Anda di halaman 1dari 19

PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA

PERTEMUAN KE 11

A. Pengertian Perbandingan Hukum Tata Negara


Perbandingan hukum tata negara adalah suatu studi perbandingan hukum
di mana obyeknya adalah bermacam-macam bentuk atau sistem ketatanegaraan,
ciri-ciri khusus apakah yang melekat padanya, hal-hal apakah yang
menimbulkannya, dengan jalan apakah hal-hal tersebut berubah, hilang dan
sebagainya, yang dapat diketahui dengan cara menganalisis secara metodis dan
menetapkannya secara sistematis. (R. Soemantri Martosoewignjo dalam
Zurnawan Isvandiar Zoebir, 2008:1)

Perbandingan hukum yang diterpakan pada hukum tatanegara dapat


dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif dan aplikatif. Perbandinga
hukum yang dilakukan terhadap hukum tatanegara dari dua negara atau lebih ini
dimaksudkan untuk: 1) memperoleh penjelasan mengenai sesuatu hal tertentu
atau; 2) mencari jalan keluar tentang sesuatu hal tertentu. Metode perbandingan
membawa kita ke arah usaha memperoleh informasi, kejelasan mengenai sistem
pemerintahan negara yang diperbandingkan serta jalan keluar dari persoalan
yang hampir sama.

Tugas perbandingan hukum tata negara menurut Kranenburg, adalah


untuk menganalisis secara metodis dan menetapkan secara sistematis bermacam-
macam bentuk atau sistem ketatanegaraan, ciri-ciri khusus apakah yang melekat
padanya, hal-hal apakah yang menimbulkannya, dengan jalan apakah hal-hal itu
berubah, hilang dan lain sebagainya.

B. Hubungan Perbandingan Hukum Tata Negara Dengan Ilmu Hukum Tata


Negara dan Ilmu Negara.
Ketiga ilmu ini mempunyai obyek yang sama, yaitu negara.
Pertanyaannya adalah, dimanakan letak perbedaan antara Perbandingan Hukum
Tata Negara dengan Ilmu Hukum Tata Negara dan Ilmu Negara? Jawabannya
adalah meskipun obyek penyelidikan ketiga ilmu pengetahuan tersebut sama,
namun disamping tugas yang berbeda, ketiga ilmu tersebut meninjau gejala-
gejala negara dari sudut yang berlainan.
Obyek ilmu hukum tata negara adalah negara tertentu, khususnya hanya
mengenai susunan hukum tata negaranya (het staatsrechtelijk bestel). Sehingga
dapatlah dimengerti mengapa biasanya ilmu hukum tata negara dimulai dalam
bentuk pemberian komentar, yaitu menafsirkan kaidah-kaidah hukum
berdasarkan tata-urutannya dan penyelidikannya hanya terbatas pada negara
tertentu saja.
Sedangkan obyek ilmu negara adalah ciri-ciri dan sifat-sifat umum dari negara,
dengan maksud mempersatukan dalam suatu komplek tertentu.

Terdapat hubungan yang erat antara perbandingan hukum tata negara


dengan ilmu hukum tata negara dan ilmu negara, yaitu sebagai berikut::
a. Ilmu hukum tata negara positif dengan perbandingan hukum tata negara:
dalam mempelajari ilmu hukum tata negara positif, seringkali kita tidak dapat
melepaskan diri dari penggunaan perbandingan-perbandingan dengan hukum
tata negara lainnya. Metode perbandingan yang dipergunakan oleh hukum
tata negara hanya dijadikan sebagai sebuah alat dan bukan merupakan tujuan.

b. Ilmu negara dengan perbandingan hukum tata negara: bahwa antara negara
yang satu dengan negara yang lain terdapat persamaan maupun perbedaan,
adanya bermacam-macam bentuk ketatanegaraan atau sistem ketatanegaraan
yang menjadi pokok penyelidikan ilmu perbandingan hukum tata negara
adalah juga suatu masalah yang menjadi bidang ilmu negara. Di lain pihak,
timbulnya mata pelajaran baru yaitu ilmu perbandingan hukum tatanegara,
dapat digambarkan sebagai pertumbuhan dari komplek problema khusus ilmu
negara;

CF. Strong dalam “Modern Political Cosntitution” adalah yang


menempatkan perbandingan hukum tata negara sebagai mata pelajaran yang
berdiri sendiri dan mempergunakan metode perbandingan sebagai sebuah tujuan.
Perbandingan hukum tata negara menurut Kranenburg adalah suatu ilmu
pengetahuan yang dengan mempergunakan hasil-hasil ilmu negara umum,
melakukan pengumpulan dan melakukan penyusunan bahan-bahan tersebut
secara metodis dan sistematis untuk kemudian menganalisisnya.
Menurut Sri Soemantri Martosoewignjo, ilmu perbandingan hukum tata
negara adalah suatu cabang ilmu hukum yang dengan mempergunakan metode
perbandingan berusaha membanding-bandingkan satu atau beberapa aspek
hukum tata negara dari dua negara atau lebih.
C. Faktor-faktor yang menjadi penyebab adanya bermacam bentuk atau
sistem ketatanegaraan.

