Anda di halaman 1dari 159

SKRIPSI

PELAKSANAAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA

EKSPLOITASI SEKSUAL TERHADAP ANAK

(Studi di Kepolisian Daerah Sumatera Barat)

PROGRAM KEKHUSUSAN: SISTEM PERADILAN PIDANA (PK V)

Disusun Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Pembimbing I : Dr. Fadillah Sabri, SH.MH.


Pembimbing II : Riki Afrizal, SH,MH

OLEH:

ILHAM PRATAMA

1310111268

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2019

No. Reg. 78/PK-V/II/2019


LEMBAR PENGESAHAN
No. Reg. 78/PK-V/II/2019
PELAKSANAAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA EKSPLOITASI
SEKSUAL TERHADAP ANAK
(Studi di Kepolisian Daerah Sumatera Barat)

Disusun oleh:

ILHAM PRATAMA
1310111268

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji


Pada tanggal 29 Juli 2019
Yang bersangkutan di nyatakan LULUS oleh Tim Penguji
Yang terdiri dari:

Dekan Wakil Dekan I

Dr. Busyra Azheri, S.H., M.H. Dr. Ferdi, S.H., M.H.


NIP. 196911181994031002 NIP. 196807231993021001

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Fadillah Sabri, S.H., M.H. Riki Afrizal, SH., MH


NIP. 195901111986031002 NIP. 198509162014041001

Penguji I Penguji II

Nelwitis, SH., MH Yandriza, SH., MH


NIP. 195906111986032001 NIP. 196112311986032004

i
PELAKSANAAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA EKSPLOITASI
SEKSUAL TERHADAP ANAK
(Studi di Kepolisian Daerah Sumatera Barat)
ILHAM PRATAMA.1310111268.Fakultas Hukum Universitas Andalas.
PK V( Sitem Peradilan Pidana.149 Halaman. Tahun 2019
ABSTRAK
Masalah yang dihadapi dewasa ini adalah masih maraknya kejahatan
terhadap anak dijadikan sebagai sasaran predator seksual. Dimana anak menjadi
korban tindak pidana eksploitasi seksual. Mengingat bahwa kegiatan eksploitasi
seksual melibatkan anak merupakan suatu perbuatan melanggar hukum maka
menjadi kewajiban Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui jajaran di
bawahnya untuk menangani masalah ini, yaitu dengan semaksimal mungkin
menekan angka kriminalitas atau tindak pidana yang mengganggu keamanan dan
ketertiban masyarakat. Sehingga perlunya Pelaksanaan penyidikan tindak pidana
eksploitasi seksual terhadap anak. Permasalahan dalam skripsi ini adalah,
1)Bagaimana pelaksanaan penyidikan tindak pidana eksploitasi seksual terhadap
anak oleh penyidik Direktorat Reserce Kriminal Umum Kepolisian Daerah
Sumatera Barat? 2)Apa saja kendala dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana
eksploitasi seksual terhadap anak oleh penyidik Direktorat Reserce Kriminal
Umum Kepolisian Daerah Sumatera Barat? 3)Bagaimana upaya penyidik
Direktorat Reserce Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sumatera Barat dalam
mengatasi kendala-kendala terkait dengan pelaksanaan penyidikan tindak pidana
eksploitasi seksual terhadap anak?.Penelitian ini dilakukan di lingkungan
Direktorat Reserce Kriminal Umum khususnya unit Perlindungan Perempuan dan
Anak Kepolisian Daerah Sumatera Barat. Penelitian dilakukan di lingkungan
dengan pendekatan masalah yuridis sosiologis. Jenis data yang digunakan adalah
data yang di dapat langsung di lapangan dari hasil penelitian dan data yang
diperoleh dari informasi-informasi dari bahan studi kepustakaan. Adapun Proses
penyidikan yang dilakukan dalam menangani tindak pidana eksploitasi seksual
anak yang terjadi penyidik Ditreskrimum Polda Sumbar khususnya unit PPA
Polda Sumbar melalui beberapa tahap yaitu laporan polisi, proses penyidikan
(pemanggilan, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan), proses
pemeriksaan (tersangka, saksi), penyelesaian berkas perkara, penyerahan berkas
perkara ke Jaksa Penuntut Umum.Hasil penelitian menunjukkan masih banyak
kasus belum terungkap dikarenakan sulitnya pengungkapan jaringan eksploitasi
seksual disebabkan beberapa faktor. Adapun kendala pelaksanaan penyidikan
adalah Biaya operasional yang tersedia kurangnya dana sarana
prasarana,sulitnyapenangkapan pelaku, kemajuan teknologi dan Kurangnya
aktifnya korban,pengumpulan saksi sulit kurangnya kesadaran masyarakat, tingkat
pengangguran yang tinggi. Adapun upaya penanggulangan kendala pelaksanaan
penyidikan adalah meningkatkan anggaran dana, melakukan pendekatan terhadap
masyarakat, melakukan razia sosialisasi tentang dampak buruk kemajuan
teknologi.

i
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatu

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha

penyayang. Puji dan syukur ke hadirat-NYA yang telah melimpahkan segala

rahmat dan karunia nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ilmiah

ini dengan baik. Shalawat beriringan salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW,

pemimpin tiada tanding, suri tauladan umat islam sedunia.

Penulisan ilmiah ini berjudul “PELAKSANAAN PENYIDIKAN

TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL TERHADAP ANAK

(Studi di Kepolisian Daerah Sumatera Barat)” yang dibuat sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Andalas.

Rasa syukur dan terima kasih yang sangat besar untuk orang terhebat di

hidupku, selalu memberikan semangat dan dukungan moril maupun materil, doa

dan kasih sayang luar biasa indahnya. Terimakasih kepada Ayahanda Herman

dan Ibunda Masdaniyah, serta adik-adikku Yogi Kurniawan dan Nurul Helmi dan

yang tersayang Iryad Khairi.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga

kepada Bapak Dr. Fadillah Sabri, SH.MH. selaku pembimbing I dan Riki Afrizal,

SH,MHselaku pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktunya untuk

memberikan masukan, bimbingan, dan pengarahan bermanfaat kepada penulis.

ii
Selanjutnya penulis juga menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Busyra Azheri, S.H, M.H selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Andalas

2. Bapak Dr. Ferdi, S.H, M.H, selaku Wakil Dekan I, Bapak Rembrandt S.H,

M.Pd, selaku Wakil Dekan II, dan Bapak Lery Pattra, S.H, M.H, selaku

Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Andalas

3. Bapak Dr. Fadillah Sabri, SH.MH.selaku Ketua Bagian Hukum Pidana

Universitas Andalas dan Riki Afrizal, S.H, M.Hselaku Sekretaris Bagian

Hukum Pidana Universitas Andalas

4. Bapak / Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas pada umumnya

dan Bagian Hukum Pidana khususnya, serta seluruh Staf Biro dan

Karyawan-karyawati Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Andalas

umumnya, kepada Bapak Ucok selaku Pegawai Bagian Hukum Pidana

Universitas Andalas yang telah banyak memberikan bantuan sehingga

penulis dapat menyelesaikan segala urusan yang berkaitan dengan skripsi

ini, semoga Allah SWT membalas dengan limpahan rahmat dan pahala.

Amin

5. Bapak Irjen Pol. Fachrizal, M.Hum. selaku Kapolda Sumatera Barat,

Bapak Kombes Pol Erdi Adrimurlan Chaniago selaku Direktur Reserce

Kriminal Umum Polda Sumbar dan Ibu AKP Zulfastri selaku Kanit PPA

Polda Sumbar sebagai narasumber pada penelitian ini

6. Setiap anggota Kepolisian pada bagian Ditreskrimum Polda Sumbar

khususnya Bapak/ Ibu yang bertugas di unit PPA Polda Sumbar yang

senantiasa memberikan bantuan kepada penulis.

iii
7. Keluarga BesarUnit Kegiatan Mahasiswa Koperasi Mahasiswa Universitas

Andalas

8. Keluarga Besar KKN Desa Talago Gunung Kota Sawahlunto

9. Seluruh Almamater Angkatan 2013 Fakultas Hukum Universitas Andalas

10. Kawan-kawan yang selalu memberikan semangat dan seluruh pihak yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam

pembuatan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini sangat jauh dari kata

sempurna baik dari segi materi, bahasa, maupun penyajian dalam skripsi

ini, sehingga penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik demi

kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini

bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan kedepannya.

Padang, Juli 2019

Penulis

Ilham Pratama

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK…………………………………………………………………………i

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….ii

DAFTAR ISI………………………………………………………………………v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………..1

B. Rumusan Masalah………………………………………………………...8

C. Tujuan Penelitian………………………………………………………....9

D. Manfaat Penelitian……………………………………………………….10

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual….…………………………………...10

F. Metode Penelitian………………………………………………………..15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyelidikan dan Penyidikan oleh Polri………...………………….........20

B. Tindak Pidana dan Tindak Pidana Eksploitasi Seksual

1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana……………………………….53

2. Jenis- jenis tindak pidana………………………………………….…58

3. Eksploitasi Seksual……………………………………………...…..62

C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Eksploitasi Seksual………………..……65

D. Modus dan Operandi Tindak Pidana Eksploitasi Seksual………………97

v
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Eksploitasi Seksual

Terhadap Anak oleh di Ditreskrimum Polda Sumbar………..................101

B. Kendala Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Tindak Pidana

Eksploitasi Seksual Terhadap Anak Oleh

Ditreskrimum Polda Sumbar....…………………….…………..……….139

C. Upaya Penyidik Direktorat Reserce Kriminal Umum Polda Sumbar

Dalam Mengatasi Kendala-kendala Terkait Dengan Pelaksanaan

Penyidikan Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Terhadap Anak………..143

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………..………147

B. Saran…………………………………………………………………....149

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan yang dilarang oleh

undang-undang yang menyebabkan di tetapkannya sanksi hukum berupa

penderitaan (nestapa) bagi orang yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur

perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana.Dilahirkannya

serangkaian aturan tersebut semata-mata berfungsi sebagai salah satu alat kontrol

sosial di tengah masyarakat agar tidak terjadi perilaku menyimpang di luar dari

ketentuan hukum positif dengan kata lain tindak pidana. Sehingga terciptanya

keamanan hak yang melekat pada diri dan harta benda bagi tiap-tiap masyarakat

oleh negara.Tindak Pidana yaitu suatu pelanggaran norma-norma yang oleh

pembentuk undang-undang dengan di tanggapi dengan suatu hukuman pidana.

Makasifat-sifat yang ada disetiap tindak pidana adalah sifat melanggar hukum,

tidak ada suatu tindak pidana tanpa adanya sifat melawan hukum.1

Hal yang memprihatinkan dari suatu tindak pidana ialah makin marak

kejahatan seksual tidak hanya menimpa perempuan dewasa, tapi juga menimpa

anak-anak di bawah umur, anak-anak perempuan ini sebagai objek komoditas

(perdagangan) dan pemuas nafsu bejat(aminalistic) dari seorang dan kelompok

tertentu yang menjalan bisnis seksual guna keuntungan ekonomi berlipat ganda. 2

1
Winjono prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Cetakan kedua,
Refika ditama, Bandung, 2003, hlm. 1
2
Abdul Wahid dan Muhammad irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual, Bandung: Refika Aditama, hlm. 7-8

1
Anak adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang mana mereka perlu

dilindungi harkat dan martabatnya serta dijamin hak-haknya untuk tumbuh dan

berkembang sesuai dengan kodratnya. Anak sebagai generasi bangsa selayaknya

mendapatkan hak-hak dan kebutuhan-kebutuhan secaramemadai. Sebaliknya,

mereka bukanlah objek (sasaran) tindakan kesewenang-wenangan dan perlakuan

yang tidak manusiawi dari siapa pun atau pihak manapun. Anak yang mulai

rentan terhadap tindakan kekerasan dan penganiayaan, seharusnya di rawat,

diasuh dididik dengan sebaik-baiknya agar mereka tumbuh dan berkembang

secara sehat dan wajar. Hal ini tentu saja perlu dilakukan kelak dikemudian hari

tidak terjadi generasi yang hilang (lost generation).3

Anak berhak mendapatkan pemeliharaan dan bantuan khusus keluarga

sebagai lingkungan alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraannya. Anak-anak

hendakya diberi perlindungan dan bantuan yang diperlukan, sehingga mampu

mengemban tanggungjawab dalam masyarakat. Anak hendaknya diperlakukan

dengan baik dalam lingkungan keluarga yang bahagia, penuh kasih sayang dan

pengertian. Anak harus dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan pribadi dalam

masyarakat dan dibesarkan dalam suasana perdamaian, tenggangrasa dan

kemerdekaan.4

Perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak merupakan salah satu sisi

pendekatan untuk melindungi anak-anak di Indonesia. Agar perlindungan hak-hak

anak dapat dilakukan secara teratur, tertib dan bertanggung jawab maka

diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan perkembangan masyarakat

3
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Nusantara, Bandung, 2006, hlm. 18
4
Darwan Prints, Hukum Anak Indonsia, PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 103-104.

2
Indonesia.Diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan perkembangan

masyarakat Indonesia.5

Masalah yang dihadapi dewasa ini adalah masih maraknya kejahatan

terhadap anak dimana anak dijadikan sasaran predator seksual. Data yang dirilis

oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2011-2016 terdapat

1.306 anak menjadi korban trafficking dan eksploitasi. Sedangkan 1.709 anak

tersangkut dengan masalah pornografi dan cyber

crime.Kasus trafficking(perdagangan manusia) dan eksploitasi terdiri dari korban

perdagangan, korban prostitusi online, korban eksploitasi seks komersial

dan korban pekerja anak. Sedangkan kasus pornografi dan cyber crime terdiri dari

korban kejahatan seksual online, pelaku kejahatan seksual online, korban

pornografi dari media sosial dan pelaku kepemilikan media pornografi.6

Kemudian berdasarkan hasil pendataan ECPAT(End Child Prostitution,

Child Pornography, and Trafficking on Children for Sexual Purposes) Indonesia

sejak September 2016 sampai September 2017, ditemukan 508 anak telah menjadi

korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) di Indonesia.Mirisnya, 67%

diantaranya terjadi pada anak perempuan. Dari 339 anak perempuan yang menjadi

korban ESKA, 50% merupakan kasus pornografi anak.Selain itu, 28% menjadi

korban kasus prostitusi anak dan 21% lainnya adalah kasus perdagangan anak

untuk tujuan seksual.7Keadaan tersebut tentunya tidak sejalan dengan program

pembangunan karakter bangsa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda

5
Wagita Soetodje, Hukum Pidana Anak, PT.Refika Aditama, Bandung, 2016
6
https://khsblog.net/2016/09/04/daftar-statistik-kejahatan-terhadap-anak-tahun-2011-
2016/ diakses tanggal 20 Januari 2018 Jam 20.00 Wib.
7
http://lampung.tribunnews.com/2017/10/11/waduh-ada-339-anak-perempuan-indonesia-
jadi-korban-eksploitasi-seksual-komersial-anak diakses tanggal 21 Januari 2018 Jam 10.00 Wib.

3
penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis, ciri, dan sifat

khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tindak manusiawi

yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.8

Larangan mengenai eksploitasi seksual diatur dalam Undang-

undangNomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

PerdaganganOrang dalam Pasal 1 ayat (8) dan Pasal 2 ayat (1) dan (2).

Pada Pasal 1 ayat (8)berbunyi:

“Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organtubuh


seksual atau organ tubuh lain dari korban untukmendapatkan keuntungan,
termasuk tetapi tidak terbatas padasemua kegiatan pelacuran dan
percabulan”.

Pasal 2 ayat (1) berbunyi:

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan,penampungan,


pengiriman, pemindahan, atau penerimaanseseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaankekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan,penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratanutang
atau memberi bayaran atau manfaat walaupunmemperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendaliatas orang lain, untuk tujuan
mengeksploitasi orang tersebutdiwilayahNegaraRepublik Indonesia,
dipidanadenganpidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikitRp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan palingbanyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.

Pasal 2 ayat (2) berbunyi:

“Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)mengakibatkan orang


tereksploitasi, maka pelaku dipidanadengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud pada ayat(1)”.

8
Ruslan renggong, Hukum Pidana Khusus memaham delik delik diluar KUHP,
Prenamedia Group, Jakarta, 2015 hlm. 265

4
Adapun unsur-unsur tindak pidana pengeksploitasian seksual terhadap anak

sebagaimana diatur dalam pasal 88 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak adalah :

1. Setiap orang

2. Yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak

3. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Eksploitasi seksual anak yang didefinisikan sebagai kegiatan yang

melibatkan anak laki-laki maupun perempuan, demi uang, kesenangan satu pihak,

keuntungan atau pertimbangan lain atau karena paksaan atau pengaruh orang

dewasa, oknum, sindikat atau kelompok, terkait dengan hubungan seksual atau

perilaku yang menimbulkan birahi. Ada 3 kegiatan yang termasuk dalam kategori

eksploitasi seksual adalah prostitusi anak, perdagangan anak dan pornografi

anak.9

Eksploitasi anak di bawah umur untuk kegiatan prostitusi merupakan

perbuatan yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Yang di atur

dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam Undang-Undang tersebut terdapat asas penting bahwa bagi perlindungan

HAM yaitu pasal 65 Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang

menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari

9
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
seksual, Refika Aditama,Bandung ,2001, hal 7-8

5
kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta

dariberbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan adiktif lainnya.

Anak sebagai korban tindak pidana dilindungi oleh Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam pasal 1 angka (2) yang dimaksud

dengan perlindungan anak adalah:

“Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya


agardapat hidup tumbuh berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Perlindungan terhadap anak korban eksploitasi seksual diatur dalam pasal

pasal 15 dan pasal 59 ayat (1) dan (2)Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

Tentang Perlindungan Anak, pasal 15 huruf (f) mengatakan bahwa setiap anak

berhak untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual. Pemerintah,

Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan

bertanggungjawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak tertera

dalam pasal 59 ayat (1). Sedangkan dalam Pasal 59 ayat (2) huruf (d)

perlindungan khusus diberikan kepada anak yang di eksploitasi secara ekonomi

dan seksual.

Pada kenyataannya, pengaturan mengenai perlindungan anak dalam

Undang-Undang 35 Tahun 2014 tidak membuat berkurangnya kasus tindak

pidana yang melibatkan anak sebagai korbannya. Bahkan kasus kekerasan

seksual semakin bertambah, seperti contoh ketika publik dikejutkan dengan

kematian Eno (18 tahun). Eno ditemukan tewas mengenaskan setelah diperkosa

6
dan dibunuh oleh pacarnyadanteman sekantornya sendiridengan cara yang sangat

sadis.10Sebelum kematian Eno, juga telah terjadi beberapa kematian yang

diakibatkan kekerasan seksual, seperti yang menimpa Yuyun (14 tahun), yang

juga dibunuh dengan cara yang kejam setelah diperkosa beramai-ramai oleh

sekelompok pemuda karena pengaruh minuman kerasdan cara melakukannya

sangat sadis.11 Menyikapi hal tersebut, Presiden segera mengeluarkan Perpu

Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan alasan utama untuk mengatasi

kondisi darurat kekerasan seksual, terutama yang dialami oleh anak.

Saat ini Internet bukan hanya dipandang sebagai kebutuhan, tetapi juga

telah menjadigaya hidup masyarakat. Internet tidak hanya mempunyai sisi positif,

seperti adanya Email,Facebook, E-Banking dan E-Goverment, dunia maya juga

berdampak negatif denganberkembangnya cybercrime, termasuk di bidang

kesusilaan, seperticyberporn, cyberprostitution, sex online dan cybersex.12

Eksploitasi seksual melalui media online menjadi salah satu bentuk

kejahatan yang berkembangakibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,

banyaknya bisnis eksploitasi seksual saat inididukung dengan semakin

berkembangnya teknologi sehingga para pelaku bisnis dapat memanfaatkan sarana

internet dalam bertransaksi dan penawaran. Denganmerebaknya kejahatan yang

menggunakan teknologi komputer maupuninternet, termasuk peredaran konten

10
http://riausky.com/news/detail/20531/12-wanita-cantik-ini-ditemukan-tewas
mengenaskan-setelah-dibunuh-oleh-pacar-dan-teman-kencannya.html/2 diakses tanggal 24
februari 2018 jam 20.00 wib
11
https://feed.merdeka.com/trend/yuyun-tewas-diperkosa-13-orang-hasil-visumnya-bikin-
hati-pilu-1605029.html diakses tanggal 24 februari 2018 jam 21.00 wib
12
Perkembangan Dunia Internet,KOMPAS, 08 Juli 2015. diakses pada tanggal 18 Februari
2018 Pukul 08.21 WIB

7
pornografi maka pemerintah pada tahun 2008membentuk Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2008 tentang Informasi dan TransaksiElektronik,

Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi

danTransaksi Elektronik ada beberapa pasal yang mengatur tentang tindak

pidanaeksploitasi seksual komersial yaitu pasal 27 ayat (1), pasal 45 ayat (1)

danpasal 52 ayat (1) jo 27 ayat (1).pasal 27 ayat (1) berbunyi:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikandanatau


mentransmisikan danatau membuatdapatdiaksesnya Informasi dan Transaksi
Elektronik danatauDokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggarkesusilaan”.

Pasal 45 ayat (1) berbunyi:

“Setiap orang memenuhi unsur sebagaimana dimaksuddalam Pasal 27 ayat


(1), ayat (2). ayat (3), atau ayat (4)dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahundanatau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satumilyar rupiah)”.

Pasal 52 ayat (1) jo. pasal 27 ayat (1) berbunyi:

“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalamPasal 27 ayat (1)


menyangkut kesusilaan atau eksploitasiseksual terhadap anak dikenakan
pemberatan sepertiga daripidana pokok”.

Meskipun telah diundangkan pada kenyataannya praktek penegakan

hukumtersebut belum berjalan efektif dalam menjerat dan menanggulangi bisnis

eksploitasi seksual melaluimedia online dikarenakan kurangnya pengawasan dan

kontrol serta banyaknya cara yangdapat digunakan oleh pelaku untuk menghindari

penegak hukum.Dan di dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

8
Pornografi diatur dalam pasal 30 jo. pasal 4 ayat (2) huruf (d) Undang-undang

Nomor44 Tahun 2008 Tentang Pornografi berbunyi:

“Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang mengeksploitasi


atau memamerkan aktivitas seksual”.
Pasal 30 berbunyi:

“Setiap orang yang menyediakan jasa pornografisebagaimana dimaksud


dalam Pasal 4 ayat (2) dipidanadengan pidana penjara paling singkat 6
(enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Dilihat dari rumusan pasal tersebut bahwasanya pengguna korban

eksploitasi seksual, pelaku eksploitasi seksual baik orang yang menyediakan

tempat untuk memudahkan perbuatanprostitusi itu dapat dimintakan pertanggung

jawabannya secara pidana.

Kasus eksploitasi seksual yang melibatkan anak yang terjadi di Kota

Padang Provinsi Sumatera Barat yang berhasil di ungkap ialah 1 kasus pada tahun

2015 dimana pada tahun tersebut berhasil diungkap oleh Kepolisian Resor kota

Padang melibat 2 orang anak.13 Yang berhasil di ungkap Kepolisian Daerah

Sumatera Barat dari tahun 2016-2018 yaitu pada tahun 2016 ada 1 kasus

melibatkan 2 orang anak, tahun 2017 ada 2 kasus melibatkan 4 orang anak, dan

tahun 2018 ada 2 kasus yang melibatkan 3 orang anak.14

Dari data di atas kita dapat menyimpulkan bahwa kegiatan eksploitasi

seksual yang terjadi di kota Padang telah menjadi perkara pidana yang serius

terlihat dari tahun 2016 sampai 2018 kasus eksploitasi seksual yang melibatkan

13
Sumber : Satreskrim Polresta Padang
14
Sumber : Ditreskrimum Polda Sumatera Barat

9
anak tidak lagi di di ungkap oleh Kepolisian Resor Kota Padang melainkan di

tangani oleh Kepolisian Daerah Sumatera Barat.

