Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

HUKUM KELUARGA DI NEGARA PAKISTAN


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Hukum Keluarga di Negara
Islam
Dosen Pengampu : Siti Masitoh, M.H

Disusun oleh :

Fanni Hilma Salsabila 2021508051


Hafidin 2021508034

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD
IDRIS
SAMARINDA
2022
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala. yang
telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Keluarga di Negara Pakistan”
pada Mata Kuliah Hukum Keluarga di Negara Islam ini dengan tepat waktu. Dan
dengan adanya makalah ini penulis berharap agar makalah ini dapat memberi
manfaat bagi siapapun yang membacanya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Siti Masitoh, M.H yang telah memberi
dukungan kepada penulis baik secara moral maupun materi. Tidak lupa juga
penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah yang penulis buat ini masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah-makalah yang akan penulis buat di masa yang akan
datang.

Samarinda, 2 September 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

PRAKATA...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................1
Latar Belakang..................................................................................................1
Rumusan Masalah.............................................................................................2
Tujuan...............................................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN..................................................................................................3
Sejarah Hukum Keluarga Pakistan...................................................................3
Ketentuan-Ketentuan Terkait Undang-Undang di Pakistan.............................8
BAB III..................................................................................................................18
PENUTUP......................................................................................................18
Kesimpulan.....................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Pakistan atau resminya disebut dengan Republik Islam
Pakistan adalah sebuah Negara di Asia Selatan berpenduduk 179, 2 juta
jiwa pada tahun 2012, sehingga merupakan Negara Muslim terbesar kedua
di dunia setelah Indonesia. Sebanyak 97 persen penduduknya beragama
Islam, selebihnya beragama Kristen, Hindu dan Parsian.
Pakistan merdeka dari penjajahan Inggris pada tanggal 14 Agustus
1947, sama dengan kemerdekaan India, dan semula terdiri atas dua bagian
yaitu Pakistan Barat dan Pakistan Timur. Pada tahun 1971 terjadi perang
saudara dan Pakistan Timur memisahkan diri menjadi Negara Bangladesh,
sehingga Pakistan sekarang adalah praktis Pakistan Barat dulu. Pakistan
berbatasan dengan India pada sebelah Timur, Iran pada sebelah Barat, dan
Afganistan serta Tajikistan pada sebelah Utara. Semula ibu kotanya adalah
Karachi kemudian dipindahkan ke Islamabad.
Salah satu fenomena yang muncul di dunia Muslim dalam abad 20
adalah adanya usaha pembaruan hukum keluarga (perkawinan, perceraian
dan warisan) di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, Turki
misalnya, melakukannya pada tahun 1917, Mesir 1920, Iran 1931, Syria
1953, Tunisia 1956, Pakistan 1961, dan Indonesia tahun 1974.1
Pakistan sejarah hukumnya hingga 14 Agustus 1947 berbagi
dengan India. Pada saat pembentukan-pembentukan negara ini pada
tanggal tersebut ia mewarisi dari negara induknya, India.2

1
Prof. Dr. H. M. Prof. Dr. H. M. Atho’ Muzdhar., Dr. Khairuddin Nasuti Atho’ Muzdhar.,
Dr. Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern. Hlm. 1
2
Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontemporer Oleh : Dr.
Asmawi, M.A

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah keluarga Islam di Pakistan ?
2. Bagaimana hukum keluarga Islam di Pakistan ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah keluarga islam di Pakistan.
2. Untuk mengetahui hukum keluarga islam di Pakistan.

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Sejarah Hukum Keluarga Pakistan


