Anda di halaman 1dari 127

MODUL

ASPEK-ASPEK
PENGUBAH HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG

i
MODUL
ASPEK-ASPEK PENGUBAH HUKUM

Disusun Oleh :

Dr. Gregorius Hermawan K, SH., MH.

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
2021

ii
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkah dan rahmat-Nya, sehingga modul untuk mata kuliah Aspek-
Aspek Pengubah Hukum dapat diselesaikan serta siap untuk
disampaikan kepada mahasiswa sebagai salah satu mata kuliah pada
Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Pamulang.
Dalam menghadapi perubahan-perubahan yang cepat di
masyarakat serta tuntutan pembaharuan, pembangunan dan penegakan
Hukum yang terus bergulir, maka mahasiswa Magister Hukum dituntut
untuk meningkatkan cara pandang, pola pikir, sikap serta kemampuan dan
pengetahuan yang lebih terstruktur dan komprehensif, untuk dapat lebih
menyerap informasi sekaligus menelaah segala hal yang berkaitan
dengan masalah hukum serta meningkatkan kapasitas diri agar dapat
menemukan solusi dan ikut serta dalam memberikan sumbangsih
pengetahuan tentang Hukum yang berkembang di masyarakat.
Dalam Modul ini, secara substansi pembahasan berfokus pada
pengertian dan konsep aspek-aspek pengubah hukum, penemuan hukum,
sumber-sumber hukum, motivasi hukum, teori dan asas-asa yang relevan
dengan pembaharuan hukum serta perkembangan Hukum di masyarakat.
Kami sangat menyadari bahwa Modul ini jauh dari sempurna.
Dengan segala kekurangan yang ada pada Modul ini, kami mohon
kesediaan pembaca untuk dapat memberikan masukan yang konstruktif
guna penyempurnaan selanjutnya.
Semoga modul ini dapat memberikan manfaat dan membantu
mahasiswa dalam memperolah keilmuan dan pengetahuan tentang aspek-
aspek pengubah hukum.
Pamulang, Januari 2021

Penyusun Modul
Universitas Pamulang

Dr. Gregorius HK, SH., MH

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
TIM PENYUSUN MODUL ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN DAN PENGERTIAN TENTANG ASPEK- 1


ASPEK PENGUBAH HUKUM 1
A. Definisi Aspek-aspek Pengubah Hukum 1
B. Syarat Berlakunya Hukum Agar Efektif 2
C. Fungsi Hukum Dalam Masyarakat 3
D. Kepastian Hukum 5
E. Soal Tugas/Latihan 8

BAB II PERAN DAN FUNGSI HUKUM 9


A. Konsepsi dan Gagasan Hukum 9
B. Pembangunan Hukum 10
C. Perubahan Hukum & Perubahan Masyarakat 19
D. Soal Tugas/Latihan 25

BAB III SISTEM HUKUM DUNIA 26


A. Pengertian Sistem Hukum Dunia 26
B. Pembagian Sistem Hukum 30
C. Sistem Hukum di Indonesia 41
D. Soal Tugas/Latihan 43

BAB IV SUMBER-SUMBER HUKUM 44


A. Pengertian Sumber Hukum 44
B. Sumber Hukum dari Sistem Civil Law 48
C. Sumber Hukum dari Sistem Common Law 53
D. Sumber Hukum dari Sistem Sosialis Law 56
E. Soal Tugas/Latihan 56

BAB V PENEMUAN HUKUM 57


A. Pengertian Penemuan Hukum 57
B. Beberapa Istilah Dalam Penemuan Hukum 61
C. Waktu Penemuan Hukum 62
D. Metode Penemuan Hukum 66
E. Aliran-Aliran Penemuan Hukum 78
F. Soal Tugas/Latihan 84

iv
BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENGUBAH HUKUM 85
A. Aspek Politik 85
B. Aspek Budaya 89
C. Aspek Ekonomi 93
D. Aspek Globalisasi 94
E. Aspek Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 94
F. Aspek Pendidikan 95
G. Soal Tugas/Latihan 96

BAB VII KESADARAN HUKUM DALAM MASYARAKAT UNTUK


MELAKUKAN PERUBAHAN 97
A. Pengertian Kesadaran Hukum 97
B. Motivasi Mematuhi Hukum 99
C. Hal Berlakunya Hukum 104
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektifitas Hukum 105
E. Soal Tugas/Latihan 107

BAB VIII LAW TOOL OF SOCIAL ENGINERING 108


A. Konsep Law Tool Of Social Enginering 108
B. Rekayasa Sosial Sebagai Alat Pemersatu Bangsa 115
C. Metode Mewujudkan Hukum Sebagai
Sarana Social Engineering 117
D. Soal Tugas/Latihan 119

DAFTAR PUSTAKA 120

v
PERTEMUAN I DAN II

Pada Pertemuan I dan II menjelaskan tentang definisi aspek-aspek pengubah


hukum dan penjelasan pengantar secara umum tentang hukum.
Setelah mengikuti pertemuan I dan II diharapkan mahasiswa mampu :
1. Memahami definisi aspek-aspek pengubah hukum
2. Memahami syarat berlakunya hukum agar efektif
3. Memahami dan mengkontruksikan fungsi hukum dalam masyarakat
4. Memahami dan menjelaskan BAB I
kepastian hukum

BAB I
PENGERTIAN DAN PENGANTAR ASPEK-ASPEK PENGUBAH HUKUM

A. Definisi Aspek-aspek Pengubah Hukum


Dilihat dari sudut gramatikalnya terdiri dari tiga suku kata, yaitu:
1. Aspek
2. Pengubah
3. Hukum
Kata “ASPEK” berarti
Kata aspek berarti:
1. “tanda” atau
2. “sudut pandang” atau
3. “dapat juga diartikan sebagai kategori gramatikal verbal (lingkungan
kata kerja; kata yang menggambarkan proses, perbuatan atau
keadaan) yang menunjukkan lama dan jenis perbuatan”
Kata “PENGUBAH” berarti:
Berasal dari kata “ubah”, yang berarti:
1. menjadi lain (berbeda) dari semula
2. bertukar (beralih, berganti menjadi sesuatu yang lain).
Sedangkan pengubah berarti “orang atau sesuatu yang mengubah”
Kata “HUKUM” berarti:
Aturan-aturan hidup yang mengatur hubungan antara manusia
secara bersama dalam suatu kumpulan masyarakat. Aturan itu mengikat
karena mereka sepakat untuk tunduk atau terikat oleh aturan-aturan itu.

1
Hukum sebagai gejala masyarakat tidak hanya dipelajari oleh
setiap bidang ilmu pengetahuan, oleh karena itu sumber hukum dapat
ditinjau dari berbagai sudut, misalnya sudut sejarah, sosiologi, antropologi
budaya, filsafat, ekonomi dan sebagainya.pada hakekatnya yang
dimaksud sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan/menggali
hukumnya. (lihat buku Sudikno-Mengenal Hukum).
“ASPEK PENGUBAH HUKUM” dapat diartikan : “Proses, perbuatan
atau keadaan yang mengubah Hukum”.
Aspek pengubah hukum membicarakan berbagai hal atau keadaan
yang pada saatnya berpengaruh dan oleh karena menjadi penyebab
terjadinya perubahan terhadap hukum.
Para ahli hukum sepakat bahwa hukum itu harus dinamis, tidak
boleh statis dan harus mengayomi masyarakat. Hukum harus dapat
dijadikan penjaga ketertiban, ketentraman dan pedoman tingkah laku
dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu hukum harus dapat
dijadikan pendorong dan pelopor untuk mengubah kehidupan masyarakat
kepada yang lebih baik dan bermanfaat bagi semua pihak.
Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang
sangat membutuhkan hukum yang dapat membantu proses perubahan
yang terjadi di masyarakat.
Menurut Satjipto Raharjo, dalam aspek bekerjanya hukum sebagai
sarana kontrol sosial bersifat statis, yaitu sekedar memecahkan masalah
yang dihadapkan kepadanya secara konkrit untuk mengatur hubungan-
hubungan sosial yang ada keadaan ini berbeda dengan hukum sebagai
sarana social engineering, yang orientasinya tidak ditujukan pada
pemecahan masalah yang ada, melainkan berkeinginan untuk
menimbulkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku anggota
masyarakat. (lihat buku Hukum dan Perubahan Sosial).

B. Syarat Berlakunya Hukum Agar Efektif


Berikut adalah syarat-syarat umum berlakunya hukum agar efektif
ketika diterapkan di masyarakat, diantaranya sebagai berikut :

2
1. Hukum bersifat tetap
2. Hukum diketahui oleh masyarakat
3. Hukum yang baru tidak saling bertentangan
4. Tidak boleh berlaku surut (retroaktif)
5. Mengandung nilai filosofis, yuridis, sosiologis
6. Hindari sering mengubah hukum
7. Penerapan memperhatikan budaya hukum masyarakat
8. Dibuat secara tertulis

C. Fungsi Hukum Dalam Masyarakat


Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa hukum merupakan
sarana pembaharuan masyarakat, hal ini didasarkan pada suatu
anggapan bahwa adanya keteraturan dan ketertiban itu merupakan suatu
hal yang diinginkan, bahkan dipandang perlu.
Lebih jauh lagi anggapan yang lain yang terkandung dalam
konsepsi hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat
berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembaharuan dalam arti
penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh
pembangunan atau pembaharuan.
Roscou Pound berpendapat “law as a tool of social engineering” :
Bahwa hukum sebagai sarana rekayasa sosial, hukum tidak pasif
melainkan harus mampu digunakan untuk mengubah suatu keadaan dan
kondisi tertentu kearah yang dituju sesuai dengan kamauan
masyarakatnya. Roscou Pound melukiskan bahwa tugas pokok pemikiran
modern mengenai hukum adalah tugas “rekayasa sosial”, oleh karena itu,
kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum dapat
diklasisfikasikan di dalam 3 kategori pokok yaitu :
1. kepentingan umum (public interest)
2. kepentingan masyarakat (social interest)
3. kepentingan pribadi (private interest)
Pada beberapa hal, kepentingan masyarakat adalah terpenting dari
semuanya (social interest in some ways the most important of all). Ketiga

3
kepentingan diatas juga dikemukakan oleh Otje Salman dalam teori
Hukum Pancasila, bahwa dengan melihat dasar pikiran sila Pertama,
Ketiga dan Kelima maka keseimbangan substansi pokok yang terkandung
didalamnya. Keseimbangan yang dijelaskan dalam keseluruhan silanya
adalah keseimbangan antara individu dengan kepentingan masyarakat
serta kepentingan penguasa yang dituntun oleh Sila Ketuhanan.
Asas Ketuhanan mengamanatkan bahwa tidak boleh ada produk
hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak
atau bermusuhan dengan agama.
Asas Perikemanusiaan mengamanatkan bahwa hukum harus
melindungi warga Negara dan menjunjung tinggi martabat manusia.
Asas Kesatuan dan Persatuan atau Kebangsaan mengamanatkan
bahwa hukum Indonesia harus merupakan hukum nasional yang berlaku
bagi seluruh Bangsa Indonesia. Hukum nasional berfungsi
mempersatukan Bangsa Indonesia.
Asas Demokrasi mengamanatkan bahwa dalam hubungan antara
hukum dan kekuasaan, kekuasaan harus tunduk pada hukum, bukan
sebaliknya. Pada analisis terakhir kekuasaan ada pada rakyat dan wakil-
wakil rakyat.
Asas Keadilan Sosial mengamanatkan bahwa semua warga
negara mempunyai hak-hak yang sama dan bahwa semua orang sama di
hadapan hukum.
Berlakunya asas persatuan dan kesatuan tidak berarti bahwa
kenyataan terdapatnya keanekaragaman budaya tidak perlu diperhatikan.
Bhineka Tunggal Ika merupakan motto negara yang mencerminkan
keanekaragaman budaya itu.

