1. PENGGUNAAN ISTILAH
Suatu istilah kita pergunakan untuk menentukan apa yang hendak kita berikan sebagai
pengertian, sehingga dengan demikian penggunaannya akan mempengaruhi pula ruang lingkup
persoalan yang hendak kita kupas atau kita selidiki.
Terdapat 2 (dua) istilah yang digunakan dalam lingkup ilmu yang sedang kita pelajari ini, yaitu
perbandingan hukum dan hukum perbandingan.
Penggunaan istilah yang berbeda-beda di lingkungan dunia ilmu pengetahuan hukum di Indonesia
ini, ternyata juga sebagai dampak dari dipergunakannya 2 (dua) macam istilah di Eropa
Kontinental, yaitu :
a. vergelijkendrecht dan rechtvergelijking (Belanda);
b. vergleichendes dan rechtsvergleichung (Jerman);
c. droit compare dan la methode compare (Perancis).
Apakah yang dimaksud dengan perbandingan hukum tatanegara atau hukum tatanegara
perbandingan? Untuk mengetahuinya, kita harus memulai dengan pertanyaan: “Apakah
perbandingan hukum atau hukum perbandingan itu?”
Suitens-Bourgois mengatakan bahwa perbandingan hukum bukanlah cabang dari hukum, ia bukan
ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri seperti misalnya hukum perdata, hukum dagang, hukum
tatanegara, hukum internasional, dan sebagainya. Selanjutnya dikatakan bahwa perbandingan
hukum adalah satu metode perbandingan yang diterapkan pada ilmu hukum, pada bermacam-
macam mata kuliah hukum. Oleh karenanya, perbandingan hukum bukanlah suatu ilmu
pengetahuan, akan tetapi ia hanyalah metode kerja dalam bentuk perbandingan. Hal ini dapat
dibuktikan bahwa jika hukum didefinisikan antara lain sebagai seperangkat aturan, maka
perbandingan hukum atau hukum perbandingan tidak mempunyai perangkat aturan-aturan itu.
Metode untuk membanding-bandingkan peraturan hukum dari bermacam-macam sistem hukum,
tidak membawa akibat terjadinya rumusan peraturan yang berdiri sendiri, dengan kata lain tidak
ada yang disebut “peraturan hukum perbandingan.” Ciri dasar dari metode perbandingan ini
adalah bahwa ia dapat diterapkan terhadap penelitian mengenai bidang hukum tertentu.
Perbandingan hukum, dapat dibedakan antara :
a. perbandingan hukum deskriptif (menggambarkan), yaitu suatu analisis terhadap
perbedaan-perbedaan yang ada dari dua atau lebih sistem hukum. Peneliti tidak
mempunyai maksud untuk mencari jalan keluar (solusi) terhadap persoalan tertentu, baik
dalam hal yang abstrak maupun hal yang praktis;
b. perbandingan hukum aplikatif (terapan), yaitu analisis yang dilakukan kemudian diikuti
dengan penyusunan sintesis untuk memecahkan suatu masalah. Hal ini dilakukan antara
lain untuk melakukan pembaruan suatu cabang hukum atau untuk mempersatukan
bermacam-macam peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang yang sama.
Jika perbandingan ini kita terapkan pada hukum tatanegara, maka melalui metode ini dilakukan
perbandingan terhadap hukum tatanegara dari dua negara atau lebih dengan maksud:
1. memperoleh penjelasan mengenai sesuatu hal tertentu atau
2. untuk mencari jalan keluar tentang sesuatu hal tertentu. Metode perbandingan membawa kita
ke arah usaha memperoleh informasi, kejelasan mengenai sistem pemerintahan negara yang
diperbandingkan serta jalan keluar dari persoalan yang hampir sama.
- Obyek ilmu hukum tata negara adalah negara tertentu, khususnya hanya mengenai
susunan hukum tata negaranya (het staatsrechtelijk bestel). Sehingga dapatlah dimengerti
mengapa biasanya ilmu hukum tata negara dimulai dalam bentuk pemberian komentar,
yaitu menafsirkan kaidah-kaidah hukum berdasarkan tata-urutannya dan penyelidikannya
hanya terbatas pada negara tertentu saja.
- Obyek ilmu perbandingan hukum tata negara adalah bermacam-macam bentuk atau
sistem ketatanegaraan, ciri-ciri khusus apakah yang melekat padanya, hal-hal apakah yang
menimbulkannya, dengan jalan apakah hal-hal tersebut berubah, hilang dan sebagainya,
yang dapat diketahui dengan cara menganalisis secara metodis dan menetapkannya secara
sistematis.
- Obyek ilmu negara adalah ciri-ciri dan sifat-sifat umum dari negara, dengan maksud
mempersatukan dalam suatu komplek tertentu.
Tugas ilmu perbandingan hukum tata negara menurut Kranenburg, adalah untuk
menganalisis secara metodis dan menetapkan secara sistematis bermacam-macam bentuk atau
sistem ketatanegaraan, ciri-ciri khusus apakah yang melekat padanya, hal-hal apakah yang
menimbulkannya, dengan jalan apakah hal-hal itu berubah, hilang dan lain sebagainya.
Terdapat hubungan yang erat antara ilmu perbandingan hukum tata negara, ilmu
hukum tata negara dan ilmu negara:
a. Ilmu negara dengan ilmu perbandingan hukum tata negara: bahwa antara negara yang
satu dengan negara yang lain terdapat persamaan maupun perbedaan, adanya bermacam-
macam bentuk ketatanegaraan atau sistem ketatanegaraan yang menjadi pokok
penyelidikan ilmu perbandingan hukum tata negara adalah juga suatu masalah yang
menjadi bidang ilmu negara. Di lain pihak, timbulnya mata pelajaran baru yaitu ilmu
perbandingan hukum tatanegara, dapat digambarkan sebagai pertumbuhan dari komplek
problema khusus ilmu negara;
b. Ilmu hukum tata negara positif dengan ilmu perbandingan hukum tata negara: dalam
mempelajari ilmu hukum tata negara positif, seringkali kita tidak dapat melepaskan diri dari
penggunaan perbandingan-perbandingan dengan hukum tata negara lainnya. Metode
perbandingan yang dipergunakan oleh hukum tata negara hanya dijadikan sebagai sebuah
alat dan bukan merupakan tujuan.
c. F. Strong dalam “Modern Political Cosntitution” adalah yang menempatkan ilmu
perbandingan hukum tata negara sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri dan
mempergunakan metode perbandingan sebagai sebuah tujuan.
Ilmu perbandingan hukum tata negara menurut Kranenburg adalah suatu ilmu
pengetahuan yang dengan mempergunakan hasil-hasil ilmu negara umum, melakukan
pengumpulan dan melakukan penyusunan bahan-bahan tersebut secara metodis dan sistematis
untuk kemudian menganalisisnya.
Menurut Sri Soemantri Martosoewignjo, ilmu perbandingan hukum tata negara adalah
suatu cabang ilmu hukum yang dengan mempergunakan metode perbandingan berusaha
membanding-bandingkan satu atau beberapa aspek hukum tata negara dari dua negara atau
lebih.
3. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN ADANYA BERMACAM-MACAM BENTUK ATAU
SISTEM KETATANEGARAAN
Persamaan dan perbedaan negara-negara di dunia dapat dilihat dari:
- sistem pemerintahannya (parlementer, presidentil, quasi parlementer/presidentil, diktatur);
bentuk negaranya (serikat, kesatuan, persatuan);
- bentuk pemerintahannya (republik, kerajaan: absolut/berkonstitusi);
- sistem badan perwakilan rakyatnya (satu kamar, dua kamar).
Sri Soemantri Martosoewigjo tidak sependapat dengan Nasroen yang mengatakan bahwa ilmu
perbandingan tata negara adalah ilmu pengetahuan yang memberi nilai, dan Sri Soemantri
Martosoewignjo memandang pendapat Kranenburg lebih tepat yaitu yang mengatakan bahwa
ilmu perbandingan hukum tata negara adalah ilmu pengetahuan yang tugasnya mencari atau
menyelidiki sebab musabab atau menjelaskan sesuatu (verklarend wetenschap).
Antara supra struktur politik dengan infra struktur politik terdapat hubungan timbal balik, dalam
arti bahwa supra struktur politik dapat mengatur segala sesuatu yang bersangkutan dengan infra
struktur politik, sedangkan infra struktur politik dapat mempengaruhi serta menentukan
berjalannya supra struktur politik.
Menurut S.L.Witman dan J.J. Wuest, sebagai pelaksanaan asas demokrasi pada setiap negara,
maka rakyat melalui lembaga pemilihan umum (electorate) memilih wakil-wakilnya untuk duduk
dalam konstituante dan lembaga perwakilan rakyat (legislature).
Setelah konstuante terbentuk, lalu bersidang untuk menetapkan suatu konstitusi atau undang-
undang dasar yang akan mengatur antara lain lembaga legislatif, lembaga eksekutif, lembaga
peradilan dan sebagainya.
Partai politik mempunyai peranan penting dalam menyalurkan pendapat rakyat dalam
menentukan/memilih wakil-wakil rakyat dalam kedua lembaga tersebut. Konstitusi juga
menentukan sistem ketatanegaraan yang dianut dalam suatu negara, baik mengenai sistem
pemerintahannya, sistem desentralisasinya, bentuk negaranya dan lain sebagainya.
Setelah konstutusi ditetapkan berlaku dalam suatu negara, maka setiap warganegara harus taat
pada undang-undang dasarnya.
6. POLA KETATANEGARAAN C.F.STRONG
Pola ketatanegaraan yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles adalah setiap negara bergerak
melalui apa yang dinamakan cycle of revolution, yaitu :
a. setiap negara mula-mula dikuasai oleh hanya seorang saja (the rule of man) yang disebut
monarchy;
b. bahwa namun kemudian, ada saatnya dimana orang yang mempunyai sifat-sifat yang baik
untuk memegang kekuasaan sudah tidak ada dan akhirnya digantikan oleh orang yang
lebih mementingkan kekuasaan daripada kepentingan rakyatnya (tyranny/despotism);
c. selanjutnya si tiran atau despoot tersebut akhirnya menghadapi suatu tantangan serta
oposisi dari suatu kelompok orang yang mempunyai sifat-sifat baik dan ingin memperbaiki
kehidupan rakyatnya yang disebut aristokrasi;
d. saatnya semangat artistokrasi hilang dan muncullah sekelompok orang yang menjalankan
kekuasaan secara sewenang-wenang untuk kepentingan kelompok itu sendiri dan terjadi
korupsi dikalangan penguasa tersebut (oligarchy);
e. akhirnya rakyat sangat marah dan menentang dan menggulingkan penguasa korup tadi
dan muncullah pemerintahan yang disebut demokrasi, yaitu pemerintahan oleh banyak
orang;
f. pada akhirnya cycle of revolution ini dipatahkan dengan tipe pemerintahan yang disebut
polity.
Menurut C.F. Strong, dalam kondisi saat ini pola ketatanegaraan Aristoteles tersebut dipastikan
tidak mempunyai daya tetap. Sehingga ia mencari klasifikasi lain dengan cara mencari ciri atau
tanda yang bersamaan pada negara-negara modern, yang pada asasnya mempunyai 3 (tiga)
macam kekuasaan: organ kekuasaan legislatif, organ kekuasaan eksekutif dan organ
kekuasaan judisiil.
Berdasarkan sugesti dan saran-saran dari Lord Bryce, Edward Jenks dan Sir J.A.Marriott, C.F.
Strong mengemukakan pola-pola ketatanegaraannya, yaitu :
a. the nature of the state to which the constitution applies;
b. The nature of the constitution itself;
c. The nature of the legislature;
d. The nature of the executive;
e. The nature of the judiciary
Menurut C.F.Strong, dilihat dari segi hakekat negara, negara-negara modern dapat
dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kelas besar , yaitu: negara kesatuan dan negara
serikat/federal.
Dicey mengatakan bahwa yang dimaksud dengan unitarianism adalah the habitual exercise
of supreme legislative authority by one central power. Dengan demikian, walaupun kepada
bagian-bagian negara diberikan otonomi yang luas, tapi sama sekali tidak mempunyai wewenang
apalagi kekuasaan untuk mengurangi kekuasaan pemerintah pusat. Sebaliknya, pemerintah pusat
dapat saja mengatur dan menentukan sampai seberapa luaskah wewenang yang diberikan
kepada daerah-daerah otonom.
Jika dilihat dari sudut kedaulatan, maka kedaulatan dalam negara bagian tidak dapat
dibagi-bagi. Adanya pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada daerah-daerah
otonom bukanlah karena hal itu ditetapkan dalam konstitusinya, melainkan karena masalah
tersebut adalah merupakan hakekat dari negara kesatuan.
Menurut C.F.Strong, terdapat 2 (dua) ciri yang bersifat esensiil yang ada pada suatu
negara kesatuan, yaitu:
a. aadanya supremasi lembaga perwakilan rakyat pusat (parliament);
b. tidak adanya badan-badan bawahan yang mempunyai kedaulatan (the absence of
subsidiary sovereign bodies).
Negara serikat/federal menurut C.F.Strong adalah suatu negara dimana terdapat 2 (dua)
atau lebih negara atau lebih yang sederajat, bersatu karena tujuan-tujuan tertentu yang sama.
Dicey mengemukakan bahwa “a federal state is a political contrivance intended to reconcile
national unity and power with the maintenance of state rights.”
Dalam negara federal, negara-negara yang bergabung atau yang disebut negara bagian
mempunyai kedudukan yang kuat, namun sebagian dari kekuasaannya diserahkan kepada negara
federal. Kekuasaan yang ada pada negara federal dibatasi oleh kekuasaan yang terdapat pada
negara-negara yang bergabung, ini berarti adanya perbedaan antara kekuasaan pemerintahan
federal dan pemerintahan negara-negara bagian yang sangat rentan terhadap timbulnya konflik
antara keduanya. Untuk menghindarinya, pembagian kekuasaan antara keduanya harus diatur
secara tegas dan jelas yang dituangkan dalam sebuah konstitusi. Sehingga konstitusi dalam suatu
negara federal dapat disamakan dengan perjanjian atau bersifat seabgai perjanjian (treaty) yang
harus ditaati oleh negara-negara bagian.
Tiap-tiap federalisme mempunyai akar masa lalu, yang ditentukan oleh proses sejarah masing-
masing bangsa, sehingga yang terjadi adalah timbul bermacam-macam federalisme :
a. confederation/staatenbund, dimana negara federal tidak mempunyai kekuasaan yang
sesungguhnya (real power);
b. negara-negara yang bergabung menginginkan adanya kedaulatan nasional, dimana negara
negara sebagai keseluruhanlah yang mempunyai kedaulatan;
c. negara-negara dalam negara federal tidak mengingingkan persatuan, namun masing-
masing negara bagian tersebut tidak mau bersatu (though the federating units desiring
union, they do not desire unity).
Menurut C.F.Strong, pengklasifikasian menjadi negara yang menganut sistem satu kamar dan dua
kamar tidak tepat dan tidak riil , karena jika klasifikasi ini kita pergunakan, maka kita akan
mengelompokkan negara-negara dunia ini dalam negara-negara yang mempunyai sistem satu
kamar dan dua kamar, hal ini akan menyamakan negara atau negara-negara yang tidak
melakukan pemilihan anggota badan perwakilan rakyatnya menjadi satu dengan negara atau
negara-negara yang memilih anggota badan perwakilan rakyatnya dalam suatu pemilihan umum.
Sehingga ia berpendapat akan lebih baik jika pengklasifikasian tersebut didasarkan pada:
dengan jalan bagaimanakah badan perwakilan rakyat masing-masing negara itu dibentuk,
sehingga pola negara dapat dibagi dalam :
a. Sistem pemilihan dimana anggota-anggota Lower House duduk didalamnya.
a.1) Apakah macam pemilihannya (kind of franchise):
Pertama, pemilihan dilakukan secara umum (adult suffrage) yaitu hak untuk
melakukan pemilihan baik pasif maupun aktif yang diberikan kepada seseorang yang
telah mencapai usia tertentu.
Kedua, tidak secara umum (manhood suffrage), baik hak pilih pasif maupun aktif
hanya diberikan kepada semua laki-laki yang telah mencapai usia tertentu.
a.2) persoalan yang berhubungan dengan daerah pemilihan (kind of constituency);
Kita mengenal adanya beberapa sistem pemilihan, yaitu :
a) sistem proporsional (the simply majority system with second with second ballot and
proportional representation), dan
b) sistem distrik (the simple majority single ballot system).
b. The second chamber atau Upper House, yang terbentuk oleh karena beberapa faktor,
antara lain adalah sejarah lembaga tersebut dan terbentuk oleh karena bentuk negara
federal/serikat.
6.3 .HAKEKAT KEKUASAAN EKSEKUTIF
C.F.Strong mengemukakan adalah suatu keharusan bahwa dalam setiap negara yang mengatur
asas-asas demokrasi, kepada lembaga eksekutif harus dilakukan pengawasan serta pembatasan,
dengan demikian lembaga eksekutif harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada
rakyat. Ia membagi hakekat kekuasaan eksekutif ini atas dua hal :
a. adanya pertanggungjawaban Badan Eksekutif kepada Badan Legislatif/Parlemen, dimana
badan legislatif ini dapat menjatuhkan pihak eksekutif apabila mendapat mosi tidak
percaya;
b. Badan eksekutif mendapat pengawasan dalam bentuk lain, misalnya adanya pemilihan
presiden secara periodik. Sehingga berdasarkan klasifikasi ini, dapat dibagi negara yang
menganut sistem pemerintahan parlementer (The Parliamentary Executive System) dan
presidentiil (The Non-parliamentary Executive System)
Sumber http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/05/23/ikhtisar-ilmu-perbandingan-
hukum-tata-negara-ikhtisar-ilmu-perbandingan-hukum-tata-negara