Penduduk Pakistan mayoritas beragama Islam dengan presentasi
Islam 97% (sebagian besar beraliran Sunni, sisanya beraliran Syiah dan
Ahmadiyyah), sisanya beragama Kristen, Hindu, dan lainnya. Bahasa yang
digunakan adalah urdu, sind, punjabi, pushtu, dan Inggris.3
Negara pakistan beridiri dan memisahkan diri dari India pada tahun
1947. Pemisahan ini terjadi akibat dari kecemasan warga muslim terhadap
dominasi warga Hindu. Pada saat itu India masih dijajah oleh Inggris,
sehingga menjadi santapan empuk untuk memecah belah warga India.
Sebagaimana dikatakan Ira Lapidus: Pihak Inggris berusaha menemukan
langkah kompromi –pidato Simon tahun 1930 mendukung sebuah
pemerintahan federal bagi India, Kertas Putih tahun 1932 menegaskan
wilayah pemilihan yang terpisah tetapi mencabut parlementer mayoritas
Muslim di Bengal dan Punjab, dan Perundangan Pemerintah India tahun
1935 yang memberi jaminan Inggris terhadap hak-hak minoritas tetapi
memperbesar monopoli yang menguntungkan pihak mayoritas Hindu
semuanya ditolak lantaran tidak sepadan dengan tuntutan sepihak atau bagi
pihak lain dan lantaran hal tersebut tidak dapat dibenarkan karena
beberapa rancangan tersebut memperkokoh kelangsungan pemerintahan
Inggris di India.4
Semasa masih berada di bawah jajahan Inggris, orang-orang Islam
di India itu telah memiliki sebuah UU tentang hukum keluarga yaitu UU
Penerapan Hukum Status Pribadi Muslim (Muslim Personal Law
Application Act) tahun 1937. Kecuali soal-soal yang terkait tanah dan
pertanian yang diatur secara hukum adat, UU tahun 1937 itu mengatur
mengenai persoalan-persoalan keluarga dan waris. UU kedua yang

3
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011, h. 47.
4
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, alih bahasa Ghufron A. Mas’adi, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2000, h. 291.

3
mengatur hukum keluarga bagi orang-orang Islam di India ialah UU
Perceraian Orang-orang Islam (Dissolution of Muslim Marriages Act)
tahun 1939 yang juga memberikan kedudukan hukum lebih baik kepada
perempuan dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk
mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan dengan alasan-alasan yang
dibenarkan.
Kiranya perlu dicatat bahwa dalam mazhab Hanâfiah yang dianut
oleh kebanyakan orang-orang Islam India, inisiatif perceraian tidak boleh
diambil oleh pihak isteri. Perlu juga dicatat bahwa untuk menyiasati
pendapat mazhab Hanâfi yang demikian itu maka dahulu sering terjadi
seorang perempuan muslimah menyatakan keluar dari agama Islam
dengan maksud hanya untuk memperoleh fasakh (bubarnya perkawinan
otomatis karena terjadinya perbedaan agama), meskipun setelah itu ia
menyatakan kembali masuk Islam. Itulah sebabnya dalam UU tahun 1939
itu terdapat Pasal 4 yang berusaha menutupnya dengan mengatur bahwa
“the renunciation of Islam by a married Muslim woman on her conversion
to a faith other than Islam shall not by itself operate to dissolve her
marriage” (Pernyataan keluar dari Islam oleh seorang perempuan Muslim
bersuami untuk menganut agama lain tidak dengan sendirinya berakibat
putusnya (bubarnya) perkawinannya atau fasakh). Para politisi Hindu
ketika itu menyetujui juga pasal itu sepanjang menyangkut perempuan
yang memang telah beragama Islam sebelum kawin, tetapi kalau
perempuan itu semula beragama Hindu dan kemudian masuk Islam untuk
kawin secara Islam, lalu setelah kawin ia keluar lagi dari Islam dan
kembali menjadi penganut agama Hindu maka pernyataan pindah
agamanya itu menyebabkan putusnya (bubarnya) perkawinan secara
fasakh. Aturan ini memang menarik, karena di dalam aturan tentang
hukum keluarga Islam itu ternyata terdapat juga tarik menarik antara
kelompok-kelompok Islam dan kelompok Hindu di India ketika itu.5
5
Martin Lau, “Sharia and National Law in Pakistan,” dalam Jan Michiel Otto (ed.),
Sharia Incorporated: A Comprehensive Overview of the Legal Systems of Tweleve Muslim
Countries in Past and Present, (Ttp.: Leiden University Press, 2010), h. 386-387.

