Fakultas Hukum
Universitas Andalas
2017
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-atauran untuk menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut. [1]
Dari pengertian dimuka dapat diketahui bahwa hukum pidana menempati posisi
penting dalam seluruh sistem hukum dalam suatu Negara. Meskipun masih
dipertanyakan manfaatnya dalam menyusun tata masyarakat yang tertib dan
damai, tetapi semakin penting dipelajari segi-seginya untuk menunjang seluruh
sistem kehidupan didalam masyarakat. Sering dikatakan bahwa pidana
merupakan Ultimum Remedium atau obat terakhir. Tetapi tidak demikian halnya
penuntutan pidana. Penuntutan pidana ternyata bermanfaat pula untuk
menyelesaikan pelanggaran hukum pidana.
Untuk mencapai tahap seperti itu diperlukan penegak hukum yang jujur lagi
berwibawa serta cakap. Asas-asas hukum pidana merupakan fundamental hukum
pidana. Sejauh-jauh orang mempelajari atau menerapkan hukum pidana akan
tetap harus kembali menelaah asas-asas yang terkandung dalam KUHP.[2]
Dari penjelasan dimuka dapat diketahui bahwa asas-asas dalam hukum pidana
adalah sebagai pedoman atau pijakan, dimana memiliki kedudukan penting
dalam hukum pidana, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi hukum
pidana tersebut. Asas hukum pidana dibagi menjadi beberapa macam,
diantaranya asas teritorial, asas nebis in idem, asas legalitas, asas nasional aktif,
nasional pasil dan lain sebagainya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Dari rumusan masalah dimuka, terdapat tujuan yang akan dicapai, diantaranya
adalah:
1. Untuk mengetahui asas-asas dalam ruang lingkup berlakunya peraturan
pidana.
II. PEMBAHASAN
A. Asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu
Asas Legalitas
1. Arti dan Makna Asas Legalitas
Asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “tiada suatu
perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana
dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Asas legalitas
(the principle of legality) yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa
pidana (delik/ tindak pidana ) harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan
undang-undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada
atau berlaku sebelum orang itu melakukan perbuatan. Setiap orang yang
melakukan delik diancam dengan pidana dan harus mempertanggungjawabkan
secara hukum perbuatannya itu.
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas memberikan sifat
perlindungan pada undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap
pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Ini dinamakan fungsi
melindungi dari undang-undang pidana. Di samping fungsi melindungi, undang-
undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu di dalam batas-batas
yang ditentukan oleh undang-13 Amir Ilyas
undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas
diperbolehkan.
Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman, sehubungan
dengan kedua fungsi itu, merumuskan asas legalitas secara mantap dalam
bahasa Latin, yaitu :11
Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut
undang-undang.
Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana
menurut undang-undang.
Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat, yaitu nullum
delictum, nulla poena sine praevia lege poenali . Artinya, tidak ada perbuatan
pidana, tidak ada pidana, tanpa ketentuan undang-undang terlebih dahulu.
Dari penjelasan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa asas
legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung tiga pokok pengertian yakni :
a. Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) apabila perbuatan
tersebut tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan
sebelumnya/terlebih dahulu, jadi harus ada aturan yang mengaturnya
sebelum orang tersebut melakukan perbuatan;
b. Untuk menentukan adanya peristiwa pidana (delik/tindak pidana) tidak boleh
menggunakan analogi; dan
c. Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan tidak boleh berlaku
surut;
11 Buku Ajar Hukum Pidana 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
Makassar, 2007, hlm. 39.14 Asas-asas Hukum Pidana
2. Tujuan Asas Legalitas
Menurut Muladi asas legalitas diadakan bukan karena tanpa alasan tertentu.
Asas legalitas diadakan bertujuan untuk:12
a. Memperkuat adanya kepastian hukum;
b. Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa;
c. Mengefektifkan deterent function dari sanksi pidana;
d. Mencegah penyalahgunaan kekuasaan; dan
e. Memperkokoh penerapan “the rule of law”.
Sementara itu, Ahmad Bahiej dalam bukunya Hukum Pidana, memberikan
penjelasan mengenai konsekuensi asas legalitas Formil, yakni:13
1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan
perundang-undangan. Konsekuensinya adalah:
a. Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai
tindak pidana juga tidak dapat dipidana.
b. Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak
pidana.
2. Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak
pidana. Konsekuensinya adalah aturan pidana tidak boleh berlaku surut
(retroaktif), hal ini didasari oleh pemikiran bahwa:
a. Menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
b. Berhubungan dengan teori paksaan psikis dari anselem Von Feuerbach,
bahwa si calon pelaku tindak pidana
12 Ibid.
13 Ahmad Bahiej, 2009, Hukum Pidana, Teras, Yogyakarta, hlm. 18-19.15 Amir
Ilyas
akan terpengaruhi jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan,
apabila ia mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan
terhadapnya.
Mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang dikenal ada 4
asas yaitu :
a) Asas teritorialiteit :
Adalah asas yang memberlakukan KUHP bagi semua orang yang melakukan
pidana di dalam lingkungan wilayah Indonesia. Asas ini dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 2 dan 3 KUHP. Tetapi KUHP tidak berlaku bagi mereka yang
memiliki hak kebebasan diplomatik berdasarkan asas ”ekstrateritorial”.
Asas teritorial ini diatur dalam pasal 2 yang berbunyi “aturan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan
tindak pidana di dalam wilayah Indonesia”
Wilayah laut 12 mil pulau terluar, kalau kurang dari 12 mil, maka di pakai garis
tengah selat (selat malaka) = UU No 4/Prp/1960 Pasal 1 ayat 2.
b) Asas Personaliteit.
Pasal 5 KUHP
1 e.salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua, dan
dalam Pasal Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451;
Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam peraturan
perundang-undangan pidana Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan
menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam
dengan pidana
Pasal 5 ayat 1 ke-1 KUHP hanya berlaku berkaitan dengan tindak pidana yang
terjadi kepada setiap warga negara RI yang melakukan diluar Indonesia
sebagaimana diancam dalam pasal-pasal tersebut.
Sedangkan pasal 5 ayat 1 ke-2 hanya berlaku berkaitan dengan tindak pidana
setiap warga negara RI yang melakukan diluar Indonesia namun tindak pidana
tersebut harus berupa kejahatan bukan pelanggaran dan perbuatan tindak
pidana tersebut oleh negara dimana perbuatan tersebut dilakukan juga
merupakan perbuatan pidana yang dapat diancam.
Sedangkan ayat 2 Pasal 5 berkaitan dengan apabila ada orang asing melakukan
tindak pidana diluar negeri setelah itu ia masuk warga negara Indonesia. Maka
dapat juga dituntut menurut ayat 2 ini.
Pasal 6 KUHP.
Berlakunya pasal 5 (1) angka 2e itu dibatasi hingga tidak boleh dijatuhkan
hukuman mati untuk perbuatan yang tiada diancam dengan hukuman mati
menurut undang-undang negeri tempat perbuatan itu dilakukan
Pasal 7 ini menerangkan khusus warga negara sebagai pejabat Indonesia (PNS)
yang melakukan perbuatan yang diancam salah satu bab XXVIII. Artinya pasal ini
tidak berlaku warga negara yang bukan pejabat.
Adalah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap siapapun juga baik WNI
maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia. Jadi
yang diutamakan adalah keselamatan kepentingan suatu negara. Asas ini
bertumpu pada kepentingan bangsa dan negara bukan kepentingan
pribadi/individu diatur dalam pasal 4 KUHP
Pasal 4 KUHP
d) Asas Universaliteit
Asas ini berlaku untuk kepentingan penduduk dunia atau bangsa dunia. Jadi
bukan sekedar kepentingan bangsa Indonesia Diatur dalam pasal 4 ayat 2,3,4
KUHP, misalnya pasal 4 ayat 4 berkaiatan dengaan pembajakan di laut bebas
(446) dan pembajakan udara (479) dan penerbangan sipil, pemalsuan uang
negara lain yang bukan uang negara Indonesia
1. Asas teritorial
Bahwa hukum pidana suatu negara berlaku diwilayah negara itu sendiri. Dalam
pepatah adat “Dimana ada minyak, maka disitulah dipadamkan”, artinya dimana
delik dilakukan maka disitulah diadili berdasarkan atas hukum yang berlaku
didaerah itu. Asas ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik
diwilayah tempat berlakunya hukum pidana, maka ia tunduk pada hukum pidana
itu.
Prinsip ini menganggap bahwa hukum pidana Indonesia berlaku di dalam wilayah
Republik Indonesia, siapapun yang melakukan tindak pidana. [4]Hal ini
ditagaskan dalam pasal 2 KUHP bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana
Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam
wilayah Negara Indonesia. Dengan demikian orang asing yang berda dalam
wilayah Indonesia takluk pada hukum pidana di Indonesia.
