Anda di halaman 1dari 10

PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DENGAN HUKUM PIDANA INGGRIS

TUGAS MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA

PENYUSUN :

MUHAMMAD ABI ABDILLAH

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

FAKULTAS HUKUM TAHUN 2020/2021


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Studi perbandingan hukum pidana pada dasarnya memperbandingkan berbagai sistem hukum yang
ada. Dalam Black’s Law Dictionary di definisikan:
“Comparative Jurisprudence is the study of the principles of legal science by the comparison of various
systems of law” dalam hal ini yang diperbandingkan adalah dua atau lebih sistem hukum yang
berbeda.Hukum pidana positif Indonesia ialah berasal dari keluarga hukum CivilLaw System yang
mementingkan sumber hukum dari peraturan perundangan yang ada dan berlaku di Indonesia. Sementara
Inggris menganut sistem hukum Common Law System yang mengutamakan kebiasaan yang berlaku di
sana. Kebiasaan tersebut dapat berupa Norma maupun putusan-putusan hakim sebelumnya. Selain
perbedaan seperti yang tersebut diatas, kedua sistem hukum pidana kedua negara sebenarnya memiliki
kesamaan. Di Indonesia dikenal hukum pidana adat yang sampai saat ini masih diakui dan dipakai dalam
masyarakat.         Dilihat dari sumber hukumnya, sebenarnya hukum pidana adat tersebut berasal dari
kebiasaan yang berlaku dimasyarakat. Hal tersebut sama halnya dengan sumber hukum common law
yang berasal dari kebiasaan yang ada di masyarakat. Setiap sistem hukum, pasti memiliki asas-asas yang
kemudian dijabarkan dalam aturan-aturan hukumnya. Salah satu asas hukum yang sangat penting dan
dimiliki oleh setiap sistem hukum adalah asas legalitas atau dikenal juga dengan asas “Nullum delictum,
nulla poena, sina praevia lege poenali”
.BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perbandingan Dan Perbedaan Asas Legalitas  Indonesia Dengan Asas Legalitas Inggris
Asas Legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa
yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim,
menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang. Setiap orang harus diberi
peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. Jadi berdasarkan asas ini,
tidak satu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas
oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan.
a.      Asas Legalitas di Indonesia
            Asas legalitas di Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi :”tiada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturanpidana dalam perundang-undangan yang telah ada
sebelum perbuatan dilakukan”.Konsekuensi dari pasal tersebut ialah bahwa perbuatan seseorang yang
tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak dapatdipidana; jadi dengan
asas ini hukum yang tidak tertulis tidak memiliki kekuatan hukum untuk diterapkan. Namun atas hal itu
dikecualikan terhadap daerah-daerah yang dulu termasuk kekuasaan pengadilan swapraja dan pengadilan
adat dengan dilakukan pembatasan-pembatasan tertentu.Selain itu KUHP Indonesia juga melarang adanya
analogi terhadap suatu perbuatan konkret yang tidak diatur oleh undang-undang.
b.      Asas Legalitas Di Inggris
            Asas Legalitas di Inggris walaupun asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan dalam
perundang-undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan. Karena bersumber pada case
law, pada mulanya pengadilan di inggris merasa dirinya berhak menciptakan delik. Namun dalam
perkembangannya, pada 1972 House of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk
menciptakan delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi tampaknya ada pergeseran dari asas
legalitas dalam pengertian materiil ke asas legalitas dalam pengertian pengertian formal. Artinya, suatu
delik oleh hakim berdasarkan common law (hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat putusan
pengadilan), namun dalam perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang (statute
law). Sehingga di dalam Sistem Hukum Inggris yaitu Common Law dimana prinsipnya hukum tidak
tertulis (yang jadi patokan nilai yang ada pada masyarakat. Peran hakim menciptakan kaidah-kaidah
hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat. Hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan
pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis (asas doctrine of precedent). Sumber hukum
utama adalah putusan hakim (yurisprudensi).