4
Ketika MFLO diberlakukan pada tahun 1961 berarti Negara
Pakistan telah berumur 14 tahun.Selama periode itu (1947-1961) Pakistan
sibuk mempersiapkan naskah UUD nya (konstitusi). Pada tahun 1956
barulah Pakistan memiliki UUD yang pertama, setelah tiga buah
rancangan UUD sebelumnya ditolak pada tahun 1949, 1950, dan 1952.
Semangat dari UUD 1956 itu ialah bahwa semua hukum warisan zaman
penjajahan Inggris yang masih berlaku akan diganti dengan hukum baru
yang berdasarkan atau berorientasi kepada hukum Islam. Praktis UUD
1956 itu hanya dipersiapkan dalam dua tahun yaitu tahun 1953 dan 1954.
Penyiapan UUD pertama Pakistan itu memakan waktu demikian lama,
karena adanya perdebatan di kalangan elit Pakistan di sekitar persoalan
apakah Pakistan itu akan menjadi Negara sekuler bagi orang-orang Islam
di Pakistan ataukah menjadi Negara Islam. Sebagian kelompok non-
Muslim Pakistan beralasan bahwa Mohammad Ali Jinnah sendiri, pendiri
Pakistan yang meninggal dunia pada tanggal 11 September 1948,
berpendapat yang pertama. Dalam UUD 1956 itu pilihan telah diambil,
Pakistan adalah Negara Islam berbentuk republik dan presidennya harus
orang yang beragama Islam. UUD tahun 1956 itu ternyata tidak berlaku
lama, karena pada tanggal 7 Oktober 1956 dinyatakan tidak berlaku,
setelah terjadinya coup d’etat (kudeta) di bawah pimpinan Jendral Ayub
Khan yang sekaligus menjadi penguasa darurat militer (martial law)
sampai diberlakukannya UUD kedua yang diberlakukan pada tanggal 1
Maret 1962. Dengan demikian ketika MFLO diberlakukan pada tahun
1961, sesungguhnya Pakistan sedang berada pada masa transisi antara
UUD pertama dan kedua.6

Pakistan sejarah hukumnya hingga 14 Agustus 1947 berbagi


dengan India. Pada saat pembentukan negara ini pada tanggal tersebut, ia
mewarisi dari negara induknya, India, UU Hukum Keluarga, seperti
berikut ini:7

6
Martin Lau, “Sharia and National Law in Pakistan,” h. 389-392.

5
a. UU Penghapusan Ketidakcakapan Hukum Kasta Sosial Tahun
1850

b. UU Perceraian tahun 1869 dan UU Perkawinan Kristen Tahun


1872

c. UU Orang Dewasa Tahun 1875

d. UU Perwalian dan Orang yang di Bawah Perwalian Tahun 1890

e. UU Validasi Wakaf Tahun 1913-1930

f. UU Wakaf tahun 1923 (diamandemen di Propinsi Sind oleh UU


lokal, yakni UU No.18/1935)

g. UU Pencegahan Perkawinan Anak Kecil tahun 1929

h. UU Hukum Keluarga Islam (Syariah) Tahun 1937

i. UU Perceraian Islam Tahun 1939.

Pada tahun 1961, Komisi Nasional negara itu merekomendasikan


beragam masalah keluarga bagi penyempurnaan UU Hukum Keluarga
yang ada. Atas dasar rekomendasi yang dibuat Komisi itu, suatu ordinansi
yang dikenal sebagai Ordinansi Hukum Keluarga Islam disahkan pada
1961.8

Konsitusi pertama Republik Islam Pakistan yang telah diresmikan


pada tahun 1956 telah menetapkan bahwa tidak ada satu pun UU yang
bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam akan diberlakukan, dan UU
yang demikian harus ditinjau ulang dan direvisi agar sejalan dengan
ajaran-ajaran dasar Islam.

Konstitusi ini dicabut pada tahun 1958. Ketika Konstitusi 1956


dicabut Pemerintah Pakistan meresmikan Ordonansi Hukum Keluarga

7
Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontemporer Oleh : Dr.
Asmawi, M.A. Hlm. 22
8
Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga…Hlm. 23

6
Islam 1961- yang didasarkan pada rekomendasi yang disampaikan dalam
laporan Komisi Nasional tersebut.

Suatu konstitusi baru disahkan di Pakistan pada 1962, yang sekali


lagi memberi mandat/amanat kepada negara untuk tidak memberlakukan
UU yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam; dan Konstitusi
ini mengakomodasi kembali ajaran-ajaran dasar Islam seperti yang
terdapat dalam Konstitusi terdahulu. Bidang hukum Islam seperti
didefinisikan dalam UU Hukum Keluarga 1961 itu adalah lebih luas
dibanding yang ada di bawah UU Shariat 1937.

Pada 1964 UU Peradilan keluarga mengamanatkan pembentukan


peradilan keluarga di seluruh wilayah Pakistan, yang tugasnya
menyelesaikan perkara-perkara yang berkenaan dengan perselisihan
keluarga dan perkawinan. Konstitusi Pakistan yang baru, yang diumumkan
pada 1973, menyatakan bahwa semua UU yang ada harus disesuaikan
dengan ajaran-ajaran dasar Islam seperti ditetapkan al-Qur’an dan Sunnah
dan bahwa tidak satu pun UU yang diberlakukan bertentangan dengan
ajaran-ajaran dasar Islam tersebut.

