Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

FIQIH MAWARIS

“AUL”

Dosen Pengampu :Syabul Bahri,M.HI

Disusun Oleh:

Abdul Majit (18240032)

Vida Rofika Miladiyah (18240035)

Dyah Qurrata’ain (18240036)

Sonya Intan Salsabella (18240038)

Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir

Fakultas Syariah

Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang

2020
Daftar Isi..............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................................................
B. Rumusan masalah..................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Dari Aul.............................................................

B. Latar Belakang Terjadinya Aul...................................................

C. Ketentuan Perhitungan Aul…………………………………………………

D. Pro Kontra Dalam Aul ........................................................................................

F. Ketentuan Pembagian Secara Aul ........................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................................

B. Daftar Pustaka.........................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

Dapat kita lihat bahwasannya islam adalah suatu agama yang sempurna dan
rahmatan lil alamin.Hal tersebut dapat kita butikan dengan banyaknya upayadan hasil
menuntasan dari berbagai hukum masalah yang menyangkut di dalam kehidupan
umatnya.Dan hal itu juga tercantum did lam kitab suci mereka yaki Al Quran dan juga
diperkuat oleh aamnya hadis-hadis.Diantara hukum-hukum yang diterangkan oleh Al
Quran di dalamnya,pembahasan kai ini akan membahas tentang salah satu tea hukum
yang ada di dalam Al Quran yakni Hukum Mawaris,yaitu sebuah hukum yang
membahasa tentang kepusakaan harta terhadap meningalnya seseorang.dalam Fiqih
mawaris banyak yang dibahsa ,mengenai tatacara mpembagian harta warisan yang
bertumpu pada ayat-ayat Al Quran.hal ini tak luput juga dengan salah sat tema yang
terdapat di dlamnya yakni tentang Aul .aul sendiri adalah suatu keadaan dimana harta
yang seharusnya dibagi sesuai dengan ketentuannya ,akan tetapi terdapat kelebihan
didalam harta tersebut.dalam pembagian Aul ini diharapkan semua ahi waris
mendapatkan pembagian yang sama rata sesusai pembagiannya.Disini ulama berijtihad
ahwasannya semua ashabul furud tidak merasakan kedholiman melainkan
keadilanterhadap harta waris tersebut.

RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksut dengan Aul ?


2. Bagaimana latar belakang terjadinya Aul ?
3. Bagaimana pembagian ketentuan Aul ?
4. Bagaimana pro dan kontra yang terjadi di Aul ?
5. Bagaimana ketentuan pembagian Aul ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN “AUL’’

Kata aul berasal dari bahasa arab yang artinya lebih tau
banyak1,sedangkan makna yang lain bermakna azh zhulm yang berarti (aniaya)
juga dinyatakan al jauru (kecurangan ).Kadang juga diartikan menjadi al irtifa
(naik).Ada banyak pendapat mengenai pengertian dari Aul ini ada yang
mengatakan Aul adalah pertambahan bilangan saham atau harta dari asal
masalah dengan adanya Ashabul Furud yang berhak mendapatkan bagian.Ada
juga yang menyebutkkan bahwa Aul adalah jumlah bilangan bagian lebih dari
asal masalah yang dibagi kepadanya kadar harta peninggalan.

Sayuti Thalib menyebutkan dalam bukunya bahwa kontks Aul tersebut


masuk dalam kategori “ketekoran”yakni suatu masalah yang dimasukkan
kedalam sisa biasanya dalam pelaksanaa hpembagian harta warisan terkadang
terjadi kekurangan harta peninggalan menurut jumlah bagian masing-masing
waris.