            Sehingga dari kedua Asas diatas dapat diketahui perbedaannya yaitu:
1.      Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Inggris adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau
tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari putusan hakim
(yurisprudensi). Jadi dalam memutuskan suatu perbuatan pidana di inggris biasanya bersumber pada
yurisprudensi hakim.
2.      Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Indonesia adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana
kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dan dalam pemutusan suatu perbuatan pidana Indonesia tetap
bersumber menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B.     Perbandingan Asas Strict Liability Hukum Pidana Indonesia Dengan Hukum Pidana Inggris
a.      Asas Stict Liability Indonesia
            Dalam perkembangan hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula tindak-tindak
pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya
tidak memiliki mens rea yang disyaratkan. Cukuplah apabiIa dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak
pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau
tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak-tindak pidana yang demikian
itu disebut offences of strict liability atau yang sering dikenal juga sebagai offences of absolute
prohibition.  Strict liability disebut juga absolute liability. Istilah dalam bahasa Indonesia yang saya
gunakan adalah "pertanggung jawaban mutlak". Mardjono Reksodiputro dalam salah satu tulisannya
diterapkannya asas strict liability di Indonesia yang menganut system Eropa Continental, yaitu
“Berhubung kita tidak mengenal ajaran Strict liability yang berasal dari system hukum Anglo-Amerika
tersebut, maka sebagai alasan pembenar dapat dipergunakan ajaran feit materiel yang berasal dari system
hukum Eropa Kontinental. Dalam kedua ajaran ini tidaklah penting adanya unsur kesalahan. Ajaran strict
liability hanya dipergunakan untuk tindak pidana ringan. Dalam praktik di Indonesia, ajaran strict liability
sudah diterapkan, antara lain untuk pelanggaran Ialu lintas. Para pengemudi kendaraan bermotor yang
melanggar lampu lalu lintas, misalnya tidak berhenti pada waktu lampu lalu lintas menunjukkan lampu
yang berwarna merah menyaIa, akan ditilang oleh polisi dan selanjutnya akan di sidang di pengadilan.
Hakim dalam memutuskan hukunan atas pelanggaran tersebut tidak akan mempersoalkan ada tidak
adanya kesalahan pada pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas itu. Pada Pasal 211 KUHAP
pembuktian pelanggaran-pelanggaran jenis lalu lintas jalan tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan
nyata seketika itu, karena tidak mungkin dipungkiri lagi oleh pelanggar. Berita acara yang ditiadakan
diganti dengan bukti pelanggaran lalu lintas tertentu disingkat TILANG yang diisi oleh penegak hukum
(POLRI Satuan Lalu Lintas). Oleh karena itu, tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana, melainkan
hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Untuk tindak pidana tertentu
tersebut, pembuat tindakan pidananya telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur
tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan
tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas "strict liability"
b. Asas Strict Liability Inggris
Walaupun pada prinsipnya berlaku asas Mens Rea , namun di Inggris ada delik – delik yang tidak
mensyaratkan adanya Mens Rea (berupa intention, recklessness, atau negligence). Si pembuat sudah
dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang – undang
tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Di sini berlaku apa yang disebut strict liability yang sering
diartikan secara singkat liability without fault (pertanggungjawaban tanpa kesalahan). Menurut common
law, Strict Liability berlaku terhadap 3 macam delik:
1.      Public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya,  mengeluarkan bau
tidak enak yang mengganggu lingkungan).
2.      Criminal libel (penghinaan/fitnah, pencemaran nama baik)
3.      Contempt of Court (pelanggaran tata tertib di pengadilan) Misalnya : mengancam Jaksa, hakim dan
Saksi.
Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict Liability) merupakan prinsip pertanggung jawaban hukum
(liability) yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v.
Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang
menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability jika
penggunaan tersebut bersifat non natural atau di luar kelaziman, atau tidak seperti biasanya. Jenis
pertanggung jawaban ini muncul sebagai reaksi atas segala kekurangan dari system atau jenis
pertanggungjawaban fault based liability. Pertanggung jawaban hukum konvensional selama ini
menganut asas pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault), artinya bahwa tidak
seorangpun dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam
kasus lingkungan dokrin tersebut akan melahirkan kendala bagi penegakan hukum dipengadilan karena
dokrin ini tidak mampu mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan industri modern yang
mengandung resiko-resiko potensial. Pertanggung jawaban mutlak pada awalnya berkembang dinegara-
negara yang menganut sistem hukum anglo saxon atau common law, walaupun kemudian mengalami
perubahan perkembangan dibeberapa negara untuk mengadopsinya. Beberapa negara yang menganut asas
ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda, Thailand.