Pada 1979 Pemerintah Pakistan memutuskan untuk kembali


menegakkan-di negeri itu-supremasi Syariah dalam semua bidang hukum.
Sepanjang 1980-1985, Konsitusi 1973 (sejak mengalami sejumlah
amandemen) diamandemen kembali, yakni berkenaan dengan perihal
norma-norma Syariah.

Dalam UU Hukum Keluarga yang berlaku di Pakistan yaitu the


Muslim Family Laws Ordinance,9 kita mendapatkan ketentuan-ketentuan
penting berikut ini :

a) ketentuan kewajiban pencatatan perkawinan

b) ketentuan keharusan adanya persetujuan lebih dahulu dari


Majelis Arbitrase bagi perkawinana bigami/poligami
9
Prof. Dr. H. M. Atho’ Muzdhar., Dr. Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia
Islam Modern. Hlm. 18

7
c) ketentuan keharusan pemberitahuan perceraian yang diberikan
kepada pegawai negeri sipil yang berkompeten membentuk Majelis
Arbitrase, dan ketentuan tidak efektifnya perceraian selama tiga ketentuan
tidak efektifnya perceraian selama tiga bulan

d) ketentuan hukuman bagi perbuatan melawan hukum tentang


maskawin dan pembatasan biaya dan hadiah perkawinan

e) pengenalan prinsip reperesentasi dalam hukum kewarisan bagi


kemaslahatan ahli waris, yakni ahli waris pengganti

f) ketentuan penanganan sengketa/perselisihan perkawinan oleh


pengadilan keluarga secara khusus

g) Pemberlakuan kembali hukum Islam yang ada atas akibat dari


peralihan hak  milik.10

B. Ketentuan-Ketentuan Terkait Undang-Undang di Pakistan


1. Poligami
Terkait poligami, MFLO 1961 mengatur bahwa seorang laki-laki
yang masih terikat dalam suatu ikatan perkawinan di larang melakukan
perkawinan lagi dengan perempuan lain, kecuali setelah mendapat izin
isterinya dan izin dari Dewan Arbitasi. Caranya, seorang suami yang
hendak kawin lagi dengan perempuan lain melaporkan keinginannya
itu kepada Dewan Arbitrasi dilengkapi dengan alasan-alasannya dan
dilampiri surat izin isteri serta membayar uang sejumlah tertentu.
Segera setelah surat permintaan izin dari pihak suami itu disampaikan
kemudian Dewan Arbitrasi meminta nama seorang wakil dari keluarga
suami dan seorang wakil dari keluarga isteri untuk duduk sebagai
anggota Dewan Arbitrasi. Jika Dewan Arbitrasi kemudian melihat
adanya alasan-alasan yang jelas, diperlukan dan adil, sehingga
menyetujui usul perkawinan tersebut maka izinpun diberikan. Barang
siapa yang melanggar ketentuan tersebut, yakni melakukan akad nikah
tanpa izin isteri dan Dewan Arbitrasi, diancam dengan hukuman
10
Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga…Hlm. 24- 25

8
kewajiban membayar secara sekaligus seluruh hutang mahar yang
belum terbayar, dan hukuman penjara paling lama satu tahun atau
denda paling banyak 5000 Rupee atau kedua-duanya.11
Sekedar sebagai ilustrasi bagaimana telitinya pengaturan
pembatasan poligami itu dilakukan beserta ancaman sanksinya, berikut
dikutipkan bunyi Section 6 dari MFLO 1961 sebagaimana diubah
dengan Ordinansi No. 21 dan No. 30 Tahun 1961: (1). No man, during
the subsistence of an existing marriage, shall, except with the previous
permission of in writing of the arbitration council, contract another
marriage, not shall any such marriage contracted without such
permission, be registered under this Ordinance. (2) An application for
permission under sub-section (1) shall be submitted to the chairman in
the prescribed manner together with prescribed fee, and shall state
reasons for the proposed marriage, and whether the consent of the
existing wife or wives has been obtained thereto. (3) On the receipt of
application under sub-section (2) the chairman shall ask the applicant
and his existing wife or wives each to nominate a representative, and
the arbitration council so instituted may, if satisfied that the proposed
marriage is necessary and just, grant, subject to such conditions as may
be deemed fit, the permission applied for. (4). In deciding the
application the arbitration council shall record its reasons for the
decision and any party may, in the prescribed manner, within the
prescribed period, and on payment of the prescribed fee, prefer an
application for revision, to the collector concerned and his decision
shall be final and shall not be called in question in any court. (5). Any
man who contracts another marriage without the permission of the
arbitration council shall: - (a) pay immediately the entire amount of the
dower whether prompt or deferred, due to the existing wife or wives,
which amount if not so paid, shall be recoverable as arrears of land

11
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h. 245-246.

