Anda di halaman 1dari 20

1

NAMA : HINDA WARDA SAKINAH


SEMESTER :I
FAKULTAS : HUKUM
DOSEN PEMBIMBING : BPK. YUDHIA ISMAIL, SH. MHum.
MATA KULIAH : PIH

ASAS-ASAS HUKUM
1. Nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali (asas legalitas):
‘Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, sebelum didahului oleh suatu
peraturan.’
Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) Terdapat
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas
perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada
terlebih dahulu.
Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori :
“vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)” dimana adagium : nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
1. Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
2. Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
3. Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang
pidana yang terlebih dulu ada).
Adagium ini menganjurkan supaya :
1. Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan
saja tentang macamnya perbuatan yang harusdirumuskan dengan jelas, tetapi juga
macamnya pidana yang diancamkan;
2. Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatanyang dilarang
itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan kepadanya
jika nanti betul-betul melakukan perbuatan;
3. Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak
berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka
dinpandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Contoh:
Keadilan bagi korban salah tangkap. Mereka kembali bisa menghirup kebebasan.
Namun, fenomena itu lagi-lagi memperlihatkan betapa kerdilnya kedudukan warga di
2

hadapan kekuasaan negara. Bagaimanapun, dalam negara demokrasi, keadilan dan


kebenaran haruslah terbuka untuk setiap warga. Negara wajib melaksanakan asas
legalitas, yaitu memberi ganti rugi dan merehabilitasi nama baik warga yang menjadi
korban salah tangkap.

2. Eidereen wordt geacht de wette kennen:


‘Setiap orang dianggap mengetahui hukum. Artinya, apabila suatu undang-undang
telah dilembarnegarakan (diundangkan), maka undang-undang itu dianggap telah
diketahui oleh warga masyarakat, sehingga tidak ada alasan bagi yang melanggarnya
bahwa undang-undang itu belum diketahui berlakunya.’
Banyak keluhan dari masyarakat yang ketika tanpa sadar melanggar suatu peraturan
baru/Undang-Undang baru, menuding bahwa pihak pemerintah minim sosialisasi
terkait pemberlakuan suatu Undang-Undang/Peraturan baru. Padahal baik melalui
media, surat kabar dan media-media lainnya sosialisasi tersebut sudah sangat
maksimal. Pada kenyataannya dapat saya simpulkan bahwa bukan pemerintah yang
kurang maksimal melakukan sosialisasi atas suatu pemberlakuan Undang-Undang
baru, melainkan memang masyarakat sendiri yang tidak mau tahu hukum.
Hal tersebut merujuk pada minat baca masyarakat Indonesia yang tergolong dibawah
rata-rata atau sangatlah rendah, survei dari Unesco tak sampai satu judul (buku) per
orangnya pertahun (yang di baca) Sindonews.com/2015.

3. Lex superior derogat legi inferiori:


‘Hukum yang tinggi lebih diutamakan pelaksanaannya daripada hukum yang rendah.
Misalnya, undang-undang lebih diutamakan daripada peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (Perpu) atau peraturan pemerintah (PP), keputusan presiden, begitu
seterusnya.’
Dalam kerangka berfikir mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan,
pasti tidak terlepas dalam benak kita menganai Teori Stuffen Bow karya Hans Kelsen
(selanjutnya disebut sebagai ”Teori Aquo”). Hans Kelsen dalam Teori Aquo
mambahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat bahwa norma-
norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata
susunan.Yaitu digunakan apabila terjadi pertentangan, dalam hal ini yang
diperhatikan adalah hierarkhi peraturan perundang-undangan, misalnya ketika terjadi
3

pertentangan antara Peraturan Pemerintah (PP) dengan Undang-undang, maka yang


digunakan adalah Undang-undang karena undang-undang lebih tinggi
derajatnya.Teori Aquo semakin diperjelas dalam hukum positif di Indonesia dalam
bentuk undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sekarang ini hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut ketentuan
UU No.12 Tahun 2011 adalah ; ” Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
terdiri atas:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah Provinsi; dan
6. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Bagi peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi, maka dapat dilakukan Judicial Review (uji material) yang diajukan melalui
gugatan dan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

4. Lex specyalist derogat legi general:


‘Hukum yang khusu lebih diutamakan daripada hukum yang umum. Artinya, suatu
ketentuan yang bersifat mengatur secara umum dapat dikesampingkan oleh ketentuan
yang lebih khusus mengatur hal yang sama.’
Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia (hal.
56), sebagaimana kami kutip dari artikel yang ditulis A.A. Oka Mahendra berjudul
Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, ada beberapa prinsip yang harus
diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu:
1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku,
kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex
generalis (undang-undang dengan undang-undang);
3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim)
yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum
keperdataan.
4

Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai asas lex specialis derogat


legi generalis:
Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula
dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang:
“Selama dalam Kitab Undang-undang ini terhadap Kitab Undang-undang Hukum
Perdata tidak diadakan penyimpangan khusus, maka Kitab Undang-undang Hukum
Perdata berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam Kitab Undang-undang
ini.”
Contoh:
dalam pasal 18 UUD 1945, gubernur, bupati, dan wali kota harus dipilih secara
demokratis. Aturan ini bersifat umum (lex generalis). Pasal yang sama juga
menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus (lex specialis), sehingga
keistimewaan daerah yang gubernurnya tidak dipilih secara demokratis seperti Daerah
Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan.