Persamaan dan perbedaan negara-negara di dunia dapat dilihat dari:


1) sistem pemerintahannya (parlementer, presidentil, quasi parlementer /
Presidentil, diktator); 2) bentuk negaranya (serikat, kesatuan, persatuan); 3)
bentuk pemerintahannya (republik, kerajaan: absolut/berkonstitusi); 4) sistem
badan perwakilan rakyatnya (satu kamar, dua kamar).

Faktor-faktor yang menyebabkan adanya bermacam-macam bentuk atau


sistem ketatanegaraan menurutKranenburg, adalah disebabkan adanya syarat-
syarat/faktor-faktor baik yang bersifat umum (syarat/faktor yang terdapat pada
semua negara) maupun syarat-syarat/faktor-faktor yang bersifat khusus
(syarat/faktor yang terdapat pada satu negara saja).

Yang termasuk dalam syarat-syarat/faktor-faktor yang bersifat umum, antara


lain adalah :
1. Adanya ancaman yang datang dari luar, yaitu ancaman kelompok di luar
negara, misalnya perang, maupun bentuk-bentuk lainnya. Sebagai
konsekuensinya, maka setiap masyarakat negara harus mengorganisirdirinya,
yang berarti juga harus ditempuhnya bermacam-macam cara atau sistem
berorganisasi dalam setiap masyarakat negara;
2. Adanya ancaman yang datang dari dalam negara itu sendiri, sebagai akibat
setiap masyarakat negara terdiri dari manusia yang mempunyai bermacam-
macam kepentingan sehingga diantara mereka bisa timbul persoalan-
persoalan, misalnya tindakan main hakim sendiri (eigen richting). Keadaan
ini menyebabkan harus dilakukannya pengaturan sedemikian rupa, sehingga
tindakan main hakim sendiri tersebut dilarang;
3. Adanya pengetahuan (kennis) yang berkembang secara berangsur-angsur atau
tumbuhnya pengalaman dengan cara teratur, yang melekat pada diri manusia
sendiri, dimana manusia diberi akal dan rasa sehingga timbullah kemajuan di
bidang ilmu pengetahuan pengetahuan, teknologi yang akan menyebabkan
pula tumbuhnya kemajuan di bidang kebudayaan dan selanjutnya
menyebabkan pula terjadinya kemajuan di bidang organisasi.
Yang termasuk dalam syarat-syarat/faktor-faktor yang bersifat khusus, antara
lain adalah :
1. Letak geografi suatu wilayah negara, berupa kepulauan, pegunungan, benua
atau daratan menyebabkan syarat/faktor yang bersifat umum bekerja dengan
bermacam-macam cara dan bentuk, misalnya berpengaruh terhadap
penentuan sistem pertahanan negara, atau kemungkinan-kemungkinan
adaptasi sebuah negara misalnya Indonesia karena secara geografis terletak di
persimpangan jalan negara-negara, sistem pemerintahannya terpengaruh dari
sistem parlementer Inggris dan presidentil Amerika Serikat;
2. Sifat-sifat sesuatu masyarakat bangsa (volkskarakter). Sifat atau watak suatu
bangsa sebagai kumpulan manusia mungkin dipengaruhi oleh iklim atau
sesuatu yang lain. Dalam hal ini kita melihat adanya pola-pola yang aktif
pada suatu bangsa: bangsa yang tidak mudah patah semangat; pola-pola yang
kurang aktif pada suatu bangsa: bangsa yang mempunyai sifat-sifat malas,
penakut atau melihat segala sesuatu ingin dengan cara mudah (cenderung
menempuh sistem despotis);
3. Paham/doktrin politik yang dianut oleh masyarakat negara, misalnya
liberalisme dan komunisme.