9
revenue; and (b) on conviction upon complaint be punishable with
simple imprisonment which may axtend to one year, or with fine
which may extend to five thousand rupees, or with both.12
Terkait kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada isteri,
MFLO 1961 mengatur bahwa jika seorang suami gagal memberi
nafkah kepada isterinya, atau tidak adil dalam memberikan nafkah
kepada istri-istrinya jika lebih dari satu, maka istri dapat melaporkan
hal itu kepada Dewan Arbitrasi yang setelah mempelajarinya dengan
seksama dapat menerbitkan surat keterangan mengenai jumlah nafkah
yang harus diberikan suami kepada istrinya. Jika suami tidak mau
membayarnya sebesar yang disebutkan dalam surat keterangan tersebut
maka hal itu akan menjadi beban hutang atas suaminya sampai
dilunasinya. Jika suami atau istri ingin mengusulkan revisi atas jumlah
nafkah itu, mereka dapat melakukannya dengan memohon kepada
Dewan Arbitrasi, tetapi sekali putusan revisi itu telah dibuat oleh
Dewan Arbitrasi maka jumlah baru nafkah itu tidak boleh digugat lagi
di pengadilan manapun. Aturan ini nampak sangat memihak bagi
kepentingan istri, meskipun sebagian orang menilainya masih kurang
lengkap karena di dalamnya misalnya tidak disebutkan secara eksplisit
mengenai nafkah untuk anak, jumlah nafkah untuk masa sebelum
diterbitkannya surat keterangan dari Dewan Arbitrasi, batas minimum
nafkah, batas waktu pembayaran nafkah, dan jumlah nafkah dalam
masa iddah setelah perceraian. Menurut Rubia Mehdi, sesungguhnya
pengaturan seperti itu telah ada juga dalam Hukum Acara Pidana
Pakistan Section 448, hanya saja prosesnya harus melalui pengadilan
sehingga lebih rumit dan panjang. Adapun dalam MFLO penetapan
jumlah nafkah itu cukup dilakukan oleh Dewan Arbitrasi, sehingga
dapat lebih mudah dan lebih cepat prosesnya.13

12
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h. 245-246.
13
Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, h. 185-186.

10
Sebagai gambaran bagaimana hal itu diatur, di bawah ini
dikutipkan bunyi Section 9 MFLO tahun 1961 tersebut: (1). If any
husband fails to maintain his wife adequately, or where there are more
wives than one, fails to maintain them equitably the wife, or all or any
of the wives, may in addition to seeking any other legal remedy apply
to chairman who shall constitute an arbitration council to determine the
matter, and the arbitration council may issue a certificate specifying
the amount which shall be paid as maintenance by the husband. (2). A
husband or wife may, in the prescribed manner, within the prescribed
period, and on payment of prescribed fee, prefer an application for
revision of the certificate to the collector and his decision shall be final
and shall not be called in question in any court. (3). Any amount
payable under sub-section (1) or (2), if not paid in due time, shall be
recoverable as arrears of land revenue.14
2. Pencatatan Perkawinan
Mengenai pencatatan perkawinan MFLO mengaturnya melalui
Section 5 bahwa setiap peristiwa perkawinan harus dicatat oleh
petugas yang ditetapkan pemerintah. Jika perkawinan itu terjadi di luar
Pakistan maka satu lembar tembusan pencatatan itu disampaikan
kepada petugas pencatat nikah di wilayah di mana si pengantin
perempuan bertempat tinggal. Kelalaian mencatatkan perkawinan
diancam dengan hukuman penjara tiga bulan bagi pengantin laki-laki
dan/atau denda paling banyak 1000 Rupee, meskipun ada atau
tidaknya pencatatan perkawinan itu tidak mempengaruhi keabsahan
perkawinan tersebut secara agama Islam. Bagi sebagian ulama
konservatif pengaturan ini mengandung masalah. Bahwa pencatatan
perkawinan itu adalah sesuatu yang baik dilakukan memang dapat
dipahami oleh para ulama tersebut, karena dapat diqiyaskan dari ayat
Alquran yang mengatakan bahwa jika seseorang membuat transaksi

14
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h. 247.

