Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

“PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP DAN


HUKUM ISLAM”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Hukum Pidana

Oleh :

ADINDA EVITA PUSPA

20302100119

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Hj. Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.Hum.

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2023
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Asas legalitas dalam hukum merupakan asas yang sangat fundamental. Asas
legalitas dalam hukum pidana sangat penting untuk menentukan apakah suatu
peraturan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Jadi
apabila terjadi suatu tindak pidana, maka akan dilihat apakah terhadap ketentuan
yang mengaturnya dan apakah aturan yang telah ada tersebut dapat diberlakukan
terhadap tindak pidana yang terjadi.
Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi ‘principle
of legality’, ‘legaliteitbeginsel’, ‘non-retroaktif’, ‘de la legalite’ atau ‘ex post facto
laws’. Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: ‘Tiada suatu
peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang
mendahuluinya.
Untuk dapat menerapkan asas legalitas dalam hukum pidana, maka syarat
pertama untuk dapat melakukan tindakan terhadap suatu perbuatan adalah adanya
ketentuan dalam Undang-undang (pidana) yang merumuskan perbuatan
pidana/tindak pidana itu dan memberikan sanksi terhadapnya. Hal ini disebabkan,
pada hakekatnya suatu peraturan Undang-undang lebih-lebih peraturan hukum
pidana hanya berlaku untuk masa yang akan datang. Artinya, untuk hal-hal yang
terjadi sesudah peraturan itu diterapkan. Ketentuan seperti ini dalam hukum pidana
dirumuskan dalam bahasa latin “Nullum Delictum Nolla poena, Sine Praevia Legi
Poenali”.

Asas diatas sering juga dipakai istilah latin yaitu: “Nullum sine legi stricta”
yang artinya bahwa : “tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”. Dalam bahasa
yang lebih populer asas ini disebut asas legalitas. Dalam KUHP yang sekarang
berlaku asas ini yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan : “Tiada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-
undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.1
Berlakunya asas legalitas sebagaimana terurai diatas memberikan sifat
“perlindungan terhadap undang-undang”. Undang-undang pidana melindungi rakyat
terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah/penguasa, dengan
kata lain, menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan
pemerintah/penguasa. Disamping fungsinya melindungi, Undang-Undang pidana
juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan
Undang-undang, pelaksanaan kekuasaan pemerintah tegas-tegas diperbolehkan.
Berlakunya asas legalitas yang sangat kaku/formal dalam sistem hukum
pidana Indonesia telah menjadi “ganjalan” dalam upaya menciptakan keadilan. Hal
ini disebabkan dalam pandangan masyarakat Indonesia berlakunya asas legalitas
yang sangat formal bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
Indonesia. Latar belakang pemikiran masyarakat Indonesia yang tidak bersifat
formalitas dan terpecah-pecah kurang sesuai dengan konsep asas legalitas yang
sangat kaku.
Berbanding dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas
menganut agama Islam, maka apa yang terkandung dalam Al-Quran yang merupakan
sumber hukum utama bagi mereka yang meyakininya sebagai syariat Islam. Dimana
salah satu aturan pokok yang sangat penting dalam syariat Islam adalah aturan yang
berbunyi : “sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orang-
orang yang berakal sehat”. Dengan perkataan lain perbuatan seseorang yang cakap
tidak mungkin dikatakan dilarang, selama belum ada nas (ketentuan) yang
melarangnya, dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan
itu/meninggalkannya, sehingga ada nas yang melarangnya.

1 Soesilo, KUHP beserta penjelasannya, Bogor: Politeia,1996), pasal 1 (1)


I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dengan penulis akan membatasi
kajian yang akan dibahas, dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana asas legalitas pada hukum pidana positif Indonesia dan hukum pidana
Islam ?
2. Bagaimana perbandingan mengenai asas legalitas menurut hukum pidana positif
dengan hukum pidana Islam?
3. Bagaimana Perbandingan Asas Legalitas di beberapa Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Asing ?

1.3 Metode Penelitian

Jenis penelitian yang peneliti gunakan dalam menyusun penlitian ini adalah studi
kepustakaan (library reseach) atau dikenal dengan penelitian literature. Menurut Dina
Sujana, metode penelitian literature adalah metode yang berusaha menemukan,
mengembangkan, mengkaji, menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan
dengan metode ilmiah.2

2 Dina Sujana, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah, (Bandung,


Sinar Baru, 1989), hal.4. 3 Lihat Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang
Hukum Pidana.
BAB 11

