Anda di halaman 1dari 8

MAHKAMAH SYAR’IYAH DI

NANGGROE ACEH DARUSSALAM


OLEH: OCEANIA HASANAH
PENGERTIAN MAHKAMAH SYAR’IYAH

• Mahkamah syar’iyah secara Bahasa berasal dari dua suku kata, yaitu
mahkamah dan syar’iyah. Mahkamah berarti pengadilan sedangkan
syar’iyah berarti syariat atau legalitas. Mahkamah syar’iyah adalah
pengadilan syariat atau pengadilan berdasarkan legalitas (kesalahan).
Mahkamah syar’iyah sebagai peradilan negara, mempunyai berbagai
jenis yurisdiksi sesuai kebutuhan dalam rangka menegakkan hukum dan
keadilan.

• Mahkamah Syar’iyah adalah Peradilan Syariat Islam dan merupakan


bagian dari sistem peradilan nasional yang bebas dari pengaruh pihak
manapun. Adapun syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dari
semua aspek kehidupan. Mahkamah Syar’iyah adalah lembaga
peradilan yang dibentuk berdasarkan Qanun Nomror 11 Tahun 2002
tentang Peradilan Syariat Islam serta melaksanakan syariat Islam dalam
wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang merupakan
pengembanagn dari pengadilan agama yang telah ada.
MAHKAMAH SYAR’IYAH DI ACEH PADA ZAMAN
KESULTANAN ISLAM, ZAMAN HINDIA BELANDA,
DAN ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG
• Saat Jepang berkuasa, pengadilan Hindia Belanda ditutup, perkara-perkara yang ada
diselesaikan oleh Pangreh Praja yang berlangsung sampai bulan Mei 1942. Kekuasaan Peradilan
dilakukan Gunpokaigi, Gunritugaiki, Gunsei Hooin, Peradilan Agama, Peradilan Swapraja, dan
Peradilan Adat. Namun demikian keadaan peradilan agama pada waktu itu tidak banyak
berubah. Kemudian khusus untuk wilayah Aceh, Jepang mengeluarkan suatu undang-undang
yang bernama Atjeh Syu Rei (Undang-Undang Daerah Aceh) Nomor 12 tanggal Syowa Ni Gatu
15 (15 Februari 1944) mengenai Syukyo Hooin (Mahkamah Agama).
• Sesuai dengan bunyi Pasal 1 Atjeh Syu Rei Nomor 12, ada tiga tingkatan peradilan agama saat
itu, yakni sebagai berikut.
• Syukyo Hooin berkedudukan di Kutaraja (Sekarang Banda Aceh ).
• Seorang Kepala Qadhi dengan beberapa anggotanya di tiap-tiap Bunsyu (Kabupaten sekarang).
• Seorang Qadhi Son di tia-tiap Son (Kecamatan Sekarang)
• Syukyo Hooin merupakan pengadilan tingkat banding atas putusan kepala Qadhi dan Qadhi Son.
Tugas Qadhi Son saat itu mirip dengan tugas Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan saat ini.
Syukyo Hooin terdiri atas anggota-anggota harian dan anggota-anggota biasa. Salah
seorangdari anggota harian diangkat menjadi ketua (lintyo) oleh Atjeh Syu Tyokan berdasarkan
rekomendasi dari Kepala Pengadilan Negeri Kutaraja yang dipilih dari ulama yang cerdik, pandai,
jujur dan berpengaruh di dalam daerah Aceh. Pada saat itu sebagai Ketua Atjeh Syukyo Hooin
adalah Tengku H. Ja’far Shiddiq, sedangkan anggota-anggota harian adalah Tengku Muhammad
Daud Beureueh dan Tengku Muhammad Hasbi Ash-shiddqie, serta Said Abu Bakar.
MAHKAMAH SYAR’IYAH PASCA KEMERDEKAAN

• Pembentukan Mahkamah Syar’iyah di Keresidenan Aceh pada waktu itu hanya didasarkan kepada
Kawat Gubernur Sumatera Nomor 189 tanggal 13 Januari 1947 yang waktu itu dijabat oleh seorang
tokoh Aceh yaitu Mr. T. Muhammad Hasan yang disusul dengan Kawat Wakil Kepala Jawatan Agama
Provinsi Sumatera No. 226/3/djaps tanggal 22 Februari 1947.

• Untuk mendapat landasan yang kuat atas surat kawat tersebut, Pemerintah Aceh membawa
masalah tersebut ke siding Badan Pekerja DPR akhirnya menguatkan kewenangan dimaksud dengan
putusannya tanggal 3 Desember 1947 Nomor 35.

