FIQIH MAWARIS
“AUL”
Disusun Oleh:
Fakultas Syariah
2020
Daftar Isi..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................................
B. Rumusan masalah..................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan..............................................................................................
B. Daftar Pustaka.........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Dapat kita lihat bahwasannya islam adalah suatu agama yang sempurna dan
rahmatan lil alamin.Hal tersebut dapat kita butikan dengan banyaknya upayadan hasil
menuntasan dari berbagai hukum masalah yang menyangkut di dalam kehidupan
umatnya.Dan hal itu juga tercantum did lam kitab suci mereka yaki Al Quran dan juga
diperkuat oleh aamnya hadis-hadis.Diantara hukum-hukum yang diterangkan oleh Al
Quran di dalamnya,pembahasan kai ini akan membahas tentang salah satu tea hukum
yang ada di dalam Al Quran yakni Hukum Mawaris,yaitu sebuah hukum yang
membahasa tentang kepusakaan harta terhadap meningalnya seseorang.dalam Fiqih
mawaris banyak yang dibahsa ,mengenai tatacara mpembagian harta warisan yang
bertumpu pada ayat-ayat Al Quran.hal ini tak luput juga dengan salah sat tema yang
terdapat di dlamnya yakni tentang Aul .aul sendiri adalah suatu keadaan dimana harta
yang seharusnya dibagi sesuai dengan ketentuannya ,akan tetapi terdapat kelebihan
didalam harta tersebut.dalam pembagian Aul ini diharapkan semua ahi waris
mendapatkan pembagian yang sama rata sesusai pembagiannya.Disini ulama berijtihad
ahwasannya semua ashabul furud tidak merasakan kedholiman melainkan
keadilanterhadap harta waris tersebut.
RUMUSAN MASALAH
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN “AUL’’
Kata aul berasal dari bahasa arab yang artinya lebih tau
banyak1,sedangkan makna yang lain bermakna azh zhulm yang berarti (aniaya)
juga dinyatakan al jauru (kecurangan ).Kadang juga diartikan menjadi al irtifa
(naik).Ada banyak pendapat mengenai pengertian dari Aul ini ada yang
mengatakan Aul adalah pertambahan bilangan saham atau harta dari asal
masalah dengan adanya Ashabul Furud yang berhak mendapatkan bagian.Ada
juga yang menyebutkkan bahwa Aul adalah jumlah bilangan bagian lebih dari
asal masalah yang dibagi kepadanya kadar harta peninggalan.
1
Muhammad rie ,Hukum Warisan Dalam Islam,PT Bina Ilmu,Surabaya,cet.pertama ,1986,hal.137.
2Muhammad Muhyidin ,Abdul Al Hamid,Ahkam Al Mawaris fi Syariat al islamiyyah,Dar Al Kitab Al
Araby,1404 H/1984,hal 165.
B. Latar Belakang Terjadinya Aul
Masalah Aul untuk petama kalinya terjadi pada masa kekhalifahan Umar
bin Khattab. Karena pada masa sebelumnya kemungkinan besar tidak didapati
peristiwa kematian dengan meninggalkan struktur kewarisan seperti yang
terdapat dalam masalah-masalah ‘aul. Atau bisa jadi karena pada masa-masa
tersebut tidak ada kasus yang menuntut penyelesaian secara ‘aul.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah
didatangi salah seorang sahabat yang menanyakan penyelesaian suatu masalah
“seseorang meninggal, meninggalkan waris-waris yang terdiri dari seorang
suami, dan dua orang saudara. Beliau kemudian bermusyawarah dengan Zaid
dan Abbas dengan perkataan:” Jika kumulai dengan memberikan kepada suami
atau kepada dua orang saudara perempuan, niscaya tidak ada hak yang sempurna
bagi yang lain.3
Pembagian waris diterima suami adalah 1/2, sedangkan bagian dua
saudara perempuan sekandung 2/3. Dengan demikian, berarti jumlah
pembilangnya melebihi jumlah pembaginya, karena hasilnya adalah 7/6. Kalau
dibagikan sesuai fardh mereka, harta warisan tidak akan cukup karena ada
kelebihan. Dalam permusyawaratan itu, kemudian Abbas mengatakan dengan:
lantas khalifah Umar kemudian memutuskan permasalahan tersebut dengan cara
meng’aulkan yang semula masih beliau ragukan. Para sahabat menyepakati
langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang ‘aul (sebagai keputusan yang
disepakati sebagian besar sahabat Nabi saw.
C. Pro kontra Aul
Kemunculan Aul adalah pada masa khalifah Umar Bin Khatab, yang
kemudian menjadi rujukan oleh kalangan sunni . sedangkan Ibnu Abbas
menolak akan teori ‘Aul tersebut , menurutnya tidak ada ‘Aul dalam kewarisan.