D. Derajat ilmu pengetahuan dan kedudukan perbandingan hukum tata


negara.
Ditinjau dari tujuannya, maka kita dapat menggolongkan ilmu
pengetahuan dalam hal :
1) Ilmu pengetahuan yang hanya berusaha mendapatkan kebenaran saja, terlepas
dari apakah hal itu memberikan kebahagiaan yang merata bagi Indonesia;
2) Ilmu pengetahuan yang disamping berusaha mendapatkan kebenaran,
sekaligus juga mencapai kebahagiaan manusia secara merata;
3) Ilmu pengetahuan yang dalam tingkat pertama hanya mencapai atau
mendapatkan atau mendekati kebenaran, akan tetapi pada tingkat selanjutnya
ternyata memberikan kebahagiaan yang merata bagi umat manusia.

Nasroen mengemukakan adanya tiga macam derajad ilmu pengetahuan,yaitu :


1) Beschrijvend wetenschap, yaitu ilmu pengetahuan yang tugasnya hanya
menggambarkan saja;
2) Verklarend wetenschap, yaitu ilmu pengetahuan yang tugasnya menyelidiki
sebab musabab sesuatu atau menjelaskan; dan
3) Waarderend wetenschap, yaitu ilmu pengetahuan yang tugasnya memberi
nilai dan dapat memberi pedoman menuju sesuatu yang sempurna. Dalam
pemberian nilai ini, terbuka kemungkinan ke arah mana sesuatu itu akan
dibawa dan diarahkan.
Termasuk golongan manakah atau derajat yang manakah ilmu
perbandingan hukum tata negara?
Kranenburg mengatakan bahwa ilmu perbandingan hukum tata negara adalah
ilmu ilmu pengetahuan yang memberikan penjelasan atau menyelidiki sebab
musabab sesuatu (verklarend wetenschap) dan upaya pengembangan ke arah
tersebut, sangat memerlukan pula baik secara paralel atau tidak, pengembangan
ilmu negara umum dan ajaran hukum umum (de algemene rechtsleer) menjadi
suatu syarat mutlak.
Nasroen berpendapat bahwa ilmu perbandingan pemerintahan/negara
harus merupakan suatu ilmu pengetahuan yang memberi nilai (waarderend
wetenschap), ia harus sanggup menentukan secara obyektif bagaimanakah
pemerintah/negara itu seharusnya, antara lain yaitu pemerintah/negara yang
memberikan manfaat sebaik-baiknya bagi masyarakatnya dan inilah yang
merupakan ukuran dalam melakukan perbandingan antar negara/pemerintah.
Pendapat Nasroen di atas jika dihubungkan dengan perbandingan hukum tata
negara, maka ilmu ini bertugas untuk mendapatkan negara yang seharusnya atau
negara yang dicita-citakan (staats idee), yang akan berlaku dimana-mana.
Bagaimanapun obyektifnya penyelidikan dilakukan, oleh karena terletak pada
bidang nilai, pada akhirnya hal itu tidak terlepas dari subyektivitas orang yang
mengemukakan negara yang dicita-citakan (idee negara) tersebut. Apalagi jika
masalah tersebut ditinjau dari kemungkinan pelaksanaannya, yang kemungkinan
mustahil terjadi. Oleh karena, misalnya kita akan menjumpai kenyataan adanya
letak geografi yang tidak sama, sifat-sifat bangsa yang beraneka ragam, paham
politik yang tidak sama, yang memperkuat pendapat tidak mungkinnya
diketemukan idee negara yang benar-benar idee negara.
Sri Soemantri Martosoewigjo tidak sependapat dengan Nasroen yang
mengatakan bahwa ilmu perbandingan tata negara adalah ilmu pengetahuan
yang memberi nilai, dan Sri Soemantri Martosoewignjo memandang pendapat
Kranenburg lebih tepat yaitu yang mengatakan bahwa ilmu perbandingan hukum
tata negara adalah ilmu pengetahuan yang tugasnya mencari atau menyelidiki
sebab musabab atau menjelaskan sesuatu (verklarend wetenschap).

E. Struktur ketatanegaraan pada umumnya.


Struktur ketatanegaraan suatu negara, pada umumnya meliputi dua hal,yaitu :
1) Supra struktur politik, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan apa
yang disebut alat-alat perlengkapan negara, termasuk segala hal yang
berhubungan dengannya, antara lain mengenai kedudukannya, kekuasaan
dan wewenangnya, tugasnya, pembentukannya serta hubungan antara alat-
alat perlengkapan itu satu sama lain, yang pada umumnya diatur dalam
kontitusi atau undang-undang dasar suatu negara; dan
2) Infra struktur politik, yaitu struktur politik yang berada di bawah permukaan,
yang pada umumnya meliputi 5 komponen, yaitu komponen partai politik,
golongan kepentingan (interest group), alat komunikasi politik, golongan
penekan (pressure group) dan tokoh politik (political figure). Oleh karena
pemilihan umum menentukan pula kehidupan kepartaian, termasuk sistem
kepartaiannya, maka ia masuk kedalam infra struktur politik.

Antara supra struktur politik dengan infra struktur politik terdapat


hubungan timbal balik, dalam arti bahwa supra struktur politik dapat mengatur
segala sesuatu yang bersangkutan dengan infra struktur politik, sedangkan infra
struktur politik dapat mempengaruhi serta menentukan berjalannya supra
struktur politik.
Menurut S.L.Witman dan J.J.Wuest, struktur ketatanegaraan itu mempunyai
bermacam-macam perlengkapan (the agents and a tool of government), yaitu:
the constitution, the electorate, the political parties, the legislature, the
executive, the judiciary, the intergovernmental relationships dan the local
government.
Menurut S.L.Witman dan J.J. Wuest, sebagai pelaksanaan asas demokrasi pada
setiap negara, maka rakyat melalui lembaga pemilihan umum (electorate)
memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam konstituante dan lembaga
perwakilan rakyat (legislature). Setelah konstuante terbentuk, lalu bersidang
untuk menetapkan suatu konstitusi atau undang-undang dasar yang akan
mengatur antara lain lembaga legislatif, lembaga eksekutif, lembaga peradilan
dan sebagainya. Partai politik mempunyai peranan penting dalam menyalurkan
pendapat rakyat dalam menentukan/memilih wakil-wakil rakyat dalam kedua
lembaga tersebut. Konstitusi juga menentukan sistem ketatanegaraan yang
dianut dalam suatu negara, baik mengenai sistem pemerintahannya, sistem
desentralisasinya, bentuk negaranya dan lain sebagainya. Setelah konstutusi
ditetapkan berlaku dalam suatu negara, maka setiap warganegara harus taat pada
undang-undang dasarnya.
F. Pola ketatanegaraan C.F. Strong
Pola ketatanegaraan yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles adalah
setiap negara bergerak melalui apa yang dinamakan cycle of revolution, yaitu :
1) setiap negara mula-mula dikuasai oleh hanya seorang saja (the rule of man)
yang disebut monarchy;
2) bahwa namun kemudian, ada saatnya dimana orang yang mempunyai sifat-
sifat yang baik untuk memegang kekuasaan sudah tidak ada dan akhirnya
digantikan oleh orang yang lebih mementingkan kekuasaan daripada
kepentingan rakyatnya (tyranny/despotism);
3) selanjutnya si tiran atau despoot tersebut akhirnya menghadapi suatu
tantangan serta oposisi dari suatu kelompok orang yang mempunyai sifat-
sifat baik dan ingin memperbaiki kehidupan rakyatnya yang disebut
aristokrasi;
4) saatnya semangat artistokrasi hilang dan muncullah sekelompok orang yang
menjalankan kekuasaan secara sewenang-wenang untuk kepentingan
kelompok itu sendiri dan terjadi korupsi dikalangan penguasa tersebut
(oligarchy);
5) akhirnya rakyat sangat marah dan menentang dan menggulingkan penguasa
korup tadi dan muncullah pemerintahan yang disebut demokrasi, yaitu
pemerintahan oleh banyak orang;
6) pada akhirnya cycle of revolution ini dipatahkan dengan tipe pemerintahan
yang disebut polity.
Pola ketatanegaraan tersebut digambarkan oleh Plato sebagai berikut :
TYPE OF BAD OR PERVERTED
CONSTITUTION GOOD OR TRUE FORM FORM
Government of One Monarchy or Royalty Tyrani or Despotism
Government of The Few Aristocracy Oligarchy
Government of The
Many Polity Democracy

Menurut C.F. Strong, dalam kondisi saat ini pola ketatanegaraan


Aristoteles tersebut dipastikan tidak mempunyai daya tetap. Sehingga ia mencari
klasifikasi lain dengan cara mencari ciri atau tanda yang bersamaan pada negara-
negara modern, yang pada asasnya mempunyai 3 (tiga) macam
kekuasaan : organ kekuasaan legislatif, organ kekuasaan eksekutif dan organ
kekuasaan judisiil.
Berdasarkan sugesti dan saran-saran dari Lord Bryce, Edward Jenks dan Sir
J.A.Marriott, C.F. Strong mengemukakan pola-pola ketatanegaraannya, yaitu :
a. The nature of the state to which the constitution applies;
b. The nature of the constitution itself;
c. The nature of the legislature;
d. The nature of the executive;
e. The nature of the judiciary.

Menurut C.F.Strong, dilihat dari segi hakekat negara, negara-negara


modern dapat dikelompokkan ke dalam dua kelas besar, yaitu:
1. Negara kesatuan, yaitu suatu negara yang mempunyai kriteria:
a. Berada di bawah satu pemerintahan pusat;
b. Mempunyai wewenang sepenuhnya di dalam wilayah negara tersebut;
c. Bagian-bagian negara tidak mempunyai kekuasaan asli, melainkan
diperoleh dari pemerintah pusat

Dicey mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan unitarianism adalah the


habitual exercise of supreme legislative authority by one central power.
Dengan demikian, walaupun kepada bagian-bagian negara diberikan otonomi
yang luas, tapi sama sekali tidak mempunyai wewenang apalagi kekuasaan
untuk mengurangi kekuasaan pemerintah pusat. Sebaliknya, pemerintah pusat
dapat saja mengatur dan menentukan sampai seberapa luaskah wewenang
yang diberikan kepada daerah-daerah otonom.
Jika dilihat dari sudut kedaulatan, maka kedaulatan dalam negara bagian
tidak dapat dibagi-bagi. Adanya pelimpahan wewenang dari pemerintahan
pusat kepada daerah-daerah otonom bukanlah karena hal itu ditetapkan dalam
konstitusinya, melainkan karena masalah tersebut adalah merupakan hakekat
dari negara kesatuan.

Menurut C.F.Strong, terdapat 2 (dua) ciri yang bersifat esensiil yang ada pada
suatu negara kesatuan, yaitu:
1) adanya supremasi lembaga perwakilan rakyat pusat (parliament);
2) tidak adanya badan-badan bawahan yang mempunyai kedaulatan (the
absence of subsidiary sovereign bodies).

2. Negara serikat/federal.
Negara serikat/federal menurut C.F.Strong adalah suatu negara dimana
terdapat dua atau lebih negara yang sederajat, bersatu karena tujuan-tujuan
tertentu yang sama.

Dicey mengemukakan bahwa dalam negara federal, negara-negara yang


bergabung atau yang disebut negara bagian mempunyai kedudukan yang
kuat, namun sebagian dari kekuasaannya diserahkan kepada negara federal.
Kekuasaan yang ada pada negara federal dibatasi oleh kekuasaan yang
terdapat pada negara-negara yang bergabung, ini berarti adanya perbedaan
antara kekuasaan pemerintahan federal dan pemerintahan negara-negara
bagian yang sangat rentan terhadap timbulnya konflik antara keduanya.
Untuk menghindarinya, pembagian kekuasaan antara keduanya harus diatur
secara tegas dan jelas yang dituangkan dalam sebuah konstitusi. Sehingga
konstitusi dalam suatu negara federal dapat disamakan dengan perjanjian atau
bersifat seabgai perjanjian (treaty) yang harus ditaati oleh negara-negara
bagian.

Jadi dapat disimpulkan bahwa ciri atau sifat negara federal adalah :
1) adanya supremasi konstitusi yang menjadikan federasi itu terwujud;
2) adanya pembagian kekuasaan antara negara federal dan negara-negara
bagian;
3) adanya suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menyelesaikan suatu
perselisihan antara pemerintah federal dan pemerintah negara-negara
bagian.

Tiap-tiap federalisme mempunyai akar masa lalu, yang ditentukan oleh


proses sejarah masing-masing bangsa, sehingga yang terjadi adalah timbul
bermacam-macam federalisme :
a. Confederation/staatenbund, dimana negara federal tidak mempunyai
kekuasaan yang sesungguhnya(real power);
b. Negara-negara yang bergabung menginginkan adanya kedaulatan
nasional, dimana negara negara sebagai keseluruhanlah yang mempunyai
kedaulatan;
c. Negara-negara dalam negara federal tidak mengingingkan persatuan,
namun masing-masing negara bagian tersebut tidak mau bersatu (though
the federating units desiring union, they do not desire unity).
Mengenai cara membagi kekuasaan antara negara federal dengan negara-
negara bagian, terdapat dua cara yaitu :
a. Kekuasaan yang diserahkan oleh negara-negara bagian kepada negara
federal ditetapkan secara limitatif dalam konstitusi negara federal. Disini
terjadi perkuatan kedudukan negara federal dibandingkan dengan negara-
negara bagian, contoh Kanada yang oleh C.F. Strong disebut sebagai less
federal; dan
b. Kekuasaan yang diserahkan kepada pemerintah negara-negara bagian dan
kekuasaan lainnya (the reserve power) ada pada negara federal, ditetapkan
secara llimitatif dalam konstitusi. Disini terjadi perkuatan kedudukan
negara-negara bagian dibandingkan dengan negara federal dan diharapkan
terjadi pengawasan terhadap kekuasaan pemerintah federal dalam
hubungannya dengan kekuasaan negara-negara bagian (to check the
power of the federal authority as against the federating units).

Dengan adanya pembagian kekuasaan antara negara federal dan negara-


negara bagian ini mengandung arti bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat
masing-masing tidak menjadi lebih tinggi dari yang lain, karena telah diikat
oleh konstitusi yang merupakan treaty. Siapa yang menilai adanya
pelanggaran terhadap konstitusi? Di Amerika Serikat, perselisihan mengenai
hal tersebut diserahkan kepada kekuasaan Mahkamah Agung, sedangkan di
Swiss diserahkan kepada Lembaga Perwakilan Rakyat Federal (The Federal
Assembly).

1. Hakekat Konstitusi
Istilah konstitusi pada umumnya dipergunakan paling sedikit dalam 2 (dua)
pengertian :
a. Menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu
berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah
negara; ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang dan
ada yang tidak tertulis berupa “usages, understandings, customs, atau
convention”. Meskipun tidak merupakan undang-undang, bukan berarti
kurang efektif dalam mengatur negara;
b. Merupakan menggambarkan campuran antara ketentuan tertulis dan tidak
tertulis, contoh: Kerajaan Inggris dengan common law system-nya.

Dalam perkembangannya, konstitusi mempunyai 2 (dua) pengertian, yaitu :


a. Dalam pengertian sempit, konstitusi tidak menggambarkan keseluruhan
kumpulan peraturan, baik yang tertulis dan yang tidak tertulis (legal dan
non-legal), melainkan yang dituangkan dalam suatu dokumen tertentu.
Contoh: Amerika Serikat. Menurut Lord Bryce, konstitusi adalah “a
frame of political society, organized through and by the law, that is to
say, one in which law has established permanent institutions with
recognized functions and definite rights”
b. Dalam pengertian luas, menurut Bolingbroke, adalah assemblage of laws,
institutions and customs yang diambil dari certain fixed principles of
reason. Dan menurut C.F.Strong, konstitusi dapat diketemukan dalam
sebuah dokumen yang dapat diubah sesuai dengan perkembangan waktu,
akan tetapi dapat pula berupa “a bundle of separate laws” yang diberi
otoritas sebagai hukum tata negara.

Menurut Maurice Duverger, tidak jarang terdapat jurang antara apa yang
ditetapkan didalamnya dengan kenyataannya/pelaksanaannya, sehingga
seringkali konstitusi hanya dijadikan sebagai tirai bagi penguasa. Dalam
kaitan inilah, C.F. Strong mengemukakan bahwa untuk disebut sebagai
konstitusi, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.how the various agencies are organized;
b.what power is entrusted to those agencies;
c.in what manner such power is to be exercised.

Konstitusi menurut K.C.Wheare dapat digolongkan ke dalam :


a. Written constitution dan unwritten constitution,
yang dalam kenyataannya tidak diketemukan lagi dalam negara-negara di
dunia saat ini, sehingga pembagian berdasarkan hal ini tidak dapat
dipertahankan lagi;
Documentary constitution dan non-documentary constitution. Docu-
mentary constitution mengandung arti bahwa dituangkan dalam suatu
dokumen tertentu seperti yang dilakukan oleh para pembentuk konstitusi
di Amerika Serikat. Sedangkan Non-documentary constitution adalah
konstitusi yang tidak dituangkan dalam suatu dokumen tertentu, tetapi
dalam banyak bentuk peraturan seperti Kerajaan Inggris.
Penggolongan konstitusi ke dalam documentary constitution dan non-
documentary constitution, paralel dengan pengertian konstitusi berturut-
turut dalam arti sempit dan dalam arti luas;
b. Flexible constitution dan rigid constitution, yang dikemukakan oleh Lord
Bryce, yaitu berdasarkan pada cara-cara konstitusi itu diubah atau dengan
jalan bagaimanakah suatu konstitusi itu dapat diubah. Digolongkan
kedalam flexible constitution, apabila dapat diubah melalui proses yang
sama dengan undang-undang, yaitu dengan cara yang tidak terlalu sulit,
misalnya dengan sistem suara terbanyak mutlak. Sedangkan digolongkan
ke dalam rigid constitution, jika perubahan konstitusi dilakukan melalui
cara-cara yang khusus (special process).

Pembagian ke dalam rigid dan flexible constitution ternyata menimbulkan


persoalan juga :
1) Sampai seberapa jauhkah suatu konstitusi dapat digolongkan rigid dan
lain flexible ?
2) Manakah yang benar-benar dapat digolongkan ke dalam konstitusi
rigid? K.C.Wheare mengemukakan, bahwa hal itu tergantung pada
jumlah penghalang dan besar-kecilnya penghalang tersebut. Jika suatu

Konstitusi berisi penghalang penghalang formil (legal obstacles) untuk


mengubahnya, maka ia adalah rigid constitution (Amerika Serikat,
Australia, Denmark, Swiss, Norwegia, Perancis); oleh karena sangat
sulit diubah dan memang jarang diubah dan jika sebaliknya maka
merupakan flexible constitution (Inggris dan Selandia Baru).

Menurut C.F.Strong, terdapat 4 (empat) perbedaan cara yang dilakukan


negara-negara dalam melakukan perubahan terhadap undang-undangnya :
By the ordinary, legislature, but under certain restrictions, yang dapat
dilakukan melalui tiga macam jalan:
Pertama, Lembaga Perwakilan Rakyat yang ada (the ordinary legislature)
dalam sidang-sidangnya harus dihadiri oleh paling sedikit dua pertiga atau
empat perlima dari seluruh anggota (fixed quorum of members), serta
keputusan perubahan tersebut sah apabila usul perubahan tersebut
disetujui oleh suara terbanyak yang ditentukan (dua pertiga, empat per
lima, setengah + 1, dsb), dianut oleh Indonesia;
Kedua, sebelum perubahan dilakukan, Lembaga Perwakilan Rakyat
dibubarkan, kemudian diadakan pemilihan umum yang baru dan Lembaga
Perwakilan Rakyat yang baru inilah yang kemudian akan bertindak
sebagai konstituante untuk mengubah konstitusi, dianut oleh Belgia,
Norwegia dan Swedia;
Ketiga, dalam bicameral system, dua Lembaga Perwakilan Rakyat harus
melakukan sidang gabungan sebagai suatu badan, yang keputusannya sah
apabila disetujui dengan suara terbanyak (bisa mutlak dan bisa yang
ditentukan) dari anggota-anggotanya;

2. Hakekat Kekuasaan Legislatif.


Sebagai badan yang pada umumnya menetapkan hukum tertulis, legislatif
memberi garis pedoman yang harus dilaksanakan oleh badan-badan lain
seperti eksekutif dan yudikatif.
Menurut C.F.Strong, pengklasifikasian menjadi negara yang menganut sistem
satu kamar dan dua kamar tidak tepat dan tidak riil, karena jika klasifikasi ini
kita pergunakan, maka kita akan mengelompokkan negara-
negara dunia ini dalam negara-negara yang mempunyai sistem satu kamar dan
dua kamar, hal ini akan menyamakan negara atau negara-negara yang tidak
melakukan pemilihan anggota badan perwakilan rakyatnya menjadi satu
dengan negara atau negara-negara yang memilih anggota badan perwakilan
rakyatnya dalam suatu pemilihan umum. Sehingga ia berpendapat akan lebih
baik jika pengklasifikasian tersebut didasarkan pada: dengan jalan
bagaimanakah badan perwakilan rakyat masing-masing negara itu dibentuk,
sehingga pola negara dapat dibagi dalam :
a. Sistem pemilihan dimana anggota-anggota Lower House duduk
didalamnya. a.1) Apakah macam pemilihannya (kind of franchise):
Pertama, pemilihan dilakukan secara umum (adult suffrage) yaitu hak
untuk melakukan pemilihan baik pasif maupun aktif yang diberikan
kepada seseorang yang telah mencapai usia tertentu. Kedua, tidak
secara umum (manhood suffrage), baik hak pilih pasif maupun aktif
hanya diberikan kepada semua laki-laki yang telah mencapai usia
tertentu. a.2) persoalan yang berhubungan dengan daerah pemilihan
(kind of constituency);
Kita mengenal adanya beberapa sistem pemilihan, yaitu : a) sistem
proporsional (the simply majority system with second with second
ballot and proportional representation), dan b) sistem distrik (the
simple majority single ballot system).
b. The second chamber atau Upper House, yang terbentuk oleh karena
beberapa faktor, antara lain adalah sejarah lembaga tersebut dan
terbentuk oleh karena bentuk negara federal/serikat.

3. Hakekat Kekuasaan Eksekutif.


C.F.Strong mengemukakan adalah suatu keharusan bahwa dalam setiap
negara yang mengatur asas-asas demokrasi, kepada lembaga eksekutif harus
dilakukan pengawasan serta pembatasan, dengan demikian lembaga eksekutif
harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat. Ia membagi
hakekat kekuasaan eksekutif ini atas dua hal :
a. Adanya pertanggungjawaban Badan Eksekutif kepada Badan
Legislatif/Parlemen, dimana badan legislatif ini dapat menjatuhkan pihak
eksekutif apabila mendapat mosi tidak percaya;
b. Badan eksekutif mendapat pengawasan dalam bentuk lain, misalnya
adanya pemilihan presiden secara periodik. Sehingga berdasarkan
klasifikasi ini, dapat dibagi negara yang menganut sistem pemerintahan
parlementer (The Parliamentary Executive System) dan presidentiil (The
Non-parliamentary Executive System)

4. Hakekat Leluasaan Peradilan / Hakekat Kekuasaan Peradilan.


C.F.Strong mengklasifikasi kekuasaan peradilan atas dasar hubungan antara
kekuasaan peradilan dengan kekuasaan pemerintahan (the connection of the
judiciary with the executive) :
a. Common Law States, in which the executive, being subject to the
operation of the rule of law; dan
b. Prerogatives States, in which the executive is protected by a special
system of administrative law.

 Perbandingan Sistem Pemerintahan Indonesia dengan Negara Lain


Perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia tidak lepas dari hasil
perbandingan dengan sistem pemerintahan negara lain, seperti Amerika Serikat.
Berikut ini akan diuraikan bagaimana sistem pemerintahan di Indonesia dan
perbandingannya dengan negara-negara lain baik menerapkan sistem
pemerintahan presidensial maupun sistem pemerintahan parlementer.

Sistem Pemerintahan di Indonesia Setelah Amandemen


1. Bentuk pemerintahan adalah republik dengan sistem pemerintahan
presidensial.
2. Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan.
3. Kekuasaan eksekutif ada pada presiden.
4. Pada tahun 2004 presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh
rakyat dalam suatu pemilihan umum untuk pertama kalinya.
5. Kabinet atau menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
6. Parlemen terdiri atas dua bagian, yaitu DPR dan DPD.
7. Kekuasaan legislatif ada pada DPR.
8. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan
di bawahnya, yaitu pengadilan tinggi dan pengadilan negeri serta sebuah
Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.

Sistem Pemerintahan di Amerika Serikat


1. Badan eksekutif terdiri dari presiden beserta menteri-menteri yang
merupakan pembantunya.
2. Masa jabatan presiden adalah 4 tahun.
3. Presiden sama sekali terpisah dengan legislatif.
4. Mayoritas undang-undang disiapkan oleh pemerintah.
5. Presiden memiliki hak veto terhadap rancangan undang-undang yang telah
diterima baik oleh kongres.
6. Dalam rangka checks and balances, maka presiden boleh memilih menterinya
sendiri, tetapi untuk jabatan hakim agung dan duta besar harus disetujui oleh
senat.
UJI PEMAHAMAN MATERI

Pertanyaan :
1. Jelaskan dengan memberikan contoh mengenai perbandingan hukum hukum tata
negara (dalam hal sistem pemerintahan) di Indonesia dengan negara lainnya?
2. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya perbedaan bentuk negara dan sistem
pemerintahannya? Jelaskan!
3. Apakah perbedaan dan persamaan antara Negara Kesatuan dan Negara Federal?
Jelaskan!
4. Jelaskan hubungan antara perbandingan hukum tata negara dengan ilmu hukum
tata negara.
DAFTAR PUSTAKA
Peter de Cruz, Perbandingan System Hukum Common Law, Civil Law dan
Socialist Law, 2010, Nusa Media, Bandung

L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, 1985, P.T. Pradnya Paramitha, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, 2012, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sinamo Nomensen, Perbandingan Hukum Tata Negara, 2010, Jala Permata


Aksara, Bekasi.

Soeroso, Bunga Rampai Perbandingan Hukum, 2003, Perpustakaan Nasional.

Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, 1974, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Sudikno, Mengenal hukum, 1988, Liberty, Yogyakata.

Soemantri Martosoewignjo, Materi Kuliah: Ikhtisar Ilmu Perbandingan Hukuam


Tata Negara, 2008.
Website
https://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/05/23/ikhtisar-ilmu-
perbandingan-hukum-tata-negara-ikhtisar-ilmu-perbandingan-hukum-tata-negara/

Anda mungkin juga menyukai