapun pemberian
bimbingan adalah ketika istri tidak taat, seperti ketika istri nusuz. Selain memberi
bimbingan suami juga berkewajiban memeberi nasihat dan petunjuk.69
3. Kewajiban Istri pada suami.
Sedikit berbeda dengan kewajiban suami pada istri, kewajiban istri pada suami dalam
Syari’at Islam lebih sedikit. Di antara kewajiban istri pada suami adalah istri mentaati
suami dalam hal yang baik dan bukan maksiat, seorang istri juga harus menjaga
kehormatanya, menjaga harta suami dan istri wajib mencegah terjadinya perceraian antara
dirinya dan suaminya. Untuk mencega agar tidak terjadi perceraian, maka seorang istri
tidak boleh memasang muka masam, ia harus mengupayakan tidak cemberut di depan
70
suami, begitu juga istri jangan pernah melakukan suatu tindakan yang dibenci suami.
Sebagian ulama menyatakan ketaatan seorang istri pada suami pada dua yakni taat saat
diminta untuk melayani suami dan mentaati suami dalam hal tidak keluar rumah tanpa
seizin suami.71
Beberapa akibat hukum ini tentunya sangat mengikat dan harus diupayakan oleh suami dan
istri setelah mereka menikah. Hukum islam telah mengatur bagaimana berkeluarga yang baik
dan diridhahi oleh Allah. Dalam Islam, Syari’at memerintahkan agar suami istri bergaul dengan
baik sesuai hukum Allah. Pemenuhan kebutuhan baik yang bersifat dharuriyat, hajiyat atau
67
Sayid Sabik, Fikih Sunah…Hlm.116
68
Sayid Sabik, Fikih Sunah…Hlm
69
Wahbah Zuhali, Fiqh al Islamȋ wa Adilatuhu...Hlm.327
70
Sayid Sabik, Fikih Sunah…hlm.134
71
Wahbah Zuhali, Fiqh al Islamȋ wa Adilatuhu…Hlm.323

33
tahsiniyat haruslah sesuai dengan cara-cara yang halal dan benar. Mendoronga terbentuknya
keluarga yang baik dan diridhahi Allah di buat aturan yang dipositifisasikan, hal ini mendorong
agar suami istri dapat menjalankan isi ajaran Islam dalam pernikhan mereka. Dengan aturan yang
dipositivisasikan tersebut suami istri mampu menjalankan akibat hukum dari suatu pernikahan
yang mereka lakukan.

C. KeKesimpulan.
Akibat hukum suatu pernikahan adalah segala yang muncul dari sebuah pernikahan sesuai
aturan dalam Syari’at dan hukum yang berlaku di Indonesia. Aadanya akibat hukum
sebagaimana yang dijelaskan di atas menunjukan pentingnya pencatatan pernikahan atau nikah
di depan penghulu resmi negara. Kepentinganya adalah selain tertib admintrasi sebagai warga
negara, pencatatan pernikahan merupakan bukti yang bias menjaga hak suami istri dan
mendorong mereka berdua untuk menjalankan kewajiban-kewajiban setelah melaksakan
pernikahan.
Kewajiban dan hak itu setidaknya meliputi kewajiban dan hak suami istri secara bersama,
kewajiban dan hak suami secara terpisah dengan istri dan kewajiban dan hak istri secara terpisah
dengan suami. Kewajiban dan hak itu di dasarkan pada Syari’at, kewajiban dan hak tersebut
tidak akan terwujud tanpa ada hukum formil yang mengaturnya. Maka untuk mendorong
terwujudnya kewajiban tersebut dibutuhkan bukti berupa catatan pernikahan yang dilakukan oleh
pegawai pencatat nikah.

PENCATATAN NIKAH DI INDONESIA

Telah disinggung sebelumnya bahwa untuk menertibkan admitrasi pernikahan calon


pengantin di Indonesia, maka segala bentuk pernikahan harus dicatatkan. Pernikahan di
Indonesia adalah salah satu bentuk yang berkaitan erat dengan kependudukan dan dapat
disejajarkan dengan bentuk adminitrasi kependudukan yang laian seperti kematian dan kelahiran
seseorang. Terlebih pernikahan memiliki akibat hukum, setelah pernikahan dianggap sah oleh

34
hukum perkawinan di Indonesia dan hukum Syari’at Islam, maka pencatatan pernikahan menjadi
wajib adanya untuk melindungi hak dan kewajiban suami istri pasca pernikahan.
Pencatatan pernikahan yang dimaksud adalah pencatatan yang dilakukan oleh pegawai
pencatat nikah kementrian agama. Pegawai pencatat nikah memiliki dasar hukum dalam
menjalankan tugas pencatatan nikah, dasar hukum itu adalah UU No.22 Tahun 1946 jo UU No.
32 Tahun 1954. Pasal 3, Ayat (1) UU NO 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk mengatakan barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang
perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau
wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya R 50,- (Lima puluh rupiah). Selain itu Pasal 143
RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang di dalamnya
menyebutkan 'Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan
Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6
(enam) bulan”, adanya rencangan undang-undang ini mungkin akan lebih di taati, sehingga
masyarakat jerah melakukan nikah riri.
Pegawai pencatat nikah diberi kewenagan untuk menerima permintaan pencatatan
pernikahan bagi siapa saja yang menginginkan pernikahanya dicatat. Meski ia diberi
kewengangan mencatat pernikahan, diakui atau tidak pencatatan yang dilakukan pegawai
pencatat nikah bersifat pasif, hal ini dapat dilihat bahwa seorang pegawai pencatat nikah dan
lembaganya memberi pelayanan pencatatan pernikahan jika adanya permintaan masyarakat yang
ingin menikah atau meilahkan anaknya.
Fenomena di masyarakat pencatatan pernikahan hanya didasarkan pada permintaan
masyarakat adalah suatu masalah tersendiri di kalangan pemerhati. Pasalnya satu sisi ada aturan
dalam Undang-undang yang mewajibkan pernikahan agar dicatatkan, namun di lain sisi yang
lain seperti ada suatu pembiayaran masyarakat menikah tanpa dicatatkan jika tidak meminta.
Dapat dikatakan bahwa aturan pencatatan pernikahan di Indonesia lebih pada kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya pencatatan pernikahan.
Meski demikian beberapa masalah admitrasi kependudukan tidak akan diterimah bagi
siapa saja yang tidak mencatatkan pernikahannya di depan pegawai pencatat pernikahan.
Seorang akan mendapat kesusahan jika ingin mengajukan pinjaman dari bank, akan mersasa
susah mendapatkan akta kelahiran anak, akan susah mendapatkan kartu keluarga dan lain

35
sebagainya jika masyarakat tidak mencatatkan pernikahanya. Beberapa masalah admitrasi akibat
tidak dicatatkannya pernikahan ini tentu tidak dapatdianggap remeh, karenanya masyarakat yang
tidak memiliki bukuh nikah sebagai bukti pencatatan pernikahan kondisi ini tidak dapat dianggap
remeh pula.
Masalah lain yang timbul dari tidak dicatatkannya suatu pernikahan adalah masalah hak
dan kewajiban suami istri pasca menikah. Dewasa ini banyak suami yang lepas tanggung jawab
atas hak istri dan anak. Banyak suami melakukan tindakan yang tidak terpuji, sperti
meninggalkan anak istrinya stelah pernikahan dan tidak memberi nafkah, dan banyak juga yang
melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Jika itu terjadi hak anak istri seperti harta bersama
dan hadhanah anak saat ditinggal suami sulit sekali mendapatkanya oleh istri dan anak, karena
penegak hukum akan kekurangan bukti dalam menuntut hak anak dan istri yang mestinya
diberikan pada saat ditinggal atau bercerai. Dengan itu masyarakat dirasa penting untuk
mengetahui bagaimana prosedur mendapat hak agar pernikahanya dapat dicatatkan di pegawai
pencatat nikah secara resmi. Di bawah ini akan di sajikan prosedural permohonan pencatatan
pernikahan atau Ruju’.

A. Tahapan Pencatatan Pernikahan


Tahapan pencatatan pernikahan adalah suatu prosedur atau cara yang harus dilakukan oleh
calon mempelai dalam proses pencatan pernikahannya. Tahapan pencatan pernikahan tersebut
secara garis besar meliputi, Perencanaan pernikahan, Pemberitahuan kehendak nikah kepada
pegawai pencatat nikah, Pemeriksaan berkas nikah dan Pengumuman kehendak nikah, di mana
empat tahapan tersebut akan diuraikan di bawah ini.
1. Perencanaan pernikahan
Perencanaan pernikahan adalah suatu tahapan awal yang harus dilakukan oleh kedua
calon mempelai dan keluarganya. Seorang calon mempelai laki-laki hendaknya memilih
seorang perempuan yang menarik hatinya, sekiranya ia tidak bosan hidup bersanding
dengan wanita pilihannya. Dalam memilih wanita idaman seorang calon mempelai laki-
laki hendaknya memperhatikan hadits Nabi Muhammad: “seorang wanita dinikahi
karena alasan harta bendanya, karena nasabnya, karena kecantikannya, dan karena
agamanya, jika tidak kau temui semuanya, maka pilihlah yang memiliki agama yang
denganya kamu akan mendapat keberuntungan”. Begitupun juga seorang calon

36
perempuan memilih dan mencari lelaki yang ia cintai untuk dinikahi agar ia tidak
berselingkuh dan hilang rasa sayangnya dalam waktu dekat.
Pernikahan bukan hanya bertujuan mendapat kesenangan dan kebahagian sesaat saja,
melainkan kesenangan dan kebahagian seumur hidup kedua calon mempelai.72 Suatu
pernikahan bukan saja untuk mewujudkan hasrat lipido saja, namun juga tidak kala
penting pernikahan adalah suatu cara menyatukan dua pemikiran atau lebih. Pernikahan
menyatukan dua budaya dan menyatukan dua keluarga atau lebih. Dalam upaya
penyatuan tersebut, maka harus ada suatu perencanaan yang matang dan sungguh-
sungguh agar terwujud sebuah keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah.
Di beberapa daerah di Indonesia proses pernikahan diharuskan melewati proses
peminangan, peminangan dianggap sangat penting dalam keberlangsungan pelaksanaan
pernikahan. Sebagian masyakat menggap peminangan adalah suatu indikasi itikad baik
calon suami pada calon istri. Peminangan menunjukan suatu keseriusan dan kesungguhan
seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan yang dicintainya. Sabikq
berpendapat bahwa peminangan merupakan Syari’at yang diSyari’atkan oleh Allah
sebelum terjadinya suatu akad pernikahan antara mempelai laki-laki dan perempuan agar
mereka mengenal satu sama lainya.73 Dibeberapa daerah di Indonesia peminangan akan
menjadikan orang tua calon mempelai perempuan merasa terhormat saat orang tua calon
laki-laki meminang anaknya. Meski peminangan ini penting, dalam Syari’at peminangan
tidak diwajibkan, namun dianggap wajib jika dengan peminangan menghindarkan sesuatu
yang madharat.
Peminangan biasanya mepertemukan keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan
atau perantaranya. Pasal 11 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatakan peminangan
dapat langsung dilakukan oleh calon mempelai dan keluarganya atau perantara yang di
percayai untuk melakukan peminangan.74
Keluarga laki-laki datang kepada keluarga perempuan untuk mempertanyakan kesedian
siperempuan untuk dinikahi oleh laki-laki yang mencintainya. Pertanyaan kesedian
siperempuan dapat dilontarkan oleh seorang laki yang mencintai perempuan tersebut atau
72
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fikih Munakahat dan Undang-undang
Perkawinan, (Jakarta, Kencana, 2014). hlm.48
73
Sayid Sabiq. Fikih Sunnah, (Beirut, al Maktabah Aṣriyah, 2011). Hlm. 17
74
Kompilasi Hukum Islam dan UU Ri. No. 03 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, (Jakarta, Persindo,
2009). Hlm. 146

37
perantaranya dan juga dapat dilontarkan melalui perantara orang tua perempuan kepda
anak perempuanya. Namun juga dapat juga pertanyaan itu ditanyakan secara langsung
kepada calon mempelai perempuan.
Mempertanyakan persetujuan mempelai perempuan dalam peminangan juga menjadi pra
syarat yang harus dilakukan sebelum dilangsukannya pernikahan. Dalam Syari’at Islam
seorang yang menginginkan menikahkan anaknya yang masih perawan tidak disyaratkan
menanyakan persetujuan anaknya untuk dinikahkan. Syari’at mewajibkan menanyakan
kehendak nikah oleh soerang wali yang ingin menikahkan anaknya yang telah menjadi
duda untuk dinikahkan. Syihabuddin mengungkapkan ada tiga perempuan yang haram
dipinang dengan menggunakan lafat yang syarih yakni perempuan yang terthalak bain,
perempuan yang melakukan cerai khulu’ dan juga perempuan yang talak mati.75
Dalam peminangan Islam mengajarkan ada dua cara, yakni peminangan dengan
ungkapan yang jelas (Ṣarih) dan ada pula yang tidak jelas (Kinayah).76 Selanjtunya yang
dimaksud dengan pinangan dengan ungkapan jelas adalah peminangan dengan
menggunakan kalimah yang tidak menimbulkan konotasi lain saat kalima itu di
ungkapkan, semisal “mau kah engkau menikah denganku”, kalimah ini tidak memiliki
arti yang lain kecuali mengajak menikah sesorang perempuan. Sedang yang dimaksud
dengan pinangan dengan menggunakan ungkapan tidak jelas adalah sebua ungkapan yang
diucapkan dan dapatmenimbulkan konotasi dan pemahaman laian, biaasnya ungkapan ini
menggunakan majas, semisal seorang laki-laki mengatakan pada perempuan yang ingin
dinikahi, “jika sama-sama kosong bolehlah”, dimana yang dimaksudkan adalah jika sama
tidak memiliki pendamping maka bolehlah lelaki itu menikahi perempuan pujaanya.
Pasal 17 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menjelaskan, sebelum perkawinan
dilangsungkan pegawai pencatat nikah wajib menanyakan terlebih dahulu persetuajuan
calaon mepelai perempuan apakah ia setuju atau tidak menikah, dan bila calon mempelai
perempuan tidak setuju, maka pernikahan tidak dapat dilangsungkan. 77 Mempertanyakan
persetujuan pernikahan saat peminangan sangatlah urgen, sebab jika saat peminagan
tidak ditanyakan persetujuan nikahnya kepada calon mempelai dan pada saat itu
siperempuan tidak berekehnadak, maka dikhatirkan akan membuat malu kedua kelauraga

75
Syihabudin, Imdatu Sâlik wa Iddatu Nâsik, (Surabaya, Al Hidayah, tt), hlm.213
76
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia…Hlm. 51
77
Kompilasi Hukum Islam dan UU Ri. No. 03 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama… hlm. 147

38
mempelai dikemudian hari, terlebih waktu itu telah hadir tamu undangan. Tidak adanaya
persetujuan calon mepelai juga dikhawatirkan akan memunculkan kekerasan dalam
rumah tangga akibat tidak di dasari rasa cinta saat menikah.
Selain peminangan, sebelum pernikahan juga harus memperhatikan tahap persiapan
pernikahan, tahap persiapan tersebut berkaitan dengan beberapa hal seperti. a). Masing-
masing calon mempelai saling mengadakan penelitian, apakah mereka saling cinta/setuju
dan apakah kedua orang tua mereka menyetujui dan merestuinya. b). Masing-masing
berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan baik menurut hukum munakahat
maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. c). Calon mempelai
supaya mempelajari ilmu pengetahuan tentang pembinaan rumah tangga hak dan
kewajiban suami istri dan sebagainya. d). Dalam rangka meningkatkan kualitas keturunan
yang akan dilahirkaan calon mempelai supaya memeriksakan kesehatannya dan kepada
calon mempekai wanita diberikan suntikan imunisasi tetanus toxoid.78
2. Pemberitahuan kehendak nikah kepada pegawai pencatat nikah.
Setelah kedua mempelai melakukan perkenalan melalui peminangan atau khitbah,
kemudian kedua calon mempelai dan keluarga masing-masing memiliki kecocokan, maka
kedua calon memepelai atau walinya memberitahukan kehendaknya kepada pegawai
pencatat nikah dikantor kementrian agama wilayahnya. Dalam pemberitahuan ini
dilakukan selambat-lambatnya kurang dari 10 hari pelaksanaan pernikahan.
Pemberitahuan atau pendaftaran pencatatan nikah yang dimaksud menyertakan nama
calon kedua mempelai, hari dan tanggal pelaksanaan pernikahan dan tempat pelaksanaan
pernikahan. Selain itu mempelai juga harus mempersiapkan beberapa dokumen penting
yang perlu dilengkapi sebagai syarat adminitrasi dilangsungkannya pencatatan
pernikahan, adapun kelengkapan dokumen yang harus dilengkapi sebagai berikut.
a. Perkawinan Sesama WNI
i. Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk calon Penganten (caten)
masingmasing 1 (satu) lembar.
ii. Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di atas segel/materai
bernilai minimal Rp.6000- (enam ribu rupiah) diketahui RT, RW dan Lurah
setempat.

78
Hhtps://yogyakarta2.kemenag.go.id/files/Yogyakarta/file/file/effi/ivfx1393312468.pdf

39
iii. Surat keterangan untuk nikah dari Kelurahan setempat yaitu Model N1, N2, N4,
baik calon Suami maupun calon Istri.
iv. Pas photo caten ukuran 2×3 masing-masing 4 (empat) lembar, bagi anggota ABRI
berpakaian dinas.
v. Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Surat Talak/Akta Cerai dari
Pengadilan Agama, jika Duda/Janda mati harus ada surat kematian dan surat
Model N6 dari Lurah setempat.
vi. Harus ada izin/Dispensasi dari Pengadilan Agama bagi:
 Caten Laki-laki yang umurnya kurang dari 19 tahun;
 Caten Perempuan yang umurnya kurang dari 16 tahun;
 Laki-laki yang mau berpoligami.
vii. Izin Orang Tua (Model N5) bagi caten yang umurnya kurang dari 21 tahun baik
caten laki-laki/perempuan.
viii. Bagi caten yang tempat tinggalnya bukan di wilayah Kec. Pasar Minggu, harus
ada surat
ix. Rekomendasi Nikah dari KUA setempat.
x. Bagi anggota TNI/POLRI dan Sipil TNI/POLRI harus ada Izin Kawin dari
Pejabat Atasan/Komandan.
xi. Bagi caten yang akan melangsungkan pernikahan ke luar wilayah Kec. Pasar
Minggu harus ada Surat Rekomendasi Nikah dari KUA Kec. Pasar Minggu.
xii. Kedua caten mendaftarkan diri ke KUA Pasar Minggu sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja dari waktu melangsungkan Pernikahan. Apabila kurang dari
10 (sepuluh) hari kerja, harus melampirkan surat Dispensasi Nikah dari Camat
Pasar Minggu.
xiii. Bagi WNI keturunan, selain syarat-syarat tersebut dalam poin 1 s/d 10 harus
melampirkan foto copy Akte kelahiran dan status kewarganegaraannya (K1). 14.
Surat Keterangan tidak mampu dari Lurah/Kepala Desa bagi mereka yang tidak
mampu.
b. Perkawinan Campuran
i. Akte Kelahiran/Kenal Lahir
ii. Surat tanda melapor diri (STMD) dari kepolisian

40
iii. Surat Keterangan Model K II dari Dinas Kependudukan (bagi yang menetap lebih
dari satu tahun)
iv. Tanda lunas pajak bangsa asing (bagi yang menetap lebih dari satu tahun)
v. Keterangan izin masuk sementara (KIMS) dari Kantor Imigrasi.
vi. Foto Copy PasPort
vii. Surat Keterangan dari Kedutaan/perwakilan Diplomatik yang bersangkutan.
viii. Semua surat-surat yang berbahasa asing harus diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh penterjemah resmi.
3. Pemeriksaan berkas nikah
PPN yang menerima pemberitahuan kehendak nikah meneliti dan memeriksa berkas –
berkas yang ada apakah sudah memenuhi syarat atau belum, apabila masih ada
kekurangan syarat, maka diberitahukan adanya kekurangan tersebut. Setelah itu
dilakukan pemeriksaan terhadap calon suami, calon istri dan wali nikahnya yang
dituangkan dalam Daftar Pemeriksaan Nikah (Model NB).
Jika calon suami/istri atau wali nikah bertempat tinggal di luar wilayah KUA Kecamatan
dan tidak dapat hadir untuk diperiksa, maka pemeriksaannya dilakukan oleh PPN yang
mewilayahi tempat tinggalnya. Apabila setelah diadakan pemeriksaan nikah ternyata
tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan baik menurut hukum munakahat
maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku maka PPN berhak
menolak pelaksanaan pernikahan dengan cara memberikan surat penolakan beserta
alasannya. Setelah pemeriksaan dinyatakan memenuhi syarat maka calon suami, calon
istri dan wali nikahnya menandatangani Daftar Pemeriksaan Nikah. Setelah itu yang
bersangkutan membayar biaya administrasi pencatatan nikah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
4. Pengumuman kehendak nikah
Setelah persyaratan dipenuhi PPN mengumumkan kehendak nikah (model NC) pada
papan pengumuman di KUA Kecamatan tempat pernikahan akan dilangsungkan dan
KUA Kecamatan tempat tinggal masing-masing calon mempelai.
PPN tidak boleh melaksanakan akad nikah sebelum lampau 10 hari kerja sejak pengumuman,
kecuali seperti yang diatur dalam pasal 3 ayat 3 PP No. 9 Tahun 1975 yaitu apabila terdapat
alasan yang sangat penting misalnya salah seorang calon mempelai akan segera bertugas keluar

41
negeri, maka dimungkinkan yang bersangkutan memohon dispensasi kepada Camat selanjutnya
Camat atas nama Walikota/Bupati memberikan dispensasi.