Adapun menurut terminologin Hukum Warisan ,Aul adalah menambah


angka asal masalah sesuai dengan bagian yang diterima oleh ahli waris.langkah
ini ditempuh ,karena apabila diselesaikan menutur ketentuan yang semestinya
,akan terjadi kekurangan harta.2

Jadi dapat di pahami dari beberapa pengetian yang telah dijelaskan


diatas,dapat diambil kesimpulan bahwa Aul adalah kurangnya harta warisan
dalam pembagian harta waris dimana setelah pembagian harta waris kepada
orang-orang yang berhak menerima(ashabul furud) yang menjadikan
bertambahnya jumlah saham/harta yang telah ditentukan dan berkurangnya
bagian-bagian ahli waris.

1
Muhammad rie ,Hukum Warisan Dalam Islam,PT Bina Ilmu,Surabaya,cet.pertama ,1986,hal.137.
2Muhammad Muhyidin ,Abdul Al Hamid,Ahkam Al Mawaris fi Syariat al islamiyyah,Dar Al Kitab Al
Araby,1404 H/1984,hal 165.
B. Latar Belakang Terjadinya Aul
Masalah Aul untuk petama kalinya terjadi pada masa kekhalifahan Umar
bin Khattab. Karena pada masa sebelumnya kemungkinan besar tidak didapati
peristiwa kematian dengan meninggalkan struktur kewarisan seperti yang
terdapat dalam masalah-masalah ‘aul. Atau bisa jadi karena pada masa-masa
tersebut tidak ada kasus yang menuntut penyelesaian secara ‘aul.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah
didatangi salah seorang sahabat yang menanyakan penyelesaian suatu masalah
“seseorang meninggal, meninggalkan waris-waris yang terdiri dari seorang
suami, dan dua orang saudara. Beliau kemudian bermusyawarah dengan Zaid
dan Abbas dengan perkataan:” Jika kumulai dengan memberikan kepada suami
atau kepada dua orang saudara perempuan, niscaya tidak ada hak yang sempurna
bagi yang lain.3
Pembagian waris diterima suami adalah 1/2, sedangkan bagian dua
saudara perempuan sekandung 2/3. Dengan demikian, berarti jumlah
pembilangnya melebihi jumlah pembaginya, karena hasilnya adalah 7/6. Kalau
dibagikan sesuai fardh mereka, harta warisan tidak akan cukup karena ada
kelebihan. Dalam permusyawaratan itu, kemudian Abbas mengatakan dengan:
lantas khalifah Umar kemudian memutuskan permasalahan tersebut dengan cara
meng’aulkan yang semula masih beliau ragukan. Para sahabat menyepakati
langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang ‘aul (sebagai keputusan yang
disepakati sebagian besar sahabat Nabi saw.
C. Pro kontra Aul
Kemunculan Aul adalah pada masa khalifah Umar Bin Khatab, yang
kemudian menjadi rujukan oleh kalangan sunni . sedangkan Ibnu Abbas
menolak akan teori ‘Aul tersebut , menurutnya tidak ada ‘Aul dalam kewarisan.
Mengenai Ibnu Abbas, Ibnu Abbas memiliki kedalaman pengetahuan dan
kedewasaannya melebihi usianya, sehingga khalifah Umar memberikan julukan
“ pemuda yang matang”.4 Yang mengikuti pendapat dari Ibnu Abbas meliputi
Syiah Imamiyah, Ja’fariyah dan madzhab Dzahiriyyah dengan argument bahwa

3
Wahidah, Buku Ajar Fiqh Waris (Yogyakarta: IAIN Antasari Press, 2014), h. 18-20
4
Yusida Fitriyati “ Kedudukan Ashabah Dalam Kasus ‘Aul Menurut Ibnu Abbas“Jurnal kajian syariah dan
Masyarakat Vol. 14 No. 2, 2014, ,hal. 6
sebuah kemustahilan jika Allah menentukan furudhul muqoddarah bagi para ahli
waris, tetapi hartanya tidak mencukupi dan ketentuan ahli waris sudah diatur
dalam Alquran.5
‘Aul yang terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab yakni ketika
beliau dihadapkan dengan kasus kewarisan antara suami dan dua saudari
perempuan, dan ada yang mengatakan kasus pertama adalah kewarisan suami
saudari kandung dan ibu.6 Pada saat itu Umar merasa ragu untuk memberikan
pendapat dan pada akhirnya memanggil para sahabat untuk bermusyawarah atas
permasalahan yang ada pada saat itu. Diantara sahabat yang mengikuti
musyawarah tresebut adalah Zaid bin Tsabit, Abbas ibnu Abdul Muthallib.