Adapun kronologi pengungkapan sauatu kasus di Padang Sumatera Barat

yaitu Kepolisian berhasil mengungkap jaringan prostitusi online anak di bawah

umur dengan menggunakan aplikasi sosial media Wechat. Dua Tersangka

berinisial H(28), dan JF (20) berhasil diamankan.Pengungkapan kasus ini bermula

dari adanya informasi prostitusi online yang dilakukan kedua tersangka di Hotel

Pangeran Beach di jalan Juanda, Kota Padang, Sumatera Barat.Merespons adanya

laporan tersebut, petugas masuk ke jaringan aplikasi WeChatdanmelakukan

komunikasi dengan salah seorang muncikari atas nama H. Setelah dilakukan

negosiasi, terjadi kesepakatan antara petugas dan tersangka dengan menyediakan

empat orang wanita. Tepat pukul11.00 WIB, setelah dipastikan tersangka sudah

berada di dalam salah satu kamar,petugas segera melakukan

penggerebekan.Menurut Direktur Reskrimum Polda Sumbar, KombesPol Erdi

Adrimurlan Chaniago, setelah mendapat informasi tersebut, petugas segera

melakukan undercover buyingdengan tersangka di Hotel Pangeran Beach. Saat

itu, petugas menemukan 11 orang yang diantaranya enam orang perempuan dan

empat orang laki-laki. Setelah didapati, kesebelas orang tersebut segera di giring

ke Mapolda Sumbar untuk diproses lebih lanjut.Berdasarkan hasil pemeriksaan

terhadap 11 orang yang diamankan, empat diantaranya atas nama SE (19), EP

(16), DSY (16) dan DBPU (16) merupakan anak di bawah umur. Selain ke 11

orang tersebut, juga mengamankan beberapa barang bukti uang tunai sebesar

Rp1.694.000, alat kontrasepsi dan dua unit handphone.Atas perbuatan tersebut,

tersangka dijerat dengan pasal 76 ayat 1 jo pasal 88 Undang-undang Nomor 35

10
Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dan pasal 2 jo pasal 17 UU Nomor 21

tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. 15

Mengingat bahwa kegiatan eksploitasi seksual komersial anak merupakan

suatu perbuatan melanggar hukum maka menjadi kewajiban Kepolisian Negara

Republik Indonesia melalui jajaran di bawahnya untuk menangani masalah ini,

yaitu dengan semaksimal mungkin menekan angka kriminalitas atau tindak pidana

yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Kepolisian Negara

Republik Indonesia harus melaksanakan serangkaian prosedur dalam

mengungkapkan kasus melalui tahapan penyidikan.

. Menurut pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidikan adalah serangkaian

tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang

untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang

tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Anak menggantikan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, yang bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar

menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan

dengan hukum. Menurut pasal 1 angka (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Anak, anak yang berhadapan dengan hukum ialah anak

anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan

hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi

15
http://www.mitrapol.com/2017/04/prostitusi-online-dibawah-umur.html. Di akses
tanggal 7 Agustus 2017 Jam 20.00 Wib.

11
tindak pidana. Setiap anak yang berhadapan dengan hukum harus mendapatkan

perlindungan khusus guna mendapatkan rasa aman terhadap ancaman yang

membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya ini tercantum dalam

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak pasal 59

ayat (1) berbunyi:

“Perlindungan Khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf (b) diberikan kepada :Anak yang berhadapan dengan hukum.”

Adapun bentuk perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan

hukum tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak Pasal 64 yang berbunyi :

“Perlindungan Khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui:

1. Perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai

dengan umurnya;

2. Pemisahan dari orang dewasa;

3. Pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;

4. Pemberlakuan kegiatan rekreasional;

5. Pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang

kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya;

6. Penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur hidup;

12
7. Penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai

upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

8. Pemberian keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak

memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;

9. Penghindaran dari publikasi atas identitasnya.

10. Pemberian pendampingan Orang Tua/Wali dan orang yang dipercaya

oleh Anak;

11. Pemberian advokasi sosial;

12. Pemberian kehidupan pribadi;

13. Pemberian aksesibilitas, terutama bagi Anak Penyandang Disabilitas;

14. Pemberian pendidikan;

15. Pemberian pelayanan kesehatan; dan

16. Pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.”

Proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum erat kaitannya

dengan penegakan hukum itu sendiri, dimana dalam Sistem Peradilan Pidana

Anak (juvenile justice system). Menurut Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan

Pidana pada hakikatnya merupakan ”sistem kekuasaan menegakkan hukum

pidana” yang diwujudkan dalam 4 (empat) subsistem yaitu:

1. Kekuasaan ”Penyidikan” (oleh Badan/Lembaga Penyidik);

13
2. Kekuasaan ”Penuntutan” (oleh Badan/Lembaga Penuntut Umum);

3. Kekuasaan ”Mengadili dan Menjatuhkan putusan/pidana” (oleh Badan

Pengadilan)

4. Kekuasaan “Pelaksanaan putusan pidana” (oleh Badan/Aparat

Pelaksana/Eksekusi).16

Kekuasaan Penyidikan adalah tahap yang paling menentukan dalam

operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut dalam rangka

tercapainya tujuan dari Penegakan Hukum Pidana, karena pada tahap

penyidikanlah dapat diketahui adanya tersangka suatu peristiwa kejahatan atau

tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku kejahatan atau tindak pidana

tersebut sebelum pelaku kejahatan tersebut pada akhirnya dituntut dandiadili di

pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan perbuatannya. Tanpa

melalui proses atau tahapan penyidikan maka secara otomatis, tahapan-tahapan

selanjutnya dalam proses peradilan pidana yaitu tahapan penuntutan, pemeriksaan

di muka pengadilan dan tahap pelaksanaan putusan pidana tidak dapat

dilaksanakan.

Penyidikan itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik, dalam hal

dan menurutcara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari dan

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana

yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya 17. Sedangkan ”bukti”, dalam

16
Mardjono Reksodiputro, 1997. Kriminlogi dan Sistem Peradilan Pidana, (Pusat
Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia), Jakarta, hlm. 84.
17
Andi Hamzah, 2006. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet.5, Jakarta : Sinar
Grafika, hlm. 118.

14
ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti yang sah dan benda

sitaan/barang bukti. Masalah kewenangan dan ketentuan mengenai ”Penyidikan”

diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana yang menjadi dasar hukum pidana formil di Indonesia. Ketentuan

mengenai aparat yang berwenang untuk melakukan penyidikan, selain diatur di

dalam KUHAP, juga diatur di dalam Peraturan Perundang-Undangan lain di luar

KUHAP.

Tindakan yang dapat dilakukan penyidik adalah penangkapan, penahanan,

mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian, melakukan penggeledahan,

pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP),

penyitaan, penyimpanan perkara, melimpahan perkara. Penyidikan yang

diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak harus dipandang sebagaimana layaknya status dan fungsi

seorang penyidik menurut KUHAP. Penyidikan terhadap anak yang berhadapan

dengan hukum dilakukan oleh penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Surat

Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat yang ditunjuknya.

Penyidikan terhadap anak tersebut haruslah dalam suasana kekeluargaan

sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU RI No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa: Dalam menangani perkara Anak,

Anak Korban, dan/atau Anak Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial

Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim,

dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan

15
kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap

terpelihara.

Ketentuan Pasal 18 ini mencerminkan perlindungan hukum pada anak,

apabila penyidik tidak melakukan pemeriksaan dalam suasana kekeluargaan, tidak

ada sanksi hukum yang dapat dikenakan kepadanya. Dalam melakukan

penyidikan anak nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari

pembimbing kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan

atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas

kemasyarakatan lainnya (Pasal 27 ayat 1 dan 2 UU No. 11 Tahun 2012). Laporan

penelitian kemasyarakatan, dipergunakan oleh penyidik anak sebagai bahan

pertimbangan dalam melakukan tindakan penyidikan, mengingat bahwa anak

nakal perlu mendapat perlakuan sebaik mungkin dan penelitian terhadap anak

dilakukan secara seksama oleh peneliti kemasyarakatan (Bapas), agar penyidikan

dapat berjalan dengan lancar.

Berdasakan uraian di atas, maka penulis lebih menitik beratkan kepada

bagaimana cara penyidikan tindak pidana eksplostasi seksual terhadap anak oleh

penyidik Kepolisian Daerah Sumatera Barat. Karena itu penulis tertarik untuk

membahas masalah tersebut dalam sebuah judul:

“Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Terhadap

Anak (Studi di Kepolisian Daerah Sumatera Barat)”

16
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang yang penulis kemukan di atas, maka

dalam lingkup permasalahan ini penulis perlu membatasi agar masalah yang

dalam lingkup tidak menyimpang dari sasarannya. Adapun masalah yang akan di

teliti sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan penyidikantindak pidana eksploitasi seksual

terhadap anak oleh penyidikDirektorat Reserce Kriminal Umum

Kepolisian Daerah Sumatera Barat?

2. Apa saja kendala dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana eksploitasi

seksual terhadap anak oleh penyidik Direktorat Reserce Kriminal Umum

Kepolisian Daerah Sumatera Barat?

3. Bagaimana upaya penyidikDirektorat Reserce Kriminal Umum

Kepolisian Daerah Sumatera Barat dalam mengatasi kendala-kendala

terkait dengan pelaksanaan penyidikan tindak pidana eksploitasi seksual

terhadap anak?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang akan dicapai oleh penulis di dalam penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan penyidikan tindak pidana

eksploitasi seksual terhadap anak oleh penyidikDirektorat Reserce

Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sumatera Barat.

2. Untuk mengetahui apa saja kendala yang ditemukan oleh

penyidikDirektorat Reserce Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sumatera

17
Barat dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidanaeksploitasi seksual

terhadap anak.

3. Untuk mengetahui upaya apa saja yang di ambil oleh penyidikDirektorat

Reserce Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sumatera Barat dalam

mengatasi kendala-kendala terkait dengan pelaksanaan penyidikan tindak

pidana eksploitasi seksual terhadap anak.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan nantinya, diharapkan dapat memberikan

manfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca hasil penelitian penulis. Secara

garis besar penulis mengidentifikasikan manfaat penelitian ini kedalam dua (2)

bagian yaitu :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah bahan kajian serta

kontribusi keilmuan pada civitas akademik Fakultas Hukum

Universitas Andalas khususnya dalam bidang Kepolisian dalam

penyidikan suatutindak pidana. Serta dapat memberikan pemahaman

dan pengetahuan mengenai pelaksanaan penyidikan tindak pidana

eksploitasi seksual terhadap anak oleh penyidikDirektorat Reserce

Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sumatera Barat.

b. Untuk menambah pengetahuan dan kemampuan penulis dalam

pembuatan penelitian hukum. Dan dapat dipergunakan sebagai

referensi bagi pihak-pihak yang akan membuat suatu karya ilmiah

serta dapat menambah literatur di beberapa perpustakaan.

18
2. Manfaat Praktis

a. Untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai

pelaksanaan penyidikan tindak pidana eksploitasi seksual terhadap

anak.

b. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu dan memberikan

masukan terhadap penegak hukum khususnya penyidik di Kepolisian.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis merupakan landasan teori permasalahan yang

akan terdiri dari permasalahan yang akan diteliti untuk mendapatkan

gambaran atau informasi tentang permasalahan yang diteliti.18

a. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan

nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang mantap

dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran

nilai tanpa akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.19 Penegakan hukum

mempunyai makna, bagaimana hukum itu harus dilaksanakan,

sehingga dalam penegakan hukum tersebut harus diperhatikan unsur-

unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa dalam proses penegakan

hukum ada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor tersebut


18
Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997
19
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm.5

19
cukup mempunyai arti sehingga dampak positif dan negatifnya

terletak pada isi faktor tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi

penegakan hukum tersebut ada lima yang mana faktor tersebut saling

berkaitan karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga

merupakan tolak ukur dari pada efektivitas penegakan hukum,

yaitu:20

1) Faktor hukumnya sendiri, yang didalamnya dibatasi pada

Undang-Undang saja.

2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

maupun menerapkan hukum.

3) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

maupun menerapkan hukum.

4) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum.

5) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut

berlaku dan diterapkan.

6) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa

yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Penegakan hukum terhadap ketentuan undang-undang hukum pidana

tujuannya untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dengan menekan

semaksimal mungkin adanya pelanggaran hukum dan tindak pidana yang

merugikan masyarakat, baik moril maupun materil bahkan jiwa seseorang. Para

pelaku kejahatan dapat melakukan aksinya dengan berbagai upaya dan dengan

20
ibid, hlm. 8.

20
berbagai cara. Keadaan seperti itu menyebabkan kita sering mendengar “modus

operandi” (model pelaksanaan kejahatan) yang berbeda-beda antara kejahatan satu

dengan yang lainnya.

2. Kerangka Konseptual

Selain didukung dengan kajian teoritis, penelitian ini juga

didukung oleh kajian konseptual yang merumuskan defenisi tentang judul

yang di angkat dan yang akan di jabarkan sebagai berikut.

a. Pelaksanaan

Pelaksanaan, ialah sebagai proses dalam bentuk rangkaian

kegiatan, yaitu berawal dari kebijakan guna mencapai suatu tujuan

maka kebijakan itu diturunkan dalam suatu program dan proyek.21

b. Penyidikan

Pengertian penyidikan adalah suatu upaya yang dilakukan oleh

polisi sebagai penyidik untuk mencari dan mengungkap keterangan

atau informasi tentang pristiwa yang diduga sebagai tindak pidana

atau pristiwa kejahatan tindak pidana yang diduga dilakukan oleh

seseorang yang belum diketahui identitas pelakunya, dalam hal

penyidikan penyidik mengumpulkan data-data atau imformasi yang

harus mampu membongkar pelaku pelanggar hukum yang

sebenarnya.22

21
Nurdin Usman. 2002. Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum. Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada, hlm.70.
22
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum
Progresif (Jakarta: SinarGrafika, 2010), hlm. 33

21
Dalam Pasal 1 butir (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal

dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk

mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat

terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya. Penyidikan ini dilakukan untuk mencari serta

mengumpulkan bukti-bukti yang pada tahap pertama harus dapat

memberikan keyakinan, walaupun sifatnya masih sementara tentang

tindak pidana yang telah dilakukan dan serta siapa tersangkanya

c. Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah Belanda

yaitu “Strafbaar Feit” yang dapat diartikan sebagai perbuatan

bertentangan dengan aturan hukum pidana.

Menurut Simon “Strafbaar Feit” adalah kelakuan atau

perbuatan yang diancam pidana, yang bersifat melawan hukum, yang

bertanggung jawab. Sedangkan menurut Van Hammel pengertian

tindak pidana “Strafbaar Feit” adalah kelakuan yang dirumuskan

dalam wet, yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan

dilakukan kesalahan.23

d. Eksploitasi Seksual

Pengertian eksploitasi menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 21tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

23
Moeldjano, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 140.

22
Perdagangan Orang adalahtindakan dengan atau tanpa persetujuan

korban yangmeliputi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau

pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan

penindasan, pemerasan, pemanfatatan fisik, seksual, organ reproduksi,

atau secara melawan hukum atau transplantasi organ dan atau jaringan

tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh

pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun

immateril.

e. Pengertian Anak

Pengertian anak menurut peraturan perundang-undangan dapat

dilihat pada Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang

belumberusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih

dalam kandungan.

f. Direktorat Reserce Kriminal Umum

Direktorat Reserce Kriminal Umun merupakan unsur pelaksana

tugas pokok yang berada di bawah Kepala Kepolisian Daerah.

Ditreskrimum bertugas menyelenggarakan penyelidikan, penyidikan,

dan pengawasan penyidikan tindak pidana umum, termasuk fungsi

identifikasi dan laboratorium forensik lapangan. Dalam melaksanakan

tugasnya, Ditreskrimum menyelenggarakan fungsi:

1. Pembinaan pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan tindak

pidana umum, identifikasi, dan laboratorium forensik lapangan;

23
2. Pelayanan dan perlindungan khusus kepada remaja, anak, dan

wanita baik sebagai pelaku maupun korban sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

3. Pengidentifikasian untuk kepentingan penyidikan dan pelayanan

umum;

4. Penganalisisan kasus beserta penanganannya, serta mempelajari

dan mengkaji efektivitas pelaksanaan tugas Ditreskrimum;

5. Pelaksanaan pengawasan penyidikan tindak pidana umum di

lingkungan Polda;

6. Pengumpulan dan pengolahan data serta menyajikan informasi

dan dokumentasi program kegiatan Ditreskrimum.24;

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang di ajukan, digunakan metode Yuridis

Sosiologis yaitu pendekatan penelitian yang menekankan pada aspek

hukum(peraturan perundang-undangan) berkenaan dengan pokok masalah yang

akan dibahas, dikaitkan dengan kenyataan dilapangan atau mempelajari tentang

hukum positif suatu objek dan melihat yang terjadi dilapangan.

2. Sifat Penelitian

24
https://reskrimumpoldasumbar.wordpress.com/ diakses tanggal 23 maret 2017 pukul
20.00 wib

24
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang memberikan data

yang diteliti mungkin tentang manusia, keadaan dan gejala-gejala sosial lainnya

yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.25 Hal ini diharapkan dengan

adanya penelitian ini diharapkan dapat memperoleh gambaran yang menyeluruh,

secara lengkap dan sistematis tentang objek yang akan diteliti.

3. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis Data

Data dalam penelitian ini adalah menggunakan data primer dan data

sekunder. Di dalam penelitian hukum lazimnya jenis data dibedakan antara

data primer dan data sekunder.26

1) Data Primer
Data yang diperoleh dari penelitian ini langsung dari Kepolisian

Daerah Sumatera Barat.Yaitu data yang diperoleh langsung dengan

melakukan wawancara dengan nara sumber yaitu dua orang penyidik

Polri yang berada di bagian Direktorat Reserse Kriminal Umum

Kepolisian Daerah Sumatera Barat khususnya penyidik di Unit PPA

Polda Sumbar yang menangani kasus tindak pidana eksploitasi seksual

terhadap anak. Guna memperoleh data yang berhubungan dengan

permasalahan yang diteliti. Data ini diperoleh melalui wawancara yang

dilakukan dengan narasumber yang di awali dengan pembuatan daftar

pertanyaan, selanjutnya dilakukan pencatatan hasil wawancara.

2) Data sekunder

25
Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, hlm. 10 .
26
Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi penelitian hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990, hlm. 58

25
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelitian

perpustakaan untuk memperoleh bahan-bahan hukum antara lain

mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang

berwujud laporan dan sebagainya. 27Data sekunder dapat di bagi

menjadi :

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu semua bahan hukum yang

mengikat dan berkaiatan langsung dengan objek penelitian yang

dilakukan dengan cara memperhatikan dan mempelajari undang-

undang dan peraturan tertulis lainnya yang menjadi dasar

penulisan ini. Bahan hukum primer yang digunakan antara lain :

- Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Undang-

undang Hukum Pidana (KUHP).

- Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Unadang-

undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

- Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan

atasUndang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak

- Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Anak

27
Ibid.

26
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)

Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak

- Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

- Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik

- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

b) Bahan Hukum Sekunder


Bahan hukum sekunder yakni bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer28 seperti hasil karya dari

kalangan hukum, teori-teori dan pendapat-pendapat para sarjana,

jurnal-jurnal, hasil penelitian hukum dan sebagainya.

c) Bahan Hukum Tersier


Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder seperti kamus hukum yang membantu menterjemahkan

istilah-istilah hukum yang ada. Bahan ini didapat agar memperoleh

informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahan

yang akan diteliti.29

b. Sumber Data

28
Soerjono Soekanto,Op cit, hlm. 114.
29
Op.Cit

27
Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek darimana data

diperoleh. Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sebagai

berikut :

1) Penelitian Lapangan (field research)


Data yang diperoleh dari penelitian ini langsung dari

Kepolisian Daerah Sumatera Barat. Data yang di peroleh dari

penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang diperoleh

langsung dengan melakukan wawancara dengan nara sumber yaitu

dua orang penyidik Polri yang berada di bagian Direktorat Reserse

Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sumatera Barat yang

menangani kasus tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak.

Guna memperoleh data yang berhubungan dengan permasalahan

yang diteliti. Data ini diperoleh melalui wawancara yang dilakukan

dengan narasumber yang di awali dengan pembuatan daftar

pertanyaan, selanjutnya dilakukan pencatatan hasil wawancara.

2) Penelitian Kepustakaan (library research)

Data sekunder yang diolah dan diperoleh dari studi

kepustakaan dan buku-buku, literatur, majalah atau jurnal hukum

dan sebagainya.

4. Teknik pengumpulan data

Adapun yang menjadi teknik pengumpulan data yang akan digunakan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Studi dokumen

28
Merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan

melalui data tertulis dengan menggunakan content analysis, yakni

dengan cara tertulis dengan menggunakan dokumen-dokumen yang

penulis dapatkan di lapangan yang behubungan dengan masalah yang

diteliti di Direktorat Reserce Kriminal Umum Kepolisian Daerah

Sumatera Barat.

b. Wawancara
Wawancara merupakan suatu metode pengumpulan data dengan

melakukan tanya jawab secara lisan dengan pihak yang berkompeten

sehubungan dengan judul penelitian yang penulis tulis untuk

mendapatkan suatu informasi yang jelas dan akurat. Dalam rangka

mengumpulkan data yang lengkap dan akurat, makan digunakan

teknik wawancara semi struktural yaitu wawancara bebas tetapi tetap

fokus pada masalah yang diteliti. Adapun pihak-pihak yang akan

diwawancarai yaitu 2 orang penyidik Polri yang berada di bagian

Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sumatera

Barat khususnya penyidik di Unit PPA Polda Sumbar yang menangani

kasus tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak dengan

berpedoman pada daftar pertanyaan-pertanyaan yang akan

dipersiapkan terlebih dahulu mengenai hal-hal yang berhubungan

dengan penelitian ini.

5. Pengolahan dan Analisis Data


a. Pengolahan data

29
Pengolahan data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu

penelitian, dalam penelitian ini pengolohan data yang dilakukan dengan

caraediting,30 yakni pengeditan terhadap data-data yang telah dikumpulkan

yang bertujuan untuk memeriksa kekurangan yang mungkin ditemukan

dan memperbaikinya. Editing juga bertujuan untuk memperoleh kepastian

bahwa datanya dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

b. Analisis data
Analisis data sebagai proses setelah dilakukannya pengolahan data.

Setelah didapatkan data-data yang diperlukan, maka dilakukan analisis

secara kualitatif yakni menghubungkan permasalahan yang dikemukakan

dengan teori yang relevan sehingga data yang tersusun secara sistematis

dalam bentuk kalimat sebagai gambaran dari apa yang telah diteliti dan

telah dibahas untuk mendapatkan kesimpulan. Berdasarkan pada

kepustakaan yang ada dan kenyataan dalam praktekan, pemilihan kepada

pendekatan kualitatif selalu didasarkan atas ciri-ciri yang menonjol dari

data yang telah terkumpul.31

30
Bambang Waluyo,1991, Penelitian Hukum dan Praktek, Jakarta: Sinar Grafika.
hlm. 72.
31
Ibid, hlm. 73.

30
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyelidikan dan Penyidikan Oleh Polri

Penyelidikan dan penyidikan penting diuraikan karena dalam tingkat

penyelidikan dan penyidikan pejabat penyelidik dan penyidik mempunyai

kewenangan untuk melakukan tindakan upaya paksa seperti penangkapan,

penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Dalam tindakan

upaya paksa tersebut, jika yang diperiksa merasa keberatan atas perlakuan dirinya

yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, maka dapat mengajukan praperadilan.

Terminologi penggunaan kata penyelidikan dan penyidikan, jika

diperhatikan dari kata dasarnya, sama saja, keduanya berasal dari kata dasar sidik.

Namun dalam KUHAP pengertian antara penyelidikan dan penyidikan dibedakan

sebagai tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran dalam tindak pidana.

Istilah penyelidikan dan penyidikan dipisahkan artinya oleh KUHAP,

walaupun menurut bahasa indonesia kedua kata itu berasal dari kata dasar sidik,

yang artinya memeriksa, meneliti.32 KUHAP memberi definisi penyelidikan

sebagai “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari

dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur

menurut undang-undang ini”.

32
Jur Adi Hamzah, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm.119.

31
Telah dijelaskan pada pembahasan ketentuan umum, Pasal 1 butir 1 dan 2,

merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah Pejabat

Polri atau pejabat pegawai negri “tertentu” yang diberi wewenang khusus oleh

undang-unang. Sedang penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan

pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk

mencari serta mengumpulkan bukti, dengan bukti itu dapat membuat atau menjadi

terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau

pelaku tindak pidananya.33

Pada tindakan penyelidikan penekanan ditekankan pada tindakan “mencari

dan menemukan’’ suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindak

pidana. Pada penyidikan, titik berat tekananya di tekankan pada tindakan

”mencari serta mengumpulkan bukti’’ supaya tindak pidana yang ditemukan dapat

menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Dari

penjelasan yang dimaksudkan hampir tidak ada perbedaan makna keduanya.

Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu.

Antara keduanya saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan

pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Namun demikian, ditinjau dari beberapa segi,

terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut :

a. Dari segi pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari “semua anggota”

polri, dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada dibawah

pengawasan penyidik.

b. Wewenangnya sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari

dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindak

33
M.Yahya Harahap, 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, h.109.

32
pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat

penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut dalam

Pasal 5 ayat (1) huruf b (penangkapan, larangan meninggalkan tempat,

penggeledahan, penyitaan, dan sebagainya).

Pasal 7 ayat (1), jika dihubungkan dengan beberapa Bab KUHAP, seperti

Bab V (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan

surat) serta Bab XIV (penyidikan), ruang lingkup wewenang dan kewajiban

penyidik serta ruang lingkup fungsi penyidikan kurang sistematis pengaturanya,

sehingga untuk memahami masalah penyidikan secara sempurna, tidak dapat

melihatnya hanya pada Bab XIV saja, tetapi harus melihat dan mengumpulkannya

dari Bab dan Pasal-Pasal lain diluar kedua bab yang disebutkan.34

Penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan

adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa

setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu

peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana.35

Istilah lain yang dipakai untuk menyebut istilah penyidikan adalah

mencari kejahatan dan pelanggaran yang merupakan aksi atau tindakan pertama

dari penegak hukum yang diberi wewenang untuk itu, dilakukan setelah

diketahuinya akan terjadi atau diduga terjadinya suatu tindak pidana. Penyidikan

merupakan tindakan yang dapat dan harus segera dilakukan oleh penyidik jika

terjadi atau bila ada persangkaan telah terjadi suatu tindak pidana. Apabila ada

persangkaan telah dilakukan kejahatan atau pelanggaran maka harus diusahakan

34
M.Yahya Harahap, 2010, Op.cit, h.110
35
M.Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm.99.

33
apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan suatu

tindak pidana dan jika benar demikian siapakah pelakunya. 36

Penyidikan itu dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti

yang pada tahap pertama harus dapat memberikan keyakinan walau sifatnya

masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau

tentang tindak pidana apa yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya.

Penyidikan dilakukan untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk kepentingan

penuntutan, yaitu dapat atau tidaknya suatu tindakan atau perbuatan itu dilakukan

penuntutan.

Secara kongkrit tindakan itu disebut penyidikan dapat diperinci sebagai

tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mendapatkan keterangan tentang:

1. Tindak pidana apa yang telah dilakukan,

2. Kapan tindak pidana itu dilakukan

3. Dimana tindak pidana itu dilakukan

4. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan

5. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan

6. Mengapa tindak pidana itu dilakukan

7. Siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana itu.37

Penyidikan sebagai bagian terpenting dalam hukum acara pidana yang

pada pelaksanaanya kerap kali harus menyinggung martabat individu yang dalam

persangkaan kadang-kadang wajib untuk dilakukan. Suatu semboyan penting

dalam hukum acara pidana yaitu hakikat penyidikan perkara pidana adalah untuk

menjernihkan persoalan sekaligus menghindarkan orang yang tidak bersalah dari

36
Darwin Print, 1998, Hukum Acara Pidana dan Praktek, Djembatan, Jakarta, hlm. 8
37
Ibid.

34
tindakan yang seharusnya dibenarkan padanya. Oleh karena tersebut seringkali

proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang

cenderung lama, melelahkan dan mungkin pula dapat menimbulkan beban pikis

diusahakan dari penghentian penyidikan.

Rangkaian tindakan penyidikan adalah segala tindakan atas nama hukum

yang dilakukan oleh penyidik Polri, mulai dari pemanggilan, pemeriksaan,

penangkapan, penahanan, penyitaan dan tindakan-tindakan lain yang diatur dalam

ketentuan hukum, perundang-undangan yang berlaku hingga proses penyidikan

itu dinyatakan selesai.38

Diatas sudah di terangkan siapa saja yang disebut penyidik, yaitu orang

yang melakukan penyelidikan yang terdiri dari pejabat seperti yang dijelaskan

pada Pasal 1 butir 1. Kemudian dipertegas dengan diperinci lagi dalam Pasal 6

KUHAP. Akan tetapi, disamping apa yang diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal

6, terdapat lagi Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu

disamping penyidik.

Rumusan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor. 2 Tahun

2002, disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan

penyidikan dan penyelidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum

acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainya.

Menegakan hukum dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban

dilakukan secara bersama-sama dengan suatu sistem peradilan pidana (SPP) yang

merupakan suatu proses panjang dan melibatkan banyak unsur didalamnya.

38
Hartono, 2010, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.116.

35
Sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem besar yang didalamnya terkandung

beberapa subsistem yang meliputi subsistem kepolisian (Sebagai Penyidik),

subsistem kejaksaan sebagai penuntut umum, subsistem kehakiman sebagai

hakim, dan subsistem lembaga pemasyarakatan sebagai subsistem rehabilitasi.

Keempat subsistem di atas baru saja berjalan secara baik apabila semua

saling berinteraksi dan bekerjasama dalam rangka mencapai suatu tujuan yaitu

mencari kebenaran dan keadilan materiil sebagaimana jiwa dan semangat Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagai hukum acara pidana

dalam kerangka penegakan hukum pidana, KUHAP merupakan acuan umum yang

harus dijadikan pegangan bagi semua yang terlibat dalam proses sistem peradilan

pidana dalam rangka mencapai suatu tujuan bersama.

Indonesia yang menganut sistem penegakan hukum terpadu (intergratid

Criminal Justice System) yang merupakan legal spirit KUHAP. Keterpaduan

tersebut secara filosofis adalah suatu instrumen untuk mewujudkan tujuan

nasional dari bangsa Indonesia yang telah dirumuskan oleh The Founding Father

dalam UUD 1945, yaitu melindungi masyarakat (sosial defence) dalam rangka

mencapai kesejahteraan sosial (social walfater).39

Terdapat sistem penegakan hukum terpadau berdasarkan KUHAP

menganut asas difision of funcition atau sistem kompartement, yang memisahklan

secara tegas tugas dan kewenangan penyidikan penuntutan dan pemeriksaan

disidang pengadilan serta pelaksanaan putusan dan penerapan pengadilan yang

terintergrasi, menuju kepada sistem peradilan pidana terpadu (integratid

39
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Pedadilan Pidana, prespektif Eksistensialisme dan
Abilisionisme, Cet II revisi, Bina Cipta, Bandung, hlm.9.

36
criminaljustice system), tetapi di dalam praktek belum memunculkan sinergi antar

institusi terkait40.

Penyidikan merupakan tahap awal dari proses penegakan hukum pidana

atau bekerjanya mekanisme sistem peradilan pidana (SPP). Penyidikan

mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dan strategis untuk

menentukan berhasil tidaknya proses penegakan hukum pidana selanjutnya.

Pelaksanaan penyidikan yang baik dan menentukan keberasilan Jaksa penuntut

umum dalam melakukan penuntutan dan selanjutnya memberikan kemudahan

bagi hakim untuk menggali atau menemukan kebenaran materil dalam memeriksa

dan mengadili di persidangan.41

Penyidikan merupakan kegiatan pemeriksaan pendahuluan atau tahap awal

(vooronderzoek) yang di titik beratkan pada upaya pencarian atau pengumpulan

“bukti factual” penangkapan dan penggeledahan, bahkan jika perlu dapat di ikuti

dengan tindakan penahanan terhadap tersangka dan penyitaan terhadap barang

atau bahan yang diduga erat kaitanya dengan tindak pidana yang terjadi.42

Dalam bahasa Belanda Penyidikan disejajarkan dengan pengertian

opsporing. Menurut Pinto, menyidik (opaporing) berarti pemeriksaan pemulaan

oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah

mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa

yang terdiri suatu pelanggaran hukum.43

40
Ibid.
41
Zulkarenaen Koto, 2011, Terobosan Hukum Dalam Penyederhanaan Proses Peradilan
Pidana, Jurnal Studi Kepolisian, STIKI, Jakarta, h.150
42
Ali Wisnubroto, 2002, Praktek Peradilan Pidana (proses persidangan perkara pidana),
PT.Galaxy Puspa Mega, Jakarta, hlm.15.
43
Joyanna Silberg, 2004, Guidelines for the Evaluation and Treatment of
DissociativeSymptoms in Children and Adolescents. Journal of Trauma & Dissociation, vol. 5(3).

37
Berdasarkan Pasal 1 butir 5 KUHAP menegaskan penyelidikan adalah

serangkaian tindakan atau penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu

peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau

tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang.

Pengadilan dalam pelaksanaan penegakan hukum yang mencakup

koordinasi fungsional, serta adanya sinkronisasi dalam pelaksanaan tugas tersebut.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka semakin tegas

diatur tentang peranan POLRI sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara

dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pejabat polisi

merupakan penyidik utama di dalam perkara-perkara pidana di samping penyidik

dari Pejabat Pegawai Negeri Sipil, hal ini telah diatur pada Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b. Dalam pada itu, untuk

mendukung tugas Kepolisian sebagai penyidik, maka diatur pula di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kewajiban dan wewenang

Pejabat POLRI dalam kegiatan penyidikan.

Hal ini dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa wewenang penyidik

yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut:

a. Menerima laporan atau pengaduan seorang tentang adanya tindakan

pidana

b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian

38
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal

dari tersangka

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang

g. Memanggil seorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksa perkara

i. Mengadakan penghentian penyidikan

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab

Tugas dan wewenang penyidik yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP

huruf a diatas, mengenai laporan dan pengaduan maka dapat diartikan laporan dan

pengaduan tersebut, sebagai berikut:

“Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena

hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang

tentang telah atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana”44.

“Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang

berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum

seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan. 45 Penyidik

berwenang melakukan penyidikan sebagai berikut:

1. Penangkapan

44
Martiman Prodjohamidjojo, 1984, Laporan dan Pengaduan, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm. 13
45
Ibid

39
Pasal 1 butir 20 KUHAP, mencantumkan: “Penangkapan adalah suatu

tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan

tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan

penyidikan atau penuntut atau dan peradilan dalam hal serta menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini”

Berdasarkan rumusan di atas maka penangkapan tersebut terdiri dari

beberapa unsur-unsur yaitu46:

a. Pengekangan sementara waktu kebebasan

b. Tersangka atau terdakwa

c. Terdapat cukup bukti

d. Guna kepentingan penyidik, penuntut, peradilan

Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras

melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan untuk menduga

adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 4 KUHAP, pasal

ini menunjukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan

sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul

melakukan tindak pidana (Pasal 17 KUHAP).47

Penyidik berwenang dalam melakukan penangkapan terhadap

tersangka, tetapi harus terpenuhinya unsur dari penangkapan tersebut,

yaitu adanya “bukti permulaan yang cukup” 48. Adapun yang dimaksud

dengan bukti permulaan yang cukup itu dapat dilihat dari Pasal 184 ayat

(1) KUHAP yang berbunyi:

46
Leden Marpaung, Op. cit. hlm. 109
47
CST Kansil, Loc, cit, hlm. 358-359
48
Hartono, 2010, Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
168

40
a. Alat bukti yang sah

1) Keterangan saksi

2) Keterangan ahli

3) Surat

4) Petunjuk

5) Keterangan terdakwa

Berkenaan dengan pelaksanaan tugas penangkapan diatur dalam Pasal

18 KUHAP sebagai berikut49:

1) Pelaksanan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian

Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta

memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang

mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan

penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang

dipersangkutpautkan serta tempat ia diperiksa. Surat perintah

penangkapan dikeluarkan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang berwenang melakukan penyidikan di daerah

hukumnya.

2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat

perintah, dengan ketentuan bahwa penangkapan harus segera

menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada

penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.

3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) di atas harus diberikan kepada keluarganya segera setelah

49
Op. Cit, CST Kansil,. 359

41
kali berturut-turut tidak memenugi panggilan itu tanpa alasan yang

sah (Pasal 19 KUHAP)50.

2. Penahanan

Pasal 1 butir 2 KUHAP, mencantumkan;

“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu


oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya,
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”

Berdasarkan rumusan pasal 1 butir 21 KUHAP, telah mencantumkan,

yang dapat dikenakan penahan yakni “tersangka atau terdakwa” tetapi

tidak semua tersangka atau terdakwa dapat dikenakan penahanan, Pasal 21

ayat (1) KUHAP memuat: “Perintah penahanan dilanjutkan dilakukan

terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan

tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan

yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan

melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau

mengulangi tindak pidana”.

Penahanan tersangka dalam rangka penyidikan merupakan suatu

tindakan darurat. Hal itu dilakukan dalam keadaan yang perlu sekali,

karena langsung membatasi hak asasi manusia yang paling pokok yaitu

kebebasan bergerak. Undang-undang menentukan bahwa hanya untuk

delik-delik tertentu saja di mana penahanan tersangka dipandang sah

50
Ibid

42
(recht vaardig) dan di samping itu hanya dilakukan jika penyidik

memandang perlu (noodzahelijk)51.

Penahanan dapat dilakukan jika perlu sekali, kekeliruan dalam

penahanan dapat mengakibatkan hal-hal fatal bagi penahan. Di dalam

pasal 95 KUHAP tentang ganti rugi, di samping kemungkinan di gugat

pada praperadilan. Ganti rugi dalam masalah kesalahan menahan juga

telah menjadi ketentuan universal.52

Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP di atas maka ada 3 (tiga) alasan

yang merupakan perlunya penahanan, yakni53:

1. Kekhawatiran melarikan diri

2. Merusak atau menghilangkan alat bukti

3. Mengulangi tindak pidana

Rumusan pasal 20 KUHAP maka yang berwenang melakukan

penahanan adalah :

1. Penyidik

2. Penuntut Umum

3. Hakim (menurut tingkat pemeriksaan)

Jenis-jenis penahanan menurut Pasal 22 KUHAP, dapat berupa:

1. Penahanan rumah tahanan Negara

2. Penahanan rumah

51
Andi Hamzah, 1984, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik dan Sasaran
Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 104
52
Ibid, hlm. 105.
53
Loc. Cit, Leden Marpaung, hlm.118

43
3. Penahanan kota

Jangka waktu penahanan yang dilakukan oleh penyidik paling lama 20

hari, jangka waktu dapat diperpanjang oleh penuntut umum untuk paling

lama 40 hari, setelah waktu 60 hari tersebut, tersangka harus sudah

dikeluarkan dari tahanan penyidik demi hukum.54

3. Penggeledahan

Pasal 1 butir 2 KUHAP, mencantumkan:

“Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah


tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan
pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang”.

Selanjutnya Pasal 1 butir 18 KUHAP, mencantumkan arti

“penggeledahan badan”sebagai berikut: “Penggeledahan badan adalah

tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian

tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau

dibawa serta, untuk disita”.

Penggeledahan merupakan bagian pengusutan atau penyidikan.

Sebagaimana halnya dengan penahanan, penggeledahan merupakan juga

suatu tindakan penguasa untuk membatasi kebebasan orang, yaitu

melanggar ketentraman rumah kediaman. Karena langsung menyangkut

hak asasi orang, maka penggeledahan harus dilakukan sesuai dengan

KUHAP, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Perundang-

undangan pidana yang lain.55

54
Ibid, hlm. 120
55
Op. Cit, Andi Hamzah, hlm. 113

44
Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor 1 Tahun 1982

bidang penyidikan. Bab II, antara lain tercantum56:

1. Harus ada surat izin ketua pengadilan negeri stempat (Pasal 33 ayat

(1)).

2. Dalam keadaan sangat perlu dan mendesak dan harus segera bertindak

dapat tanpa surat izin terlebih dahulu, tetapi wajib segera lapor kepada

ketua pengadilan negeri setempat (Pasal 34 ayat (1)).

3. Terlebih dahulu menunjukan tanda pengenal kepada tersangka atau

keluarganya (Pasal 125).

4. Harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau

penghuni setuju atau oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan

dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak

hadir (Pasal 33 ayat (3) dan (4)).

5. Membuat berita acara tentang jalannya dan hasilnya penggeledahan

yang bersangkutan. Berita acara dibacakan kepada yang bersangkutan,

diberi tanggal dan ditanda tangani oleh penyidik. Tersangka dan

keluarganya, kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang

saksi (Pasal 33 ayat (5) dan Pasal 126 ayat (1) dan (2)).

6. Untuk keamanan dan ketertiban dapat mengadakan penjagaan atau

penutupan tempat yang bersangkutan dan berhak memerintahkan

orang tidak meninggalkan tempat tersebut (Pasal 127).

7. Walaupun penyidik pembantu dan penyidik berwenang untuk

mengadakan penggeledahan rumah tetapi pada tempat tertentu kecuali

56
Op. Cit, Laden Marpaung,. hlm. 106-107

45
tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan masuk, yaitu ruang

dimana sedang berlangsung siding MPR, DPR, DPRD, tempat dimana

sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan serta ruang

dimana sedang berlangsung sidang pengadilan (Pasal 35).

8. Apabila tempat yang akan digeledah tersebut berada di luar daerah

hukumnya maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh ketua

pengadilan negeri dalam melaksanakannya didampingi oelh penyidik

setempat (Pasal 36).

4. Penyitaan

Pasal 1 butir 16 KUHAP, mencantumkan:

“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih


dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan dalam
penyidikan, penuntutan, dan peradilan.”

Definisi tersebut dapat di tarik kesimpulan, sebagai berikut57:

a. Penyitaan termasuk tahap penyidikan, karena dikatakan “serangkai

tindakan penyidik untuk”.

b. Penyitaan bersifat pengambilalihan atau penyimpanan do bawah

penguasaan penyidik suatu benda milik orang lain.

c. Benda yang disita itu berupa benda bergerak dan tidak bergerak,

berwujud dan tidak berwujud.

d. Penyitaan itu untuk tujuan kepentingan pembuktian. Disini terdapat

kekurangan ketentuan KUHAP ini, karena sesungguhnya penyitaan

57
Op. Cit, Andi Hamzah,. hlm. 121

46
seharusnya dapat dilakukan bukan saja untuk kepentingan

pembuktian, tetapi juga untuk benda-benda yang dapat dirampas.

Rumusan Pasal 1 butir 16 KUHAP telah dapat diketahui bahwa

penyitaan tersebut dilakukan oleh penyidik yakni sebagai berikut58:

1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia

2. PPNS

3. Komanda Sektor (Dansek)

4. Penyidik Pembantu

5. Penyidik berdasarkan undang-undang tertentu

Sebelum dilakukan penyidikan maka ternyata dari hasil-hasil

penyidikan yang telah diperolah ternyatapenyidik berpendapat bahwa

perlu dilakukan penyitaan atas barang-barang yang tercantum dalam Pasal

39 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut59:

1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau

sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari

tindak pidana.

2. Benda yang dipergunakan langsung untuk melakukan tindak pidana

atau untuk mempersiapkannya.

3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan

tidank pidana.

4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak

pidana.

58
Op. Cit, Laden Marpaung, hlm. 94
59
Ibid, hlm. 95

47
5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak

pidana yang dilakukan.

Dasar melakukan penyitaan, penyidik harus mengajukan permintaan

dilampiri “resume” dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan sehingga

jelas “hubungan langsung” barang yang akan disita dengan tindak pidana

yang sedang disidik.60

Permintaan izin penyitaan oleh penyidik kepada Ketua Pengadilan

Negeri, diatur oleh Pasal 38 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Penyitaan

hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan

Negeri setempat”61.

Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau

kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada

mereka yang paling berhak apabila62, sebagai berikut:

1. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi.

2. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau

ternyata tidak merupakan tindak pidana.

3. Perkara tersebut dikesampingkan umum

4. Pemeriksaan surat

Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat lain yang di

kirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan

komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan alasan

yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang di

periksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari Ketua Pengadilan
60
Ibidhlm 98
61
Ibidhlm. 99
62
Loc. Cit,CST Kansil, hlm. 369

48
Negeri. Adapun yang dimaksud “surat lain” adalah surat yang tidak

langsung mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang di periksa akan

tetapi dicurigai dengan alasan yang kuat, untuk kepentingan tersebut

penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi

kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk

itu harus diberikan surat tanda penerimaan63.

Hal sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan pada semua tingkat

pemeriksaan dalam proses peradilan menurut ketentuan yang diatur dalam

Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Apabila sesudah di buka dan

diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan perkara yang

sedang di periksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara, dan jika

sesudah diperksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan perkara

tersebut, surat itu ditutup rapi dan diserahkan kembali kepada kantor pos

dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atas pengangkutan

lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi “telah di buka oleh penyidik”

dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta identitas penyidik. 64

Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam

proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas

kekuatan sumpah jabatan isi surat yang dikembalikan itu (Pasal 48

KUHAP)65.

Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 47 dan Pasal 75 KUHAP. Turunan berita acara

tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kantor pos dan


63
Ibid, hlm. 370
64
Ibidhlm. 371
65
Ibidhlm. 373

49
telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau

pengangkut yang bersangkutan (Pasal 49 KUHAP). 66

Setelah selesai dilakukan penyidikan, maka berkas diserahkan kepada

Penuntut Umum (Pasal 8 ayat (2) KUHAP). Penyerahan ini dilakukan 2

tahap, yaitu:

1. Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara

2. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan

tanggung jawab tersangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut

Umum.

Jika penyerahan pada tahap pertama, penuntut umum berpendapat

bahwa berkas kurang maka penuntut umum dapat67:

1. Mengembalikan berkas perkara kepda penyidik untuk dilengkapi

diserati petunjuk (penuntut Umum menerbitkan P-18 dan P-19)

2. Melengkapi sendiri, dengan melakukan pemeriksaan tambahan (Pasal

30 ayat (1) huruf e UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI)

Berdasarkan Pasal 110 ayat (4) KUHAP, jika dalam waktu 14 hari

Jaksa Penuntut Umum tidak mengembalikan berkas kepada penyidik maka

penyidikan di anggap telah selesai.

Tugas dan wewenang Kepolisian Republik Indonesia telah dimuat

disejumlah peraturan salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 tentangKepolisian Republik Indonesia. Tugas pokok dari seorang

polisi terdapat di dalam Pasal 13 yaitu:

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

66
Ibidhlm. 374
67
Op. Cit, Laden Marpaung, hlm 13-14

50
2. Menegakkan hukum

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat

Kemudian di dalam Pasal 14 menjelaskan bagaimana menjalankan

tugas pokok sebagai dimaksud dalam Pasal 13 Kepolisian Negara Republik

Indonesia bertugas :

1. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli

terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan

2. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin

keamanan,ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan

3. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,

kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat

terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan

4. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional

5. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum

6. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknik

terhadapkepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-

bentuk pengamanan swakarsa

7. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak

pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-

undangan lainnya

8. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan

tugas kepolisian

51
9. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan

lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk

memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak

asasi manusia

10. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang

11. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan

dalam lingkungan tugas kepolisian

B. Tindak Pidana dan Tindak Pidana Eksploitasi Seksual

1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum

pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan

istilah “perbuatan jahat: atau “kejahatan” yang bisa diartikan secara yuridis

(hukum) atau secara kriminologis. Istilah tindak pidana sebagai terjemahan

dari “strafbaar feit” merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang

yang diancam dengan pidana.

Dengan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu

dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan

adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan

yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat (Verbrechen atau Crime).

Oleh karana dalam perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya,

maka persoalan tentang perbuatan tertentu itu diperinci menjadi dua, ialah

perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu.

52
Istilah tindak pidana dalam bahasa Belanda, dipakai dua istilah, yaitu

kadang-kadang dipakai istilah “strafbaar feit” kadang-kadang dipakai istilah

“delict”. Dalam bahasa Indonesia ada beberapa terjemahan seperti “peristiwa

pidana” dan ada juga terjemahan seperti “perbuatan yang dapat dihukum”.

Mengenai istilah istilah tindak pidana para ahli hukum memberikan

pengertian yang berbeda-beda, diantaranya :

a. Utrecht
Memakai istilah “Peristiwa Pidana” dengan alsan istilah “peristiwa”

meliputi sesuatu perbuatan (handelen) atau doen positif atau suatu

kelalaian (niet doen negatif) maupun akibatnya.68

b. Vos
Pengertian tindak pidana manusia yang oleh peraturan perundang-

undangan diberi hukuman. Menurut Vos sama dengan peristiwa

pidana, yaitu adalah suatu kelakuan. Dalam definisi Vos dapat dilihat

anasir-anasir sebagai berikut:

1) Suatu kelakuan manusia.