B. Pelaksanaan Nikah
Pelaksanaan nikah yang dimaksud adalah pelaksanaan akad nikah yang didalamnya harus
memenuhi syarat akad nikah sehingga pernikahan dianggap sah. Dalam pembahasan ini tentu
tidak dibahas tentang syarat dan rukun nikah, karena syarat dan rukun nikah telah di bahas
sebelumnya. Sehingga pelaksanaan nikah yang dimaksud adalah proses pernikahan yang
dilakukan oleh mempelai di depan penghulu secara seremonial.
Dalam pelaksanaan pernikahan ini dapat dilakukan di Balai Nikah/Kantor dan juga boleh
dilakukan di Luar Balai Nikah: rumah calon mempelai, masjid atau gedung dan lain sebagainya.
Sebelum pelaksanaan upacara akad nikah, Pegawai Pencatat Nikah/Penghulu terlebih dahulu
memeriksa/mengadakan pengecekan ulang persyaratan nikah dan administrasinya kepada kedua
calon mempelai dan walinya untuk melengkapi kolom yang belum terisi pada waktu
pemeriksaan awal di kantor atau apabila ada perubahan data dari hasil pemeriksaan awal. Setelah
itu Pegawai Pencatat Nikah Penghulu menetapkan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
Setelah pegawai melaksanakan pemeriksaan persyaratan yang dibutuhkan, selanjutnya
pegawai mengingatkan ayah mempelai perempuan untuk meminta izin kepada anaknya yang
masih gadis, dan atau juga pegawai mengingatkan anak terlebih dahulu minta/memberikan izin
kepada ayah atau wali, dan keharusan bagi ayah meminta izin kepada anaknya untuk
menikahkan bila anak berstatus janda.
Sebelum pelaksanaan ijab qobul sebagaimana lazimnya upacara akad nikah dapat didahului
dengan pembacaan khutbah nikah, pembacaan istighfar dan dua kalimat syahadat. Rangkaian
Acara Ijab Kabul secara semonial dapatdigambarkan dalam table berikut:79
NO Runtut Acara Keterangan
1 Akad Nikah /Ijab Qobul Pelaksanaan ijab qobul dilaksanakan sendiri
oleh wali nikahnya terhadap calon
mempelai pria, namun apabila karena
sesuatu hal wali nikah/calon mempelai pria
dapat mewakilkan kepada orang lain yang
ditunjuk olehnya
79
Hhtps://yogyakarta2.kemenag.go.id/files/Yogyakarta/file/file/effi/ivfx1393312468.pdf

42
2 Tanda Tangan Penandatanganan Akta Nikah oleh kedua
mempelai, wali nikah, dua orang saksi dan
PPN yang menghadiri akad nikah
3 Pembacaan Ta’lik Talak
4 Penandatanganan ikrar Ta’lik Talak Penanda tanganan Ta’likut dilakun Suami
dan istri
5 Penyerahan maskawin/mahar Dilakukan oleh istri dan suami dalam hal
ini sunah untuk menyebut jumlah
6 Penyerahan Buku Nikah/Kutipan Dilakukan oleh pegawai pencatat nikah
Akta Nikah.
7 Nasihat perkawinan Dilakukan oleh tokoh agama atau juga
orang tua dan pegawai pencatat nikah
8 Do’a KeKesimpulan. Dilakukan oleh tokoh agama atau juga
orang tua dan pegawai pencatat nikah
Rangkain acara ini adalah sesuatu yang tidak mutlak, di beberapa wilayah yang memiliki
kebudayaan tentu akan memiliki rangkain acara akad nikah yang berbeda. Kendati pun demikian
beberpa rangkaian acara akad nikah ini merupakan sesuatu yang hendaknya ada dalam
pelaksanaan pada saat ijab Kabul dilakukan.

C. KeKesimpulan.
Pencatatan pernikahan merupakan suatu yang harus dilakukan guna menertibkan admitrasi
pernikahan/ kependudukan dan menjaga hak suami istri dalam pernikahan atau pada saat terjadi
perceraian.
Dalam pencatatan pernikahan setidaknya ada empat tahapan yakni dimulai dari tahapan,
Perencanaan pernikahan, Pemberitahuan kehendak nikah kepada pegawai pencatat nikah,
Pemeriksaan berkas nikah dan Pengumuman kehendak nikah.

43
TATAT CARA WAKIL WALI NIKAH OLEH PENGHULU RESMI NEGARA
Wali dalam pernikahan adalah sebuah keniscayaan adanya, tanpa seorang wali bagi
mempelai perempuan, maka pernikahan tidak dapat berlangsung atau bahkan batal pernikahanya
jika dipaksakan untuk dilanjutkan. Dalam Syari’at Islam perwalian hanya dibutuhkan untuk
mempelai perempuan. Perempuan dianggap tidak dapat bertindak sendiri untuk menikahkan
dirinya. Seringnya perempuan mengalami tipuan berupa rayuan lelaki, mudahnya ia direnggut
harga dirinya dan juga tidak cakap melakukan beberapa hal penting dalam hidupnya, maka
berawal dari hal ini Syari’at mewajibkan bagi perempuan untuk menggunakan wali sebagai
orang yang diberi kekuasaan dalam melaksanakan pernikahanya dengan lelaki pilihanya.
Melihat begitu pentingnya wali dalam pernikahan, di dalam pembahasan ini akan dibahas
beberapa hal tentang wali dan pernikahan dan cara mewakilkan perwalian kepada orang lain atau

44
kepada penghulu resmi negara di Indeonesia, ditinjau dari hukum Syari’at Islam dan Undang-
undang tentang perkawinan di Indonesia.

A. Pengertian Wakil Wali Nikah


Jika diuraikan wakil wali nikah terdiri dari tiga suku kata di mana ketiganya merupakan suku
kata yang juga telah menjadi istilah sendiri di dalam hukum Syari’at Islam. Tiga suku kata
tersebut adalah Wakil, Wali dan Nikah. Dalam pembahsan ini ketiga suku kata ini digabungkan
sehingga membentuk istilah baru dalam hukum Syari’at Islam.
Untuk memahami wakil wali nikah, penting kiranya mengetahui istilah wakil terlebih dahulu.
Wakil merupakan sighat isim fa’il dari wakalah yuwakilu. Kosakata tersebut jika ditilik dari
makna etimologi wakalah artinya menjaga atau pelimpahan wewenag, sedang wakalah menurut
makna terminologinya suatu akad yang dilakukan seorang untuk melimpahkan wewenangnya
kepada orang lain terhadap suatu perkara dengan batas waktu tertentu. 80 Dari definisi wakalah
tersebut wakil dapatdiartikan sebagai seorang yang diberi kuasa oleh muawkil untuk melakukan
suatu kepentingan dan urusan muwakil.
Wali menurut etimologi adalah pelindung, penolong dan penguasa. Sedangkan wali
digabungkan dengan kata nikah maka menjadi sebuah istilah yang lebih khusus. Wali nikah
menurut istilah dapat diartikan sebagai pengasuh pengantin perempuan pada saat melangsunkan
pernikahan dalam melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.81Amir Syarifudin
mengatakan bahwa wali dalam pernikahan adalah seorang yang karena kedudukanya berwenang
untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain.82
Dari beberapa pengertian wakil dan wali nikah tersebut dapat disimpulkan bahwa wakil wali
nikah adalah seorang yang menjadi penerima kuasa terhadap wali nikah untuk melakukan
kewenangan wali nikah dan urusanya dalam batas-batas tertentu.

B. Syarat Wali Nikah Dan Macam-Macam Wali

80
Muhammad az Zuhri al Khamrawi, Imdatu as Salik wa Imdatu an Nasik, (Surabaya, Al Hidayah, TT).
Hlm. 174
81
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta, Rajawali Pers,
2009). Hlm. 89
82
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Antara Fikih Munakahat dan Undang-
undang Perkawinan, (Jakarta, Kencana, 2014). Cet V. Hlm.69

45
Syarat menurut pandapat ulama ushul fikih adalah sesuatu yang ketidak adaannya
menetapkan ketidak adaannya masyrut (sesuatu yang di syarati), dan keberadaannya belum tentu
menetapkan keberadaannya masyrut (sesuatu yang di syarati).83 Semisal wudhu’ menjadi syarat
sah salat, ketidak adanya wudhu’ memastikan tidak adanya shalat, hal ini karena seorang yang
melakukan shalat disyaratkan harus berwudhu’ terlebih dahulu, namun keberadaan wudhu’ tidak
menetapkan adanya shalat, karena banyak orang berwudhu’ mungkin karena ingin daimul
wudhu, thawaf atau membaca qur’an, maka orang yang berwudhu beleum tentu akan shalat.
Syarat juga dapat diartikan sebagai langkah kongkrit yang harus dilakukan sebelum melakukan
sesuatu.
Adapun maksud dari syarat-syarat dalam wali nikah adalah suatu sifat atau ketentuan pada
sesorang yang menjadi wali nikah dan merupakan suatu yang menjadi barometer layaknya
sorang menjadi wali dalam pernikahan. Dalam beberapa keadaan sifat dan ketentuan tersebut
belum tentu menetapkan seorang menjadi wali nikah. Semisal orang yang berjenis kelamin laki-
laki dan baligh, adanya seorang berjenis kelamin laki dan baligh belum tentu menunjukan ia
sebagai wali nikah, hal ini mengacu banyak orang laki dan sudah baligh tidak menjadi wali nikah
dalam masalah selain nikah pernikahan. Namun untuk menjadi wali nikah seorang harus berjenis
laki dan sudah baligh hal ini karena ketetapan Syari’at.
Sebagian ulama fikih mensyaratkan adanya beberapa sifat sebagai suatu kelayakkan seorang
menjadi wali nikah. Suatu pernikahan akan sah jika wali nikahnya memiliki sifat a). Berjenis
kelamin laki-laki, yang dengannya tidak diperkenankan seorang perempuan menjadi wali atau
mewakilkan perwalianya pada perempuan lain. b). Sudah mukalaf, seorang dikatakan mukalaf
ketika ia memiliki akal yang sehat (‘aqil) dan telah baligh sehingga ia wajib melakukan suatu
perintah dan wajib menjauhi larangan Syari’at. c). Muslim, sehingga tidak diperkenankan bagi
orang non muslim menjadi wali nikah dari perempuan muslim. Bagi perempuan muslim yang
walinya non muslim, maka ia harus diwalikan oleh keluarga jauhnya yang beragama Islam, jika
tidak memiliki keluarga yang beragama Islam, maka walinya adalah wali hakim atau penghulu
resmi negara. d). Merdeka atau bukan seorang hamba sahaya. Pada zaman ini hamba sahaya atau
budak tidaklah ditemuai, karena ajaran Islam telah mengharamkan perbudakan sejak Islam itu
lahir, maka di masa kini syarat merdeka tidak begitu relevan, karena semua orang telah merdeka
dari status perbudakannya. e). Memiliki sifat adil, adil sebagaimana pendapat Muhammad Zuhri

83
Muhammad Djamaludin Ahmad. Miftahu al Ushul, (Jombang, Muhibin, 2010). Hlm.6

46
dalam kitab Imdatus Salik wa Udatu Nasik adalah lawan dari fasiq, dengannya seorang yang
menjadi wali nikah bukan orang yang banyak melakukan dosa besar dan kecil sehingga ia
menduduki predikat fasiq. f). Tammun an Nadhari atau luas cara pandangnya. Dalam
perkawinan wali dianggap penting, karena kebijakan dan pandangannya akan menentukan
keberlangsungan pernikahan perempuan yang diwalikan kepadanya, dan pun juga dalam
beberapa keadaan wali dapat menikahkan anaknya tanpa izinya, seperti menikahkan anak gadis
yang belum menikah, sehingga penting seorang wali memiliki kebijakan dan pandangan yang
luas atas keputusanya dalam pernikahan.84
Tidak jauh berbeda dengan syarat wali nikah dalam hukum syari’at Islam, pasal 20
Kompilasi Hukum Islam secara jelas menyebutkan bahwa orang yang berhak menjadi wali nikah
adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat wali dalam hukum Islam yakni muslim, aqil, dan
baligh.85 Syarat seorang wali dalam nikah ini juga berlaku pada beberapa wali nikah, yakni baik
wali nasab dan wali hakim. Seorang wali, baik wali nasab atau wali hakim yang tidak memenuhi
syarat wali nikah tidak diperkenankan menjadi wali, dan apabila perwaliaannya tidak sah maka
berakibat pada tidak sahnya pernikahan.
Hak perwalian secara runtut dapat difahami melalui skema macam-macam wali di bawah ini,
dimualai dari wali nasab hingga wali hakim dan tahkim.86

84
Syihabudin Al Misri. Anwar Masalik, (Surabaya, al Hidayah. TT). Hlm. 215
85
Kompilasi Hukum Islam dan undang-undang negara republik Indonesia no. 3 tahun 2006 tentang
pengadilan agama (Jakarta, Pressindo, 2009). Hlm. 148
86
Skema dibuat dari pemahaman penulis tentang macam wali yang dipaparkan oleh H.M.A. Tihami dan
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Lengkap...Hlm.95-104

47
Dari skema tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa macam wali ada empat macam yakni
wali Nasab, wali Hakim, wali tahkim dan wali maula. Di dalam skema ini tidak kita ketemukan
wakil wali nikah. Hal ini menunjukan bahwa wali nikah bukanlah bagian dari macam-macam
wali. Wakil wali nikah merupakan suatu kewenagan wali yang ada empat di atas untuk
mewakilkan kepada orang yang dikehendaki. Dalam memberi kewenagan kepada wakil wali
nikah, seorang harus memperhatikan syarat-syarat seorang dapat menjadi wali. Jika seorang yang
menjadi wakil wali nikah tidak memenuhi syarat wali nikah, maka pernikahan yang dilakukan
dengan wakil wali nikah pun tidak sah. Wakil yang tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah
tentu suatu pernikahan tidak akan berlangsung karena dianggap tidak sah. Ketidak sahan nikah
dalam kaitan ini dikarenakan wakil wali nikah tidak memenuhi syarat wali nikah.

C. Hukum Wali Nikah


Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan wali nikah dalam pernikahan adalah rukun
nikah yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkanyanya.87 Olehnya dalam keadaan bagaimanapun wali nikah harus ada dalam
pernikahan dan wal nikah merupakan suatu kewenangan yang boleh diwalikan kepada orang
lain.
87
Kompilasi Hukum Islam dan undang-undang negara republik Indonesia no. 3 tahun 2006 tentang
pengadilan agama…Hlm.148

48
Ulama berselisih pendapat tentang harus adanya seorang wali bagi perempuan yang akan
menikah, Pertama. pendapat imam madzahab yang mewajibkan adanya wali nikah bagi
perempuan yang akan menikah, baik perempuan tersebut masih belum dewasa atau telah dewasa,
dan baik perempuan tersebut masih gadis atau sudah janda, kewajiban adanya wali nikah ini
menurut pendapat Imam Maliki dan Syafii.88 Kedua, tidak mewajibkan adanya wali bagi
perempuan yang talah dewasa baik telah masih gadis atau janda, dan tidak ada kewajiban adanya
wali bagi perempuan yang menikah dengan lelaki se-kufu’nya (lelaki yang strata social dan
agamanya sama), pendapat ini menurut imam Hanafi dan Syi’ah Iamamiyah dan pendapat ini
diikuti oleh Hazairin.89 Ketiga, ada pula yang mengatakan wali dalam nikah tidaklah wajib, dan
mengaggap sah perempuan yang melakukan pernikahan tanpa seorang wali, pendapat ini
dikatakana oleh Daud ad Dzahiri.

D. Tatacara Mewakilkan Wali Nikah Kepenghulu Negara


Pemberian kuasa atau mewakilkan wali nikah kepada orang lain yang memenuhi syarat
menurut kebanyakan ulama hukumnya boleh. Sabik mengatakan ulama bersepakat tentang setiap
suatu perjanjian yang dapat dilakukan secara pribadi, maka suatu perjanjian tersebut dapat
diwakilkan kepada orang lain. Suatu akad atau perjanjian itu meliputi, akad jual beli, sewa
menyewa, akad membayar hutang, perjanjian perdamaian, nikah, thalak dan akad atau perjanjian
lain yang dapat digantikan dengan pihak lain. 90 Dengannya tidak diperkenankan mewakilkan
sesutau yang tidak dapat diperjanjikan secara pribadi. Seorang yang memiliki gangguan jiwa
dengan staus gila, ia tidak dapat melakukan suatu perjanjian atau transaksi secara pribadi tanpa
diwalinya, karena itu tindakanya tidak dapat mewakilkan suatu perjanjian tanpa seizing walinya.
Jumhur ulama selain madzhab Hanafi menggap tidak sah seorang perempuan mewakilkan
akad nikahnya kepada orang lain selain walinya, alasannya karena seorang perempuan tidak
memiliki kekuasaan mewakilkan akad nikahnya pada orang lain.91 Sehingga ia tidak dapat
memberi kuasa kapada orang lain selain walinya untuk menikahkan dirinya kepada seorang
lelaki pujaanya. Namun wali perempuan tersebut boleh memberi kuasa pada orang lain yang
dipercayainya untuk menikahkan anaknya pada lelaki yang dikehendaki anaknya.

88
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Lengkap...Hlm.91
89
Sayuti Thalib. Hukum Kekeluargaan Indonesia. (Jakarta. UI-Pres, 1986). Hlm.64
90
Sayid Sabik, Fikih Sunah, (Beirut, Maktabah Asyriyah, 2011). Hlm. 96
91
Wahbah az Zuaili. Al Fikih al Islami wa Adilatuhu, (Beirut, Darl al Fikir,2008) Juz.7. Hlm. 219

49
Kebolehan mewakilkan wali nikah itu pernah dilakukan oleh nabi Muhammad pada suatu
pernikahan sahabat. Sebelum nabi menjadi wakil wali nikah tersebut nabi bertanya pada
mempelai laki “apakah engkau rela saya nikahkan dengan fulana”, memepalai laki-laki tersebut
menjawab “iya saya rela”, setelah itu nabi juga bertanya pada mempelai perempuan “apakah
engakau rela saya nikahkan dengan si fulan”, memepelai perempuan itu menjawab “iya saya
relah”, lalu nabi menikahkan keduanya dan tidak mewajibkan mempelai memberi maskawin
dikarenakan ia belum punya, melihat hal tersebut saksi nikah yang juga bagian dari pasukan
perang hudaibiyah memberikan bagian hasil perangnya kepada mempelai lelaki sebagai shadaq
(mahar) yang diberikan pada mempelai perempuan.92
Pemberian kuasa pada wakil wali nikah adalah sebuah hak bagi wali nikah mempelai
perempuan, ia boleh mewakilkan perwalianya kepada orang lain yang ia kehendaki selama tidak
mendatangkan madharat bagi pernikahan mempelai perempuan.
Aturan-aturan atau syarat perwalian dalam nikah juga berlaku bagi pemberi kuasa wakil wali
nikah dan bagi penerima wakil wali nikah. Syari’at mengatur tentang siapa saja yang dapat
memberi kuasa wakil nikah. Seorang pemberi kuasa wakil nikah harus orang yang telah baligh,
merdeka, sehat akal. Tidak jauh berbeda dengan wali nikah, seorang yang menerima kuasa wakil
wali nikah ia harus orang yang sempurna dan cakap menurut hukum syari’at. Penerima kuasa
wakil wali nikah dianggap cakap menurut hukum syari’at jika seorang berjenis kelamin laki-laki,
berakal sehat, baligh dan merdeka (bukan budak). 93 Zuhaili menambahkan seorang yang
mandapat kuasa sebagai wakil wali nikah tidak dalam keadaan ihram. 94 Dengannya orang masih
dalam keadaan ihram tidak diperkenankan menjadi wakil wali nikah, begitu juga orang yang
tidak cakap menurut hukum syari’at tidak dapat memberi kuasa wakil wali nikah dan juga tidak
dapat menerima kuasa wakil wali nikah.
Beberapa orang yang masuk dalam kategori tidak dapat menjadi wakil wali nikah dan
menerima kuasa wakil wali nikah adalah orang gila, anak yang masih belum baligh, budak, dan
orang yang memiliki penyakit ayan. Alasan mengapa mereka tidak dapat menjadi pemberi kuasa
atau penerima kuasa wakil nikah adalah kerena mereka dianggap tidak dapat bertindak
melakukan suatu tindakan hukum kecuali dengan penguasanya atau walinya.

92
Sayid Sabik, Fikih Sunah...Hlm. 96
93
Sayid Sabik, Fikih Sunah…Hlm. 96
94
Wahbah az Zuaili. Al Fikih al Islami wa Adilatuhu…Hlm.219

50
Tidak dijelaskan dengan jelas tata cara memberi kuasa wali nikah pada orang lain, namun
secara tersirat pemebri kuasa pada wakil wali nikah sama halnya dengan memberi kuasa pada
perjanjian yang lain.
Sah hukumnya mewalikan wakil wali nikah baik dengan ungkapan lisan atau tulisan. Tidak
disyaratkan bagi pemberi kuasa wakil nikah meminta izin saksi nikah dalam pemberi kuasa
wakil wali nikah kepada orang lain.95 Begitupun dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dijelaskan
cara atau mekanisme pemberi kuasa wakil wali nikah. Kompilasi Hukum Islam hanya
menyinggung tentang pergesaran keberhakan wali yang apabila dalam urutanya seorang wali
yang lebih berhak tidak dapat memenuhi syarat sebagai wali hal ini dapat dilihat pada pasal 22
Kompilasi Hukum Islam.
Apabila wali nikah yang paling berhak urutanya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah
atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawawicara, tunarungu atau sudah uzur, maka
hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Kompilasi juga menyinggung perwalian memepelai perempaun yang tidak memiliki wali.
Hal ini sebagiamana diungkapkan pada pasal 23 Kompilasi Hukum Islam Tentang Wali nikah.96
1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau
tidak mungkin dihadirkan atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal
atau enggan.
2. Dalam hal wali adhal atau enggan, maka hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah
setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut.
Melihat dua pasal tersebut tidak kita ketemui adanya aturan pemberian kuasa wakil wali
nikah pada orang lain. Pemberi kuasa wakil wali nikah secara sederhana dilakukan oleh
masyarakat di Indonesia. Runtutan cara pemberi kuasa wakil wali nikah kepada orang lain dapat
digambarkan dengan sangat sederhana, yakni wali nasab yang lebih berhak menunjuk seseorang
yang memenuhi syarat wali nikah dan dianggap amanah dan kuat agamanya.
Seorang wali nikah dapat menunjuk ulama ataupun pegawai pencatat nikah negara untuk
menjadi wakil wali nikah. Wali nikah yang lebih berhak tersebut menyatakan ikrar wakil wali
nikah kepada seorang wakil yang di tunjuknya. Seorang wakil mengiyakan pemberian kuasa
wakil wali nikah dengan suka rela dan iklahs. Wali nikah yang berhak sebagai pemberi wakil
harus menjelaskan apa saja yang harus dilakukan, dan menunjukan batas-batas kekuasaanya.