“Berikanlah aku petunjuk, sesungguhnya ketika aku mendahulukan suami


dan memberikan haknya secara utuh, maka dua saudari tidak dapat
menerima hak mereka secara utuh. Begitu pula jika aku mendahulukan
dua saudari dan memberikan bagian secara utuh, maka suami tidak dapat
menerima haknya”.

Setelah bermusyawarah dengan para sahabat beliau, maka mendapatkan


sebuah kebijakan dengan ‘aul. Yaitu membebankan pengurangan pembagian
kepada ahli waris secara merata tanpa mendahulukan atau mengakhirkan salah
satu ahli waris. Dalam contoh kasusnya adalah

Ahli waris Bagian Ahli Asal masalah 6 ‘Aul 7


waris
Suami 1/2 3/6 3/7
2 saudari 2/3 4/6 4/7

Jika harta yang ditinggalkan misalnya adalah Rp 56.000.000,00., maka


bagian suami adalah 3/7 x Rp 56.000.000,00 yaitu Rp. 24.000.000,00.
sementara bagian dua saudari adalah 4/7 x Rp. 56.000.000,00 yaitu Rp.
32.000.000,00. Menggunakan metode ‘aul seperti ini, maka tidk terdapat

5
Ibid, 8
6
Syabbul Bachri “Pro Kontra ‘Aul dalam Kewarisan Islam Studi komparatif Antara Pandangan Sunni dan
Syiah” Jurnal Hukum dan Syariah Vol. 10 No. 07, 2018, hal. 51
pengurangan harta akan tetapi seluruh bagian ahli waris terkurangi secara rata
sesuai dengan ketentuan fard masing – masing.
Adapun masalah yang memerlukan pemecahan dengan ;Aul dalam
kewarisan sunni ialah pada saat berikut :
Dalam kalangan sunni merumuskan beberapa kemungkinan secara aul
menggnakan istilah – istilah tertentu, diantaranya mubahalah, gharra’, ummu al-
furukh, ummu al aramil, mimbariyah dan lain sebagainya.7 Kemungkinan
tersebut diklasifikasikan berdasarkan asal masalah 6, 12 dan 24. Keadaan yang
menimbulkan ‘aul dalam asal masalah 6 antara lain:
• Asal masalah enam yang dinaikkan (‘aul) menjadi 7 yaitu apabila
ahliwaris terdiri dari suami dan dua saudari kandung.
• Asal masalah 6 yang dinaikkan menjadi 8 (dikenal dengan mubâhalah)
yaitu jika ahliwaris terdiri dari suami, saudari kandung dan ibu.
• Asal masalah 6 yang dinaikkan menjadi 9, misalnya permasalahan yang
dikenal dengan marwâniyah, ketika ahliwaris terdiri dari suami, dua
saudari seibu, dan dua saudari kandung. Contoh lain yaitu bila ahliwaris
terdiri dari suami, ibu, saudari kandung, saudari seayah dan saudari
seibu.
• Asal masalah 6 yang dinaikkan menjadi 10,misalnya kasus al-syarîhiyah
yaitu ahli waris yang terdiri dari Suami, ibu, dua saudari kandung, dan
dua saudari seibu. Contoh lain untuk kondisi ini yaitu ahli waris yang
terdiri dari suami, ibu, dua saudari seibu, satu saudari kandung dan
saudari seayah.8
Dalam kasus 12 tidak jauh berbeda dengan asal masalah 6, berbeda
dengan yang 24 hanya memiliki satu kedaan yang dapat diberlakukan secara ‘aul
yakni kasus al mimbariyah. Keadaan ini terdiri dari istri, 2 anak perempuan, ibu
dan ayah maka asal masalahnya dinaikkan menjadi 27.9
Dapat dipersingkat bahwasanya sunni memberlakukan kesamaan dalam
penyelesaian yaitu dengan menaikkan asal masalah atau penyebut untuk