PEMBAHASAN

1. Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Positif Indonesia

Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang sangat fundamental.
Asas legalitas dalam hukum pidana penting untuk menentukan apakah suatu peraturan
hukum pidana dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Jadi, apabila
terjadi suatu tindak pidana, maka akan dilihat apakah telah ada ketentuan hukum yang
mengaturnya dan apakah aturan yang telah ada tersebut dapat diberlakukan terhadap
tindak pidana yang terjadi.
Dengan demikian, mengikuti asas legalitas dalam hukum pidana, maka syarat
pertama untuk menindak terhadap suatu tindak pidana adalah adanya ketentuan dalam
Undang-undang (pidana) yang merumuskan tindak pidana itu dan memberi sanksi
terhadapnya. Hal ini disebabkan, pada hakikatnya suatu peraturan Undang-undang
lebih-lebih peraturan hukum pidana hanya berlaku untuk masa yang akan datang.
Artinya untuk hal-hal yang terjadi sesudah peraturan itu ditetapkan.
Dalam KUHP yang sekarang berlaku asas ini terdapat dalam Pasal 1 ayat (1)
yang menyatakan : “tiada suatu perbuatan pidana dapat dipidana kecuali atas kekuatan
aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum
perbuatan dilakukan.”3
Mengingat asas legalitas merupakan asas yang sangat fundamental dalam
hukum pidana, maka pemahaman terhadap berbagai aspek asas legalitas merupakan
keharusan. Apabila dilihat dari isi kandungan, asas legalitas dalam hukum pidana
memuat berbagai aspek yang berbeda:3
1. Tidak dapat dipidana Kecuali Berdasarkan Ketentuan Pidana Menurut
Undangundang. Pasal 1 ayat (1) KUHP menetapkan bahwa tidak ada perbuatan yang
dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana menurut undang-undang yang
3 JE. Sahetapy, 1995 :6
telah ada sebelumnya. Penentuan dapat dipidananya suatu perbuatan harus terjadi
melalui Undang-undang dalam arti formal atau berdasarkan kekuatan undang-
undang dalam arti materiil yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dalam arti
formal untuk berbuat demikian.
2. Tidak ada Penerapan Undang-undang Pidana berdasarkan Analogi. Penerapan
undang-undang berdasarkan analogi menerapkan suatu ketentuan atas suatu kasus
yang tidak termasuk didalamnya. Karena analogi menerapkan suatu peraturan pada
suatu perbuatan yang sebenarnya tidak diatur, maka analogi berarti memperluas
berlakunya suatu peraturan perundang-undangan dengan mengabstrasikannya
menjadi aturan hukum yang menjadi dasar menerapkan aturan yang bersifat umum
itu kepada perbuatan kongkrit yang tidak diatur oleh Undang-Undang. Larangan
penggunaan Analogi ini juga berkaitan dengan fungsi hukum pidana, yaitu fungsi
melindungi dari undang-undang pidana dan penerapan aturan pidana berdasarkan
analogi tidak mungkin digabungkan.
3. Tidak Boleh Ada Delik Yang Kurang Jelas. Syarat Lex Certa berarti Undangundang
harus cukup jelas. Keharusan suatu tindak pidana secara jelas dimaksudkan agar: a)
aturan tersebut dapat menjadi pegangan bagi warga masyarakat dalam memilih
tingkah lakunya, dan b) untuk memberikan kepastian kepada penguasa mengenai
batas-batas kewenangannya.
4. Ketentuan Pidana Tidak Berlaku Surut. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1)
KUHP ditegaskan, bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas
kekuatan pidana menurut Undang-undang “yang telah ada sebelumnya”. Dengan
demikian, berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan, bahwa aturan pidana
pada hakikatnya berlaku untuk masa yang akan datang (kecuali ditentukan oleh
undang-undang), tidak berlaku surut. Pengecualian atas larangan berlaku surutnya
aturan pidana tersebut dimungkinkan, apabila berlaku surutnya aturan pidana
tersebut untuk kepentingan (meringankan) terdakwa sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1 ayat (2) KUHP, jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam
perundang-undangan, dipakai aturaran yang paling meringankan bagi terdakwa.4
Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa suatu aturan pidana dapat berlaku surut
apabila ketentuan yang ada sesudah perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut
lebih meringankan terdakwa. Contoh: Budi pada tanggal 5 januari 1985 ditangkap
oleh polisi karena tertangkap basah sedang mengambil jam tangan milik temannya,
Arjuna. Setelah selesai di proses penyidikan oleh polisi, perkaranya dilimpahkan ke
kejaksaan /penuntut umum. Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat itu, Budi
didakwa melanggar Pasal 362 KUHP dengan ancaman pidana maksimum pidana
penjara lima tahun. Perkara Budi diadili pada tanggal 5 Agustus 1985, sementara
pada tanggal 5 maret 1985 terjadi perubahan terhadap ketentuan pasal 362 tidak lagi
diancam dengan penjara 5 tahun, tetapi hanya pidana penjara satu tahun.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP, ketentuan pidana yang ada sesudah
perbuatan itu dilakukan Budi dapat diberlakukan surut terhadap dirinya, karena
aturan yang baru tersebut lebih meringankan.
5. Tidak Ada Pidana Lain Kecuali yang ditentukan Undang-Undang. Didalam hukum
pidana, berlaku aturan bahwa undang-undang menentukan pidana-pidana yang
dijatuhkan. Dalam KUHP pidana yang dapat dijatuhkan adalah sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 10 KUHP.5 Ketentuan ini berlaku juga untuk Undang-
Undang diluar KUHP sepanjang tidak diatur lain dalam Undang-undang khusus. 6

Sekalipun asas legalitas telah secara ketat memberikan rambu-rambu dalam


penerapan suatu aturan pidana, namun sering sekali sangat sulit untuk mengetahui apakah
suatu kasus tertentu termasuk atau tidak dalam ketentuan pidana. Dengan demikian hakim
wajib menetapkan arti yang tepat dari ketentuan pidana tersebut, hakim harus
menafsirkan ketentuan pidana tersebut.