95
Wahbah az Zuaili. Al Fikih al Islami wa Adilatuhu…Hlm.219
96
Kompilasi Hukum Islam dan undang-undang negara republik Indonesia no. 3 tahun 2006 tentang
pengadilan agama…

51
Wakil wali nikah bertindak sesuai dengan penjelasan dan batasan kekuasaan yang diberikan oleh
wakil wali nikah yang memberikan kuasa. Seorang wakil wali nikah tidak diperkenankan
bertindak diluar batas kewenangan, maka tidak sahlah atau rusaklah perwakilan jika tindakan
yang dilakukan oleh wakil merugikan seorang yang memberi kuasa atau si mempelai perempuan.
Apabila wakil melakukan sesuatu diluar batas kewenangan namun dapat memberi manfaat
kepada orang yang memberi kuasa, maka perwakilan tidaklah rusak.
Tindakan seorang wakil dilihat dari wewenangnya ada dua bentuk yakni wakil dengan
wewenang yang dibatasi atau Wakâlah al Muqayadah, dan juga wakil dengan wewenang tidak
dibasti atau Wakâlah al Mutlaqah. Wakil yang wewenangnya dibatasi seperti seorang pemberi
kuasa (Muwakil) memberi kuasa perwalian nikah kepada penerima kuasa (Wakīl) dengan batas-
batas tertentu dan sifat-siafat tertentu. Dalam hal ini Wakīl bertindak sesuai dengan batas-batas
yang di berikan oleh Muwakil, Wakīl tidak boleh melakukan tindakan yang berlawanan dengan
perintah dan batas-batas wewenang yang di berikan oleh Muwakil kecuali tindakan yang
berlawanan dengan perintah dan batas-batas wenang yang dilakukan oleh wakil memberi
kebaikan Muwakil. Sedangkan wakil dengan wewenang tidak dibatasi dapat digambarkan,
seorang pemberi kuasa (Muwakil) memberi kuasa pewalian nikah kepada penerima kuasa
(Wakīl) dengan tidak memberi sifat dan batas tertentu. Dalam hal ini Wakīl bertindak sesuai
kebutuhan dan kepentingan Muwakil dalam wali nikah yang diwakilkannya.97

E. Kesimpulan.
Semua akad yang dapat dilakukan sendiri oleh subjek hokum, maka akad tersebut boleh
untuk diwakilkan, tidak terkecuali wali nikah pada calon mempelai perempuan. Wali nikah
adalah seseorang yang bertanggung jawab untuk memelihara dan melindungi calon mempelai
perempuan dalam akad nikah. Akad nikah yang dilakukan oleh wali nikah yang memenuhi syarat
adalah salah satu akad yang dapat dilakukan sendiri tanpa membutuhkan adanya orang lain,
denganya kedudukan wali memiliki hak untuk mewakilkan kewenangannya pada orang lain
sebagaimana akad muamalah lainya.
Wakil wali nikah yang dimaksud dalam pembahasana ini tidak diatur secara jelas di dalam
Kompilasi Hukum Islam, meski kompilasi mencakup kumpulan atauran perkawinan didalamnya.
Secara praktik di masyarakat, banyak orang tua atau wali nikah telah melakukan perwakilan wali

97
Wahbah az Zuaili. Al Fikih al Islami wa Adilatuhu…Hlm.221

52
nikah kepada pegawai pencatat nikah dengan cara yang sangat sederhana. Wali nikah yang lebih
berhak menunjuk seseorang yang memenuhi syarat wali nikah dan dianggap amanah dan kuat
agamanya, dalam hal menunjuk wali dapat menunjuk ulama ataupun pegawai pencatat nikah
negara. Wali nikah yang lebih berhak tersebut menyatakan ikrar wakil wali nikah kepada seorang
wakil yang ditunjuknya. Seorang wakil mengiyakan pemberian kuasa wakil wali nikah dengan
suka rela dan iklahs. Wali nikah yang berhak sebagai pemberi wakil harus menjelaskan apa saja
yang harus dilakukan, dan menunjukan batas-batas kekuasaanya. Wakil wali nikah bertindak
sesuai dengan penjelasan dan batasan kekuasaan yang diberikan oleh wakil wali nikah yang
memberikan kuasa. Dalam hal wakil wali nikah bertindak tidak dalam batas kewenangan, maka
tidak sahlah atau rusaklah perwalian jika tindakan yang dilakukan oleh wakil merugikan pemberi
kuasa atau si mempelai. Namun apabila wakil melakukan sesuatu tidak dalam batas kewenangan
namun dapat memberi manfaat kepada pemberi wakil, maka perwakilan tidaklah rusak.

KURSUS CALON PENGANTIN

53
Suatu pernikahan adalah momen yang harus dilakukan secara serius dan sakral.
Karenanya ajaran agama Islam menempatkan pembahasan pernikahan pada posisi yang sangat
penting setara dengan pembahasan ubudiyah, muamalah dan jinayah dalam ilmu fikih.
Kesataraan pembahasan tersebut menunjukan bahwa hukum dan aturan munakah atau
pernikahan sangat penting untuk diketahui orang muslim dalam menjalankan kehidupan dan
mengarungi hidup berumah tangga.
Terlepas dari pada pentingnya suatu aturan pernikahan di atas. Pada masa saat ini perlu
adanya suatu upaya edukasi beberapa pengetahuan yang berkaitan tentang hukum pernikahan
dan hukum keluarga. Betapa tidak upaya edukasi pengetahuan tentang pernikahan dan hukum
keluarga saat ini menjadi salah satu yang sangat penting. Banyak alasan putusnya suatu
pernikahan dan juga terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sering dikaitkan dengan
kurangnya pengetahuan suami istri tentang hukum nikah dan juga bagaimana merawat rumah
tangga sehingga menjadi rumah tangga sakinah, mawadah, warahmah.
Menurut banyak pengamat meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga
kebanyakan disebabkan masalah kecemburuan dan masalah ekonomi. Secara realistis banyak
juga factor lain yang mendorong terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga dan juga
perceraian. Berdasarkan data Kemenag, tercatat pada tahun 2015 ada sekitar 398.245 gugatan
perceraian, sedang pada tahun 2017 kemenag mencatat ada sekitar 415.898 gugatan perceraian.
Jumlah gugatan perceraian tersebut disebabkan beberapa factor. Lukman Hakim mengatakan
penyebab yang paling banyak adalah factor masalah penglolaan rumah tangga dan factor
keuangan.98 Sedangkan komnas perempuan mengaku menerima 903 aduan kasus kekerasan
adalam rumah tangga pada Maret 2017.99
Meningkatnya data perceraian dan juga meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga ini
mendorong Kemenag untuk melakukan suatu upaya prefentiv bagaimana menurunkan angka
perceraian dan juga kekerasan dalam rumah tangga pada masa ini. Salah satu upaya Kemenag
adalah menaikan batas minimum usia pernikahan dan juga memberi dorongan kepada calaon
pengantin untuk mengikuti kursus calon pengantin. Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa
pokok bahasan tentang dasar hukum kursus calon pengantin, materi yang dikursuskan dan fungsi
kursus calon pengantin.

98
http://www.google.com/amp/s/m.kumparan.com/amp/@kl/mentri-agama-angka-perceraian-di-indonesia-
meningkat-1544179658506355359
99
http://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/amp/indonesia-39180341

54
A. Perkembangan Kursus Calon Pengantin di Indonesia
Sebelum membahas panjang lebar tentang perkembangan kursus calon pengantin di
Indonesia, perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kursus calon pengantin adalah
pemberian bekal pengetahuan, pemahaman dan ketrampilan dalam waktu singkat kepada calon
pengantin (catin) tentang kehidupan rumah tangga/keluarga.100
Perkembangan kursus calon pengantin atau disingkat suscatin tidak adapat dilepaskan
dari lahirnya Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan atau disingkat BP4.
Badan penasihat, pembinaan dan pelestarian perkawinan merupakan mitra kementrian agama
dalam upaya meningkatkan kualitas perkawinan umat Islam di Indonesia. Badan yang didirikan
pada tanggal 3 Januari 1961 di Jakarta ini dikuatkan dengan Keputusan Menetri Agama No 48
Tahun 1961, pada saat itu KH. Wahid Hasyim sebagai menetri agama menunjuk H
Siswosoedarmo sebagai ketua BP4 pertama kalinya. Sedangkan tujuan dibentuknya BP4 adalah
untuk meningkatkan mutu perkawinan guna mewujudkan keluarga sakinah menurut ajaran Islam
untuk mencapai masyarakat dan bangsa Indonesia yang maju, mandiri, bahagia, sejahtera materi
dan spiritual.101
Pada tahun 2013 Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam mengeluarkan Peraturan
No: DJ.II/542 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah. Dalam aturan
ini dijelaskan beberapa hal tentang siapa saja yang dapat menjadi menyelengarakan kusrsus
calon pengantin, pendanaan dan materi kursus calon pengantin.

B. Penyelenggaraan Kursus Calon Pengantin


Pasal 1 ayat (4) dan ayat (5) peraturan No: DJ.II/542 Tahun 2013 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah, secara tersirat menyebutkan ada dua lembaga yang dapat
menyelenggarakan kursus calon pengantin. Pertama Badan Penasihatan, Pembinaan dan
Pelestarian Perkawinan yang selanjutnya disebut BP4 dan juga lembaga penyelenggara kursus
pra nikah lain yang telah memiliki akreditasi dari Kementerian Agama. 102 Lebih lanjut pasal 3
dalam peraturan ini telah jelas menyebutkan siapa penyelengara kursus calon pengantin yang
dimaksud pasal satu.

100
Peraturan No: DJ.II/542 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah. Hlm.2
101
http://bp4pekanbaru.or.id/web/statis/sejarah
102
Peraturan No : DJ.II/542 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah. Hlm. 2

55
Pasal 3
1) Penyelenggara Kursus pra nikah adalah BP4 dan organisasi keagamaan Islam yang telah
memiliki Akreditasi dari Kementerian Agama.
2) Kementerian Agama dapat menyelenggarakan kursus pra nikah yang pelaksanaannya bekerja
sama dengan Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) atau
organisasi keagamaan Islam lainnya.

Melihat isi pasal ini, maka dapat disimpulkan bahwa penyelengara kusrsus nikah bagi
calon pengantin dapat dilakukan oleh BP4 (Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian
Perkawinan atau disingkat), Organisasi Keagamaan yang telah memiliki akriditasi Kemenag dan
dapatjuga diselengarakan oleh Kemenag sendiri. Meskipun demikian adanya, masih jarang
diketemukan keberadaan BP4 dan juga organisasi keagamaan yang menyelenggarakan kursus
calon pengantin sebagaimana seharusnya di lingkungan masyarakat kita. Meski kita dapat
menemui BP4 dan Penyuluhan Pengalaman Ajaran Agama Islam (P2I) yang dibentuk oleh
Kemenag.
Pelaksanaan Kursus calon pengantin di beberapa negara tetangga, seperti Malaysia dan
Singapura dilaksanakan oleh badan atau lembaga masyarakat dengan dukungan regulasi dari
pemerintah. Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS) menyelengarakan kursus calon pengantin
selama satu sampai tiga bulan dengan 8 kali pertemuan, sedangkan Jabatan Kemajuan Agama
Islam Malaysia (JAKIM) melaksanakan kursus calon pengantin selama 3 bulan dengan 8 sampai
10 kali pertemuan. Sedang waktu pelaksanaan kursus calon pengantin dilaksnakan sesuai dengan
waktu libur yang dimiliki oleh peserta kursus yang umumnya pegawai atau buruh.103 Di
Indonesia seharusnya dengan mengacu pasal 3 Peraturan No : DJ.II/542 Tahun 2013 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah di atas meskinya tidak hanya Majelis Ulama
Indonesia saja, setiap organisasi agama, praktisi dan juga mahasiswa dapatmenyelenggarakan
BP4, ironisnya di indonesosi BP4 hanya dimiliki kemenag.
Kurangnya informasi adanya bagi masyarakat agamawan untuk mendirikan lemabga
kursus calon pengantin yang telah diakriditasi adalah salah satu factor lembaga kursus calon
pengantin sulit ditemui di masyarakat kita. Sebab itu bagi toko agama, akademisi, praktisi dan
juga mahasiswa hukum keluarga Islam haruslah melihat peluang ini sebagai pengembangan
keilmuan dan pengabdiannya apada masyarakat.

103
Lihat lampiran Peraturan No: DJ. II/542 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra
Nikah Bab. III

56
Dorongan Kemenag kepada masyarakat luas untuk ikut berpartisipasi dalam pembinaan
dan pembangunan keluarga serta mengurangi angka perceraian dan kekerasan dalam keluarga
melalui lembaga kursus calon pengantin sebenarnya telah disinggung dalam Peraturan No:
DJ.II/542 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah.104 Dalam hal ini
penyelenggaraan kursus pra nikah dapat dilaksanakan oleh badan/lembaga di luar instansi
pemerintah dalam hal ini KUA kecamatan, tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh
badan/lembaga/organisasi keagamaan Islam yang telah memenuhi ketentuan yang di tetapkan
oleh Pemerintah. Pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Agama berfungsi sebagai
regulator, pembina, dan pengawas. Berbeda pelaksanaannya dengan kursus calon pengantin yang
dilakukan pada waktu yang lalu dilaksanakan langsung oleh KUA/BP4 kecamatan.
Kementerian Agama sebagai regulator dan pengawas bertanggung jawab untuk
memberikan bimbingan pembinaan kepada badan/lembaga/organisasi keagamaan Islam
penyelenggara kursus pranikah agar pembekalan dapat terarah, tepat sasaran dan sesuai dengan
yang diharapkan. Selain itu pembinaan dan pembangunan keluarga tidak lagi tertumpuk pada
tanggungjawab pemerintah secara sepihak tapi menjadi tanggungjawab bersama masyarakat
untuk bahu-membahu meningkatkan kualitas keluarga dalam upaya menurunkan angka
perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini marak di masyarakat.
Dalam penyenggaraan kursus calon pengantin dibutuhkan beberapa hal yang mendorong
penyelenggaraannya. Pertama, Sarana penyelenggara kursus pra nikah meliputi sarana belajar
mengajar: silabus, modul, dan bahan ajar lainnya yang dibutuhkan untuk pembelajaran. Silabus
dan modul disiapkan oleh kementerian agama untuk dijadikan acuan oleh penyelenggara kursus
pra nikah. Kedua, Materi kursus pra nikah terdiri dari kelompok dasar, kelompok inti dan
kelompok penunjang. Materi ini dapat diberikan dengan metode ceramah, diskusi, tanya jawab,
study kasus (simulasi) dan penugasan yang pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan di lapangan. Ketiga, Narasumber/pengajar dapatterdiri dari a. Konsultan
keluarga, b. Tokoh agama, c. Psikolog, dan d. Profesional dibidangnya. Kemepat, Pembiayaan
kursus pra nikah sesuai ketentuan pasal 5 dapat bersumber dari dana APBN, dan APBD. Dana
pemerintah berupa APBN atau APBD dapatdiberikan kepada penyelenggara dalam bentuk
bantuan, bantuan kepada badan/lembaga penyelenggara dapat dibenarkan sepanjang untuk
peningkatan kesejahteraan dan pembinaan umat sesuai dengan peraturan perundangan yang
104
Lihat lampiran Peraturan No: DJ. II/542 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra
Nikah Bab III

57
berlaku, pemerintah dapat membantu badan/lembaga swasta dari dana APBN/APBD. Empat
unsur ini merupakan suatu syarat yang harus ada dalam penyelenggaraan kursus calon pengantin.

C. Fungsi Kursus Calon Pengantin


Pernikahan adalah awal terbentuknya keluarga, dan keluarga adalah masyarakat kecil
yang memiliki arti penting untuk membangun masyarakat. Masyarakat yang maju dan
berkeberadaban dimulai dari suatu rumpun keluarga yang maju dan berkeberadaban. Selanjutnya
majunya suatu negara bergantung pada masyarakat yang mendiami suatu negara. Olehnya sangat
penting membina suatu keluarga sebelum keluarga itu terbentuk. Kualitas sebuah perkawinan
sangat ditentukan oleh kesiapan dan kematangan kedua calon pasangan nikah dalam
menyongsong kehidupan berumah tangga.
Perkawinan sebagai peristiwa sakral dalam perjalanan hidup suami dan istri. Banyak
sekali harapan gara keluarga menjadi langgeng. Acap kali pernikahan kandas di tengah
perjalanan dan berujung dengan perceraian. Hal ini karena kurangnya kesiapan kedua belah
pihak suami-isteri dalam mengarungi rumah tangga. Agar harapan terbentuknya keluarga
bahagia dapat terwujud, maka diperlukan pengenalan terlebih dahulu tentang kehidupan baru
yang akan dialaminya nanti. Dalam suscatin sepasang calon suami isteri diberi edukasi singkat
tentang kemungkinan yang akan terjadi dalam rumahtangga, sehingga pada saatnya nanti dapat
mengantisipasi dengan baik. Setidaknya suami istri berupaya agar masalah yang timbul
kemudian hari dapat diminimalisir dengan baik. Untuk itu bagi remaja usia nikah atau catin
sangat penting mengikuti pembekalan singkat (short course) dalam bentuk kursus pra nikah dan
parenting yang merupakan salah satu upaya penting dan strategis.105
Tujuan awal aturan ini dibuat adalah dalam rangka mewujudkan keluarga yang sakinah,
mawaddah, warrahmah melalui pemberian bekal pengetahuan, peningkatan pemahaman dan
ketrampilan tentang kehidupan rumah tangga dan keluarga. Sedang Pasal 2 Peraturan No: DJ.
II/542 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah menyebutkan
peraturan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang kehidupan
rumah tangga/keluarga dalam mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah warahmah serta
mengurangi angka perselisihan, perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga.

105
Lihat lampiran Pedoman No: DJ. II/542 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra
Nikah

58
Fungsi penyelenggaraan kursus calon pengantin dalam aturan tersebut merupakan suatu
kebijakan yang mulya. Dengan adanya kursus calon pengantin diharapkan pengantin dapat
memahami pernikahan menurut agama Islam, memahami hak dan menghadapi masalah rumah
tangga dan memecahka masalah tanpa merugikan siapapun dari anggota keluarga. Di harapkan
calon pengantin suatu saat nanti ketika telah mengarungi bahtera pernikhan mereka mampu
menciptakan kualialitas keluarga dan keturunan yang baik.

D. Materi dan Metode Kursus Calon Pengantin


Meteri kursus calon pengantin adalah materi yang secara subtantiv berisi tentang ihwal
pernikahan dan rumah tangga. Mengacu pada pasal 8 ayat 1 Peraturan No: DJ. II/542 Tahun
2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah materi kursus calon pengantin dibagi
menjadi tiga kelompok, a). Kelompok dasar, b). Kelompok Inti dan c). Kelompok Penunjang
ketiga materi kursus pengantin ini dapat dijabarkan sebagaimana berikut:106
N Materi Pokok Uaraian Materi
O
A Kelompok Dasar
1 Kebijakan Kementerian
Agama tentang Pembinaan
Keluarga Sakina
2 Kebijakan Ditjen Bimas
Islam tentang Pelaksanaan
Kursus Pra Nika
3 Peraturan Perundangan 1. UU Perkawinan & - Konsep perkawinan
tentang perkawinan dan KHI - Azas perkawinan
pembinaan keluarg - Pembatasan poligami
- Batasan usia nikah
- Pembatalan perkawinan
- Perjanjian perkawinan
- Harta bersama
- Hak dan kewajiban
- Masalah status anak

Lihat Kurikulum Dan Silabus Kursus pra Nikah Peraturan No: DJ. II/542 Tahun 2013 Tentang Pedoman
106

Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah

59
- Perkawinan campuran

2. UU KDRT - Pengertian KDRT


- Bentuk-bentuk KDRT
- Faktor-faktor Penyebab KDRT
- Dampak KDRT
- Aturan Hukum
- Tanggungjawab Pemerintah
dan keluarga

3. UU Perlindungan -Pengertian anak


Anak - Hak anak
- Kedudukan anak dalam Islam

B Kelompok Inti
1 Pelaksanaan fungsi-fungsi 1. Fungsi Agama a. Memfungsikan nilainilai
keluarga ajaran Islam dalam kehidupan
rumahtangga b. Fungsi
pemeliharaan fitrah manusia c.
Penguatan tauhid dengan
pengembangkan
akhlakulkarimah
2. Fungsi Reproduksi Fungsi reproduksi yang
didasarkan akad pertawinan
yang suci
3. Fungsi kasih sayang .a. Kasih sayang dan efeksi
dan afeksi sebagai kebutuhan dasar
manusia b. Kedekatan dan
kelekatan fisik dan batiniah anak
dan orang tua c. Ketertarikan

60
kepada lawan jenis sebagai
sunatullah d. Kasih sayang
sebagai landasan amal sholeh
yang memberi manfaat bagi
sesame
4.Fungsi Perlindungan .a. hak dan kewajiban suami
isteri memiliki fungsi
perlindungan b. perlindungan
terhadap anggota keluarga dari
kekerasan dan pengabaian c.
perlindungan terhadap hak
tumbuh kembang anak
5. Fungsi Pendidikan .a. Fungsi keluarga bagi
dan Sosialisasi Nilai. pembentukan karakter b. Fungsi
sosialisasi dan transmisi nilai c.
Fungsi keteladanan dan
modeling d. Fungsi membangun
benteng moralitas
6. Fungsi Ekonomi. .a. Fungsi produksi untuk
memperoleh penghasilan
b. Fungsi pembelanjaan untuk
memenuhi kebutuhan bagi
kelangsungan keluarga c.
Keseimbangan antara income
dan pengeluaran d. Diperlukan
tata kelola keuangan keluarga
7. Fungsi Sosial .a. Keluarga sebagai unit terkecil
Budaya. dan inti dari masyarakat b.
keluarga sebagai lingkungan
sosial budaya terkecil c. nilai-
nilai keluarga mencerminkan
nilai-nilai dalam masyarakat d.