7
Ibid, 53
8
Ibid, 54
9
Al-zuhayli,7824
mengurangi bagian ahli waris secara merata, Hal ini merupakan alasan Umar bin
Khattab dalam menyelesaikan dengan cara aul.
Adapun cara penyelesaian menurut Syiah yang menolak Aul, adalah
sebagai berikut :
Cara penyelesaiannya dengan mendahulukan sebagian ahli waris untuk
menerima bagian fardnya secara penuh sesuai dengan nash Al – quran dan
mengakhirkan salah satu ahli waris unuk menerima pengurangan tersebut. Syiah
melakukan hal tersebut melalui pengklasifikasian tingkat pada ahli waris yaitu 1,
2,dan 3. Ahli waris meliputi
Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3
Orang tua dan anak Kakek dan nenek, saudar/i Paman dan bibi baik dari
pihak kerabat laki – laki
atau perempuan
Keturunan anak Oran tua kakek/ nenek Keturunan paman/ bibi
seterusnya ke atas dan seterusnya ke bawah
keturunan saudar/i
Paman/Bibi dari orang tua
pewaris baik laki – laki /
perempuan
Keturunan ke bawah dari
paman dan Bibi dari orang
tua pewaris

Dapat kita ilustrasikan, jika dalam perhitungan sunni yang memiliki asal
masalah 3/6 kemudian dilakukan penambahan menjadi 3/7. Sedangkan di dalam
syiah pengurangan hanya berlaku pada anak perempuan, sedangkan yang lain
tetap mendapatkan bagian warisannnya sesuai fard.
D. Ketentuan Pembagian Harta Warisan Secara ‘Aul

Dalam pembagian warisan dengan cara ‘aul ketentuannya adalah dengan


menjadikan jumlah total bagian yang diterima ahli waris menjadi asal masalah
(AM), sedangkan asal masalah semula tidak digunakan lagi.10

Contoh kasus:

Aul (AM:6+1=7)
Ahli Waris AM=6
1 Suami 1/2 1/2 x 6 3
2 Saudara Perempuan 1/2 1/2 x 6 3
Kandung
3 Saudara Perempuan Seibu 1/6 1/6 x 6 1
Jumlah 7

Untuk memperjelas akan diperlihatkan perbedaan yang terjadi sebelum


penggunaan teori ‘aul dan sesudah penggunaan teori ‘aul. Dalam penghitungan
ini akan digunakan istilah seperti HP (harta peninggalan) yang merupakan harta
peninggalan mayit, serta penggunaan istilah AM (asal masalah) yang merupakan
kelipatan dari pembagi bagian ahli waris sebagai jalan menemukan bagian dari
setiap ahli waris. Dalam kasus di atas diasumsikan bahwa harta peninggalan
mayit adalah senilai Rp. 42.000.000,00. Perbedaan dari sebelum dan setelah
penggunaan teori ‘aul adalah:

a. Sebelum penggunaan teori ‘aul


HP: Rp 42.000.000,00= Rp 7.000.000,00
AM:6
Ahli Waris Bagian Yang Diterima
Suami 3 x Rp 7.000.000,00 Rp 21.000.000,00
Saudara Perempuan Kandung 3 x Rp 7.000.000,00 Rp 21.000.000,00
Saudara Perempuan Seibu 1 x Rp 7.000.000,00 Rp 7.000.000,00