4 Pasal 1 ayat (2) KUHP.


5 Lihat Pasal 10 KUHP.
6 Lihat Pasal 103 KUHP.
2. Asas Legalitas dalam Hukum Islam

Istilah asas legalitas tidak ditemukan dalam hukum Islam, namun secara
substansial hukum Islam menganut asas legalitas ini. Dalam hal pidana ini Islam
mempunyai beberapa kaidah pokok yaitu kaidah yang menyatakan bahwa: tidaklah dapat
dianggap sebagai suatu tindak pidana bagi orang yang melakukan perbuatan atau
meninggalkan perbuatan selama tidak ada nas dengan jelas. Oleh sebab itu tidaklah dapat
dipertanggungjawabkan orang yang melakukan perbuatan atau meninggalkan perbuatan
tersebut”.7 Hal ini dapat kita singkat dengan kaidah yang berbunyi; Artinya : “Tidak ada
hukuman dan tidak ada tindak pidana (jarimah) kecuali dengan adanya nash”.
Dengan kata lain, perbuatan seseorang yang cakap (ahliyyah; mukalaf) tidak
mungkin dinyatakan sebagai pelanggaran selama belum ada nas yang melarangnya, dan
ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya sampai
ada nas yang menentukan.
Kaidah pokok lain adalah: “Pada dasarnya semua perkara dan perbuatan
dibolehkan”. Dengan kata lain, semua perbuatan dan semua sikap tidak berbuat
dibolehkan dengan kebolehan yang dinyatakan oleh syara’. Selama belum ada nas yang
melarang, tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan dan sikap tidak berbuat.
Disamping kaidah diatas, masih ada kaidah pokok lain yang berhubungan dengan
asas legalitas menurut syara’, yaitu: “Hanya orang yang bisa diberi taklif (pembebanan)
yang mempunyai kesanggupan untuk mengerjakan dan memahami dalil taklif.” Dan juga
menurut syara’: “Hanya pekerjaan yang dibebankanlah yang mungkin dilakukan dan di
sanggupi dan diketahui oleh orang mukalaf sedemikian rupa sehingga bisa mendorongnya
untuk melakukan pekerjaan itu.”8
Dalam Al-quran ada beberapa ayat yang berhubungan dengan asas legalitas.

Allah SWT tidak menjatuhkan suatu siksa atas umat manusia kecuali sudah ada
penjelasan dan pemberitahuan melalui rasul- rasul-Nya, dan beban (kewajiban) yang

7 Juhana, S. Praja, dan Ahmad Sihabudin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung:
Angkasa, 1982)
8 Hafizd Dasuki, Ensklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), hal. 129
diberikan kepada mereka, yakni perkara yang disanggupi, sebagaimana tampak dalam
firman-Nya diantaranya yaitu:
(1) Surah Al-Isra’ ayat 15 : Artinya: “Dan seseorang yang berdosa tidak dapat memikul
dosa orang lain, dan Kami (Allah) tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus
seorang rasul.”9
(2) Surat Al- Qashash ayat 59 : Artinya: “Dan tidak pernah tuhanmu membinasakan
kota-kota sebelum Dia mengutus seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada mereka.” 10
(3) Surat Al- An’am ayat 19 : Artinya: “ …. Supaya dengan dia Aku memberi
peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an
(kepadanya) ….11

(4) Surat Al-Baqarah ayat 286 : Artinya: “Allah tidak membebankan seseorang kecuali
sesuai dengan kemampuannya.”12
Baik dalam syara’ maupun hukum Eropa keduanya menggunakan asas

legalitas, yaitu “tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman selain atas aturan pidana
dalam nash atau Undang-undang”. Tetapi dalam menerapkan prinsip tersebut terdapat
beberapa perbedaan antara syara’ dan hukum Eropa.
1. Masa Penerapan. Syari’at Islam telah menerapkan asas legalitas sejak wahyu
diturunkan, khususnya pada periode Madinah, jauh sebelum dikenal dan diterapkan
oleh hukm Eropa (abad ke-18)
2. Cara Penerapan. Dalam Syari’at Islam ada tiga cara penerapan asas legalitas, yaitu :