D. Kepastian Hukum
Keanekaragaman budaya sebagaimana dalam Bhineka Tunggal
Ika bukan menjadi alasan tidak dipenuhinya kepastian hukum. Kepastian

4
diartikan sebagai kejelasan norma, sehingga dapat dijadikan pedoman
bagi masyarakat yang dikenakan peraturan itu.
Pengertian kepastian tersebut dimaknai bahwa ada kejelasan dan
ketegasan terhadap berlakunya hukum di dalam masyarakat. Hal ini untuk
tidak menimbulkan banyak salah tafsir.
Kepastian dapat pula mengandung arti yakni :
1) Pertama, adanya kejelasan ;
2) Kedua, tidak menimbulkan multi tafsir atau keraguan ;
3) Ketiga, tidak menimbulkan kontradiktif ;
4) Keempat, dapat dilaksanakan.
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan
kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi
semua orang.
Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam
hukum karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri.
Adanya keteraturan menyebabkan orang dapat hidup secara
berkepastian, karena dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan
dalam kehidupan masyarakat.
Untuk sampai pada kepastian, maka harus mengandung
keterbukaan, sehingga siapapun dapat memahami makna atas sesuatu
ketentuan hukum. Hukum yang satu tidak boleh kontradiktif, karena jika
demikian justru menjadi sumber keraguan. Apabila sampai terjadi
kontradiktif, maka pertentangan demikian harus secepatnya diakhiri
melalui perangkat sistem hukum itu sendiri.
Kepastian hukum merupakan salah satu hal yang paling sering
dipersoalkan. Kepastian hukum dapat diartikan berlakunya hukum secara
tegas dalam masyarakat. Jaminan ditaatinya hukum dalam masyarakat
merupakan hal yang harus diwujudkan.
Negara memiliki sarana yang memadai dan efektif untuk
melaksanakan peraturan-peraturan yang ada, dengan demikian akan

5
melahirkan kepastian hukum yang sesuai dengan yang diinginkan oleh
semua pihak.
Van Apeldorn berpendapat kepastian hukum yaitu adanya
kejelasan skenario prilaku yang bersifat umum dan mengikat semua
warga masyarakat termasuk konsekwensi-konsekwensi hukumnya.
Kepastian hukum yang dapat berarti hal yang dapat ditentukan dari
hukum, dalam hal-hal yang kongkrit.
Pendapat Van Apeldoorn diatas, dapat dimaknai hukum harus
mempunyai kejelasan sehingga dapat mengikat masyarakat. kepastian
hukum sangat berhubungan dengan hukum yang berlaku dalam
masyarakat.
Roscou Pound, menamakan kepastian hukum sebagai
predictability. Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai
dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum
dilaksanakan. Berkaitan erat dengan pelaksanaan hukum, kepastian
hukum juga berkaitan dengan penegakan hukum.
Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang diperbuatnya,
sehingga timbul keresahan. Terlalu ketat dengan kepastian hukum
akibatnya hukum itu menjadi kaku dan dapat menimbulkan rasa tidak adil,
bahkan undang-undang itu sering terasa kejam.
Menurut Bagir Manan kepastian hukum sama dengan hukum dalam
arti kongkrit (in concreto), dengan kata lain kepastian hukum hanya
nampak pada saat hukum ditegakkan atau diterapkan, sedangkan
ketentuan hukum hanyalah petunjuk menuju kepastian hukum. Kepastian
hukum tidak hanya mencakup hukum in concreto pada saat penegakkan
dan penerapan. Kepastian hukum ditentukan juga oleh tatanan hukum in
abstacto. Begitu pula proses peradilan bukanlah satu-satunya tempat final
menentukan kepastian hukum.
Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum
dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan
berwibawa, sehingga aturan-aturan itu mempunyai aspek yuridis yang

6
dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai
peraturan yang harus ditaati.
Kepastian hukum selalu dikaitkan dengan hubungan antara warga
negara dan negara. Kepastian hukum sering dikaitkan dengan
penyelenggaraan hukum secara konsisten dalam suatu proses sosial
sehingga diperoleh patokan prilaku. Kehidupan masyarakat bisa
berlangsung dengan tertib, damai dan adil.
Suatu aturan hukum tidak akan berlaku, apabila hanya dibuat untuk
kepentingan kekuasaan belaka dan mengandung kesewenang-
wenangan, dapat juga suatu aturan hukum tidak akan berlaku, apabila
mempunyai jarak begitu jauh dengan kesadaran dan kenyataan sosial
yang berlaku yang menyebabkan ketinggalan jaman. Demikian juga
dengan aturan hukum yang tidak benar, apabila pemberlakuannya
bertentangan dengan peraturan yang telah ada.
Kepastian hukum memang suatu keadaan yang memerlukan usaha
dan perjuangan dan tidak datang secara otomatis, begitu suatu undang-
undang atau peraturan lain diterbitkan. Kepastian hukum lebih merupakan
fenomena psikologi dan budaya dari pada hukum.
Perwujudan unsur kepastian hukum paling tidak bergantung pada
3 (tiga) hal, yakni :
1) Pertama, kebutuhan akan hukum yang semakin hari semakin besar
harus dipenuhi.
2) Kedua, kesadaran hukum manusia dan masyarakat yang semakin
hari semakin bertambah tinggi pula, sehingga hal ini harus direspon
dengan baik oleh hukum.
3) Ketiga, tercapainya kepastian hukum yang tergantung juga pada
faktor penegakan hukum, yang belum tentu semakin lama semakin
baik.

7
E. Soal Tugas / Latihan
1. Jelaskan apa saja syarat Berlakunya Hukum Agar Efektif!
2. Uraikan Fungsi Hukum Dalam Masyarakat!
3. Jelaskan tentang Kepastian hukum dan contohnya dalam masyarakat
saat ini!

8
PERTEMUAN III DAN IV

Pada Pertemuan III dan IV menjelaskan tentang Peran dan Fungsi Hukum
baik secara teori dan praktek.
Setelah mengikuti pertemuan ini diharapkan mahasiswa mampu :
1. Memahami konsepsi dan gagasan hukum
2. Memahami dan menjelaskan pembangunan hukum
3. Memahami dan menjelaskan perubahan hukum & perubahan
masyarakat

BAB II
PERAN DAN FUNGSI HUKUM

A. Konsepsi dan Gagasan Hukum


Gagasan memerankan hukum secara aktif di dalam proses
penentuan kebijakan sejalan dengan gagasan Mochtar Kusumaatmadja
yang dikenal dengan Teori Hukum Pembangunan : “Hukum merupakan
sarana pembaharuan masyarakat berdasarkan suatu anggapan bahwa
adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau
pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan, bahkan dipandang
(mutlak) perlu.
Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai
sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam kaidah atau peraturan
hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana
pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia kearah yang
dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.”
Sesuai dengan peran hukum sebagai sarana pembaharuan dan
sekaligus sebagai sarana pembangunan, pembaharuan masyarakat
melalui jalur hukum, berarti dilakukannya pembaharuan hukum, terutama
melalui jalur perundang-undangan.
Hal itu berarti proses pembentukan undang-undang harus dapat
menampung semua hal yang erat hubungannya (relevan) dengan bidang
atau masalah yang hendak diatur dengan undang-undang itu, apabila

9
perundang-undangan itu diharapkan merupakan suatu pengaturan yang
efektif.
Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang
hukum sebagai perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup
(institusional) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan
hukum itu dalam kenyataan.

B. Pembangunan Hukum
Pembangunan hukum harus dapat dan mampu mengikuti
perkembangan masyarakat yang sedang berkembang kearah
modernisasi. Terlebih lagi pembangunan hukum harus mampu
menampung semua kebutuhan pengaturan kehidupan masyarakat
berdasarkan tingkat kemajuan masyarakat dalam semua bidang.
Pembangunan hukum berjalan harus melalui langkah-langkah strategis,
mulai dari perencanaan pembuatan aturan (legislation planning), proses
pembuatannya (law making procces), sampai kepada penegakkan hukum
(law enforcement) yang dibangun melalui kesadaran hukum (law
awareness).
Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi hukum
sebagai “sarana” pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas
jangkauan dan ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat
kelahirannya. Alasannya oleh karena lebih menonjolnya perundang-
undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia (walau
yurisprudensi memegang peranan pula) dan ditolaknya aplikasi
mekanisme daripada konsep tersebut yang digambarkan akan
mengakibatkan hasil yang sama daripada penerapan faham legisme yang
banyak ditentang di Indonesia.
Semua masyarakat yang sedang membangun bercirikan
perubahan dan peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk
menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur.
Perubahan yang teratur demikian dapat dibantu oleh peraturan

10
perundang-undangan dan keputusan peradilan atau kombinasi dari
peraturan perundang-undangan dan keputusan peradilan.
Perubahan yang teratur melalui prosedur hukum baik berwujud
peraturan perundang-undangan maupun keputusan badan-badan
peradilan, lebih baik daripada perubahan yang tidak teratur dengan
menggunakan kekuasaan semata-mata karena baik perubahan maupun
ketertiban atau keteraturan merupakan tujuan kembar dari masyarakat
yang sedang membangun, hukum menjadi alat yang tidak dapat diabaikan
dalam proses pembangunan.
Pembangunan sering diartikan sebagai penyelenggaraan
perubahan tertentu terhadap suatu masyarakat. Sering pula ditegaskan
bahwa pada hakikatnya pembangunan adalah pembangunan terhadap
manusianya.
Pengertian umum ini mempunyai sifat ganda. Pada satu sisi
menegaskan orientasi pembangunan, tetapi pada sisi lainnya
mengabaikan kenyataan. Kenyataannya pembangunan bukan sekedar
perubahan terhadap suatu masyarakat, melainkan juga perubahan
terhadap lingkungannya.
Sama halnya dengan Pembangunan didalamnya termasuk istilah
perubahan. Perubahan juga merupakan istilah yang mempunyai makna
ganda. Perubahan dapat mempunyai makna kemajuan (progress) dapat
pula bermakna kemunduran (regress).
Meskipun terminologi pembangunan lebih diberi konotasi positif,
namun pembangunan juga potensial sebagai sebab kemunduran.
Ancaman krisis energi dan kerusakan lingkungan, kemerosotan akhlak
manusia, atau bergesernya nilai manusia dari humanis ke nilai material
adalah beberapa contoh potensial kemunduran dari pembangunan.
Perubahan masyarakat merupakan salah satu aspek dari hakikat
pembangunan. Perubahan masyarakat yang dikehendaki pembangunan
adalah perubahan masyarakat yang teratur dan terkendali. Dalam
pengertian umum dikenal pembangunan sebagai suatu cara perubahan

11
masyarakat yang terpola dan teratur dimaksudkan untuk meningkatkan
peradaban manusia, kualitas hidupnya.
Dalam lingkup mikro pembangunan tersebut telah diartikan sebagai
pembangunan ekonomi guna meningkatkan pendapatan perkapita. Inti
makna pembangunan adalah mengubah kualitas hidup manusia dari
kualitas rendah ke kualitas yang lebih tinggi.
Soerjono Soekanto, mengklasifikasikan perubahan masyarakat ke
dalam tiga bentuk :
1. Pertama, perubahan yang terjadi secara lambat dan perubahan
yang terjadi secara cepat.
2. Kedua, perubahan yang pengaruhnya kecil dan yang
pengaruhnya besar.
3. Ketiga, perubahan yang terkendali (intended-change) dan
perubahan yang tidak dikehendaki (unintended-change) atau
perubahan yang tidak direncanakan (unplanned-change)”.
Perubahan yang lambat adalah perubahan yang sifatnya evolutes,
cenderung tidak direncanakan, berlangsung lambat, memakan waktu
yang lama, dan terjadinya bersifat alami. Perubahan ini umumnya
merupakan proses penyesuaian diri oleh masyarakat terhadap kondisi-
kondisi baru yang berlangsung sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.
Adanya tekanan-tekanan, paksaan terhadap masyarakat terhadap
perubahan ini cenderung tidak terjadi. Sedangkan perubahan yang cepat
adalah perubahan yang sifatnya revolusioner, mendasar, terhadap aspek
kehidupan masyarakat.
Perubahan ini dapat terjadi karena atas kehendak masyarakat atau
sebaliknya terjadi diluar kehendak masyarakat yang bersangkutan.
Seperti adanya perubahan kebijakan pembangunan. Perubahan ini
potensial menimbulkan kejutan-kejutan, paksaan terhadap masyarakat.
Perubahan yang pengaruhnya kecil adalah perubahan yang
mempunyai akibat tidak terlalu berarti seperti mode pakaian, dan lain-lain.
Sedangkan perubahan yang berpengaruh besar adalah perubahan yang

