Disusun oleh:
FAKULTAS HUKUM
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana ditulis dalam UUD 1945 Pasal 1
ayat 3. Hukum dapat menciptakan sebuah ketertiban yang kemudian menjadi pokok
terciptanya sebuah struktur sosial yang teratur1. Berlakunya hukum disebuah negara,
juga dapat mendukung berjalanya suatu pemerintahan yang berdaulat. Sistem hukum
di Indonesia secara umum terbagi kedalam beberapa fokus. Salah satunya adalah
Hukum Pidana.
Menurut Moeljatno, salah satu fungsi Hukum pidana adalah sebagian sistem
hukum yang mengadakan dasar aturan untuk mementukan perbuatna mana yang tidak
boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana
tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut 2. Dengan berlakunya
sebuah hukum pidana di Indonesia, maka masyarakat dapat jaminan terhadap
kepastian hukum. Namun, dalam pemberlakuanya, perlu ada regulasi yang prinsip
yang melandasi hukum pidana tersebut berlaku. Dalam makalah ini penulis akan
membahas terkait penerapan Prinsip hukum pidana di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penerapan Prinsip-prinsip Hukum Pidana di Indonesia?
2. Bagaimana Tort Law sebagai Perbandingan?
1
Kusumaatmadja, Mochtar. "Pengantar hukum internasional." (2003).
2
Moeljatno, S. H. "Asas-asas Hukum Pidana." Rineka Cipta, Jakarta (2002).
BAB 2
PEMBAHASAN
1. Prinsip Teritorial
Prinsip ini berarti berlakunya suatu hukum pidana dibatasi oleh sebuah wilayah
kedaulatan memiliki suatu negara. berdasarkan prinsip ini maka hukum pidana di
Indonesia hanya berlaku bagi negara Indonesia sesuai dengan batas-batas
wilayahnya. Prinsip ini mencakup banyak unsur lainnya seperti prinsip universal yang
menjelaskan bahwa hukum pidana berlaku bagi seluruh manusia di dunia, prinsip
nasional aktif yang menjelaskan bahwa siapapun warga negara Indonesia memiliki
jaminan kepastian hukum baik yang ada di dalam Indonesia atau di luar wilayah
negara Indonesia demi kepentingan negara Indonesia, dan prinsip nasional pasif yang
menjelaskan bahwa perlindungan warga negara Indonesia yang melakukan tindak
pidana di luar negeri tetap diberikan agar dapat terhindar dari kesewenang-wenangan
hukum negara lain.
2. Prinsip Personal
Dalam prinsip personal menjelaskan bahwa hukum pidana berlaku bagi orang
atau individu. Prinsip personal yang terdapat dalam aturan hukum antara lain:
a) Geen straaf zonder schuld atau tidak dipidana orang tanpa
kesalahan.Seorang yang melakukan perbuatan hukum belum tentu
dipidana apabila unsur kesalahannya tidak terbukti
b) Alasan Pembenar, adalah alasan yang membenarkan seseorang melakukan
perbuatan pidana sehingga dia tidak dapat dihukum.
c) Alasan Pemaaf, yaitu alasan yang membenarkan seseorang melakukan
suatu perbuatan pidana tidak dihukum karena dimaafkan kesalahannya.
d) Alasan Penghapus Hukuman yaitu prinsip hukum yang menyatakan bahwa
seseorang yang melakukan perbuatan pidana tidak dihukum karena
hukuman yang dibebankan kepadanya dihapuskan atas alasan-alasan
tertentu.
e) Ne bis in Idem yaitu prinsip hukum yang menyatakan seseorang tidak
dapat dihukum untuk kedua kalinya atas kasus yang dilakukan pelaku.
3. Prinsip Legalitas
Prinsip selanjutnya adalah prinsip legalitas yaitu Bahwa tidak ada satu
perbuatan dapat dihukum kecuali telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
sebelumnya. prinsip ini ini dapat dilihat dan diatur pada pasal 1 ayat 1 KUHP. dalam
prinsip ini terdapat 7 unsur yaitu3:
a) Tidak ada hukuman yang dapat dikenakan Shangri tanpa didahului adanya
peraturan yang memuat sanksi hukuman terlebih dahulu
b) Undang-undang tidak berlaku surut yang berarti undang-undang tersebut
tidak menjangkau peristiwa atau perbuatan yang telah terjadi sebelum
undang-undang tersebut dinyatakan berlaku. Pengecualian khusus diberikan
terhadap Asus Ham dan juga terorisme.
c) Undang-undang berlaku terhadap delik yang terjadi pada saat itu. Latar
belakang terjadinya prinsip legalitas ini adalah keinginan kuat masyarakat
Eropa pada abad ke-17 untuk memberikan perlindungan terhadap hak
individu dari kesewenang-wenangan raja. prinsip ini kemudian tertuang
dalam deklarasi Magna Charta tahun 1215.
d) Tidak ada penerapan undang-undang berdasarkan analogi yang berarti
penerapan undang-undang berdasarkan analogi.