Asas territorial lebih menitik beratkan pada terjadinya perbuatan pidana di dalam
wilayah Negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warga Negara atau
orang asing. Asas territorial yang pada saat ini banyak diikuti oleh Negara-negara
di dunia termasuk Indonesia. Hal ini adalah wajar karena tiap-tiap orang yang
berada dalam wilayah suatu Negara harus tunduk dan patuh kepada peraturan-
peraturan hukum Negara dimana yang bersangkutan berada.
Hal ini juga tidak mengurangi kemungkinan bahwa menurut peraturan hukum
Negara asing tersebut, seseorang yang melakukan tindak pidana tadi dapat pula
dihukum oleh pengadilan dari Negara asing itu. apabila hal tersebut terjadi maka
pelanggar hukum pidana tadi tidak akan diadili oleh hukum pidana di Indonesia
sebab berdasrkan asas ne bis in idem ( pasal 76 ayat 2 KUHP ). Hal ini dapat
diterima sebab dalam perturan pasal 2 KUHP apabila seseorang asing didalam
kapal asing dalam suatu pelabuhan Indonesia, malakukan tindak pidana, maka
orang itu juga dapat dihukum oleh pengadilan Negara Indonesia.
Jadi semua kejahatan yang diatur dalam KUHP praktisnya mengikuti warga
negara Indonesia diluar negeri, dengan pengecualian terhadap perbuatan-
perbuatan yang menurut hukum pidana negara asing tidak dapat dipidana sama
sekali. Atau dapat pula dikatakan bahwa ketentuan pasal 5 ayat 1 ke-1
mempunyai tujuan khusus, sedangkan pasal 5 ayat 1 ke-2 mempunyai tujuan
umum bersyarat, sehingga kedua-duanya tidak dapat meniadakan yang lain.
Teoritis akan timbul persoalan apabila warga negara Indonesia melakukan
kejahatn didaerah tak bertuan (laut bebas) didalam kapal asing atau kapal
terbang, jawabannya akan terpecah seperti halnya mengenai pasal 3 dikaitkan
dengan pasal 5 KYHP.
2. Dari pasal 160 dan 161KUHP yang berupa penghasutan untuk melakukan
tindak pidana.
3. Dari pasal 240 KUHP yang berupa tidak memenuhi kewajiban dalam
bidang pertahanan kejahatan
4. Dari pasal 279 KUHP yang berupa tidak memenuhi kewajiban melebihi
jumlah yang diperbolehkan.
5. Dari pasal 450-451 KUHP yang berupa turut serta, tanpa izin pemerintah
Indonesia, dalam kapal dinas Negara asing yang melakukan pengambilan kapal-
kapal lain.
Lain halnya dengan golongan kejahatan yang tersebut dalam pasal 5 ayat 1 sub
kedua. Kejahatan-kejahatan seperti ini dihukum juga menurut hukum pidana
Negara asing apabila dilakukan di Negara asing tersebut. Apabila kejahatan
tersebut dilakukan oleh warga Negara Indonesia dan orang tersebut ingin
mendapatkan perlindungan hukum diwilayah Negara Indonesia, kemungkinan
besar orang tersebut oleh pemerintah Indonesia tidak akan diserahkan kapada
pemerintah Negara asing yang bersangkutan. Dengan demikilan orang tersebut
akan bebas dari hukuman pidana. Hal ini dianggap tidak layak sehingga harus
dibuka kemungkinan bahwa orang itu akan dihukum oleh pengadilan negeri
Indonesia. Penentuan ini juga berlaku juga apabila seseorang pelaku kejahatan
itu baru kemudian menjadi warga Negara Indonesia.
Akan tetapi terdapat sedikit pembatasan yang termuat dalam pasal 6 KUHP yang
menentukan bahwa hukuman mati tidak boleh dijatuhkan oleh pengadilan di
Indonesia apabila kejahatan yang bersangkutan menurut hukum pidana negra
asing yang bersangkutan tidak diancam dengan pidana mati.
Asas ini merupakan kebalikan dari asas teritorial. Jika dalam asas teritorial yang
dilindungi adalah siapa pun dalam wilayah Indonesia, dalam asas personalitas ini
yang dilindungi adalah warga negara di mana pun ia berada. Namun
perlindungan yang dimaksud bukan perlindungan atas warga negara atas
ancaman kejahatan, akan tetapi perlindungan dalam bentuk pemberlakuan
hukum pidana Indonesia bagi si warga negara.[7]
Di dalam praktik, penggunaan asas personalitas ini tidak semudah yang
dibayangkan. Warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar
negeri sukar untuk dikembalikan ke dalam negeri karena salah satu sebabnya
ketiadaan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan negara tersebut. Asas ini
tidak mungkin lagi digunakan sepenuhnya apabila warga negara berada
diwilayah negara lain yang berkedudukan gecoordinerd, artinya yang sama-sama
berdaulat karena bertentangan dengan kedaulatan negara, apabila ada orang
asing didalam wilayahnya tidak diadili menurut hukum negara itu.
Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain
yang memungkinkan diberlakukannya hukum pidana nasional terhadap
perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Negara.
Hal diatas dapat terlaksanan apabila pelaku dibawa di wilayah Indonesia. Prinsip
nasional pasif ini termuat dalam pasal 4 ke 1, 2, dan 3 KUHP yang berbunyi
sebagai berikut :
Ke-1: salah satu dari kejahatan-kejahatan yang termuat dalam pasal-pasal 104-
108, 110, 111, bis sub 1, 127, 130-133
Ke-2 : suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas atau mengenai
segel atau merek yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia
b. Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau
segel / materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4
ke-2)
Hanya ada sedikit kejahatan yang dikenakan Prinsip nasional pasif ini, yang
terberat saja dari titel 1 dan 2 buku II KUHP, kemudian pemalsuan uang
Indonesia, pemalsuan segel dari Indonesia, dan pemalsuan surat-surat hutang
atas beban Indonesia atau daerahnya.
4. Asas universal
Prinsip ini melihat pada suatu tata hukum internasional, dimana terlibat
kepentingan bersama dari semua Negara di dunia. Apabila ada tindak pidana
yang merugikan kepentingan bersama dari semua Negara, maka hal ini dapat
dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap Negara, dengan tidak dipedulikan
siapa yang melakukannya dan dimana ia melakukan.
Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, laut atau
pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Indonesia, maka asas yang
berlaku diterapkan adalah asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional
pasif). Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau
pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Negara asing, maka asas yang
berlaku adalah asas melindungi kepentingan internasional (asas universal).
Asas ini terdapat pada pasal 4 ayat 2 dan 4 KUHP sejauh kepentingan negara-
negara lain yang dilindungi oleh kekuatan-kekuatan pidana tersebut. Pasal
tersebut semula dibentuk hanya untuk melindungi mata uang dan uang kertas
yang telah dikeluarkan oleh bank sirkulasi. Namun sejak tahun 1932 tidak hanya
mata uang saja yang harus dilindungi. Tetapi juga hal-hal lain yang
menyebabkan adanya tindak pidana berskala internasional.
Dewasa ini makin banyak perjanjian antara Indonesia dengan negara asing untuk
menumpas suatu tindak pidana yang dalam sistem hukum negara lain juga
dianggap sebagai tindak pidana, apalagi tindak pidana tersebut memiliki
karakteristik yang transnasional, umpamanya kejahatan narkotika, psikotropika,
perdagangan orang, perompakan di laut dan lain sebagainya.
Dewasa ini pula, asas universal banyak diterapkan dalam pemberantasan tindak
pidana terorisme. Seluruh dunia merasa berkepentingan dengan aksi-aksi
terorisme, karenanya sebagian besar negara sepakat bahwa terorisme adalah
kejahatan universal yang dengan demikian menjadi universal pula kewenangan
untuk menangani dan mengadilinya.
C. Asas be bis in idem
Dalam pasal 76 KUHP terdapat prinsip penting yaitu bahwa seseorang tidak
dapat dituntut sekali lagi atas perbuatan yang sama karena perbuatan yang
baginya telah diputuskan oleh hakim telah berkekuatan hukum tetap.[10]
Jadi Apabila misalnya seorang pengendara motor menabrak penjual soto dan dia
dituntut secara perdata untuk memberi ganti rugi, maka putusan hakim mengnai
hal ini tidak menghalangi untuk dilakukannya penuntutan dalam perkara
pidananya. Jadi dalam hal ini tidak ada neb is in idem.
c. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah
diputus terdahulu itu.
Melihat pada asas tersebut (Ne Bis In Idem), terdakwa yang melakukan
kejahatan tersebut tidak dihukum lagi di Indoneisa. Dan ayat kedua terhadap
putusan asing: kalau putusan yang satu telah menjadi tetap itu berasal dari
hakim lain, maka penuntutan tidak dapat dilakukan dan diadakan terhadap orang
itu karena perbuatan yang sama.[11]
Dengan adanya syarat ini berarti terhadap putusan tersebut harus sudah tidak
ada alat hukum / upaya hukum (rechtsmiddel) yang dapat dipakai untuk
merubah keputusan tersebut. Ada pendapat bahwa peninjauan kembali
(herzeining) merupakan salah satu upaya hukum, sehingga pengecualian yang
tersebut dalam pasal 76 itu (yaitu adanya herzeining merupakan pengecualian
terhadap azas ne bis in idem) sebenarnya tidak perlu. Jadi menurut pendapat ini,
dengan adanya herzeining berarti putusan itu memang belum berkelanjutan dari
tuntutan hukum yang pertama, jadi bukan merupakan tuntutan hukum yang
kedua kali.
Prinsip ini tidak hanya mengenai hal bahwa seseorang yang telah dihukum
karena telah melakukan tindak pidana, tidak boleh dituntut kembali atas
perbuatan yang sama, walaupun dalam perkara pertama tersebut dibebaskan
atau dilepaskan dari segala tuntutan ( ontslag van rechtsvervolging ), maka atas
perbuatan yang sama tersebut tidak boleh dilakukan penuntutan kembali.
Jadi apabila pembebasan atas perkara tersebut disebabkan oleh suatu kekeliruan
dalam penuntutannya, maka hal tersebut juga tidak dapat dituntut kembali
walaupun dengan maksud ingin memperbaiki kekeliruan tersebut. Karena Adanya
prinsip ini adalah untuk kepentingan para anggota masyarakat akan adanya
suatu kepastian dan ketentraman dalam hidupnya.
Contoh Kasus:
Sidang Tuntutan WNA Narkoba Terdakwa warga negara asing (WNA) asal
Inggris, Andrea Ruth Waldeck (kanan) mengikuti sidang dengan agenda tuntutan
di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jatim, Senin (16/12). Dalam sidang tersebut
jaksa penuntut umum memberikan tuntutan pada terdakwa dengan 16 tahun
penjara denda Rp 2 milyar subsider enam bulan.[13]
B. Analisis Kasus
Dari kasus di atas terdakwa kasus tindak pidana narkoba bernama Andrea Ruth
Waldeck berkewarganegaraan Inggris. Namun, dilihat dari perjalanan kasus di
atas asas yang cocok dengan kasus tersebut adalah asas teritorial dimana
Andrea sudah dijatuhi tuntutan pada terdakwa dengan 16 tahun penjara dan
denda 2 milyar subsider enam bulan. Asas teritorial sendiri adalah bahwa hukum
pidana suatu negara berlaku diwilayah negara itu sendiri. Dalam pepatah adat
“Dimana ada minyak, maka disitulah dipadamkan”, artinya dimana delik
dilakukan maka disitulah diadili berdasarkan atas hukum yang berlaku didaerah
itu. Asas ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik diwilayah
tempat berlakunya hukum pidana, maka ia tunduk pada hukum pidana itu
III.PENUTUP
A. KESIMPULAN
Asas territorial menjelaskan Bahwa hukum pidana suatu negara berlaku diwilayah
negara itu sendiri. Asas ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik
diwilayah tempat berlakunya hukum pidana, maka ia tunduk pada hukum pidana
itu.
Asas Universal menjelaskan bahwa Prinsip ini melihat pada suatu tata hukum
internasional, dimana terlibat kepentingan bersama dari semua Negara di dunia.
Apabila ada tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua
Negara, maka hal ini dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap Negara,
dengan tidak dipedulikan siapa yang melakukannya dan dimana ia melakukan.
Asas Nebis in Idem menyatakan bahwa bahwa seseorang tidak dapat dituntut
sekali lagi atas perbuatan yang sama karena perbuatan yang baginya telah
diputuskan oleh hakim telah berkekuatan hukum tetap.
B. SARAN
[7] Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung, PT. Refika Aditama,
2011), 81.
[12] http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/07/02/ratu-kurir-narkoba-
diduga-sindikat-nigeria 18/12/2014 10:10
[13] http://www.antaranews.com/foto/57538/sidang-tuntutan-wna-
narkoba18/12/2014