11
besar seperti hutang-piutang hendaklah dicatatkan. Adapun masalah
yang dipersoalkan para ulama itu ialah bahwa kelalaian pentatatan
perkawinan itu kemudian menimbulkan sanksi hukuman penjara dan
atau denda, sehingga pencatatan perkawinan yang sesungguhnya hanya
merupakan siyâsah al-syariyyah itu kemudian menjadi wajib, sehingga
seperti sedang merubah hukum perkawinan Islam yang tidak
meletakkan pencatatan sebagai rukun nikah.15
Sesungguhnya perdebatan serupa juga terjadi ketika Indonesia
membahas draft UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Draft
awalnya mengatakan bahwa pencatatan perkawinan itu wajib dan
menjadi satu kesatuan dengan keabsahan perkawinan, tetapi kemudian
atas keberatan para ulama maka Pasal 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan akhirnya memisah kan pengaturannya menjadi dua butir
pengaturan di mana dalam pengaturan pertama disebutkan bahwa
keabsahan nikah itu ialah apabila dilaksanakan menurut agama dan
kepercayaannya, sedangkan dalam pengaturan kedua khusus mengenai
kewajiban pencatatannya, hanya saja tidak disertai sanksi jika tidak
dilakukan. Dalam kaitan ini sesungguhnya terdapat pula sebuah hadis
Nabi Muhammad Saw yang dapat ditafsirkan bagi pencatatan
perkawinan ini yaitu hadis yang mengatakan, “A’linû al-nikâh walau
bi syâtin (Umumkanlah perkawinan itu walaupun hanya dengan
(kenduri) memotong seekor kambing). Dalam riwayat lain hadis itu
berbunyi, “Aulim walau bi syâtin” (walimahkanlah atau rayakanlah
walau hanya dengan memotong seekor kambing). Dalam hal ini
kewajiban pencatatan perkawinan sesungguhnya dapat pula dipahami
sebagai salah satu bentuk pengumuman yang terstandarisasi atau
bahkan sebagai salah satu bentuk kesaksian.
3. Batas Usia Nikah
Mengenai berbagai hal terkait batas usia minimum kawin diatur
dalam UU No. 29 tahun 1929 tentang larangan pernikahan anak (Child

15
Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, h. 158-159.

12
Marriage Restraint Act) sebagaimana diamandemen oleh Ordonansi
No. 8 tahun 1961 (MFLO). Dalam UU itu didefinisikan bahwa anak
(child) adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun bagi laki-
laki dan di bawah 16 tahun bagi perempuan. Adapun perkawinan anak
(perkawinan di bawah umur) ialah perkawinan yang salah satu dari
pengantin laki-laki atau perempuan berusia anak-anak sebagaimana
didefinisikan tersebut. Kemudian “minor” didefinisikan sebagai
seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, yang berusia di bawah
18 tahun. Nampaknya UU ini membedakan antara “child” dan
“minor”.16
Selanjutnya MFLO mengatur bahwa seorang laki-laki berumur
lebih dari 18 tahun yang melakukan akad nikah dengan seorang
perempuan berumur di bawah 16 tahun, diancam dengan hukuman
penjara paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu
Rupee atau kedua-duanya, kecuali ia mempunyai bukti-bukti yang
meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya bukanlah
perkawinan di bawah umur (child marriage). Kemudian jika seseorang
dalam kategori “minor” (berumur kurang dari 18 tahun) melakukan
akad nikah dengan seorang di bawah umur, maka orang tua anak itu
atau walinya, yang mendorong terjadinya perkawinan itu, atau karena
kelalaian mereka, diancam dengan hukuman penjara paling lama satu
bulan, atau denda paling banyak seribu Rupee, atau kedua-duanya,
dengan pengecualian bahwa wanita tidak dihukum penjara. Jika
perkawinan anak itu dilangsungkan juga, padahal Pengadilan telah
memperingatkan para wali untuk tidak melangsungkan perkawinan itu,
baik atas inisiatif pengadilan sendiri ataupun atas pengaduan pihak-
pihak tertentu, maka para orang tua atau wali itu diancam dengan

16
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h. 243.

13
hukuman penjara paling lama tiga bulan atau denda 1000 Rupee atau
kedua-duanya.17
Untuk memperoleh gambaran bagaimana pengaturan dan ancaman
sanksi perkawinan di bawah umur itu dilakukan, berikut dikutipkan
Section 2, 4, 5, dan 6 dari Child Marriage Restraint Act tahun 1929
sebagaimana diubah dengan MFLO tahun 1961: 2. In this Act, unless
there is anything repugnant in the subject or context, - (a) “child”
means a person who, if a male, is under eighteen years of age, and if a
female, is under sixteen years of age; (b) “child marriage” means a
marriage to which either of the parties is a child; (c) “contracting
party” to a marriage means either of the parties whose marriage is
about to be thereby solemnized; (d) “minor” means a person of either
sex who is under eighteen years of age;… 4. Whoever, being a male
above eighteen years of age, contracts a child marriage shall be
punishable with simple imprisonment which may extend to one month,
or with fine which may extend to one thousand rupees, or with both. 5.
Whoever performs, conducts or directs any child marriage, shall be
punishable with simple imprisonment which may extend to one month,
or with fine which may extend to one thousand rupees, or with both,
unless he proves that he had reason to believe that the marriage was
not a child marriage. 6. (1). Where a minor contracts a child marriage,
any person having charge of the minor, whether as parent or guardian
or in any other capacity, lawful or unlawful, who does any act to
promote the marriage or permits it to be solemnized, or negligently
fails to prevent it from being solemnized, shall be punishable with
simple imprisonment which may extend to one month, or with fine
which may extend to one thousand rupees, or with both; provided that
no woman shall be punishable with imprisonment. (2) For the purpose
of this section, it shall be presumed, unless and until the contrary is

17
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h. 243-244.

14
proved, that where a minor has contracted a child marriage, the person
having charge of such minor has negligently failed to prevent the
marriage from being solemnized.18
Meskipun pelarangan perkawinan di bawah umur (child marriage)
itu telah diberlakukan sejak tahun 1929, problemnya masih
berlangsung hingga sekarang. Masalah ini terkait dengan sejumlah
masalah kemasyarakatan dan adat yang telah mengakar dalam
masyarakat, seperti adat barter perkawinan, adat kawin paksa atau adat
perkawinan yang sepenuhnya diatur oleh orang tua, adat penyerahan
perempuan dan anak-anak sebagai akibat dari konflik antar suku, dan
lain-lain. Meskipun Child Mariage Restraint Act tahun 1929 itu
memberikan ancaman hukuman baik kepada para pelaku ataupun
orang tua atau siapa saja yang mendorong terjadinya perkawinan anak,
tetapi perkawinannya itu sendiri tidak dibatalkan dan tetap dianggap
sah. Akibatnya perkawinan anak masih banyak terjadi dan pelaksanaan
hukuman cenderung sangat rendah sehingga tidak menimbulkan efek
jera kepada masyarakat.
4. Proses Perceraian
Di Pakistan, seorang suami masih dapat menjatuhkan talak secara
sepihak di luar pengadilan, tetapi segera setelah itu ia diwajibkan
melaporkannya kepada pejabat pencatat perceraian yang kemudian
akan membentuk Dewan Hakam (Arbitrasi) untuk menengahi dan
mendamaikan kembali pasangan suami istri dan mendamaikan kembali
pasangan suami istri itu. Jika setelah 90 hari usaha perdamaian itu
gagal maka talak itu berlaku berlaku.19
Seperti dikatakan sebelumnya, Pakistan masih mengakui
perceraian di luar  pengadilan, sesuai dengan MFLO Tahun 1961 pasal
7 ayat (1), “Seorang yang menceraikan istrinya, segera setelah ikrar

18
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h. 242-243.
19
Prof. Dr. H. M. Atho’ Prof. Dr. H. M. Atho’ Muzdhar., Dr. Khairuddin Nasution,
Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern. Hlm.213

15
talak harus membuat laporan tertulis kepada ketua „ Arbitratio
Arbitration Council n Council‟, dan satu copy dikrim ke istrinya”.
Pasal 7 (2),”Bagi seorang yang melanggar ayat (1) pasal ini dapat
dihukum dengan hukuman penjara 1 tahun atau denda 5.000 Rupee
atau kedua-duanya”.
Pakistan berdasarkan The Dissolution Of Muslim Marriage Act
1939, yang diperbarui tahun 1961, menunjukan bahwa seorang suami
yang ingin melakukan poligami dapat menjadi alasan perceraian.
MFLO Tahun 1961 pasal 2, “Seorang istri dapat minta cerai karena
…..(ii-a) karena suami nikah lagi dengan seorang wanita dengan cara
yang tidak sejalan dengan aturan MFLO, 1961.”
Sebagai tambahan, istri yang dimadu boleh minta cerai dengan
alasan suaminya tidak  dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Dalam
MFLO tahun 1961 pasal 2 (viii [f]), “Seorang istri dapat minta cerai
karena …… (viii [f]) suami yang poligami tidak berlaku adil terhadap
istri-istrinya.”
5. Mas Kawin dan Biaya Pernikahan
Terkait mahar dalam perkawinan, di Pakistan terdapat tradisi di
mana para orang tua calon mempelai perempuan berlomba-lomba
menetapkan jumlah mahar dan pemberian-pemberian lainnya di
seputar perkawinan yang amat tinggi nilainya sehingga dapat
memberatkan pihak keluarga laki-laki.
Itulah sebabnya telah dikeluarkan sebuah UU tersendiri yang
mengatur batas maksimum nilai mahar dan biaya perkawinan itu,
bukan batas minimumnya. UU itu disebut Dowry and Bridal Gift
(Restriction) Act tahun 1976 yang kemudian diamandemen dengan
Ordinance No. 36 tahun 1980. Dalam UU itu disebutkan bahwa selain
mahar yang wajib dalam setiap akad nikah, terdapat pemberian-
pemberian lain diseputar perkawinan, yaitu: 1. “Bridal gift”
(pemberian yang diperjanjikan) yang diberikan kepada calon pengantin
perempuan oleh pihak pengantin laki-laki atau orang tuanya sebelum,

16
pada saat, atau setelah akad nikah tetapi bukan mahar (maskawin); 2.
“Dowry” yaitu pemberian orang tua pengantin perempuan kepada anak
perempuan mereka yang hendak melangsungkan perkawinan tetapi
bukan bagian dari harta warisannya nanti; 3. ”Present” (hadiah) yaitu
pemberian-pemberian yang diberikan kepada keluarga pengantin laki-
laki atau perempuan berhubung dengan terjadinya suatu perkawinan.
UU itu mengatur bahwa jumlah atau nilai semua jenis pemberian yang
diperjanjikan tersebut di atas secara keseluruhan tidak boleh melebihi
5000 Rupee. Demikian juga pengaturan pembayarannya tidak boleh
melebihi masa enam bulan sebelum dan enam bulan sesudah terjadinya
akad nikah. Demikian juga diatur bahwa pemberian orang lain, baik
kepada pengantin laki-laki maupun perempuan, tidak boleh melebihi
nilai 100 Rupee. Kemudian khusus mengenai perkawinan pejabat
Negara dan pagawai negeri golongan tinggi atau anak mereka, diatur
bahwa mereka tidak boleh menerima pemberian hadiah berupa apapun
juga.20

20
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h. 248-250.

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum keluarga islam yang berlaku di Pakistan adalah The Muslim
Family Laws Ordinance Tahun 1961.

a) ketentuan kewajiban pencatatan perkawinan

b) Batas Usia nikah yaitu laki-laki 18 tahun dan perempuan 16 tahun

c) ketentuan keharusan adanya persetujuan lebih dahulu dari Majelis Arbitrase


bagi perkawinana bigami/poligami

d) ketentuan keharusan pemberitahuan perceraian yang diberikan kepada pegawai


negeri sipil yang berkompeten membentuk Majelis Arbitrase, dan ketentuan
tidak efektifnya perceraian selama tiga ketentuan tidak efektifnya perceraian
selama tiga bulan

e) ketentuan hukuman bagi perbuatan melawan hukum tentang.maskawin dan


pembatasa pembatasan biaya n biaya dan hadiah perkawinan

18
DAFTAR PUSTAKA

Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontemporer


Oleh : Dr. Asmawi, M.A.

Prof. Dr. H. M. Atho’ Muzdhar., Dr. Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di


Dunia Islam Modern.

Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, h. 185-186.

Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and


Comparative Analisis.

Martin Lau, “Sharia and National Law in Pakistan,” dalam Jan Michiel Otto (ed.),
Sharia Incorporated: A Comprehensive Overview of the Legal Systems of
Tweleve Muslim Countries in Past and Present, (Ttp.: Leiden University
Press, 2010).

Martin Lau, “Sharia and National Law in Pakistan,” h. 389-392.


Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2011.

Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, alih bahasa Ghufron A. Mas’adi,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogyakarta: Graha


Ilmu, 2011

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
Jakarta: UI Press, 1990.

Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta:


RajaGrafindo Persada, 2005.

19

Anda mungkin juga menyukai