5. Lex posteriori derogat legi priori:


‘Peraturan yang baru didahulukan daripada peraturan yang lama. Artinya, undang-
undang baru diutamakan pelaksanaannya daripada undang-undang lama yang
mengatur hal yang sama, apabila dalam undang-undang baru tersebut tidak mengatur
pencabutan undang-undang lama.’
Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan
asas ini peraturan yang lama tidak berlaku lagi. Biasanya dalam peraturan
perundangan-undangan ditegaskan secara ekspilist yang mencerminkan asas ini.
Contoh:
Dalam Pasal 76 UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas dalam Ketentuan penutup
disebutkan bahwa Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang
Nomor 48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran
Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2103) dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.
5

6. Lex dura, sed temen scripta:


‘Peraturan hukum itu keras, karena wataknya memang demikian.’
Dapat juga diartikan bahwa undang-undang termasuk putusan pengadilan terkadang
bisa salah, namun harus dianggap benar (Selengkapnya lihat: Putusan Pengadilan
Negeri Bangil Nomor 01/Pdt./G./2010/PN. Bgl., hlm. 28).
Asas “Lex Dura sed Tamen Scripta(undang-undang itu kejam, tapimemang
demikianlah bunyinya)” merupakan salah satu pilar untuk menjamin terselenggaranya
kepastian hukum (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Agung Nomor 104
K/Pdt.Sus/2012, hlm. 6). Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi apabila terlalu mengejar
kepastian hukum, terlalu ketat dalam mentaati peraturan hukum akibatnya akan
menjadi kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Undang-undang terasa kejam
apabila dilaksanakan secara ketat:lex dura, secta mente scripta, yaitu undang-
undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya (Selengkapnya lihat Putusan
Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 155/PID.SUS/2013/PN.CMS, hlm. 63).
Betapapun kerasnya hukum itu ia tetaplah hukum yang harus dipatuhi. Itulah arti lain
dari lex dura sed tamen scripta (Selengkapnya lihat: Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Semarang Nomor 17/G/2015/PTUN-Smg., hlm. 157). Hukum harus
dilaksanakan dan ditegakan. Bagaimanapun hukumnya itulah yang harus berlaku dan
harus dilaksanakan serta tidak boleh menyimpang. Demikian menurut adagium "lex
dura sed tamen scripta" (hukum adalah keras dan memang itulah bunyinya atau
keadaannya, semua demi kepastian dalam penegakannya). Dengan cara demikian,
maka ada kepastian hukum dan kepastian hukum itu akan menciptakan tertib
masyarakat. Sehingga dengan menegakan hukum maka sama artinya dengan
menegakan undang-undang (Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Agung
Nomor1790 K/Pdt/2012, hlm. 33).
Selain hal tersebut di atas “lex dura secte mente scripta“ juga berarti hukum itu kaku
dan telah tertulis. Oleh karena itu, semua orang tidak dapat mengubahnya.
Sehinggadengan demikian sebagai pelaksana undang-undang termasuk hakim ataupun
penegak hukum yang lainnya harus melaksanakan secara murni dan
konsekuen(Selengkapnya lihat: Putusan Mahkamah Agung Nomor 1069 K
/Pid.Sus/2014, hlm. 11).
Ketentuan Pasal 10 KUHP(tentang jenis-jenis hukuman):
6

1.hukumanpokok:
–hukumanmati
–hukumanpenjara
–hukumankurungan
–hukumandenda
2.hukumantambahan:
–pencabutanhak-haktertentu
– perampasan barang-barang hasil kejahatan