Pertama, pada tindak pidana yang gawat dan sangat mempengaruhi


keamanan dan ketentraman masyarakat, yaitu tindak pidana hudud (hukuman yang
ditetapkan batasnya oleh nash) dan qisas (pembalasan setimpal), asas legalitas

9 Al-Qur’an (17):15
10 Al-Qur’an (28):59
11 Al-Qur’an (6):19
12 Al-Qur’an (2):286
dilaksanakan secara teliti dengan mencantumkan satu persatu hukuman bagi setiap
tindak pidana.
Kedua, pada tindak pidana yang tidak begitu berbahaya, yaitu tindak pidana
takzir pada umumnya, syara’ memberikan kelonggaran dalam penerapan asas
legalitas dari segi hukuman. Bagi tindak pidana tersebut syara’ hanya menyediakan
sejumlah hukuman untuk dipilih oleh hakim sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang
dihadapi.
Ketiga, pada tindak pidana takzir yang diancam hukuman demi kemaslahatan
umum, syara’ memberikan kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi
penentuan macam tindak pidana, karena syari’at hanya mencakupkan dengan
membuat suatu nash (ketentuan) umum yang bisa mencakup setiap perbuatan yang
mengganggu kepentingan dan ketentraman masyarakat.
3. Ketentuan pidana. Dalam Syari’at Islam nas-nas yang menentukan macam tindak
pidana bersifat umum dan elastis, sehingga bisa menampung semua peristiwa.
Kemudian dalam tindak pidana hudud dan qisas keumuman agak dibatasi. Namun,
untuk tindak pidana lainnya keumuman tersebut berlaku sepenuhnya seperti pada
tindak pidana takzir biasa. Untuk tindak pidana takzir, karena untuk mewujudkan
kemaslahatan umum, elastisitas nas-nas yang menentukan tindak pidana lebih kuat
sehingga cukup dengan menyebutkan sifat-sifatnya. Oleh karena itu, suatu perbuatan
tidak mungkin diketahui sebagai tindak pidana kecuali sesudah terjadi.
Keumuman dan elastisitas nas mempunyai pengaruh terhadap kemampuan syari’at
dalam menghadapi keadaan dan lingkungan.
4. Hukuman, pada dasarnya syari’at menentukan macam hukuman yang jelas sehingga
tidak mungkin bagi hakim untuk menciptakan hukuman sendiri. Ketentuan hukum
semacam itu berlaku pada tindak pidana hudud dan qishas, yaitu tindak pidana yang
sangat mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat. Pada tindak pidana
ta’zir, dengan segala macamnya, syara’ hanya menentukan sejumlah hukuman yang
sesuai atau menjatuhkan hukuman antara batas tertinggi dan terendah, menghentikan
atau memerintahkan pelaksanaan hukuman dengan segera.
b. Perbandingan Mengenai Asas Legalitas Menurut Hukum Pidana Positif Dengan Hukum
Pidana Islam.
Untuk mengetahui perbedaan asas legalitas menurut Hukum Pidana Positif dan
Hukum Pidana Islam dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Hukum Pidana Positif Hukum Pidana Islam


1. masa penerapan dalam hukum positif 1. Masa Penerapan Dalam Hukum Pidana
asas legalitas diterapkan pada abad Islam Asas Legalitas Diterapakan Sejak
ke18 masehi. Wahyu Diturunkan, Khususnya Pada
Periode Madinah
2. cara penerapan asass legalitas dalam 2. Cara penerapan dalam hukum pidana
hukum pidana positif untuk semua Islam ada tiga cara penerapan yaitu:
tindak pidana sama saja, pada
a. Pada tindak pidana yang gawat dan
mulanya hukum pidana positif
sangat mempengaruhi keamanan dan
menggunakan cara pertama hukum
ketentraman mayarakat.
pidana Islam untuk semua tindak
b. Pada tindak pidana yang tidak begitu
pidana kemudian mengambil cara
berbahaya
kedua yaitu dengan mempersempit
c. Pada tindak pidana ta’zir yang
kekuasaan hakim dalam memilih dan
diancam hukuman demi kemaslahatan
menentukan besarnya, dan pada
umum
akhirnya cara kedualah yang
diterapkan.
3. Ketentuan pidana, dalam hukum pidana 3. Ketentuan hukuman, dalam hukum pidana
positif setiap tindak pidana bisa Islam nas-nas yang menentukan macam
diidentifikasi seteliti mungkin dengan tindak pidana bersifat umum dan elastis
menyebutkan unsure-unsur sehingga bisa menampung semua
materiilnya, oleh karena itu terbatas peristiwa.
sekali tindak pidana yang dimasukkan
dalam suatu aturan pidana.
4. Hukuman, dalam hukum pidana positif 4. Hukuman, pada dasarnya hukum pidana
untuk setiap tindak pidana disediakan Islam menentukan macam hukuman yang
satu atau dua macam hukuman dengan jelas sehingga tidak mungkin bagi hakim
batas tertinggi dan terendah. untuk menciptakan hukuman sendiri.