61
pengejewantahan nilainilai
agama
2 Merawat Cinta Kasih dalam 1. Nilai-nilai dalam a. larangan menyianyiakan
Keluarga keluarga untuk suami/isteri b. Coolingdown c.
mewujudkan menahan diri dan mencari solusi
mu’asyarah bil positif
ma’ruf.
a. Saling memahami b. Saling
2. Formula sukses menghargai
dalam mengelola
kehidupan
perkawinan dan
keluarga
a. Diskripsi komunikasi yang
3. Komunikasi efektif efektif b. Komunikasi dalam
dalam pengelolaan keluarga c. Komunikasi dalam
hubungan keluarga kehidupan sehari-hari d. Macam-
macam komunikasi dalam
keluarg
3 Manajemen Konflik dalam 1. Faktor penyebab a. perbedaan kepentingan dan
Keluarga konflik kebutuhan b. komunikasi tidak
efektif c. hambatan penyesuaian
diri

2.Tanda-tanda a. Cekcok terus menerus b. Cara


perkawinan dalam komunikasi yang merusak
bahaya hubungan

3. Solusi atau cara a. Pasangan b. Keluarga besar


mengatasi konflik masingmasing pihak c. Institusi
konseling
4 Psikologi perkawinan dan 1.Pengertian/Deskripsi a. Pengertian psikologi

62
keluarga perkawinan b. Pengertian
keluarga c. Ruang lingkup
psikologi keluarga
2. Upaya mencapai
keluarga sakinah a. membentuk akhlak luhur b.
menegakan rumahtangga Islami
c. meningkatkan ibadah
3. Membina hubungan
dalam keluarga a. Harmonisasi suamiisteri b.
Orangtua dan anak c. Anak
dengan anak d. anak dan anggota
keluarga lain e. kebersamaan
dalam keluarga
C KELOMPOK PENUNJANG
1 Pendekatan Andragogi Konsep
2 Penyusunan SAP (Satuan
Acara Pembelajaran) dan
Micro Teaching
3 Pre Test dan Post Test
4 Penugasan/Rencana Aksi

Materi ini dapat disampaikan dengan metode ceramah, diskusi, tanya jawab dan
penugasan yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan.
Sedangkan Narasumber terdiri dari konsultan penikahan dan kosultan keluarga, tokoh agama,
dan tokoh masyarakat yang memiliki kompetensi sesuai dengan keahlian yang dimaksud pada
aturan suscatin ini. Sedangkan untuk waktu yang digunakan adalah 24 jam, tapi dapat juga
dilakukan sekurang- kurangnya 16 jam pelajaran. Hal ini mengacu pada pasal 8 ayat 2-4
Peraturan No: DJ. II/542 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah.

E. KeKesimpulan.
Kursus calon pengantin adalah pemberian bekal pengetahuan, pemahaman dan ketrampilan
dalam waktu singkat kepada catin tentang kehidupan rumah tangga/keluarga, hak assasi manusia,
dan juga kesehatan. Dengan kursus pengantin di harapkan calon penganti dapat meningkatkan

63
pemahaman dan pengetahuan tentang kehidupan rumah tangga/keluarga dalam mewujudkan
keluarga sakinah, mawaddah warahmah serta mengurangi angka perselisihan, perceraian, dan
kekerasan dalam rumah tangga.
Kursus calon pengantin memiliki tiga materi yakni materi kelompok dasar, kelompok inti
dan kelompok penunjang dengan penyelenggaraan selama sekurang-kurangnya 16 -24 jam.
Dalam penyelenggaraanya kursus calon pengantin dapat diselenggrakan oleh BP4 KUA,
Organisasi Masyasarakat dan juga konsultan.

ILUSTRASI PELAKSANAAN AKAD NIKAH

Akad nikah adalah bagian terpenting dalam proses pernikahan yang tanpanya nikah
dianggap tidak sah. Akad nikah merupakan titik akhir suatu hubungan asmara pra nikah dua
insan yang saling mencintai. Dimana mereka harus mengambil sebuah kesepakatan untuk
melanjutkan atau tidak melanjutkan rasa dan hubungan yang telah mereka bangun dari suatu
hubungan haram ke arah hubungan yang halal. Penentuan itu didasarkan kesepakatan kedua bela
pihak untuk menlanjutkan atau tidak. Pada kehidupan modern saat ini keberlanjutan hubungan
asmara dua insan yang mencinta tidak hanya ditentukan oleh kedua bela pihak saja, tapi juga
kadang ditentukan oleh pihak keluarga masing-masing. Penentuan lanjutnya suatu hubungan

64
asmara itu hanya dapat ditengarai dengan sebuah sighat yakni sighat ijab dan qabul dalam akad
nikah.
Pada dasarnya isi akad nikah adalah ungkapan wali nikah si perempuan dan ungkapan
menerima dari calon mempelai laki-laki yang memiliki keinginan menikah. Ungkapan wali nikah
kepada pihak laki-laki disebut dengan ijab, sedangkan ungkapan kesedian menikah oleh pihak
laki-laki disebut dengan qabul. Kesepadanan antara ungkapan wali nikah dengan ungkapan
penerimaan seorang laki-laki disebut ijab dan qabul. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini
akan dibahas gambaran akad nikah, dimulai dari hal yang harus dilakukan oleh pegawai pencatat
nikah dan wali nikah sebelum akad nikah, yang harus dilakukan oleh pegawai pencatat nikah dan
wali nikah pada saat akad nikah dan yang harus dilakukan oleh pegawai pencatat nikah dan wali
nikah pasca akad nikah.

A. Tahap Pemeriksaan Kelengkapan Sebelum Akad Nikah


Sedikit banyak telah disinggung sebelumnya tentang tahapan-tahapan akad nikah, namun
dalam pemeriksaan kelengkapan-kelengkapan sebelum dilangsungkannya akad nikah oleh
penghulu sepertinya belum begitu banyak dibahas. Sebelum penghulu atau pegawai pencatat
nikah memerintahkan wali untuk dilaksanakan akad nikah pada calon mempelai, maka seorang
penghulu diharuskan memerikasa ulang kelengkapan syarat-syarat nikah, baik admitrasi yang
telah diprikasa sebelumnya atau para wali dan saksi yang telah disiapkan. Hal ini sebagai
didasarkan atas asaz kehati-hatian dan ketelitian, agar supaya kesempurnaan dan juga keabsahan
akad pernikahan dapat dipertanggung jawabkan baik secara Syari’at ataupun undang-undang
yang berlaku. Begitupun juga dilakukan pemeriksaan terakhir atas dokumen, wali nikah dan
saksinya agar supaya tidak ada suatu yang dapat merugikan kedua bela pihak mempelai.
Pemeriksaan kelengkapan sebelum akad nikah juga sebagai usaha memberi kesempatan
bagi calon pengantin yang belum lengkap syarat admitrasinya, sehingga ia dapat melengkapinya
suatu saat nanti. Sering kali karena suatu kepentingan calon pengantin belum melengkapi syarat
admitrasi meski tanggal pernikahannya telah didaftarkan. Hal ini mungkin dikarenakan tempat
salah satu penganting tidak berada diluar wilayah kantor urusan agama terkait, atau mungkin
calon penganting sebelumnya kurang taat admitrasi kependudukan sehingga ia harus menunggu
kelengkapan admitarsinya. Dengan itu penghulu ataupun pegawai pencatat nikah wajib menagih
kekurangan kelengapan admitrasi calon pengantin di saat hari akan dilangsungkanya akad nikah.

65
Usaha penghulu dalam memeriksa kelengkapan nikah tidak berhenti disitu, ia juga harus
memerikasa wali nikah dan dua orang saksi nikah. Pemeriksaan wali dan saksi nikah merupakan
suatu yang tidak kala penting, hal ini karena pernikahan tanpa wali nikah menurut kebanyakan
ulama tidak sah atau pun ada wali namun tidak sesuai dengan runtutan wali dalam nikah, hal
inipun menyebabkan pernikhan tidak sah. Karenanya penghulu atau pegawai pecatat nikah
hendaknya telah di beri tahu oleh pihak keluarga siapa orang yang bertindak menjadi wali,
sehingga pegawai pencatat nikah dapat menilai kelayakan wali yang diajukan. Pegawai pencatat
nikah hendaknya memeriksa, adakah wali yang diajukan merupakan wali nasab, wali aqrab atau
wali ab’ad. Jika pegawai pencatat nikah menemukan wali yang tidak memenuhi kualifikasi
seorang wali dikarekan ada yang lebih berhak dibanding wali yang diajukan, atau wali yang
diajukan dianggap tidak cakap hukum, maka dalam hal ini pegawai pencatat nikah wajib
membatalkan wali yang diajukan dan menggantinnya dengan wali yang memenuhi kualifikasi
dan syarat wali.
Begitu juga pegawai pencatat nikah memiliki kewenangan dalam mengganti saksi yang
dianggap tidak memenuhi kualifikasi seorang saksi dalam Syari’at Islam. Kualifikasi seorng
saksi nikah dianggap memenuhi syarat adalah dua orang laki-laki yang merdeka, tidak fasik,
beragama Islam, dapat mendengar dan berbicara dan juga dapat melihat.107
Setelah penghulu atau pegawai pencatat nikah memeriksa admitrasi calon pengantin dan
juga telah memeriksa wali dan saksi nikah, maka pegawai pencatat nikah berhak mengatur posisi
majlis akad nikah sesuai dengan formasi yang ideal untuk diberlangsungkannya akad nikah. Hal
ini penting. Akad nikah merupakan rangkaian acara yang tergolong gampang-gampang susah,
tidak jarang posisi wali nikah dan calon mempelai laki-laki mempengaruhi kualitas ijab-qabul
saat dilangsungkannya akad. Salah satu sayarat ijab-qabul adalah harus adanya kesesuaian antara
ungkapan ijab dan qabul. Sering ditemui calon mempelai laki-laki yang memiliki rasa gerogi,
maka untuk itu penghulu ataupun pegawai pencatat nikah berhak untuk mengatur posisi majlis
akad agar ijab dan qabul dapat maksimal dilakukan.
Selain beberapa hal di atas, penghulu atau pegawai pencatat nikah wajib memeriksa
jumlah dan bentuk mahar yang akan digunakan sebagai syarat nikah. Dalam Syari’at Islam
menurut banyak ulama, mahar pernikahan wajib disebutkan dalam akad nikah. Pemeriksaan
mahar sangat penting mengingat kesesuain mahar yang disebutkan dalam sighat akad nikah

107
Zainudin al Malibari, Fathul Mu’īn, (Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 2015), Hlm. 125

66
dengan fakta akan mempengaruhi keabsahan akad nikah. Penyebutan mahar dalam akad nikah
juga mengharuskan menyebutkan cara membayarnya, apakah dibayar dengan cara kontan atau
dengan tidak kontan. Penyebutan jumlah dan cara membayar mahar merupakan sesuatu yang
sama pentingnya, keduanya harus disesuiakan dengan baik. Sesuaikan peyebutan mahar dan
fakta yang ada. Dalam arti lain jika dalam akad nikah disebutkan mahar dibayar kontan akan
tetapi faktanya tidak sesuai dengan jumlah yang disebutka, maka tidak dianggap sah akad
tersebut.
Terakhir untuk mempersiapkan berlangsunya akad, penghulu juga berhak
mempertanyakan kehendak wali nikah, apakah ia ingin mewalikan anaknya secara langsung atau
mewakilkan kewaliannya pad orang lain yang menjadi kepercayannya. Orang yang menjadi
kepercayaanya dalam wakil wali nikah bisa seorang kia atau kepada pegawai pencatat nikah.
Wali nikah yang hendak melakukan ijab tanpa diwakilkan ia harus menentukan bahasa yang
digunakan dalam ijab dan qabul.
Wali atau wakilnya hendaknya melatih calon mempelai lelaki untuk mengucapkan qabul
yang sesuai dengan kalimat ijab yang diungkapkan wali, sehingga qabul yang diungkapakan
oleh mepelai laki-laki dapat sesuai dengan ijab yang diungkapakan oleh wali nikah. Hal ini
dilakukan oleh wakil wali nikah manakalah wali nikah mewakilkan kepada orang
kepercayaannya atau pegawai pencatat nikah. Tujuanya tidak lain, untuk menyesuaikan antara
ungkapan ijab dan qabul anatara wali nikah/wakilnya dan calon mempelai laki-laki.

B. Khutbah Nikah
Khutabah sebelum akad nikah pada dasarnya berfungsi sebagai pengetahuan awal tentang
hukum nikah, tentang hak dan kawjiban suami istri, hak anak, hak mertua dan kewajiban
bersama. Dengan adanya wasiat dalam khutbah nikah diharapkan kedua memepelai mampu
memahami arti penting suatu pernikahan dan mengerti tentang hak-kewajiban bersama, juga agar
kedua mempelai mengerti tentang adab pergaulan suami istri yang harus dipelihara sampai
kapapun waktu akhirnya memisahkan.
Dasar khutbah nikah tidak dapat kita jumpai pada nash secara jelas, namun para ulama
berpendapat bahwa pelaksaan khutbah nikah saat akan berlangsungnya akad nikah berhukum
sunah. Wahbah Zuhaili menjelaskan akad nikah yang tidak didahului dengan hutbah nikah
hukumnya boleh, karena khutbah nikah bukanlah suatu syarat atau rukun nikah yang dapat

67
mempengaruhi sah atau tidaknya suatu pernikahan, sehingga hukum khutbah nikah adalah sunah
bukan wajib.108
Sedangkan siapa yang berhak melakukan khutbah nikah, Abu al Husaini menjelaskan
bahwa khutbah nikah dapat dilakukan oleh wali nikah/wakilnya, boleh dilakukan oleh calon
mempelai lelaki, dan namun juga boleh dilakukan oleh orang lain. 109 Muhammad az Zuhri
menambahkan bahwa khutbah dalam nikah itu dapat dilakukan oleh khatib dan dapat pula
dilakukan oleh wali nikah.110
Menurut bentuknya khutbah nikah dapat diklasifikasi menjadi dua, yakni khutbah nikah
yang sederhana dan khutbah nikah yang sempurna. Khutbah nikah yang sederhana adalah seraya
wali atau calon mempelai lelaki mengucap alhamdulilah, syahadat, shalawat pada nabi,
kemudian mengutarakan kehendak nikah. Sedangkan khutnah nikah yang sempeurna adalah
seorang mengucap Bismilah, hamdalah, syahadat, shalawat, mengutip ayat minimal tiga ayat,
mengutip hadits dan setelah itu mengatakan. “Allah memerintahkan kita untuk menikah, dan
melarang untuk berzina dan berbuat keji”, setelah itu menjelaskan hukum nikah, dalam hal ini
orang yang khutbah menjelaskan tentang kewajiban dalam rumah tangga, pergaulan dalam
rumah tangga, hak dan kewajiban suami sitri dan anak, dan menjaga keharmonisan dan cinta
kasih, dan terakhir orang yang khutbah menutup khutbahnya salam.111
Pelaksanaan khutbah nikah dalam hukum Syari’at Islam tidaklah harus dilakukan
sebelum akad nikah namun juga boleh setelah menikah. Pada umumnya masyarakat di Indonesia
melakukan khutbah nikah sebelum akad nikah dilangsungkan, hal ini dilakukan agar calon kedua
mempelai benar-benar mengerti pentingnya pernikahan dan agar mereka tahu susah senangnya
hidup dalam rumah tangga, sehingga mereka siap dalam mengarungi bahtera pernikahan baik
batin atau dzahirnya.

C. Akad Nikah
Pokok utama dalam pernikahan adalah ridhahnya dua mempelai terhadapat pernikahan
yang akan dilangsukan. Seorang calon mempelai laki-laki harus ridha terhadap wanita yang akan
dinikahinya, begitu juga calon memepelai perempuan ia harus ridha terhadap lelaki pilihanya.
108
Wahbah az Zuhailī, al Fikh al Islamī wa Adilatuhu, (Beirut, Dar al Fikr, 2008). Hlm.128
109
Abu al Husaini al Yamani, al Bayan fi Madzhabi Imam Syafii, (Jeddah, Dar al Minhaj, 2000), Juz IX.
Hlm.230
110
Muhammad az Zuhri, Anwar al Masâlik, (Surabaya, Maktabah Hidayah, TT). Hlm. 214
111
Wahbah az Zuhailī, al Fikh al Islamī wa Adilatuhu...Hlm.128

68
Dengan adanya keridhaan antara keduanya suatu penikahan maka akan lebih dapat terjamin mutu
dan kualitasnya.112 Terlepas dari diperkenankannya seorang wali memaksa anak gadisnya untuk
menikah menurut Islam. Hukum Islam pada dasarnya mendasarkan akad nikah pada keridhaan
dan kehendak memepelai laki-laki dan perempuan, hal ini mengingat pernikahan merupakan
peristiwa yang sakral dan sangat penting, sehingga pernikahan harus didahului dengan suatu
pernyataan keridhaan kedua mempelai.
Sebagaimana diketahui, rasa ridah dan kehendak nikah kedua mempelai adalah perbuatan
hati yang masih tersimpan dan absurt bentuknya. Untuk memperjelas rasa ridha dan kehendak
nikah kedua mempelai dalam hukum Islam dibutuhkan suatu ungkapan yang dapat didengar dan
difahami oleh orang lain selain kedua mempelai dan juga wali nikahnya. Ungkapan yang dapat
dimengerti oleh kedua mempelai dan orang lain adalah akad nikah.
Ungkapan keridhahan atau kehendak wali nikah dan calon mempelai dalam pernikahan
disebut dengan ijab dan qabul. Menurut ulama fikih Ijab adalah ungkapan yang diucapkan untuk
berlangsungnya suatu pernikahan. Sedang qabul adalah suatu ungkapan yang diucapkan untuk
menunjukan sebuah keridhaan atas ungkapan ijab.113 Dapat juga istilah ijab diartikan sebagai
pernyataan pertama untuk menunjukan kemahuan membentuk hubungan suami istri yang
diungkapkan oleh wali nikah perempuan. Sedangkan qabul adalah pernyataan kedua yang
diucapkan oleh pihak yang mengadakan akad berikutnya (pihak calon mempelai laki-laki) untuk
menyatakan rasa ridha dan setuju terhadap ungkapan ijab wali nikah calon mempelai
perempuan.114
Prinsip utama ungkapan ijab dan qabul dalam akad nikah tentunya sama dengan prinsip
ijab dan qabul dalam akad lain. Di dalam akad selain nikah prinsip utamanya adalah keseuaian
anatara ungkapan ijab dan qabul. Jika dalam ijab menyebutkan nikah maka dalam qabul pun
menyebutkan nikah. Jika dalam ijab menyebutkan nama perempuan yang dinikahkan, maka
dalam qabul pun menyebutkan nama perempuan yang telah disebutkan sehingga ini desebut
sesuai. Denganya jika dalam ijab menyebutkan nama perempuan yang akan dinikahkan adalah
Ani binti Zaid dan dalam qabul calon mempelai menyebutkan nama perempuan lain, maka dalam
kasus seperti ini antara ijab dan qabul dinyatakan tidak sesuai dan tidak sah.

112
Sayid Sabiq, Fikih as Sunah, (Beirut, Maktaba al Aṣrīyah, 2011), Juz. II. Hlm.23
113
Sayid Sabiq, Fikih as Sunah…Hlm.23
114
M.H.A. Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta, Rajawali
Pres, 2009), Hlm.79

69
Adapun penggunaan kalimat atau kata yang dapat digunakan dalam sighat ijab dan qabul.
Dalam hal ini ulama sepakat bahwa adalam ijab dan qabul harus menggunakan kalimat atau kata
yang dapat difahami oleh wali nikah, kedua mempelai dan saksi, meski menggunakan Bahasa
sealin bahasa Arab.115Jika sighat ijab dan qabul tidak menggunakan bahasa arab, maka kalimat
atau kata yang digunakan dalam ijab dan qabul haruslah memiliki makna yang mengandung
pernikahan. Hal ini dikarenakan dalam sighat ijab dan qabul tidak diperkenankan menggunakan
kata atau kailmat kinayah “seperti aku halalkan kami”, maka jika ijab dan qabul menggunakan
kalimat atau kata kinyah maka tidaklah sah. Berbeda dengan akad jual beli yang ijab dan
qabulnya boleh menggunakan kalimah atau kata kinayah. Mengapa berbeda, karena di dalam
akad nikah membutuhkan niat dan akad jual beli tanpa niat jual beli dapatberlangsung.116
Keabsahan pelaksanaan ijab dan qabul sebagai suatu ungkapan keridhaan calon mempelai
perempuan dan calon mempelai laki-laki sangatlah tergantung pada beberapa syarat. Pertama,
kedua orang yang melaksanakan ijab dan qabul haruslah seorang telah berumur mumayiz,
denganya tidaklah sah ijab dan qabul yang dilakukan oleh salah satu orang yang masih belum
mumayiz dan gila. Kedua, Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis. Sedang yang dimaksud
dengan ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis adalah tidak adanya kalam (ucapan) yang
memisahkan antara ijab dan qabul yang diungkapkan oleh kedua orang yang melangsungkan
akad. Ketiga, antara ijab dan qabul haruslah sesuai dan tidaklah bertentangan, apabila ijab dan
qabul tidak sesuai tapi dengan tidak sesuai itu lebih bagus, maka tetap sah, namun jika ijab dan
qabul tidak sesuai dan keluar dari tujuan maka ijab dan qabul tidak sah. Kemepat, ijab dan qabul
haruslah dapat didengar kedua orang yang berakad (wali nikah dan calon mempelai nikah), dan
tidak disyaratkan ijab dan qabul dapat difahami, hal ini karena ijab dan qabul dalam akad nikah
dititik beratkan pada tujuan dan niat, sehingga jika salah satu orang yang melangsungkan akad
tidak faham ijab dan qabul tetap sah.117
Selain syarat ijab dan qabul ulama juga menetapkan kalimat yang digunakan ijab dan
qabul, kalimat atau kata ijab dan qabul tidaklah disyaratkan berbasa arab. Ijab dan qabul boleh
menggunakan selain bahasa arab dari bahas-bahasa suatu negara atau suku bangsanya dengan
catatan kedua orang yang melangsungkan akad faham terhadap isi ucapan lawan dialognya.118

115
Sayid Sabiq, Fikih as Sunah…Hlm.24
116
Yahya Zakariya al Ansari, Fathu al Wahab...Hlm.34
117
Sayid Sabiq, Fikih as Sunah…Hlm.23-24
118
Muhammad az Zuhri, Anwar al Masâlik…Hlm.214

70
Jika pun wali dan calon mempelai menghendaki menggunakan bahasa arab, ulama
sepakat harus menggunakan kata zawaja, nakahah atau bentuk lain adari kedua kata ini. Adapun
jika wali dan calon memepali laki-laki menghendaki bahasa lain, maka mereka harus
menggunakan makna yang sama dengan dua kata tersebut. Sedangkan hukum ijab qabul
menggunakan selain dua kata ini ulama berselisih pendapat. Syafi’iyah tidak memperkenankan
ijab dan qabul mengunakan kata selain zawaja dan nakahah, seperti mengunakan kata halalaltu
(aku halalkan), baya’tu (aku jual) dan salamtu (aku pasrahkan), kata ini merupakan kata kinayah.
Dalam akad nikah ijab dan qabul tidak dipernakan menggunakan kata kinayah atau majaz,
karena kata kinayah dan majaz memebutuhkan niat untuk sampainya tujuan suatu ucapan.119