2) Akibat anasir ini ialah hal peristiwa dan pembuat tidak dapat
dipaskan yang satu dari yang lain

3) Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-


undangan (Pasal 1 ayat 1 KUHP) dilarang umum dan diancam
dengan hukuman. Kelakuan yang bersangkutan harus dilarang
dan diancam dengan hukuman, jadi tidak semua kelakuan

68
Utrecht, 1986, Hukum pidana 1, jakarta, Pustaka Tinta Mas.Hlm.252

53
manusia yang melanggar ketertiban hukum adalah suatu
peristiwa pidana.69

c. Moeljatno

Menggunakan istilah “Perbuatan Pidana” dengan pertimbangan bahwa

perbuatan itulah keadaan yang dimuat oleh seseorang atau barang

sesuatu yang dilakukan dan perbuatan itu menunjuk baik kepada

akibatnya maupun yang menimbulkan akibat.70

Moeljatno bahwa “dihukum berarti “diterapi hukum” baik hukum

pidana maupun hukum perdata. Hukuman adalah hasil atau akibat dari

penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas dari pada pidana,

sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum

perdata.71

Istilah tindak pidana yang berbeda dapat dijumpai dalam Undang-

Undang di Indonesia antara lain :

1. “Peristiwa Pidana” dipakai dalam Undang-Undang Dasar Sementara

1950.

2. “Perbuatan Pidana” dipakai dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1951.

3. “Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum” dipakai Undang-Undang

Darurat No. 2 Tahun 1951.

69
Ibid.Hlm.252.
70
Moeljatno,1983, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana,
Yogyakarta: Bina Aksara.Hlm.37
71
Muladi dan Barda Nawawi Arief,1992. Teori-teori Dan Kebijakan Pidana,Bandung,
hlm.1

54
4. “Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang

dapat dikenakan hukuman” dipakai Undang-Undang Darurat No. 16

Tahun 1951.

5. Undang-Undang Darurat No 7 Tahun 1953 tentang pemilihan umum

pada pasal 129 memakai “tindak pidana”.

6. “Tindak Pidana” Undang-Undang Darurat No.7 tahun 1955 tentang

penyusutan, penuntutan dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi

Pembentuk Undang-Undang telah menggunakan istilah “strafbaar

feit” untuk menyebut apa yang disebut sebagai “tindak pidana” di dalam

KUHAP tanpa memberikan suatu penjelasan tentang apa yang disebut

sebagai “strafbaar feit” tersebut. Oleh karena itu timbulah beberapa doktrin

mengenai pendapat tentang strafbaar feit tersebut. Mengenai pengertian

tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat para sarjana, berikut ini adalah

pendapat para sarjana mengenai penjelasan dari istilah “strafbaar feit”

tersebut.72

Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya “Asas-asas

Hukum Pidana Indonesia” menyebutkan: “Hukum merupakan rangkaian

peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota

masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah mengadakan

keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat”.73

72
P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 9-10.
73
Wirjono Prodjodikoro, 2002, Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Rafika Aditama,
Bandung, hlm.14

55
Tindak pidana menurut Simons,74 unsur-unsur tindak pidana adalah:

1. Adanya perbuatan manusia;

2. Diancam dengan pidana;

3. Melawan hukum;

4. Dilakukan dengan kesalahan,

5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab

Sedangkan menurut E. Merger,75 tindak pidana adalah keseluruhan

syarat untuk adanya pidana, maka dengan demikian unsur-unsur tindak

pidana adalah:

1. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan);

2. Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun subjektif);

3. Dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang;

4. Diancam dengan pidana.

Simons dan Merger menyebutkan adanya dua unsur dalam tindak

pidana tersebut, yaitu unsur objektif dan subjektif. Unsur objektif adalah

perbuatan orang dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan orang tersebut,

sedangkan unsur subjektif adalah kemampuan bertanggung jawab dari orang

74
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto: Fakultas Hukum UNDIP, Semarang,
hlm.5
75
Ibid, hlm. 41.

56
tersebut. Dan adanya unsur kesalahan (dolus dan culpa) dari perbuatan orang

tersebut.76

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat diketahui tindak

pidana adalah perbuatan melakukan atau tindak melakukan sesuatu yang

memeliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana, dimana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi

terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Membagi kelompok benda atau manusia dalam jenis-jenis tertentu

atau mengklasifikasikan dapat sangat beraneka ragam sesuai dengan

kehendak yang mengklasifikasikan, menurut dasar apa yang diinginkan,

demikian pula halnya dengan jenis-jenis tindak pidana.KUHP telah

mengklasifikasikan tindak pidana ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu

dalam buku kedua dan ketiga masing-masing menjadi kelompok kejahatan

dan pelanggaran77.

a) Menurut sistem KUHP

Dibedakan antara kejahatan yang dimuat dalam buku II dan

pelanggaran yang dimuat dalam Buku III . Alasan pembedaan antara

kejahatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran lebih ringan

dibandingkan kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana

pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara,

76
Ibid, hlm 42.
77
Amir Ilyas, 2012, Asas-asas Hukum Pidana, Rangkang Education, Makassar, hal.28

57
tetapi berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan dengan

ancaman pidana penjara.

b) Menurut cara merumuskannya

Dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materil.

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan

sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa larangan yang

dirumuskan adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan

tindak pidana formil tidak memerlukan dan/atau tidak memerlukan

timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat

penyelesaian tindak pidana, melainkan hanya pada perbuatannya.

Tindak pidana materil adalah menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh

karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang

dipertanggungjawabkan dan dipidana.

c) Berdasarkan bentuk kesalahan.

Dibedakan antara tindak pidana sengaja (dolus) dan tindak pidana

tidak dengan sengaja (culpa). Tindak pidana sengaja adalah tindak

pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau

mengandung unsure kesengajaan, sedangkan tindak pidana tidak

sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung

culpa.

d) Berdasarkan macam perbuatannya.

Dapat dibedakan antara tindak pidana aktif dan dapat juga disebut

tindak pidana komisi dan tindak pidana pasifdisebut juga tindak pidana

58
omisi. Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya

berupa perbuatan aktif. Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk

mewujudkannya diisyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang

yang berbuat. Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam

KUHP adalah tindak pidana aktif. Tindak pidana pasif ada 2 (dua),

yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak

murni.Tindak pidana pasif murni adalah tindak pidana yang

dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya

semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif.

Sementara itu, tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak

pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat

dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif atau tindak pidana yang

mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak

berbuat atau mengabaikan sehingga akibat itu benarbenar timbul

e) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya.

Dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak

pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama atau

berlangsung terus menerus. Tindak pidana yang dirumuskan

sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam

waktu seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan aflopende

delicten. Sebaliknya, ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian

rupa sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni

setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus

menerus yang disebut dengan voordurende delicten. Tindak pidana ini

59
juga dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu

keadaan yang terlarang.

f) Berdasarkan sumbernya.

Dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam

KUHP sebagain kodifikasi hukum pidana materil (Buku II dan Buku

III). Sementara itu, tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana

yang terdapat di luar kodifikasi KUHP.

g) Dilihat dari segi subjeknya.

Dapat dibedakan antara tindak pidana communia (tindak pidana yang

dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana propria (tindak

pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas

tertentu). Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan

untuk berlaku pada semua orang. Akan tetapi, ada perbuatan yang

tidak patut yang khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang

berkualitas tertentu saja, misalnya: pegawai negeri (pada kejahatan

jabatan) dan nakhoda (pada kejahatan pelayaran).

h) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan

Dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan. Tindak

pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk

dilakukannya penuntutan terhadap pembuatnya dan tidak diisyaratkan

adanya pengaduan dari yang berhak. Sementara itu, tindak aduan

adalah tindak pidana yang dapat dilakukan penuntutan pidana apabila

60
terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan

pengaduan.

i) Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan

Dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana

diperberat dan tindak pidana yang diperingan. Dilihat dari berat

ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi :

1) Dalam bentuk pokok disebut jugaentuk sederhana atau dapat

juga disebut dengan bentuk sederhana;

2) Dalam bentuk yang diperberat;

3) Dalam bentuk ringan.

Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap,

artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan. Sementara itu, pada

bentuk yang diperberat dan/atau diperingantidak mengulang kembali unsur-

unsur bentuk pokok, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk

pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau

ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas

dalam rumusan. Adanya faktor pemberat atau faktor peringan menjadikan

ancaman pidana terhadap bentuk tindak pidana yang diperberat atau yang

diperingan itu menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk

pokoknya.

3. Eksploitasi Seksual

61
Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban

yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan

paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan,

pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum

memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau

memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk

mendapatkan keuntungan baik materiil ataupun immateriil.78Eksploitasi

berkaitan dengan kegiatan yang bersifat perbudakan, pekerjaan dengan

paksaan atau kekerasan, dan kerja paksa, sedangkan eksploitasi seksual

berkaitan dengan prostitusi baik secara sukarela maupun dipaksa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “Eksploitasi adalah

pengusahaan pendayagunaan pemanfaatan untuk keuntungan sendiri,

penghisapan, pemerasan (tenaga orang)”. Departemen Pendidikan Nasional,

2007 :290)

Sedangkan eksploitasi menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang adalah sebagai berikut :

“Eksploitasi yaitu tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang


meliputi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktik serupa perbudakan penindasan, pemerasan,
pemanfatatan fisik,seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum
atau transplantasi organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga
atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan
baik materil maupun immateriil.”

78
UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Op.cit, Hlm. 4.

62
Kesimpulannya eksploitasi adalah tindakan yang berupa

pendayagunaan, pemanfaatan, pengusapan, pemerasan fisik maupun seksual

untuk mendapatkan keuntungan baik material maupun non material.

Freud menyebutkan bahwa “seks sebagai libido sexualis (libido =

gasang, dukana, dorongan hidup nafsu erotik). Seks juga merupakan

mekanisme bagi manusia untuk mengadakan keturunan. Karena itu seks

dianggap sebagai mekanisme yang sangat vital dimana manusia bisa

mengabadikan jenisnya”.79

Ekploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh

seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan,

termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan

pencabulan.80

Sarah Alexander, Stan Meuwese, dan Annemieke Wolthuis

mengemukakan bahwa Serikat Eropa mendefenisikan eksploitasi seksual

seperti berikut :

1) Penghasutan atau pemaksaan anak untuk terlibat dalam kegiatan seks

yang melanggar hukum;

2) Eksploitasi anak dalam prostitusi (pelacuran) atau praktek seksual

yang melanggar hukum lainnya, dan/atau;

3) Eksploitasi anak-anak dalam pertujukan dan materi-materi pornigrafi,

termasuk pembuatan, penjualan dan penyebaran atau bentuk-bentuk

79
Kartini kartono, 2005 Patologi Sosial Jilid. Jakarta : PT. raja Grafindo Persada hlm. 217
80
Ibid.

63
perdagangan lainnya dalam barang-barang tersebut. Dan kepemilikan

barang-barang semacam itu.81

Mengenai eksploitasi seksual diatur dalam Undang-undang Nomor 21

Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

dalam Pasal 1 ayat (8) dan Pasal 2 ayat (1) dan (2). Pada Pasal 1 ayat

(8)berbunyi:

“Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual


atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk
tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan”.
Pasal 2 ayat (1) berbunyi:

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,


pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang
atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendaliatas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi
orangtersebut diwilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.

Dengan demikian, pengertian eksploitasi seksual adalah mereka yang

terlibat dalam prostitusi, pelayanan atau pekerja seks atau menjadi objek

kegiatan pornografi yang dikarenakan oleh ancaman pemaksaan, penculikan

diperlakukan dengan salah, menjadi orang yang dijual atau karena korban

penipuan. Adapun eksploitasi dengan melacurkan orang lain adalah kegiatan

81
Alexander, Sarah, Meuwese, stan, Wolthuis, 2000,”Policies and Developments Relating
to the Sexual Exploitation of children: The Legacy of the Stockholm Conference”. Eurapean
Journal on Criminal Policy and Research. Amsterdam, desember, Vol; Edisi 4 ; hlm 479

64
untuk memperoleh uang dan keuntungan lain dari kegiatan melacurkan orang

lain dalam kegiatan prostitusi atau secara seksual. 82

C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Eksploitasi Seksual


1. Eksploitasi Seksual Dalam Hukum Pidana

Dalam merespon prostitusi ini hukum di berbagai Negara berbeda-

beda, ada yang mengkategorikan sebagai delik (tindak pidana), ada pula

yang bersikap diam dengan beberapa pengecualian, Indonesia termasuk

yang bersikap diam dengan pengecualian.

Pangkal hukum pidana Indonesia adalah Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) sebagai apa yang disebut sebagai hukum pidana

umum. Disamping itu terdapat pula hukum pidana khusus sebagaimana

yang tersebar di berbagai perundang-ungan lainnya. Berkaitan dengan

kegiatan eksplotasi seksual KUHP mengaturnya dalam pasal 296, 297

dan pasal 506. Di dalam Pasal 296 menyatakan bahwa :

“barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan


cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau
kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
Pasal 297 menyatakan bahwa “Perdagangan wanita dan

perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa diancam dengan pidana

penjara paling lama enam tahun”.

Sedangkan pasal 506 menyatakan bahwa :

82
Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,
Hlm. 24.

65
“barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seseorang wanita
dan menjadikannya sebagai pelacur, diancam dengan pidana kurungan
paling lama satu tahun”.83

2. Eksploitasi Seksual Dalam Undang-Undang Informasi Transaksi

dan Elektronik

Media sosial menjadi tempat alternatif marketing untuk menggaet

konsumen lelaki keranjang sampah kendati kerap pula digunakan untuk

menggaet konsumen kelas kakap dengan menggunakan gerakan “bawah

tanah”. Promosi kegiatan eksploitasi seksual dalam bentuk tulisan

maupun gambar dapat dikategorikan sebagai informasi elektronik yang

bermuatan melanggar kesusilaan.

Perbuatan promosi prostitusi online ini dapat dijerat melalui

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UUITE), Pasal 27 ayat 1 UUITE menyatakan:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau


mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan”
Sementara itu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi danTransaksi Elektronik ada beberapa pasal yang mengatur

tentang tindak pidanaeksploitasi seksual komersial yaitu pasal 27 ayat

(1), pasal 45 ayat (1) danpasal 52 ayat (1) jo 27 ayat (1).pasal 27 ayat (1)

berbunyi:

83
http://www.bawean.net/2012/02/prostitusi-dalam-tijnjauan-hukum-pidana.html. Diakses
tanggal 23 Agustus 2018, Pukul 14.00 WIB

66
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikandanatau
mentransmisikan danatau membuatdapatdiaksesnya Informasi dan
Transaksi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan yang melanggarkesusilaan”.

Pasal 45 ayat (1) berbunyi:


“Setiap orang memenuhi unsur sebagaimana dimaksuddalam Pasal 27
ayat (1), ayat (2). ayat (3), atau ayat (4)dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahundanatau denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satumilyar rupiah)”.

Pasal 52 ayat (1) jo. pasal 27 ayat (1) berbunyi:


“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalamPasal 27 ayat (1)
menyangkut kesusilaan atau eksploitasiseksual terhadap anak dikenakan
pemberatan sepertiga daripidana pokok”.

Ketentuan ini tidak menjelaskan secara detail apa yang dimaksud

dengan “muatan yang melanggar kesusilaan”. Namun promosi kegiatan

eksploitasi seksual secara online adalah hal yang melanggar kesusilaan

dan kepatutan. Sehingga mengacu pada ketentuan ini maka siapapun

yang membuat status, menyediakan link atau meng-upload informasi

elektronik berupa tulisan, gambar, audio atau video mengenai promosi

prostitusi maka dapat dijerat tindak pidana Pasal 45 juncto Pasal 27 ayat

1 UUITE.

3. Eksploitasi Seksual Dalam Undang-Undang Tindak Pidana

Perdagangan Orang

Eksploitasi seksual adalah pemanfaatan seseorang dalam aktifitas

seks untuk suatu imbalan. Dari sini bisa lihat dua kemungkinan, yakni

67
apakah orang yang melakukan tindakan tersebut melakukannya tanpa

paksaan atau tidak dengan paksaan. Apabila kegiatan tersebut dilakukan

tanpa paksaan, maka pelakunya dikenakan sanksi sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku..

Namun, apabila kegiatan eksploitasi seksual tersebut dilakukan

dengan ancaman kekerasan atau paksaan terhadap seseorang untuk mau

dijadikan pekerja seks komersial, maka tindakan tersebut dikenakan

pidana berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (“UU No. 21/2007”).

Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai eksploitasi orang, yakni

tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak

terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau

praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik,

seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan

atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan

tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan

keuntungan baik materiil maupun immateriil (Pasal 1 angka 7 UU No.

21/2007).

Sanksi bagi orang yang melakukan eksploitasi seperti berdasarkan

Pasal 2 ayat (1) UU 21 tahun 2007 adalah dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua

68
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus

juta rupiah).84

4. Eksploitasi Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak

a. Pengertian Anak

Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak

merupakan potensi nasib manusia di masa mendatang, dialah yang turut

berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa

pada masa mendatang. Anak dan generasi muda adalah dua hal yang tidak

dapat dipisahkan, karena anak merupakan bagian dari generasi muda.

Selain anak, di dalam generasi muda ada yang disebut remaja dan

dewasa.85

Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak

menurut hukum pidana, hukum perdata, hukum adat, dan hukum islam.

Secara internasional definisi anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai anak atau United Nation Convention on

Right of the Child.

Menurut Nicholas Mc. Bala dalam bukunya juvenile justice system

mengatakan bahwa “Anak adalah periode di antara kelahiran dan

permulaan kedewasaan. Masa ini merupakan masa perkembangan hidup,

juga masa dalam keterbatasan kemampuan termasuk keterbatasan untuk

membahayakan orang lain”.

84
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52f04db5110f4/ancaman-sanksi-bagi-
yang-mendirikan-tempat-prostitusi, dikutip tanggal 1 September 2018, Pukul 11.30 WIB.
85
Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2005, Hlm. 1.

69
Pengertian anak itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia

kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu

dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang

digunakan untuk menentukan umur anak.

Pengertian anak ini menjadi penting terutama berkaitan dengan upaya

perumusan batasan upaya pertanggungjawaban pidana (criminal

responsibility) terhadap seorang anak yang melakukantindak kriminal,

dalam tingkat usia berapakah seorang anak yang berprilaku kriminal dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana.86

Di Indonesia mengenai batasan usia tersebut dapat dilakukan

penelusuran terhadap beberapa peraturan perundang-undangan, sebagai

berikut:

1) Pasal 45 KUHP :

“Anak yang belum dewasa apabila seseorang tersebut belum

berumur 16 tahun.”

2) Pasal 1 Convention On The Rights of The Child :

Anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali

berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah

diperoleh sebelumnya. Yang dimaksud dengan anak adalah mereka

yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan

tertentu mental, fisik masih belum dewasa.

3) Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi manusia :Anak ialah setiap manusia yang berusia

86
Paulus Hadisuprapto, Op.Cit, hlm.1.

70
dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk

anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah

demi kepentingannya”.

4) Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak :Anak adalah orang yang dalam perkara anak

nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum pernah

kawin.

5) Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan

Anak :Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun termasuh anak yang masih dalam

kandungan.Ketentuan ini diambil dari Convention on the Right of

the Child, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Keppres

R.I Nomor 36 Tahun 1990 dengan sedikit perubahan didalamnya.

6) Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak :Anak adalahseseorang yang belum mencapai

umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

7) Pasal 1 angka 8 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarkatan :Anak pidana yaitu anak yang berdasarkan

putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama

sampai usia 18 (delapan belas) tahun. Artinya yang dimaksud anak

adalah seseorang sampai dengan usia 18 (delapan belas) tahun.

8) Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak :

Anak yang berkonflik dengan hukum, yang selanjutnya disebut

71
anak adalah orang yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi

belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun yang disangka,

didakwa atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana.

9) Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang :Anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan.

10) Pasal 1 angka (4) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang

PornografiAnak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun.

b. Hak dan Kewajiban Anak

Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak-anak

merupakan salahsatu pendekatan untuk melindungi anak-anak

Indonesia.Agar perlindungan hak-hak anak dilakukan secara teratur, tertib

dan bertanggung jawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras

dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.87

Dalam kaitannya dengan persoalan perlindungan hukum bagi anak-

anak, maka dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 34 telah

ditegaskan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh

87
Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2013,
hlm. 49-54.

72
Negara”. Hal ini menunjukkan adanya perhatian serius dari pemerintah

terhadap hak-hak anak dan perlindungannya.

Prinsip-prinsip Dasar KHA telah diadopsi oleh Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Dalam Pasal 2 Undang-

Undang tersebut dinyatakan, bahwa penyelenggaraan perlindungan anak

bersaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip

dasar Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) meliputi :88

1) non diskriminasi,

2) kepentingan yang terbaik bagi anak,

3) hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan,

4) penghargaan terhadap pendapat anak.

Berikut ini merupakan hak dan kewajiban anak menurut Undang-

Undang Nomor 35 Tahun2014 tentang Perubahan Pertama Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :

1) Hak Anak

a) Setiap anak berhak untuk dapat hidup,tumbuh dan berkembang

dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi (Pasal 4 ).

b) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan

status kewarganegarannya (Pasal 5).

88
Ibid, hlm. 130.

73
c) Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya berpikir

dan berekspresi sesuai dengan tingakat kecerdasan dan usianya

dalam bimbingan orang tua(Pasal 6).

d) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya dibesarkan

dan diasuh oleh orang tuanya sendiri (Pasal 7 ayat (1)). Dalam hal

karena suatu sebab orang tua tidak dapat menjamin tumbuh

kembang anak atau anak dalam keadaan terlantar maka anak

tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak

anagkat oleh orang lain sesuai ketentuan peraturan perundangan

yang berlaku (Pasal 7 ayat (2)).

e) Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan

sosial sesuai dengan kebutuhan fisik mentalSpiritual dan social

(Pasal 8).

f) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam

rangka pengembangan pribadinya dan sesuai tingkat

kecerdasannya sesuai dengan bakat dan minat, Selain hak anak

sebagaimana pada pasal 1 khusus bagi anak (Pasal 9 ayat

(1)).Khusus bagi anak menyandang cacat juga berhak

memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang

memilik keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus

(Pasal 9 ayat (2)).

g) Setiap anak berhak untuk didengar pendapatnya menerima,

mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat

74
kecerdasannya dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai

dengan nilai nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10).

h) Setiap anak berhak untuk didengar pendapatnya menerima,

mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat

kecerdasannya dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai

dengan nilai nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 11).

i) Setiap anak berhak untuk didengar pendapatnya menerima,

mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat

kecerdasannya dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai

dengan nilai nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 12).

j) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua wali atau pihak

lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak

mendapat perlindungan dari Perlakuan :

(1) Diskriminasi

(2) Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual

(3) Pelantaran

(4) Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan

(5) Ketidakadilan dan,

(6) Perlakuan salahlainnya (Pasal 13)

k) Setiap anak berhak untuk untuk diasuh oleh orang tua

sendiri,kecuali jika ada alasan dan atau aturan hukum yang sah

menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan

terbaikbagianakdan merupakan pertimbangan terkakhir (Pasal 14).

75
l) Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

(1) Penyalahgunaan dalamkegiatan politik

(2) Perlibatan dalam sengketa senjata

(3) Perlibatan dalam kerusuhan sosial

(4) Perlibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur

kekerasan

(5) Perlibatan dalam peperangan ( Pasal 15)

m) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dan sasaran

penganiayaan,penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak

manusiawi (Pasal16 ayat (1)).

n) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan

hukum (Pasal 16 ayat (2)).

o) Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya

dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlakudan hanya

dapat dilakukan sebagai upaya terakhir

p) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

(1) Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan

penempatannya dipisahkan dari orang dewasa

(2) Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara

efektif dalam setiap tahapan upaya hukumyang berlaku.

(3) Membela dari dan memperoleh keadilan didepan pengadilan

anak yang objektif dan tidak memihak dalam siding

tertutupp untuk umum ( Pasal 17 ayat(1)).

