Anda di halaman 1dari 21

TUGAS HUKUM PIDANA

“Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana”

Nama Anggota Kelompok 2:


1. Oktria Winda Maryadi 1610111141
2. Nurul Astri Haliza 1610111011
3. Deni Putra 1610112061
4. Dedet Ranggil Putra 1310111181
5. Muhammad Ridho 1610113072
6. Annisadila Dammaputi 1610113077
7. Rezky Ramadhan HS 1310112054

Fakultas Hukum
Universitas Andalas
2017
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-atauran untuk menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut. [1]

Dari pengertian dimuka dapat diketahui bahwa hukum pidana menempati posisi
penting dalam seluruh sistem hukum dalam suatu Negara. Meskipun masih
dipertanyakan manfaatnya dalam menyusun tata masyarakat yang tertib dan
damai, tetapi semakin penting dipelajari segi-seginya untuk menunjang seluruh
sistem kehidupan didalam masyarakat. Sering dikatakan bahwa pidana
merupakan Ultimum Remedium atau obat terakhir. Tetapi tidak demikian halnya
penuntutan pidana. Penuntutan pidana ternyata bermanfaat pula untuk
menyelesaikan pelanggaran hukum pidana.

Untuk mencapai tahap seperti itu diperlukan penegak hukum yang jujur lagi
berwibawa serta cakap. Asas-asas hukum pidana merupakan fundamental hukum
pidana. Sejauh-jauh orang mempelajari atau menerapkan hukum pidana akan
tetap harus kembali menelaah asas-asas yang terkandung dalam KUHP.[2]

Dari penjelasan dimuka dapat diketahui bahwa asas-asas dalam hukum pidana
adalah sebagai pedoman atau pijakan, dimana memiliki kedudukan penting
dalam hukum pidana, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi hukum
pidana tersebut. Asas hukum pidana dibagi menjadi beberapa macam,
diantaranya asas teritorial, asas nebis in idem, asas legalitas, asas nasional aktif,
nasional pasil dan lain sebagainya.

Mengingat pentingnya asas-asas hukum pidana dalam mempelajari hukum


pidana, maka kami berinisiatif untuk mengangkat judul Asas-Asas hukum pidana
sebagai bahan makalah, dan akan dijelaskan lebih rinci didalam pembahasan dan
analisis masalah.

B. Rumusan Masalah

Makalah tersebut mengandung beberapa rumusan masalah, diantaranya adalah:

1. Bagaimana asas-asas dalam ruang lingkup berlakunya peraturan


pidana?

C. Tujuan

Dari rumusan masalah dimuka, terdapat tujuan yang akan dicapai, diantaranya
adalah:
1. Untuk mengetahui asas-asas dalam ruang lingkup berlakunya peraturan
pidana.

II. PEMBAHASAN
A. Asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu
Asas Legalitas
1. Arti dan Makna Asas Legalitas
Asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “tiada suatu
perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana
dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Asas legalitas
(the principle of legality) yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa
pidana (delik/ tindak pidana ) harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan
undang-undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada
atau berlaku sebelum orang itu melakukan perbuatan. Setiap orang yang
melakukan delik diancam dengan pidana dan harus mempertanggungjawabkan
secara hukum perbuatannya itu.
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas memberikan sifat
perlindungan pada undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap
pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Ini dinamakan fungsi
melindungi dari undang-undang pidana. Di samping fungsi melindungi, undang-
undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu di dalam batas-batas
yang ditentukan oleh undang-13 Amir Ilyas
undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas
diperbolehkan.
Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman, sehubungan
dengan kedua fungsi itu, merumuskan asas legalitas secara mantap dalam
bahasa Latin, yaitu :11
 Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut
undang-undang.
 Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
 Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana
menurut undang-undang.
Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat, yaitu nullum
delictum, nulla poena sine praevia lege poenali . Artinya, tidak ada perbuatan
pidana, tidak ada pidana, tanpa ketentuan undang-undang terlebih dahulu.
Dari penjelasan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa asas
legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung tiga pokok pengertian yakni :
a. Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) apabila perbuatan
tersebut tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan
sebelumnya/terlebih dahulu, jadi harus ada aturan yang mengaturnya
sebelum orang tersebut melakukan perbuatan;
b. Untuk menentukan adanya peristiwa pidana (delik/tindak pidana) tidak boleh
menggunakan analogi; dan
c. Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan tidak boleh berlaku
surut;
11 Buku Ajar Hukum Pidana 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
Makassar, 2007, hlm. 39.14 Asas-asas Hukum Pidana
2. Tujuan Asas Legalitas
Menurut Muladi asas legalitas diadakan bukan karena tanpa alasan tertentu.
Asas legalitas diadakan bertujuan untuk:12
a. Memperkuat adanya kepastian hukum;
b. Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa;
c. Mengefektifkan deterent function dari sanksi pidana;
d. Mencegah penyalahgunaan kekuasaan; dan
e. Memperkokoh penerapan “the rule of law”.
Sementara itu, Ahmad Bahiej dalam bukunya Hukum Pidana, memberikan
penjelasan mengenai konsekuensi asas legalitas Formil, yakni:13
1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan
perundang-undangan. Konsekuensinya adalah:
a. Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai
tindak pidana juga tidak dapat dipidana.
b. Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak
pidana.
2. Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak
pidana. Konsekuensinya adalah aturan pidana tidak boleh berlaku surut
(retroaktif), hal ini didasari oleh pemikiran bahwa:
a. Menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
b. Berhubungan dengan teori paksaan psikis dari anselem Von Feuerbach,
bahwa si calon pelaku tindak pidana
12 Ibid.
13 Ahmad Bahiej, 2009, Hukum Pidana, Teras, Yogyakarta, hlm. 18-19.15 Amir
Ilyas
akan terpengaruhi jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan,
apabila ia mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan
terhadapnya.