D. Hukum Sighat Akad Nikah Dengan Tulisan dan Isyarah


Sighat akad nikah merupakan suatu ungkapan yang dapat menunjukan isi hati kedua
calon mempelai. Isi hati kedua calon mempelai yang tidak dapat diketahui dapat dikatahui jika
diungkapkan melalui ijab dan qabul. Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimna jika
ungkapan isi ijab dan qabul diungkapkan dengan tulisan atau isyarah. Ulama fikih dalam
beberapa kitab fikih telah menjelaskan hukum ijab dan qabul dengan menggunakan tulisan dan
isyarah. Sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah az Zuhaili bahwa seseorang menggunakan isyarah
dan tulisan dalam ijab dan qabul itu karena tiga keadaan.120
Keadaan pertama adalah orang dapatberbicara berada di dalam majlis akad namun ia
menggunakan ijab atau qabul dengan tulisan atau isyarah. Dalam kasus seperti ini tidaklah sah
ijab dan qabulnya meski tulisan dan isyarahnya jelas dan dapat difahami. Ketidak sahan ini
dikarenakan tidak ada alasan keadaan mendesak yang mendorong menggunakan ijab dan qabul
dengan tulisan dan isyarah dalam dalam kasus ini.
Keadaan Kedua adalah orang dapatberbicara tidak ada dalam majlis akad dan ia
menggunakan ijab atau qabul dengan tulisan dan isyarah. Dalam kasus ini menurut Hanafiyah
jika slah satu wali nikah atau calon mempelai laki-laki tidak dalam majlis akad sahlah ijab
qabulnya. Hal ini sesuai kaidah fikih Hanafiyah yang mengatakan “sebuah tulisan bagi orang
yang tidak ada pada majlis akad, maka ia berkedudukan seperti sebuah perkataan orang yang
hadir”. Pendapat ini tidak sejalan dengan pendapat Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah, yang
berpendapat bahawa dalam sebuah akad pernikahn tidak sah melakukan ijab dan qabul dengan
119
Yahya Zakariya al Ansari, Fathu al Wahab, (Surabaya, Hidayah, TT) Juz II. Hlm.34
120
Wahbah az Zuhailī, al Fikh al Islamī wa Adilatuhu...Hlm.58-59

71
menggunakan tulisan baik salah satu pihak ada pada majlis akad atau tidak ada pada majlis akad.
Mereka beralasan sebuah tulisan itu sifatnya kinayah atau suatu yang tidak jelas. Dalam akad
nikah menurut mereka ijab dan qabul harus bersesuaian dan secara langsung, sehingga jika jika
ijab telah diucapkan oleh wali lantas kemudian dijawab dengan surat yang bertulis “saya terima
nikahnya” peristiwa seperti ini dianggap tidak baik.
Keadaan yang ketiga adalah, seorang yang bisu atau kaku lidahnya. Orang yang dalam
keadaan seperti ini jika ia menggunakan tulisan atau isyarah maka sahlah ijab dan qabulnya, hal
ini menurut pandangan semua madzhab. Alasan mereka memeperbolehkan orang yang bisu atau
kaku lidahnya untuk menggunakan ijab dan qabul dengan tulisan dan isyarah hal itu karena ada
keadaan mendesak yakni terbatasnya kemampuan orang yang bisu dan kaku lidahnya untuk
mengucapkan sesuatu. Namun menurut Hanafiyah, mereka menganggap tidak sah bagi orang
yang bisu dan kaku lidahnya menggunakan ijab dan qabul dengan isyarah jika mereka mampu
menulis.
Selanjutnya tentang runtutan ungkapan ijab dan qabul, apakah boleh qabul didahulukan
dari ungkapan ijab. Beberapa ulama memperbolehkan qabul mendahului ungkapan ijab, dan
boleh juga ungkapan ijab didahulukan dari qabul. Pendapat ini diungkapkan oleh Yahya
Zakariya al Ansari, hal ini karena mendahulukan qabul dari ijab tidak merubah tujuan nikah. 121
Praktik ini tentu sedikit berbeda dengan praktik akad nikah yang berlaku di masyarakat
Indonesia. Sebagaimana diketahui bersama dimasyarakat kita wali nikah atau wakilnya biasanya
mendahukan ijab dari pada Qabul.

E. Nasehat Pernikahan
Dijelaskan sebelumnya bahwa khutbah nikah dalam nash Qur’an dan Hadist tidaklah
dijelaskan secara gamblang, begitu halnya perihal nasehat pernikahan setelah pernikahan juga
tidak dijelaskan secara gamblang pula. Praktik nasehat pernikahan pada umumnya telah
dilakukan di masyarakat Indonesia. Sejauh ini nasehat pernikahan dapatdilakukan setelah akad
nikah di majlis akad, namun terkadang kebanyakan masyarakat di Indonesia menempatkan
nasihat pernikahan pada saat acara resepsi sebagai pengajian umum yang isinya mengenai
pernikahan perkawinan dan rumah tangga.

121
Yahya Zakariya al Ansari, Fathu al Wahab... Hlm.34

72
az Zuhri berpendapat khutbah dalam pernikahan ada empat, a). Dilakukan oleh khatib, b).
Dilakukan oleh dilakukan oleh wali memepelai perempuan, c). Dilakukan sebelum ijab, dan d).
dilakukan setelah ijab.122 Pendapat ini memang tidak menjelaskan secara spesifik tentang nasihat
pernikahan, namun kita ketahui bersama bahwah khutbah yang dimaksud dalam poin D
merupakan mengisyaratkan adanya nasihat setelah pernikahan.
Di Indonesia istilah khutbah nikah yang dilakukan setelah akad rnikah tidaklah begitu
familiyer terdengar ditelinga masyarakatnya. Masyarakat Indonesia sering mengartikan khutbah
nikah itu dengan pengajian walimatul urus. Jika pengajian walimatul urus dapatdikategorikan
khutbah nikah setelah akad nikah, maka aturan dan syarat khutbah itu tidaklah mengikat
sebagaimana khutbah jum’at, khutbahnya hanya satu kali dan memiliki isi nasehat pernikahan
dan juga mengutip ayat dan hadist yang memiliki arti tentang hukum pernikahan.

F. Kesimpulan
Ilustrasi pelaksanaan akad nikah, baik yang berkaitan dengan hal yang dilakukan sebelum
akad, yang berkaitan dengan hal yang dilakukan saat akad, dan yang berkaitan dengan hal yang
dilakukan setelah akad adalah. Pertama, pemeriksaan ulang admitrasi, wali, saksi dan kehendak
wali mewakilkan atau tidak mewakilkan. Kedua, setelah pemeriksaan ulang dilakukan, maka
wali atau calon mempelai lelaki boleh melakukan khutbah nikah. Khutbah nikah yang dilakukan
ada dua cara, yakni cara sederhana dan cara sempurna, dimana sempurna atau tidaknya khutbah
bergantung pada isi khutbah. Ketiga, akad nikah oleh wali mepelai perempuan atau wakilnya.
Dalam akad nikah terdapat syarat ijab dan qabul, baik lafatnya, kesesuaianya dan juga pelakunya
yang mana syarat itu mepengaruhi keabsahan nikah. Keempat, nasihat nikah diketegorikan
sebagai khutbah nikah setelah akad nikah. Sebagaimana khutbah nikah sebelum akad nikah, ia
juga merupakan nasihat nikah yang tidak memiliki dasar hukum dalam nash qur’an atau hadits.

122
Muhammad az Zuhri, Anwar al Masâlik...Hlm. 214

73
PERNIKAHAN CAMPURAN DAN PENCATATANNYA
Pernikahan merupakan suatu fitrah manusia sebagai perwujudan rasa kasih sayang
seorang insan terhadap lawan jenisnya. Fitrah kasih sayang manusia tidaklah dibatasi dengan ras,
suku bangsa dan hukum negara. Siapapun berhak mengasihi-menyayangi dan dikasihi-disayangi
orang yang telah mengetuk hatinya. Rasa kasih sayang yang ada dalam hati seseorang muncul
dan tumbuh secara alami dan tanpa paksaan. Sering kita melihat seorang keturunan ini menikah
dengan wanita keturunan itu, dan seorang berwarga negara ini menikah dengan orang bernegara
itu. Fakta ini menunjukan bahwa rasa kasih sayang dan cinta seseorang muncu dengan alami dan
tapa paksaan.

74
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang pernikahan campuran dan pencatatanya di
Indonesia. Pembahasan itu meliputi beberapa hal yang berkaitan dengan pernikahan campuran di
Indoensia menurut aturan perundangan tetang pernikahan di Indonesia khususnya undang-
undang pernikahan yang ada dan undang-undang kependudukan di Indonesia.

A. Pernikahan Campuran dan Hukumnya Di Indonesia


Istilah pernikahan campuran merupakan suatu pernikahan antara warga negara Indonesia
dengan warga negara lain, pernikahan antara orang bersuku satu dengan suku orang bersuku lain
atau warga negara asing dengan warga negara asing lain yang berkeinginan menikah di
Indonesia. Namun juga dapatjuga nikah campuran adalah nikah beda agama, dimana orang
beragama satu menikah dengan orang beragama lain. Lebih lanjut, Pernikahan campuran
menurut UU. NO. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ialah pernikahan/perkawinim antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.123
Secara umum Hilman Hadikusuma mengungkapkan sebab munculnya istilah penikahan
campuran, menurutnya pernikahan campuran terjadi karena perbedaan ada/suku bangsa yang
berbineka atau karena perbedaan agama antara kedua insan yang akan melakukan pernikahan.124
Pernikahan campuran anatara warga negara satu dengan negara lain yang dilangsungkan di
Indonesia, pernikahan antara seorang yang memiliki suku dan adat satu dengan seorang memiliki
suku adat yang lain, atau pernikahan warga negara Indonesia dengan negara laian tidaklah
bertentangan dengan ajaran agama dan aturan perundangan di Indoeseia, namun untuk
pernikahan seorang menganut agama satu dengan seorang menganut agama lain ini akan
melanggar aturan perundangan ndan juga ajaran agam di Indonesia.
Sejauh penelusuran penulis, hampir semua agama menolak adanya pernikahan beda agama.
ajaran agama Islam dalam Qur’an surat al Baqarah ayat 221 mengatakan “Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musrik dengan wanita-wanita mu’min, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musrik, walau dia menarik hatimu,
mereka mengajak ke neraka”

123
Lihat pasal 57 UU. NO. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
124
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum
Agama, (Bandung, Mandar Maju, 2007). Cet. III. Hlm.13

75
Ajaran agama kristen juga melarang pengikutnya melakukakan pernikahan beda agama,
dalam kitab injil mereka Surat Korintus 6:14 mengatakan “Jangan kamu merupakan pasangan
yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya. Sebab persamaan apakah
terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan
gelap?”.
Nengah Dana sebagaimana dikutip oleh hukum online menjelaskan, Masyarakat hindu
Indonesia tidak mengenal perkawinan anatar atau beda agama, kawin beda agama memang
dikenal oleh masyakarat hindu India, tetapi terbatas hanya bagi umat yang dianggap serumpun
atau hinduisme. Seperti hindu, Budha, jaina dan sikh. 125 Kalau dikaji sejarah pertumbuhan
Agama Budha, terlihat bahwa agama Budha adalah "Protestannya" agama Hindu, terutama
masalah kasta. Agama Budha bukan agama Hukum. Karena itu tidak ada ketentuan-ketentuan
yang eksplisit. Dalam prakktek penganut agama Budha mengikuti ketentuan hukum Hindu
(seperti di Bali) atau mengikuti Hukum Adatnya.126
Kendati ajaran agama dan juga peraturan undang-undang melarang nikah beda agama,
beberapa fakta di masyarakat dapat kita ketemui pernikahan beda agama misalnya, pernikahan
antara Emelia Contessa (Islam) dengan Rio Tambunan (Kristen). Pada tahun 80an, Jamal Mirdad
yang beragama Islam menikahi Lydia Kandau seorang artis beragama Kristen.127
Secara undang-undang nikah campuran yang diperbolehkan adalah pernikahan antara warga
negara Indonesia dengan warga negara lain, pernikahan antara orang bersuku satu dengan suku
orang bersuku lain atau warga negara asing dengan warga negara asing lain yang berkeinginan
menikah di Indonesia. Hal ini sejalan dengan Pasal 2 ayat 1 yang mengatakan perkawinan sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.128

B. Pencatatan Nikah WNA di Indonesia


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya tentang adanya ketentuan-ketentuan pernikahan
bukan campuran yang harus dipenuhi sebelum dilakukan pernikahan, maka dalam pembahasan

125
http://m.hukumonline.com/berita/baca/it5472e6dde9565/hindu-tolak-kawin-beda-agama/
126
Ichtiyanto, Perkawinan Campuran Menurut Undang-undang Perkawinan, jurnal. Vol.19. no 2,
1989.hlm.141, http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1116/1039
127
M. Nur Kholis Al Amin. Perkawnian Campuran Dalam Kajian Perkembangan Hukum: Antara
Perkawinan Beda Agama Dan Perkawinan Beda Kewarganegaraan Di Indonesia, Juranal. Al-Ahwal, Vol. 9, No. 2,
Desember 2016. Hlm. 241
128
Lihat pasal 2 ayat 1 UU. NO. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan

76
ini juga terdapat beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dan diperhatikan sebelum pernikahan
campuran dilaksanakan.
Pasal 60 ayat 1 Undang-undang No.1 tahun 1994 tentang perkawinan menyebutkan bahwa
Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat
perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi. 129 Syarat pernikahan
dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 syarat nikah itu meliputi, Calon suami, calon istri, wali
nikah, dua orang saksi dan adanya ijab qabul.130Selain memenuhi syarat dan rukun nikah menurut
hukum Syari’at, bagi orang Islam yang hendak melakuakan nikah di luar negeri ia juga harus
menunjukan syarat materil pernikahan yang dimaksud meliputi adanya keterangan kehendak atau
persetujuan nikah oleh kedua calon mempelai bahwa mereka menikah bukan karena paksaan,
adanya keterangan izin dari kedua orang tua bagi calon mempelai yang kurang dari 21 tahun,
surat keterangan sehat fikiran dan suarat keterangan tidak dalam ikatan pernikahan dengan orang
lain.131
Tidak kalah pentingnya lagi, ada dokumen admitrasi yang harus dipenuhi, beberapa syarat
admitrasi tersebut adalah, adanya surat keterangan calon mempelai boleh menikah dengan orang
Indonesia atau surat yang menyatakan bahwa ia bersedia menikah sesuai dengan hukum yang
berlaku di Indoenesia, diamana surat-surat itu dikeluarkan oleh intansi yang berwenang dari
negara asalnya.
Bagi Warga Negara Asing (WNA) yang akan melakukan pernikahan campuran di Indonesia,
maka yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:132
1. Photo copy paspor yang bersangkutan;
2. Surat izin menikah status dari negara atau perwakilan negara yang bersangkutan dan telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi;
3. Pas photo ukuran 2x3 sebanyak 3 lembar;
4. Kepastian kehadiran wali, atau menyerahkan wakalah wali bagi WNA wanita;
5. Bagi WNI harus memenuhi prosedur sebagaimana syarat nikah WNI pada semestinya.
6. Membayar biaya pencatatan nikah sebesar Rp. 30.000, sesuai dengan PP No. 47 Tahun
2004

129
Lihat Pasal 60 ayat 1 Undang-undang No.1 tahun 1994 tentang perkawinan
130
Lihat Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, Presindo, 2009). Hlm.146
131
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5114/status-perkawinan-dan-perjanjian-perkawinan/
132
Lihat Prosedur Pendaftaran Pernikahan

77
Setelah pegawai pencatat nikah atau pun pegawai pencatan sipil menerima surat-surat
keterangan yang berkaitan syarat nikah, maka pegawai pencatat nikah atau pegawa pecatan sipil
di Indonesia memberi surat keterangan bahwa syarat pernikahan telah dipenuhi. Hal ini sesuai
dengan pasal 60 ayat 2 yang mengatakan
Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena
itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang
menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan,
diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
Selanjutnya ayat 3 menjelaskan, jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan
surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan
keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah
penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. Dan ayat 4 menyebutkan, Jika
Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi
pengganti keterangan tersebut ayat (3).133
Sedangkan masa berlaku surat keterangan atau surat keputusan pengganti keterangan hanya
berlaku 6 bulan sesudah surat keterangan itu dibuat. Hal ini sebagai mana penjelasan pasal 60
ayat 5 yang berbunyi; Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai
kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah
keterangan itu diberikan.134 Tentunya pengguna surat keterangan atau surat keputusan pengganti
keterangan ini harus memperhatikan tenggat waktu berlaku surat. Mengingat pentingnya
kegunaan surat tersebut sebelum melaksanakan pernikahan di Indonesia.
Dalam kaitan syarat-syarat pernikahan telah terpenuhi dan begitu juga admitrasinya juga
telah lengkap, maka pelaksanaan kawin campur yang melibatkan dua calon mempelai beragama
Islam pernikahan dapatdilakukan di kantor urusan agama wilayah salah satu mempelai bertempat
tinggal atau dirumah tempat tinggal salah satu mempelai.
Setelah pernikahan, kedua memepelai akan mendapatkan kutipan akata nikah atau buku
nikah, buku nikah tersebut untuk dapat diterimah oleh negara asal salah satu mempelai WNA,
maka harus dimintakan lagalisir dari Kemenhumkam Indonesia dan kedutaan negara asal
memepali WNA. Pernikahan yang dilakukan setelah mendapat legalisir dari kemenhukam
Indonesia dan kedutaan negara asal memepelai WNA dianggap sah dan memiliki kekuatan
hukum.

133
Lihat Pasal 60 ayat 1 Undang-undang No.1 tahun 1994 tentang perkawinan
134
Lihat Pasal 60 ayat 1 Undang-undang No.1 tahun 1994 tentang perkawinan

78
C. Pencatatan Nikah di Luar Negeri
Sebagaimana pernikahan campur yang dilakukan warga negara asing dengan pasangan yang
berwganegara Indonesia di Indonesia, pernikahan campuran warga asing dengan warga negara
Indonesia di luar negeri pun mempunyai ketentua dan syarat yang harus dipenuhi. Ketentuan
yang harus dipenuhi, Pertama adalah mengenai syarat dan rukun nikah menurut hukum Syari’at
Islam, hal ini telah disebutkan sebelumnya pada pemabhasan pencatatan nikah WNA di
Indonesia, Kedua. Terpenuhinya syarat materi, hal ini juga telah disebutkan sebelumnya pada
pemabhasan pencatatan nikah WNA di Indonesia. Ketiga, Syarat admitrasisi, syarat admitrasi
tersebut meliputi.
1. Surat izin dari orang tua atau wali
2. Memiliki surat keterangan catatan kepolisian (skck) yang dikeluarkan dari polres
tenpat calon pengantin tinggal
3. Surat keterangan belum menikah yang dibumbui materai 6000, dan bagi janda dan
duda disertai akta cerai.
4. Memiliki surat keterangan akan menikah (N1), Surat keterangan asal usul (N2), dan
surat keterangan orang tua (N4).
5. Bagi calon pengantin muslim tetap harus ke kantor urusan agama diamana ia tinggal
dengan membawa KTP, KK, KTP orang tua, Foto berlatar biru ukuran 4x6,3x4, dan
2x3 yang masing tiga lembar.
6. Menyiapkan visa ke negara tujuan tempat menikah yang approved.
7. Menyiapkan paspor, Foto Copy KTP, KK dan akte kelahiran yang telah
diterjemahkan.
8. Meminta surat keterangan nikah diluarnegeri dari kelurahan bagi orang muslim dan
ke kantor catatan sipil bagi non muslim.
9. Mendatangi kedutaan besar Indonesia di mana negara tujuan yang dituju.
Beberapa syarat admintrasi yang telah di persiapakan akan diterjemahkan kedalam Bahasa
negara terkait suatu pernikahan dilangsungkan. Setelah menerjemahkan admitrasi, maka kedubes
Indonesia akan memberikan izin untuk pelaksanaan pernikahan, sedangkan tempat pernikahan di
sesuaikan dengan pilihan calon penganti dimana mereka akan menyewa tempat.

79
Peristiwa pernikahan yang dilakukan di luar negeri oleh orang Indonesia merupakan suatu
peristiwa penting bagi mereka yang melakukan dan juga bagi keluarganya. Di dalam undang-
undang No:23 tahun 2006 tentang adminitrasi kependudukan pasal 1 ayat 17 menyebutkan
pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting yang harus dicatatkan. Dengannya,
pernikahan baik yang dilakukan di luar negeri ataupun juga dilakukan di dalam negeri harus
dicatatkan di kantor urusan agama bagi mereka yang beragama Islam atau dicatatkan di kantor
pencatan sipil bagi mereka yang beragama non Islam. 135
Lebih lanjut pasal 4 undang-undang No: 23 tahun 2006 tentang adminitrasi kependudukan
menyebutkan warga negara Indonesia yang berada di luar wilayah republik Indonesia wajib
melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya kepada intansi
pelaksana pencatatan sipil negara setempat dan atau kepada perwakilan republic Indonesia
dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan
sipil.136
Perknikahan yang dilakukan di luar negeri oleh dua orang yang berwarga negara Indonesia
atau orang Indonesia dengan warga negara asing adalah perkawinan yang sah jika pernikahan
tersebut sesuai dengan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pencatatan
pernikahan orang yang melakukan perkawinan diluar negeri sebagaimana pasal 56, akan
dicatatkan setelah suami istri tersebut telah kembali ke Indonesia. Pencatatan pernikahan orang
menikah diluar negeri diajukan kepada kantor urusan agama wilayah salah satu belamat suami
istri.
Penting untuk diperhatikan bagi orang Indonesia yang melangsungkan pernikahan di luar
negeri. Pernikahan dianggap tidak sah apabilah seseorang menikah di luar negeri hanya
dihadapan hakim atau pegawai pencatatan sipil dan tanpa melakukan upacara pernikahan di
masjid, pernikahan ini dianggap sebagai pernikahan sameleven yang artinya sama ‘kumpul
kebo’, perkawinan ini meski mendapat surat dari hakim atau pencatatan sipil pernikahan ini tidak
akan diterimah oleh kantor pencatatn nikah di Indonesia.137
Sanksi bagi pelaku pernikahan di luar negeri yang tidak mencatatkan pernikahannya atau pun
bagi pegawai pencatat nikah yang mencatat nikah tanpa adanya keterangan atau putusan
pengganti, maka kita dapat mengacu pada Pasal 61 undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Lihat undang-undang No: 23 tahun 2006 tentang adminitrasi kependudukan
135

Lihat undang-undang No: 23 tahun 2006 tentang adminitrasi kependudukan


136

137
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum
Agama… Hlm.19

80
perkawinan. Ayat 2 mengatakan, Barang siapa yang melangsungkan perkawinan campuran
tampa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan
atau keputusan pengganti keterangan yang disebut pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan, dan Ayat 3 mengatakan, Pegawai
pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetaui bahwa keterangan atau
keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya
3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.