7. Summum ius summa iniuria:


‘Kepastian hukum yang tertinggi, adalah ketidak adilan yang tertinggi.
Bisa diduga, mereka sadar akan adanya potensi ketidakadilan yang inheren dalam
rumusan hukum. Potensi itu ada terutama karena tegangan di antara dua cita-cita
kembar hukum, kepastian dan keadilan. Menekankan yang satu lebih dari yang lain
berarti pengkhianatan, dan berarti busuknya hukum.’
Secara mudah bisa dikatakan, potensi ketidakadilan terjadi karena kalimat hukum
tidak mampu menampung seluruh ide keadilan masyarakat. Ada "ketidakpenuhan",
dan ketidakpenuhan ini memberi tempat pada potensi ketidakadilan itu. Ada empat
faktor penting yang membuat hukum tidak adil pada dirinya.
1. mekanisme keterwakilan setiap unsur masyarakat dalam kontrak sosial itu hampir
tidak mungkin bisa sempurna, apalagi dalam sebuah negara yang begitu besar
seperti Indonesia. Hal ini akan menjadi makin jauh dari ideal bila undang-undang
politik suatu negara menghalangi peran serta beberapa golongan masyarakat
tertentu. Perdebatan tentang electoral threshold partai-partai politik di Indonesia
adalah salah satu contoh bagaimana mekanisme keterwakilan masyarakat pun
tidak bisa memuaskan semua pihak.
2. bahasa. Hukum, dalam upaya menjadi milik publik dan dapat diakses masyarakat,
mau tidak mau perlu dirumuskan dalam kalimat. Jelas, kalimat itu tidak bisa
menampung seluruh idea keadilan, bahkan keadilan yang kompromis itu
sekalipun. Kalimat bukan hanya reduktif, tetapi juga statis. Artinya, rumusan baku
itu pun tidak bisa menampung dinamika perkembangan semantis idea keadilan
3. keterikatan hukum dalam suatu dimensi ruang tertentu. Artinya, pandangan-
pandangan keadilan yang dibawa para wakil golongan untuk dibicarakan itu tidak
mungkin mewakili seluruh pandangan masyarakat yang beragam. Dalam
7

masyarakat yang besar dengan daerah yang luas, makin jauhlah mekanisme
keterwakilan itu dari ideal.
4. keterikatan hukum dalam dimensi waktu. Paralel dengan keterikatan hukum
dengan dimensi ruang, dalam bentangan waktu, pandangan keadilan dari
masyarakat yang kini terjadi, yang kemudian ditampung dalam rumusan hukum,
tidak akan bisa mewakili pandangan keadilan yang akan terjadi di masa datang.
Seiring dengan dinamika sosial masyarakat (politik, ekonomi, dan budaya),
pandangan tentang keadilan pun bersifat dinamis. Hukum yang ditetapkan lalu
akan selalu ketinggalan zaman.
Contoh:
Kita lihat saja, di Republik ini kebanyakan wakil rakyat berkedudukan di Jakarta.
Hanya sesekali saja mereka datang ke daerah pemilihan mendengarkan aspirasi rakyat
yang sesungguhnya. Dengan itu, makna semantis keadilan dari seorang wakil rakyat
bisa amat berbeda dengan makna yang dikehendaki rakyat yang diwakilinya. Pun, hal
itu bisa berarti, produk hukum yang dihasilkan tidak mungkin bisa menjawab semua
kasus yang mungkin muncul di tempat lain.

8. Ius curia novit:


‘Hakim dianggap mengetahui hukum. Artinya, hakim tidak boleh menolak mengadili
dan memutus perkara yang diajukan kepadanya, dengan alasan tidak ada hukumnya
karena ia dianggap mengetahui hukum.’
Prinsip ini juga ditegaskan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) sebagai berikut:
1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha
penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.”
Hakim sebagai organ pengadilan.
a. Dianggap memahami hukum;
b. Oleh karena itu harus memberi pelayanan kepada setiap pencari keadilan yang
memohon keadilan kepadanya;
c. Apabila hakim dalam memberi pelayanan menyelesaikan sengketa, tidak
menemukan hukum tertulis, hakim wajib menggali hukum tidak tertulis untuk
8

memutus perkara berdasar hukum sebagai orang yang bijaksana dan


bertanggungjawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat,
bangsa dan negara.
Berdasarkan adagium Ius Curia Novit/Curia Novit Jus, hakim dianggap mengetahui
dan memahami segala hukum. Dengan demikian, hakim yang berwenang menentukan
hukum objektif mana yang harus diterapkan (toepassing) sesuai dengan materi pokok
perkara yang menyangkut hubungan hukum pihak-pihak yang berperkara
dalam konkreto. Karena itu soal menemukan dan menerapkan hukum objektif, bukan
hak dan kewenangan para pihak, tetapi mutlak menjadi kewajiban dan kewenangan
hakim. Para pihak tidak wajib membuktikan hukum apa yang harus diterapkan, karena
hakim dianggap mengetahui segala hukum.
Prinsip Ius Curia Novit/Curia Novit Jus pada dasarnya hanya teori dan asumsi. Dalam
kenyatannya anggapan itu keliru, karena bagaimanapun luasnya pengalaman seorang
hakim, tidak mungkin mengetahui segala hukum yang begitu luas dan kompleks.
Namun, adagium itu sengaja dikedepankan untuk mengokohkan fungsi dan kewajiban
hakim agar benar-benar mengadili perkara yang diperiksanya berdasarkan hukum,
bukan di luar hukum.
Namun, adagium ini mengandung sisi negatif berupa arogansi dan kecerobohan.
Timbul perasaan super, dan menganggap sepi kebenaran hukum objektif yang
dikemukakan para pihak, dan merasa dirinya tahu segala hal dengan alasan, hakim
paling tahu segala hukum.
Padahal yang menyangkut hukum bisnis yang berkenaan dengan transaksi berskala
internasional, barangkali pengetahuan hakim sangat terbatas. Menghadapi hal yang
demikian, hakim harus berani membuang jauh-jauh perasaan super, dan mau
menerima dasar-dasar hukum yang dikemukakan para pihak agar putusan yang
dijatuhkan tidak menyimpang dari ketentuan dan jiwa hukum objektif yang
sebenarnya.
Untuk mendekatkan putusan hakim dengan rasa keadilan , maka hakim tidak boleh
hnaya sekedar menerapkan bunyi suatu kaidah hukum. Hakim harus memahami
secara sungguh-sungguh kandungan makna dan tujuan suatu kaedah . dengan
demikian dapat menentukan apakah perbedaan penerapannya akan memberi keadilan
atau tidak. Dengan kata lain untuk mendekati rasa keadilan, hakimdalam perkara
pidana, perdata, atau administrasi tidak boleh hanya berorientasi pada pengertian dan
9