Mengenai Ibnu Abbas, Ibnu Abbas memiliki kedalaman pengetahuan dan
kedewasaannya melebihi usianya, sehingga khalifah Umar memberikan julukan
“ pemuda yang matang”.4 Yang mengikuti pendapat dari Ibnu Abbas meliputi
Syiah Imamiyah, Ja’fariyah dan madzhab Dzahiriyyah dengan argument bahwa
3
Wahidah, Buku Ajar Fiqh Waris (Yogyakarta: IAIN Antasari Press, 2014), h. 18-20
4
Yusida Fitriyati “ Kedudukan Ashabah Dalam Kasus ‘Aul Menurut Ibnu Abbas“Jurnal kajian syariah dan
Masyarakat Vol. 14 No. 2, 2014, ,hal. 6
sebuah kemustahilan jika Allah menentukan furudhul muqoddarah bagi para ahli
waris, tetapi hartanya tidak mencukupi dan ketentuan ahli waris sudah diatur
dalam Alquran.5
‘Aul yang terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab yakni ketika
beliau dihadapkan dengan kasus kewarisan antara suami dan dua saudari
perempuan, dan ada yang mengatakan kasus pertama adalah kewarisan suami
saudari kandung dan ibu.6 Pada saat itu Umar merasa ragu untuk memberikan
pendapat dan pada akhirnya memanggil para sahabat untuk bermusyawarah atas
permasalahan yang ada pada saat itu. Diantara sahabat yang mengikuti
musyawarah tresebut adalah Zaid bin Tsabit, Abbas ibnu Abdul Muthallib.
5
Ibid, 8
6
Syabbul Bachri “Pro Kontra ‘Aul dalam Kewarisan Islam Studi komparatif Antara Pandangan Sunni dan
Syiah” Jurnal Hukum dan Syariah Vol. 10 No. 07, 2018, hal. 51
pengurangan harta akan tetapi seluruh bagian ahli waris terkurangi secara rata
sesuai dengan ketentuan fard masing – masing.
Adapun masalah yang memerlukan pemecahan dengan ;Aul dalam
kewarisan sunni ialah pada saat berikut :
Dalam kalangan sunni merumuskan beberapa kemungkinan secara aul
menggnakan istilah – istilah tertentu, diantaranya mubahalah, gharra’, ummu al-
furukh, ummu al aramil, mimbariyah dan lain sebagainya.7 Kemungkinan
tersebut diklasifikasikan berdasarkan asal masalah 6, 12 dan 24. Keadaan yang
menimbulkan ‘aul dalam asal masalah 6 antara lain:
• Asal masalah enam yang dinaikkan (‘aul) menjadi 7 yaitu apabila
ahliwaris terdiri dari suami dan dua saudari kandung.
• Asal masalah 6 yang dinaikkan menjadi 8 (dikenal dengan mubâhalah)
yaitu jika ahliwaris terdiri dari suami, saudari kandung dan ibu.
• Asal masalah 6 yang dinaikkan menjadi 9, misalnya permasalahan yang
dikenal dengan marwâniyah, ketika ahliwaris terdiri dari suami, dua
saudari seibu, dan dua saudari kandung. Contoh lain yaitu bila ahliwaris
terdiri dari suami, ibu, saudari kandung, saudari seayah dan saudari
seibu.
• Asal masalah 6 yang dinaikkan menjadi 10,misalnya kasus al-syarîhiyah
yaitu ahli waris yang terdiri dari Suami, ibu, dua saudari kandung, dan
dua saudari seibu. Contoh lain untuk kondisi ini yaitu ahli waris yang
terdiri dari suami, ibu, dua saudari seibu, satu saudari kandung dan
saudari seayah.8
Dalam kasus 12 tidak jauh berbeda dengan asal masalah 6, berbeda
dengan yang 24 hanya memiliki satu kedaan yang dapat diberlakukan secara ‘aul
yakni kasus al mimbariyah. Keadaan ini terdiri dari istri, 2 anak perempuan, ibu
dan ayah maka asal masalahnya dinaikkan menjadi 27.9
Dapat dipersingkat bahwasanya sunni memberlakukan kesamaan dalam
penyelesaian yaitu dengan menaikkan asal masalah atau penyebut untuk
7
Ibid, 53
8
Ibid, 54
9
Al-zuhayli,7824
mengurangi bagian ahli waris secara merata, Hal ini merupakan alasan Umar bin
Khattab dalam menyelesaikan dengan cara aul.
Adapun cara penyelesaian menurut Syiah yang menolak Aul, adalah
sebagai berikut :
Cara penyelesaiannya dengan mendahulukan sebagian ahli waris untuk
menerima bagian fardnya secara penuh sesuai dengan nash Al – quran dan
mengakhirkan salah satu ahli waris unuk menerima pengurangan tersebut. Syiah
melakukan hal tersebut melalui pengklasifikasian tingkat pada ahli waris yaitu 1,
2,dan 3. Ahli waris meliputi
Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3
Orang tua dan anak Kakek dan nenek, saudar/i Paman dan bibi baik dari
pihak kerabat laki – laki
atau perempuan
Keturunan anak Oran tua kakek/ nenek Keturunan paman/ bibi
seterusnya ke atas dan seterusnya ke bawah
keturunan saudar/i
Paman/Bibi dari orang tua
pewaris baik laki – laki /
perempuan
Keturunan ke bawah dari
paman dan Bibi dari orang
tua pewaris
Dapat kita ilustrasikan, jika dalam perhitungan sunni yang memiliki asal
masalah 3/6 kemudian dilakukan penambahan menjadi 3/7. Sedangkan di dalam
syiah pengurangan hanya berlaku pada anak perempuan, sedangkan yang lain
tetap mendapatkan bagian warisannnya sesuai fard.
D. Ketentuan Pembagian Harta Warisan Secara ‘Aul
Contoh kasus:
Aul (AM:6+1=7)
Ahli Waris AM=6
1 Suami 1/2 1/2 x 6 3
2 Saudara Perempuan 1/2 1/2 x 6 3
Kandung
3 Saudara Perempuan Seibu 1/6 1/6 x 6 1
Jumlah 7
10
Syuhada’ Syarkun, Menguasai Ilmu Fara’idh,(Jakarta Pusat: Pustaka Syarkun, Mei 2014), 79
Jumlah Rp 49.000.000,00