D. Akibat Hukum Pernikahan Campuran


Setiap suatu tindakan pasti memiliki akibat hukum, hal ini karena akibat hukum mengiring-
iringi tindakan subyek hukum baik sebelum melakukan atau setelah melakukan. Begitu juga
suatu tindakan hukum yang disebut dengan pernikahan campuran, ia dipastikan memiliki akibat
hukum.
Seorang telah melakukan pernikahan campuran sudah semestinya akan menjadi suami istri
yang sah. Sehingga mereka memiliki kedudukan yang sama dalam kewajiban dan hak yang harus
dilakukan dan diterima. Selain kewajiban dan hak, akibat hukum perkawinan campuran Islam
juga berkaitan dengan hubungan musyaharah, diamana ibu atau ayah mertua tidak halal dinikahi
atau menikahi menantunya, dan begitu juga tidak diperkenankan menikahi kakak atau adik dari
istri bersamaan masih adanya istri.
Akibat hukum pernikahan campuran sebenarnya tidak jauh berbeda dengan akibat hukum
pernikahan biasa. Sedikit perbedaan pada akibat hukum yang muncul setelah pernikahan
campuran. Setelah pernikahan campuran dilakukan, maka suami atau istri akan memperoleh atau
kehilangan kewarganegaraan, dimana hal ini bergantung mereka akan tinggal di Indonesia atau
kenegara asal pasangan salah satu dari kedua mempelai. 138Namun apabila setelah melangsungkan
pernikahan kedua pasangan dari nikah campuran belum menetukan status kewarganegaraannya,
maka diperbolehkan bagi keduanya berada di Indonesia. 139Lebih lanjut Pasal 59 Undang-undang
No.1 tahun 1994 tentang perkawinan bahwa kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat
perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum
publik maupun hukum perdata.

138
Lihat pasal 58 Undang-undang No: 1 tahun 1974 tentang perkawinan
139
Lihat pasal 54 ayat 1 poin b dan c Undang-undang No: 6 tahun 2011

81
Lalu bagaimana dengan status kewarganegaraan anak yang lahir dari pernikahan campuran.
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) No.1 tahun
1994 tentang perkawinan.140 Pasal 13 ayat 1 undang-undang No: 62 Tahun 1958 menyebutkan
bahwa anak yang belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan
ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarganegaraan republic Indonesia, turut memperoleh
kewarganegaraan republic Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia.
Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-
anak yang karena ayah memperoleh kewarganegaraan republic Indonesia menjadi tanpa
kewarganegaraan.
Kecenderungan hukum terhadap status anak sebagaimana disebutkan di atas di patutlah
diakui adanya, karena di dalam ajaran agama Islam pun diakui kencenderungan hukum terhadap
status anak lebih kuat dinisbatkan pada seorang ayah dari pernikahan yang sah. Sementara
penisbatan pada ibu setelah ayah dinyatakan tidak saha atau meninggal dalam keadaan anak
masih belia.

E. KeKesimpulan.
Pernikahan campuran adalah pernikahan/perkawinim antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.Pernikahan Campuran memiliki empat jenis dan yang dilarang
oleh agama di Indonesia dan hukum di Indonesia adalah pernikahan campuran beda agama.
Pernikahan campuran baika dilakukan diluar negeri atau di dalam negeri harus memenuhi tiga
ketentuan, yakni ketentuan syarat dan rukun nikah dalam ajaran agama Islam, syarat meteriil dan
syarat adminitrasi.
Akibat hukum yang timbul dari pernikahan campuran adalah adanya kehilangan atau
bergantinya warga negara salah satu suami istri, dan status kewarganegaraan anak sebelum
ditentukan kewarganegaraan orang tuanya akan mengikuti status kewarganegaraan ayah

140
Lihat pasal 59 Undang-undang No: 1 tahun 1974 tentang perkawinan

82
PENCATAN PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI INDONESIA

Pernikahan beda agama dikenal juga sebagai bagian dari jenis pernikahan campuran di
masyarakat Indonesia. Dikatakan pernikahan campuran karena dalam pelaksanaan pernikahan
tersebut melibatkan dua insan yang memilkiki latar belakang agama yang berbeda. Latar
belakang agama dua insan yang ingin menikah ini menjadi alasan kuat masyakat Indonesia
menyebut pernikhan beda agama sebagai pernikahan campuran.

83
Alasan terjadinya pernikahan beda agama terjadi karena kedua pasangan yang berlatar
belakang beda agama sama-sama mempertahankan agamanya masing-masing.141 Di Indonesia
pernikahan beda agama ini telah telah terjadi dan dilakukan oleh beberapa orang, seperti
pernikahan antara Emelia Contessa (Islam) dengan Rio Tambunan (Kristen). Pada tahun 80an,
Jamal Mirdad yang beragama Islam menikahi Lydia Kandau seorang artis beragama
Kristen.142Lalu bagaimana pandangan ajaran agama, dan bagaimana pula pandangan undang-
undang perkawinan Indonesia tentang hukum nikah beda agama.
Dalam pembahasan ini penulis akan mencoba menggambarkan pandangan hukum nikah
beda agama baik menurut hukum Islam atau undang-undang perkawinan di indonesia. Selain itu
bagaimana pencatatan pernikahan beda agama bagi pasangan yang memaksakan diri untuk
melakukanya di luar negeri.

A. Definisi Pernikahan Beda Agama.


Pernikahan beda agama adalah pernikahan seseorang yang berlainan agama yang masih
mempertahankan agamanya saat akan atau setelah pernikahan, semisal seorang penganut agama
Islam menikah dengan seorang penganut agama Kristen, seorang penganut agama Islam menikah
dengan penganut agama budha atau hindu, dan seorang penganut agama Islam menikah dengan
orang yang menganut agama kepercayaan. Hilman mengatakan pernikahan beda agama adalah
pernikahan seorang pria dan seorang wanita yang bebeda agama yang dianutnya melakukan
perkawinan dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing.143 Pernikahan campuran
dapatdapatdiakategorikan dengan pernikahan campuran yang mestinya antara orang-orang di
Indonesia yang tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan.144
Ajaran agama Islam mengistilahkan nikah beda agama sebagai nikahu musrikât atau
menikahi perempuan yang menyekutukan Allah. Hal ini dapat kita lihat dalam suart al Bqarah
َّ m‫ ِم‬m‫ؤ‬mْ mmُm‫ ي‬m‫ى‬mٰ mَّ‫ ت‬m‫ َح‬m‫ت‬
221 yang menyebutkan m‫ن‬ mْ m‫ ُم‬m‫ ْل‬m‫ ا‬m‫ا‬m‫ و‬mmُm‫ ح‬m‫ ِك‬m‫ ْن‬mَ‫ اَل ت‬m‫ َو‬. Dalam ayat ini Allah telah
ِ m‫ ا‬m‫ َك‬m‫ ِر‬mm‫ش‬
menggunakan kalimat musrikât tidak menggunakan kafirât meski maksud musrikat dalam ayat

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum
141

Agama, (Bandung, Mandar Maju, 2007). Cet. III. Hlm.17


142
M. Nur Kholis Al Amin. Perkawnian Campuran Dalam Kajian Perkembangan Hukum: Antara
Perkawinan Beda Agama Dan Perkawinan Beda Kewarganegaraan Di Indonesia, Juranal. Al-Ahwal, Vol. 9, No. 2,
Desember 2016. Hlm. 241
143
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum
Agama…Hlm.17
144
Sri Wahyun, Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia, Hlm.137

84
ini menunjukan makna al Kâfirat.145 Pilihan kata Musrikata oleh Allah dalam ayat ini seolah-olah
mengisyaratkan Islam memandang mereka yang tidak beriman kepada Allah adalah orang
musrik atau orang yang menyekutukan Allah dengan yang lain. Kalimat musrik dianggap lebih
relevan dibanding kalimat kafir, sehingga Qur’an tidak menggunakan istilah nikahul Kâfirat.
Dewasa ini kebanyakan manusia telah mengakui tuhan sebagai penciptanya, suatu
keadaan yang berbeda dengan pada masa lalalu, pada masa lalu manusia dipandang masih
banyak yang tidak memmpercayai tuhan. Dari beberapa manusia yang mengakui tuhan pada
masa ini. Sebagian dari mereka, pengikut agama non Islam telah menjadikan Allah sebagai tuhan
yang disekutukan dengan yang lain, hal ini seolah menandakan bahwa musrikât lebih tepat dan
relevan dari Kâfirat saat ini, terlebih istilah Kâfir di Indonesia baru-baru ini dianggap sensitive,
dan penggunaanya dipandang negative, maka dari ayat ini kita telah diajari oleh Allah untuk
bertoleransi.

B. Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Islam


Ulama telah bersepakat untuk mengharamkan pernikahan beda agama bagi pengikut
agama Islam. Jika kita menilik beberapa letaratur, ajaran Islam pernah telah memperbolehkan
nikah beda agama di awal-awal Islam, dimana pada saat itu banyak seorang laki-laki yang masuk
Islam tanpa diikuti istri atau sebaliknya seorang istri lebi dulu masuk Islam dari suaminya, dan
juga orang laki-laki lebih banyak yang duluan masuk Islam dibandingakn orang perempuan. hal
ini menjadi alasan diperbolehkanya seorang yang telah masuk Islam pada saat itu untuk menikah
dengan orang yang beda agama. Perlu dicatat bahwa pengikut agama-agama non Islam yang
boleh dinikah orang Islam saat itu adalah agama nasrani dan yahudi, dimana agama-agama ini
merupakan agama-agam samawi yang masih memiliki kerelavanan sebagaimana agama Islam.146
Hukum boleh menikahi non muslim pada saat itu memang tidak disepakati secara bulat
oleh para ulama, Ibnu Umar misalnya mengharamkan pernikhan antara seorang laki-laki muslim
dengan perempuan nasrani dan yahudi. Pendapat ini menurut an Nahâs sebagaiman dikutip oleh
al Qurṫubi adalah pendapat yang keluar dari pendapat sebagian besar golongan ulama, melihat
pernikahan yang dilakukan oleh beberapa sahabat yakni, Utsman bin Adisiplin, Thalhah, ibnu
Abas, Jabir dan Hudzaifah telah melakukan pernikahan dengan perempuan non muslim dari
145
Jalaludin Muhammad al Mahali dan Jalaludin Abdurahman as Suyuthi, Tafsīr Jalâlain, (Beirut, Dar al
Kutub al Ilmiyah, 1971). Hlm. 32
146
Ibrahim bin Ali al Fayruz abadi, al Muhadab fi Fiqh al Islamī as Sâfi’I, (Beirut, Dar al Kotub al Ilmiyah,
2011). Hlm. 456

85
yahudi dan nasrani yang dikenal dalam Syari’at dengan Ahli Kitab. Utsman bin Adisiplin
menikah dengan seorang perempuan nasrani bernama Nâilah bin Farâfiṣah, Hudzaifa menikah
dengan seorang perempuan yahudi yang berasal dari Madinah, dan Jabir ditanya tentang hukum
menikahi perempuan beragama yahudi atau nasrani, ia pun menjawab; kami telah menikahi
mereka pada saat fathul Makkah.147
Diketahui Allah dalam membuat Syari’at tidaklah serta merta menghilangkan
kebudayaan yang ada pada masyakat itu. Allah menetapkan Syari’at dengan cara Tadrij atau
bertahap, hal ini memberikan kesempatan pada pengikut agamanya agar berfikir tentang hikmah
dan manfaat sesuatu yang di perintahkan dan dilarang oleh Allah. Awal Islam datang pada nabi
Muhamaad, belum mengharamkan khamer, Allah melarang seorang shabat nabi yang shalat
dalam keadaan mabuk, namun beberapa waktu berselang Allah mengharamkan khamer dengan
menurunkan ayat qur’an yang menyatakan bahwa khamer sepadan dengan perjudian dan
menyembah berhala, kedudukan ketiganya digolongkan sebagai perlakukan setan dan dengan
alasan itu Allah memerintahkan umat Islam untuk menjauhi khamer.
Begeitupun dengan pengharaman nikah yahudi dan nasrani, pada awal-awal Islam datang
mereka yang belum masuk Islam telah memiliki pasangan adapula ada yang akan menikah
dengan seorang yang mereka cintai, hal ini tidak mungkin mereka akan dipisahkan begitu saja
tanpa dasar alasan yang tepat untuk menerima larangan, karena itu awal Islam datang Allah
masih memperbolehkan sebagian orang muslim yang masuk Islam menikah dengan orang beda
agama, sebagaiman dijelaskan diatas kebolehan menikah perempuan beda agama hanya khusus
yang beragam nasrani dan yahudi, kedua agama ini dianggap saat itu masih murni dari ajaran isa
dan Ibrahim sehingga disebut agama samawi, dan pada saat itu belum banyak Syari’at Islam
yang diberikan pada Nabi Muhammad. Dalam transisi pemberian Syari’at Islam menuju
kesempurnaannya, Allah masih memeberi tolerasnsi pada mereka baik ajaran nenek moyang
mereka atau kebudyaan mereka. Namun setelah Syari’at Islam telah sempurna di Madinah, maka
beberapa ajaran nenek moyang dan budaya mereka berubah menjadi ajaran Islam yang kafah.
Tentang pernikahan beda agama, Allah telah menurunkan ayat yang melarang seorang
laki-laki menikah dengan seorang perempuan kafir. Menikah dengan orang kafir diperbolehkan
jika ia telah beriman pada Allah atau telah memeluk agama Islam.

147
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut, al Maktabah al ‘Aṣriyah, 2011). Hlm.70

86
ۚ ‫وا‬mmُ‫ ِر ِكينَ َحتَّ ٰى ي ُْؤ ِمن‬m‫وا ْال ُم ْش‬mm‫وْ أَ ْع َجبَ ْت ُك ْم ۗ َواَل تُ ْن ِك ُح‬mَ‫ ِر َك ٍة َول‬m‫ ٌر ِم ْن ُم ْش‬m‫ت َحتَّ ٰى ي ُْؤ ِم َّن ۚ َوأَل َ َمةٌ ُم ْؤ ِمنَةٌ َخ ْي‬ ِ ‫َواَل تَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا‬
ِ َّ‫ ِه لِلن‬m ِ‫ ِه ۖ َويُبَيِّنُ آيَات‬m ِ‫ار ۖ َوهَّللا ُ يَ ْدعُو إِلَى ْال َجنَّ ِة َو ْال َم ْغفِ َر ِة بِإ ِ ْذن‬
‫اس لَ َعلَّهُ ْم‬ َ ِ‫ك َولَوْ أَ ْع َجبَ ُك ْم ۗ أُو ٰلَئ‬
ِ َّ‫ك يَ ْد ُعونَ ِإلَى الن‬ ٍ ‫د ُم ْؤ ِم ٌن َخ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر‬mٌ ‫َولَ َع ْب‬
َ‫يَتَ َذ َّكرُون‬
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
(QS. Al Baqarah. 221)
Imam Syafii mengatakan ayat tersebut di atas turun berkenaan dengan segolongan orang
musrik Makah yang menyembah berhala (Kaum al Autsani), Lebih lanjut beliau mengatakan
lelaki muslim haram menikah dengan kelompok al Autsani dan begitu pula perempuan muslim
haram dinikahi oleh kaum lelaki dari kelompok tersebut. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa
ayat ini turun berkenaan dengan semua orang musrik tanpa terkecuali, namun setelah ayat ini
turunlah ayat rukhsah yang memperbolehkan menikahi perempuan ahli kitab, rukhsah kebolehan
tersebut dibarengkan dengan rukhsah penghalalan hewan sembelihan ahli kitab bagi muslim.148
َ ْ‫ت َو ْال ُمح‬
ُ ‫ن‬mm‫ص‬
‫َات‬ ِ ‫َات ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنَا‬
ُ ‫صن‬ َ ‫ات ۖ َوطَ َعا ُم الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِكت‬
َ ْ‫َاب ِح ٌّل لَ ُك ْم َوطَ َعا ُم ُك ْم ِح ٌّل لَهُ ْم ۖ َو ْال ُمح‬ ُ َ‫ْاليَوْ َم أُ ِح َّل لَ ُك ُم الطَّيِّب‬
... ۗ ‫صنِينَ َغ ْي َر ُم َسافِ ِحينَ َواَل ُمتَّ ِخ ِذي أَ ْخدَا ٍن‬ َ ‫َاب ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم إِ َذا آتَ ْيتُ ُموه َُّن أُج‬
ِ ْ‫ُوره َُّن ُمح‬ َ ‫ِمنَ الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِكت‬
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik…. (Q.S al Maidah, 5)
Rukhsah secara bahasah suatu keringan, sedang menurut istilah rukhsah adalah
berubahnya suatu hukum dari suatu keadaan yang berat menjadi ringan karena suatu alasan yang
tepat, serta tetapnya hukum asli jika alasan untuk mendapatkan rukhsah telah hilang. Al Ȃmadī
mendefinisikan rukshah sebagai suatu ketetapan hukum yang berlawanan dengan hukum
sebelumnya disebabkan adanya udzur beserta tetapnya hukum Ashli. 149 Hukum boleh seorang
muslim menikah dengan ahli kitab merupakan suatu keringan Syari’at yang asalnya tidak

Muhammad bin Idris as Syafi’I, al ‘Umm, (Beirut, Dar al Kotub al ‘Ilmiyah, 2014),cet.III. Juz.V. Hlm.8
148

Umar Abdu al Rahim, Maqalat fi al Rukhsha wa al ‘Alzimah, Hlm.9,


149

https://www.alukah,net/Books/Files/Book_8663/BookFile/rokhsa,pdf

87
diperkenankan menikah dengan ahli kitab, namun jika tidak diperkenankan orang muslim akan
kesulitan melampiaskan hasrat seksual mereka. Pada saat itu perempuan muslim sedikit, dan
juga, sebelum mereka masuk Islam mereka telah mencintai atau telah menikah dengan
perempuan dari kalanagan agama sebelumnya, yakni ahli kitab yang beragama yahudi atau
nasrani.
Beberapa peristiwa membuktikan suatu ketika datang seorang bani Tsaqif, Ghilan bin
Salamah namanya, ia datang menemui nabi Muhammad, ia ingin bersyahadat masuk Islam di
depan nabi, namun ia memeliki sepuluh istri, nabi yang mengetahui peristiwa itu memerintahkan
Ghilan untuk menceraikan sebagian besar istrinya dan hanya memelihara empat orang istri
saja.150 Selain dua alasan diatas, kebolehan menikahahi ahli kitab dalam ajaran Islam, karena agar
perempuan yang mereka nikahi ikut pula masuk agama Islam.
Pendapat imam Syafii, kebolehan nikah seorang muslim dengan perempuan yahudi dan
nasrani pada saat itu hanya bagi seorang muslim laki-laki saja. Seorang perempuan muslimah
tidak diperkenankan dinikahi seorang laki-laki ahli kitab yang bergama yahudi atau nasarani
dalam keadaan dan alasan apapun.151Hal itu karena untuk mencegah seorang muslim yang telah
masuk Islam melakukan suatu perzinahan atau perbuatan keji lainnya.
Hukum rukhsah sebagaiman telah disinggung di atas, mengatakan bahwa jika sutu udzur,
masyakat atau hajat yang melekat telah hilang maka rukhsah pun hilang dan hukum akan
kembali kepada asalnya. Karenaya jika konteks saat ini empat alasan di atas telah tidak ada,
maka hukum menikah kafir kitabi hukumnya adalah haram, karena asal menikah dengan
perempuan musrik adalah haram menurut Qur’an dan sunah. Namun bukan karena hal itu saja
ajaran agama Islam setelah turunya ayat 3 suarat al Maidah, “telah aku sempurnakan untukmu
agamamu, dan telah kucukupkan padamu nikmatku, dan telah ku ridhahi Islam sebagai agamu”,
maka ajaran agama Islam telah sempurna tidak sebagaiman pada masa sebelum nabi berada di
Madinah, dimana nabi pada saat di Makah, belum menerima Syari’at sebagaimana nabi mereima
Syari’at di Madinah.
Lalu kenapa Syari’at saat itu hanya memperbolehkan seorang laki muslim menikah hanya
dengan perempuan ahli kitab saja, tidak memperkenankan menikah dengan Kafir Watsani, Sayid
Sabiq mengatakan ada perbedaan mendasar dalam Islam tidak memperbolehkan seorang laki
muslim menikah dengan kafir watsani atau selain yahudi dan nasrani, alasan itu adalah saat itu
150
Muhammad bin Idris as Syafi’I, al ‘Umm…Hlm.77
151
Muhammad bin Idris as Syafi’I, al ‘Umm... Hlm.9

88
ajaran agama kafir watsani tidak menghamkan suatu penghianatan, tidak menjujung suatu
kepercayaan atau amanah, tidak merintahkan kepada kebaikan, dan tidak mencega keburukan,
hal ini dirasa akan menjadi watak dari pengikut agama watsani tersebut. 152 Sehingga tidak sejalan
dengan ajaran Islam yang membenci suatu penghianatan, menjunjung amanah, menjujung
perintah kebaikan dan juga menjujung meninggalkan kemungkaran.

C. Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan di Indoesia


Sebelum lahirnya undang-undang pernikahan di Indonesia, setiap kelompok masyarakat
di Indonesia telah memiliki aturan-aturan tentang pernikahan. Hal ini kemudian memunculkan
masalah saat seorang laki-laki ingin menikah dengan seorang perempuan yang bukan dari
golongannya. Pada saat itu lahirlah sebuah kebijakan raja yang disebut ketetapan raja tertanggal
29 Desember 1896, Stb no 158 Tahun 1896 yang isinya merupakan kebijakan mengenai
pernikahan campuran.153 Pasal 1 GHR itu yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
Berdasarkan Pasal GHR tersebut, para ahli hukum berpendapat bahwa yang dimaksud
perkawinan campuran adalah perkawinan antara lakilaki dan perempuan yang masing-masing
pada umumnya takluk pada hukum yang berlainan.
Dalam Pasal 7 ayat (2) GHR dinyatakan bahwa dalam perkawinan campuran ini,
perbedaan agama, bangsa, atau asal sama sekali tidak menjadi halangan untuk melangsungkan
perkawinan. Berdasarkan paparan tersebut, maka perkawinan beda agama sebelum berlakunya
UU perkawinan, termasuk dalam perkawinan campuran yang diatur dalam GHR, dan
pelaksanaannya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
Setelah lahirnya undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa
pernikahan yang dilakukan di dalam negeri dan diluar negeri haruslah patuh pada hukum agama
masing-masing dan patuh terhadap undang-undang perkawinan. Pasal 2 undang-undang
perkawinan mengatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut masing-masing
agama dan kepercayaannya masing-masing. Selanjutnya dipertegas dengan pasal 65 yang
mengatakan perkawinan yang dilakukan antara dua warganegara Indonesia atau seorang warga
negara Indonesia dengan seorang warga asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum

152
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah...Hlm.71
153
Lihat penelitian Sri Wahyuni, Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia. Hlm. 7

89
yang berlaku dimana perkawinan itu dilangsungkan, dan bagi warganegara Indonesia tidak
melnggar undang-undaf ini.154
Melihat sejarah pembentukan rumusan undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, bahwa praksi ABRI dan PPP telah sepakat bahwa hukum Islam dalam undang-
undang perkaiwnan tidak akan dikurangi dan hal yang bertentangan dengan hukum Islam di
hilangkan.155 Upaya ini dikemudian hari ternyata bukan mengkomodir kepentingan penganut
agama Islam saja, agama-agama lain di indonesia juga telah menyepakati bahwa ajaran agama
mereka juga melarang pernikahan beda agama.156
Undang-undang perkawinan pun membuat suatu syarat yang ketat dalam melaksanakan
dan menjaga pasal 2 undang-undang perekawinan. Secara tersirat pernikahan beda agama
digolongkan pada istilah pernikahan campuran, hal ini karena pernikahan beda agama dianggap
sebagai pernikahan seorang dengan sorang yang lain dari golongan yang berbeda. Pasal 60 pada
ayat 1 undang-undang perkawinan menyatakan perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan
sebelum terbukti bahwa sayarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing
telah terpenuhi.157 Pernyataan pasal 60 ayat 1 ini menunjukan bahwa pernikahan beda agama
merupakan pernikahan campuran yang sulit dilakuakan di Indonesia. Sebab syarat-syarat
pernikahan campuran meliputi tiga syarat yakni syarat dan rukun pernikahan sesuai dengan
agama masing, syarat materil, dan juga syarat admitrasi.
Dari tiga syarat tersebut yang paling sulit dipenuhi bagi mereka adalah syarat dan rukun
pernikahan sesuai dengan agama masing-masing dan juga syarat admitrasi. Semisal seorang yang
melakukan pernikahan beda agama adalah seorang laki-laki muslim dan perempuan katolik,
maka lelaki muslim tidak dapat memenuhi syarat sah nikah jika ia menikah perempuan yang
tidak segama, begitu mempelai perempuan yang akan dinikahi ia tidak dapat melangsungkan
pernikahan karena syarat menikah baginya adalah pembatisan. Begitu juga sulitnya mendapat
persetujuan pencatatan pernikahan, karena penghulu di KUA bagi memepelai leki-laki tidak akan
mau mencatat pernikahanya, begitupun juga pegawai pencatatan sipil kantor pencatatan sipil
tidak akan mencacat pernikahan siperempuan kecuali ada putusan pengadilan.

154
Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
155
Ichtiyanto, Perkawinan Campuran Menurut Undang-undang Perkawinan, jurnal. Vol.19. No. 2,
1989.hlm.141, http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1116/1039
156
Anita Kamilah, Keabsahan Perkainan Beda Agama yang Dilakukan Di Luar Negeri, Tahkim, Jurnal
Peradaban dan Hukum Islam. Vol.1 No.1 (Maret, 2018). Hlm.120
157
Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

90
D. Pencatatan Pernikahan Beda Agama Menurut Undang-undang Perkawinan dan
Adminduk
Telah menjadi sebuah pengetahuan umum bagi kita bahwa pernikhan untuk mendapatkan
suatu kekuatan hukum harus dicatatkan pada lembaga pencatat nikah. Bagi mereka yang
menganut agama Islam mencatatakan pernikahanya di kantor urusan agama wilayah tempat
tinggal salah satu mempelai,158 sedang mereka yang beragama non muslim mencatatkan
pernikahanya di kantor pencatatan sipil.
Permasalahan timbul saat dewasa ini beberapa pasangan melangsungkan pernikahan beda
agama. Pernikahan mereka tidak diaggan sah menurut hukum agama dan juga undang-undang,
namun dilain sisi mereka telah tidak mau berpisah dengan seorang yang mereka kasihi dan
sayangi. Dengan alasan cintah kasih tersebut mereka tetap melangsungkan pernikahan namun
juga mereka mepertahankan keyakinan agama masing masing. hal ini menimbulkan sebuah
pertanyaan bagaimana mereka mendapat pengkuan pernikahan yang mereka lakukan.
Beberapa upaya pasangan beda agama untuk tetep melakukan pernikahan meski agama
dan undang-undang melarangnya, pertama mereka akan tunduk pada agama pasanganya namun
setelah mereka mendapatkan legalistas pernikahan dari intansi pencatan pernikan baik KUA atau
Kantor Pencatan Sipil mereka akan kembali kepada agamanya semula. Atau dapatjuga mereka
menikah di keluar negeri demi menghindari Undang-undang perkawinan yang melarang
pasangan beda agama untuk menikah.159
Pasal 35 Undang-Undang No.23 Tahun 2006 Tentang adminitrasi penduduk poin (a)
berbunyi pencatatan perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan pengadilan.
Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan
adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama. 160 dengan pasal 35 poin (a)
memberi peluang bagi pasangan menikah beda agama yang melangsungkan pernikahan di luar
negeri untuk mencatatatkan pernikahanya pada saat ia kembali ke Indonesia.

158
Lihat Pasal 2 dan Pasal 17, Peraturan Mentri Agama RI. No. 19 Tahun 2018 Tentang Pencatatan
Perjawinan
159
Abdul Halim, Carina Rizky Ardhan, Keabsahan Perkainan Beda Agama yang Dilakukan Di Luar
Negeri Dalam Tinjauan Yuridis. Jurnal Moral Kemasyarakatan.Vol. 1, No.1, Juni. 2016. Hlm. 70
160
Abdul Halim, Carina Rizky Ardhan, Keabsahan Perkainan Beda Agama yang Dilakukan Di Luar
Negeri Dalam Tinjauan Yuridis. Jurnal Moral Kemasyarakatan.Vol. 1, No.1, Juni. 2016. Hlm. 70

91
Diketahui bahwa undang pernikahan tidak mengatur tentang pencatatan pernikahan
perkawinan beda agama dan juga tidak memberi sangsi bagi pasangan yang menikah beda
agama. hal ini mungkin karena undang-undang pernikhan mengakui bahwa pernikahan dan
saling mengasihi-menyayangi merupakan hak yang melekat bagi manusia.
Meski pernikahan beda agama tidak mendapat ruang di Indonesia, namun fakta lain
menyebutkan bahawa pernikahan beda agama telah banyak terjadi di Indonesia. Pernikahan ini
secara normal sulit mendapatkan pengakuan hukum dari lembaga pencatatan pernikahan baik
dari KUA atau Kantor Pencatatan siapil, Namun mempertimbangkan bahwa pernikahan
merupakan hak dasar dengan adanya penetapan pengadilan negeri pernikahan ini mendapat
nomor pencatatan pencatatan nikah dari kantor pencatatan sipil.
Erma Kartika Timur dalam tulisanya menggambarkan bagaimana proses pemberian izin
pernikahan beda agama oleh pengadilan. Lebih lanjut ia menjelaskan pasangan perenikahan beda
agama memohon permohonan izin untuk melakukan pernikahan beda agama ke pengadilan
negeri, pengadilan akan mengeluarkan izin penetapan sebagai dispensasi nikah agar pernikahan
boleh dilakukan dan diizinkan oleh hukum. Dalam isi surat penetapan tersebut pengadilan
memberi izin pernikhan beda agama dan memerintahkan kantor pencacatan sipil untuk
mencatatkan pernikahan pasangan beda agama.161

E. Akibat Hukum Pernikhan Beda Agama menurut UU Perkawinan dan UU Adminduk


Telah dipaparkan sebelumnya bahwa negara Indonesia telah membatasi suatu pernikahan
dengan mengatur pernikan warganegaranya selaras dengan norma agama yang ada di Indonesia.
Pernikahan dianggap sah apabila pernikahan dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama masing-
masing dan harus dicatatkan pada lembaga pencatat pernikahan, maka segala pernikahan beda
agama yang telah dilakukan oleh seorang pasangan yang saling mencintai di Indonesia tidak
akan diakui secara legal oleh negara. Dari pernyataan pasal 2 undang-undang No:1 Tahun 1974
tentang perkawinan tersebut, maka akan muncul akibat hukum yang mendasar bagi status
pernikahan mereka yang tidak dianggap sah.
Status anak dari pernikahan beda agama yang tidak dianggap sah oleh hukum agama dan
negara, maka status anak tersebut tidak mendapat pengakuan legal dari pencatatan

161
Erma Kartika Timur, Dkk. Pembagian Harta Bersma Perkawinan Akibat Perceraian Perkawinan Beda
Agma yang Dicatatkan, Jurnal, Rechtidi, Vol.12.No.1, Juni 2017, Hlm.68,
https://jurnal.trunojoyo.ac.id/rechtidee/article/download/2871/2276

92
kependudukan. Pasal 49 ayat (2) mengatakan pengakuan anak hanya berlaku bagi anak yang
orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama, tetapi belum sah
menurut hukum negara. Selain itu Status anak tersebut tidak mendapat pengesahan legal dari
pencatatan kependudukan Pasal 50 ayat (2) Pengesahan anak hanya berlaku bagi anak yang
orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama dan hukum negara.162
Masalah anak dari pernikahan pasnagn beda agama tidak berhenti disini, masih banyak
lagi maslah lain yang timbul. Semisal penentuan staus agama naka dari pasangan nikah beda
agama. Pasangan yang melaukan pernikahan beda agama dan mempertahankan agamanya
menyebabkan mereka akan mendapat beberapa masalah, masalah selanjutnya adalah mereka
akan kebingungan menentukan status agama anak mereka yang mereka lahirkan. Ada
kemungkinan suami akan mengarahkan kepada agama yang dianutnya namun juga tidak
menutup kemungkinan istri akan mengarahkan anaknya mengikuti agamanya.163
Selain masalah anak, pasal 2 undang-undang pernikahan juga menampik adanya harta
bersama. Harta bersama sebagaiaman dimaksud pada pasal 35 ayat 1 undang-undang No:1
Tahun 1974 tentang perkawinan merupakan harta yang diperoleh dari pernikahan yang sah,
pernikahan yang sah telah dijelaskan pada pasal 2. Denganya pernikahan yang dilangsungkan
tidak sesui dengan pasal 2 maka pernikahan tersebut tidak akan menimbulkan harta bersama.
Harta bersama harusnya menjadi hak bagi pasangan suami istri yang menikah sah.
Suatu saat jika terjadi suatu permaslahan dalam rumah tangga yang memaksa adanya
jalan perceraian dalam penyelesaianya, maka harta bersama dalam keadaan seperti ini dapat
dibagi. Tentang pembagian harta bersama pasal 37 undang-undang No:1 Tahun 1974 tentang
perkaiwnan mengatakan bila pernikahan putus karena perceraian, maka harta benda diatur
menurut hukummnya masing-masing.164 Para pakar hukum berpendapat, bahwa yang dimaksud
dengan “diatur menurut hukumnya masing-masing” adalah hukum agama masing-masing.165
dengannya jika pasangan sama-sama beragama Islam, maka pembagian harta bersama dibagi
sesuai dengan ketentuan hukum warisan dalam ajaran Islam.

162
Lihat Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 TAHUN 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Admitrasi Kependudukan
163
Andre Jonanthan, Pernikahan Beda Agama (Studi kasus pada pasangan pernikahan beda agama
Katolik dengan Islam di Keuskupan Surabaya), Jurnal Sosial dan Politik, Hlm.17
164
Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
165
Pramudya, Tentang Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-undang perkawinan Nomor. 1
Tahun 1974, https/www.google.com/amp/s/majalahtantri.wordpress.com/2009/01/21/ tentang-harta-bersama-dalam-
perkawinan-menurut-undang-undang-perkawinan-no-1-tahun-1974/amp/

93
Pembagian harta bersama yang timbul dari pasangan pernikahan beda agama tidaklah
diatur dalam undang-undang perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam. Sehingga ketika
suatu saat nanti terjadi suatu perceraian hidup dan perceraian mati dan timbul sengketa harta
bersama, maka permasalahan sengketa yang muncul dari harta bersama ini tidak dapat di
selesaikan ke pengadilan sebagai upaya penyelesaiannya. Namun ada solusi dalam
menyikapinya, untuk mendapatkan suatu legal standing pembagian harta bersma atas suatu
perceraian pernikahan pasngan beda agama, maka kedua belah pihak sebelum melakukan
pernikahan beda agama hendaknya melakukan suatu perjanjian tentang pembagian harta bersama
jika suatu saat nanti muncul sebuah sengketa tentang harta bersma. Perjanjian tersebut tidak
mungkin tidak akan dapatmenggunakan istilah perjanjian harta bersma, namun dapatdibuat
perjanjian perdata tentang suatu perserikatan harta atau harta kerja sama agar hal ini dapat
diterimah oleh pengadilan jika terjadi suatu sengketa diantara pasngan pernikahan beda agama.
Berebada dengan pembagian harta bersama bagi pasangan pernikahan beda agama yang
mendapat lagilitas dari pengadilan negeri. Bagi pasngan renikahan beda agama yang mendapat
penetatapan dari pengadilan negeri untuk melakukan pernikahan dan pencatatan pernikahan,
maka saat terjadi perceraian danmuncul sengketa atas pembagian harta bersamanya dapat
diselesaikan dipengadilan negeri. Dalam hal penyelesaian sengketa harta bersama, hakim
pengadilan negeri dapat mengacu pada pasal-pasal yang mengatur tentang aturan harta bersama
dalam Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.166

F. KeKesimpulan
Pernikahan beda agama adalah suatu pernikahan yang dilakukan oleh pasngan yang
memiliki agama yang berbeda dan masih memegang prinsip agamanya masing-masing setelah
pernikahan. Hukum Pernikahan beda agama menurut agama adalah suatu pernikahan terlarang
karena setiap agama di Indonesia melarang berlangsunganya pernikahan beda agama, begitupun
juga selain menurut undang-undang pernikahan ini juga tidak mendapat ruang yang luas dalam
undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia.
Jika pun ada pasangangan yang melakukan nikah beda agama mereka tidak adapat
mencatatkan pernikahanya kecuali setelah adanya penetapan dari pengadilan negeri, sebagai

Erma Kartika Timur, Dkk. Pembagian Harta Bersma Perkawinan Akibat Perceraian Perkawinan Beda
166

Agma yang Dicatatkan…hlm.76

94
tindak lanjutnya pernikahan beda agama akan mendapat pencatan perkawinan dari kantor
pencatatan sipil setelah adanya penetapan pengadilan negeri.
Selanjutnya akibat hukum yang mendasar yang mungkin muncul jika perenikahan ini
dilakukan di Indonesia dan tapi tidak mendapat pencatatan, maka akibat hukumnya adalah status
agama anak akan menjadi permaslahan pertama jika tidak disikapi dengan baik oleh pelaku
pernikahan beda agama, selain itu juga masalah yang mungkin muncul adalah pembagian harta
bersma jika suatu saat terjadi perceraian baik cerai mati atau hidup. Dan maslah selanjutnya
adalah jika terjadi sengketa terhadap harta bersama, jika pernikahan tidak dicatatkan maka
pengadilan akan tidak akan menerima sengketa harta bersma dari pernikhan beda agama.

RUJU’ DAN TATA CARANYA DI KANTOR URUSAN AGAMA

Islam sebagai agama telah memberikan aturan yang sangat korhensip. Dalam aturan yang
ditawarkan oleh ajaran Islam, selain Islam telah mengatur detail masalah yang muncul dari
hubungan manusia dengan tuhan, ajaran Islam juga mengatur tentang hubungan manusia dengan
sesamanya, dan Islam mengatur hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya.
Adanya aturan-aturan dalam ajaran tersebut tidak lain dan tidak bukan hanya untuk memberi
keadilan, memberi kebahagian dan juga memberi suatu peradaban yang maju dan mulya.
Begitulah kiranya, aturan dalam ajaran agama Islam yang mengatur hajat manusiawi kepada

95
lawan jenisnya yang kita sebut dengan suatu ikatan pernikahan. Dalam kondisi tertentu terdapat
suatu keharusan untuk melakukan pernikahan jika seorang telah memenuhi prasyarat pernikahan
dan takut berzinah jika tidak menikah.
Ajaran Islam memebrikan solusi untuk melepaskan diri dari suatu hubungan pernikahan jika
di tengah bahtera pernikahan kedua suami istri mengalami suatu kebuntuhan untuk
menyelesaikan masalah rumah tangga mereka, dan namun sekaligus ajaran Islam mengatur pula
cara bagaimana seorang suami yang telah menjatuhkah talak namun ia menginginkan untuk
kembali pada istri yang ditalaknya. Aturan yang mengatur tentang hukum dan cara seorang
suami mengembalikan status pernikahan pada istri yang ditalak namun belum pada talak bain
disebut dengan Ruju’.

A. Pengertian Ruju’ Menurut Hukum Syari’at


Ruju’ dikalangan akademisi hukum keluarga Islam sangatlah popular, meski ia diadopsi dari
bahasa Arab. Dalam bahasa arab kata Ruju’ berasal dari dari kata raja’a yarji’u ruju’an yang
artinya secara etimologi adalah kembali. Beberapa ulama ada yang menggunakan istilah lain
selain istilah ruju’. Zaynuddin al Malibari dalam kitabnya Fathul Mui’in menggunakan istilah
Raj’ah yakni isim masdar ghairu mim dari lafat raja’a yang artinya secara etimologi adalah
bagian dari jumlah ruju’ atau waktu kembali, sedangkan Ruju’ menurut terminology adalah
mengembalikan setatus istri pada ikatan pernikahan dari status talak yang dilakukan suami
padanya, yang mana talak tersebut tidak talak bain, dan dilakukan sebelum habis waktu masa
tunggu istri (masa Iddah).167
Tidak jauh berbeda dengan definisi di atas, diutarakan oleh Muhammad bin Qasim al Ghazi
bahwa ruju’ adalah mengembalikan istri yang telah ditalak suami, dengan talak kurang dari talak
bain, pada ikatan pernikahan sah dan masih pada masa tunggu istri (masa Iddah) dengan cara
tertentu.168 Begitupun dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI) ruju’ didefinisikan dengan
kemabalinya suami apada istri yang ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih
dalam masa iddah.169
Dari definisi yang telah disebutkan menegaskan bahwa istri yang tidak dapat diruju’ adalah
a). Istri yang telah melewati dua kali talak (belum talak bain), b). Istri yang ditalak sebelum

167
Zaynuddin al Malibari, Fatḥ al Mu’īn, (Beirut, Dar al Kotub al īlmiyah, 2015). Hlm. 187
168
Muhammad bin Qasim al Ghazi, Fath al Qarib, (Surabaya, al Hidayah. TT). Hlm. 48
169

96
didukhul dan c). Istri yang telah habis masa iddah-nya. Selain tiga posisi istri tersebut, ruju’ juga
tidak dapat dilakukan atas perceraian bukan melalui talak seperti dzihar, khulu’, waṭi subhat dan
fashu al nikah (merusak nikah) dikarenakan kurang syarat rukun. atau fashu nikah yang
dikarenakan adanya aib nikah.170
Istri yang ditalak oleh suami dengan talak satu kali atau dua kali boleh baginya diruju’ oleh
suami dengan tanpa izinnya selagi tidak habis masa iddah istri, jika habis masa iddah istri yang
ditalak dan belum diruju’ oleh suami, maka suami dapat kembali pada istrinya dengan nikah
jadid.171 Nikah jadid adalah nikah baru yang dilakukan oleh suami pada mantan istrinya yang
ditalak kurang dari dua talak tapi telah habis masa iddahnya namun belum di ruju’ atau di nikah
dari istri yang mengajukan khuluk pada suami. Dalam keadaan seperti ini, suami tetap masih
boleh kembali ke pada istrinya dengan cara nikah jadid, yakni dengan izin baru dari wali, ada
saksi, dan dengan mahar yang baru.172
Keadaan masa iddah istri pada saat ditalak hidup atau talak mati oleh suami, maka istri
terbagi pada empat posisi, a). Iddah istri yang hamil adalah hingga ia melahirkan bayi yang
dikandungnya, b). Iddah istri yang ditalak pada saat haid, maka iddahnya tiga kali waktu haid, c).
Iddah istri tuntas dari haid, maka iddahnya tiga bulan,173 d). Iddah istri yang ditinggal mati
suami baik dalam kondisi haid atau tidak, maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, dan
e). Iddah istri yang belum digauli adalah ia tidak memiliki iddah. 174 Dari kelima macam iddah
istri ini yang masuk dalam kategori masa iddah istri yang dapat diruju’ adalah istri pada posisi
bagian tiga yang awal. Sedang bagian dua yang akhir tidak memungkinakan di ruju’, dikarena
alasan kematian dan juga tidak adanya masa iddah.
Dari lima posisi iddah istri diatas Amir Syarifudin memformulasikan bentuk-bentuk iddah
ditinjau dari caranya pada tiga bagian, suci, iddah dengan cara melahirkan anak yang dikandung,
dan iddah dengan perhitungan bulan, dan yaitu iddah dengan mennyelesaikan quru’ yaitu haid.175
m‫ ٍء‬m‫ و‬m‫ ُر‬mُ‫ ق‬mَ‫ ة‬mَ‫ اَل ث‬mَ‫ ث‬m‫ َّن‬m‫ ِه‬m‫س‬mِ mُ‫ ف‬m‫ ْن‬mَ‫ أ‬mِ‫ ب‬m‫ن‬mَ m‫ص‬ mُ m‫ ا‬mَ‫ ق‬mَّ‫ ل‬mَ‫ ط‬m‫ ُم‬m‫ ْل‬m‫ ا‬m‫و‬mَ
mْ mَّm‫ ب‬m‫ َر‬mَ‫ ت‬mَ‫ ي‬m‫ت‬

170
Zaynuddin al Malibari, Fatḥ al Mu’īn...Hlm.187
171
Muhammad bin Qasim al Ghazi, Fath al Qarib...Hlm.48
172
Zaynuddin al Malibari, Fatḥ al Mu’īn...Hlm.187
173
Sayid Sabiq, Fikh Sunah, (Beirut Maktabah al Aṣriyah, 2011). Juz.2. Hlm.218
174
Sihabudin bin Abas, Imdat as Salik wa Udatus Salik… Hlm.240
175
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Antara Fikih Munakahat Dan Undand-
Undang Perkawinan, (Jakarta, Kencana, 2017). Hlm. 310