pendekatan formal. Fakta-fakta dan kebenaran yang bersifat materiil dan menjadi
bahan menemukan hukum yang tepat.

9. Presumption of innosence (praduga tak bersalah):


‘Seseorang tidak boleh disebut bersalah sebelum dibuktikan kesalahannya melalui
putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.’
Asas praduga tak bersalah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (“KUHAP”) danUndang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”).
Dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam Penjelasan Umum
KUHAP butir ke 3 huruf c yaitu:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di
muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Sedangkan dalam UU Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8
ayat (1), yang berbunyi:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan
pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Salah satu buku yang membahas mengenai asas praduga tak bersalah
adalah “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan
Penuntutan” yang ditulis M. Yahya Harahap, S.H. Dalam buku tersebut, mengenai
penerapan asas praduga tak bersalah, Yahya Harahap menulis sebagai berikut (hal.
34):
“Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat
martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan
manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi
objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan
ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak
bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.”
Dalam artikel Asas Praduga Tak Bersalah Tidak Bisa Diartikan Secara Letterlijk,
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti Prof. Andi Hamzah berpendapat
bahwa asas presumption of innocent (praduga tidak bersalah) tidak bisa diartikan
secara letterlijk (apa yang tertulis). Menurutnya, kalau asas tersebut diartikan
10

secara letterlijk, maka tugas kepolisian tidak akan bisa berjalan. Prof. Andi
berpandangan, presumption of innocent adalah hak-hak tersangka sebagai manusia
diberikan. Hak-hak yang dia maksud misalnya kawin dan cerai, ikut pemilihan dan
sebagainya.

10. Res judicata proveri tate habetur:


‘Setiap putusan pengadilan/ hakim adalah sah, kecuali dibatalkan oleh pengadilan
yang lebih tinggi.’
Mengacu pada uraian Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Penemuan
Hukum Sebuah Pengantar (hal. 7), yang menyebutkan berbagai macam asas hukum,
salah satunya res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim
harus dianggap benar.
Lebih lanjut Sudikno (Ibid, hal. 9) menjelaskan bahwa “Res Judicata Pro Veritate
Habetur” memiliki arti bahwa putusan hakim harus dianggap benar. Jika saksi palsu
diajukan dan hakim memutus perkaranya berdasarkan saksi palsu tersebut, jelas
putusannya tidak berdasarkan kesaksian yang benar, tetapi harus dianggap benar,
sampai memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau diputus lain oleh pengadilan
yang lebih tinggi (kalau dimintakan banding atau kasasi).
Dalam sebuah tulisan berjudul Kebebasan Hakim vs Pencari Keadilan yang kami
akses dari laman resmi Pengadilan Agama Purwakarta dikatakan bahwa suburnya
praktik mafia peradilan di negeri ini selalu bersumber dari bentuk penyalahgunaan
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Ada prinsip hukum
bernama Res Judicata Pro Veritate Habetur yang artinya “putusan hakim harus
dianggap benar” dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Prinsip ini menempatkan sang
hakim sangat penting dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Oleh karenanya
kualitas keadilan dari setiap putusan yang dijatuhkan sang hakim sangat bergantung
dari kualitas hubungan baiknya atau ketaqwaannya dengan Tuhan Yang Maha Esa.

11. Unus testis nullus testis:


‘Hakim harus melihat suatu persoalan secara objektif dan mempercayai keterangan
saksi minimal dua orang, dengan keterangan yang tidak saling kontradiksi.’
Menurut Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dimaksud dengan saksi
11

adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,


penuntutandan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiridan ia alami sendiri.
Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti menurut Pasal 184 ayat (1)
KUHAP. Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: Alat bukti yang sah ialah: a.
keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; dan e. keterangan terdakwa.
Menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, ditegaskan bahwa: Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Diadili dengan satu saksi saja, tidak ada alat bukti lain, maka orang yang
bersangkutan akan bebas, unus testis, nulus testis satu saksi bukan saksi, kecuali
diperkuat dengan alat bukti lain
Contoh:
Perdebatan hukum terjadi antara penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dengan penasihat hukum terdakwa Nunun Nurbaetie. Setelah kesempatan
pihak terdakwa menanggapi tuntutan penuntut umum, giliran jaksa pada KPK
berupaya meneguhkan tuntutan mereka pada terdakwa. Upaya itu dilakukan penuntut
umum dengan membacakan tanggapan (replik) atas pembelaan tim pembela Nunun,
di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (2/5).
Menurut Jaksa Siswanto, pledooi penasihat hukum terdakwa yang menyatakan bahwa
kesaksian Abdul Hakim Syafari MJ alias Arie Malang Judo dan Ngatiran merupakan
kesaksian tunggal haruslah ditolak. Alasannya karena keterangan kedua saksi tersebut
di persidangan saling berhubungan satu sama lain. Hal ini, lanjut Siswanto, sesuai
dengan ketentuan Pasal 185 ayat (4) KUHAP. “Mengenai kesaksian berantai
(kettingbewijs) bahwa keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri dapat
digunakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu saling berhubungan
satu sama lain sehingga membenarkan suatu kejadian,” ujarnya.
Siswanto mengatakan, asas unus testis nullus testis ini sering disalahartikan sejumlah
orang. Karena jika asas ini benar-benar diterapkan secara lurus, berdampak pada
sulitnya pembuktian sebuah kasus pidana. Padahal, keterangan satu saksi bisa
diperkuat dengan kesaksian yang lain dan menjadi sebuah alat bukti yang sah.
Menurut Siswanto, Arie dan Ngatiran yang menerangkan adanya perintah dari
terdakwa untuk memberikan ucapan tanda terima kasih ke anggota DPR periode
12

1999-2004 bukanlah kesaksian tunggal yang tidak didukung alat bukti lain.
Melainkan, kesaksian yang saling berkesuaian satu dengan lainnya dan dibuktikan
dengan adanya empat kantong paper bag berisi Traveller Cheque (TC).
Terkait perampasan aset terdakwa sebesar Rp1 miliar, kata Jaksa Andi Suharlis,
pihaknya tetap pada tuntutannya. Alasannya karena di persidangan terdakwa tidak
bisa membuktikan jika uang tersebut tak berasal dari 480 lembar TC.
Hal ini sesuai dengan Pasal 37 A UU Pemberantasan Korupsi, bahwa terdakwa wajib
memberikan keterangan tentang seluruh hartanya yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang didakwakan. “Maka itu, keberatan penasihat hukum haruslah
dikesampingkan atau ditolak,” ujar Andi. Sekadar untuk diketahui, pasal ini dijadikan
landasan jaksa KPK untuk menuntut hakim Syarifuddin. Namun, majelis hakim yang
menyidangkan perkara itu tak mengabulkan. Pertimbangan utama adalah karena pasal
itu tak dimasukkan dalam surat dakwaan.

12. Audit et atteram partem:


‘Hakim haruslah mendengarkan para pihak secara seimbang sebelum menjatuhkan
putusannya.’
Penerapan asas Audi et alteram Partem dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
pertama adanya panggilan sidang oleh panitera Pada pembuktian, panggilan
ditujukan kepada kedua belah pihak untuk hadir dimuka persidangan guna
menunjukkan bukti-bukti yang memperkuat dalil-dalil apa yang telah disampaikan
oleh para pihak. Kedua, sebutan “penggugat” dan “tergugat” terhadap para pihak
pada saat sidang sehingga kedudukan para pihak sama sebagai pihak yang
berperkara. Ketiga, dalam pengajuan alat bukti, pihak Penggugat maupun Tergugat
mempunyai hak yang sama untuk mengajukan bukti-bukti.
Contoh:
Pada awal November tahun lalu. Ketika itu, sebanyak enam pasangan peserta Pemilu
Kada Kabupaten Konawe Utara merasa keberatan atas keputusan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Kabupaten, yang memenangkan pasangan Aswad-Ruksamin. Keenam
pasangan calon tersebut adalah Abdul Hamid Basir–Tamrin Pawani, Mustari
Muhammad–Nur Sinapoy, Apoda–Kahar, Herry Asiku–Andi Beddu, Hery
Hermansyah Silondae–Andi Syamsul Bahri, serta Slamet Riadi–Rudin Lahadi.
Mereka memohon agar MK membatalkan keputusan KPU Kabupaten tertanggal 14
Oktober 2010 yang memenangkan pasangan nomor urut 1 tersebut. Para pemohon
13

