Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MATA KULIAH SISTEM PERADILAN PIDANA

PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DENGAN

HUKUM PIDANA INGGRIS

PENYUSUN :

AGUNG SUDARYANTO / 20120061


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Studi perbandingan hukum pidana pada dasarnya memperbandingkan berbagai

sistem hukum yang ada. Dalam Black’s Law Dictionary di definisikan:

“Comparative Jurisprudence is the study of the principles of legal science by the

comparison of various systems of law” dalam hal ini yang diperbandingkan adalah

dua atau lebih sistem hukum yang berbeda.Hukum pidana positif Indonesia ialah

berasal dari keluarga hukum CivilLaw System yang mementingkan sumber hukum

dari peraturan perundangan yang ada dan berlaku di Indonesia. Sementara Inggris

menganut sistem hukum Common Law System yang mengutamakan kebiasaan yang

berlaku di sana. Kebiasaan tersebut dapat berupa Norma maupun putusan-putusan

hakim sebelumnya. Selain perbedaan seperti yang tersebut diatas, kedua sistem

hukum pidana kedua negara sebenarnya memiliki kesamaan. Di Indonesia dikenal

hukum pidana adat yang sampai saat ini masih diakui dan dipakai dalam masyarakat.

Dilihat dari sumber hukumnya, sebenarnya hukum pidana adat tersebut berasal dari

kebiasaan yang berlaku dimasyarakat. Hal tersebut sama halnya dengan sumber

hukum common law yang berasal dari kebiasaan yang ada di masyarakat. Setiap

sistem hukum, pasti memiliki asas-asas yang kemudian dijabarkan dalam aturan-

aturan hukumnya. Salah satu asas hukum yang sangat penting dan dimiliki oleh setiap

sistem hukum adalah asas legalitas atau dikenal juga dengan asas “Nullum delictum,

nulla poena, sina praevia lege poenali”


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Perbandingan Dan Perbedaan Asas Legalitas  Indonesia Dengan Asas

Legalitas Inggris

Asas Legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi

batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga melindungi dari

penyalahgunaan wewenang hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi

yang boleh dan dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang

perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. Jadi berdasarkan asas ini, tidak satu

perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara

jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan.

a.      Asas Legalitas di Indonesia

            Asas legalitas di Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang

berbunyi :”tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturanpidana

dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan

dilakukan”.Konsekuensi dari pasal tersebut ialah bahwa perbuatan seseorang yang

tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak

dapatdipidana; jadi dengan asas ini hukum yang tidak tertulis tidak memiliki kekuatan

hukum untuk diterapkan. Namun atas hal itu dikecualikan terhadap daerah-daerah

yang dulu termasuk kekuasaan pengadilan swapraja dan pengadilan adat dengan

dilakukan pembatasan-pembatasan tertentu.Selain itu KUHP Indonesia juga melarang


adanya analogi terhadap suatu perbuatan konkret yang tidak diatur oleh undang-

undang.

b.      Asas Legalitas Di Inggris

            Asas Legalitas di Inggris walaupun asas ini tidak pernah secara formal

dirumuskan dalam perundang-undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan

pengadilan. Karena bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di inggris

merasa dirinya berhak menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya, pada

1972 House of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk

menciptakan delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi tampaknya ada

pergeseran dari asas legalitas dalam pengertian materiil ke asas legalitas dalam

pengertian pengertian formal. Artinya, suatu delik oleh hakim berdasarkan common

law (hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat putusan pengadilan), namun dalam

perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang (statute law).

Sehingga di dalam Sistem Hukum Inggris yaitu Common Law dimana prinsipnya

hukum tidak tertulis (yang jadi patokan nilai yang ada pada masyarakat. Peran hakim

menciptakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat. Hakim

terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-

perkara sejenis (asas doctrine of precedent). Sumber hukum utama adalah putusan

hakim (yurisprudensi).

            Sehingga dari kedua Asas diatas dapat diketahui perbedaannya yaitu:

1.      Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Inggris adalah tidak ada perbuatan yang

dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan
tersebut bersumber dari putusan hakim (yurisprudensi). Jadi dalam memutuskan suatu

perbuatan pidana di inggris biasanya bersumber pada yurisprudensi hakim.