C.    Perbedaan Sistem Peradilan Pidana Inggris dengan Sistem Pidana Indonesia
a.      Sekilas Sistem Peradilan Pidana Inggris
            Sampai akhir 1986, proses penuntutan bagi perkara-perkara ringan di Inggris dilakukan oleh Polisi
sendiri (Police Prosecutor). Sedangkan perkara yang agak berat dilakukan oleh pengacara yang disebut
Solicitor. Dan perkara-perkara yang berat disidangkan di pengadilan tinggi (tingkat banding) dengan
penuntut Umum pengacara yang disebut Barrister. Namun sejak 1986 yang menentukan apakah perkara
yang disidik Polisi dapat diajukan ke pengadilan atau tidak adalah Jaksa yang tergabung dalam Crown
Prosecution Secvice (CPS). Dan di Inggris terdapat 31 kejaksaan atau CPS yang terdiri dari Crown
Prosecutor, senior Crown Prosecutor, Assistant branch CPS, Branch prosecutor (di Indonesia setingkat
Kepala Kejaksaan Negeri), dan Chief Prosecutor (setingkat Kepala Kejaksaan tinggi).      
Sumber hukum dalam sistem peradilan pidana di Inggris terdiri dari :
a) Custom, merupakan sumber hukum tertua. Tumbuh dan berkembang dari kebiasaan suku Anglo Saxon
pada abad pertengahan yang melahirkan Common Law. Sehingga sistem hukum Inggris disebut juga
sistem anglo saxon. 
b) Legislation/statute, berupa Undang-undang yang dibuat melalui parlemen.
c) Case law/judge made law, hukum kebiasaan yang berkembang di masyarakat melalui putusan hakim
yang kemudian diikuti oleh hakim berikutnya melahirkan asas precedent.
Dalam sistem Common Law seperti di Inggris, adat istiadat atau kebiasaan masyarakat (custom) yang
dikembangkan berdasarkan putusan Pengadilan mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena berlaku
asas STARE DECISIS atau ASAS BINDING FORCE OF PRECEDENTS. Asas ini mewajibkan hakim
untuk mengikuti putusan hakim yang ada sebelumnya. Bagian putusan hakim yang harus diikuti dan
mengikat adalah bagian pertimbangan hukum yang disebut sebagai ratio decidendi sedangkan hal
selebihnya yang disebut obiter dicta tidak mengikat.          
Dalam sistem peradilan Inggris benar salahnya terdakwa ditentukan oleh juri yang direkrut dari
masyarakat biasa. Tugas hakim hanya memastikan persidangan berjalan sesuai prosedur dan menjatuhkan
hukuman sesuai hukum. Oleh karena itu, tugas jaksa dan pengacara dalam persidangan adalah
meyakinkan juri bahwa terdakwa bersalah atau tidak. Berbeda dengan sistem civil law yang dianut di
Indonesia sebagai kelanjutan dari sistem hukum yang dianut Belanda, maka tugas hakim di pengadilan
lebih berat karena selain harus menentukan benar salahnya terdakwa juga menetapkan hukuman
(vonis)nya.
Pada tahun 1994 telah terjadi pergeseran sistem akusator menjadi sistem inquisitor dalam hukum acara
Pidana Inggris. Hal ini dilatarbelakangi karena Polisi di Inggris kesulitan untuk mengungkap atau
menyelesaikan berbagai kasus yang menimbulkan ancaman serius bagi masyarakat terutama terorisme.
Karena tersangka berlindung dibalik kekebalan hukum yang diberikan oleh UU antara lain hak untuk
diam (right to remain silent). Perubahan tersebut dilihat dari konteks keberadaan sistem hukum yang ada
di dunia (civil law dan common law) ternyata saat ini bukan saatnya lagi memperdebatkan secara tajam
perbedaan antara kedua sistem hukum tersebut.       