berdalil, pasangan Aswad-Rujsamin, telah melakukan pelanggaran administratif


maupun pidana Pemilu. Mereka menuding pelanggaran tersebut terjadi secara
terstruktur, sistematis, dan masif.
Pada 18 November 2010, MK mengeluarkan putusan sela. Isinya memerintahkan
KPU Kabupaten untuk menggelar pemungutan suara ulang di 15 Tempat Pemungutan
Suara (TPS), yang berada di 11 desa/kelurahan. Perintah tersebut terlaksana pada 25
Januari 2011. KPU Kabupaten Konawe Utara menyatakan, pasangan kandidat
Aswad-Ruksamin unggul telak dengan perolehan 2.327 suara atau sebesar 50,6% dari
total suara.
Laporan itu disampaikan Ketua KPU Kabupaten dalam sidang yang mengagendakan
pembacaan hasil pemungutan suara ulang di Kabupaten Konawe Utara, pada 10
Februari lalu. Namun, sebelum sidang itu digelar, pasangan Sudiro-Halna (Terkait 2),
mengajukan keberatan atas keputusan KPU Kabupaten tersebut, yang didaftarkan
kepada Panitera MK pada 2 Februari 2011. Pasangan tersebut berdalil, pada
pemungutan suara ulang itu terjadi pelanggaran yang sangat luar biasa dan jauh lebih
dahsyat dibandingkan pada saat Pemilu sebelumnya.

13. In dubio pro reo:


‘Apabila hakim ragu mengenai kesalahan terdakwa, hakim harus menjatuhkan
putusan yang menguntungkan bagi terdakwa.’
Asas in dubio pro reo sendiri sudah sering digunakan Mahkamah Agung (“MA”)
untuk memutus perkara, di antaranya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 33
K/MIL/2009 yang salah satu pertimbangannya menyebutkan bahwa:
“asas IN DUBIO PRO REO yang menyatakan jika terjadi keragu-raguan apakah
Terdakwa salah atau tidak maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi
Terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan.”
Selain itu, MA juga pernah berpendapat mengenai hubungan antara hukum acara
pidana dengan asas in dubio pro reo pada Putusan Mahkamah Agung No.
2175/K/Pid/2007 yang salah satu pertimbanganya menyatakan:
“...sistem pembuktian di negara kita memakai sistem "Negatief Wettelijk", yaitu
keyakinan yang disertai dengan mempergunakan alat-alat bukti yang sah menurut
Undang-Undang; Hal ini dapat terlihat pada Pasal 183 Undang-Undang No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana(“KUHAP”), yang berbunyi sebagai berikut:
"Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang, kecuali apabila
14

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan,


bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang
bersalah melakukannya"
Pertimbangan Putusan yang sama juga menyebutkan:
“Suatu asas yang disebut "IN DUBIO PRO REO" yang juga berlaku bagi hukum
pidana..... Asas ini tidak tertulis dalam Undang-Undang Pidana, namun tidak dapat
dihilangkan kaitannya dengan asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan" (“Geen Straf
Zonder Schuld") atau "Anwijzigheid van alle Schuld' yang sudah menjadi
yurisprudensi konstan dan dapat diturunkan dari Pasal 182 ayat (6) KUHAP”
Sedangkan Pasal 182 ayat (6) KUHAP sendiri menyebutkan:
“Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan
bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat
dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Putusan diambil dengan suara terbanyak;
b. Jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan yang dipilih
adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.”

14. Fair rial atau self incrimination:


Pemeriksaan yang tidak memihak, atau memberatkan salah satu pihak atau terdakwa.

15. Speedy adminitration of justice:


Peradilan yang cepat. Artinya, seseorang berhak untuk cepat diperiksa oleh hakim
demi terwujudnya kepastian hukum bagi mereka.
Telah dikatakan bahwa keadilan tertunda adalah keadilan ditolak. Percobaan cepat
adalah salah satu yang dilakukan sesuai dengan hukum prosedur pidana dan peraturan
perundang-undangan, bebas dari penundaan yang menjengkelkan, berubah-ubah dan
menindas. Tujuan awal dari hak konstitusional ini adalah untuk mencegah penindasan
terdakwa dengan menunda penuntutan pidana untuk jangka waktu yang tidak terbatas.
Hak terdakwa untuk melakukan persidangan cepat tidak dilanggar hanya dengan
penundaan sidang dengar pendapat yang dijadwalkan. Penundaan yang tidak disetujui
yang memperpanjang persidangan untuk jangka waktu yang tidak beralasan adalah
yang menyinggung hak terdakwa dengan pengadilan yang cepat. Hak atas
persidangan yang cepat memungkinkan kelanjutan yang masuk akal agar tidak
mencabut tuntutan penuntutan di pengadilan.
15

Dalam menentukan apakah hak atas "percobaan cepat" telah dilanggar, beberapa
faktor dapat dipertimbangkan dan saling seimbang satu sama lain. Ini adalah panjang
penundaan, alasan penundaan, penegasan hak atau kegagalan untuk menegaskannya,
dan prasangka yang disebabkan oleh penundaan tersebut. Faktor yang sama juga
dapat dipertimbangkan dalam menjawab penyelidikan pengadilan, apakah seseorang
yang secara resmi dikenai sanksi administrasi telah melanggar jaminan "kasus cepat
kasus".