76
(4) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan

seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak

dirahasiakan ( Pasal 17 ayat (2)).

q) Setiak anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana

berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya

(Pasal 18).

2) Kewajiban Anak

Berdasarkan Pasal 19Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Pertama Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak Setiap, anak berkewajiban untuk :

a) Menghormati orang tua, wali dan guru

b) Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman

c) Mencintai tanah air,bangsa dan Negara

d) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya,dan

e) Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Anak yang berhadapan dengan hukum adalah seorang anak yang

sedang terlibat dengan masalah hukum atau sebagai pelaku tindak pidana,

sementara anak tersebut belum dianggap mampu untuk mempertanggung

jawabkan perbuatannya, menginggat usianya yang belum dewasa dan

sedang bertumbuh berkembang, sehingga berhak untuk dilindungi sesuai

dengan undang-undang.

77
Menurut hal ini adalah anak yang telah mencapai umur 8 tahun dan

belum mencapai 18 tahun atau belum menikah. Faktor penyebab anak

berhadapan dengan hukum di kelompokan menjadi 2 faktor yaitu faktor

internal dan faktor eksternal.

Faktor internal anak berhadapan dengan hukum mencakup:

keterbatasan ekonomi keluarga; keluarga tidak harmonis (Broken Home);

tidak ada perhatian dari orang tua, baik karena orang tua sibuk bekerja

ataupun bekerja di luar negeri sebagai TKI; lemahnya iman dan takwa

pada anak maupun orang tua.

Sedangkan untuk faktor eksternal ialah kemajuan globalisasi dan

kemajuan tekhnologi tanpa diimbangi kesiapan mental oleh anak;

lingkungan pergaulan anak dengan teman-temanya yang kurang baik;

tidak adanya lembaga atau forum curhat untuk konseling tempat anak

menuangkan isi hatinya; kurangnya fasilitas bermain anak mengakibatkan

anak tidak bisa menyalurkan kreativitasnya dan kemudian mengarahkan

kegiatannya untuk melanggar hukum89.

Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 Pasal 1 ayat 2 (dua) dan 3

(tiga) tentang system peradilan pidana anak juga terdapat pengertian

mengenai Anak yang berhadapan dengan Hukum yaitu anak yang

berkonflik dengan Hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan

anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan

Hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12

(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan nj anak yang

89
Ismi Dwi A Nurhaeni, 2010. .Kajian Anak Yang Berhadapan Dengan
HukumJawaTengah

78
berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan

anak yang menjadi saksi tindak pidana.

Jika seorang anak yang berhadapan dengan hukum,yang harus

dilindungi adalah hak-haknya sebagai manusia yang terdapat dalam

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-

undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.Dengan

demikian bukan perbuatannya yang dilindungi, tetapi lebih pada

pembelaan hak asasi manusianya.Hak-hak anak yang berhadapan dengan

hukum :

a. Setiap anak yang melakukan tindak pidana sejak ditangkap/ditahan

berhak mendapatkan bantuan hukum dari seseorang atau penasehat

hukum selama dalam waktu dan setiap tingkat pemeriksaan. Pejabat

yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan

kepada tersangka dan orang tua, wali atau orang tua asuh mengenai

hak untuk memperoleh bantuan, dan berhak berhubungan langsung

dengan penasehat hukum dengan diawasi tanpa di dengar pejabat

yang berwenang

b. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang layak manusiawi sesuai

dengan martabat dan hak-hak anak.

c. Hak untuk dipenuhi kebutuhan jasmani, rohani, social anak selama

masa penahanan dan menjalani hukuman.

d. Hak untuk menerima kunjungan atau dengan kata lain pemberian

jaminan untk mempertahankan hubungan dengan orang tua dan

keluarganya.

79
e. Hak untuk penjatuhan sanksi untuk kepentingan yang terbaik untuk

anak

f. Hak untuk pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap

perkembangan anak berhadapan dengan hukum.

Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, proses hukum dalam

menangani anak yang berhadapan dengan hukum adalah :

a. Tahap Penyidikan

1. Penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh penyidik yang

ditetapkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia. Tugas penyidikan dilaksanakan oleh penyidik tindak

pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.

2. Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadapanak korban dan anak

saksi, penyidik wajib meminta laporan social dari pekerja social

professional atau tenaga kesejahteraan social setelah tindak pidana

dilaporkan atau di adukan( Pasal 7 ).

3. Penyidik wajib mengupayakan Diversi dalam waktu paling lama 7

(tujuh) hari setelah penyidikan dimulai. Proses Diversi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (

tiga puluh) hari setelah dimulainya Diversi. Dalam proses Diversi

berhasil mencapai kesepakatan, Penyidik menyampaikan berita

acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan

negeri untuk di buat penetapan. Dalam hal Diversi gagal, penyidik

wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke

80
penuntut umum dengan melampirkan berita acara Diversi dan

laporan peneltian kemasyaakatan. ( Pasal 29)

b. Tahap Penangkapan dan Penahanan

1. Penangkapan terhadapan anak dilakukan guna kepentingan

penyidikan paling lama 24 ( dua puluh empat) jam. Anak yang

ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus anak.

Dalam hal ruang pelayanan khusus anak belom ada di wilayah yang

bersangkutan, anak di LKPS. Penahanan terhadap anak wajib

dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan

sesuai dengan umurnya (Pasal 30)

2. Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak

memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan/atau tidak akan

mengulangi tindak pidana. Penahanan terhadap anak hanya dapat

dilakukan syarat sebagai berikut (Pasal 32) :

3. Anak yang berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih dan

4. Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7

(tujuh) tahun atau lebih.

Syarat penahanan sebagaimana dimaksud harus dinyatakan secara

tegas dalam surat perintah penahanan. Selama anaka di tahan, kebutuhan

jasmani, rohani dan sosial anak harus tetap dipenuhi. Untuk melindungi

keamanan anak, dapat dilakukan penempatan anak di LPKS.

81
Penahanan sebgaimana dimaksud dalam Pasal 32 untuk kepentingan

penyidikan dilakukan paling lama 7(tujuh)hari. Dalam hal jangka waktu telah

berakhir, anak wajib dikeluarkan demi hukum (Pasal 33). Dalam hal

penahanan dilakukan untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum dapat

melakukan penahanan paling lama 5(lima) hari. Dalam hal jangka waktu

sebagaimana dimaksdud pada ayat (2) telah berakhir, anak wajib dikeluarkan

demi hukum (Pasal 34)

Dalam hal penelitian dilakukan untuk kepentingan pemeriksaaan

disidang pengadilan. Hakim dapat melakukan penahanan paling lama

10(sepuluh) hari. Jangka waktu atas permintaan hakim dapat diperpanjang

oleh pengadilan negri paling lama 15 (lima belas) hari. Dalam hal jangka

waktu telah berakhir dan hakim belum memeberikan putusan, anak wajib

dikeluarkan demi hukum (Pasal 35). Penetapan pengadilan mengenai

penyitaan barang bukti dalam perkara anak harus ditetapkan paling lama

2(dua) hari (Pasal 36).Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan

pemeriksaan ditingkat banding, hakim banding dapat melakukan penahanan

paling lama 10 ( sepuluh) hari (Pasal 37)

Penahanan hukuman terhadap anak yang melakukan tindak pidana

haruslah berbeda dengan penanganan orang dewasa. Karena anak-anak juga

merupakan korban dari lingkungannya yang membuat anak terjebak

melakukan hal-hal yang melanggar norma hukum yang hidup dalam

masyarakat.

Undang-undang membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak

pidana dalam tiga kategori :

82
a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana

Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya

disebut anak adalah anak yang telah berumur 12(dua belas) tahun,

tetapi belumberumur 18(delapan belas) tahun yang diduga

melakukan tindakpidana (Pasal 1 angka(3))

b. Anak yang menjadi korban tindak pidana

Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya

disebutanak korban adalah anak yang belum berumur 18(delapan

belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau

kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana

Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya

disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan

belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan

tentang suatuperkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau

dialaminya sendiri. (Pasal 1 angka 5)

Dalam penelitian ini, mengenai anak sebagai korban tindak pidana

eksploitasi seksual adalah anak sebagai korban. Selanjutnya yang tercantum

dalam Pasal 1 angka (4) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa “Anak yang mengalami penderitaan

fisik, mental, atau kerugian ekonomi maka anak korban dan atau anak saksi

berhak atas semua perlindungan dan hak yang di atur dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan.

83
Selain itu Pasal 90 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Anak disebutkan bahwa anak korban dan saksi

berhak atas :

a. Upaya Rehabilitasi media dan rehabilitaasi social, baik di dalam

lembaga maupun diluar lembaga

b. Jaminan keselamatan, baik fisik, mental maupun social dan

c. Kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenaiperkembangan

perkara

Dalam Pasal 91 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Anak bahwa adanya perlu pembimbing kemasyarakatan,

pekerja sosial professional, lembaga kesejahteraan perlindungan anak, dan

instansi yang menangani perlindungan anak. Anak yang menjadi korban

tindak pidana eksploitasi seksual maupun anak yang menjadi korban tindak

pidana lain dalam proses penyelidikan mendapatkan perlakuan yang sama

sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam Undang-undang Nomor 11 tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Anak yaitu :

a. Menurut Pasal 17 ayat (1): “Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim

wajib memberikan pelindungan khusus bagi Anak yang diperiksa

karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat. “

b. Menurut Pasal 18 : “Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban,

dan/atau Anak Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial

Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut

Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya

84
wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan

mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara.”

c. Menurut Pasal 19 : Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi

wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun

elektronik. Identitas meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama

Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat

mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.

d. Menurut Pasal 22 : “Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing

Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan

petugas lain dalam memeriksa perkara Anak, Anak Korban, dan/atau

Anak Saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan.”

e. Menurut Pasal 23:

Ayat (1) : “Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan

bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan

atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan."

Ayat (2) : “Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau

Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang

dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja

Sosial.“

Ayat (3) : “Dalam hal orang tua sebagai tersangka atau terdakwa

perkara yang sedang diperiksa, ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) tidak berlaku bagi orang tua.”

f. Menurut Pasal 26:

85
Ayat (1) : “Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan oleh

Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

Ayat (2) : “Pemeriksaan terhadap Anak Korban atau Anak Saksi

dilakukan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

Ayat (3) : “Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

1) telah berpengalaman sebagai penyidik;

2) mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami

masalah Anak; dan

3) telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.”

Ayat (4) : “Dalam hal belum terdapat Penyidik yang memenuhi

persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tugas penyidikan

dilaksanakan oleh penyidik yang melakukan tugas penyidikan tindak

pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.”

g. Menurut Pasal 27:

Ayat (1) : “Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara Anak,

Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing

Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.”

Ayat (2) : “Dalam hal dianggap perlu, Penyidik dapat meminta

pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater,

tokoh agama, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan

Sosial, dan tenaga ahli lainnya.”

86
Pemeriksaan terhadap anak korban tindak pidana tersebut dilakukan

diruangan tertutup (dapat dibuat siding tertutup untuk umum) dan dipisahkan

dari orang dewasa dam perlu adanya orang pendamping yang professional

untuk anak tersebut, maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang

berlaku dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-

pihak terkait penyelesaian tersebut.

Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Pelindungan Anak telah menjelaskan secara tegas mengenai

pengeksploitasian seksual anak. Pasal dengan pemberatan pidana dimana

perbuatan pengeksploitasian seksual dilakukan dengan tujuan untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan korban dari tindak pidana

tersebut masih dibawar umur yang seharusnya dilindungi serta djauhkan dari

kegiatan bertentangan dengan harkat seorang anak, meskipun ada anak secara

diam-diam masuk dalam kegiatan prostitusi.

Unsur-unsur Pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perubahan Pertama Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak yaitu :

1. Setiap orang; Orang merupakan unsur subyektif yakni pelaku


melakukan perbuatan tindak pidana yang mampu
dipertanggungjawabkan secara hukum atas perbuatan pidana yang ia
lakukan tersebut.
2. Yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak; Yang
mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak yaitu memperkerjakan
atau memperdagangkan anak dalam bidang seksual untuk
mendapatkan keuntungan.

87
3. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Seorang yang mengeksploitasi seksual anak mempunyai maksud dan

tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan

melakukan tindak pidana eksploitasi terhadap seksual anak yang mana

seorang anak harus mendapat perlindungan dan di jauhkan dari

kegiatan prostitusi yang bertentangan dengan harkatnya.

c. Bentuk Eksploitasi Seksual

Terdapat tiga bentuk eksploitasi seksual komersial anak yaitu

pelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan (trafficking) anak untuk

tujuan seksual. Pelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan (trafficking)

anak untuk tujuan seksual merupakan tiga fenomena yang saling berkaitan

satu sama lain. Pelacuran anak dan perdagangan anak sangat erat kaitannya.

Anak-anak bisa berakhir dengan dilacurkan karena proses trafficking jika

mereka di angkut di dalam atau melintasi batas negara untuk tujuan

eksploitasi seksual. Pelacuran anak juga bisa menjadi tujuan sebuah proses

trafficking. Anak-anak yang dieksploitasi dalam pelacuran juga bisa

dimanfaatkan dalam pembuatan bahan-bahan pornografi atau semakin

dieksploitasi dengan dimanfaatkan dalam pertujukan-pertunjukan

pornografi.90

a. Pelacuran Anak

Pelacuran atau yang sering disebut juga dengan prostitusi atau

persundalan secara umum adalah praktek hubungan seksual sesaat,

90
Ibid, hlm. 58 Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak,

88
yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja, untuk imbalan berupa

uang. Tigaunsur utama dalam praktek pelacuran adalah pembayaran,

promiskuitas, danketidakacuhan emosional.91

Ada banyak hukum asasi manusia internasional yang melarang

pelacuran anak. Konvensi Hak Anak meminta negara-negara peserta

untuk melindungi anak- anak dari eksploitasi dalam pelacuran.92Tetapi

tidakmemberikan sebuah definisi tentang pelacuran anak.

Pasal 34 Konvensi Hak Anak menyebutkan:

“Negara-Negara Peserta berusaha untuk melindungi anak

darisemua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual.

Untuk tujuan ini, Negara-Negara Peserta khususnya akan mengambil

langkah-langkah yang layak, bilateral dan multilateral untuk

mencegah:

a. Bujukan atau paksaan agar anak terlibat dalam setiap

kegiatanseksual yang tidak sah;

b. Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pelacuran atau

praktekpraktek seksual lain yang tidak sah;

c. Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pertunjukkan-

pertunjukkandan bahan-bahan yang bersifat pornografis

Pelacuran anak adalah tindakan menawarkan pelayanan seorang

anak untuk melakukan tindakan seksual demi uang atau bentuk

imbalan lain dengan seseorang atau kepada siapapun. Para aktivis hak-

hak anak pada dasarnya menghindaripenggunaan istilah pelacur anak


91
Thanh-Dam Truong, 1992, Seks, Uang dan Kekuasaan, Pariwisatan dan Pelacuran di
Asia Tenggara, Jakarta, LP3ES, hal. 15.
92
Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Op. Cit, hlm. 15

89
(child prostitutes) karena cenderung berkonotasinegatif. Istilah yang

digunakan adalah anak-anak yang dilacurkan (prostitutedchild) yang

menyiratkan kesadaran bahwa kehadiran anak-anak di dalam

pelacuranadalah sebagai korban mengingat anak belum mampu untuk

mengambil keputusanmemilih pekerja seks sebagai profesi.

Ketika istilah pelacur anak atau pekerja seks anak dipergunakan,

kesannyaadalah bahwa seorang anak seolah-olah telah memilih

pelacuran sebagai sebuahpekerjaan atau profesi. Garis pemikiran ini

menutupi kenyataan bahwa orang-orangdewasalah yang sebenarnya

menciptakan permintaan atas anak-anak sebagai objekseks dan

mereka siap untuk menyalahgunakan kekuasaan dan keinginan

merekauntuk mengambil keuntungan.93

b. Pornografi Anak

Pornografi terhadap anak merupakan penggambaran,

penyebarluasan ataupromosi kekerasan atau perlakuan seks terhadap

anak termasuk di dalamnyagambar, video, film, komputer, atau bahan

cetakan lain. Penampilan ataupenayangan kepada publik adegan seks

atau dengan organ seks anak-anak untukmaksud memberikan kepada

para penontonnya juga termasuk pornografi anak.94

Pemanfaatan anak-anak sebagai objek kegiatan pornografi masih

belumbegitu banyak menjadi perhatian publik, sehingga sulit untuk

mendapatkangambaran data secara kuantitatif besaran angkanya.

93
Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Op. Cit, hal. 57
94
Ibid, hlm 125

90
Namun yang jelas, secarakualitatif intensitas penggunaan anak-anak

sebagai objek sudah jelas terlihat darisitus-situs porno internet.

Pornografi anak, termasuk imajiner kekerasan seksual terhadap

anak,merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak-hak anak.

Pornografi anak termasukkekerasan seksual maupun eksploitasi

seksual komersial anak dan terkait denganpelacuran anak dan

perdagangan (trafficking) anak untuk tujuan seksual.Pemanfaatan

anak yang paling jelas adalah untuk menimbulkan nafsu seks

dankepuasan seks. Akan tetapi, pornografi anak juga dipergunakan

untukmembenarkan bahwa tingkah laku dan keyakinan pelaku

kekerasan terhadap anak adalah sebagai suatu hal yang normal,

menimbulkan rasa percaya diantara orangorangyang tertarik dengan

kekerasan terhadap anak, mendapatkan jalan masuk kedalam klub-

klub pribadi dan untuk memperoleh sebuah keuntungan. Pada tingkat

masyarakat, pornografi anak-anak yang melibatkan foto asli anak atau

foto tiruan anak terus menumbuhkan sebuah permintaan yang

melibatkan kekerasan seksualdan eksploitasi seksual terhadap anak. 95

Pornografi anak mengeksploitasi anak-anak dengan berbagai cara

antara lain:

a. Pertama, anak-anak dapat ditipu atau dipaksa untuk

terlibat dalam tindakan seksual untuk pembuatan bahan-

bahan pornografi atau mungkin gambar-gambar tersebut

dibuat dalam proses pengeksploitasian seorang anak

95
Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Op. Cit, hlm. 69

91
secara seksual tanpa sepengetahuan anak tersebut.

Gambar-gambar ini kemudian disebarkan, dijual, atau

diperdagangkan.

b. Kedua, permintaan akan gambar anak-anak tersebut

menjadi perangsang untuk membuat bahan-bahan porno

tersebut. Oleh karena itu, orang-orang yang

“mengkonsumsi” dan/atau memiliki gambar anak-anak

tersebut terus mengeksploitasi anak-anak ini.

c. Ketiga, bahan-bahan pornografi sering dipergunakan oleh

para pelakukekerasan terhadap anak untuk mengurangi

rintangan anak dan untukmemberikan kesan bahwa seks

antara orang dewasa dengan anak-anak adalah sesuatu

yang normal, bisa diterima. ini adalah bagian dari proses

grooming yaitu membesarkan atau menyiapkan.

d. Keempat, para pembuat pornografi pada umumnya

menggunaka “produk-produk” mereka untuk memaksa,

mengintimidasi, atau memerasanak-anak yang

dipergunakan dalam membuat bahan-bahan seperti itu.

Saat ini di Indonesia, pornografi anak semakin marak dan semakin

mengkhawatirkan. Kemajuan sistem informasi dan teknologi yang

sangat pesat selain memberi manfaat yang cukup besar, ternyata juga

memiliki dampak negatif yang sangat besar pula. Bukan rahasia

umum lagi bahwa pornografi anak sering dibuat dan disebarkan

dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi

92
sertainternet. Teknologi-teknologi baru dan pertumbuhan internet

menciptakan lebih banyak kesempatan bagi pelaku eksploitasi anak

dan pengguna pornografi anak,memfasilitasi perkembangan serta

memperluas jangkauan jaringan penyebaran pornografi anak.

Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi jugamenfasilitasi

terjadinya kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak yang

terorganisir yang dilakukan oleh jaringan para pembeli komersial,

wisatawan seks, pedofil, dan pelaku trafficking serta berbagai bentuk

pelacuran anak dan remaja.Anak-anak yang menggunakan teknologi

informasi dan komunikasi dalamkehidupan mereka sehari-hari juga

beresiko terhadap eksploitasi seksual.

c. Perdagangan (trafficking) Anak Untuk Tujuan Seksual

Menurut Protocol to Prevent, Supress and Punish Trafficking in

Persons, Especially Women and Children, supplementing to the

United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime

selanjutnya disebut dengan Protokol Trafficking pada Pasal 3

mendefinisikan trafficking (perdagangan) manusia adalah sebagai

berikut:

“Trafficking (perdagangan) manusia adalah rekruitmen,

transportasi,transfer, penampungan atau penerimaan orang, dengan

ancamanatau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan

lainnya, penculikan, penipuan, pemerdayaan, penyalahgunaan

kekuasaan atau ketergantungan atau dengan pemberian atau

93
penerimaan pembayaran atau imbalan lain dalam memperoleh

persetujuan dari seseorang yang memiliki kendali atas orang lainnya,

untuk tujuan eksploitasi.”

Eksploitasi setidak-tidaknya akan meliputi eksploitasi dalam

bentuk pemelacuran orang lain atau dalam bentuk-bentuk eksploitasi

seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-

praktek yang menyerupai perbudakan, penghambaan dan pengambilan

organ tubuh. Jadi unsur-unsur dari Trafficking itu sendiri ialah :

1. Rekruitmen, transportasi, transfer, penampungan atau

penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi akan

dianggap sebagai “trafficking” (perdagangan) manusia,

bahkan apabila hal tersebut tidak melibatkan cara-cara

sebagaimana dipaparkan dalam sub paragraph (a) dalam pasal

ini.

2. Anak berarti setiap orang yang umurnya belum mencapai 18

(delapanbelas) tahun.

D. Modus dan Operandi Tindak Pidana Eksploitasi Seksual

Pengertian modus operandi dalam lingkup kejahatan yaitu operasi

cara atau teknik yang berciri khusus dari seorang penjahat dalam melakukan

perbuatan jahatnya.96 Modus operandi berasal dari bahasa Latin, artinya

prosedur atau cara bergerak atau berbuat sesuatu. Dalam hukum pidana

tradisional, seseorang dikatakan sebagai penjahat atau pelaku kejahatan

96
Dirjosisworo. 1984. Ruang Lingkup Kriminalogi, Rajawali, Jakarta hal 77

94
apabila orang tersebut telah melakukan kejahatan yang dapat dihukum dimasa

lampau.

Dalam pandangan hukum sendiri penjahat atau pelaku kejahatan

adalah seseorang yang dianggap telah melanggar kaidah-kaidah hukum dan

perlu dijatuhi hukuman. Namun perlu diketahui pula tentang ukuran-ukuran

yang menentukan apakah seseorang dapat diperlakukan sebagai penjahat atau

tidak. Kriminalitas berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan.

Pengertian tindak kriminalitas menurut bahasa adalah sama dengan kejahatan

yaitu perkara kejahatan yang dapat dihukum menurut undang-undang,

sedangkan pengertian kriminalitas menurut istilah diartikan sebagai suatu

kejahatan yang tergolong dalam pelanggaran hukum positif (hukum yang

berlaku disuatu Negara).

Pengertian kejahatan sebagai unsur tindak kriminalitas secara

sosiologis mempunyai 2 unsur, yaitu: Kejahatan ialah perbuatan yang

merugikan secara ekonomis dan merugikan secara psikologis dan melukai

perasaan susila dari suatu segerombolan manusia, dimana orang-orang itu

berhak melahirkan celaan.97 Dengan demikian, pengertian kriminalitas adalah

segala macam bentuk tindakan dan perbuatan yang merugikan secara

ekonomis dan psikologis yang melanggar hukum yang berlaku dalam Negara

Indonesia serta noma-norma sosial dan agama.