b.Sistem Peradilan Pidana Terpadu Di Indonesia


Sistem peradilan pidana di Indonesia sebagaimana diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana) atau Undang-undang No.8 tahun 1981, sebenarnya identik dengan penegakan
hukum pidana yang merupakan suatu sistem kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana.
Sistem penegakan hukum pidana ini sesuai ketentuan dalam KUHP dilaksanakan oleh 4 sub sistem yaitu:
1.    Kekuasaan Penyidikan oleh Lembaga Kepolisian.           
2.    Kekuasaan Penuntutan oleh Lembaga Penuntut Umum atau Kejaksaan.
3.    Kekuasaan mengadili oleh Badan Peradilan atau Hakim.
4.    Kekuasaan pelaksanaan hukuman oleh aparat pelaksana eksekusi (jaksa dan lembaga
pemasyarakatan).
             Keempat subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral
atau sering disebut dengan istilah integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana terpadu.
Menilik sistem peradilan pidana terpadu yang diatur dalam KUHAP maka keempat komponen penegakan
hukum Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan seharusnya konsisten menjaga
agar sistem berjalan secara terpadu. Dengan cara melaksanakan tugas dan wewenang masing-masing
sebagaimana telah diberikan oleh Undang-undang. Karena dalam sistem Civil Law yang kita anut,
Undang-undang merupakan sumber hukum tertinggi. Karena disana (dalam Hukum Acara Pidana) telah
diatur hak dan kewajiban masing-masing penegak hukum dalam subsistem peradilan pidana terpadu
maupun hak-hak dan kewajiban tersangka/terdakwa.
Perbedaan Pengadilan Indonesia dan Inggris
2. Pembagian pengadilan a.Peradilan umum; a.Peradilan koroner;
berdasarkan yurisdiksi b.Peradilan agama; b.Peradilan militer;
khusus c.Peradilan tata usaha c.Peradilan ketenagakerjaan;
negara; d.Peradilan imigrasi;
d.Peradilan militer e.dll

3. Pembagian daerah hukum Terdapat pembagian Tidak terdapat pembagian daerah


daerah hukum hukum
berdasarkan
administrasi wilayah
4. Jumlah hakim yang Hakim majelis Umumnya menggunakan hakim
memeriksa perkara tunggal
5. Sistem pembuktian Pembuktian Berdasarkan keyakinan belaka
berdasarkan undang- (conviction in time)
undang secara negatif

No Variabel Indonesia Inggris


1. Pengadilan superior dan a.Mahkamah Agung; a.House of lords;
inferior (strata tingkatan b.Pengadilan tinggi; b.Mahkamah agung;
pengadilan dari yang paling c.Pengadilan negeri. c.Pengadilan banding;
tinggi) d.Pengadilan tinggi;
e.Pengadilan kerajaan;
f.Pengadilan magistrate.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Dari Uraian Pembahasan diatas maka dapat disimpulkan Bahwa Perbedaan yang sangat mencolok
yang dapat dilihat antara Hukum pidana Indonesia dengan inggris yaitu dapat kita lihat melalui asas
legalitas dari masing-masing dimana asas legalitas Negara inggris bersumber kepada yurisprudensi
hakim, sedangkan di Indonesia bersumber pada undang-undang yang berlaku. Dan juga asas strict
liability kedua Negara dimana di Negara inggris unsur kesalahan tidak dapat diberikan apa bila tidak ada
pada dirinya, sedangkan di Indonesia unsur kesalahan sudah diberikan apabila telah terbukti melakukan
suatu kesalahan. Dan yang terakhir dalam system peradilan pidana Indonesia identik dengan penegakan
hukum pidana yang mempunyai kekuasaan dan kewenangnan dalam menegakan hukum pidana. Yang
terdapat 4 subsistem yaitu, kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili dan
kekuasaan pelaksanaan hukuman. Sedangkan dalam system peradilan pidana di inggris putusan
pengadilan mempunyai kedudukan yang sangat kuat. Dan putusan hakim mengikat untuk hakim
selanjutnya.
B.  Saran
             Dengan membandingkan hukum pidana Negara Indonesia dengan Inggris. Indonesia sebagai
Negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan keadilan hukum, perlu meniru tata cara
pengambilan putusan dalam penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Ø  Prof. Nawawi Arief, Barda, S.H. Perbandingan Hukum Pidana ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010 )
Ø  Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1988. Jakarta : Balai Pustaka.
Ø  E. Y. Kanter, S. R. Sianturi, Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya ( Jakarta :
Alumni AHM-PTHM, 1982 )
Ø  Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Indonesia
Ø  Wikipedia bahasa indonesia, ensiklopedia bebas, Sistem Hukum di dunia, http://id. Wikipedia.org
Ø  www.hukumonline.com
www.Google Cendekia.com
http://www.referensimakalah.com/2012/12/asas-legalitas-dalam-hukum-islam.html

Anda mungkin juga menyukai