16. The rule of law:


‘Semua manusia sama kedudukannya di depan hukum, atau kesamaan memperoleh
perlindungan hukum.’
Rule of law adalah prinsip hukum yang menyatakan bahwa hukum harus memerintah
sebuah negara dan bukan keputusan pejabat-pejabat secara individual. Prinsip tersebut
biasanya merujuk kepada pengaruh dan otoritas hukum dalam masyarakat, terutama
sebagai pengatur perilaku, termasuk perilaku para pejabat pemerintah.

17. Unus testis nullus tetis:


‘Satu saksi bukanlah saksi. Artinya keterangan saksi yang hanya satu orang terhadap
suatu kasus, tidak dapat dinilai sebagai saksi.’
Unus Testis Nullus Testis (satu saksi bukanlah saksi) merupakan asas yang menolak
kesaksian dari satu orang saksi saja. Dalam hukum acara perdata dan acara pidana,
keterangan seorang saksi saja tanpa dukungan alat bukti lain tidak boleh dipercaya
atau tidak dapat digunakan sebagai dasar bahwa dalil gugatan secara keseluruhan
terbukti. Prinsip ini secara tegas dianut oleh KUHAP dalam pembuktian [Pasal 185
ayat (2).
Menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP, disebutkan bahwa keterangan saksi sebagai alat
bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Berdasarkan penjelasan atas
Pasal 185 ayat (1) KUHAP, disebutkan bahwa dalam keterangan saksi tidak termasuk
keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.
Menurut Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya.
16

Menurut Pasal 185 ayat (3) KUHAP, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
185 ayat (2) KUHAP tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah
lainnya.
Menurut Pasal 185 ayat (4) KUHAP, keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-
sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti
yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain
sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan
tertentu.
Menurut Pasal 185 ayat (5) KUHAP, baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh
dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
Menurut Pasal 185 ayat (6) KUHAP, dalam menilai kebenaran keterangan seorang
saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: a. persesuaian antara
keterangan saksi satu dengan yang lain; b. persesuaian antara keterangan saksi dengan
alat bukti lain; c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tertentu; d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang
pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
Menurut penjelasan atas Pasal 185 ayat (6) KUHAP, disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan ayat ini ialah untuk mengingatkan hakim agar memperhatikan
keterangan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur dan obyektif.
Menurut Pasal 185 ayat (7) KUHAP, keterangan dari saksi yang tidak disumpah
meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila
keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat
dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

18. Nemo judex indoneus in propria:


‘Tidak seorang pun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri.
Artinya, seorang hakim dianggap tidak akan mampu berlaku objektif terhadap perkara
bagi dirinya sendiri atau keluarganya, sehingga ia tidak dibenarkan bertindak untuk
mengadilinya.’
Pembahasan asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa hanya dibatasi dalam ruang
lingkup Mahkamah Konstitusi. Asas tersebut merupakan satu dari beberapa asas yang
digunakan dalam hukum acara, asas tersebut diejawantahkan dalam prinisp
imparsialitas seorang penegak hukum dalam menangani suatu perkara, secara
sederhana imparsialitas diartikan sebagai tidak adanya keberpihakan seorang hakim
17

dalam menangani suatu perkara. Prinsip imparsialitas terkandung dalam pasal 3 ayat 2
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman:
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan
kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kemudian dalam pasal 29 ayat (5) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yang
menyatakan:
Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia
mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang
diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang
berperkara.
Norma yang terkandung dalam kandungan pasal di atas merupakan ketentuan yang
menjelaskan perihal imparsialitas yang selaras dengan asas asas Nemo Judex Idoneus
In Propria Causa.
Asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa menjelaskan bahwa tidak seorang pun
dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri. Dalam Hukum acara Mahkamah
Konsitutusi, asas tersebut diejawantahkan dalam pasal 2 Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi, pun demikian asas ini menjadi dasar bahwa Mahkamah Konstitusi tidak
diperkenankan untuk menangani segala macam perkara yang mengatur terkait
eksistensinya, baik berupa pengujian Undang-Undang terkait Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi atau terkait eksistensi hakim konstitusi.

19. The binding forse of prcedent atau staro decises et quieta nonmovere:
‘Putusan pengadilan (hakim) terdahulu, mengikat hakim-hakim lain pada peristiwa
yang sama (asas ini dianut pada negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo
Sakson, seperti Amerika Serikat dan Inggris).’
Sistem hukum Anglo Saxon ialah suatu sistem hukum yang didasarkan pada
yurispudensi. Sumber hukum dalam sistem hukum ini ialah putusan
hakim/pengadilan. Dalam sistem hukum ini peranan yang diberikan kepada seorang
hakim sangat luas.
Sistem yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental yang didasarkan atas
hukum Romawi disebut sebagai sistem Civil law. Sistem Civil Law mempunyai tiga
karakteristik, yaitu adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada preseden sehingga
undang-undang menjadi sumber hukum yang terutama, dan sistem peradilan bersifat
18