3
7D. Schaffmeister (dkk). Hukum Pidana. Editor Penerjemahan J.E Sahetapy. (Yogyakarta: Liberty. 1995).,
halaman 5-6.
e) Lex Carta atau tidak ada perumusan delik yang tidak jelas. setiap delik
yang diatur dalam undang-undang tidak boleh menjadi multitafsir dan harus
memuat unsur unsur delik dengan jelas.
f) Tidak ada pidana karena kebiasaan. Unsur ini berarti kebiasaan tidak dapat
dibenarkan untuk menjadi dasar sebuah pemidanaan.
g) Penuntutan hanya menurut cara yang telah ditentukan undang-
undang. Segala macam upaya dalam penegakan hukum dan juga pembuatan
peraturan perundang-undangan harus berdasarkan daripada undang-undang
yang berlaku dan harus berdasarkan pada hukum acara pidana.
4
Sugiarti, Ida. “Perbandingan Hukum Informed Consent Indonesia Dan Amerika Serikat” Syiar Hukum FH UNISBA. VOL.
XII. (3). (2010). Hlm. 263
Khusus mengenai sifat melawan hukum, dalam literatur ilmu hukum pidana
paling tidak terdapat 2 (dua) hal yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan
hukum materil yang diartikan Apabila perbuatan tindak pidana yang dimaksudkan
dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh
perbuatan itu, inilah yang disebut dengan sifat melawan hukum formil. Sifat melawan
hukum materiel adalah sebagai suatu perbuatan yang telah ditentukan dalam hukum
pidana (straf) dan dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat
tertentu, tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu. Sifat melawan hukum formil ini
Enschede memandang bahwa hukum pidana hanyalah rumusan delik, yang
menunjukkan fragmenfragmen dari norma-norma yang berkaitan dengan suatu
tindakan yang dapat dipidana. Sedangkan menurut P.A.F. Lamintang adalah suatu
perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat “melawan hukum” apabila
perbuatan tersebut memenuhi unsur yang terdapat di dalam rumusan suatu delik
menurut undang-undang.
Kemudian Satochid Kartanegara berpendapat bahwa, “melawan hukum”
(Wederrechtelijk) dalam hukum pidana dibedakan menjadi:
1. Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam
dengan hukuman oleh undang-undang.
2. Wederrechtelijk Materiil, yaitu sesuatu perbuatan “mungkin” wederrechtelijk,
walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang. Melainkan juga asas-asas umum yang terdapat di dalam
lapangan hukum (algemen beginsel).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum pidana memiliki beberapa prinsip yang harus ditaati oleh seluruh
penyelenggara hukum di Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut dapat berupa asas dan
juga pedoman dalam menyusun peraturan perundang-undangan maupun dalam
proses penegakan hukum. Prinsip tersebut antara lain prinsip Teritorial, prinsip
Legalitas, dan prinsip personal.
Tort Law dalam sistem hukum Anglo Saxon, sama dengan “Perbuatan
Melawan Hukum” (Onrechgmatige daad) dalam sistem hukum Eropa Continental
yang dianut Belanda dan diadop oleh Indonesia. Tort menurut Julius Landwrirth :
suatu kesalahan hukum yang dilakukan terhadap orang atau benda milik orang lain
yang terlepas dari kontrak, mengakibatkan si pelaku bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkan.
Khusus mengenai sifat melawan hukum, dalam literatur ilmu hukum pidana
paling tidak terdapat 2 (dua) hal yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat
melawan hukum materil.
DAFTAR PUSTAKA
Hiariej, Eddy OS. Prinsip-prinsip hukum pidana. Cahaya Atma Pustaka, 2016.
Putriyana, Nia, Shintiya Dwi Puspita. “Tanggung Jawab Hukum Dalam Konteks Perbuatan
Melawan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi” ARENA HUKUM. Vol. VII (3)
(2014): 303-471
Sari, Indah. “Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Dalam Hukum Pidana Dan Hukum
Perdata”. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara–Fakultas Hukum Universitas Dirgantara
Marsekal Suryadarma. Vol. XI (1). (2020): 53-70
Sugiarti, Ida. “Perbandingan Hukum Informed Consent Indonesia Dan Amerika Serikat”
Syiar Hukum FH UNISBA. VOL. XII. (3). (2010): 245-268