Sedangkan persamaannya antara hukum pidana positif dan hukum pidana Islam
adalah keduanya sama-sama memberlakukan asas legalitas dalam proses hukum.
Selain mengetahui perbedaannya dapat juga dilihat kelemahan
dan kelebihannya yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Kelebihan Kelemahan
Hukum Pidana Islam 1. Dalam asas pidana karena
islam tidal mengenal jabatan.
penghapusan tindak
pidana karena jabatan
sehingga tidak dapat
dipidana, karena pada
hakekatnya setiap 2. Dalam pidana islam

orang yang telah 1. Hukum Islam tidak dikenal


mukallaf harus didalam perundang-undangan
bertanggungjawab Indonesia sebagai system hukum
terhadap apa yang ia karena Indonesia menganut system
lakukan, terlebih lagi hukum Eropa kontinental sehingga
pelaku tidak hanya dapat dipidana dengan merujuk
pada KUHP (hukum materiil) dan KUHAP (hukum 2. Dalam hukum pidana Islam
formil) saja yang bersifat memaksa tidak ada lembaga yang bersifat
(dwinginrecht) dan tidak boleh dikenakan dengan yuridis formil tertentu untuk
hukum Islam. mengawal pelaksaannya di

jenis hukuman dibagi Indonesia sehingga hukum pidana


tiga yaitu hukuman Islam tidak dapat diterapkan
jarimah, hudud, sebagaimana hukum pidana
qishas-diyat, dan positif.
ta’zir.dalam pidan
Islam hakim
memiliki wewenang
untuk menghukum
pelaku jarimah yang
tidak diatur menurut
jarimah hudud,
qishas-diyat,

sehingga seluruh
pelaku jarimah dalam
peraturan islam
dikenai hukuman.

3. Hukum pidana Islam yang


3. Cakupan hukum berkaitan dengan pidana jarimah
pidana Islam lebih hudud tidak dapat dirubah-rubah
luas yaitu bukan (ditambah/dikurangi) lagi baik
terbatas pada bidang deraksi maupun ketentuan
muamalah saja
(hablumminannas) pidananya karena sudah baku dari
tetapi juga dalam Allah.
bidang ibadah dan
aqidah
(hablumminallah).
Hukum Pidana Positif 1. Hukum pidana positif 1. Penghapusan tindak pidana
di Indonesia bersifat karena jabatan sering kali menjadi
memaksa sehingga alibi bagi pelaku tindak pidana
seluruh pelaku tindak dalam hukum pidana positif
pidana dapat dihukum sehingga pelaku pidana karena
dalam hukum pidana. perintah jabatan sehingga tidak
dapat dihukum.

2.Hukum pidana positif 2.Dalam pidana positif hanya


dilaksanakan oleh mengenal hukum penjara dan
lembaga-lembaga denda mengingat hakim sebagai

tertentu selaku aparat abdi atau corong undang-undang

penegak hukum sehingga tidak bisa memberi

sehingga hu,kum macam hukuman lain selain

pidana dapat hukuman pidana dan atau denda

dilaksanakan. seperti tertulis dalam KUHP.

3.Hukum pidana positif 3.Hukum pidana positif hanya


sewaktu saat atau meliputi masalah muamalah

sewaktu-waktu dapat hubungan antar manusia yang

dirubah diawasi oleh penegak hukum

(ditambah/dikurangi) sebagai representatif dari


pemerintah sehinga yang terjadi
lagi baik deraksi
diluar bidang muamalah tidak
maupun ketentuan dapat dihukum dengan pidana
pidananya. positif.

3. Perbandingan Asas Legalitas di beberapa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


(KUHP) Asing

Jika kita mempertanyakan apa manfaatnya ? maka jawaban yang paling singkat
adalah Ingin lebih atau setidak-tidaknya sama dengan yang lain adalah merupakan sifat dan
naluri manusia. Karenanya ia membanding-bandingkan yang ada padanya dengan yang lain
itu. Jika Ia berpendapat bahwa yang ada padanya itu perlu ditingkatkan, maka ia akan
berusaha ke arah itu. Kemajuan peradaban manusia yang sudah sedemikian hebatnya
sekarang ini adalah juga sebagai kelanjutan dari kegiatan memperbandingkan itu. Kegiatan
memperbandingkan itu juga berlaku dibidang hukum dalam hal ini dibidang hukum Pidana.
Apabila kita memperbandingkan hukum pidana kita dengan hukum pidana dari
negara lain, terutama dari negara-negara tetangga ; seberapa manfaat akan dapat kita petik
antara lain.
Kita akan dapat melihat dan merasakan kekuatan dan kelemahan dari hukum kita
sendiri. Dalam hal ini perlu digaris bawahi bahwa hukum Pidana kita yang berlaku dewasa
ini adalah warisan dari jaman Belanda dan resminya masih dalam bahasa Belanda. Sekalipun
sudah tambal-sulam disana-sini namun masih perlu pembaharuan.
1. Dengan lebih mengenal kekuatan dan kelemahan itu niscaya akan timbul
gagasangagasan untuk memperbaiki kelemahan itu yang jika perlu mempelajari
“kekuatankekuatan” yang terdapat dalam hukum pidana asing itu, lalu dinilai
kesesuaiannya dengan kebutuhan kita.
2. Dengan mempelajari jiwa dari hukum pidana asing itu dalam perbandingannya
dengan yang kita miliki, juga akan meningkatkan “cipta rasa” hukum dan sekaligus
memperluas cakrawala pandangan kita.
3. Dalam banyak hal, hukum pidana itu bersifat universal. Artinya suatu tindakan
yang kita pandang sebagai kejahatan, juga dipandang sebagai kejahatan diluar
negeri. Namun dalam beberapa hal, yang kita pandang sebagai kejahatan, belum
tentu di negara asing dipandang demikian. Misalnya menyebarluaskan ajaran
komunis adalah merupakan kejahatan di Indonesia akan tetapi di negara asing
belum tentu.
4. Tidak kalah pentingnya ialah Pengetahuan dalam rangka perbandingan itu dapat
digunakan sebagai bahan untuk memperbaharui hukum pidana kita.
Sebagai suatu contoh : Kasus OKI

Amerika dan Indonesia timbul masalah, apakah hukum Amerika yang diberlakukan
atau dengan kata lain apakah Ia harus diadili di Amerika ataukah hukum Indonesia yang
diberlakukan dan dengan demikian, Ia diadili di Indonesia.
Dalam kasus ini timbul suara-suara yang menyangkut masalah tempat akan diadili
dengan masalah perlindungan kepada Warga Negara Indonesia. Artinya OKI harus diadili di
Indonesia, demi untuk melindungi dari peradilan negara lain, yang mungkin jauh lebih keras.
Jadi warga negara kita itu harus dilindungi walaupun Ia terdakwa telah melakukan
pembunuhan yang sangat mengerikan. Dengan demikian, bukan masalah penegakan
keadilan yang diutamakan tetapi “harga diri sebagai suatu bangsa dalam negara yang
berdaulat”.
Di sini bukan masalah hukum yang menjadi kata penghabisan tetapi masalah non
hukum. Dilihat daari segi hukum secara murni ia dapat diadili di Indonesia berdasarkan
pasal 5 KUHP dan pasal 86 KUHP dan dapat pula diadili di Amerika Serikat, karena locus
delicti pembunuhan adalah di Amerika. Dilihat dari segi pembuktian (evidence) jelas akan
lebih mudah persidangannya jika kasus diadili di Amerika.
Hal itu menyangkut kasus pembunuhannya, jika terjadi kasus lain, misalnya jaringan
Narkotika pengedar Narkotika, suatu masalah yang ditakuti oleh orang Amerika, maka jelas
harus diadili di Amerika, baik karena locus delicti-nya daan pembuktiannya ada di Amerika,
juga locus domini-nya (kerugian yang timbul) adalah dipikul oleh Amerika. Jadi dilihat dari
segi ini OKI akan jauh lebih beruntung jika diadili di Indonesia.
Terdapat berbagai istilah asing mengenai Perbandingan Hukum ini antara lain ;
Comparative Law, Comparative Jurisprudence, Foreign Law (istilah Inggris) ; Droit
Compare (istilah Perancis); Rechtgelijking (istilah Belanda) dan Rechverleichung atau
Vergleichende Rechlehre (istilah Jerman).
Perbandingan hukum sebagai suatu metode mengandung arti, bahwa Ia merupakan
suatu cara pendekatan untuk lebih memahami suatu obyek atau masalah yang diteliti.
Asas Legalitas dalam KUHP Korea dirumuskan dalam Pasal 1 dengan sub judul
Criminality and Punishment yang terdiri dari tiga ayat sebagai berikut :
(1) What constitutes a crime and what punishment is to be imposed therefore, shall be
determined in accordance with the law in force at the time of commission.
(Kriminalitas dan pemidanaan suatu perbuatan harus ditentukan dari Undang-Undang
yang mendahului saat dilaksanakan perbuatan itu).
(2) Where statute is changed after a crime has been committed with the effect that the
conduct no longer constitutes a crime or that the punishment imposed upon it is
less severe than provided for by the old statute, the new statute shall be applied.
(Jika Undang-Undang diubah setelah pelaksanaan suatu delik dan karenanya
perbuatan itu bukan lagi merupakan suatu perbuatan (berdasarkan Undang-
Undang baru) menjadi lebih ringan dari pada Undang-Undang sebelumnya, maka
UndangUndang baru yang diterapkan).
(3) Where a statute is changed after a sentence after imposed under it upon a criminal
conduct has become final, with the effect that such conduct no longer constitutes a
crime, the execution of the punishment shallbe remitted.
(Jika suatu Undang-undang diubah setelah penjatuhan pidana dibawah
UndangUndang lama dan telah mempunyai kekuatan tetap, dimana perbuatan
tersebut bukan lagi merupakan delik pidana, maka pelaksanaan pidana dapat
dikurangi.13
13 www.Azaz legalitas KUHAP asing.com di akses tanggal 28 januari 2021 pukul 19.45
Perumusan ayat (1) KUHP Korea diatas, pada prinsipnya sama dengan Pasal 1 ayat
(1) KUHP Indonesia yang mengandung asas lex temporis delicti.
Ayat (2) pada prinsipnya juga sama dengan Pasal 1 (2) KUHP Indonesia yang
mengatur masalah retro-aktif dalam hal ada perubahan Undang-Undang. Menurur KUHP
Korea, Undang-Undang baru dapat diterapkan berlaku surut (retro-aktif).
Apabila :