3. Pengecualian Asas Legalitas


Asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) memiliki pengecualian khusus
mengenai keberadaannya, yaitu di atur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP
yang mana pasal tersebut berbunyi seperti ini “jika terjadi perubahan perundang-
undangan setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada tersangka/terdakwa
dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. Dari ketentuan pasal 1 ayat
(2) KUHP ini sebagai pengecualian yakni memperlakukan ketentuan yang
menguntungkan bagi terdakwa. Menurut jonkers pengertian menguntungkan
disini bukan saja terhadap pidana dari perbuatan tersebut,tetapi juga mencakup
penuntutan bagi si terdakwa.
Ada bermacam-macam teori yang menyangkut masalah perubahan
peraturan perundanga-undangan yang dimaksud dalam hal ini. Yakni sebagai
berikut :
1. Teori formil yang di pelopori oleh Simons, berpendapat bahwa perubahan UU
baru terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana tersebut berubah.
Perubahan undang-undang lain selain dari UU pidana walaupun berhubungan
dengan uu pidana bukanlah perubahan undang-undang yang dimaksud dalam
pasal 1 ayat (2) ini.
2. Teori material terbatas yang dipelopori oleh Van Geuns berpendapat antara
lain bahwa perubahan UU yang di maksud harus diartikan perubahan
keyakinan hukum dari pembuat undang-undang.perubahan karena zaman
atau karena keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahan 16 Asas-asas
Hukum Pidana dalam UU Pidana.
3. Teori material tak terbatas yang merujuk pada putusan Hoge Raad tanggal 5
desember 1921 mengemukakan bahwa perubahan undang-undang adalah
meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undang-undang
yang meliputi perasaan hukum pembuat undang-undang maupun perubahan
yang dikarenakan oleh perubahan jaman (keadaan karena waktu tertentu.

B. Asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Orang


Batas diberlakukannya hukum pidana menurut tempat diatur dalam pasal
2,3,4,8,9 KUHP sedangkan batas berlakunya hukum pidana menurut orang atau
subjeknya diatur dalam pasal 5,6,7 KUHP.

Mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang dikenal ada 4
asas yaitu :

a) Asas teritorialiteit (territorialiteits-beginsel) atau asas wilayah negara

b) Asas personaliteit (personaliteits beginsel) disebut juga dengan asas


kebangsaan, asas nationalitet aktif atau asas subjektif (subjektions prinsip)

c) Asas perlindungan (bescbermings beginsel) atau disebut juga asas nasional


pasif
d) Asas universaliteit (universaliteits beginsel) atau asas persamaan.

a) Asas teritorialiteit :

Adalah asas yang memberlakukan KUHP bagi semua orang yang melakukan
pidana di dalam lingkungan wilayah Indonesia. Asas ini dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 2 dan 3 KUHP. Tetapi KUHP tidak berlaku bagi mereka yang
memiliki hak kebebasan diplomatik berdasarkan asas ”ekstrateritorial”.

Asas teritorial ini diatur dalam pasal 2 yang berbunyi “aturan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan
tindak pidana di dalam wilayah Indonesia”

Disini siapapun yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia dapat


dipidana sesuai hukum pidana yang berlaku di Indonesia baik didarat, laut
maupun udara.

Wilayah laut 12 mil pulau terluar, kalau kurang dari 12 mil, maka di pakai garis
tengah selat (selat malaka) = UU No 4/Prp/1960 Pasal 1 ayat 2.

b) Asas Personaliteit.

Adalah asas yang memberlakukan KUHP terhadap orang-orang Indonesia yang


melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Republik Indonesia. Asas ini bertitik
tolak pada orang yang melakukan perbuatan pidana. Asas ini dinamakan juga
asas personalitet. Asas ini terdapat dalam Pasal 5, 6, 7 dan 8 KUHP

Pasal 5 KUHP

(1) : Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi


warganegara Indonesia yang melakukan diluar Indonesia :

1 e.salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua, dan
dalam Pasal Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451;

2 e.suatu perbuatan yang dipandang sebagai kejahatan menurut ketentuan


pidana dalam undang-undang Indonesia dan boleh dihukum menurut undang-
undang negeri tempat perbuatan itu dilakukan.

(2) : Penuntutan terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan pada ke 2e


boleh juga dilakukan, jika tersangka baru menjadi warganegara Indonesia
setelah melakukan perbuatan itu

Pasal 5 ayat 1 berbunyi “Ketentuan pidana dalam Peraturan perundang-


undangan Indonesia berlaku terhadap warga negara yang diluar Indonesia
melakukan
Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan Pasal 160,
161, 240, 279, 450 dan 451 KUHP

Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam peraturan
perundang-undangan pidana Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan
menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam
dengan pidana

Pasal 5 ayat 2 berbunyi “Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir


2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan
perbuatan.

Bab I berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara (104-129) dan


Bab II adalah mengenai kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil
presiden (130-139).

Pasal 5 ayat 1 ke-1 KUHP hanya berlaku berkaitan dengan tindak pidana yang
terjadi kepada setiap warga negara RI yang melakukan diluar Indonesia
sebagaimana diancam dalam pasal-pasal tersebut.

Sedangkan pasal 5 ayat 1 ke-2 hanya berlaku berkaitan dengan tindak pidana
setiap warga negara RI yang melakukan diluar Indonesia namun tindak pidana
tersebut harus berupa kejahatan bukan pelanggaran dan perbuatan tindak
pidana tersebut oleh negara dimana perbuatan tersebut dilakukan juga
merupakan perbuatan pidana yang dapat diancam.

Sedangkan ayat 2 Pasal 5 berkaitan dengan apabila ada orang asing melakukan
tindak pidana diluar negeri setelah itu ia masuk warga negara Indonesia. Maka
dapat juga dituntut menurut ayat 2 ini.

Pasal 6 KUHP.

Berlakunya pasal 5 (1) angka 2e itu dibatasi hingga tidak boleh dijatuhkan
hukuman mati untuk perbuatan yang tiada diancam dengan hukuman mati
menurut undang-undang negeri tempat perbuatan itu dilakukan

Selanjutnya dalam pasal 7 berbunyi “ketentuan pidana dalam perUUan Indonesia


berlaku bagi setiap pejabat Indonesia yang diluar Indonesia melakukan salah
satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam bab XXVIII buku kedua.

Pasal 7 ini menerangkan khusus warga negara sebagai pejabat Indonesia (PNS)
yang melakukan perbuatan yang diancam salah satu bab XXVIII. Artinya pasal ini
tidak berlaku warga negara yang bukan pejabat.

Selanjutnya dalam pasal 8 KUHP berbunyi “ketentuan pidana dalam perundang-


undangan Indonesia berlaku bagi nakhoda dan penumpang kenderaan air
Indonesia, yang diluar Indonesia, sekalipun diluar kenderaan air, melakukan
salah satu tindak pidana sbgmana dimaksudkan dalam bab XXIX buku kedua,
dan bab IX buku ketiga, begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai
surat laut dan pas kapal Indonesia maupun dalam ordonansi perkapalan
(schepnordonantie, 1927). Bab XXIX buku kedua membahas tentang kejahatan-
kejahatan pelayaran (Pasal 438-479) sedangkan bab IX buku ketiga ttg
pelanggaran mengenai pelayaran (pasal 560-569)

c) Asas Perlindungan atau Asas nasional Pasif

Adalah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap siapapun juga baik WNI
maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia. Jadi
yang diutamakan adalah keselamatan kepentingan suatu negara. Asas ini
bertumpu pada kepentingan bangsa dan negara bukan kepentingan
pribadi/individu diatur dalam pasal 4 KUHP

Pasal 4 KUHP

Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia diterapkan


terhadap setiap orang yang melakukan di luar Indonesia yaitu salah satu
kejahatan berdasarkan pasal 104, 106, 107, 108, 110 bis ke 1, 127 dan 131,
Juga kejahatan mata uang kertas, materai, merek yang dikeluarkan pemerintah
Indonesia, dll.

d) Asas Universaliteit

Asas ini berlaku untuk kepentingan penduduk dunia atau bangsa dunia. Jadi
bukan sekedar kepentingan bangsa Indonesia Diatur dalam pasal 4 ayat 2,3,4
KUHP, misalnya pasal 4 ayat 4 berkaiatan dengaan pembajakan di laut bebas
(446) dan pembajakan udara (479) dan penerbangan sipil, pemalsuan uang
negara lain yang bukan uang negara Indonesia

Asas universaliteit adalah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap


perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk
merugikan kepentingan internasional. Peristiwa pidana yang terjadi dapat berada
di daerah yang tidak termasuk kedaulatan negara manapun. Jadi yang
diutamakan oleh asas tersebut adalah keselamatan internasional.

B. BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT

1. Asas teritorial

Bahwa hukum pidana suatu negara berlaku diwilayah negara itu sendiri. Dalam
pepatah adat “Dimana ada minyak, maka disitulah dipadamkan”, artinya dimana
delik dilakukan maka disitulah diadili berdasarkan atas hukum yang berlaku
didaerah itu. Asas ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik
diwilayah tempat berlakunya hukum pidana, maka ia tunduk pada hukum pidana
itu.

Prinsip ini menganggap bahwa hukum pidana Indonesia berlaku di dalam wilayah
Republik Indonesia, siapapun yang melakukan tindak pidana. [4]Hal ini
ditagaskan dalam pasal 2 KUHP bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana
Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam
wilayah Negara Indonesia. Dengan demikian orang asing yang berda dalam
wilayah Indonesia takluk pada hukum pidana di Indonesia.

Berlakunya hukum pidana berdasarkan wilayah dibatasi oleh hukum


internasional. Hal ini tercantum pada pasal 9 KUHP: berlakunya pasal 2, 3, 4, 5,
7 dan 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum
internasional.[5]

Asas territorial lebih menitik beratkan pada terjadinya perbuatan pidana di dalam
wilayah Negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warga Negara atau
orang asing. Asas territorial yang pada saat ini banyak diikuti oleh Negara-negara
di dunia termasuk Indonesia. Hal ini adalah wajar karena tiap-tiap orang yang
berada dalam wilayah suatu Negara harus tunduk dan patuh kepada peraturan-
peraturan hukum Negara dimana yang bersangkutan berada.

Prinsip teritorial dalam pasal 3 KUHP diperluas sampai kapal-kapal Indonesia,


meskipun berada diluar wilayah Indonesia. Dengan demikian siapa saja baik itu
orang asing dalam kapal laut Indonesia meskipun sedang berada atau sedang
berlayar dalam wilayah Negara lain, takluk pada hukum pidana Indonesia. Jadi
siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam atau diatas suatu kapal
Indonesia, meskipun dalam laut wilayah Negara lain, misalnya sedang berlabuh
dalam suatu pelabuhan negara asing dapat dituntut oleh jaksa dan dihukum oleh
pengadilan Negara Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan
pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan
bebas atau berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah territorial
suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan
pidana.

Hal ini juga tidak mengurangi kemungkinan bahwa menurut peraturan hukum
Negara asing tersebut, seseorang yang melakukan tindak pidana tadi dapat pula
dihukum oleh pengadilan dari Negara asing itu. apabila hal tersebut terjadi maka
pelanggar hukum pidana tadi tidak akan diadili oleh hukum pidana di Indonesia
sebab berdasrkan asas ne bis in idem ( pasal 76 ayat 2 KUHP ). Hal ini dapat
diterima sebab dalam perturan pasal 2 KUHP apabila seseorang asing didalam
kapal asing dalam suatu pelabuhan Indonesia, malakukan tindak pidana, maka
orang itu juga dapat dihukum oleh pengadilan Negara Indonesia.

2. Asas personal ( nasional aktif )


Terkandung dalam pasal 5 KUHP dapat dibagi atas tiga golongan masalah yaitu:

a. Pada ayat 1 ke-1 menentukan beberapa perbuatan pidana yang


membahayakan kepentingan nasional bagi Indonesia, dan perbuatan-perbuatan
itu tidak diharapkan dikenai pidana ataupun sungguh-sungguh untuk dituntut
oleh undang-undang hukum pidana negara asing, oleh karena pembuat deliknya
adalah warga negara Indonesia yang berada diluar wilayah Indonesia melakukan
perbuatan pidana tertentu itu berlaku KUHP.

b. Ayat 1 ke-2 memperluas ketentuan golongan pertama, dengan syarat-


syarat bahwa 1)perbuatan-perbuatan yang terjadi harus merupakan kejahatan
menurut ketentuan KUHP, dan 2) juga harus merupakan perbuatan yang
diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana negara asing
dimana perbuatan itu terjadi. Dua syarat itu harus terpenuhi, sebab apabila
menurut hukum pidana negara asing tidak diancam dengan pidana, maka KUHP
tidak berlaku sekalipun sebagai kejahatan (diluar golongan pertama).

Jadi semua kejahatan yang diatur dalam KUHP praktisnya mengikuti warga
negara Indonesia diluar negeri, dengan pengecualian terhadap perbuatan-
perbuatan yang menurut hukum pidana negara asing tidak dapat dipidana sama
sekali. Atau dapat pula dikatakan bahwa ketentuan pasal 5 ayat 1 ke-1
mempunyai tujuan khusus, sedangkan pasal 5 ayat 1 ke-2 mempunyai tujuan
umum bersyarat, sehingga kedua-duanya tidak dapat meniadakan yang lain.
Teoritis akan timbul persoalan apabila warga negara Indonesia melakukan
kejahatn didaerah tak bertuan (laut bebas) didalam kapal asing atau kapal
terbang, jawabannya akan terpecah seperti halnya mengenai pasal 3 dikaitkan
dengan pasal 5 KYHP.

c. Pada ayat 2 untuk menghadapi kejahatan yang dilakukan dengan


perhitungan yang masak dan agar tidak lolos dari tuntutan hukum, yaitu apabila
orang asing diluar negeri melakukan kejahatan (golongan kedua) dan sesudah
itu melakukan naturalisasimenjadi warga negara Indonesia, maka penuntutan
atas kejahatan pasal 5 ayat 1 ke-2 masih bisa dilaksanakan.

Asas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum Pidana


Indonesia mengikuti warganegaranya dimanapun ia berada. Inti asas tercantum
dalam pasal 5 KUHP : ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik
Indonesia berlaku bagi warga negara Indoneisa yang melakukan kejahatan di
luar wilayah Indonesia. Pasal 5 ayat 1 ke 1 menentukan sejumlah pasal yang jika
dilakukan orang Indonesia di Luar Negeri, maka berlakulah hukum pidana
Indonesia. Kejahatan-kejahatan itu tercantum dalam Bab I dan II buku kedua
KUHP.

Prinsip ini dinamakan nasional aktif karena berhubungan dengan keaktifan


berupa kejahatan dari seorang nasional atau warga Negara.

Golongan kesatu dari kejahatan-kejahatan ini adalah :


1. Dari titel 1 dan 2 buku II KUHP yang meliputi kejahatan-kejahatan
terhadap keamanan Negara, seperti pemberontakan, makar, usaha membunuh
kepala Negara, dan terhadap kedudukan kepala Negara seperti menghina kepala
Negara, menyerang kepala Negara secara fisik.

2. Dari pasal 160 dan 161KUHP yang berupa penghasutan untuk melakukan
tindak pidana.

3. Dari pasal 240 KUHP yang berupa tidak memenuhi kewajiban dalam
bidang pertahanan kejahatan

4. Dari pasal 279 KUHP yang berupa tidak memenuhi kewajiban melebihi
jumlah yang diperbolehkan.

5. Dari pasal 450-451 KUHP yang berupa turut serta, tanpa izin pemerintah
Indonesia, dalam kapal dinas Negara asing yang melakukan pengambilan kapal-
kapal lain.

Kejahatan-kejahatan ini sangat penting bagi Negara Indonesia. Tetapi apabila


tidak termuat dalam hukum pidana Negara asing, sehingga pelakunya tidak akan
dihukum apabila kejahatan tersebut dilakukan di Negara asing tersebut.
[6]Namun apabila kejahatan tersebut dilakukan oleh warga Negara Indonesia,
orang tersebut dianggap pantas untuk dihukum juga meskipun kejahatan
tersebut dilakukan di wilayah negara asing.

Lain halnya dengan golongan kejahatan yang tersebut dalam pasal 5 ayat 1 sub
kedua. Kejahatan-kejahatan seperti ini dihukum juga menurut hukum pidana
Negara asing apabila dilakukan di Negara asing tersebut. Apabila kejahatan
tersebut dilakukan oleh warga Negara Indonesia dan orang tersebut ingin
mendapatkan perlindungan hukum diwilayah Negara Indonesia, kemungkinan
besar orang tersebut oleh pemerintah Indonesia tidak akan diserahkan kapada
pemerintah Negara asing yang bersangkutan. Dengan demikilan orang tersebut
akan bebas dari hukuman pidana. Hal ini dianggap tidak layak sehingga harus
dibuka kemungkinan bahwa orang itu akan dihukum oleh pengadilan negeri
Indonesia. Penentuan ini juga berlaku juga apabila seseorang pelaku kejahatan
itu baru kemudian menjadi warga Negara Indonesia.

Akan tetapi terdapat sedikit pembatasan yang termuat dalam pasal 6 KUHP yang
menentukan bahwa hukuman mati tidak boleh dijatuhkan oleh pengadilan di
Indonesia apabila kejahatan yang bersangkutan menurut hukum pidana negra
asing yang bersangkutan tidak diancam dengan pidana mati.

Asas ini merupakan kebalikan dari asas teritorial. Jika dalam asas teritorial yang
dilindungi adalah siapa pun dalam wilayah Indonesia, dalam asas personalitas ini
yang dilindungi adalah warga negara di mana pun ia berada. Namun
perlindungan yang dimaksud bukan perlindungan atas warga negara atas
ancaman kejahatan, akan tetapi perlindungan dalam bentuk pemberlakuan
hukum pidana Indonesia bagi si warga negara.[7]
Di dalam praktik, penggunaan asas personalitas ini tidak semudah yang
dibayangkan. Warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar
negeri sukar untuk dikembalikan ke dalam negeri karena salah satu sebabnya
ketiadaan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan negara tersebut. Asas ini
tidak mungkin lagi digunakan sepenuhnya apabila warga negara berada
diwilayah negara lain yang berkedudukan gecoordinerd, artinya yang sama-sama
berdaulat karena bertentangan dengan kedaulatan negara, apabila ada orang
asing didalam wilayahnya tidak diadili menurut hukum negara itu.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara asas teritorial


dengan asas personalitas. Jika asas teritorial menyatakan batas berlakunya
hukum pidana bagi wilayah negara tanpa memperhatikan kewarganegaraan
pelaku, maka asas personalitas dapat diartikan bahwa keberlakuan hukum
pidana Indonesia mengikuti keberadaan warga negara Indonesia kemana pun ia
berada. Oleh karena itu, asas personalitas disebut juga dengan asas nasional
aktif. Demikianlah, setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana
di mana pun berada, ia berhak diadili menurut hukum pidana Indonesia hal mana
dikenal dengan asas nasional aktif.[8]

3. Asas nasional pasif ( asas perlindungan )

Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain
yang memungkinkan diberlakukannya hukum pidana nasional terhadap
perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Negara.

Prinsip ini memperluas berlakunya ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia


diluar wilayah Indonesia berdasarkan atas kerugian nasional sangat besar yang
diakibatkan oleh beberapa kejahatan sehingga siapa saja termasuik orang asing
yang melakukannya dimana saja, pantas untuk dihukum di pengadilan Indonesia.
[9]

Hal diatas dapat terlaksanan apabila pelaku dibawa di wilayah Indonesia. Prinsip
nasional pasif ini termuat dalam pasal 4 ke 1, 2, dan 3 KUHP yang berbunyi
sebagai berikut :

Ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja yang


diluar wilayah Indonesia telah melakukan :

Ke-1: salah satu dari kejahatan-kejahatan yang termuat dalam pasal-pasal 104-
108, 110, 111, bis sub 1, 127, 130-133

Ke-2 : suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas atau mengenai
segel atau merek yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia

Ke-3 : suatu pemalsuan dalam surat-surat hutang ( scheldbrieven ) atas beban


Indonesia atau daerah dari Indonesia, atau pemalsuan dalam tanda-tanda
deviden atau bunga dari surat-surat hutang itu, atau dengan sengaja
mempergunakan surat-surat yang dipalsukan itu.
Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi kepentingan yaitu
melindungi kepentingan nasional dan melindungi kepentingan internasional
(universal). Pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap
orang (baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing) yang di luar
Indonesia melakukan kejahatan yang disebutkan dalam pasal tersebut.

Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena pasal 4 KUHP ini


memberlakukan perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang
di luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan-perbuatan yang
merugikan kepentingan nasional, yaitu :

a. Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat /


kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia
(pasal 4 ke-1)

b. Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau
segel / materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4
ke-2)

c. Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat


hutang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4
ke-3)

d. Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan


pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-4).

Hanya ada sedikit kejahatan yang dikenakan Prinsip nasional pasif ini, yang
terberat saja dari titel 1 dan 2 buku II KUHP, kemudian pemalsuan uang
Indonesia, pemalsuan segel dari Indonesia, dan pemalsuan surat-surat hutang
atas beban Indonesia atau daerahnya.

4. Asas universal

Prinsip ini melihat pada suatu tata hukum internasional, dimana terlibat
kepentingan bersama dari semua Negara di dunia. Apabila ada tindak pidana
yang merugikan kepentingan bersama dari semua Negara, maka hal ini dapat
dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap Negara, dengan tidak dipedulikan
siapa yang melakukannya dan dimana ia melakukan.

Hukum pidana ini berlaku umum, melampaui negara yang bersangkutan.


Perlindungan disini untuk kepentingan dunia. Jadi tiap-tiap negara berkewajiban
untuk ikut melaksanakan tata hukum sedunia, demikian menurut V. Hattum.
Asas ini dianut dalam Undang-undang Pidana kita, seperti yang terdapat antara
lain dalam pasal 438 dan 444 KUHP yang mengancam dengan hukuman
terhadap siapa saja yang telah bersalah melakukan pembajakan laut dengan
segala akibat yang mungkin timbul dengan kegiatan tersebut.

Berlakunya pasal 2-5 dan pasal 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian


dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional
(asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib
turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).

Dikatakan melindungi kepentingan internasional (kepentingan universal) karena


rumusan pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau
uang kertas) dan pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai pembajakan kapal laut dan
pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas
Negara mana yang dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang negara mana
yan dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam pasal
4 ke-2 KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan
tetapi juga mungkin menyangkut mata uang atau uang kertas Negara asing.
Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4
KUHP dapat menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia,
dan mungkin juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang Negara asing.

Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, laut atau
pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Indonesia, maka asas yang
berlaku diterapkan adalah asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional
pasif). Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau
pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Negara asing, maka asas yang
berlaku adalah asas melindungi kepentingan internasional (asas universal).

Asas ini terdapat pada pasal 4 ayat 2 dan 4 KUHP sejauh kepentingan negara-
negara lain yang dilindungi oleh kekuatan-kekuatan pidana tersebut. Pasal
tersebut semula dibentuk hanya untuk melindungi mata uang dan uang kertas
yang telah dikeluarkan oleh bank sirkulasi. Namun sejak tahun 1932 tidak hanya
mata uang saja yang harus dilindungi. Tetapi juga hal-hal lain yang
menyebabkan adanya tindak pidana berskala internasional.

Dalam pasal 4 sub 4 KUHP yang menentukan bahwa ketentuan-ketentuan hukum


pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja, termasuk orang-orang asing yang
diluar wilayah Indonesia melakukan kejahatan-kejahatan, termaut dalam pasal-
pasal 438, 444-446 sepanjang mengenai pembajakan laut, dan pasal 447
mengenai membawa suatu kapal ke bawah kekuasaan bajak laut.

Dewasa ini makin banyak perjanjian antara Indonesia dengan negara asing untuk
menumpas suatu tindak pidana yang dalam sistem hukum negara lain juga
dianggap sebagai tindak pidana, apalagi tindak pidana tersebut memiliki
karakteristik yang transnasional, umpamanya kejahatan narkotika, psikotropika,
perdagangan orang, perompakan di laut dan lain sebagainya.

Dewasa ini pula, asas universal banyak diterapkan dalam pemberantasan tindak
pidana terorisme. Seluruh dunia merasa berkepentingan dengan aksi-aksi
terorisme, karenanya sebagian besar negara sepakat bahwa terorisme adalah
kejahatan universal yang dengan demikian menjadi universal pula kewenangan
untuk menangani dan mengadilinya.
C. Asas be bis in idem

Dalam pasal 76 KUHP terdapat prinsip penting yaitu bahwa seseorang tidak
dapat dituntut sekali lagi atas perbuatan yang sama karena perbuatan yang
baginya telah diputuskan oleh hakim telah berkekuatan hukum tetap.[10]

Dasar pikiran atau ratio dari asas ini ialah :

a. Untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan


kewibawaan Negara)

b. Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan.

Penuntutan terhadap seseorang dapat hapus berdasar neb is in idem, apabila


dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Ada putusan yang berkekuatan hukum tetap

Keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap disini adalah keputusan


hakim yang dapat berupa :

1) Pembebasan (vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP

2) Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtvervolging)


pasal 191 ayat (2) KUHAP

3) Penjatuhan pidana pasal 193 ayat (1) KUHAP

Jadi keputusan-keputusan tersebut sudah mengandung penentuan terbukti


tidaknya tindak pidana atau kesalahan terdakwa. Azas ne bis in idem tidak
berlaku untuk keputusan hakim yang belum berhubungan dengan pokok perkara,
yang biasanya disebut “penetapan-penetapan” (beschikking), misalnya :

1. Tentang tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang


bersangkutan

2. Tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa karena terdakwa tidak


melakukan kejahatan

3. Tetang tidak diterimanya perkara karena penuntutan sudah daluwarsa.

Jadi Apabila misalnya seorang pengendara motor menabrak penjual soto dan dia
dituntut secara perdata untuk memberi ganti rugi, maka putusan hakim mengnai
hal ini tidak menghalangi untuk dilakukannya penuntutan dalam perkara
pidananya. Jadi dalam hal ini tidak ada neb is in idem.

b. Orang terhadap siapun putusan itu dijatuhkan adalah sama

c. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah
diputus terdahulu itu.
Melihat pada asas tersebut (Ne Bis In Idem), terdakwa yang melakukan
kejahatan tersebut tidak dihukum lagi di Indoneisa. Dan ayat kedua terhadap
putusan asing: kalau putusan yang satu telah menjadi tetap itu berasal dari
hakim lain, maka penuntutan tidak dapat dilakukan dan diadakan terhadap orang
itu karena perbuatan yang sama.[11]

Dengan adanya syarat ini berarti terhadap putusan tersebut harus sudah tidak
ada alat hukum / upaya hukum (rechtsmiddel) yang dapat dipakai untuk
merubah keputusan tersebut. Ada pendapat bahwa peninjauan kembali
(herzeining) merupakan salah satu upaya hukum, sehingga pengecualian yang
tersebut dalam pasal 76 itu (yaitu adanya herzeining merupakan pengecualian
terhadap azas ne bis in idem) sebenarnya tidak perlu. Jadi menurut pendapat ini,
dengan adanya herzeining berarti putusan itu memang belum berkelanjutan dari
tuntutan hukum yang pertama, jadi bukan merupakan tuntutan hukum yang
kedua kali.

Prinsip ini tidak hanya mengenai hal bahwa seseorang yang telah dihukum
karena telah melakukan tindak pidana, tidak boleh dituntut kembali atas
perbuatan yang sama, walaupun dalam perkara pertama tersebut dibebaskan
atau dilepaskan dari segala tuntutan ( ontslag van rechtsvervolging ), maka atas
perbuatan yang sama tersebut tidak boleh dilakukan penuntutan kembali.

Jadi apabila pembebasan atas perkara tersebut disebabkan oleh suatu kekeliruan
dalam penuntutannya, maka hal tersebut juga tidak dapat dituntut kembali
walaupun dengan maksud ingin memperbaiki kekeliruan tersebut. Karena Adanya
prinsip ini adalah untuk kepentingan para anggota masyarakat akan adanya
suatu kepastian dan ketentraman dalam hidupnya.

Contoh Kasus:

Badan Narkotika Nasional (BNN) berhasil membekuk seorang perempuan yang


disebut sebagai ratu kurir narkoba, berinisial RW alias K, alias V di Perumahan
Griya Nusantara Cibubur City Blok C nomor 11, Jakarta Timur, pada Kamis
(27/6/2013).

V merupakan operator kurir penyelundupan narkoba ke Indonesia atau negara


lainnya. Bersama sang suami yang saat ini masih dalam pengejaran petugas, V
memiliki peran sentral dalam sindikat narkoba yang dikendalikan warga Nigeria.
Deputi Bidang Pemberantasan BNN, Irjen Pol Benny Mamoto, mengatakan
berdasar hasil penyelidikan V bersama suaminya yang berkewarganegaraan
Nigeria memiliki peran sentral dalam sindikat narkoba yang dikendalikan Warga
Negara Nigeria di beberapa negara, seperti Indonesia, India, Filipina, Singapura,
dan Malaysia.

Tugas V sebagai perekrut, sementara sang suami merupakan salah seorang


pengendali jaringan narkoba yang selalu berhubungan dengan jaringan narkoba
lainnya asal Nigeria yang beroperasi di negara-negara tersebut."Keduanya ini
sangat berpengaruh. Suaminya mengendalikan jaringan Nigeria di Malay, India,
Indonesia dan negara lainnya yang selalu saling berhubungan. Barang-barang
diselundupkan dari dan untuk negara yang membutuhkan. Tersangka V sendiri
berperan sebagai operator kurir," kata Benny dalam konferensi pers di Lapangan
Parkir BNN, Jalan MT Haryono, Jakarta Timur, Senin (1/7/2013) kemarin.[12]

Sidang Tuntutan WNA Narkoba Terdakwa warga negara asing (WNA) asal
Inggris, Andrea Ruth Waldeck (kanan) mengikuti sidang dengan agenda tuntutan
di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jatim, Senin (16/12). Dalam sidang tersebut
jaksa penuntut umum memberikan tuntutan pada terdakwa dengan 16 tahun
penjara denda Rp 2 milyar subsider enam bulan.[13]

Gugurnya Hak Menuntut (Dasar Penghapus Pidana) “Analisis terhadap Putusan


Mahkamah Agung Nomor 944/K/Pid/2006 a.n Terpidana Anastasia Kusmiati yang
Didakwa dengan Kasus yang Sama pada Perkara 244/Pid .B/2009 /PN.Kbm”
Riswan Suci Santo Puji Nisa Anastasia Kusmiati Pranoto diduga mengeluarkan
surat utang (promissory note) palsu Rp 74 miliar di Bank Lippo Cabang
Kebumen. Dia disangkakan telah menerbitkan surat utang palsu yang seolah-
olah dari kantor pusat Bank Lippo. Putusan Pengadilan Negeri Kebumen No.
122/Pid.B/2005/PN.Kbm. tanggal 31 Oktober 2005: Pidana penjara selama 4
(empat) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara
dengan perintah terdakwa tetap berada dalam tahanan. Banding, Pengadilan
Tinggi Jawa Tengah di Semarang mengeluarkan putusan Nomor :
265/Pid/2005/PT.Smg. tanggal 17 Januari 2006, yang membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Kebumen. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan
pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda Rp. 100.000.000,- subsidair 4
(empat) bulan kurungan. 2005 Kasasi, MA mengeluarkan putusan dengan Nomor
944 K/Pid/2006 yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PENCUCIAN UANG” dan dijatuhi
pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan Menghukum Terdakwa dengan
hukuman denda sebesar Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). KESIMPULAN
Ne Bis in Idem adalah salah satu dasar penghapus pidana. Dalam kasus di atas,
perkara yang kedua gugur karena adanya asas Ne Bis in Idem Analisa Kasus 1.
Ne Bis in Idem 2. Dasar Hukum Pasal 76 KUHP 3. Telaah Kasus Perbuatannya
sama Putusan (inkracht van gewijsde) Orangnya sama Pada tahun 2010 Jaksa
Penuntut Umum mengajukan perkara 2644 /Pid.Sus/2010 dengan Terdakwa
Anastasia Kusmiati (terdakwa yang telah menjalani hukuman berdasarkan
putusan pengadilan Negeri yang telah diperkuat oleh putusan kasasi No. 944
K/Pid/2006), dengan dakwaan alternatif Kejahatan Perbankan dan Pemalsuan
Surat. Putusan Pengadilan Negeri tanggal 25 Februari 2010 nomor :244/Pid
.B/2009 /PN.Kbm adalah mengabulkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Banding,
putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.185/Pid /2010 / PT.Smg. tanggal 20
Agustus 2010. Pengadilan menerima permintaan banding dari penasihat hukum
Berlin Pandiangan & Rekan untuk dan atas nama terdakwa Dra. Anastasia
Kusmiati Pranoto alias Mei Hwa, bahwa perkara tersebut gugur demi hukum
karena ne bis in idem. Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung. Akan tetapi, di tingkat kasasi dalam perkara No. 2644 K/Pid.Sus/2010,
Mahkamah Agung justru memperkuat putusan banding yang menyatakan bahwa
dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah benar ne bis in idem” 2010[14]

B. Analisis Kasus

Dari kasus di atas terdakwa kasus tindak pidana narkoba bernama Andrea Ruth
Waldeck berkewarganegaraan Inggris. Namun, dilihat dari perjalanan kasus di
atas asas yang cocok dengan kasus tersebut adalah asas teritorial dimana
Andrea sudah dijatuhi tuntutan pada terdakwa dengan 16 tahun penjara dan
denda 2 milyar subsider enam bulan. Asas teritorial sendiri adalah bahwa hukum
pidana suatu negara berlaku diwilayah negara itu sendiri. Dalam pepatah adat
“Dimana ada minyak, maka disitulah dipadamkan”, artinya dimana delik
dilakukan maka disitulah diadili berdasarkan atas hukum yang berlaku didaerah
itu. Asas ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik diwilayah
tempat berlakunya hukum pidana, maka ia tunduk pada hukum pidana itu
III.PENUTUP

A. KESIMPULAN

Asas berlakunya undang-undang hukum pidana berdasarkan tempat dapat


dibedakan menjadi empat yaitu, asas teritorial ( territorialiteisbeginsel ), asas
nasional aktif ( personaliteisbeginsel ), asas nasional pasif atau asas
perlindungan, dan asas universal.

Asas territorial menjelaskan Bahwa hukum pidana suatu negara berlaku diwilayah
negara itu sendiri. Asas ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik
diwilayah tempat berlakunya hukum pidana, maka ia tunduk pada hukum pidana
itu.

Asas nasional aktif menjelaskna bahwa ketentuan pidana dalam perundang-


undangan Republik Indonesia berlaku bagi warga negara Indoneisa yang
melakukan kejahatan di luar wilayah Indonesia.

Asas Nasional Pasif yakni Prinsip ini memperluas berlakunya ketentuan-ketentuan


hukum pidana Indonesia diluar wilayah Indonesia berdasarkan atas kerugian
nasional sangat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan sehingga siapa
saja termasuik orang asing yang melakukannya dimana saja, pantas untuk
dihukum di pengadilan Indonesia.

Asas Universal menjelaskan bahwa Prinsip ini melihat pada suatu tata hukum
internasional, dimana terlibat kepentingan bersama dari semua Negara di dunia.
Apabila ada tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua
Negara, maka hal ini dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap Negara,
dengan tidak dipedulikan siapa yang melakukannya dan dimana ia melakukan.

Asas Nebis in Idem menyatakan bahwa bahwa seseorang tidak dapat dituntut
sekali lagi atas perbuatan yang sama karena perbuatan yang baginya telah
diputuskan oleh hakim telah berkekuatan hukum tetap.

B. SARAN

Demikian makalah ini penulis susun, namun masih terdapat beberapa


kekuarangan dalam penulisan makalah ini karena adanya keterbatasan referensi
dari penulis. Untuk itu diharapkan bagi penulis selanjutnya agar dapat mengkaji
pembahasan yang sama dengan lebih baik legi dengan menambah beberapa
referensi buku sehingga informasi yang diberikan akan lebih baik dan lengka
IV. DAFTAR PUSTAKA

[1] Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana,( Jakarta : Rineka Cipta,2009 ), hal.1

[2]Andi Hmzah,Asas-Asas Hukum Pidana,( cet. IV, Jakarta : Rieneka Cipta,


2010), hal. 5

[3] (W.P.J. Pompe 1959: 507-508).

[4] Wirjono prodjodikoro, asas-asas hukum pidana di Indonesia, ( Bandung : PT


Refika Aditama, 2008 ),51

[5] Saifullah, Konsep Dasar Hukum Pidana.

[6] Wirjono prodjodikoro, asas-asas hukum pidana di Indonesia,53-54

[7] Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung, PT. Refika Aditama,
2011), 81.

[8] Ibid, 82.

[9] Wirjono prodjodikoro, asas-asas hukum pidana di Indonesia, 56

[10] Wirjono prodjodikoro, asas-asas hukum pidana di Indonesia, 159-160

[11] Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2007),


hlm. 86.

[12] http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/07/02/ratu-kurir-narkoba-
diduga-sindikat-nigeria 18/12/2014 10:10

[13] http://www.antaranews.com/foto/57538/sidang-tuntutan-wna-
narkoba18/12/2014

Anda mungkin juga menyukai