12
mengakibatkan timbulnya beban atau tekanan pada masyarakat. Misalnya
perubahan struktur kemasyarakatan, pola hidup dan lain-lain.
Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan adalah perubahan
yang didasarkan pada pola atau rencana tertentu yang ditetapkan
mendahului perubahan itu. Biasanya adanya kemungkinan yang akan
terjadi demikian juga mengenai langkah-langkah implementasi dari
perubahan tersebut sebelumnya telah dipikirkan secara matang.
Sedangkan perubahan yang tidak dikehendaki adalah perubahan yang
berada diluar jangkauan dan kontrol masyarakat. Perubahan ini biasanya
menghasilkan perubahan-perubahan yang bersifat negatif dan refresif,
yang pada prinsipnya merupakan bentuk yang dihindari oleh masyarakat.
Idealnya perubahan masyarakat tersebut adalah bentuk perubahan
yang dikehendaki dan direncanakan karena tujuan perubahan pada
hakikatnya adalah memberikan hal-hal yang positif bagi masyarakat yang
bersangkutan. Akan tetapi kadang-kadang yang ideal tersebut belum tentu
selaras dengan kenyataan yang ada. Meskipun pembangunan adalah
berisikan suatu perubahan yang dikehendaki, tetapi akibat dari
pembangunan tersebut ada kalanya berkaitan dengan perubahan yang
tidak dikehendaki.
Perubahan-perubahan sosial dan kenyataan, kebutuhan
masyarakat dan Negara sangat menentukan pilihan strategi
pembangunan hukum yang dilakukan. Cita serta keadaan tertentu dengan
tidak mengabaikan dunia kenyataan. Oleh karena itu, hukum dibuat
dengan penuh kesadaran oleh Negara dan digunakan untuk mencapai
tujuan tertentu. (lihat Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan
Publik.
Pemberlakuan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan
tersebut karena secara teknis hukum dapat memberikan atau melakukan
hal-hal sebagai berikut :
1) Sarana untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan
prediktabilitas didalam kehidupan masyarakat,

13
2) Sarana pemerintah untuk menerapkan sanksi, hukum sering
dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk melindungi dan
melawan kritik,
3) Hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribuskan
sumber-sumber daya.
Pandangan tersebut diatas tentunya sangat berbeda dengan
pandangan Savigny dari aliran sejarah. Menurut aliran ini hukum
merupakan perwujudan dari kesadaran umum atau semangat dari rakyat
(volkgeist). Hukum pertama-tama dilahirkan dari kesadaran umum
masyarakat, kemudian putusan hakim, dan bukan diciptakan atas
kemauan dari pembentuk undang-undang.
Pandangan ini tentunya cocok dengan kondisi masyarakat-
masyarakat yang sederhana yang dalam masyarakat tersebut memang
tidak dijumpai adanya peranan dari lembaga pembentuk undang-undang
oleh karena itu pada masyarakat tersebut yang menonjol justru kebiasaan-
kebiasaan.
Sorokin mengatakan “Hukum buatan manusia”, yang sering hanya
berupa instrument untuk mendudukkan dan mengeksploitasi suatu
golongan oleh golongan lain. Tujuannya adalah sepenuhnya utilitarian,
keselamatan hidup manusia, keamanan harta benda dan pemilikan,
keamanan dan ketertiban, kebahagiaan dan kesejahteraan dari
masyarakat keseluruhannya, atau dari golongan yang berkuasa dalam
masyarakat.
Norma-normanya bersifat relatif, bisa diubah dan bergantung pada
keadaan. Dalam sistem hukum yang demikian tidak ada yang dianggap
abadi atau suci”
Dalam pengertian tersebut hukum digunakan sebagai alat rekayasa
sosial, tidak hanya dilihat dari sisi substansi hukum semata-mata tetapi
juga menyangkut lembaga pembentuk hukum dan pelaksanan hukum.
Peranan hukum sebagai instrumen untuk mengubah masyarakat
tersebut disebut social engineering atau social engineering by law.

14
Langkah yang diambil dalam rekayasa sosial ini bersifat sistematis, mulai
dari identifikasi problem sampai kepada jalan pemecahan, yaitu :
1) Mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya, termasuk
didalamnya mengenali dengan seksama tentang masyarakat yang
menjadi sasaran dari penggarapan tersebut.
2) Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini
dimaksudkan karena social engineering itu hendak diterapkan pada
masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk. Pada tahap ini
ditentukan nilai-nilai mana yang dipilih.
3) Membuat hipotesis-hipotesis dan memilih mana yang paling layak
untuk dilaksanakan.
4) Mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.
Penggunaan hukum sebagai pengubah masyarakat (social
engineering) tergantung pada konsep penyelenggaraan kehidupan dalam
masyarakat. Apabila proses kehidupan masyarakat dibiarkan berlangsung
secara alamiah, maka hukum sebagai sarana perubahan tentu tidak
diperlukan. Demikian sebaliknya jika masyarakat ingin merubah pola
kehidupan bermasyarakatnya melalui suatu perencanaan maka
penggunaan instrumen tersebut menjadi penting.
Berbicara strategi pembangunan hukum di Indonesia berarti
membicarakan politik hukum Indonesia. Strategi dalam hal ini diartikan
sebagai cara atau tindakan yang dilakukan yang akan merupakan dasar
dalam melakukan kebijakan pembangunan hukum strategi adalah ilmu
dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa untuk melaksanakan
kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai.
Fungsi ganda dari hukum, berarti bahwa pada suatu pihak
melakukan “fungsi tradisionalnya”, mengatur tata tertib kehidupan,
mengayomi dan melindungi masyarakat serta anggotanya, sedangkan
pada pihak lain seolah-olah melakukan “perekayasaan sosial”.
Dalam lingkup masalah tersebut Sunaryati Hartono antara lain
menyatakan antara sistem hukum dan sistem ekonomi sesuatu Negara
terdapat hubungan yang erat dan pengaruh timbal balik. Bahwa

15
perubahan sosial, perubahan ekonomi maupun perubahan hukum
berlangsung dalam tempo yang semakin cepat.
Dalam proses pembentukan dan pembinaan hukum nasional kita
sesungguhnya masalah pilihan antara hukum adat atau hukum barat
sudah tidak relevan lagi, sebab sudah dikejar oleh perubahan-perubahan
sosial menuju suatu masyarakat informasi abad ke-21.
Terdapat beberapa masalah yang menghambat pembangunan
hukum di negara-negara yang sedang berkembang antara lain berkaitan
dengan heterogenitas masyarakat, tradisi hukum, tingkat pendidikan dan
kesejahteraan yaitu :
❖ Permasalahan-permasalahan itu cenderung bersifat dilematis, yang
kemudian menyulitkan pembangunan itu.
❖ Dilema antara tradisi yang tetap kuat mengikat masyarakat dengan
perubahan sebagai kebutuhan untuk beradaptasi dengan
perkembangan global yang cenderung bergerak sangat cepat ;
❖ Dilema antara keragaman hukum dengan kebutuhan terhadap
kesatuan sistem hukum yang dapat menjamin kepastian ;
❖ Kepesatan perkembangan nilai-nilai akibat masuknya standar-standar
kehidupan baru yang bersifat ekonomis dengan kesiapan masyarakat
untuk dapat berdiri dan hidup dengan nilai baru tersebut; dan berbagai
persoalan lainnya.
Mochtar Kusumaatmadja juga menyatakan, meskipun hukum dapat
dijadikan sebagai alat pembaharuan masyarakat, namun dalam
pelaksanaannya bukanlah suatu hal yang gampang.
Terdapat kesukaran-kesukaran yang dihadapi dalam
memperkembangkan hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat,
yaitu :
1) Sukarnya menentukan tujuan dari perkembangan hukum ;
2) Sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan
suatu analisa deskriptif dan prediktif ;
3) Sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur berhasil
tidaknya usaha pembaharuan hukum.

16
Masih terdapat dua sumber kesulitan yang sering dihadapi oleh
Negara yang sedang berkembang yang dapat menggagalkan atau
sedikitnya mempersulit gagasan untuk “legal engineering” :
1) Pertama, adalah sering terdapatnya kepemimpinan yang kharismatik
yang kebanyakan bertentangan kepentingannya dengan cita-cita legal
engineering.
2) Kedua, khususnya bagi negara muda yang lahir dari suatu revolusi
atau perjuangan kemerdekaan. Dalam masyarakat tersebut
kepercayaan dan keseganan terhadap hukum (respect for the law)
dan peranannya yang revolusi dianggap sebagai simbol kekuasaan
lama (kolonial), oleh karena itu sebaiknya ditentang.
Pada masyarakat ini juga bisa muncul manakala dihadapkan pada
masyarakat yang bersifat pluralistik dimana sistem dan lembaga-lembaga
hukum adat berlaku bersama dengan sistem hukum yang lain.
Seiring dengan perlunya perubahan hukum, Mariam Darus dalam
pidato pengukuhan Guru Besarnya mengatakan bahwa : Hukum antara
lain berfungsi mengabdi masyarakat, menjaga agar gerak masyarakat
berjalan dengan lancar, kepentingan-kepentingannya terpenuhi. Jika
kepentingan masyarakat berubah, hukum harus diperbaharui dan hukum
yang tidak sesuai dengan tugas pengabdiannya harus dibuang,
ditinggalkan Mariam Darus Badrulzaman.
Hukum merupakan alat yang efektif untuk mencapai tujuan sosial
karena aturan hukum secara konsisten melekat pada petugas hukum dan
masyarakat.
Persoalan yang dihadapi oleh negara kita dalam hal itu adalah
bagaimana hukum dapat memenuhi tujuan sosial, sehingga menjadi
efektif, sementara itu yang terjadi dalam reformasi hukum dinegara kita
banyak peraturan perundang-undangan dibuat hanya “pesanan”,
sehingga menimbulkan ketidaksesuaian antara hukum dan masyarakat,
padahal pembangunan hukum tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
masyarakat.

17
Hukum bukanlah suatu institusi yang statis tetapi mengalami
perkembangan dan bisa dilihat dengan jelas bahwa hukum berubah dari
waktu ke waktu, salah satu ciri yang menonjol dari hukum pada
masyarakat modern adalah penggunaannya secara sadar oleh
masyarakat dan dipakai untuk mengarahkannya pada tujuan-tujuan yang
dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai
lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya.
Menurut Hoebel, fungsi hukum dalam masyarakat adalah :
➢ Menjelaskan hubungan diantara anggota masyarakat, menjelaskan
aktifitas-aktifitas yang boleh dan dilarang oleh hukum;
➢ Mengatur alokasi kekuasaan dan penentu siapa yang boleh
memaksakan secara fisik yang diakui oleh masyarakat, termasuk
pemilihan bentuk-bentuk sanksi fisik yang paling efektif untuk
mencapai tujuan sosial;
➢ Sebagai sarana penyelesaian kasus-kasus sengketa yang timbul;
➢ Sebagai penjelas hubungan-hubungan antara individu dan kelompok.
Otje Salman merinci bahwa fungsi hukum antara lain :
➢ Memberikan pedoman/pengarahan kepada warga masyarakat untuk
berprilaku ;
➢ Pengawasan atau pengendalian sosial (social control) ;
➢ Penyelesaian sengketa (dispute settlement);
➢ Rekayasa sosial (social engineering).
Pada saat ini kerangka hukum di dunia harus berhadapan dengan
masalah-masalah yang lebih rumit seperti penyusunan, kebangkitan
kembali, pembangunan, kelahiran dan bentuk potensial dari tata tertib
hukum.
Situasi dan kondisi hukum yang disebut antara lain hukum itu edan,
hukum itu amburadul, hukum itu gonjang-ganjing dan hukum itu kacau
balau. Berbagai upaya telah dicoba oleh berbagai pihak untuk mencari
jalan keluar dari permasalahan-permasalahan hukum.
Upaya-upaya dimaksud antara lain adalah :

18
1) Dengan memperbaiki perundang-undangan yang dinilai
memiliki kelemahan atau tidak memenuhi rasa keadilan
masyarakat (tidak aspiratif) ;
2) Dengan membuat undang-undang baru untuk dapat mengganti
perundang-undangan yang dinilai banyak memiliki kelemahan
atau tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat ;
3) Dengan melakukan penelitian-penelitian mendalam oleh
kalangan ilmuwan dan akademisi terhadap perundang-
undangan yang dinilai bermasalah ;
4) Dengan penemuan hukum (rechvinding) oleh para hakim
sebagai penegak hukum.