1. Ada perubahan Undang-Undang setelah kejahatan dilakukan.

2. Perubahan itu menyebabkan; perbuatan yang bersangkutan tidak lagi merupakan


kejahatan atau pidana yang diancamkan menjadi lebih ringan.
Jadi perbedaannya dengan Indonesia terletak pada perumusannya. Dalam KUHP
Indonesia tidak ada perumusan tegas mengenai arti atau ruang lingkup dari “perubahan
perundang-undangan”, sedangkan dalam KUHP Korea ada penegasan mengenai hal itu,
yaitu mencakup dua hal :
a. Perubahan terhadap “perbuatan yang dapat dipidana”, yaitu semula merupakan

tindak pidana (kejahatan) kemudian berubah menjadi “bukan tindak


pidana/kejahatan”.
b. Perubahan terhadap “pidana yang diancamkan”, yaitu semula lebih berat menjadi
lebih ringan.
Ayat (3) di atas mengatur tentang adanya perubahan Undang-Undang setelah adanya
putusan pemidanan yang berkekuatan tetap. Apabila menurut Undang-Undang baru itu.
Perbuatan yang telah dijatuhi pidana berdasarkan Undang-Undang lama tidak lagi
merupakan tindak pidana (kejahatan), maka pelaksanaan atau eksekusi pidana itu
dibatalkan/dihapuskan. Ketentuan seperti ini tidak ada dalam KUHP Indonesia. Menurut
KUHP Indonesia, jangkauan berlakunya pasal 1 (2) KUHP hanya sampai pada putusan yang
berkekuatan tetap.
Walaupun hal ini tidak dirumuskan dengan tegas, tetapi jelas terlihat di dalam
praktek yurisprudensi selama ini, yaitu pasal 1 (2) itu dapat digunakan pada tingkat banding
di Pengadilan Tinggi atau pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Apabila setelah putusan
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung berkekuatan tetap, kemudian
keluar Undang-Undang baru yang menyatakan bahwa perbuatan yang pernaH diputus itu
tidak lagi merupakan tindak pidana, maka pidana yang telah dijatuhkan dan berkekuatan
tetap itu tetap harus dijatuhkaan atau dieksekusi. Jadi terpidana yang sedang menjalani masa
pidananya itu tidak dibebaskan. Lain halnya di Korea, orang itu harus dibebaskan.
Ketentuan mengenai Asas Legalitas dalam KUHP Thailand diatur dalam Pasal 2
Aturan Umum Buku I yang berbunyi sebagai berikut :
“A person shallbe criminally punished only when the act done by him is provided to
be an offence and the punishment is defined by the law in force at the time of the doing
such act, and the punishment to be inflicted upon the offender shall be that provided by
the law, if according to the law provided afterward, such act is no more an offence, the
person doing such act shall be relieved from being an offender, and, if there is a final
judgment inflicting the punishment, such person be deemed as not having ever been
convicted by the judgement for committing such offence. If, however, he is still under
going the punishment, the punishment shall forth with terminate.”
“(Seseorang hanya akan dijatuhi pidana apabila perbuatan yang dilakukan olehnya
ditentukan sebagai suatu delik dan pidananya ditentukan oleh Undang-Undang yang
berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan, dan pidana yang dikenakan kepada
pelanggaran ditentukan oleh Undang-Undang.
Bahwa perumusan Pasal 2 ayat (1) di atas, jelas terlihat bahwa KUHP Thailand pun
menganut prinsip lex temporis delicti. Ketentuan ayat (2) mengatur adanya perubahan
undang-undang, khususnya dalam hal Undang-Undang baru menyatakan bahwa perbuatan
yang diatur oleh Undang-Undang lama tidak lagi merupakan tindak pidana menurut
UndangUndang baru. Dalam hal demikian ada dua kemungkinan :
1. Dalam hal belum ada putusan berdasarkan Undang-Undang lama, maka Terdakwa
akan dibebaskan sebagai pelanggar (karena menurut Undang-Undang baru
perbuatannya tidak lagi merupakan tindak pidana).
2. Dalam hal sudah ada putusan pemidanaan yang final (berkekutan tetap)
berdasarkan Undang-Undang lama, maka ;
a) Apabila pidana belum dijalani/dilaksanakan pidana, Terdakwa dianggap
sebagai belum perna dipidana; atau.
b) Apabila Terdakwa sedang menjalani pidana itu (sebagian), pidananya (yang
selebihnya itu) akan segera dihentikan atau diakhiri.
Bagaimana apabila menurut Undang-Undang baru, perbuatan yang diatur oleh
Undang-Undang lama itu tetap dipandang sebagai tindak pidana? Mengenai hal ini. Pasal 3
KUHP Thailand menegaskan bahwa Undang-Undang yang lebih menguntungkan si
pelanggar yang akan diterapkan, kecuali apabila perkara itu telah final artinya telah
mendapat putusan yang berkekuatan tetap berdasarkan Undang-Undang lama.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berangkat dari uraian keseluruhan pembahasan diatas, penyusun dapat mengambil