• Dalam perjalanan Mahkamah Syar’iyah Aceh memperoleh landasan hukum yang kuat setelah
ditetapkannya PP No. 29 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyah di Aceh. PP tersebut keluar setelah ada desakan dari 17 tokoh Ulama Aceh kepada
Pemerintah Pusat yang dituangkan dalam surat pernyataan yang meminta kepada departemen
agama agar memperjuangkan dasar hukum Mahkamah Syar’iyah di daerah Aceh.
• PP No. 29 Tahun 1957 tidak berumur panjang karena ternyata kemudian daerah-daerah lainnya di
Indonesia juga menuntut hal yang sama kepada pemerintah pusat agar di daerah mereka juga
dibentuk Pengadilan Agama /Mahkamah Syar’iyah.

• Tuntutan daerah lain di luar Jawa dan Madura dipenuhi pemerintah pusat dengan dicabut kembali PP
No. 29 tahun 1957 dan diganti dengan PP No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan
Agama/ Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura

• Dengan demikian jelaslah bahwa aceh merupakan daerah modal untuk terbentuknya Pengadilan
Agama/ Mahkamah Syar’iyah di daerah-daerah lainnya di Indonesia
ERA OTONOMI KHUSUS

• Dengan lahirnya UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi


Khusus bagi Provinsi Aceh dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh telah terjadi sejarah baru bagi Peradilan
Agama di Aceh. Karena salah satu lembaga yang harus ada
di Aceh dalam rangka pelaksanaan Ototnomi Khusus adalah
Peradilan Syariat Islam yang dilaksanakan oleh Mahkamah
Syar’iyah.
• Mahkamah syar’iyah adalah lembaga Peradilan Syariat Islam
di Aceh sebagai pengembangan dari Peradilan Agama yang
diresmikan pada 4 maret 2003 Miladiyah bertepatan pada
tanggal 1 Muharram 1424 Hijriyah oleh Ketua Mahkamah
Agung Bagir Manandengan dihadiri Menteri Dalam Negeri
Sabarno, Menteri Agama Said Agil Husin Almunawar dan
Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Mahendra.
PERBEDAAN PENGADILAN AGAMA DAN MAHKAMAH
SYAR’IYAH

• Keputusan Menteri Agama No. 6 Tahun 1980, nama yang beragam itu
seperti: Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi dan nama
lainnya seperti Kerapatan Qadhi dan Kerapatan Qadhi Besar di Kalimantan
Selatan, disatukan sebutannya, yakni tingkat pertama disebut Pengadilan
Agama sedang tingkat bandingnya disebut Pengadilan Tinggi Agama.

• Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh sekarang,


merupakan lembaga peradilan yang menurut UU No. 18 Tahun 2001
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Dibentuk untuk “menjalankan Peradilan
Syariat Islam di Provinsi NAD sebagai bagian dari sistem Peradilan
Nasional”. Undang-undang ini menyatakan bahwa kewenangan lembaga
baru ini didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional yang
akan diatur dalam qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-
undang ini juga menegaskan bahwa kewenagan ini hanya berlaku bagi
pemeluk agam Islam
QANUN-QANUN SYARIAT DI ACEH

• Tahun 2004 telah disahkan beberapa Qanun, adapun


yang berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam
ada 2 (dua) qanun :
• Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Zakat;
• Qanun No. 11 Tahun 2004 tentang tugas Fungsional
Kepolisian;
• Tahun 2005 sebagai catatan bahwa tulisan ini selesai
Desember 2005, ternyata selama tahun 2005 qanun
Aceh tidak ada yang disahkan sedangkan Rancangan
Undang-Undang tentang Nanggroe Aceh Darussalam
sudah dimasukkan ke DPR RI.
• Ibid, hlm 172-173
KOMPETENSI MAHKAMAH SYAR’IYAH

• Kompetensi relatif Mahkamah Syar'iyah adalah daerah hukum


eks Pengadilan Agama yang bersangkutan, sedangkan
kompetensi relatif Mahkamah Syar'iyah Provinsi adalah
daerah hukum eks Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh.
• Kompetensi absolut Mahkamah Syar'iyah dan Mahkamah
Syar'iyah Provinsi adalah kewenangan Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama (yang berhubungan dengan jenis
perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan) ditambah
dengan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat dalam bidang ibadah dan syiar Islam yang
ditetapkan dalam Qanun. Kewenangan lain tersebut
dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan
kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia dalam
kerangka sistem peradilan nasional.

Anda mungkin juga menyukai