Pelaku eksploitasi seksual biasanya bermain dengan pola pola

tersendiri yang sangat sulit dicium oleh aparat penegak hukum. Kegiatan

tersebut mempunyai jaringan tersendiri, dalam jaringan ini mucikari

97
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, hal 65

95
membentuk beberapa pola cara penjaringan terhadap PSK dan konsumen

adapun beberapa bentuk pola sebagai berikut98:

1. Pola Pelaku Menjaring PSK

Pelaku melakukan pola menjaring PSK yaitu dengan menemukan

calon PSK wanita dewasa dan wanita dibawah umur ditempat –tempat

dikunjungi oleh PSK wanita dewasa dan wanita dibawah umur itu sendiri

seperti kafe yang yang buka 24 jam, sehingka pelaku dapat

mempertemukan antara konsumen dengan PSK. Dimana pelaku pada

umumnya melakukan kegiatan tersebut pada malam hari. Adapun cara

penjaringan eksploitasi seksual dalam bentuk prostitusi sebagai berikut:

c. Melalui PSK anak dibawah umur

Suatu cara yang dilakukan oleh pelaku untuk mendapatkan

calon PSK baru yang didapat melalui PSK yang telah lama terlibat

dalam kegiatan prostitusi. Dimana PSK tersebut mencari PSK baru

yang belum pernah terlibat dalam kegiatan ini sehingga PSK baru

tersebut tertark untuk mendapatkan uang secara lebih mudah

d. Melalui Media Sosial

Pemanfaatan sosial media seperti aplikasi yang biasa di

download melalui smartphone seperti whatsApp, Line, Bbm, Bigo

live dan Istagram mempermudah pelaku untuk mengubungkan antara

konsumen dengan PSK. Pelaku menawarkan beberapa PSK kepada

konsumen dengan mengirimkan foto melalui aplikasi tersebut

98
Skripsi Putri Nindy, 2018, Pelaksanaan Perlindungan hukum Terhadap Anak Sebagai
Korban Prostitusi di Polresta Padang, Unversitas Andalas , Padang hlm 76-77

96
apabila konsumen setuju maka terjadilah transaksi dan pelaku

menghubungi psknya untuk menemui konsumen

2. Pola pendistribusian PSK

Dalam pendistribusian PSK baik itu PSK wanita dewasa maupun

anak di bawah umur, terdapat cara khusus yang dilakukan oleh pelaku

yaitu dengan cara mengkoordinir. Dimana pelaku mengatur segala

aktifitas eksploitasi seksual dari segala masalah harga maupun tempat.

Untu masalah tempat mereka menggunakan hotel berbintang agar aparat

penegak hukum sulit mencium aktivitas ini .

97
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Terhadap

Anak ( Studi di Ditreskrimum Polda Sumbar)

Eksploitasi seksual anak merupakan pelanggaran terhadap hak anak dan

mencakup tindakan-tindakan kriminal yang merendahkan dan mengancam

integritas fisik dan psikososial anak .Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-

hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa

dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau

orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai

sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi Seksual Komersial

Anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak, dan

mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern.

Di kota Padang, seperti kawasan daerah pondok, kawasan daerah Gor H.

Agus Salim, jalan Diponegoro , jalan Chairil Anwar, dan jalan samudera

merupakan daerah lokalisasi tindakan ekploitasi seksual dalam bentuk prostitusi

secara komersil yang telah menjadi rahasia umum. 99Ternyata kegiatan ini tidak

hanya terdapat di kawasan tersebut tetapi juga terdapat di berbagai tempat seperti

Hotel, wisma , kafe, salon, dan taman melati. Dan itu didukung oleh data yang di

dapat penulis dari Satuan Polisi Pamong Praja kota Padang yang melakukan

kegiatan operasionalnya yang melaksanakan Peraturan Daerah Nomor 11 tahun

99
Wawancara, Kanit PPA AKP Zulfastri Polda Sumbar, pada tanggal 30 Juli 2018

98
2005 tentang Ketertiban umum dan Ketentraman Masyarakat. Berikut jumlah

kasus prostitusi yang terjadi di kota Padang dari tahun 2015-2016

Dari kegiatan operasional Polisi Pamong Praja masih banyaknya pelanggar

Perda Nomor 11 tahun 2005 tentang Ketertiban umum dan Ketentraman

Masyarakat yang terjaring razia di berbagai tempat adapun tahun 2013 sebanyak

184 kasus , tahun 2014 ada 101 kasus , tahun 2015 ada 307 kasus, dan pada tahun

2016 sebanyak 106 kasus . Sedangkan di tahun 2017 yang menjadi pusat

perhatian dari kegiatan seksual illegal ini adalah meningkat jumlah pekerja sek

komersial sepanjang tahun 2017 yang berjumlah 22 orang. Dengan adanya data

yang di dapat maka praktik ini merupakan bentuk penyakit masyarakat yang

menonjol di kota Padang sehingga harus mendapatkan perhatian khusus dari

pemerintahan dan penegak hukum dalam usaha menanggulangi bentuk

pelanggaran hukum.100

Kegiatan ini tidak hanya melalui suatu tempat seperti Salon, spa hotel,

dan lain-lain, Demi mengelabui aparat penegak hukum, para pekerja seks

komersial tidak kehabisan strategi dalam melakukan pekerjaannya tersebut.

dengan memanfaatkan banyaknya jenis media sosial untuk menarik calon

pelanggan. Biasanya menggunakan aplikasi chat yang di download melalui

handphone android yang di sebut prostitusi online. Selain PSK itu sendiri

menawarkan dirinya melalui sosial media, juga terdapat oknum yang menjadi

pihak perantara antara pelanggan dan PSK yang di istilahkan sebagai mucikari.

Pada saat sekarang ini untuk mempermudah aksi mucikari umumnya

melakukan melalui media sosial agar lebih efektif, efisien dan dapat mengelabui
100
Sumber :Satpol PP Kota Padang

99
aparat penegak hukum. Selain itu juga dapat membentuk sebuah sebuah jaringan

dengan mucikari lainnya untuk mencari pelanggan untuk PSKnya. Jika melihat

dari kenyataannya prostitusi online ini terlihat seperti kasus prostitusi-prostitusi

lainnya, namun mengingat prostitusi online ini selalu melibatkan pihak ketiga

sebagai perantara dengan menentukan harga, mengirimkan foto dengan media

elektronik dan mengantarkan kepada pelanggan. Yang nantinya mucikari akan

mendapatkan fee atau komisi dari konsumen dan PSK yang persentasenya sudah

ditentukan berdasarkan kesepakatan.

Kepolisian Daerah Sumatera Barat atau Polda Sumbar (dulu bernama

Komando Daerah Kepolisian (Komdak atau Kodak) III/Sumatera Barat) adalah

pelaksana tugas Kepolisian RepubIik Indonesia di wilayah ProvinsiSumatera

Barat yang berkedudukan di ibu kota provinsi yaitu kota Padang. Polda Sumatera

Barat tergolong Polda tipe A karena itu dipimpin oleh seorang kepala kepolisian

daerah yang berpangkat bintang dua atau Inspektur Jenderal Polisi

Selain melaksanakan tugas, menjalankan fungsi, dan memeliki wewenang

yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang di jabarkan pada tinjauan

pustaka penulis tentang tugas dan wewenang kepolisian, Polda Sumbar memilik

visi dan misi. Adapun visi dan misi Polda Sumbar Sebagai berikut :101

Visi sebagai berikut :

Terwujudnya pelayanan Kamtibmas Prima, tegaknya hukum dan

keamanan yang mantap di wilayah Sumatera Barat serta terjalinnya kerjasama

101
https://poldasumbar.info/visi-dan-misi/

100
(Networking) berdasarkan falsafah “Adat Basandi Syara’, Syara’ basandi

Kitabullah”, melalui pendekatan “Tungku Tigo Sajarangan”

Misi :

1. Menegakkan hukum secara Profesional, Obyektif, Proporsional,

Transparan dan Akuntabel, menjamin kepastian hukum dan rasa

keadilan;

2. Memberikan bimbingan kepada masyarakat serta melakukan

kerjasama untuk menciptakan rasa aman;

3. Memberikan perlinduntgan, pengayoman dan pelayanan secara

mudah, responsif dan tidak diskriminatif;

4. Mengembangkan perpolisian masyarakat (Community Policing) yang

berbasis pada masyarakat patuh hukum (Law Abiding Citizen);

5. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan secara

mudah, cepat, tanggap, responsif dan tidak diskriminatif agar

masyarakat bebas dari segala bentuk fisik dan psikis;

6. Mengelola secara profesional sumber daya, serta meningkatkan upaya

konsolidasi Polda Sumbar untuk mewujudkan keamanan Sumatera

Barat sehingga dapat mendorong meningkatkan gairah kerja mencapai

kesejahteraan anggota;

7. Memelihara Kamtibcarlantas untuk menjamin keselamatan dan

kelancaran arus orang dan barang diwilayah hukum Polda Sumbar;

8. Melaksanakan deteksi dini dan peringatan dini melalui

kegiatan/operasi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan;

101
9. Menjamin keberhasilan penanggulangan gangguan keamanan dalam

wilayah hukum Polda Sumbar;

10. Meningkatkan perpolisian masyarakat yang berbasis pada masyarakat

yang patuh hukum.

Salah satu unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah Kapolda

ialah Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum).Ditreskrimum bertugas

menyelenggarakan penyelidikan, penyidikan, dan pengawasan penyidikan tindak

pidana umum, termasuk fungsi identifikasi dan laboratorium forensik lapangan.

Dalam melaksanakan tugasnya, Ditreskrimum menyelenggarakan fungsi: 102

1. Pembinaan pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana

umum,

identifikasi, dan laboratorium forensik lapangan;

2. Pelayanan dan perlindungan khusus kepada remaja, anak, dan wanita

baik sebagai pelaku maupun korban sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

3. Pengidentifikasian untuk kepentingan penyidikan dan pelayanan

umum;

4. Penganalisisan kasus beserta penanganannya, serta mempelajari dan

mengkaji efektivitas pelaksanaan tugas Ditreskrimum;

5. Pelaksanaan pengawasan penyidikan tindak pidana umum di

lingkungan

Polda; dan

102
https://reskrimumpoldasumbar.wordpress.com/

102
6. Pengumpulan dan pengolahan data serta menyajikan informasi dan

dokumentasi program kegiatan Ditreskrimum.

Di Kota Padang selama ini oleh penyidik Ditreskrimum Polda Sumbar.

Penyidikan terhadap tindak pidana eksploitasi seksual anak perempuan yang

dijadikan pelacur penting untuk dilakukan dengan pertimbangan dua alasan

pokok. Pertama, karena dengan jelas diamanatkan oleh UU Perlindungan Anak

bahwa anak-anak (perempuan) ”dilarang” dilibatkan dalam bisnis pelacuran, dan

juga karena memanfaatkan anak perempuan dalam dunia pelacuran sesungguhnya

adalah salah satu bentuk kejahatan dan pelanggaran terhadap hak anak yang

paling keji dan karena itu harus dihilangkan. Kedua, karena upaya untuk

menyelamatkan anak-anak perempuan yang menjadi korban tindak pidana

eksploitasi seksual sudah tidak bisa ditunda lagi terutama untuk mencegah agar

tidak terus bermunculan korban-korban baru yang menghancurkan masa depan

anak.

Unit VI PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Ditreskirmum Polda

Sumbar selama tahun 2017 telah menyidik perkara terkait tindak pidana

eksploitasi seksual anak sebanyak 2 kasus, sedangkan tahun 2018 sampai bulan

Agustus sebanyak 2 kasus. Tentu data tersebut hanya merupakan sekian banyak

kasus di bawah permukaan yang tidak dilaporkan masyarakat. 103

Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan

jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi

manusia. Pengertian penyidikan menurut Undang-undang No 8 tahun 1981

103
Wawancara, Kanit PPA AKP Zulfastri Polda Sumbar, pada tanggal 30 Juli 2018

103
tentang Hukum Acara Pidana pasal 1 huruf b, penyidikan adalah serangkaian

tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang

Hukum Acara Pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan

bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya. Sementara macam-macam alat bukti dalam KUHAP diatur dalam

Pasal 184 KUHAP, yaitu :

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.

Proses penyidikan yang dilakukan dalam menangani tindak pidana

eksploitasi seksual anak yang terjadi, melalui beberapa tahap yaitu laporan polisi,

proses penyidikan “(pemanggilan, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,

penahanan), proses pemeriksaan (tersangka, saksi), penyelesaian berkas perkara,

penyerahan berkas perkara ke Jaksa Penuntut Umum.104

1. Laporan Polisi

Proses penyidikan kasus tindak pidana eksploitasi seksual anak

yang terjadi pada awalnya didahului dengan “laporan polisi” . Laporan

Polisi ada dua jenis yaitu Laporan Polisi model A dan Laporan Polisi

model B. Laporan polisi model A dibuat oleh petugas kepolisian. Laporan

polisi ini dibuat setelah polisi mendapatkan informasi dari masyarakat

104
Wawancara, Kanit PPA AKP Zulfastri Polda Sumbar, pada tanggal 30 Juli 2018

104
ataupun informasi dari intelijen mengenai adanya tindak pidana, atau

karena kasus dan kejadian diketahui langsung serta pelakunya bisa

tertangkap tangan pada saat, sedang, setelah beberapa saat melakukan

kejahatannya. Sedangkan Laporan Polisi model B dibuat berdasarkan

laporan atau aduan dari masyarakat.Sesuai dengan pasal 5 dan pasal 7

KUHAP. Pelaporan dan pengaduan disampaikan kepada penyelidik atau,

penyidik atau, penyidik pembantu. Laporan dapat diajukan secara lisan

atau tulisan. Setelah pejabat (penyelidik, penyidik, penyidik pembantu)

menerima laporan, kepada pelapor atau pengadu diberikan surat tanda

penerimaan laporan.Pada dasarnya laporan polisi memuat tentang identitas

pelapor menerangkan masalah, nama, jenis kelamin, pekerjaan, agama,

suku bangsa, kewarganegaraan dan alamat dari pelapor, kemudian masalah

yang dilaporkan atau yang diuraikan sebagai berikut :

a) Yang melaporkan : Nama pelapor

b) Waktu kejadian : Hari, Tanggal, Bulan, Tahun dan Jam

c) Tempat kejadian : Dusun, Desa, Kecamatan, Kota

d) Apa yang terjadi : Mengeksploitasi ekonomi dan seksual

anakdan memperniagakan perempuan danmenyediakan

tempat untuk mempermudahdilakukannya pencabulan dan

mencari keuntungan dari pelacuran perempuan.

e) Siapa :

a. Pelaku

b. Korban

105
f) Bagaimana terjadinya : Pelaku mempekerjakan anak

sebagaipelacur dan mengambil keuntungan dariusaha tersebut

g) Dilaporkan pada : Tanggal, Bulan, Tahun, Jam.

Laporan polisi juga memuat keterangan tentang tindak pidana yang

terjadi lengkap dengan pasal dari delik pidana yang dilakukan oleh

tersangka, nama, dan alamat dari saksi-saksi, ciri-ciri khusus dari barang

bukti, uraian singkat tentang kejadian serta laporan tersebut harus ditanda

tangani oleh pelapor serta petugas yang menerima laporan.Setelah

menerima Laporan Polisi, segera dilakukan pengumpulan keterangan dan

barang bukti guna melakukan tindakan upaya paksa.

2. Dasar hukum penyidikan

Dalam proses penyidikan, yang menjadikan dasar hukum seorang

penyidik Polri untuk melakukan proses penyidikan terhadap kasus pidana

dalam hal ini kasus tindak pidana eksploitasi seksual anak adalah pasal 1

ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan

bahwa penyidikan adalah : “Serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang tindak

pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.Penyidikan

tersebut dilaksanakan oleh penyidik Polri. Hal ini dinyatakan dalam pasal

14 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan, “Tugas

Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan penyelidikan dan

penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara

106
pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.”Rumusan pasal 14

ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, memuat substansi tentang rincian tugas

Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang penyelidikan dan

penyidikan tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan

perundang-undangan lainnya.Menurut pasal 6 ayat 1 huruf a KUHAP,

KUHAP meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instansi

kepolisian. Penyidik ini harus memenuhi syarat kepangkatan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 6 ayat 2 KUHAP dan BAB II PP No 27 tahun 1983,

syarat tersebut antara lain:

1. Sekurang-kurangnya berpangkat Aipda. atau berpangkat bintara di

bawah Aipda apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada

pejabat penyidik yan berpangkat Aipda.

2. Ditunjuk dan di angkat oleh Kapolri

Sedangkan penyidik pembantu syaratnya :

1. Sekurang-kurangnya berpangkat Bripda.

2. Atau Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungan Polri dengan pangkat

sekurang-kurangnya Pengatur Muda (Golongan IIA).

3. Diangkat oleh Kapolri atas usul kasatker masing-masing

Adapun Prosedur dalam proses penyidikan adalah sebagai berikut :

1. Pemanggilan

107
Penyidik melakukan pemanggilan terhadap tersangka dan saksi.

Pemanggilan harus menggunakan Surat Panggilan yang memuat

alasan pemanggilan sebagai tersangka, saksi, atau ”saksi ahli”

sehubungan dengan perkara apa. Surat panggilan harus

ditandatangani pejabat penyidik dan tanda cap jabatan penyidik.

Pemanggilan harus memperhatikan tenggang waktu yang wajar dan

layak yaitu surat panggilan harus sudah diterima selambat-

lambatnya 3 hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan dalam

surat panggilan. Tata cara pemanggilan adalah sebagai berikut :

a. panggilan langsung dilakukan di tempat tinggal orang yang

dipanggil

b. jika tidak tahu, maka panggilan disampaikan di tempat

kediaman mereka terakhir

c. Harus bertemu secara in person dengan orang yang

dipanggil.

d. Petugas mencatat bahwa panggilan diterima langsung oleh

orang yang bersangkutan

e. Petugas dan orang yang dipanggil membubuhkan tanda

tangan dan tanggalnya

f. Panggilan dapat disampaikan kepada keluarga atau

penasihat hukum.

g. Penolakan memenuhi pemanggilan merupakan pelanggaran

pasal 216 KUHP dan dapat dikenai pasal 112 KUHP yaitu

108
memerintahkan membawa yang bersangkutan kepada

penyidik dengan pengawalan

h. Jika yang dipanggil tidak ada di tempat maupun tempat

tinggalnya terakhir maka panggilan dsampaikan ke kepala

desa atau jika di luar negeri ke pejabat perwakilan RI

tempat orang yang dipanggil biasa berdiam.

i. Apabila panggilan ke-2 tidak juga dipenuhi oleh orang yang

bersangkutan, penyidik mengeluarkan perintah kepada

petugas untuk membawanya ke hadapan penyidik yang

memanggilnya.

j. Tersangka tidak dapat hadir menghadap penyidik maka

menurut pasal 113 KUHAP, pemeriksaan terhadap

tersangka dilakukan di tempat kediamaan tersangka atas

dasar alasan ynag patut dan wajar

2. Penangkapan

Alasan penangkapan adalah :

a. Seorang diduga keras melakukan tindak pidana

b. Dugaan kuat itu didasarkan bukti permulaan yang cukup.

Yaitu memenuhi batas minimal pembuktian terdiri dari

sekurang-kurangnya dua alat bukti.

Menurut SA Soehardi Kamus Populer Kepolisian (2005:34)

bukti permulaan adalah keterangan-keterangan dan atau fakta yang

tercakup di dalam Laporan polisi, Berita acara pemeriksaan TKP,

109
saksi dan saksi ahli dan barang bukti yang menjadikan cukup bukti

bagi polisi untuk melanjutkan ke tahap penyidikan.

Petugas yang melakukan penangkapan harus membawa

surat perintah penangkapan. Kecuali dalam hal tertangkap tangan,

penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah dan harus segera

diserahkan kepada penyidik/penyidik pembantu terdekat. Surat

perintah penangkapan berisi penjelasan tentang:

a. Identitas tersangka, nama, umur, tempat tinggal

b. Uraian singkat alasan penangkapan

c. Uraian singkat perkara kejahatan yang disangkakan kepada

tersangka

d. Menyebut tempat dimana pemeriksaan dilakukan

Tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan

kepada keluarga tersangka. Jika tidak maka keluarga tersangka

dapat mengajukan pemeriksaan tidak sahnya penangkapan ke Pra

Peradilan. Batas waktu penangkapan adalah satu hari. Jika ada

kendala geografis :

a. penangkapan supaya dilaksanakan atau dipimpin oleh

penyidik, sehingga segera dapat dilakukan pemeriksaan di

tempat terdekat

b. apabila penangkapan dilakukan oleh penyelidik, pejabat

penyidik mengeluarkan surat perintah kepada penyelidik

110
untuk ”membawa dan menghadapkan orang yang ditangkap

kepada penyidik”

c. surat perintah penangkapan baru dikeluarkan setelah

tersangka berada di hadapan penyidik.

3. Penahanan

Harus berdasarkan bukti yang cukup atau cukup bukti yaitu

harus mencapai batas minimal pembuktian :

a. Sekurang-kurangya 2 alat bukti yang sah

b. Memenuhi syarat formil dan materiil

c. Saling bersesuaian

d. Bertujuan mencegah tersangka mengulangi tindak pidana,

menghilangkan Barang Bukti, melarikan diri

e. Ancaman pidana penjara 5 tahun atau lebih dan pasal

khusus KUHP seperti pasal 282 ayat 3, 296, 335 ayat 1, 353

ayat 1, 372, 378, 379 a, 453, 454, 455, 459, 480, dan pasal

506 pasal 21 ayat 4 KUHAP kelompok kedua dari UU TP

Khusus : pasal 36 ayat 7, 41, 42, 43, 47, 48 UU 9 tahun 76

tentang narkotika Pasal 22 KUHAP ada 3 jenis penahanan :

1) penahanan rumah tahanan negara,

2) penahanan rumah, dan

3) penahanan kota.

4) Tersangka, keluarga, penasihat hukum tersangka

dapat mengajukan keberatan kepada penyidik

111
atas yaitu penahanan yang dilakukan, dan jenis

penahanan yang dikenakan. Tersangka, keluarga

dan penasihat hukum dapat mengajukan

pemeriksaan sah tidaknya penahanan kepada pra

peradilan sesuai pasal 124 KUHAP.

Penyidik dapat mengabulkan permintaan atau keberatan

yang diajukan tersangka :

a. Dengan bersyarat, misalnya dengan jaminan keluarga

maupun dengan jaminan uang, sebgaimana dimaksud dalam

pasal 31 KUHAP

b. Pengabulan penangguhan tahanan atau peralihan jenis

penahanan tanpa syarat

Batas kewenangan penahanan yang dilakukan penyidik :

a. penyidik hanya berwenang menahan selama 20 hari

b. demi kepentingan penyidikan yang belum selesai dapat

minta perpanjangan kepada penuntut umum paling lama 40

hari

c. pengecualian pasal 29 KUHAP, demi kepentingan

pemeriksaan penahanan terhadap tersangka dapat

diperpanjang dengan alasan patut dan wajar dan tidak bisa

dihindarkan seperti :

112
1) tersangka menderita gangguan fisik dan mental yang

dibuktikan dengan surat keterangan dokter;

2) perkara yang sedang diperikasa diancam dengan

pidana 9 tahun atau lebih;

3) jika penyidikan belum selesai maka dapat minta

perpanjangan dari Ketua Pengadilan Negeri selama

2 kali 30 hari maksimal.

4. Penggeledahan

Dalam penggeledahan penyidik memperlihakan surat

perintah tugas dan surat perintah penggeledahan. Dalam

penggeledahan rumah harus ada pendamping yaitu dua orang saksi

jika tersangka atau penghuni rumah menyetujui. Jika tersangka

atau penghuni rumah tidak menyetujui atau tidak menghadiri maka

penyidik harus menghadirkan kepala desa atau ketua lingkungan

(ketua RT atau Ketua RW) sebagai saksi ditamabh 2 orang saksi

lain yang diambil dari lingkungan warga yang bersangkutan.

Dalam waktu 2 hari sesudah memasuki rumah dan menggeledah

maka segera dibuat berita acara penggeledahan dan tembusannya

diberikan kepada orang yang rumahnya digeledah. Dalam

penggeledahan perlu Surat ijin pengeledahan dari Ketua

Pengadilan Negeri, kecuali dalam keadaan perlu dan mendesak,

setelah itu segera dimintakan penetapan penggeledahan ke Ketua

PN.

113
Penyidik dilarang melakukan penggeledahan di ruangan

pada saat :

a. ruang dimana sedang berlangsung sidang MPR, DPR atau

DPRD;

b. tempat dimana sedang berlangsung ibadah atau upacara

keagamaan;

c. ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan;

d. kecuali dalam keadaan tertangkap tangan.

5. Penyitaan

Penyitaan dilakukan penyidik harus ada surat izin dari

Ketua Pengadilan Negeri kecuali dalam keadaan perlu dan

mendesak, hanya terbatas pada benda bergerak saja, setelah itu

segera melapor ke Ketua PN untuk dapat penetapan. Dalam

melakukan penyitaan penyidikan memperlihatkan tanda pengenal,

memperlihatkan benda yang akan disita, penyitaan disaksikan oleh

kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi (saksi

pasal 129 ayat 1 KUHAP).