C. Perubahan Hukum & Perubahan Masyarakat


Persoalan perubahan hukum dan perubahan masyarakat ini dua hal
penting, yaitu:
1. Bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat
(Hukum berperan pasif).
2. Sejauhmana hukum berperan untuk menggerakkan masyarakat
menuju suatu perubahan yang terencana (Hukum berperan aktif).
Disini fungsi hukum sebagai a tool of social engineering/ alat rekayasa
masyarakat.
Hukum Bersifat Pasif
Menurut Grossman kaidah sosial yang dapat mengalami perubahan :
1. Perubahan pada kaidah-kaidah Individual
2. Perubahan pada kaidah-kaidah kelompok
3. Perubahan pada kaidah-kaidah masyarakat
Hukum berperan aktif
Menurut pendapat ini Law is a tool of social engineering. Teori ini
pertama sekali diperkenalkan oleh Roscoe Pound, aliran ini berpendapat
hukum muncul sbg alat untuk menciptakan perubahan.
Perubahan oleh hukum ini dapat saja didahului oleh penemuan
teknologi, kontrak, konflik kebudayaan, gerakan-gerakan sosial, fungsi

19
perubahan fisik, biologis serta kependudukan. Setelah itu baru hukum
dipanggil untuk menyelesaikan persoalan yang timbul akibat adanya
perubahan tersebut.

Putusan Hakim sebagai a tool of social engineering:


Menurut Roscoe Pound (Friedman, 1953: 350-35) bahwa:
1. Fungsi “social engineering” dari hukum maupun putusan hakim
ditentukan dan dibatasi oleh kebutuhan untuk menyeimangkan antara
stabilitas hukum dan kepastian thd perkembangan hukum sebagai alat
evolusi sosial.
2. Kebebasan pengadilaan yang merupakan hal esensial dlm masyarakat
demokratis, pembatasan lebih lanjut jika pengadilan menjadi
penerjemah- penerjemah yang tertinggi dari konstitusi.
3. Dalam sistem-sistem hukum, ditangan organ-organ politiklah terletak
pengawasan yang tertinggi terhadap kebijakan badan legislative
sehingga fungsi hakim relatif lebih mudah.
4. Dalam penafsiran preseden dan undang undangan, fungsi pengadilan
dapat dan harus harus lebih positif dan konstruktif.
5. Semakin lebih banyak penggunaan hukum sbg alat pengendalian sosial
serta kebijakan dalam masyarakat modern, secara bertahap
mengurangi “hukum nya pakar hukum”, dan dengan demikian fungsi
kreatif hakim dan sistem hukum kebiasaan berperan.

Alat Bantu bagi Hakim


1. Keterangan pakar
Sering terjadi kekeliruan yang meyebutkan keterangan pakar sebagai
saksi ahli, padahal sesungguhnya ada perbadaan asasi antara
keterangan saksi dan keterangan pakar.
2. Komputerisasi
Lahirnya ilmu baru di bidang hukum yang disebut dengan Jurimetrik.
Ciri khas Jurimetrik yaitu :
1. Berkaitan dengan analisis kuantitatif dari tingkah laku hakim.

20
2. Penerapan teori komunikasi dan informasi terhadap ekspressi
hukum.
3. Penggunaan logika matematika dalam hukum.
4. Mencari kembali data hukum dengan pemanfaatan elektronika dan
mekanik.
5. Merumuskan suatu kalkulus dari prediktabilitas hukum.
Sebelum Jurimetrik dikenal terlebih dahulu dikenal apa yang
disebut dengan law report. Law report itu memuat antara lain:
a. Judul perkara,
b. Nomor acara pengadilan,
c. Tanggal putusan,
d. Kata pengantar (jenis perkaranya)
e. Ikhtisar,
f. Nama pengacara,
g. Ringkasan pledooi atau surat tuduhan
h. Ringkasan kenyataan.
i. Penjelasan pengadilan
j. Putusan pengadilan

Beberapa Pandangan Tentang Perubahan Hukum


a. Lawrence M. Friedman
b. Daniel S. Lev
c. Sinzheimer
d. Karl Renner
e. Thomas C. Dienes
f. Grad
g. Robert Seidman
h. Max Weber
i. Hugo Sinzeimer

21
a. Lawrence M. Friedman
Menurut Friedman ada 3 unsur hukum yang berubah : Struktur
Hukum, Substansi Hukum dan Kultur hukum.
Struktur Hukum yaitu pola yang menunjukkan tentang
bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan
formalnya, struktur ini menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat
hukum dan lain-lain badan serta proses hukum itu berjalan dan
dijalankan.
Substansi Hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh
para pelaku hukum pada waktu melaksanakan perbuatan-perbuatan
serta hubungan-hubungan hukum.
Contoh :
Pada saat pedagang melaksanakan perjanjian antar sesamanya, pada
saat itu ia mendasarkan hubungannya pada peraturan perdagangan,
dan inilah yang disebut dengan substansi hukum.
Kultur Hukum adalah penamaan untuk unsur tuntutan atau
permintaan. Tuntutan tersebut datangnya dari rakyat atau para
pemakai jasa hukum, seperti pengadilan.
Contoh:
Jika seorang kreditur menghadapi kredit macet, maka ia dapat
menempuh berbagi alternative :
- Kekeluargaan dengan menggunakan jasa debt kolektor-arbitrase
- Melimpahkan ke Pengadilan.

b. Pandangan Daniel S. Lev tentang Perubahan Hukum


Hukum itu bukanlah hukum tertulis atau perundang-undangan
(sebab itu akan menyempitkan arti hukum).
Hukum yang dimaksud dengan perubahan hukum adalah hukum
yang ada dalam praktek sehari-hari oleh para pejabat hukum (Hakim,
Jaksa, Polisi, Pengacara, dan sebagainya) apabila tingkah laku mereka
berubah maka hukumpun telah berubah, walaupun peraturan
perundang-undangannya masih tetap seperti dulu.

22
c. Teori Sinzheimer
Ada beberapa makna yang dapat diberikan mengenai
pengertian perubahan hukum, antaralain perubahan hukum dalam
bentuk pemberian isi konkret terhadapkaidah hukum yang abstrak.
Teori ini lebih lanjut dikembangkan Karl Renner.

d. Teori Karl Renner


Konsep hukum dari masyarakat pra-kapitalisme, tanpa
mengalami perubahan secara formal, masih dapat menyesuaikan diri
pada masyarakat kapitalisme.
Misalnya Ketika Renner membahas tentang konsep
kepemilikan. Semenjak dulu penguasaan atas objek pemilikan itu si
pemilik hanya memiliki hubungan pada objek pemilikan yaitu benda,
namun dalam perkembangannya ke arah kapitalisme telah mengubah
secara de facto hubungan tersebut.
Bukti perubahan itu misalnya :
Banyaknya arus perundang-undangan yang mengalihkan
barang milik menjadi barang umum, dengan demikian, makna abstrak
dari hak milik, yang sementara itu rumusannya tetap saja, telah berubah
isinya diakibatkan bergesernya hubungan-hubungan yang diatur oleh
kaidah itu menjadi bersifat publik.

e. Teori Perubahan Thomas C. Dienes


Perubahan hukum secara formal akan mengakibatkan
terlibatnya pula badan-badan yang menggerakkan perubahan itu, dan
badan yang dimaksud itu terutama: badan legislatif dan badan
peradilan.

f. Teori Grad tentang Momen Perubahan


Untuk menentukan kapan saat yang tepat hukum untuk
mengatur tidaklah mudah, sebab mungkin saja suatu kelompok

23
masyarakat membutuhkan pemecahannya, tetapi kelompok lain belum
tentu merasakan hal yang sama.
Kelebihan badan legislatif adalah keleluasaannya untuk berfikir
dan menimbang-menimbang untuk pembuatan hukum baru, tetapi
kelebihan ini sekaligus sebagai kelemahan, krn masa menilai itu telah
ditinggalkan oleh perubahan masyarakat.

g. Teori Robert Seidman


Bahwa hukum itu tidak demikian saja dapat ditransfer dari suatu
masyarakat ke masyarakat yang lainnya, hal ini dikenal dengan istilah;
The Law of The Non Transferrability of Law
Hal ini terjadi disebabkan berbedanya perangkat sosial, nilai-nilai
sosial yang dianut, stratifikasi sosialnya dan taraf pemikiran warga
masyarakatnya.

h. Teori Max Weber


Perkembangan hukum itu melalui 4 tahapan, yaitu:
1. Pengadaan hukum melalui pewahyuan (revelation) secara
kharismatik (law prophets), (ini sangat berbeda dengan pakar yang
mendasarkan pembuatan hukum dari kaidah yang ada sebelumnya)
2. Penciptaan dan penemuan hukum secara empiris oleh para legal
honoratiores”.
3. Pembenahan (imposition) hukum oleh kekuatan-kekuatan sekuler
atau teokratis, bersifat “secular theocratic”
4. Hukum digarap secara sistematis dan dilakukan secara profesional
oleh yang memeperoleh pendidikan formal hukum.

i. Teori Hugo
Dimana perubahan hukum harus segera dilakukan apabila akibat
adanya suatu keadaan atau peristiwa yang diatur, dianggap tidak sesuai
lagi dengan hukum yang mengaturnya.

24
D. Soal Tugas / Latihan
1. Jelakan tentang peran dan fungsi hukum dalam pembangunan dan
berikan contohnya!
2. Bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat
Sejauhmana hukum berperan untuk menggerakkan masyarakat
menuju suatu perubahan yang terencana?

25
PERTEMUAN V DAN VI
Pada Pertemuan V dan VI menjelaskan tentang sistem hukum dunia yang
masih ada relevansi dengan aspek-aspek pengubah hukum
Setelah mengikuti pertemuan V dan VI diharapkan mahasiswa mampu :
1. Memahami pengertian sistem hukum dunia
2. Memahami dan mengkontruksikan pembagian sistem hukum
3. Memahami dan menjelaskan sistem hukum di Indonesia

BAB III
SISTEM HUKUM DUNIA

A. Pengertian Sistem Hukum Dunia


Yang dimaksud dengan Sistem Hukum; Sistem merupakan tatanan
atau kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur
yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan kata lain sistem hukum
adalah suatu kumpulan unsur-unsur yang ada dalam interaksi satu sama
lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan kerjasama ke
arah tujuan kesatuan.
Mengartikan sistem hukum, tidak hanya terkait dengan arti dari kata
“sistem” semata, namun sangat bergantung pada pengertian “hukum”
yang dibicarakan. Terlepas dari hal tersebut, yang menjadikan hukum
sebagai sebuah sistem adalah adanya asas-asas hukum umum yang
mengikat berbagai norma hukum positif.
Paul Scholten mengatakan bahwa asas hukum (bersifat) positif
tetapi sekaligus melampaui hukum positif dengan cara menunjuk kepada
suatu penilaian etis. Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief
Sidharta, suatu sistem hukum adalah suatu struktur formal.
Selanjutnya kedua pakar tersebut mengatakan bahwa : Namun
apabila kita berbicara tentang sistem hukum Indonesia, maka yang kita
maksudkan adalah struktur formal kaidah-kaidah hukum yang berlaku dan
asas-asas yang mendasarinya, yang pada gilirannya didasarkan pada
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan dijiwai oleh falsafah Pancasila.

26
UUD 1945 dan Pancasila yang menjadi asas bagi sistem hukum
Indonesia, menurut kedua pakar tersebut, menjadikan sistem hukum
terdiri dari struktur formal maupun isinya. Selanjutnya juga dikatakan
bahwa :
“Selain memandang hukum sebagai suatu kompleks kaidah-kaidah
dan asas yang mengatur kehidupan masyarakat (pandangan formal) dan
pandangan yang mencakup didalamnya lembaga-lembaga dan proses-
proses untuk mewujudkannya dalam kenyataan hidup masyarakat
(pandangan normatif sosiologis), ada pula pihak yang memandang hukum
sebagai gejala sosial dalam konteks telaahan sosiologi-budaya (socio-
cultural context). Dalam konteks ini orang berbicara tentang budaya
hukum”.
Lawrence M. Friedman, mengutarakan 3 unsur utama sistem
hukum, yaitu struktur, substansi dan budaya hukum. Secara sepintas lalu
Friedman menambahkan pula unsur yang keempat yaitu dampak (impact).
Struktur sistem hukum (legal structure) berkaitan dengan bentuk
atau format yang mencakup unsur-unsur kelembagaan, pembentukan,
penegakan, pelayanan, pengelolaan hukum pada umumnya, seperti
badan pembentuk undang-undang, peradilan, kepolisian, administrasi
negara yang mengelola pembentukan atau pemberian pelayanan hukum
dan lain sebagainya.
Struktur dalam sistem hukum (legal substance) mencakup hal-hal
seperti berbagai aturan formal, aturan-aturan yang hidup dalam kenyataan
masyarakat (the living law), dan berbagai produk yang timbul akibat
penerapan hukum.
Budaya hukum berkenaan dengan sikap terhadap hukum. Sikap ini
berkaitan dengan sikap budaya pada umumnya, karena itu akan
menyentuh hal-hal seperti keyakinan (believe), nilai (value), cita (idea),
harapan-harapan (expectation).
Sedangkan dampak hukum berkenaan dengan akibat-akibat yang
timbul dari suatu keputusan atau penerapan hukum.