97
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (Q.S. Al
Baqarah. 228)
Fungsi iddah pada istri yang ditalak atau ditinggal mati ada beberapa tujuan yakni untuk a).
Memastikan bersihnya rahim istri dari anak yang dikandung dari suami yang mentalaknya, b).
Kemaslahatan nikah tidak berhenti pada saat pasangan suami istri memutuskan pernikahan,
melainkan jika mereka mengalami masalah, maka mereka harus menata kembali permasalahan
rumah tangga yang telah rusak, sehingga dalam ini dibutuhkan masa tunggu, c). Memberikan
kesempatan kepada suami istri untuk kembali menghidupkan rumah tangga jika mereka meilihat
kebaikan dari upaya kembali,176 atau memberi kesempatan bagi suami untuk berpikir tentang
resiko yang akan ditanggung oleh istri, anak dan juga dirinya, sehingga Allah memberi
kesempatan dengan menjadikan masa iddah sebagai masa dilanjutkanya talak atau dilakukan
upaya rujuk antara keduanya.
Iddah dianggap sebagai masa tunggu matangnya suatu keputusan yang dilakukan oleh suami
yang telah mentalak istrinya. Seorang suami yang kadang mengambil sikap yang tidak tepat pada
waktu dan kondisi tertentu, dalam kondisi seperti ini akan merugikan bukan hanya suami istri
saja, melainkan anak dan keluarga besar yang ada pada mereka berdua menerima imbasnya.
Setelah matang cara berfikir suami dan ia tetap menjatuhkan talak, maka pada saat itu selama
talak yang dijatuhkannya belum talak bain sughrah (talak qablah dhukul) atau kubrah (talak tiga)
suami berhak untuk merujuk istrinya jika ia menyesal atas keputusan menjatuhkan talak.

m‫ ا‬m‫ اَل ًح‬m‫ص‬ َ mِ‫ ل‬m‫ َذ‬mٰ m‫ ي‬mِ‫ ف‬m‫ َّن‬m‫ ِه‬mِّm‫ د‬m‫ر‬mَ mِ‫ ب‬m‫ق‬
mْ mِ‫ إ‬m‫ا‬m‫ و‬m‫ ُد‬m‫ ا‬m‫ر‬mَ mَ‫ أ‬m‫ن‬mْ mِ‫ إ‬m‫ك‬ ُّ m‫ح‬mَ mَ‫ أ‬m‫ َّن‬mُ‫ ه‬mُ‫ ت‬mَ‫ل‬m‫ و‬m‫ ُع‬mُ‫ ب‬m‫َو‬
Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah. (Q.S. Al Baqarah. 228)
Ayat diatas mengisyaratkab bahwa suamilah yang berhak ruju’. Arti hak di sini bukan
menunujukan kekuasaan dan semena suami pada istri yang menjatuhkan talak lalu ia berhak
rujuk. Makna hak pada ayat tersebut adalah, suamilah yang pertama kali menghendaki untuk
menjatuhkan talak, sedang istri adalah pasif karena ia tidak menghendaki talak, maka posisi
suami adalah seorang yang menyulut perpisahan yang tidak dikehendaki istri, karenanya suami
memiliki hak (kewajiban) untuk mematikan api perpisahan yang telah disulut kepada istri.
Upaya ruju’ ini, istri tetap diuntungkan, karena talak yang dijatuhkan suami pada istri,
memberikan ketentraman istri yang masih ingin menjalin hidup bersama dengan suami yang
mentalaknya, tidak menguntungkan istri, uapaya rujuk akan juga menguntungkan anak dan

176
Sayid Sabiq, Fikh Sunah…Hlm.218

98
keluarga besar istri dan suami karena mereka merasa nyaman dengan keutuhan keluarga yang
mereka miliki. Mempertimbangkan hikmah ruju’ tersebut, ruju’ yang menjadi milik suami ketika
ia mentalak istri, bukan berarti seorang suami memiliki kekuasan lebih dari istri, namun hal ini
adalah suatu kewajaran saja, kewajaran sebagai suami sebagai orang yang salah melangkah
namun ia sadar dan mencoba membenahi jalan yang salah.
Meski hak ruju’ adalah hak suami, namun istri memiliki hak untuk menolak ruju’ suami
sesuai dengan pasal 164 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, Seorang wanita dalam iddah
talak raj`I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan
Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi. Pasal 165 Rujuk yang dilakukan tanpa
sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.177
Berkaitan dengan ruju’, suatu riwayat menceritakan bahwa nabi suatu ketika pernah mentalak
istri beliau yang bernama Hafsah dan pada saat itu nabi meruju’nya. 178 Riwayat ini menegaskan
bahwa ruju’ adalah solusi bagi mereka yang salah berpikir tentang baik atau tidaknya berpisah
dari seorang istri.

B. Rukun Dan Syarat Ruju’ Menurut Hukum Syari’at Islam


Setiap sesuatu yang telah menjadi istilah hukum tentunya memiliki identitas untuk mengenal
sesuatu tersebut. Identitas itu dapatdilihat dari pilar-pilar dan syarat yang ada pada sesuatu
tersebut. Shalat misalnya, ia dikatakan shalat kalau ia memiliki pilar atau rangkaian shalat
berikut syaratnya, maka begitupun juga dengan ruju’, yang membedakan ruju’ dengan perbuatan
lain adalah terletak pada pilar-pilar (rukun) dan syaratnya.
Pilar-pilar yang harus ada dalam ruju’ adalah meliputi Pertama, Murtaji’, murtaji’ adalah
suami yang ingin meruju’ istrinya. Murtaji’ dapat diwakilkan kepada orang lain yang memiliki
kualifikasi sebagai wakil murtaji’. Murtaji’ atau suami yang meruju’ istrinya haruslah seorang
ahli melakukan pernikahan, ia adalah sorang yang baligh, berakal dan upaya ruju’nya harus dari
kehendak sendiri bukan dipaksa orang lain. 179 Murtaji’ yang muruju’ istrinya boleh dipengaruhi
oleh keluarganya, anaknya, dan ataupun dipengaruhi orang lain agar ia meruju’ istrinya.
Mengingat ruju’ merupakan suatu yang baik, maka upaya ruju’ dari siapa saja dianggap baik.
177
Kompilasi Hukum Islam dan UU Ri. No. 03 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, (Jakarta, Persindo,
2009). Hlm.183
178
Lihat Ibrahim Bin Ali al Fayrûs Ȃbâdi, al Muhadzab Fi Fiqhi Imam Syafi’I, (Beirut, Dar al Kotub al
īlmiyah, 2011). Juz.3. Hlm. 46
179
Ibrahim al Bajuri, Hasyiah Ibrahim al Bajuri ‘ala Syarh al ‘Alamati al Qasim Al Ghazi ‘ala Matani
Syehk Abi Suja’... Hlm.281

99
Semisal seorang ayah mempengaruhi atau menasihati anaknya untuk ruju’ kepada istri yang
ditalak, karena sang ayah malu jika anaknya bercerai, maka dalam kaitan ini pengaru atau
nasehat tersebut dianggap baik.
Kedua, Muhallin, muhallin adalah istri yang belum ditalak lebih dari dua kali (talak ba’in)
dan belum habis masa iddahnya. Sedangkan syarat bagi muhallin atau perempuan yang di ruju’
adalah perempuan yang telah diwaṭi (setubuhi).180 Hal ini sebagaimana diungkapkan sebelumnya,
bahwa perempauan yang dapatdiruju’ adalah perempuan yang ditalak dan telah disetubuhi.
Sebab perempuan yang belum disetubuhi dan dia ditalak, maka secara otomatis ia tidak memiliki
masa tunggu atau iddah, istri yang belum disetubuhi dan ditalak ia secara otomatis menjadi
bukan istrinya kecuali dengan nikah jadid.
Talak yang dijatuhkan pada saat istri belum disetubuhi (qablah dhukhul) disebut talak bain
sugrah. Proses ruju bagi orang yang tertalak bain sugrah adalah dengan nikah jadid, dengan emas
kawin baru dan juga ada wali saksi dan sighat nikah. Proses ruju’ talak bain sughrah pada istri
yang belum digauli adalah sama dengan proses ruju’ suami pada istri yang melakukan gugat
cerai (khuluk) atau dalam Bahasa lain disebut dengan cerai dengan ganti rugi yang ditanggung
oleh istri.181 Berbeda dengan cara rujuk suami yang telah menjatuhkan talak tiga, suami yang
telah menjatuhkan talak tiga. Jika ia ingin kembali pada istrinya, maka syaratnya adalah istri
harus telah menikah dengan lelaki lain tanpa direkayasa, dan pada saat itu istri telah digauli oleh
lelaki yang menikahinya, kemudian lelaki itu menceraikannya dan habis iddah istri dari talak
lelaki yang menikahinya, setelah itu mantan istri yang ditalak tiga boleh dinikahi kembali.182
Selanjutnya Ketiga, Sighat, sighat adalah ungkapan suami pada istri yang menunjukan
permintaan ruju’, atau ungkapan yang seorang suami agar istri kembali pada ikatan
pernikahan.183 Sighat ruju’ dapatmenggunakan ungkapan yang jelas (sharih) atau sindiran
(kinayah). Sighat yang jelas, seperti seorang suami mengatakan, “kukembalikan engakau
menjadi istriku lagi”, istri menjawab “aku bersedia untuk kembali padamu” atau juga suami
mentakan “aku nikahi engkau”, istri menjawab “iya saya menerimanya”, sedangkan yang
sindiran adalah “kujaga engakau seperti yang dulu”, istri menjawab “iya aku mau”, atau suami

180
Muhamad Syaṭa ad Dimyati, ‘Ianatu at Thalibīn, (Beirut, Dar al Fikr, 2002), Juz.4. Hlm.35
181
M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta, Rajawali
pers, 2009). Hlm333
182
Muhamad Syaṭa ad Dimyati, ‘Ianatu at Thalibīn ...Hlm.36
183
Ibrahim al Bajuri, Hasyiah Ibrahim al Bajuri ‘ala Syarh al ‘Alamati al Qasim Al Ghazi ‘ala Matani
Syehk Abi Suja’. (Beirut, Dar al Kotub al īlmiyah, 2015). Juz.2.hlm. 281

100
mengatakan “kita bangun bahterah rumah tangga yang baru”, istri menjawab, hal ini
diperbolehkan.184
Ungkapan sighat tidak boleh dibarengi dengan ta’lik maupun syarat, seperti seorang suami
mengatakan pada istri yang diruju’nya “kamu saya ruju’ jika kamu mau” dan istri menjawab
“iya saya mau”. Ungkapan ini dianggap tidak sah kerena adanya ta’lik. Begitu juga sighat ruju’
tidak boleh dibatasi waktu, seperti suami merujuk istrinya dengan ungkapan “saya ruju’ kamu
satu bulan” dan istri menjawab “iya saya termia ruju’mu selama satu bulan”, ungkapan ini tidak
diperkenankan karena dalam ungkapan tersebut ruju’ dibatasi waktu. Ruju’ juga tidak
dapatdilakukan dengan ungkapan niat dalam hati. Berbeda dengan seorang suami yang memiliki
kekurangan, dalam hal suami yang tidak dapatberbicara, maka boleh baginya melakukan ruju’
dengan tulisan dan atau dengan isyarah yang disertai dengan niat ruju’.
Upaya ruju merupakan upaya mengembalikan istri kepada ikatan pernikahan sehingga ia
harus dimnegerti, dilakukan dengan sungguh-sunggu dan serius. Karenanya sighat ruju’ haruslah
jelas dan serisu diungkapkan. Jika diperlukan upaya untuk disaksikan oleh pilak lain suami istri,
kerena suatu alasan tertentu, maka ruju’ dilakukan dihadapan saksi. Menurut syafi’iyah
menunjuk saksi pada saat ruju’ tidaklah wajib melaikan Sunnah. 185
Pasal 163 menyebutkan beberapa syarat upaya ruju’ yang dilakukan suami pada istrinya yang
ditalak, syarat itu adalah (1) Seorang suami dapat merujuk isterunya yang dalam masa iddah. (2)
Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal, yakni putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak
yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan qobla al dukhul, dan juga putusnya perkawinan
berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.186 Hal
ini sama dengan pandangan al Bajuri, ia mengatakan bahwa syarat ruju’ ada empat, yakni talak
yang dijatuhkan pada istri yang diruju’ bukan talak tiga, istri yang ditalak adalah telah pernah
didhukul (gsetubuhi), istri tidak dalam talak yang disebabkan adanya iwaḏ (ganti rugi) seperti
khuluk dan waṭi subhat, dan istri yang diruju’masih dalam masa iddah.187
Syarat tambahan bagi upaya ruju’ yang dilakukan di kantor urusan agama (KUA), menurut
pasal 166 KHI mengatakan ruju’ harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran ruju’
dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat
184
Muhamad Syaṭa ad Dimyati, ‘Ianatu at Thalibīn ...Hlm.36
185
Zaynuddin al Malibari, Fatḥ al Mu’īn...Hlm.187
186
Kompilasi Hukum Islam dan UU Ri. No. 03 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama…Hlm.183
187
Ibrahim al Bajuri, Hasyiah Ibrahim al Bajuri ‘ala Syarh al ‘Alamati al Qasim Al Ghazi ‘ala Matani
Syehk Abi Suja’... Hlm.281

101
dimintakan duplikatbya kepada instansi yang mengeluarkannya semula.188 Hal ini karena ruju’
dianggap suatu kejadian penting yang dialami oleh masyarakat di Indonesia sama halnya dengan
pernikhan, kematian, dan kelahiran seseorang, maka tidak menutup kemungkinan keharusan
pencatatan ruju’ yang dilakukan oleh suami istri harus dicatatkan.

C. Tatacara Ruju’ Di KUA

Tata cara Ruju’ meliputi upaya mempersiapkan syarat admitrasi dan juga melakukan upaya
non admitrasi. Adapun syarat admitrasi yang harus di bawa oleh para pihak adalah kelenngkapan
surat-surat sebagai berikut:189
1. Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) masing-masing1 (satu) lembar.
2. Surat Keterangan untuk Ruju’ dari Kepala Desa/Lurah tempat berdomisili (blanko model
R1).
3. Akta Cerai asli beserta lampiran putusan dari Pengadilan Agama.
Sedangkan upaya non admitasi yang harus dilakukan adalah suatu upaya yang harus diikuti
oleh para pihak dalam menempu upaya ruju’. Di dalam hukum Syari’at Islam tata cara ruju’
memang tidaklah disebutkan secara rinci, Syari’at hanya mengatur tentang hukum ruju’ secara
subtansif, sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai norma yang memperkuat
jalannya Syari’at Islam di Indonesia, aturan-aturan yang mengatur tentang cara ruju’lahir sebagai
pelengkap acuan masyarakat dalam upaya ruju’. Setidaknya tata cara ruju’ dalam Kompilasi
hukum Islam di paparkan pada pasal 167 hingga pasal 169.
Pasal 167
1. Suami yang hendak me ruju’ isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat
Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteri
dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang
diperlukan.
2. Ruju’ dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah.
3. Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan meyelidiki
apakah suami yang akan meruju’ itu memenuhi syarat-syarat meRuju’ menurut hukum
188
Ibrahim al Bajuri, Hasyiah Ibrahim al Bajuri ‘ala Syarh al ‘Alamati al Qasim Al Ghazi ‘ala Matani
Syehk Abi Suja’... Hlm.281
189
https://bengkulu.kemenag.go.id/file/file/Dokumen/wvhc1349316523.pdf

102
munakahat, apakah Ruju’ yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj`i, apakah
perempuan yang akan di ruju’ itu adalah isterinya.
4. Setelah itu suami mengucapkan Ruju’nya dan masing-masing yang bersangkutan besrta
saksisaksi menandatangani Buku Pendaftaran Ruju’.
5. Setelah ruju’ itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah menasehati suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang
berhubungan dengan ruju’.

Selain alur upaya ruju’ yang dilakukan oleh suami istri di depan pegawai pencatat nikah, ada
juga alur pengadmitrasian dilakukan pegawa pencatat nikah setelah proses upaya ruju’dilakukan
oleh suami istri di depan pegawai pencatat nikah. alur admitrasi ruju’ setelah dilakukan oleh
suami, maka tugas selanjutnya pegawai pencatat nikah akan melakukan Sebagaimana dia atur
dalam kompilasi hukum Islam pasal 169 hingga pasal 169, berikut uraianya.
Pasal 168
1. Dalam hal ruju’ dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar Ruju’ dibuat
rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan besreta
saksisaksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai
surat-surat keterengan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Ruju’ dan yang
lain disimpan.
2. Pengiriman lembar pertama dari daftar Ruju’ oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah Ruju’ dilakukan.

103
3. Apabila lembar pertama dari daftar Ruju’ itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua dengan berita acara tentang sebab-sebab
hilangnya.
Pasal 169
1. Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya Ruju’ dan
mengirimkannya kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang
bersangkutan, dan kepada suami dan isteri masing-masing diberikan Kutipan Buku
Pendaftaran Ruju’ menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
2. Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Ruju’ tersebut
datang ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan
mengambil Kutipan akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh
Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut,
bahwa yang bersangkutan benar telah Ruju’.
3. Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya Ruju’, tanggal Ruju’ diikrarkan,
nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Ruju’ dan tanda tangan Panitera. Sebelum
Ruju’ dicatat akan diperiksa terlebih dahulu: Apakah suami yang akan meRuju’ itu
memenuhi syarat-syarat Ruju’. Apakah Ruju’ yang akan dilakukan itu masih dalam masa
iddah talak raj’i. Apakah perempuan yang akan diruju’ itu bekas istrinya. Apakah ada
persetujuan bekas istri.
Ruju’ dalam hukum Syari’at Islam mengenal dua cara yakni ruju’ dengan ucapan dan juga
ruju’ melalui perbuatan. Ruju’ dengan ucapan sebagiaman di ungkapakan oleh Syihabudin dapat
dilakukan dengan suami mengatakan pada istri, “saya ruju’ kamu, saya kembali padamu atau
mengucap kujaga kamu”, istri menjawab “iya saya terimah ruju’mu” dan hal tersebut dilakukan
tanpa syarat adanya saksi dalam upaya ruju.190 Selanjutnya hukum Islam juga meperbolehkan
melakukan upaya ruju’ dengan perbuatan, seperti suami memberi isyarat pada istri untuk
melakukan hubungan suami istri dan istri menerima isyarat tersebut dengan bersedia melakukan
hubungan suami istri pada suaminya.191

D. Akibat Hukum Setelah Ruju’ Menurut Hukum Syari’at Islam.

190
Syihabudin, Imdatu Sâlik wa Iddatu Nâsik...Hlm.239
191
Ismail bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Beirut, Darut Tayibah. TT). Juz. IV. Hlm.34

104
Talak merupakan suatu cara yang dapat merubah suatu yang hal menjadi haram dalam
pernikhan. Namun untuk menghalalkan kembali istri yang ditalak kurang dari dua, Allah telah
memberi solusi dengan cara ruju’.
mۚ m‫ ِر‬m‫خ‬mِ ‫آْل‬m‫ ا‬m‫م‬mِ m‫و‬mْ mَ‫ ي‬m‫ ْل‬m‫ ا‬m‫و‬mَ mِ ‫هَّلل‬m‫ ا‬mِ‫ ب‬m‫ َّن‬m‫ ِم‬m‫ؤ‬mْ mُ‫ ي‬m‫ َّن‬m‫ ُك‬m‫ن‬mْ mِ‫ إ‬m‫ َّن‬m‫ ِه‬m‫ ِم‬m‫ ا‬m‫ح‬mَ m‫ر‬mْ mَ‫ أ‬m‫ ي‬mِ‫ ف‬mُ ‫ هَّللا‬m‫ق‬
َ mَ‫ ل‬m‫ َخ‬m‫ ا‬m‫ َم‬m‫ن‬mَ m‫ ْم‬mُ‫ ت‬m‫ ْك‬mَ‫ ي‬m‫ن‬mْ mَ‫ أ‬m‫ َّن‬mُ‫ ه‬mَ‫ ل‬mُّm‫ ل‬m‫ ِح‬mَ‫ اَل ي‬m‫َو‬

Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. (Q.S. Al Baqarah. 228)
Beberapa hal yang diharamkan oleh Syari’at Islam kepada suami ketika ia mentalak istri dan
belum meruju’nya, yakni, berhubungan intim, bercumbu rayu dan memandang istri yang
ditalak.192Bereberapa hal ini akan menjadi halal dengan upaya ruju’ yang dilakukan suami pada
istri.
Seorang istri yang diruju’ karena talak, maka hitungan talak yang tersisa akan menetap
padanya,193 sehingga suatu saat mendatang ketika suami menjatuhkan talak kepada istri, maka
talak yang jatuh adalah talak yang tersisa. Dalam kata lain, jika suami melakukan rujuk atas talak
pertama, maka sisa talak pada istri adalah talak kedua dan ketiga, namun jika suam melakukan
ruju tas talak kedua maka sisa talak pada istri adalah talak ketiga.
Istri yang masih dalam masa iddah talak raj’I kemudian salah satunya meninggal dunia, maka
salah satu yang lain dapatmenjadi ahli waris, karena di masa iddah istri yang masih dapatdiruju’
tidak mengakibatkan putusnya wari-mewaris di antara suami istri194

E. KeKesimpulan
Ruju’ adalah mengembalikan istri yang telah ditalak suami, dengan talak kurang dari talak
bain, pada ikatan pernikahan sah dan masih pada masa tunggu istri (masa Iddah) dengan cara
tertentu.
Cara ruju’ di kantor urusan agama, suami datang dkantor urusan agama wilayah mereka
berada bersama-sama, membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain
yang diperlukan, pegawa pencatat nikah meneliti persyaratan ruju’, persyartan secara admitrasi
dan, aupun secara hukum. Suami mengucapkan sighat ruju’ di depan pegawai pencatata nikah
dan pegawai pencatat nikah menasehati perihal pentingnya ruju dan kewajiban suami istri yang
harus dilakukan setelah rujuk, setelah itu pegawai pencatat nikah membuat Salinan akta ruju dan

192
Sihabudin bin Abas, Imdat as Salik wa Udatus Salik… Hlm.238
193
Sihabudin bin Abas, Imdat as Salik wa Udatus Salik… Hlm.239
194
Syihabudin, Imdatu Sâlik wa Iddatu Nâsik…Hlm.238

105
dilegalisir di pengadilan agama dimana suami menjatuhkan talak, terakhir suami istri mengambil
buku akte ruju dari pengadilan agama tersebut.
Sedangkat akibat hukum ruju’ adalah halalnya segalah seuatu yang dirahmakan pada saat
masa iddah, kembalinya hubungan suami istri sebagai ikatan pernikahan dan juga berlanjutnya
hitungan sisah talak yang dimiliki suami pada istri.

106

Anda mungkin juga menyukai