Penyidik membuat BA Penyitaan setelah melaksanakan

tindakan penyitaan. Penyidik memberikan surat tanda penerimaan

barang bukti yang disita kepada orang darimana benda itu disita

atau keluarganya ”Penghentian Penyidikan” , alasannya :

114
a. tidak diperoleh bukti yang cukup. Apabila di kemudian hari

penyidik dapat mengumpulkan bukti-bukti yang cukup dan

memadai untuk menuntut tersangka, penyidikan dapat dimulai

lagi. Penghentian penyidikan tidak termauk kategori nebis in

idem, sebab penghentian penyidikan bukan termasuk ruang

lingkup putusan peradilan.Peristiwa yang disangkakan bukan

tindak pidana

b. Penghentian penyidikan demi hukum karena :

1) nebis in idem artinya seseorang tidak dapat lagi dituntut

untuk keduakalinya atas dasar perbuatan yang sama

terhadap mana atas perbuatan itu orang yang

bersangkutan pernah diadili dan telah diputus

perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang

berwenang untuk itu di Indonesia serta putusan itu telah

memperoleh kekuatan hukum yang tetap;

2) Tersangka meninggal dunia;

3) Karena kedaluwarsa, pasal 78 KUHP, tenggang waktu

kedaluwarsa antara lain:

a) lewat masa satu tahun terhadap sekalian

pelanggaran dan bagi kejahatan yang dilakukan

dengan alat percetakan;

b) lewat masa enam tahun bagi tindak pidana yang

dapat dihukum dengan pidana denda, kurungan

115
atau penjara yang tidak lebih dari hukuman

penjara selama tiga tahun;

c) Lewat tenggang dua belas tahun bagi semua

kejahatan yang diancam dengan hukuman

pidana penjara lebih dari 3 tahun;

d) Lewat delapan belas tahun, bagi semua

kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman

pidana mati atau penjara seumur hidup;

e) Atau bagi orang yang pada waktu melakukan

tindak pidana belum mencapai umur delapan

belas tahun, tenggang waktu kedaluwarsa yang

disebut pada point 1 sampai 4, dikurangi hingga

sepertiganya;

f) Cara penghitungan tenggang waktu

kedaluwarsa, mulai dihitung dari keesokan

harinya sesudah tindak pidana dilakukan,

kecuali cara perhitungan yang ditentukan pasl

79 KUHP

g) Pemberitahuan penghentian penyidikan

disampaikan kepada penuntut umum, dan

tersangka atau keluarganya, penasihat hukum,

saksi pelapor atau korban. Keberatan atas

penghentian penyidikan dapat diajukan oleh

116
penuntut umum atau pihak ketiga yang

berkepentingan ke pra peradilan.

c. Pasal-pasal yang dipersangkakan

Dalam proses penyidikan terhadap kasus tindak pidana

eksploitasi seksual anak yang terjadi, undang-undang yang

dipakai adalah pasal 88 UU RI No 35 tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak yang berbunyi “setiap orang yang

mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud

untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dipidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling

banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).”, pasal 297

KUHP yang berbunyi: “Memperniagakan perempuan dan

memperniagakan laki-laki yang belum dewasa dihukum

penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun“, pasal 296 KUHP

yang berbunyi “Barangsiapa pencahariannya atau

kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau

mempermudah perbuatan cabul dengan orang lain dihukum

selama-lamanya satu tahun empat bulan “, pasal 506 KUHP

yang berbunyi : “Barangsiapa sebagai mucikari mengambil

untung dari pelacuran perempuan dihukum kurungan selama-

lamanya tiga bulan.“

d. Proses Pemeriksaan dan Pemberkasan

117
Setelah proses pembuatan laporan polisi model A selesai

maka penyidik segera memeriksa barang bukti yang sudah

diamankan dan kemudian diterbitkan surat perintah penyitaan

yang ditindak lanjuti dengan berita acara penyitaan yang berisi

tentang:

1) Identitas Penyidik yang melakukan penyitaan;

2) Dasar pembuatan Berita Acara Penyitaan adalah Surat

Perintah Tugas, Surat Perintah Penyitaan yang

ditandangani oleh penyidik pembantu dan laporan polisi;

3) Identitas tersangka;

4) Identitas saksi-saksi pada saat penyidik melakukan

penyitaan;

5) Semua pihak yang tercantum dalam berita acara

penyitaan wajib menandatangani berita acara penyitaan

sebagai bentuk pertanggungjawaban keberadaan dari

barang-barang yang disita.

Setelah pembuatan Berita Acara Penyitaan ini selesai maka

langkah selanjutnya adalah mengajukan surat permintaan persetujuan dan

penetapan ijin khusus penyitaan barang bukti kepada Ketua Pengadilan

Negeri dengan melampirkan Berita Acara Penyitaan tersebut dan Laporan

Polisi untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran.

Sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan untuk mendapat

petunjuk atau pengawasan serta guna keperluan penuntutan lebih lanjut

dalam sidang perkara pidana di pengadilan, maka penyidik wajib

118
secepatnya mengirim surat pemberitahuan tentang dimulainya penyidikan

(SPDP) kepada pihak Kejaksaan Negeri dengan melampirkan Laporan

Polisi dan Surat Perintah Penyidikan.

Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan tersangka dan saksi.

Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadanya

berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Dalam pemeriksaan tersngka, penyidik wajib memberitahukan tentang

haknya untuk didampingi penasihat hukum.

Pemeriksaan terhadap tersangka :

a. tersangka berhak agar perkaranya segera diajukan ke

pengadilan;

b. hak tersangka untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa

yang dimengerti tentang apa yang disangkakan kepadanya pada

waktu pemeriksaan dimulai;

c. Sistem pemeriksaan akuisatuir, dimana si tersangka

diperlakukan sebagai subjek hukum dan objek pemeriksaannya

adalah kesalahannya;

d. Jawaban diberikan tanpa tekanan;

e. Penyidik mencatat dengan seteliti-telitinya keterangan

tersangka;

f. Tersangka berhak mengajukan saksi yang menguntungkan

(saksi a de charge). Sedangkan saksi adalah seseorang yang

mendengar sendiri, melihat sendiri, mengalami sendiri

119
peristiwa pidananya dan orang yang bersangkutan dapat

menjelaskan sumber pengetahuan akan apa yang ia dengar, ia

lihat dan ia alami sendiri. Pemeriksaan terhadap saksi :

1) bebas dari segala macam bentuk tekanan;

2) Penyidik dapat datang ke kediaman saksi dengan alasan

patut dan wajar;

3) Saksi dapat disumpah jika diperkirakan tidak dapat

hadir di sidang pengadilan;

4) Keterangan dari saksi dicatat teliti oleh penyidik dalam

BAP;

5) BAP berisi keterangan saksi ditandatangani saksi dan

peyidik, jika saksi tidak mau, penyidik catat alasan

tidak mau tanda tangan dalam berita acara;

6) Untuk kepentingan yustisial penyidik harus

mempersiapkan saksi minimal 2 orang saksi karena satu

saksi bukan saksi (unus testis nullus testis).

Saksi korban dalam perkara tindak pidana eksploitasi seksual

adalah anak yang wajib diberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud

dalam ”pasal 18 UU RI No 23 tahun 2009”. Identitas korban wajib

dirahasiakan sebagaimana dimaksud dalam ”pasal 17 ayat 2 UU RI No 23

tahun 2009”. Pemeriksaan terhadap ahli :

a. Keterangan langsung di hadapan penyidik :

1) sifat keterangan ynag diberikan menurut pengetahuan

ahli;

120
2) Sebelum diperiksa wajib disumpah atau mengucapkan

janjib. keterangan tertulis :

a) Visum et repertum;

b) keterangan yang diberikan ahli kedokteran

kehakiman disebut sebagai keterangan ahli

sebagai salah satu alat bukti sah di persidangan.

Proses penyidikan harus mengedepankan adanya alat bukti yang

terdiri dari barang bukti dan saksi-saksi, sebagaimana disebutkan dalam

pasal Pasal 183 KUHAP yang berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua

alat bukti yang sah Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana

benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Berdasarkan pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa putusan atau

vonis yang dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa harus didasarkan pada

setidaknya dua syarat, yaitu :

a. minimum dua alat bukti;

b. dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa

terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Jadi, meskipun dalam

persidangan telah diajukan dua atau lebih alat bukti, namun bila

hakim tidak yakin terdakwa bersalah, maka terdakwa akan

dibebaskan. Macam-macam alat bukti dalam KUHAP diatur dalam

Pasal 184 KUHAP, yaitu :

1) Keterangan saksi;

2) Keterangan ahli;

121
3) Surat;

4) Petunjuk;

5) Keterangan terdakwa.

Dari hal di atas (Pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan di sidang

pengadilan, penjatuhan pidana oleh Hakim dan alat bukti) bila

dirangkaikan mempunyai arti bahwa pemeriksaan pendahuluan

(penyidikan) yang dilakukan oleh Polri adalah merupakan rangkaian

kegiatan penanganan perkara tindak pidana yang nantinya akan menjadi

dasar pertimbangan Hakim sebagai alat bukti untuk menjatuhkan pidana

bagi pelaku tindak pidana. Pemeriksaan terhadap tersangka, harus segera

dilakukan sejak tersangka tersebut ditangkap agar segera didapatkan data

yang benar tentang kasus tindak pidana eksploitasi seksual anak yang

terjadi. Dalam berita acara pemeriksaan terhadap tersangka harus

memenuhi unsur suatu tindak pidana dan pasal-pasal yang

dipersangkakan. Mengenai perbuatan pidana yang dilakukan oleh

tersangka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Dalam Kamus

Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Poerwadarminta, menyatakan bahwa

“tindak pidana adalah perbuatan pidana atau perbuatan kejahatan sebagai

perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang

berlaku dimana yang telah ditetapkan dalam hukum yang mengaturnya”.

Teknik pemeriksaan yang dilakukan terhadap tersangka guna

mendapatkan keterangan dalam rangka memenuhi unsur-unsur pasal

pidana yang dipersangkakan adalah dengan cara pertanyaan 7 (tujuh) kah

meliputi: Siapakah, apakah, dimanakah, dengan apakah, mengapakah,

122
bagaimanakah dan bilamanakah. Dalam hasil pemeriksaan tersangka dan

saksi sangat memungkinkan kasus tersebut dapat berkembang baik cara,

hasil dan pelaku lainnya, jika menemukan hal demikian maka pemeriksaan

harus dilakukan secara tuntas baik terhadap semua saksi maupun terhadap

semua tersangka yang mengalami pengembangan, sehingga benar-benar

lengkap dan valid data yang diperoleh. Terhadap para pelaku tindak

pidana eksploitasi seksual anak selama proses penyidikan dilakukan

penahanan di tahanan Polda Sumbar dengan pertimbangan subyektif agar

tersangka tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau agar

tersangka tidak mengulangi melakukan tindak pidana lagi dan

pertimbangan obyektif (KUHAP) dimana perbuatan tersangka diancam

hukuman yang bisa dilakukan penahanan. Sebelum melakukan penahanan

penyidik membuat Surat Perintah Penangkapan dan Berita Acara

Penangkapan serta ditindak lanjuti dengan Surat Perintah Penahanan dan

Berita Acara Penahanan.

Pelaksanaan penahanan terhadap semua tersangka dilakukan

selama 20 hari, apabila dalam waktu tersebut penyidik belum selesai

melakukan penyidikan dan pemberkasan maka penahanan dapat

diperpanjang selama 40 hari dengan cara mengajukan permohonan

perpanjangan penahanan ke Kejaksaan Negeri. Jika selama 60 hari

penahanan penyidik belum juga selesai melakukan penyidikan maka

berdasarkan pasal 29 KUHAP penahanan dapat diperpanjang selama 30

hari dengan ijin Ketua Pengadilan Negeri, dan apabila dalam 90 hari

penyidikan belum selesai maka penahanan dapat diperpanjang lagi selama

123
30 hari oleh Ketua Pengadilan Negeri. Setelah itu jika waktu penahanan

sudah habis dan penyidikan belum selesai maka tersangka harus

dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Langkah terakhir dari proses penyidikan adalah pemberkasan

berkas perkara yaitu proses menjadikan satu terhadap semua hasil

pemeriksaan dan surat-surat penyidikan lainnya serta kelengkapan berkas

perkara lainnya yang disusun dalam satu bendel dengan susunan yang

sudah ditentukan dan dilengkapi dengan resume. Resume tersebut

berisikan :

a) Nama penyidik.;

b) Dasar penyidikan yaitu Laporan Polisi, Surat Perintah

Penyidikan dan Surat

Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan. Jenis perkara yang disidik

yaitu tindak pidana eksploitasi seksual anak. Undang-undang yang dipakai

adalah Pasal 88 UU RI No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,

pasal 297 KUHP, pasal 296 KUHP, pasal 506 KUHP. Dari isi resume

tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan analisa yuridis

disertai penerapan pasal yang dilanggar oleh seseorang yang dianggap

tersangka, patut diduga atau disangka telah melakukan tindak pidana yang

dapat dicontohkan terhadap pasal 88 UU RI Nomor 35 tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak, pasal 297 KUHP, pasal 296 KUHP, pasal 506 KUHP

dan untuk itu perkara tersebut ditingkatkan ke tahap penuntutan. Langkah

selanjutnya seluruh berkas perkara tindak pidana tersebut dijahit dengan

124
benang dan pada sampul berkas perkara diberikan label dengan ujung

benang jahitan ditarik kencang ke arah kanan dan ditempel menggunakan

lak sebagai tanda bahwa berkas tersebut sesuai dengan keadaan yang

sebenarnya dari hasil pemeriksaan penyidik. Adapun teknik pengetikan

berkas perkara agar tidak mengganggu pada saat dilakukan penjahitan

berkas yaitu semua surat perintah, laporan polisi dan berita acara surat-

surat lainnya diketik dengan jarak 15 ketukan dari batas margin paling kiri

kertas.

Setelah semua proses penyidikan dan pemberkasan selesai maka,

berkas perkara yang sudah jadi kemudian diserahkan ke Jaksa Penuntut

Umum.

e. Penyerahan Berkas Perkara

Berkas perkara yang sudah jadi kemudian diserahkan ke Jaksa

Penuntut Umum untuk dilakukan proses penuntutan lebih lanjut, apabila

berkas tersebut dalam 14 hari dinilai oleh Jaksa belum lengkap maka Jaksa

akan memberikan surat P-19 kepada penyidik dan berisikan tentang

petunjuk (P-18) yang harus dilengkapi, maka penyidik berkewajiban

melengkapinya. Dalam proses penyidikan kasus tindak pidana eksploitasi

seksual anak yang dilakukan oleh Diskrimu Polda Sumbar berdasarkan

hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti, selama ini

berkas perkara tersebut tidak pernah dikembalikan oleh Jaksa. Berkas

perkara yang dianggap sudah lengkap kemudian oleh Jaksa Penuntut

Umum dikeluarkan surat P-21 yang berisikan perintah kepada penyidik

125
untuk segera menyerahkan tersangka beserta barang buktinya kepada

Jaksa Penuntut Umum. Setelah penyerahan tersangka dan barang bukti

kepada Jaksa Penuntut Umum maka proses penyidikan kasus tindak

pidana eksploitasi seksual anak, menurut hasil penelitian peneliti sudah

selesai.

Dari kasus yang telah diulas di atas penulis berpendapat bahwa

untuk melakukan penyidikan harus mengetahui unsur-unsur pidana yang

dilanggar agar penyidik dapat mengetahui penyelewengan terhadap hukum

yang terjadi, dari pengamatan penulis, penyidik sudah cukup memahami.

Dalam penyidikan, penyidik harus berperspektif pada anak/korban,

peduli pada nasib anak, peka terhadap kebutuhan anak, simpati terhadap

anak. Hal itu dilakukan supaya tidak semakin menyengsarakan korban.

Misalnya dengan membuat proses di LSM dan kepolisian bersama-sama

mulai dari pengaduan sampai penyidikan selesai.

Pada saat pemeriksaan korban oleh penyidik anak, penyidik

mengajukan pertanyaan pada korban dengan sikap rileks. Yang pada

intinya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak bersifat judgement,

tetapi pertanyaannya mengenai fakta sebenarnya. Sejauh yang kita

tanyakan adalah fakta, hal itu tidak masalah. Karena masalah hukum

hanya fakta, bukan opini.

Penyidik dalam melakukan pemeriksaan terhadap korban

menggunakan cara-cara yang lebih kreatif, tidak formal. Hal ini dilakukan

126
untuk membangun hubungan dengan korban. Caranya adalah sebagai

berikut :105

1. Membangun kontak mata. Dalam banyak kasus anak

mengalami tekanan psikologis ,indikasinya adalah anak

menghindari kontak mata.

2. Bangun hubungan sosial dengan jarak, dengan cara berbicara

akrab

3. Gunakan sentuhan fisik.

Untuk Ditreskrimum Polda Sumbar membuat ”Standar layanan

untuk korban kejahatan seksual”. Standart tersebut selanjutnya digunakan

baik oleh Kepolisian maupun LSM terbagi atas kewajiban di masing-

masing tahapnya.

Dapat dilihat dalam Protap penanganan anak korban eksploitasi

seksual:

Pra Pengaduan:

1. LSM melakukan penguatan pada korban dan keluarga untuk

melakukan pendampingan

2. LSM memberikan gambaran atau informasi langkah-langkah

yang bisa diambil oleh korban dan keluarga berikut

konsekuensi dan resiko yang dihadapi.

105
Wawancara, Aggota Unit PPA Bripda Yulia Bachrie, Polda Sumbar, pada tanggal 1 Agustus
2018

127
3. LSM memberitahukan kepada pihak kepolisian apabila ada

korban yang datang ke kantor LSM dalam jangka waktu 1 kali

24 jam

4. LSM membuat kronologis kasus

5. LSM tidak boleh memungut biaya apapun atas layanan yang

diberikan

Pengaduan :

1. Polisi menerima laporan

2. Polisi segera mendatangi TKP

3. Polisi dan LSM merahasiakan identitas korban

4. Polisi dan LSM harus memberikan rasa aman selama proses

penyidikan

5. LSM melakukan pendampingan hukum dan psiko sosial

kepada korban

Penyidikan dan Penyidikan lanjutan :

1. Polisi menyediakan ruangan khusus untuk pemeriksaan korban

dan penyidik khusus anak.

2. Polisi tidak mengajukan pertanyaan yang menyebabkan korban

menjadi semakin trauma

3. LSM menyediakan kuasa hukum (Lawyer) bagi korban

4. Polisi melengkapi proses penyidikan secara keseluruhan ke

Jaksa Penuntut Umum (Tersangka dan barang bukti)

128
5. Polisi dan LSM tidak boleh menyarankan pada korban untuk

mencabut perkara.

Paska Penyidikan

1. LSM melakukan upaya Psico Social Recovery pada korban :

 pemulihan fisik

 pemulihan mental

Pada proses pemulihan mental, bukan hanya anak yang

dikonseling tapi juga lingkungan, guru, tetangga, orang tua juga

dikonseling. Dilakukan agar anak bias menjalankan fungsi sosial

secara baik, normal, dengan dukungan semua pihak baik

lingkungan sekolah maupun masyarakat sekitar korban tidak

mengucilkan.

2. LSM melakukan pemantauan terhadap perkembangan kasus

sampai proses peradilan.

Persetujuan dari anak untuk tujuan kegiatan eksploitasi

tidak relevan walaupun tidak digunakan cara kekuatan, pemaksaan,

penculikan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan. Karena usia

anak adalah saat yang bersangkutan dalam keadaan rentan atau

berada dalam kekuasaan orang lain dan tidak dalam kapasitas

memberikan persetujuan. Karenanya semua anak yang berada di

lokalisasi dan menjadi PSK adalah merupakan korban eksplotasi

seksual.

129
Peraturan-peraturan terkait Larangan eksplotasi seksual terhadap

anak :

a. Undang-undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak.

Undang-undang ini menetapkan anak sebagai seseorang

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk yang masih

dalam kandungan, tanpa memandang status perkawinan anak. Pasal

88 dari Undang-undang Perlindungan Anak menyatakan : Setiap

orang yang mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak dengan

maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau

denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

b. Undang-undang Republik Indonesia No 13 tahun 2003

mengenai Ketenagakerjaan. Undang undang ini juga

mendefinisikan anak adalah mereka yang berusia di bawah 18

tahun. Pasal 74 menyatakan :

1. Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak

pada pekerjaan pekerjaan yang terburuk.

2. Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud ayat

(1) meliputi :

a. Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau

sejenisnya;

130
b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan,

menyediakan, atau menawarkan anak untuk

pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan

porno, atau perjudian;

c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan,

menyediakan, atau melibatkan anak untuk

produksi dan perdagangan minuman keras,

narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya;

dan/atau

d. Semua pekerjaan yang membahayakan

kesehatan, keselamatan, atau moral anak.

3. Jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan,

keselamatan, atau moral anak sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 183 :

1. Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 74, dikenakan sanksi pidana

penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5

(lima) yahun dan/atau denda paling sedikit Rp.

200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

merupakan tindak pidana kejahatan.

131
Penyidikan tindak pidana eksploitasi seksual anak yang

dilaksanakan oleh Ditreskrimum Polda Sumbar bertujuan agar pelaku

tindak pidana eksploitasi seksual anak dapat menjalani proses hukum yang

berlaku sehingga dapat memberikan efek jera kepada pelaku tersebut.

Untuk itu Ditreskrimum Polda Sumbar melaksanakan tugasnya dalam

rangka penyidikan sebagai salah satu proses pembuktian terhadap pelaku

tindak pidana eksploitasi seksual anak menuju pengadilan.

Tindak Pidana eksploitasi seksual terhadap anak terjadi karena

dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut:106

a. Faktor Kemajuan Teknologi Yang Disalahgunakan

Dibalik kemajuan teknologi di dunia yang sangat memudahkan

penggunanya untuk menemukan seseorang, berkomunikasi, menggunakan

media-media sosial. Namun juga mempunyai dampak buruk bagi

masyarakat. Berkembangnya teknologi tersebut juga ikut berkembang pula

prostitusi pada bentuknya. Hal ini terbukti dengan disalahgunakannya

kemajuan teknologi tersebut oleh orang-orang yang bekerja di dunia

Pidana eksploitasi seksual terhadap anak dalam bentuk prostitusi sebagai

perantara atau mucikar dengan menggunakan smartphone. Dengan adanya

smartphone sebagai media prostitusi melalui media elektronik atau

prostitusi online, dengan memakai media-media sosial seperti blackberry

messenger, line, whatsapp, yang hanya dapat digunakan melalui

smartphone.