27
Sistem hukum bukan sekedar kumpulan asas dan kaidah hukum,
melainkan mencakup pula kelembagaan dan budaya hukum.
Dari segi asas dan kaidah hukum, suatu sistem hukum akan
mencakup elemen pembentukan, elemen substansi dan elemen
penerapan hukum, baik dalam bentuk penegakan maupun pelayanan
hukum.
Setiap elemen tersebut, selain mengandung asas dan kaidah
hukum, dengan sendirinya mengandung pula unsur-unsur kelembagaan,
unsur budaya dan dampak.
Asas mencerminkan nilai moral tertinggi yaitu keadilan. Contoh
asas pacta sun servanda, pasal 1338 BW, adalah adil bila setiap janji
harus ditepati.
Juga asas dalam hukum pidana nullum delictum nula poena sine
previalege poenale, adalah adil bilamana orang itu dihukum apabila sudah
ada undang-undangnya terlebih dahulu. Adapun kaidah bersifat normatif.
Tiada masyarakat atau suatu negara tanpa sistem hukum. Sistem
hukum dapat berbeda-beda karena perbedaan budaya, sistem politik,
idiologi dan sebagainya.
Demikian pula bentuk negara dapat menampakkan suatu sistem
hukum yang berbeda, sehingga ada sistem hukum negara yang berbentuk
federal dan sistem hukum negara yang berbentuk kesatuan.
Ditinjau dari unsur-unsur sistem hukum yang diutarakan Friedman,
kajian hubungan sistem hukum nasional dengan negara kesatuan RI akan
lebih mudah dikaitkan dengan unsur budaya hukum.
Paham Negara Kesatuan bagi Bangsa Indonesia adalah suatu
keyakinan, suatu nilai, suatu cita dan harapan-harapan. Dengan unsur-
unsur tersebut, paham negara kesatuan bagi rakyat Indonesia
mempunyai makna ideologis bahkan filosofis, bukan sekedar yuridis-
formal.
Dengan perkataan lain bentuk negara kesatuan merupakan salah
satu unsur budaya bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

28
Karena itu sudah semestinya sistem hukum nasional merupakan
pengejawantahan unsur budaya tersebut.
Hukum dalam sistem hukum nasional akan secara ajeg
mencerminkan tatanan dan tujuan rakyat Indonesia berbangsa dan
bernegara dalam wadah Negara Kesatuan yang berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.
Untuk menguji ketepatan pembinaan sistem hukum nasional
dengan paham kultural-ideologis tersebut, pertama-tama nampak dari
rumusan-rumusan politik hukum nasional. Tiada negara tanpa politik
hukum.
Politik hukum menurut M. Solly Lubis memberi arti sebagai
kebijakan politik yang menentukan aturan hukum apa yang seharusnya
berlaku dalam mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Teuku Muhammad Radie, mengartikan sebagai pernyataan
kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di
wilayahnya, dan mengenai arah ke mana hukum hendak dikembangkan.
Padmo Wahyono menyatakan sebagai suatu kebijaksanaan dasar
yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan
dibentuk.
Politik hukum (legal policy) dapat dikatakan sebagai patokan dalam
menentukan pilihan, arah dan bentuk (konfigurasi) hukum yang harus
dikembangkan.
Dalam kerangka melakukan pembangunan dibidang hukum
tentunya tidak bisa dilihat sebagai pembangunan hukum an sich dalam
arti tekstual, akan tetapi hukum harus dilihat secara kontekstual artinya
dalam kaitannya dengan pembangunan pada bidang-bidang lain, karena
hukum merupakan salah satu bagian dari sistem kehidupan nasional.
Oleh karena itu di dalam memahami dan melaksanakan
pembangunan hukum di Indonesia paling tidak terdapat tiga hal yang
harus diperhatikan yaitu wawasan politik hukum, garis politik hukum, serta
kepentingan nasional yang menjadi pertimbangan politiknya.

29
B. Pembagian Sistem Hukum
Prof. Rene David membagi sistem hukum sebagai berikut :
1. Sistem Romawi Jerman (selalu diistilahkan dengan Civil Law)
2. Sistem Common Law
3. Sistem Hukum Agama dan Filsafat
4. Sistem Hukum Sosialis
Selanjutnya akan dijelaskan secara rinci tentang sistem hukum
tersebut, sebagai berikut :
1. Civil Law
Seperti yang berlaku di negara-negara Eropa yang lebih
mementingkan kodifikasi, ilmu hukum kontinental ini sangat dipengaruhi
oleh hukum Romawi.
Sistem hukum civil law adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri
adanya berbagai ketentuan-ketentuan dikodifikasi secara sistematis yang
akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim. Sistem hukum ini berasal dari
Romawi.
Perkembangan diawali dengan pendudukan Romawi atas Prancis
pada masa itu, sistem ini dipraktekkan dalam interaksi antara kedua
bangsa untuk mengatur kepentingan mereka.
Proses ini berlangsung bertahun-tahun, sampai-sampai negara
Prancis sendiri mengadopsi sistem hukum ini untuk diterapkan pada
bangsanya sendiri.
Bangsa Prancis membawa sistem ini ke Negeri Belanda, dengan
proses yang sama dengan masuknya ke Prancis.
Selanjutnya sistem ini berkembang ke Italia, Jerman, Portugal,
Spanyol dan sebagainya. Ketika bangsa-bangsa Eropa mulai mencari
Koloni di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, sistem hukum ini digunakan oleh
bangsa-bangsa Eropa tersebut untuk mengatur masyarakat pribumi di
daerah jajahannya. Misalnya Belanda menjajah Indonesia, pemerintah
penjajah menggunakan sistem Civil Law untuk mengatur masyarakat
dinegeri jajahannya.

30
Apabila terdapat suatu peristiwa hukum yang melibatkan orang
Belanda atau keturunannya dengan orang pribumi, sistem hukum Civil
Law ini yang berlaku dan menjadi dasar pengaturan selama menduduki
Indonesia.
Civil Law adalah sistem hukum yang memperoleh kekuatan
mengikat, karena sumber-sumbernya diwujudkan dalam peraturan-
peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik
di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu.
Prinsip utama ini dianut mengingat nilai utama yang merupakan
tujuan hukum adalah kepastian hukum. Sehingga berdasarkan sistem
hukum yang dianut tersebut, hakim tidak dapat leluasa untuk menciptakan
hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum.
Hakim hanya berfungsi menetapkan dan menafsirkan peraturan-
peraturan dalam batas-batas wewenangnya. Putusan seorang hakim
dalam suatu perkara hanya mengikat pihak yang berperkara saja.
Sumber hukum dalam sistem Civil Law terdiri dari statutes,
regulation dan custom. Yang dimaksud dengan statutes adalah
perundang-undangan, sedangkan regulation adalah peraturan - peraturan
yang pembuatannya telah melalui pelimpahan kekuasaan dari legislatif
kepada eksekutif.
Customs adalah kebiasaan yang dipraktekkan dalam masyarakat
yang tidak dituangkan dalam bentuk tertulis.

2. Common Law
Sistem ini berasal dari Inggris (dalam sistem ini tidak ada sumber
hukum, sumber hukum hanya kebiasaan masyarakat yang dikembangkan
di pengadilan/keputusan pengadilan).
Hukum Inggris karena keadaan geografis dan perkembangan
politik serta sosial yang terus menerus, dengan pesat berkembang
menurut garisnya sendiri, dan pada waktunya menjadi dasar
perkembangan hukum Amerika.

31
Sistem hukum Anglo Saxon adalah suatu sistem hukum yang
didasarkan pada yurisprudens, yaitu keputusan-keputusan hakim yang
terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan-putusan hakim-hakim
selanjutnya.
Sistem hukum ini di terapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia
Baru, Afrika Selatan, Amerika Serikat, Malaysia, Singapura.
Pengertian common law menurut Black’s Law Dictionary
didefinisikan :
1) The body of law derived from judicial deicision, rather than from
statutes or constitutions ;
2) The body of law based on the English Legal System, as distinct from
a civil law system ;
3) General law common to the country as a whole, as opposed to
special law that has only local application ;
4) The body of law deriving from law courts as opposed to those sitting
in equity.
Yang memiliki pengertian sebagai berikut :
➢ Hukum yang berasal/bersumber dari putusan pengadilan, bukan
dari undang-undang atau konstitusi ;
➢ Hukum yang didasarkan pada sistem Hukum Inggris, sebagai
perbedaan dari sistem civil law ;
➢ Hukum umum bagi suatu negara sebagai suatu keseluruhan,
sebagai lawan dari hukum khusus yang hanya diterapkan secara
lokal ;
➢ Hukum yang berasal dari hukum pengadilan (putusan hakim) yang
berlawanan dengan kehendak pencari kedilan.
Sistem hukum Anglo Saxon, sebenarnya penerapannya lebih
mudah terutama pada masyarakat di negara-negara berkembang karena
sesuai dengan perkembangan jaman.
Pendapat para ahli dan praktisi hukum lebih menonjol digunakan
oleh hakim, dalam memutuskan perkara.

32
Sumber-sumber hukumnya tidak tersusun secara sistematik dalam
hirarki tertentu seperti sistem hukum Civil Law.
Dalam sistem hukum Anglo Saxon adanya peranan yang diberikan
kepada seorang hakim yang berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang
bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja,
melainkan peranannya sangat besar yaitu membentuk seluruh tata
kehidupan masyarakat.
Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan
peraturan hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum
baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk
memutuskan perkara yang sejenis.
Dalam sistem ini, diberikan prioritas yang besar pada yurisprudensi
dan menganut prinsip Judge Made Precedent sebagai hal utama dari
hukum. Di Inggris unifikasi hukum dilaksanakan dan diselesaikan oleh
Benc dan Bar.
Pengadilan Bench dan Bar ini sangat dihormati oleh rakyat Inggris,
oleh karena mampu mewakili rasa keadilan dari masyarakat, sekalipun
Bench dan Bar merupakan pegawai pemerintah selama periode Revolusi
Industri, para hakim dan penasehat hukum yang merupakan penjabaran
dari Hobeas, Corpus, Centorari dan Madamus tetap tidak memihak
selama masa revolusi dan hukum yang dibentuk pengadilan justru
mendukung kekuatan-kekuatan sosial politik yang menghendaki
perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat Industri.
Dengan demikian di Inggris pada masa Revolusi lembaga-lembaga
hukum tetap berada di tangan pengadilan yang berwibawa di negara-
negara Common Law kebiasaan berkembang ketika pemikiran manusia
tentang hukum masih bersifat kaku.
Tugas menciptakan hukum kebiasaan semula di tangani oleh The
Court Of Chancery ini digunakan oleh raja untuk menghadapi kekuasaan
dari pengadilan.
Perkembangan tersebut kemudian menghasilkan perbedaan
antara apa yang disebut dengan “law” dan “Equity” di lain pihak.

33
Secara historis Equity merupakan lembaga hukum terpisah dari law
dan merupakan reaksi terhadap ketidak mampuan hukum yang
dikembangkan pengadilan dalam mengatasi adanya kerugian-kerugian
yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran hukum.
Common Law adalah hukum yang diciptakan oleh Raja dan
lembaga peradilannya serta merupakan hukum yang berlaku untuk
seluruh kerajaan Inggris, sedangkan sistem hukum Equity adalah sistem
hukum yang dibentuk oleh suatu lembaga peradilan yang disebut The
Court of Common Law.
Dengan demikian dapat dikatakan Equity merupakan suplemen
dari Common Law. Apabila kita lihat pada sistem common law legislasinya
dikatakan : nowaday, English lawyers generally have no doubt that in a
conflict between statute law and judge determined law, the former prevails
over the latter. It is of superior legal authority.
Pada saat ini, secara umum hukum Inggris mempunyai ketentuan
apabila ada pertentangan antara hukum undang-undang dan keputusan
pengadilan, maka yang berlaku adalah keputusan kemudian itu. Itu adalah
otoritas yang lebih tinggi. (Rogger Cotterrell, The Politics of Jurisprudence,
A Critical Introduction to Legal Philosophy).
Dalam perkembangannya Hukum Amerika bertambah bebas dalam
sistem hukum aktualnya, yang lama kelamaan terdapat perbedaan yang
fundamental yaitu:
a. Di Amerika Hukum yang tertinggi tertulis, yakni konstitusi Amerika
yang berada di atas tiap- tiap undang-undang. Di Inggris
kekuasaan parlemen untuk membuat undang-undang tidak
terbatas.
b. Karena seringnya ada kebutuhan akan penafsiran konstitusi,
Hakim Amerika (dibanding Inggris) lebih sering dihadapkan pada
persoalan kepentingan umum.
c. Kebutuhan untuk mensistematisasikan hukum, di Amerika dirasa
lebih mendesak, karena banyaknya bahan hukum yang
merupakan ancaman karena tidak mudah untuk diatur.