10
Syuhada’ Syarkun, Menguasai Ilmu Fara’idh,(Jakarta Pusat: Pustaka Syarkun, Mei 2014), 79
Jumlah Rp 49.000.000,00

Dari pembagian ini kemudian ditemukan bahwa bagian yang harusnya


diterima oleh ahli waris tidak dapat dipraktekkan secara penuh sebab hasil
pembagian melebihi harta peninggalan mayit.
b. Setelah penggunaan teori ‘aul
HP: Rp 42.000.000,00= Rp 6.000.000,00
AM:7
Ahli Waris Bagian Yang Diterima
Suami 3 x Rp 6.000.000,00 Rp 18.000.000,00
Saudara Perempuan Kandung 3 x Rp 6.000.000,00 Rp 18.000.000,00
Saudara Perempuan Seibu 1 x Rp 6.000.000,00 Rp 6.000.000,00
Jumlah Rp 42.000.000,00

Dengan menggunakan teori ‘aul di atas maka pembagian harta warisan


menjadi sesuai dengan harta peninggalan dari mayit.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Harta warisan bukan merupakan hak siapapun setelah ditinggalkan
oleh pemiliknya yang sebenarnya juga tidak benar-benar memiliki harta
tersebut, harta warisan tersebut akhirnya harus dibagi sesuai dengan aturan
pemilik yang sebenarnya. Namun, dalam beberapa kasus terdapat harta
warisan yang tidak dapat diberikan sebab bagian yang dimiliki oleh ahli
waris ashabu al-furudh berlebih sehingga salah satu penerima bagian pasti
tidak dapat menerima warisan, maka dalam keadaan demikian ‘aul adalah
salah satu cara yang dapat ditempuh agar setiap ahli waris dapat menerima
bagian hartanya.
Dalam pembagian melalui cara ‘aul memang terdapat pro dan kontra,
di mana kalangan Sunni lebih mengikuti pendapat Umar bin Khattab yang
menggunakan ‘aul di mana semua ahli waris menerima pengurangan secara
merata, sedangkan kalangan Syiah lebih mengikuti pendapat Ibnu Abbas
yang tidak setuju dengan adanya teori ‘aul dengan argumentasi bahwa Allah
tidak mungkin melakukan pembagian harta sedangkan harta tersebut sendiri
tidak cukup untuk dibagi. Golongan Syiah dibanding melakukan teori ‘aul
lebih memilih untuk mengklasifikasikan tingkat ahli waris di mana nantinya
pengurangan harta warisan akan dilakukan pada tingkat yang paling bawah.
Dalam penggunaan teori ‘aul sendiri setidaknya adalah dengan
menjadikan bagian dari setiap ahli waris menjadi asal masalah dalam
pembagian harta. Setelah bagian dijadikan asal masalah harta peninggalan
(HP) dibagi dengan asal masalah yang baru tersebut baru kemudian dikali
dengan bagian yang diterima oleh ahli waris.
DAFTAR PUSTAKA

Bachri, Syabbul. 2018.“Pro Kontra ‘Aul dalam Kewarisan Islam Studi


komparatif Antara Pandangan Sunni dan Syiah” Jurnal Hukum dan Syariah Vol.
10 No. 07
Wahidah, Hj. 2014. “Buku Ajar Fikih Waris”Cet I. Yogyakarta: IAIN
ANTASARI PRESS
Fitriya, Yusida. 2014. “ Kedudukan Ashabah Dalam Kasus ‘Aul
Menurut Ibnu Abbas“ Jurnal kajian syariah dan Masyarakat Vol. 14 No. 2
Rie, Muhammad. 1986. Hukum Warisan Dalam Islam. Surabaya: PT
Bina Ilmu.
Syarkun, Syuhada’. 2014. Menguasai Ilmu Fara’idh. Jakarta Pusat:
Pustaka Syarkun

Anda mungkin juga menyukai