106
Wawancara, Kanit PPA AKP Zulfastri Polda Sumbar, pada tanggal 2 Agustus 2018

132
Media-media sosial tersebut yang digunakan oleh pihak ketiga

sebagai perantara atau mucikari untuk berkomunikasi dengan pelanggan

prostitusi tersebut. Pihak ketiga yang menawarkan perempuan yang

diperdagangkan dengan mengirim beberapa foto-foto perempuan dengan

masing-masing harga yang berbeda kepada pelanggan prostitusi. Jelas ini

adalah dampak buruk dengan perkembangan teknologi saat ini karena

disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu dengan memudahkan melakukan

kejahatan prostitusi. Bentuk prostitusi seperti ini juga ternyata lebih sulit

untuk diatasi oleh pihak kepolisian dibandingkan dengan prostitusi biasa

yang menyediakan tempat-tempat prostitusi.

b. Faktor Gaya Hidup

Berbicara mengenai gaya hidup terutama dikalangan anak muda

pada zaman sekarang tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Ada

yang memaksa untuk memiliki gaya hidup yang istimewa namun tidak

memiliki uang yang cukup untuk memenuhi gaya hidup tersebut. Gaya

hidup seperti ingin memakai pakaian dengan merek yang bagus, memiliki

smartphone, menggunakan perawatan, memakai motor atau mobil yang

bagus, tentunya untuk memenuhi gaya hidup tersebut harus dengan harga

yang mahal. Maka dari itu tidak sedikit juga orang- orang melakukan

segala cara untuk memenuhinya. Seperti para pelacur-pelacur yang dengan

hasil perbuatan prostitusi sehingga bisa membeli kebutuhan gaya hidup,

dan para mucikari yang memperhatikan perempuan yang diperdagangkan

dengan membawa ke dokter kecantikan untuk memenuhi gaya hidup dan

memanjakan para perempuan tersebut agar terus mau diperdagangkan oleh

133
mucikari. Seperti pelaku prostitusi melalui social media yang mempunyai

pemasukan yang tidak sedikit, yaitu sekitar Rp. 2.000.000 pada saat hari

weekend, dan pada hari-hari biasa paling sedikit Rp. 300.000 Tidak heran

jika pelaku itu sudah memiliki satu rumah dan dua mobil.

c. Faktor Ekonomi

Salah satu faktor terlibatnya seseorang dalam prostitusi melalui

media elektronik atau prostitusi online yaitu faktor ekonomi. Rendahnya

perekonomian yang dimiliki seseorang sampai rela dijadikan pelacur dan

diperdagangkan oleh para mucikari. Mereka rela menjual moral dan harga

dirinya di karenakan harus membiayai kebutuhan dan membayar hutang

yang dimilikinya.

d. Faktor Pendidikan Yang Rendah

Kualitas pendidikan sangat menentukan kelangsungan hidup

seseorang. Dimana pendidikan yang bagus bisa menentukan pekerjaan

seseorang. Sebaliknya, pendidikan yang rendah membuat seseorang sulit

mendapatkan pekerjaan yang layak. Itulah sebabnya pendidikan yang

rendah menjadi salah satu faktor terjadinya pelacuran yang menyebabkan

kejahatan eksploitasi seksual terhadap anak. Karena sulit mendapat

pekerjaan yang layak akhirnya memilih jalan untuk melacurkan dirinya

dan berbisnis eksploitasi seksual . Pendidikan tentunya juga mengacu pada

ilmu pengetahuan. Para pihak yang terlibat dalam bisnis eksploitasi

seksual khususnya yang bertindak sebagai pelacurnya tidak mengetahui

134
bahaya ancaman kesehatan penyakit yang ditimbulkan akibat bersetubuh

dengan banyak orang.

e. Faktor Lingkungan Pergaulan Bebas

Lingkungan menjadi salah satu faktor terjadinya wanita terkhusus

anak di bawah umur menjadi seorang pelacur. Di zaman sekarang ini

lingkungan sangat menentukan kehidupan. Jika bergaul dilingkungan yang

sehat tidak ada masalah. Sebaliknya jika bergaul dilingkungan yang tidak

sehatlah yang bisa menjerumuskan kedalam dunia prostitusi. Seperti yang

diungkapkan pelaku eksploitasi seksual melalui social media, bahwa

awalnya para perempuan yang ia perdagangkan sedang bergaul di tempat-

tempat hiburan malam bersama teman-temannya yang sedang meminum-

minuman keras hingga malam hari. Dan pada saat dalam keadaan tidak

sadar sehingga para perempuan-perempuan itu dimanfaatkan oleh para

pelaku. Sehingga para anak muda tersebut yang terbiasa bergaul di tempat

hiburan malam dengan meminum-minuan keras tersebut kenal dengan

mucikari sehingga para perempuan tersebut di rawat oleh mucikari dan

terjerumus kedalam dunia hitam tersebut.

f. Faktor Kurangnya Pengawasan Orang Tua

Orang Tua merupakan sosok yang mempunyai peran terbesar

dalam kelangsungan hidup anaknya. Menurut hasil kesimpulan dari

penyidikan AKP. Zulfastri kepala unit PPA (Pelayanan Perempuan dan

Anak) Polda Sumbar bahwa terjadinya eksploitasi seksual yang

melibatkan perempuan dan anak dibawah umur di karenakan pengawasan

135
orang tua yang sangat kurang terhadap anaknya dikarenakan kesibukan

akan pekerjaan orang tua tersebut sehingga anak tersebut terlibat dalam

pergaulan bebas sehingga terjerumus dalam dunia eksploitasi seksual

dalam bentuk prostitusi ini. Hal ini selaras dengan pengakuan mucikari

bahwa sebagian perempuan yang dipekerjakan olehnya adalah anak

dibawah umur 17 tahun dan anak tersebut memang tidak pernah dihubungi

oleh orang tuanya, bahkan ada beberapa anak yang tinggal serumah

dengan mucikari itu.

g. Faktor Kurangnya Keimanan

Pada dasarnya agama menjadi landasan manusia untuk menjalani

kehidupan di dunia yang menjadi manusia apa saja yang harus dijalankan

dan yang tidak boleh dilakukan oleh umat manusia. Agama yang diyakini

setiap manusia selalu menunjukkan jalan yang benar. Hal ini sesuai

dengan pelaku eksploitasi seksual dalam bentuk prostitusi yang sangat

jarang melakukan ibadah dan kurang mengetahui ajaran-ajaran agama juga

ternasuk konsumen atau pelanggan jasa seksual yang biasa melakukan

transaksi ternyata sebagian besar dari kalangan-kalangan berpendidikan

tinggi namun kurang mematuhi ajaran agama yang benar. Pelanggan

tersebut sebagian besar adalah kalangan berpendidikan tinggi yaitu dari

mahasiswa, pengusaha bahkan peajabat sekalipun. Tiap-tiap agama

memiliki ajarannya masing-masing yang diperintahkan oleh tuhan yang

maha esa dan sudah diatur dalam kitab suci. Namun tidak satupun agama

yang memperbolehkan untuk melakukan prostitusi dan pelacuran dalam

bentuk apapun. Hal ini juga membuktikan bahwa tidak semua orang yang

136
berpendidikan tinggi juga mempunyai pengetahuan yang baik di bidang

keagamaan.

B. Kendala Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Tindak Pidana

Eksploitasi Seksual Terhadap Anak ( Studi di Ditreskrimum Polda

Sumbar)

1. Kendala Internal

Secara umum yang menjadi kendala internal dari Pihak Penyidik

Ditreskrimum Polda Sumbar dalam melakukan upaya penyidikan Tindak

Pidana Eksploitasi Seksual Terhadap Anak antara lain :107

a. Biaya operasional yang tersedia kurang memadai.

Menurut penyidik Ditreskrimum Polda Sumbar dalam

melakukan penyidikan membutuhkan anggaran dana yang tidak

sedikit, apalagi jika tindak pidana terjadi memiliki jaringan yang

luas, sebagai contoh , pengungkapan jaringan pelaku sindikat

eksploitasi terhadap anak sampai ke luar kota. Sehingga untuk

melakukan upaya pengungkapan tindak pidana eksploitasi seksual

anak, sangat mempengaruhi keberhasilan dari proses penyidikan

tersebut.

b. Kurang memadainya sarana prasarana dalam melakukan

penyidikan tindak pidana tindak pidana ekploitasi seksual

terhadap anak.

107
Wawancara, Kanit PPA AKP Zulfastri Polda Sumbar, pada tanggal 3 Agustus 2018

137
Kurangnya fasilitas penunjang seperti tidak tersedia Ruang

Pelayanan Khusus. Apabila Kepolisian menyediakan Ruang

pelayanan khusus tersebut, maka anak merasa tidak gelisah , dan

juga merasa terlindungi. Nantinya dalam pemeriksaan anak sebagai

korban menjadi maksimal.

c. Sulitnya penangkapan pelaku tindak pidana

Pelaku tindak pidana sudah menggunakan media sosial

media sarana dalam melakukan aksinya , ini menjadi kesulitan

bagi penyidik Ditreskrimum Polda dalam menangkap pelaku.

Penyidik harus melakukan usaha yang ektra dalam menangkap

pelaku, penyidik terlebih dahulu menyamar sebagai hidung belang

agar bisa memancing keluar pelaku yang nantinya akan di tangkap

melalui operasi tangkap tangan oleh pihak penyidik.

d. Kurangnya aktifnya korban pada saat pemeriksaan

Kurangnya kesadaran terhadap anak korban eksploitasi

seksual bahwa penyidikan itu penting, yang mengakibatkan

penyidik kesulitan dalam memproses kasus tersebut. Selain itu

penyidik Unit PPA Ditreskrimum Polda Sumbar

seringmendapatkan kendala, dikarenakan korban dalam

pemeriksaannya. Korban (pelacur anak-anak) dalam memberikan

keterangan cenderung tidak jujur karena rata-rata dari mereka

mendapatkan fasilitas berlebih dari mucikari, selama penyidikan

pelacur anak sering mendapat interfensi dari mucikarinya, korban

138
sering merasa tidak menjadi korban kejahatan sehingga korban

kurang maksimal dalam memberikan keterangan, keluarga korban

kurang bekerjasama dengan penyidik serta LSM.

e. Pengumpulan Saksi yang Sulit

Selanjutnya yang menjadi kendala ialah ketika

mengumpulkan saksi yang begitu sulit, dikarenakan rata-rata yang

menjadisaksi adalah perempuan-perempuan yang dipekerjakan

yang tidak mau terlibat dalam kasus ini dan memilih untuk tidak

dating untuk diminta menjadi saksi.

2. Kendala Eksternal

Adapun kendala dari luar dalam penanganan pencurian disertai

dengan kekerasan yang dilakukan penyidik Ditreskrimum Polda Sumbar

sebagai berikut:108

a. Kurangnya Kesadaran Masyarakat

Masih kurangnya dukungan masyarakat terhadap

penyidikan tindak pidana eksploitasi seksual anak. Masyarakat

masih kurang atensi terhadap proses penyidikan tindak pidana

eksploitasi seksual anak yang dilakukan oleh Ditreskrimum Polda

Sumbar khususnya Unit PPA Polda Sumbar, dikarenakan ada

pandangan di masyarakat bahwa masalah anak adalah masalah

keluarga dan masalah keluarga adalah urusan internal mereka

sendiri. Dan dari pihak keluarga menganggap masalah itu sebagai

108
Wawancara, Kanit PPA AKP Zulfastri Polda Sumbar, pada tanggal 3 Agustus 2018

139
aibnya sehingga cenderung menutup-nutupi fakta sebenarnya dan

tidak mau melibatkan pihak lain.

b. Tingkat pengangguran yang tinggi

Setiap tahun jumlah penganggguran semakin meningkat

dan lapangan pekerjaaan juga semakin sempit sehingga

menimbulkan banyak pengangguran yang terjadi disamping itu

pemenuhan kebutuhan hidup yang mengikuti gaya sosial kelas

menengah atas mengakibatkan seseorang melakukan tindak pidana

eksploitasi seksual yang melibat anak sebagai korbannya untuk

memenuhi kebutuhan tersebut.

c. Kemajuan Teknologi

Kemajuan teknologi seperti adanya aplikasi sosial media

dimanfaatkan pelaku tindak pidana sebagai salah satu sarana

penunjang untuk menjalankan aksinya untuk mengelabui aparat

penegak hukum sehingga aparat penegak hukum sulit untuk

mengungkap suatu khasus tindak pidana eksploitasi seksual yang

melibatkan anak. Butuh usaha ekstra dalam mengungkapkan suatu

kasus tindak pidana dibanding kasus tindak pidana lainnya yang

tindak memanfaatkan sosial media.

140
C. Upaya Penyidik Direktorat Reserce Kriminal Umum Kepolisian Daerah

Sumatera Barat Dalam Mengatasi Kendala-kendala Terkait Dengan

Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Terhadap

Anak

1. Mengatasi Kendala Internal

Sehubungan dengan kendala Internal yang ada di Polda Sumbar ,

dalam mengatasi tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak dalam

hal ini Polda Sumbar melakukan upaya untuk mengatasi kendala Internal

tersebut sebagai berikut : 109

a. Mengusulkan untuk meningkatkan Anggaran Polda Sumbar

khususnya bagian Ditreskrimum Polda Sumbar. Hal ini

diharapkan kepada pemerintah khususnya POLRI untuk bisa

meningkatkan anggaran di tiap-tiap Polda khususnya Polda

Sumbar agar kinerja petugas Polda menjadi lebih optimal

daripada sebelumnya.

b. Melakukan pelatihan dan seminar-seminar terkait tindak pidana

eksploitasi seksual terhadap anak di kalangan aparat penegak

hukum.

Dimana pelatihan dan seminar-seminar rutin yang diadakan merupakan

agenda rutin tahunan yang dilaksanakan setahun sekali yang di ikuti oleh para staf

dan penyidik Ditreskrimum Polda Sumbar khususnya penyidik Unit PPA Polda

Sumbar. Dalam Penanganan tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak para

Penyidik Ditreskrimum Polda Sumbar khususnya penyidik Unit PPA Polda


109
Wawancara, Kanit PPA AKP Zulfastri Polda Sumbar, pada tanggal 3 Agustus 2018

141
Sumbar melakukan Pelatihan–pelatihan berkaitan dengan Penanganan Kasus

Tindak Pidana Khusus perlindungan anak yang dilaksanakan seminggu tiga (3)

kali yang di bina oleh Kapolda.

Kemampuan penyidik dalam pelaksanaan tugas penyidikan sangat

diperlukan. Kemampuan ini antara lain yaitu keterampilan dan pengetahuan

teknik kriminalistik khususnya kemampuan dalam “pengolahan TKP” ,

penanganan bukti-bukti dan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan tersangka,

sehingga dapat mengembangkan kasus dengan sedemikian rupa untuk mencapai

hasil yang diharapkanMeningkatkan koordinasi dan kerjasama antara Polda

Sumbar dengan Instansi yang berkaitan.

Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antara Polda Sumbar dan dengan

lembaga-lembaga yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak dan wanita

ditempatkan di sekitar wilayah hukum Polda Sumbar, sehingga pelaksanaan

penyidikan dan perlindungan hak-hak anak wanita yang menjadi korban tindak

pidana menjadi optimal.

2. Mengatasi Kendala Eksternal

a. Melakukan Pendekatan secara langsung terhadap Masyarakat.

Bentuk pendekatan ini merupakan suatu Strategi

Pendekatan Masyarakat dengan cara menyambangi/mengunjungi

masyarakat secara langsung, dengan periode tertentu secara

continue. Kegiatan tersebut di lakukan untuk bertatap muka serta

berbincang-bincang dengan anggota masyarakat yang di kunjungi

tersebut. Hal ini di lakukan dengan harapan untuk mendapatkan

142
informasi tentang masyarakat dan problematika yang terjadi di

dalamnya, atau untuk dapat memberikan arahan, informasi, atau

pembinaan kepada masyarakat untuk lebih meningkatkan

kepedulian terhadap keamanan dan ketertiban.

b. Melakukan operasi-operasi atau razia terkait dengan laporan

tentang adanya eksploitasi seksual yang melibatkat anak

sebagai korbannya.

Operasi atau razia yang dilakukan oleh Polda Sumbar

adalah operasi atau razia untuk menjaring pelaku eksploitasi

seksual yang melibatkan anak sebagai korbannya. Dan juga

tempat-tempat yang dicurigai di dalamnya adanya kegiatan

prostitusi

c. Mengadakan sosialisasi tentang dampak buruk kemajuan

teknologi

Adanya kegiatan sosialisasi kemasyarakat dan

kesekolah-sekolah tentang dampak buruk kemajuan teknologi

agar orang tua dapat mengawasi dan mendidiknya anak-

anaknya agar membatasi anak dalam penggunaan teknologi

khususnya dalam penggunaan internet, karena internet rentan

akan pornografi

143
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab pembahasan sebagai jawaban atas

permasalahan yang timbul pada bab pembahasan skripsi ini, dapat ditarik

kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:

1. Proses penyidikan yang dilakukan dalam menangani tindak pidana

eksploitasi seksual anak yang terjadi penyidik Ditreskrimum Polda

Sumbar khususnya unit PPA Polda Sumbar melalui beberapa tahap yaitu

laporan polisi, proses penyidikan (pemanggilan, penangkapan,

penggeledahan, penyitaan, penahanan), proses pemeriksaan (tersangka,

saksi), penyelesaian berkas perkara, penyerahan berkas perkara ke Jaksa

Penuntut Umum.

Dalam proses penyidikan terhadap kasus tindak pidana eksploitasi seksual

anak yang terjadi, undang-undang yang dipakai adalah pasal 88 UU RI No 35

tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi “setiap orang yang

mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain dipidana penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun dan atau denda paling Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).”.

Dari hasil penelitian, masih adanya praktik dimana anak dijadikan sebagai objek

eksploitasi seksual dalam bentuk prostitusi dari tahun ke tahun dan berbagai cara

pula dilakukan tersangka demi mengelabui aparat penegak hukum seperti

pemanfaat tempat salon, hotel, wisma, dan spa. Dan bahkan media sosial

144
dijadikan sarana penunjang dalam eksploitasi seksual dalam bentuk prostitusi agar

lebih efektif dan efisien antara mucikari dan kostumer seksual. Tindak Pidana

eksploitasi seksual terhadap anak yang terjadi karena dipengaruhi faktor-faktor

seperti :

1) Faktor kemajuan teknologi yang disalahgunakan

2) Faktor Gaya Hidup

3) Faktor Ekonomi

4) Faktor Pendidikan Yang Rendah

5) Faktor Lingkungan Pergaulan Bebas

6) Faktor Kurangnya Pengawasan Orang Tua

7) Faktor Kurangnya Keimanan

2. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam Pelaksanaan

Penyidikan Tindak Pidana Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Terhadap

Anak di Ditreskrimum Polda Sumbar terdapat beberapa kendala dalam

pelaksanaan penyidikan antara lain:

a. Kendala Internal

1) Biaya operasional yang tersedia kurang memadai

2) Kurang memadainya sarana prasarana dalam melakukan

penyidikan tindak pidana tindak pidana ekploitasi seksual

terhadap anak

3) Sulitnya penangkapan pelaku tindak pidana

4) Kurangnya aktifnya korban pada saat pemeriksaan

5) Pengumpulan Saksi yang Sulit

b. Kendala Eksternal

145
1) Kurangnya Kesadaran Masyarakat

2) Tingkat pengangguran yang tinggi

3) Kemajuan Teknologi

Upaya penanggulangan kendala Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana

Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Terhadap Anak di Ditreskrimum Polda

Sumbar antara lain:

a. Mengatasi kendala internal

1) Mengusulkan untuk meningkatkan Anggaran Polda Sumbar

khususnya bagian Ditreskrimum Polda Sumbar

2) Melakukan pelatihan dan seminar-seminar terkait tindak pidana

eksploitasi seksual terhadap anak di kalangan aparat penegak

hukum

b. Mengatasi Kendala Eksternal

1) Melakukan Pendekatan secara langsung terhadap Masyarakat

2) Melakukan operasi-operasi atau razia terkait dengan laporan

tentang adanya eksploitasi seksual yang melibatkat anak

sebagai korbannya

3) Mengadakan sosialisasi tentang dampak buruk kemajuan

teknologi

B. Saran

Dilandasi dengan masalah yang ada dan dengan kesempatan yang

diperoleh, pensurulis mencoba memberikan saran-saran yang kemungkinan ada

gunanya bagi para pembaca pada umumnya maupun para aparat penegak hukum

146
pada khususnya. Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan adalah

sebagai berikut:

1. Disarankan kepada penyidik Ditreskrimum Polda Sumbar khususnya

Unit PPA Polda Sumbar agar lebih banyak lagi membongkar praktik

eksploitasi seksual terhadap anak.

2. Disarankan kendala-kendala yang menjadi hambatan untuk penyidik

Ditreskrimum Polda Sumbar khususnya Unit PPA Polda Sumbar

menjalan kan tugas secara optimal seperti kurangnya anggaran untuk

penyidikan dan kurangnya sarana dan prasarana dapat diatasi dengan

baik oleh pihak Polda Sumbar.

3. Disarankan pihak Ditreskrimum Polda Sumbar khususnya Unit PPA

Polda Sumbar dapat menjalin kerjasama yang baik dengan masyarakat

dan instansi-instansi setempat untuk lebih optimalnya dalam

melakukan penyidikan tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak

terutama dalam perlindungan anak sebagai korban suatu tindak pidana.

4. Perlu adanya upaya pembenahan khususnya dibidang teknologi dan

informasi pada struktur kepolisian agar secara cepat dapat menangani

kasus yang berhubungan dengan eksploitasi seksual yang menfaatkan

teknologi dan informasi sebagai sarana mempermudah tindak pidana

tersebut.

147
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan,2001.Perlindungan Terhadap Korban


Kekerasan seksual, Refika Aditama: Bandung.

Andi Hamzah, 2008. KUHP dan KUHAP Edisi Revisi 2008, Rineka Cipta
:Jakarta.

Azhary, 1995. Negara Hukum Indonesia (Analisis Yuridis Normatif


tentang Unsur-Unsurnya), UI Press: Jakarta.Universitas Indonesia.

Bambang Sugono, 1997. Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo


Persada: Jakarta.

Bambang Waluyo, 2008. Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar


Grafika,).

Beni Ahmad Saebani dan Encup Supriatna, 2012. Antropologi Hukum,


Penerbit Pustaka Setia.

C.S.T Kansil,1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,


cet ke-8, Jakarta.Balai Pustaka.

Dwidja Priyatno, 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di


Indonesia.Bandung:PT Rafika Aditama.

Farhana, 2012. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta:


Sinar Grafika

Hasan Alwi, et.al, (ed.), 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta:


Balai Pustaka.

Hartono, 2010. Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui


Pendekatan Hukum Progresif,(Jakarta: SinarGrafika)

Irianto, Sulistyowati, 2005. Perdagangan Perempuan, Bandung: Obor


Indonesia

Kartini Kartono, 1998. Patologi Sosial, Jakarta : CV Rajawali.

Laden marpung, 2008. Kejahatan terhadap kesusilaan dan Masalah


Revensinya, Sinar Grafika :Jakarta.

Lexy J. Moleong.2009. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja


Rosdakaya.
Mangunhardjana. A, 1995. Pengembangan: Arti Dan Metodenya.
Yogyakarta: Kanisius.

Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Lembaga Pendidikan dan


Latihan. 2002. Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri di
Lapangan, Jakarta.

Muladi,1986. Teori-Teori Kebijakan Pidana.Bandung: PT Alumni.

Moeldjano,2002.Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta.

Nashriana, 2011. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia,Jakarta :


Raja Grafindo Persada.

Nurdin Usman,2002. Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum. Jakarta:PT.


Raja Grafindo Persada.

Rianto Adi, 2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta : Granit.

Ruslan renggong,2015.Hukum Pidana Khusus memaham delik delik diluar


KUHP, Jakarta: Prenamedia Group.

Sholehuddin, 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1990. Penelitian Hukum Normatif


Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers.

Soerjono Soekanto, 2006. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.

Subhi Mahmassani, 1993. Konsep Dasar Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta:


Tintamas Indonesia.

Winjono prodjodikoro, 2003. Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia,


Cetakan kedua, Refika ditama : Bandung.

Zainuddin Ali, 2010. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:Sinar Grafika.


B. PERUNDANG -UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang Hukum


Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum


Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik


Indonesia

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Perdagangan Orang

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi


Elektronik

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-


Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Perppu Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor


23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

C. SUMBER LAIN

https://khsblog.net/2016/09/04/daftar-statistik-kejahatan-terhadap-anak-
tahun-2011-2016/ Di akses tanggal 20 Januari 2018 Jam 20.00 Wib.
http://lampung.tribunnews.com/2017/10/11/waduh-ada-339-anak-
perempuan-indonesia-jadi-korban-eksploitasi-seksual-komersial-
anak diakses tanggal 21 Januari 2018 Jam 10.00
http://riausky.com/news/detail/20531/12-wanita-cantik-ini-ditemukan-
tewas mengenaskan-setelah-dibunuh-oleh-pacar-dan-teman-
kencannya.html/2 diakses tanggal 24 februari 2018 jam 20.00 wib
https://feed.merdeka.com/trend/yuyun-tewas-diperkosa-13-orang-hasil-
visumnya-bikin-hati-pilu-1605029.html diakses tanggal 24 februari
2018 jam 21.00 wib
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/02/07/p3rch2280-
polda-sumbar-ungkap-prostitusi-daring-di-padang diakses taggal 24
februari 2018 Jam 20.00 WIB
Perkembangan Dunia Internet,KOMPAS, 08 Juli 2015. diakses pada
tanggal 18 Februari 2018 Pukul 08.21 WIB

D. Wawancara
Wawancara, Kanit PPA AKP Zulfastri Polda Sumbar, pada tanggal 30 Juli
2018
Wawancara, Aggota Unit PPA Bripda Yulia Bachrie, Polda Sumbar, pada
tanggal 1 Agustus 2018

Anda mungkin juga menyukai