kesimpulan tentang asas legalitas yang terdapat pada perumusan masalah yaitu, sebagai
berikut :
Asas legalitas dalam hukum pidana postif Indonesia merupakan asas yang sangat
fundamental. Karena asas legalitas dalam hukum pidana penting untuk menentukan
apakah suatu peraturan hukum pidana dapat diperlakukan terhadap tindak pidana yang
terjadi. Jadi apabila terjadi suatu tindak pidana maka akan dilihat apakah terhadap
ketentuan hukum yang mengaturnya dan apakah aturan yang telah ada tersebut dapat
diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Maka dengan dengan diterapkannya
asas legalitas tersebut para hakim tidak bisa bertindak sekehendaknya atau semenamena.
Sedangkan dalam hukum pidana Islam asas legalitas mempunyai pengaruh yang
besar terhadap kekuasaan hakim, karena kekuasaan hakim sangat luas dibanding dengan
hakim pada hukum positif dimana hakim tidak mempunyai kekuasaan yang cukup untuk
bertindak terhadap pembuat kejahatan sesuai dengan kepentingan umum. Asas legalitas
dalam bahasa latinnya disebit dengan “Nullum Delictum Nolla Poena, Sine Praevia Legi
Poenali” yang artinya tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undnagan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Asas
legalitas ini dirumuskan dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Pada prinsipnya hukum pidana
positif dan hukum pidana Islam adalah sama tetapi dalam penerapannya yang berbeda.
Perbandingan mengenai asas legalitas antara hukum Islam dengan hukum hukum
positif. Seperti yang telah dijelaskan didepan bahwa penerapan asas legalitas pada hukum
pidana positif dan hukum pidana Islam mempunyai persamaan dan perbedaan.
Persamaannya adalah sama-sama memberlakukan asas legalitas dalam proses hukum
sedangkan dalam perbedaannya adalah bahwa hukum pidana positif dalam penerapannya
sama terhadap delik, sedangkan pada hukum pidana Islam dibedakan antara jarimah
qishas diyat, hudud, diterapkan secara kuat, sedangkan pada jarimah ta’zir diperlonggar
sehingga kemaslahatan masyarakat terpenuhi. Selain mempunyai persamaan dan
perbedaan tersebut diatas asas legalitas juga mempunyai kelebihan dan kelemahan antara
lain dalam hukum Islam ketentuan pidananya tidak dapat dirubahrubah
(ditambah/dikurangi) karena sudah ketentuan dari Allah yang bersifat baku, sedangkan
dalam hukum positif ketentuan pidananya suatu saat dapat berubah sesuai dengan
perkembangan zaman.

B. Saran

Diharapkan penegak hukum jangan hanya terpaku kepada perundang-undangan yang


tertulis semata, namun pertimbangkanlah rasa keadilan. Kepentingan masyarakat
serta kepentingan moral agar Negara dan bangsa Indonesia menjadi suatu dambaan
bagi manusia Indonesia yang mendambakan keadilan dan kemakmuran.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Mujiono, Dialektika Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Solo, UMS Press, 2003.
Adami,Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (stelsel pidana, tindak pidana, teori-teori
pemidanaan dan batas berlakunya hukum pidana), Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2002.
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, cet.ke-3, Jakarta, Sinar Grafika, 2002.
Erdiant Effendi, Hukum Pidana di Indonesia, Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung,
2016.
Fuad Usfa, dkk, Pengantar Hukum Pidana , UMM, Pres, 2004.
Jan Remelink, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab
UndangUndang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Kadri Husin dan Budi Riski Husin, Sistem peradilan Pidana di Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika, 2016.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 1993.

Nanang Sambas, Perkembangan Hukum Pidana dan Asas-asas dalam RKUHP, Refika
Aditama, Bandung, 2019.
Sri Endah Wahyuningsih, Prinsip-Prinsip Individualisasi Pidana Dalam Hukum Pidana Islam
dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Kedua, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 2013.

Anda mungkin juga menyukai