34
Ciri dari common law system ini adalah :
a. tidak ada perbedaan secara tajam antara hukum publik dan
perdata
b. tidak ada perbedaan antara hak kebendaan dan perorangan
c. tidak ada kodifkasi
d. keputusan hakim terdahulu mengikat hakim yang kemudian
(asas precedent atau stare decisis)
Dalam perkembangannya, sistem hukum ini mengenal
pembagian hukum publik dan hukum privat. Hukum Privat menurut
sistem hukum ini lebih ditujukan kepada kaidah hukum tentang hak
milik, hukum tentang orang, hukum perjanjian, dan hukum tentang
perbuatan melawan hukum.

Khusus Indonesia
Selain sistem hukum yang disebutkan di atas juga dikenal
Sistem Hukum Adat.
Perkataan hukum adat (adat-recht) pertama kali digunakan oleh
Christian Snouck Hurgronye pada tahun 1893 sebagai sebutan bagi
hukumrakyat Indonesia yang tidak terkodifikasi.
Hukum adat adalah hukum yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat sejak lama yang berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat itu baik nilai asli maupun sinkretis nilai-nilai asli dengan
nilai-nilai yang datang dari luar dan hanya berlaku bagi masyarakat itu
saja. Secara umum hukum adat tidaklah tertulis, ia hidup dalam
kebiasaan masyarakat, berkembang dalam tutur kata rakyat indonesia
disampaikan dengan bahasa oral sesuai dengan logat, intuisi dan
bahasa daerah hukum adat itu hidup.
Perkataan hukum mengandung pengertian bahwa apabila
dilanggar maka timbul akibatnya (sanksi), sedangkan perkataan adat
dikutip dari bahasa Arab yang mempunyai arti kebiasaan.
Maka pengertian hukum adat atau kebiasaan yang mempunyai
akibat hukum. Sedangkan rumusan hukum adat berdasarkan uraian

35
Van Vollenhoven, yaitu hukum asli orang Indonesia sifatnya tertulis,
tumbuh dan berkembang secara bebas tanpa disadari, pada umumnya
dipatuhi disebabkan antara lain karena takut akan sanksi apabila
hukum adat dilanggar.
Alam pikiran yang mempengaruhi hukum adat adalah
terciptanya suatu keseimbangan dalam masyarakat itu sendiri, baik
keseimbangan sesama manusia individu, antar kelompok, individu
dengan kelompok, antar kelompok, keseimbangan manusia dengan
alam maupun keseimbangan dunia lahir dan dunia bathin. Oleh karena
keseimbangan ini terusik maka akan berbuah bencana bagi manusia,
maka hukum adat harus ditegakkan dan siapapun yang dinyatakan
bersalah harus menerima sanksi adat agar keseimbangan tersebut
kembali seperti semula.
Hukum adat telah lama berlaku dan dipatuhi oleh masyarakat
Indonesia, secara filosofis dapat dikatakan bahwa berlakunya hukum
adat di Indonesia karena hukum tersebut mencerminkan kepribadian
bangsa, mengandung nilai-nilai bangsa serta dirasakan adil oleh
masyarakat Indonesia.
Dalam mempelajari perbandingan hukum, kita tidak semata-
mata ingin mengetahui perbedaan-perbedaan, tetapi yang penting
adalah untuk mengetahui sebab-sebab adanya perbedaan-perbedaan
tersebut. Untuk itu kita perlu mengetahui latar belakang dari peraturan-
peraturan hukum yang kita jumpai.
Juga kita akan melihat adanya persamaan-persamaan
mengenai berbagai hal dalam sistem hukum mana saja, karena rasa
hukum dan keadilan mengenai hal-hal itu dimana-mana adalah sama.
Misalnya, bahwa dalam hukum waris, kalau ada anak dari si meninggal,
anak itu menutup ahli-ahli waris lainnya.
Pemberlakuan hukum adat di Indonesia sangatlah beragam,
setiap daerah mempunyai hukum adat tersendiri dan berbeda satu
sama lainnya. Mulai dari yang secara jelas sangat dekat dengan hukum
Islam sampai pada yang masih menganut animisme, ada hukum adat

36
yang menganut patrilineal, matrilineal namun juga ada yang menganut
sistem bilateral. Van Vollenhoven membagi 19 (Sembilan belas)
lingkaran hukum adat yang ada di Indonesia, yaitu Aceh, Gayo,
Minangkabau, Sumatera Selatan, Melayu, Bangka-Belitung,
Kalimantan, Minahasa, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan, Ternate,
Maluku, Irian, Timor, Bali dan Lombok, Jawa Tengah dan Jawa Timur
Solo-Yogyakarta dan Jawa Barat.
Negara hukum Pancasila merupakan bentuk prismatik dari
semua sistem hukum, yaitu bergabungnya semua unsur baik dari
semua sistem hukum yang ada. Oleh sebab itu, maka hukum adat
sebenarnya harus mendapatkan tempat yang layak dalam sistem
hukum di dalam negara hukum Indonesia, karena hukum adat
merupakan hukum asli orang Indonesia dan merupakan karya cipta
bangsa Indonesia itu sendiri. Selanjutnya, hukum adat lebih sesuai
dengan karakter, kepribadian, serta kebudayaan Indonesia
dibandingkan dengan hukum lainnya, baik rechstaat, rule of
law maupun Nomokrasi Islam.

3. Sistem Hukum Agama Dan Filsafat


Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan
ketentuan agama tertentu. Sistem hukum agama biasanya terdapat
dalam Kitab Suci.
Di Indonesia memang tidak dipungkiri bahwa hukum Islam
menjadi salah satu sistem hukum yang digunakan oleh warga negara
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh penduduk Indonesia sendiri yang
mayoritas bergama Islam, sehingga hukum Islam sendiri muncul dan
mempengaruhi aturan-aturan yang berlaku di Indonesia, sebagai wujud
dari kebutuhan masyarakat itu sendiri khususnya yang beragama Islam.
Hukum Islam mulai mempengaruhi aturan yang berlaku sejak
agama Islam memasuki negara Indonesia dibawa oleh para pedagang
dari Gujarat yang datang untuk melakukan perdagangan, selain itu
mereka juga menyebarkan agama Islam, sehingga dengan hal ini

37
masuklah agama Islam. Maka dengan masuknya agama Islam ini
tentunya membawa pengaru-pengaruh dalam hal keagamaan serta di
dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian hukum Islam mulai memberikan pengaruhnya
di Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya perundang-undangan yang
memperkokoh hukum Islam. Di Indonesia perundang-undangan
tersebut terdapat dalam beberapa macam yaitu :
a) Undang-undang perkawinan
Perkawinan merupakan suatu tindakan yang mengakibatkan
adanya hukum-hukum yang harus ditaati, dan ikatan perkawinan
mempunyai dampak yang luas, baik natural, sosial, maupun yuridis
atau hukum, sehingga perkawinan ini perlu adanya suatu aturan-aturan
yang menaunginya. Undang-undang tentang perkawinan muncul pada
masa orde baru, setelah melalui berbagai lika-liku, dicetuskan dalam
UU No. 1 Tahun 1974 yang kemudian ditindak lanjuti dengan Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang terdiri dari 14 Bab dan 67 pasal.
b) Undang-undang Peradilan Agama
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama
disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989.
Jadi artinya undang-undang tentang peradilan agama baru pada
tanggal tersebut, namun sesungguhnya usaha untuk memantapkan
kedudukan Peradilan Agama sebenarnya sudah dirintis oleh
Departemen Agama. Kegiatan penyusunan Rancangan Undang-
undang tentang peradilan agama sudah dimulai sejak tahun 1961,
namun baru secara konkret dilaksanakan pada tahun 1971. Setelah
mengalami pembahasan yang panjang Baru pada tanggal 29
Desember 1989 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Adapun isinya
terdiri dari 7 Bab dan terdiri dari 108 pasal.
c) Undang-undang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Dengan penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam,
tentunya kegiatan ibadah haji pun sangat tinggi intensitasnya, untuk itu
agar penyelenggaraan haji bisa berjalan lancar, tidak ada kesulitan,

38
baik didalam negeri maupun ketika diluar negeri, maka diperlukan
manajemen yang baik, sehingga dibentuklah Undang-undang tentang
Penyelenggaraan haji, yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999
tentang penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan dan diundangkan di
Jakarta pada tanggal 31 mei 1999. Undang-undang penyelenggaraan
haji terdiri dari 15 Bab dan 30 pasal.
d) Undang-undang Pengelolaan Zakat.
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang harus dijalankan oleh
seluruh umat muslim, khususnya di Indonesia yang mayoritas
beragama muslim, maka sangat mutlak dibutuhkan aturan-aturan yang
mengatur pengelolaan zakat tersebut. Mengacu hal ini, maka
pemerintah membentuk Undang-undang tentang Pengelolaan zakat,
yaitu Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember
1999. UU Pengelolaan Zakat terdiri dari 10 Bab dan 25 pasal.
e) Undang-undang Penyelenggaraan Keistimewaan DI Aceh.
Aceh yang memang memiliki keistimewaan sendiri tentang
hukum-hukum yang berlaku disana, masyarakat aceh yang memang
menghendaki penetapan hukum Islam, dan sealu menjunjung tinggi
adat, dan telah menempatkan ulama pada peran yang sangat terhormat
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara perlu
dilestarikan dan dikembangkan. Dan pemerintah juga memberikan
jaminan kepastian hukum dalam penyelenggaraan keistimewaan yang
dimiliki rakyat aceh sebagaimana tersebut diatas dengan munculnya
Undang-undang No. 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. UU No. 44 tahun 1999
terdiri dari 5 Bab dan 13 pasal.

4. Sistem Hukum Sosialis


Socialist Law adalah nama resmi untuk sistem hukum di negara-
negara komunis. Kata sosialis ketika digunakan dalam hubungannya
dengan hukum mengandung banyak arti berbeda diantara para ahli

39
hukum. Pada dasarnya, kata “sosialis” menandakan filosofi dan ideologi
yang berdasarkan yang pada umumnya mengacu ke pemikiran
“Marxist-Leninist”. Ideologi sosialis selalu dihubungkan dengan prinsip
bahwa keseluruhan hukum adalah instrumen dari kebijakan ekonomi
dan sosial, dan kebiasaan common law dan civil law menggambarkan
kapitalis, burjuis, imperialis, eksploitasi masyarakat, ekonomi dan
pemerintahan. Teori Marxist dibangun diatas dasar doktrin
“dialektikal/historikal materialisme” yang berpendapat bahwa
masyarakat bergerak menuju berbagai tingkatan dan fase di dalam
menjalaninya itu merupakan evolusi dan pembangunan. Itu
kemungkinan dimulai tanpa sistem hukum, kemudian menjadi salah
satu kepemilikan buruh, diikuti dengan tingkat dari abad pertengahan,
sebelum bergerak menjadi kapitalisme, kemudian sosialisme sebelum
akhirnnya hukum bertambah buruk di dalam masyarakat tanpa kelas
tanpa kepentingan terhadap sistem hukum apapun karena semua
manusia akan saling membicarakan keadilan satu sama lain.
Ada dua teori yang mendasari hukum dalam masyarakat
sosialis, yaitu:
Pertama : Keseluruhan hubungan-hubungan dari produksi
membangun struktur ekonomi masyarakat, dasar yang sebenarnya,
yang di atasnya timbul supra-struktur hukum dan politik, dan dengan
mana bentuk-bentuk kesadaran sosial menyesuaikan diri.
Kedua : Bahwa seluruh cita hukum berkaitan dengan negara dan
karena itu merupakan sarana dengan mana mereka yang mengawasi
alat-alat produksi tetap mengawasi mereka yang dicabut hak miliknya.
Dengan berpindahnya pemilikan alat-alat produksi ketangan
masyarakat, individu akan dilibatkan, seperti halnya negara dan hukum,
yang dibenarkan hanya oleh kebutuhan dengan paksaan.
Catatan terhadap kedua teori ini tentunya sangat menyesatkan,
sebab dapat menjadi penyekat pemikiran konstruktif mengenai fungsi
hukum dalam masyarakat sosialis.

40
Ideologi hukum resmi Marxis-Leninis memegang kontrol tunggal
di semua negara sosialis Eropa Timur, meski dalam masa-masa
tertentu di negara-negara tertentu iseologi ini ditafsirkan secara relatif
orthodoks.
Kata sosialis jika digunakan dalam bidang hukum memiliki
berbagai macam makna. Pada lapisan yang paling mendasar, ia
melambangkan sebuah filsafat dan ideologi yang didasarkan pada apa
yang secara umum dirujuk marxis-leninis.
Christine Sypnowich mendefinisikan sosialisme sebagai sebuah
masyarakat dimana hak kepemilikan privat dalam bentuk modal telah
dihilangkan dan digantikan dengan kepemilikan bersama atas sarana-
sarana produksi yang dengan demikian memperbolehkan tingkat
kesetaraan dan persaudaraan yang tinggi dalam hubungan-hubungan
sosial.
Teori Marxis-Leninis mengagungkan primasi hubungan ekonomi
didalam masyarakat, yang mengambil preseden terhadap politik dan
hukum.

C. Sistem Hukum di Indonesia


Sistem hukum Indonesia adalah keseluruhan aturan tentang apa
yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh
manusia yang mengikat dan terpadu dari satuan kegiatan satu sama lain
untuk mencapai tujuan hukum di Indonesia. Semua warga Negara
bersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan dan tidak ada kecualinya. Untuk
mewujudkan Negara hukum yang Pancasialis harus ada alat-alat penegak
hukum yang mampu bertindak sebagai penegak hukum di Negara tercinta
ini. Alat-alat penegak hukum yang bertindak objektif yang didukung oleh
seluruh warga Negara akan mampu menciptakan ketertiban dan keadilan
bagi warga negaranya. Sistem hukum nasional adalah suatu keseluruhan
dari unsur-unsur hukum nasional yang saling melekat dalam rangka
mencapai suatu masyarakat yang berkeadilan. Sistem hukum nasional

41
terdiri dari tiga bagian, yaitu struktur kelembagaan hukum, materi hukum,
dan budaya hukum.
Sistem hukum Indonesia merupakan perpaduan beberapa sistem
hukum. Sistem hukum Indonesia merupakan perpaduan dari hukum
agama, hukum adat, dan hukum negara eropa terutama Belanda sebagai
Bangsa yang pernah menjajah Indonesia. Belanda berada di Indonesia
sekitar 3,5 abad lamanya. Maka tidak heran apabila banyak peradaban
mereka yang diwariskan termasuk sistem hukum. Bangsa Indonesia
sebelumnya juga merupakan bangsa yang telah memiliki budaya atau
adat yang sangat kaya. Bukti peninggalan atau fakta sejarah mengatakan
bahwa di Indonesia dahulu banyak berdiri kerajaan-kerajaan hindu-budha
seperti Sriwijaya, Kutai, Majapahit, dan lain-lain.
Zaman kerajaan meninggalkan warisan-warisan budaya yang
hingga saat ini masih terasa. Salah satunya adalah peraturan-peraturan
adat yang hidup dan bertahan hingga kini. Nilai-nilai hukum
adat merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia. Indonesia
merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar maka tidak heran
apabila bangsa Indonesia juga menggunakan hukum agama terutama
Islam sebagai pedoman dalam kehidupan dan juga menjadi sumber
hukum Indonesia.
Sistem hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh sistem hukum
Eropa Kontinental (civil law). Pengaruh bukan berarti identik. Sistem
hukum Indonesia juga tidak sama dengan sistem hukum Anglo-America.
Sebelum kemerdekaan, hanya Inggris, sang Penjajah, yang mencoba
menerapkan beberapa konsep peradilan ala Anglo Saxon seperti
Sistem Jury dan konsep peradilan pidana. Namun, sejak akhir 70-an,
konsep hukum yang biasa digunankan di sistem Anglo America banyak
diadopsi dalam sistem hukum Indonesia. Tidak hanya konsep-konsep
hukum pidana. Konsep perdata dan hukum ekonomi banyak mengacu
pada perkembangan hukum di Indonesia. Ada yang bilang sistem hukum
di Indonesia adalah sistem hukum Indonesia itu sendiri. Sebuah sistem

42
yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan
kompromi dari beberapa sistem yang telah ada.

D. Soal Tugas / Latihan


1. Sebutkan dan jelaksan pembagian sistem hukum yang ada di dunia!
2. Sistem hukum apa yang digunakan di Indonesia?

43
PERTEMUAN VII DAN VIII

Pada Pertemuan VII dan VIII menjelaskan tentang sumber-sumber hukum


dari beberapa sistem hukum
Setelah mengikuti pertemuan VII dan VIII diharapkan mahasiswa mampu :
1. Memahami Pengertian Sumber Hukum
2. Memahami dan menjelaskan Sumber Hukum dari Sistem Civil Law
3. Memahami dan menjelaskan Sumber Hukum dari Sistem Common
Law
4. Memahami dan menjelaskan Sumber Hukum dari Sistem Sosialis
Law

BAB IV
SUMBER-SUMBER HUKUM

A. Pengertian Sumber Hukum


Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-
aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu
dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi
pelanggarnya.
Pada hakekatnya yang dimaksudkan dengan sumber hukum
adalah tempat kita menemukan atau menggali menggali hukumnya.
Kata sumber hukum digunakan dalam beberapa arti yaitu :
➢ sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan
hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa dan
sebagainya.
➢ menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan
kepada hukum yang sekarang berlaku : hukum Perancis, hukum
romawi.
➢ sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku
secara formal kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat)
➢ sebagai sumber darimana kita dapat mengenal hukum misalnya
dokumen, undang-undang, lontar, batu bertulis dan sebagainya
➢ sebagai sumber terjadinya hukum : sumber menimbulkan hukum.

44
Algra, membagi sumber hukum menjadi sumber hukum materiil dan
sumber hukum formil.
Sumber hukum materiil ialah tempat darimana materi hukum itu
diambil, sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu
pembentukan hukum, misalnya : hubungan sosial, hubungan kekuatan
politik, situasi sosial ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan,
kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalulintas), perkembangan
internasional, keadaan geografis.
Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber darimana
suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan
bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku.
Ahmad Sanoesi membagi sumber hukum menjadi 2 kelompok
yaitu:
❖ Sumber hukum normal : Undang-undang Perjanjian Antar Negara,
kebiasaan, perjanjian, doktrin dan yurispridensi.
❖ Sumber hukum abnormal : proklamasi, revolusi, coup d’etat.
Menurut TAP MPR No. III/MPR/2000 sumber hukum dasar nasional
adalah Pancasila, sedangkan tata urutan peraturan perundang-undangan
adalah sebagai berikut :
1) UUD 1945, yang merupakan sumber dasar tertulis Negara
Republik Indonesia dan memuat dasar dan garis besar hukum
dalam penyelenggaraan negara
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3) Undang-undang
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
5) Peraturan Pemerintah
6) Keputusan Presiden
7) Peraturan Daerah
Sejak tahun 1945 sampai sekarang, Indonesia mengalami
perubahan yang bisa dibilang berlangsung cepat. Hukum dibuat untuk
mencapai perubahan tersebut, walaupun dirasa masih sedikit tersendat.
Seperti yang kita ketahui bahwa hukum berusaha mencapai

45
perkembangan yang berlangsung cepat tersebut, namun ternyata dalam
pelaksanaanya masyarakat belum siap terhadap hukum yang telah dibuat.
Padahal hukum mempunyai tugas menjaga ketertiban, keamanan, dan
memberikan keadilan bagi masyarakat.
Perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat berubah
sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, seiring dengan
berkembangnya zaman peraturan perundang-undangan yang telah dibuat
terkadang perlu adanya pembetulan dan penyesuaian agar sesuai dengan
kebutuhan hukum masyarakat. Peraturan perundang-undangan
merupakan sarana penting untuk menjaga hubungan yang antara warga
masyarakat dengan pemerintah untuk mewujudkan tujuan bersama
secara dinamis, tetapi tertib dan teratur.
Pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi kejelasan
tujuan yang ingin dicapai, kelembagaan yang tepat, kesesuaian isi materi,
efektifitas peraturan perundang-undangan, kejelasan dalam perumusan,
kemanfaatan untuk mengatur masyarakat, kepastian hukum, dan
keterbukaan (transparan) dalam pembuatan peraturan perundang-
undangan. Hal-hal diatas merupakan dasar bagi pembentuk peraturan
perundang-undangan.
Apabila dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tidak
sesuai hal-hal tersebut diatas maka peraturan perundang-undangan yang
dibuat bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-
undangan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak serta merta
secara asal tanpa memperhatikan kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi
harus dibuat sedemikian rupa dengan memperhatikan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan dan juga pembentukan tersebut
bertujuan untuk keadilan masyarakat.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan pada
dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,
perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan
penyebarluasan. Selain itu, dalam perancangan perundang-undangan

46
tentunya perlu diselaraskan dan disesuaikan dengan peraturan
perundang-undangan lain baik undang-undang yang lebih tinggi ataupun
yang lebih rendah dari RUU tersebut sehingga tersusun secara sistematis
dan untuk mencegah terjadinya tumpang tindih (overlaping).
Pembentukan peraturan perundang-undangan telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan, setelah undang-undang tersebut dilaksanakan
kurang lebih 7 (tujuh) tahun, perlu ada penggantian atau perubahan
terhadap pasal-pasal tersebut. Salah satu penyebab digantinya Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 yaitu masalah hierarki peraturan
perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 kemudian digantikan
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan dengan merubah isi atau materi muatan
termasuk hierarki peraturan perundang-undangan yang menjadi masalah
utama dalam perubahan undang-undang tersebut.
Di dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
disebutkan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri dari UUD 1945,
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan peraturan daerah.
Sedangkan didalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 terdapat penambahan dengan memasukkan TAP MPR.
Adapun bunyi dari pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
yaitu:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi;
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

47
Disahkannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 ini
mempunyai dampak hukum terhadap Undang-undang Nomor 10 tahun
2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dimana
sesuai dengan asas bahwa ketika ada suatu peraturan perundang-
undangan yang sama, maka yang digunakan adalah peraturan
perundang-undangan yang baru. Hal ini dipertegas dalam Pasal 102
dimana berbunyi :
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku”.
Sehingga dengan adanya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011
ini menggantikan Undang-undang yang lama yaitu Undang-undang
Nomor 10 tahun 2004.
Selain itu, berdasarkan asas lex superiori derogate legi inferiori
yang berarti peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan
yang lebih rendah maka hierarki tersebut sangatlah penting. Tanpa
adanya hierarki peraturan perundang-undangan tersebut, tidak dapat
dilaksanakannya asas tersebut. Dengan adanya hierarki peraturan
perundang-undangan, adanya suatu kepastian hukum dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan.

B. Sumber Hukum dari Sistem Civil Law


Menurut system hukum Civil Law, sumber hukum ada 4 (empat),
yaitu :
1) Undang-Undang
2) Kebiasaan
3) Traktat
4) Doktrin
Dalam sistem Civil Law, menyoal sumber hukum tidak akan lepas
dari teori kekuasaan dari Montesquieu.