2.      Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Indonesia adalah tidak ada perbuatan yang

dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan

tersebut bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan dalam

pemutusan suatu perbuatan pidana Indonesia tetap bersumber menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

B.     Perbandingan Asas Strict Liability Hukum Pidana Indonesia Dengan

Hukum Pidana Inggris

a.      Asas Stict Liability Indonesia

            Dalam perkembangan hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan

pula tindak-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan

kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang disyaratkan.

Cukuplah apabiIa dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan

actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak

melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak-tindak pidana

yang demikian itu disebut offences of strict liability atau yang sering dikenal juga

sebagai offences of absolute prohibition.  Strict liability disebut juga absolute

liability. Istilah dalam bahasa Indonesia yang saya gunakan adalah "pertanggung

jawaban mutlak". Mardjono Reksodiputro dalam salah satu tulisannya diterapkannya

asas strict liability di Indonesia yang menganut system Eropa Continental, yaitu
“Berhubung kita tidak mengenal ajaran Strict liability yang berasal dari system

hukum Anglo-Amerika tersebut, maka sebagai alasan pembenar dapat dipergunakan

ajaran feit materiel yang berasal dari system hukum Eropa Kontinental. Dalam kedua

ajaran ini tidaklah penting adanya unsur kesalahan. Ajaran strict liability hanya

dipergunakan untuk tindak pidana ringan. Dalam praktik di Indonesia, ajaran strict

liability sudah diterapkan, antara lain untuk pelanggaran Ialu lintas. Para pengemudi

kendaraan bermotor yang melanggar lampu lalu lintas, misalnya tidak berhenti pada

waktu lampu lalu lintas menunjukkan lampu yang berwarna merah menyaIa, akan

ditilang oleh polisi dan selanjutnya akan di sidang di pengadilan. Hakim dalam

memutuskan hukunan atas pelanggaran tersebut tidak akan mempersoalkan ada tidak

adanya kesalahan pada pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas itu. Pada

Pasal 211 KUHAP pembuktian pelanggaran-pelanggaran jenis lalu lintas jalan

tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan nyata seketika itu, karena tidak mungkin

dipungkiri lagi oleh pelanggar. Berita acara yang ditiadakan diganti dengan bukti

pelanggaran lalu lintas tertentu disingkat TILANG yang diisi oleh penegak hukum

(POLRI Satuan Lalu Lintas). Oleh karena itu, tidak berlaku juga bagi semua tindak

pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh undang-

undang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat tindakan pidananya telah

dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh

perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan

tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas "strict liability"
b. Asas Strict Liability Inggris

Walaupun pada prinsipnya berlaku asas Mens Rea , namun di Inggris ada delik –

delik yang tidak mensyaratkan adanya Mens Rea (berupa intention, recklessness, atau

negligence). Si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan

sebagaimana dirumuskan dalam undang – undang tanpa melihat bagaimana sikap

batinnya. Di sini berlaku apa yang disebut strict liability yang sering diartikan secara

singkat liability without fault (pertanggungjawaban tanpa kesalahan). Menurut

common law, Strict Liability berlaku terhadap 3 macam delik:

1.      Public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan

raya,  mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan).

2.      Criminal libel (penghinaan/fitnah, pencemaran nama baik)

3.      Contempt of Court (pelanggaran tata tertib di pengadilan) Misalnya :

mengancam Jaksa, hakim dan Saksi.

Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict Liability) merupakan prinsip

pertanggung jawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama yang

berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam

kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang

menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict

liability jika penggunaan tersebut bersifat non natural atau di luar kelaziman, atau

tidak seperti biasanya. Jenis pertanggung jawaban ini muncul sebagai reaksi atas

segala kekurangan dari system atau jenis pertanggungjawaban fault based liability.

Pertanggung jawaban hukum konvensional selama ini menganut asas pertanggung


jawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault), artinya bahwa tidak

seorangpun dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat unsur-

unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan dokrin tersebut akan melahirkan kendala

bagi penegakan hukum dipengadilan karena dokrin ini tidak mampu mengantisipasi

secara efektif dampak dari kegiatan industri modern yang mengandung resiko-resiko

potensial. Pertanggung jawaban mutlak pada awalnya berkembang dinegara-negara

yang menganut sistem hukum anglo saxon atau common law, walaupun kemudian

mengalami perubahan perkembangan dibeberapa negara untuk mengadopsinya.

Beberapa negara yang menganut asas ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda,

Thailand.

C.    Perbedaan Sistem Peradilan Pidana Inggris dengan Sistem Pidana

Indonesia

a.      Sekilas Sistem Peradilan Pidana Inggris

            Sampai akhir 1986, proses penuntutan bagi perkara-perkara ringan di Inggris

dilakukan oleh Polisi sendiri (Police Prosecutor). Sedangkan perkara yang agak berat

dilakukan oleh pengacara yang disebut Solicitor. Dan perkara-perkara yang berat

disidangkan di pengadilan tinggi (tingkat banding) dengan penuntut Umum pengacara

yang disebut Barrister. Namun sejak 1986 yang menentukan apakah perkara yang

disidik Polisi dapat diajukan ke pengadilan atau tidak adalah Jaksa yang tergabung

dalam Crown Prosecution Secvice (CPS). Dan di Inggris terdapat 31 kejaksaan atau

CPS yang terdiri dari Crown Prosecutor, senior Crown Prosecutor, Assistant branch

CPS, Branch prosecutor (di Indonesia setingkat Kepala Kejaksaan Negeri), dan Chief
Prosecutor (setingkat Kepala Kejaksaan tinggi).      

Sumber hukum dalam sistem peradilan pidana di Inggris terdiri dari :

a. Custom, merupakan sumber hukum tertua. Tumbuh dan berkembang dari

kebiasaan suku Anglo Saxon pada abad pertengahan yang melahirkan Common

Law. Sehingga sistem hukum Inggris disebut juga sistem anglo saxon. 

b. Legislation/statute, berupa Undang-undang yang dibuat melalui parlemen.

c. Case law/judge made law, hukum kebiasaan yang berkembang di masyarakat

melalui putusan hakim yang kemudian diikuti oleh hakim berikutnya melahirkan

asas precedent.

Dalam sistem Common Law seperti di Inggris, adat istiadat atau kebiasaan

masyarakat (custom) yang dikembangkan berdasarkan putusan Pengadilan

mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena berlaku asas STARE DECISIS atau

ASAS BINDING FORCE OF PRECEDENTS. Asas ini mewajibkan hakim untuk

mengikuti putusan hakim yang ada sebelumnya. Bagian putusan hakim yang harus

diikuti dan mengikat adalah bagian pertimbangan hukum yang disebut sebagai ratio

decidendi sedangkan hal selebihnya yang disebut obiter dicta tidak mengikat.          

Dalam sistem peradilan Inggris benar salahnya terdakwa ditentukan oleh juri yang

direkrut dari masyarakat biasa. Tugas hakim hanya memastikan persidangan berjalan

sesuai prosedur dan menjatuhkan hukuman sesuai hukum. Oleh karena itu, tugas

jaksa dan pengacara dalam persidangan adalah meyakinkan juri bahwa terdakwa

bersalah atau tidak. Berbeda dengan sistem civil law yang dianut di Indonesia sebagai

kelanjutan dari sistem hukum yang dianut Belanda, maka tugas hakim di pengadilan
lebih berat karena selain harus menentukan benar salahnya terdakwa juga

menetapkan hukuman (vonis)nya.

Pada tahun 1994 telah terjadi pergeseran sistem akusator menjadi sistem inquisitor

dalam hukum acara Pidana Inggris. Hal ini dilatarbelakangi karena Polisi di Inggris

kesulitan untuk mengungkap atau menyelesaikan berbagai kasus yang menimbulkan

ancaman serius bagi masyarakat terutama terorisme. Karena tersangka berlindung

dibalik kekebalan hukum yang diberikan oleh UU antara lain hak untuk diam (right to

remain silent). Perubahan tersebut dilihat dari konteks keberadaan sistem hukum yang

ada di dunia (civil law dan common law) ternyata saat ini bukan saatnya lagi

memperdebatkan secara tajam perbedaan antara kedua sistem hukum tersebut.       

b.Sistem Peradilan Pidana Terpadu Di Indonesia

Sistem peradilan pidana di Indonesia sebagaimana diatur dalam KUHAP (Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana) atau Undang-undang No.8 tahun 1981,

sebenarnya identik dengan penegakan hukum pidana yang merupakan suatu sistem

kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana. Sistem penegakan hukum

pidana ini sesuai ketentuan dalam KUHP dilaksanakan oleh 4 sub sistem yaitu:

1.    Kekuasaan Penyidikan oleh Lembaga Kepolisian.           

2.    Kekuasaan Penuntutan oleh Lembaga Penuntut Umum atau Kejaksaan.

3.    Kekuasaan mengadili oleh Badan Peradilan atau Hakim.

4.    Kekuasaan pelaksanaan hukuman oleh aparat pelaksana eksekusi (jaksa dan

lembaga pemasyarakatan).
             Keempat subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum

pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah integrated criminal justice

system atau sistem peradilan pidana terpadu. Menilik sistem peradilan pidana terpadu

yang diatur dalam KUHAP maka keempat komponen penegakan hukum Kepolisian,

Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan seharusnya konsisten menjaga

agar sistem berjalan secara terpadu. Dengan cara melaksanakan tugas dan wewenang

masing-masing sebagaimana telah diberikan oleh Undang-undang. Karena dalam

sistem Civil Law yang kita anut, Undang-undang merupakan sumber hukum

tertinggi. Karena disana (dalam Hukum Acara Pidana) telah diatur hak dan kewajiban

masing-masing penegak hukum dalam subsistem peradilan pidana terpadu maupun

hak-hak

No Variabel Indonesia Inggris


1. Pengadilan superior dan a.Mahkamah Agung; a.House of lords;

inferior (strata tingkatan b.Pengadilan tinggi; b.Mahkamah agung;

pengadilan dari yang paling c.Pengadilan negeri. c.Pengadilan banding;

tinggi) d.Pengadilan tinggi;

e.Pengadilan kerajaan;

f.Pengadilan magistrate.
dan kewajiban tersangka/terdakwa.

Perbedaan Pengadilan Indonesia dan Inggris

2. Pembagian pengadilan a.Peradilan umum; a.Peradilan koroner;

berdasarkan yurisdiksi b.Peradilan agama; b.Peradilan militer;


khusus c.Peradilan tata c.Peradilan ketenagakerjaan;

usaha negara; d.Peradilan imigrasi;

d.Peradilan militer e.dll

3. Pembagian daerah Terdapat pembagian Tidak terdapat pembagian daerah

hukum daerah hukum hukum

berdasarkan

administrasi wilayah
4. Jumlah hakim yang Hakim majelis Umumnya menggunakan hakim

memeriksa perkara tunggal


5. Sistem pembuktian Pembuktian Berdasarkan keyakinan belaka

berdasarkan (conviction in time)

undang-undang

secara negatif

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

            Dari Uraian Pembahasan diatas maka dapat disimpulkan Bahwa Perbedaan

yang sangat mencolok yang dapat dilihat antara Hukum pidana Indonesia dengan

inggris yaitu dapat kita lihat melalui asas legalitas dari masing-masing dimana asas

legalitas Negara inggris bersumber kepada yurisprudensi hakim, sedangkan di

Indonesia bersumber pada undang-undang yang berlaku. Dan juga asas strict liability

kedua Negara dimana di Negara inggris unsur kesalahan tidak dapat diberikan apa

bila tidak ada pada dirinya, sedangkan di Indonesia unsur kesalahan sudah diberikan

apabila telah terbukti melakukan suatu kesalahan. Dan yang terakhir dalam system

peradilan pidana Indonesia identik dengan penegakan hukum pidana yang

mempunyai kekuasaan dan kewenangnan dalam menegakan hukum pidana. Yang

terdapat 4 subsistem yaitu, kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan

mengadili dan kekuasaan pelaksanaan hukuman. Sedangkan dalam system peradilan

pidana di inggris putusan pengadilan mempunyai kedudukan yang sangat kuat. Dan

putusan hakim mengikat untuk hakim selanjutnya.

B.  Saran

             Dengan membandingkan hukum pidana Negara Indonesia dengan Inggris.

Indonesia sebagai Negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan keadilan

hukum, perlu meniru tata cara pengambilan putusan dalam penegakan hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Ø  Prof. Nawawi Arief, Barda, S.H. Perbandingan Hukum Pidana ( Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2010 )

Ø  Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1988. Jakarta : Balai Pustaka.

Ø  E. Y. Kanter, S. R. Sianturi, Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan

penerapannya ( Jakarta : Alumni AHM-PTHM, 1982 )

Ø  Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Indonesia

Ø  Wikipedia bahasa indonesia, ensiklopedia bebas, Sistem Hukum di dunia, http://id.

Wikipedia.org

Ø  www.hukumonline.com

www.Google Cendekia.com

http://www.referensimakalah.com/2012/12/asas-legalitas-dalam-hukum-islam.html

Anda mungkin juga menyukai