inkuisitorial. Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam sistem hukum
Civil Law berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan
yurisprudensi.
Berikut perbedaan hukum kontinental dengan hukum anglo saxon:
Pembeda Sistem Hukum Kontinental Sistem Hukum Anglo Saxon
Sumber 1. Undang – undang dibentuk oleh
1. Putusan hakim / putusan
Hukum legslatif (statutes) pengadilan / yurisprudensi
2. Peraturan – peraturan hukum (judicial decisions)
3. Kebiasaan (custom) yang hidup
2. Peraturan hukum tertulis
dan diterima sebagai hukum oleh (undang – undang), peraturan
masyarakat administrasi dan kebiasaan
Bentuk 1. mengenal sistem peradilan
1. hanya mengenal satu peradilan
administras untuk semua jenis perkara
2. menjadi modern karena
2. dikembangkan melalui praktek
pengkajian yang dilakukan oleh prosedur hukum
perguruan tinggi 3. dibutuhkan suatu lembaga untuk
3. tidak dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi, yaitu lembaga
mengoreksi kaidah equaty. Lembaga ibi memberi
kemungkinan untuk melakukan
elaborasi terhadap kaidah-kaidah
yang ada guna mengurangi
ketegaran.
Kodifikasi Dikenal dengan adanya kodifikasi Tidak ada kodifikasi
hukum hukum sedangkan pada sistem
hukum
Keputusan tidak dianggap sebagai kaidah atau keputusan hakim terdahulu
hakim sumber hukum sedang pada sistem terhadap jenis perkara yang sama
hukum mutlak harus diikuti.
Pandangan lebih tidak tekhnis, tidak terisolasi pandangan hakim lebih teknis dan
hakim dengan kasus tertentu sedang pada tertuju pada kasus tertentu.
sistem hukum
Kategoris bangunan hukum, sistem hukum, kategorisasi fundamental tidak
dan kategorisasi hukum didasarkan dikenal.Pada sistem hukum eropa
19

pada hukum tentang kewajiban kontinental strukturnya terbuka


sedang pada sistem hukum untuk perubahan sedang pada
sistem hukum anglo saxon
berlandaskan pada kaidah yang
sangat kongrit.
Dasar Kodifikasi hukum Yurisprudensi / keputusan hakim
hukum
Peran Tidak bebas menciptakan hukum Bertugas menafsirakan dan
hakim baru karena hakim hanya berperan menetapkan peraturan,
menetapkan dan menafsirkan menciptakan kaidah hukum baru
peraturan yang ada berdasarkan yang mengatur tata kehidupan
wewenang yang ada padanya masyarakat, menciptakan prinsip
hukum baru yang berguna sebagai
pegangan bagi hakim dalam
memutuskan perkara

20. Cogatitionis poenam nemo patitur:


‘Tidak seorang pun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan atau yang ada di
hatinya. Artinya, pikiran atau niat yang ada di hati seseorang untuk melakukan
kejahatan, tetapi tidak dilaksanakan atau diwujudkan, maka ia tidak bolehdihukum. Di
sini menunjukkan bahwa hukum itu bersifat lahir, apa yang dilakukan secara nyata,
itulah yang diberi sanksi.’
Tidak ada yang dihukum karena hanya memikirkan kejahatan.Namun, jika tindak
pidana ditindaklanjuti oleh beberapa tindakan baik tindakan maupun niat tersebut
dapat dihukum. Jika tindakan itu tidak terjadi dan hanya ada upaya, usaha untuk
melakukan kejahatan juga dapat dihukum. Aturan umum adalah bahwa, bila suatu
tindakan bersifat kriminal, maksudnya juga bersifat kriminal. Namun, niat sendiri
tanpa tindakan apapun sesuai niat tidak dihukum.
Asas ini hanya berlaku pada masyarakat yang menerapkan sistem hukum sekuler.
Sekularisme atau sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah
sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan negara harus
berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang
kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan
20

menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak
menganakemaskan sebuah agama tertentu.
Sekularisme juga merujuk ke pada anggapan bahwa aktivitas dan penentuan manusia,
terutamanya yang politis, harus didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti
konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof DrArief Hidayat menegaskan Indonesia
adalah negara hukum Pancasila, bukan negara hukum sekuler. Sebagai negara hukum
Pancasila maka setiap gerak kehidupan harus dilandasi sinar Ketuhanan.

21. Restitutio in integrum:


‘Kekacauan dalam masyarakat, haruslah dipulihkan pada keadaan semula (aman).
Artinya, hukum harus memerankan fungsinya sebagai “sarana penyelesaian konflik”.’
Asas ini digunakan dalam masyarakat sederhana yang cenderung menghindari
konflik, dan budaya konfromistis mewarnai berlakunya asas ini.
Restitutio dalam integrum adalah frasa Latin yang berarti "mengembalikan segalanya
ke negara seperti sebelumnya." Prinsip ini biasa diikuti oleh pengadilan sambil
memberikan ganti rugi dalam kasus kelalaian common law. Jumlah kerusakan yang
diberikan harus cukup membawa penggugat kembali ke posisi seolah-olah tidak ada
tort yang dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai