Anda di halaman 1dari 9

TUGAS HUKUM PERBANDINGAN PIDANA

PRINSIP HUKUM PIDANA DI INDONESIA DAN TORT LAW SEBAGAI


PERBANDINGAN

Disusun oleh:

Abraham Abiyoso (E0019003)

Noventasya Nidya Megasafitri (E0019321)

S-1 ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana ditulis dalam UUD 1945 Pasal 1
ayat 3. Hukum dapat menciptakan sebuah ketertiban yang kemudian menjadi pokok
terciptanya sebuah struktur sosial yang teratur1. Berlakunya hukum disebuah negara,
juga dapat mendukung berjalanya suatu pemerintahan yang berdaulat. Sistem hukum
di Indonesia secara umum terbagi kedalam beberapa fokus. Salah satunya adalah
Hukum Pidana.

Menurut Moeljatno, salah satu fungsi Hukum pidana adalah sebagian sistem
hukum yang mengadakan dasar aturan untuk mementukan perbuatna mana yang tidak
boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana
tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut 2. Dengan berlakunya
sebuah hukum pidana di Indonesia, maka masyarakat dapat jaminan terhadap
kepastian hukum. Namun, dalam pemberlakuanya, perlu ada regulasi yang prinsip
yang melandasi hukum pidana tersebut berlaku. Dalam makalah ini penulis akan
membahas terkait penerapan Prinsip hukum pidana di Indonesia.

Dalam Ilmu Hukum, kita mengenal adanya perbuatan melawan hukum


(PMH). Biasanya perbuatan melawan hukum diidentifikasikan dengan perbuatan yang
melanggar undangundang, perbuatan yang bertentangan dengan hak-hak orang lain,
perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan dan kesopanan serta
perbuatan yang melanggar asas-asas umum dalam lapangan hukum.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penerapan Prinsip-prinsip Hukum Pidana di Indonesia?
2. Bagaimana Tort Law sebagai Perbandingan?

1
Kusumaatmadja, Mochtar. "Pengantar hukum internasional." (2003).
2
Moeljatno, S. H. "Asas-asas Hukum Pidana." Rineka Cipta, Jakarta (2002).
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Penerapan Prinsip-prinsip Hukum Pidana di Indonesia

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran


dan kejahatan yang ada di masyarakat di mana perbuatan tersebut dapat diancam dengan
hukuman yang berupa penderitaan atau siksaan.  Penerapan hukum pidana bukan hanya
ada di Indonesia melainkan juga berlaku di negara-negara lain. Berbeda dengan hukum
perdata yang mengatur antara individu dengan individu,  hukum pidana mengatur antara
individu dengan negara dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Dalam perkembangannya hukum pidana juga memiliki beberapa prinsip yang
harus ditaati oleh seluruh penyelenggara hukum di Indonesia.  Prinsip-prinsip tersebut
dapat berupa asas dan juga pedoman dalam menyusun peraturan perundang-undangan
maupun dalam proses penegakan hukum. Prinsip tersebut antara lain:

1. Prinsip Teritorial
Prinsip ini berarti berlakunya suatu hukum pidana dibatasi oleh sebuah wilayah
kedaulatan memiliki suatu negara.  berdasarkan prinsip ini maka hukum pidana di
Indonesia hanya berlaku bagi negara Indonesia sesuai dengan batas-batas
wilayahnya. Prinsip ini mencakup banyak unsur lainnya seperti prinsip universal yang
menjelaskan bahwa hukum pidana  berlaku bagi seluruh manusia di dunia,  prinsip
nasional aktif yang menjelaskan bahwa siapapun warga negara Indonesia memiliki
jaminan kepastian hukum baik yang ada di dalam Indonesia atau di luar wilayah
negara Indonesia demi kepentingan negara Indonesia,  dan prinsip nasional pasif yang
menjelaskan bahwa perlindungan warga negara Indonesia yang melakukan tindak
pidana di luar negeri tetap diberikan agar dapat terhindar dari kesewenang-wenangan
hukum negara lain.

2. Prinsip Personal
Dalam prinsip personal menjelaskan bahwa hukum pidana berlaku bagi orang
atau individu.  Prinsip personal yang terdapat dalam aturan hukum antara lain: 
a) Geen straaf zonder schuld atau tidak dipidana orang tanpa
kesalahan.Seorang yang melakukan perbuatan hukum belum tentu
dipidana apabila unsur kesalahannya tidak terbukti
b) Alasan Pembenar,  adalah alasan yang membenarkan seseorang melakukan
perbuatan pidana sehingga dia tidak dapat dihukum.
c) Alasan Pemaaf,  yaitu alasan yang membenarkan seseorang melakukan
suatu perbuatan pidana tidak dihukum karena dimaafkan kesalahannya.
d) Alasan Penghapus Hukuman yaitu prinsip hukum yang menyatakan bahwa
seseorang yang melakukan perbuatan pidana tidak dihukum karena
hukuman yang dibebankan kepadanya dihapuskan atas alasan-alasan
tertentu.
e) Ne bis in Idem yaitu prinsip hukum yang menyatakan seseorang tidak
dapat dihukum untuk kedua kalinya atas kasus yang dilakukan pelaku. 

3. Prinsip Legalitas
Prinsip selanjutnya adalah prinsip legalitas yaitu Bahwa tidak ada satu
perbuatan dapat dihukum kecuali telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
sebelumnya.  prinsip ini ini dapat dilihat dan diatur pada pasal 1 ayat 1 KUHP.  dalam
prinsip ini terdapat 7 unsur yaitu3:
a) Tidak ada hukuman yang dapat dikenakan Shangri tanpa didahului adanya
peraturan yang memuat sanksi hukuman terlebih dahulu
b) Undang-undang tidak berlaku surut yang berarti undang-undang tersebut
tidak menjangkau peristiwa atau perbuatan yang telah terjadi sebelum
undang-undang tersebut dinyatakan berlaku. Pengecualian khusus diberikan
terhadap Asus Ham dan juga terorisme.
c) Undang-undang berlaku terhadap delik yang terjadi pada saat itu. Latar
belakang  terjadinya prinsip legalitas ini adalah keinginan kuat masyarakat
Eropa pada abad ke-17 untuk memberikan perlindungan terhadap hak
individu dari kesewenang-wenangan raja.  prinsip ini kemudian tertuang
dalam deklarasi Magna Charta tahun 1215.
d) Tidak ada penerapan undang-undang berdasarkan analogi yang berarti
penerapan undang-undang berdasarkan analogi.

3
7D. Schaffmeister (dkk). Hukum Pidana. Editor Penerjemahan J.E Sahetapy. (Yogyakarta: Liberty. 1995).,
halaman 5-6.
e)  Lex Carta atau tidak ada perumusan delik yang tidak jelas.  setiap delik
yang diatur dalam undang-undang tidak boleh menjadi multitafsir dan harus
memuat unsur unsur delik dengan jelas.
f) Tidak ada pidana karena kebiasaan. Unsur ini berarti kebiasaan tidak dapat
dibenarkan untuk menjadi dasar sebuah pemidanaan.
g) Penuntutan hanya menurut cara yang telah ditentukan undang-
undang. Segala macam upaya dalam penegakan hukum dan juga pembuatan
peraturan perundang-undangan harus berdasarkan daripada undang-undang
yang berlaku dan harus berdasarkan pada hukum acara pidana. 

B. Tort Law sebagai Perbandingan


Perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut
dengan onrechmatige daad dan dalam bahasa Inggeris disebut tort.  Kata tort itu
sendiri sebenarnya hanya berarti  salah (wrong). Kata ” tort ” berasal dari kata latin
” torquere ” atau ” tortus ” dalam bahasa Perancis, seperti kata ” wrong ” berasal dari
kata Perancis ” wrung ” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury).
Tort Law dalam sistem hukum Anglo Saxon, sama dengan “Perbuatan
Melawan Hukum” (Onrechgmatige daad) dalam sistem hukum Eropa Continental
yang dianut Belanda dan diadop oleh Indonesia. Tort menurut Julius Landwrirth :
suatu kesalahan hukum yang dilakukan terhadap orang atau benda milik orang lain
yang terlepas dari kontrak, mengakibatkan si pelaku bertanggung jawab atas kerugian
yang ditimbulkan.4
Wirjono Projodikoro, menerjemahkan kata onrechtmatige daad menjadi
‘perbuatan melanggar hukum’. M.A. Moegni Djojodordjo, Mariam Darus
Badrulzaman, Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, I.S. Adiwimarta, dan Setiawan,
menerjemahkannya menjadi ‘perbuatan melawan hukum’. Penerjemahan
onrechtmatige daad sebagai ‘perbuatan melawan hukum’ lebih tepat dibandingkan
‘perbuatan melanggar hukum’, dikarenakan kata ‘melawan’ melekat sifat aktif dan
pasif dan kata tersebut secara subtansif lebih luas cakupannya dibandingkan dengan
kata ‘melanggar’. Maksudnya adalah bahwa dalam kata ‘melawan’ dapat mencakup
perbuatan yang didasarkan, baik secara sengaja maupun lalai. Sementara kata
‘melanggar’ cakupannya hanya pada perbuatan yang berdasarkan kesengajaan saja.

4
Sugiarti, Ida. “Perbandingan Hukum Informed Consent Indonesia Dan Amerika Serikat” Syiar Hukum FH UNISBA. VOL.
XII. (3). (2010). Hlm. 263
Khusus mengenai sifat melawan hukum, dalam literatur ilmu hukum pidana
paling tidak terdapat 2 (dua) hal yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan
hukum materil yang diartikan Apabila perbuatan tindak pidana yang dimaksudkan
dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh
perbuatan itu, inilah yang disebut dengan sifat melawan hukum formil. Sifat melawan
hukum materiel adalah sebagai suatu perbuatan yang telah ditentukan dalam hukum
pidana (straf) dan dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat
tertentu, tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu. Sifat melawan hukum formil ini
Enschede memandang bahwa hukum pidana hanyalah rumusan delik, yang
menunjukkan fragmenfragmen dari norma-norma yang berkaitan dengan suatu
tindakan yang dapat dipidana. Sedangkan menurut P.A.F. Lamintang adalah suatu
perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat “melawan hukum” apabila
perbuatan tersebut memenuhi unsur yang terdapat di dalam rumusan suatu delik
menurut undang-undang.
Kemudian Satochid Kartanegara berpendapat bahwa, “melawan hukum”
(Wederrechtelijk) dalam hukum pidana dibedakan menjadi:
1. Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam
dengan hukuman oleh undang-undang.
2. Wederrechtelijk Materiil, yaitu sesuatu perbuatan “mungkin” wederrechtelijk,
walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang. Melainkan juga asas-asas umum yang terdapat di dalam
lapangan hukum (algemen beginsel).

Perbuatan melawan hukum juga dikategorisasikan menjadi 2 (dua) jenis


merujuk pada rumusan pasal pidana yang mengaturnya.
1. Perbuatan melawan hukum khusus yakni merujuk pada rumusan pasal pidana
yang secara jelas mencantumkan frasa “melawan hukum”. Contoh Perbuatan
melawan hukum khusus adalah Pasal 372 KUHP yang rumusannya “Barang
siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan,
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah”.
2. Perbuatan melawan hukum umum yakni merujuk pada pasal pidana yang tidak
mencantumkan frasa “melawan hukum”, tetapi unsur melawan hukum
dijadikan dasar pemidanaan. Contoh perbuatan melawan hukum umum adalah
Pasal 351 ayat (1) KUHP yang rumusannya, “Penganiayaan dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp 4.500”.
Dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, pembedaan PMH khusus dan PMH umum terlihat jelas dalam rumusan Pasal
2 dan Pasal 3. Dimana, Pasal 2 secara tegas mencantumkan frasa “melawan hukum”,
sedangkan Pasal 3 tidak mencantumkan frasa tersebut.
Prinsip kesetaraan/persamaan merupakan acuan dari melawan hukum dalam
arti formil bilamana setiap orang, tanpa membeda-bedakan latar belakangnya,
mendapatkan perlakuan yang sama. Sebaliknya kita berbicara tentang kesetaraan
materiil bilamana orang-perorang mendapatkan perlakuan yang sama sesuai dengan
tingkatan kebutuhan atau kedudukannya. Interpretasi formil memandang manusia
terutama sebagai subjek hukum, pengemban hak dan kewajiban berdasarkan hukum,
namun terlepas atau dilepaskan dari keragaman latarbelakangnya. Interpretasi materiil
juga memandang manusia sebagai subjek hukum.
Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat objektif adalah sifat
melawan hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat pada Pasal 1 ayat 1
KUHP. Dalam bahasa Belanda melawan hukum itu adalah wederrechtelijk (weder:
bertentangan dengan, melawan; recht: hukum). Dalam menentukan perbuatan itu
dapat dipidana, pembentuk undangundang menjadikan sifat melawan hukum sebagai
unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau
luas. Selain itu, sifat dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik,
yaitu dalam rumusan delik culpa.

 
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum pidana memiliki beberapa prinsip yang harus ditaati oleh seluruh
penyelenggara hukum di Indonesia.  Prinsip-prinsip tersebut dapat berupa asas dan
juga pedoman dalam menyusun peraturan perundang-undangan maupun dalam
proses penegakan hukum. Prinsip tersebut antara lain prinsip Teritorial, prinsip
Legalitas, dan prinsip personal.
Tort Law dalam sistem hukum Anglo Saxon, sama dengan “Perbuatan
Melawan Hukum” (Onrechgmatige daad) dalam sistem hukum Eropa Continental
yang dianut Belanda dan diadop oleh Indonesia. Tort menurut Julius Landwrirth :
suatu kesalahan hukum yang dilakukan terhadap orang atau benda milik orang lain
yang terlepas dari kontrak, mengakibatkan si pelaku bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkan.
Khusus mengenai sifat melawan hukum, dalam literatur ilmu hukum pidana
paling tidak terdapat 2 (dua) hal yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat
melawan hukum materil.
DAFTAR PUSTAKA

Hiariej, Eddy OS. Prinsip-prinsip hukum pidana. Cahaya Atma Pustaka, 2016.

Moeljatno, S. H. "Asas-asas Hukum Pidana." Rineka Cipta, Jakarta (2002).

Putriyana, Nia, Shintiya Dwi Puspita. “Tanggung Jawab Hukum Dalam Konteks Perbuatan
Melawan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi” ARENA HUKUM. Vol. VII (3)
(2014): 303-471

Sari, Indah. “Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Dalam Hukum Pidana Dan Hukum
Perdata”. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara–Fakultas Hukum Universitas Dirgantara
Marsekal Suryadarma. Vol. XI (1). (2020): 53-70

Siregar, M. Fahmi. "PRINSIP-PRINSIP HUKUM PIDANA & HAM; Perkapolri No. 8


Tahun 2009 & Penegakan Hukum Pidana Berbasis HAM di Indonesia."
HUMANITAS: Jurnal Kajian dan Pendidikan HAM 6.1 (2015): 185-200.

Sugiarti, Ida. “Perbandingan Hukum Informed Consent Indonesia Dan Amerika Serikat”
Syiar Hukum FH UNISBA. VOL. XII. (3). (2010): 245-268

Anda mungkin juga menyukai