48
Kekuasaan pembuatan hukum ada pada tangan legislatif dan
lembaga ini harus merespon kepentingan publik popular will yang
kemudian dituangkan dalam suatu statute (undang-undang).
Negara-negara penganut civil law yang juga menganut positivis
telah mereduksi pengertian hukum kepada ruang yang lebih sempit yaitu
undang-undang.
Secara singkat sumber hukum dalam sistem civil law terdiri dari
statutes, regulation dan customs. Statutes adalah merupakan undang-
undang, regulasi adalah peraturan-peraturan yang pembuatannya melalui
power delegation dari lembaga legislatif kepada eksekutif, sedangkan
custom adalah kebiasaan cukup menarik untuk dicermati mengingat
custom bukan merupakan suatu legal term yang tepat dalam dunia
positivisme.
Custom adalah kebiasaan yang dipraktekkan dalam masyarakat
yang tidak dituangkan dalam bentuk tertulis (non stattory law).

a) Undang-Undang
Dalam arti materiil yang dinamakan Undang-undang
merupakan keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari
isinya disebut undang-undang dan mengikat secara umum.
Undang-undang dalam arti formil ialah keputusan penguasa
yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya disebut Undang-undang.
Jadi Undang-undang dalam arti formil tidak lain merupakan ketetapan
penguasa yang memperoleh sebutan Undang-undang karena cara
pembentukkannya.
Mengenai pengundangan tidak diatur dalam Undang-undang
Dasar Tentang cara mengundangkan dan berlakunya Undang-
undang semula diatur dalam Peraturan Pemerinta Nomor 1 Tahun
1945, tentang cara mengundangkan dan berlakunya Undang-undang
dan peraturan. Menurut peraturan tersebut segala Undang-undang
dan Peraturan Presiden diumumkan oleh Presiden dan ditanda-
tangani oleh Sekretaris Negara.

49
Kekuatan berlakunya Undang-undang perlu dibedakan dari
kekuatan mengikatnya Undang-undang. Undang-undang mempunyai
kekuatan mengikat sejak diundangkan dalam lembaran negara. Ini
berarti bahwa sejak dimuatnya dalam lembaran negara setiap orang
terikat untuk mengakui eksistensinya. Kekuatan berlakunya Undang-
undang menyangkut berlakunya Undang-undang secara operasional.
Kekuatan Berlakunya Undang-undang ada 2 (dua) macam,
yaitu :
a. Kekuatan berlaku yuridis
Undang-undang mempunyai kekuatan berlaku yuridis
apabila persyaratan formal terbentuknya Undang-undang itu
telah terpenuhi.
Menurut Hans Kelsen kaedah hukum mempunyai kekuatan
berlaku apabila penetapannya didasarkan atas kaedah yang
lebih tinggi tingkatannya.
Didalam Grundnorm (norma dasar) terdapat dasar
berlakunya semua kaedah yang berasal dari satu tata hukum.
b. Kekuatan berlaku sosiologis
Intinya adalah efektivitas atau hasil guna kaedah hukum
didalam kehidupan bersama. Yang dimaksudkan ialah bahwa
berlakunya atau diterimanya hukum didalam masyarakat itu
lepas dari kenyataan apakah peraturan hukum itu terbentuk
menurut persyaratan formal atau tidak. Jadi disini berlakunya
hukum merupakan kenyataan di dalam masyarakat.
Kekuatan berlakunya hukum didalam masyarakat ada
dua macam, yang berasal dari 2 (dua) teori, yaitu :
1) menurut teori kekuatan, hukum mempunyai kekuatan
sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa,
terlepas dari diterima atau pun tiudak oleh warga
masyarakat.

50
2) menurut teori pengakuan, hukum mempunyai kekuatan
berlaku secara sosiologis apabila diterima dan diakui oleh
warga masyarakat.
c. Kekuatan berlaku filosofis
Hukum mempunyai kekuatan berlaku filosofis apabila
kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum
(rechsidee) sebagai nilai positif tertinggi.

b) Kebiasaan
Kebiasaan atau tradisi adalah sumber hukum yang tertua,
sumber dari mana dikenal atau dapat digali sebagian dari hukum
diluar Undang-undang, tempat kita dapat menemukan atau menggali
hukumnya.
Kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku
yang tetap, ajeg, lajim, normal atau adat dalam masyarakat atau
pergaulan hidup tertentu. Pergaulan hidup itu dapat merupakan
lingkungan yang sempit seperti desa, tetapi dapat juga luas yang
meliputi negara yang berdaulat.

c) Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional atau treaty merupakan sumber hukum
dalam arti formal, karena harus memenuhi persyaratan formal tertentu
untuk dapat dinamakan perjanjian internasional. Lazimnya perjanjian
internasional atau perjanjian antar negara memuat peraturan-
peraturan hukum yang mengikat secara umum.
Pasal 11 UUD 1945 menentukan : presiden dengan
persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain. Perjanjian dengan negara lain ini
dimaksudkan tidak lain adalah perjanjian antar negara atau perjanjian
internasional.
Perjanjian antar negara dibedakan antara treaty dengan
agreement : Treaty adalah perjanjian yang harus disampaikan kepada

51
DPR untuk mendapat persetujuan sebelum disahkan (diratifisir) oleh
Presiden ialah perjanjian-perjanjian yang lazimnya berbentuk treaty
yang mengandung materi :
a) Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi
haluan politik luar negeri seperti perjanjian persahabatan,
perjanjian persekutuan, perjanjian tentang perubahan wilayah ;
b) Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa yang mempengaruhi
haluan politik luar negeri (perjanjian kerjasama ekonomi dan
tehnis atau pinjaman uang) ;
c) Soal-soal yang menurut UUD atau sistem perundang-undangan
kita harus diatur dengan Undang-undang: kewarganegaraan,
soal kehakiman.
Agreement adalah perjanjian yang mengandung materi yang
lain, yang lazimnya berbentuk agreement akan disampaikan
kepada DPR hanya untuk diketahui setelah disahkan oleh presiden.
Agreement ini diberi bentuk keputusan presiden.

d) Yurisprudensi
Disamping undang-undang, kebiasaan dan perjanjian
internasional masih ada sumber hukum lain, yaitu yurisprudensi,
doktrin dan perjanjian yang oleh Van Apeldoorn disebut sebagai
faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum. Lemaire
menyebut yurisprudensi, ilmu hukum (doktrin) dan kesadaran hukum
sebagai determinan pembentukan hukum.
Yurisprudensi berarti peradilan pada umumnya (judicatare
rechtspraak), yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi
tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan
diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun
dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan
berwibawa.
Disamping itu yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum
atau doktrin yang dimuat dalam putusan.

52
C. Sumber Hukum dari Sistem Common Law
Menurut system hukum Common Law ada 2 (dua) Sumber
Hukum, yaitu :
1. Putusan Pengadilan
2. Produk Parlemen
Fitur kunci tradisi common law adalah :
 Sebuah sistem hukum berbasis perkara yang berfungsi melalui
penalaran logis.
 Sebuah doktrin preseden yang hirarkhis.
 Sumber-sumber hukumnya meliputi undang-undang dan perkara.
 Memiliki institusi-institusi yang khas seperti trust (hak pengelolaan),
hukum kesalahan, estoppel dan agensi (keagenan).
 Gaya hukum khusus yag pragmatis dan mengandalkan improvisasi.
 Tak ada pembvedaan hukum privat/publik secara strukturan atau
substantif.
Sumber Hukum Menurut Hukum Islam :
1. Al-Qur’an
2. Al-Hadist
3. Ijma Ulama
4. Ijtihad
Apabila kita ingin mengetahui sumber hukum Islam, tentunya
perlu mengutip Hadist Nabi Muhammad SAW dengan seoran utusan
beliau yang diutus sebagai gubernur di Yaman, yaitu Mu’udz bin Jabal,
dialog tersebut sebagai berikut :
Nabi : dengan apakan engkau melaksanakan hukum ?
Mu’adz : dengan Kitab Allah.
Nabi : Kalau engkau tidak mendapatkannya di sana ?
Mu’adz : Dengan Sunnah Rasul.
Nabi : Kalau juga tidak engkau dapatkan disana ?
Mu’adz : Saya berijtihad dengan akan saya, dan saya tidak akan putus
asa.

53
Nabi : Segala puji bagi Allah yang telah berkenan memberi petunjuk
kepada utusannya Rasul-nya yang direstui-Nya.
(Hadist Riwayat Al-Bughawi).
Berdasarkan dialog diatas, dapat disimpulkan bahwa sumber
nilai dan norma dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta
ijtihad.
Pengertian ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh
seseorang (beberapa orang) ulama tertentu, yang memiliki syarat-
syarat tertentu, pada suatu tempat dan waktu tertentu, untuk
merumuskan kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu atau
beberapa perkara, yang tidak terdapat kepastian hukumnya secara
eksplisit, baik dalam Al-Qur’an maupun hadist. Orang melakukan ijtihad
disebut mujtahid. Jika dilakukan oleh beberapa orang secara kolektif
disebut Ijma.
Al-Qur’an sebagai sumber Pertama dan Utama dalam hukum
Islam terbagi dalam 3 Macam :
 hukum-hukum I’tiqadiyah yaitu yang berhubungan dengan
keimanan;
 hukum-hukum amaliyah, yaitu yang berhubungan dengan
perbuatan/perkataan seorang mukallaf dan yang kedua inilah yang
akan dicapai dengan menggunakan ilmu ishul fiqh.
 hukum-hukum khuluqiyah, yaitu yang berhubungan dengan
keutamaan-keutamaan akhlak dan akhlak-akhlak yang buruk.
Hukum amaliyah dibagi ke dalam hukum ibadah, yaitu hukum
yang mengatur hubungan antar manusia dengan Allah SWT, seperti
shalat, zakat, puasa, haji, nadzar dsb. Hukum-hukum muamalah
mengatur hubungan antar manusia baik secara individu maupun
secara kelompok atau antar individu dalam kelompoknya. Pengaturan
mengenai muamalah dalam arti luas sekaligus dikomparasikan
dengan hukum positif yang sebagian bersumber pada hukum barat
dan produk hukum nasional.

54
Al-Sunnah, hadist sebagai sumber hukum Islam setelah Al-
Quran adalah perkataan, perbuatan, dan sikap Rasulullah SAW, yang
dicatat dan direkam di dalam Al-Hadist. Secara etimologis sunnah
berarti ucapan atau pernyataan dan sesuatu yang baru. Sedangkan
secara teknis bahwa as-sunnah identik dengan al-Hadist. Mengenai
fungsi sunnah apabila dikaitkan dengan perbuatan Rasullulah ada 3
macam :
➢ Sunnah Mu’akkadah ialah sunnah-sunnah yang selalu dilakukan
oleh Rasullulah, tetapi bukan wajib, seperti shalat sunnah 2 rakaat
sebelum fajar, ba’da Magrib dan ba’da Isya, membaca surat atau
ayat-ayat Al-Qur’an sesudah Fatihah.
➢ sunnah yang bukan mu’akkadah yaitu sunnah-sunnah yang tidak
selalu dilaksanakan oleh Rasullulah, seperti shalat sunnah empat
rakaat sebelum ashar dan sebelum Isya.
➢ yang dianggap sunnah, yaitu mencontok nabi dalam adat
istiadat/kebiasaan yang tidak berhubungan dengan tugasnya
sebagai Rasul dan tidak dimasukkan menjelaskan hukum. Seperti
cara berpakaian, makannya, minumnya, berjengggot dsb.
➢ Al-Ijtihad, ialah usaha yang sungguh-sungguh seseorang
(beberapa) orang ulama tertentu, yang memiliki syarat-syarat
tertentu, pada suatu tempat dan waktu tertentu, untuk merumuskan
kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu (atau beberapa)
perkara yang tidak terdapat kepastian hukumnya secara eksplisit
dan positif, bail dalam Al-Quran maupun dalam Al-Hadist.
Sedangkan qiyas sering dianggap sebagai sumber hukum. Itu
merupakan salah kaprah. Qiyas, hanyalah salah satu metode yang
ditempuh.
➢ Al-Ijma adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari kaum muslimin
pada suatu masa setelah Rasulullah SAW atas suatu hukum syara
dalam suatu kasus. Secara harfiah ijma sendiri berarti sepakat,
artinya ijma merupakan kesepakatan sekelompok mujtahid.
Karenanya tidak dimungkinkan adanya ijma yang dibuat oleh

55
seorang saja. Kesepakatan atau penetapan suatu hukum harus
dicapai oleh sekelompok dan memilik pendapat yang sama.

D. Sumber Hukum dari Sistem Sosialis Law


Menurut Sosialis Law Sumbernya adalah : Keputusan Tertinggi
para penguasa berupa produk kebijaksanaan pemerintah atau negara.
Intinya tidak ada sumber hukum yang resmi, yang jelas:
1. Hukum adalah penguasa negara
2. Hukum membela rakyat proletar
Dalam penerapan sumber hukum sosialis law di Soviet, ketika
hukum digunakan oleh pemimpin Soviet oleh karenanya telah menjadi
alat belaka dalam merencanakan dan mengelola ekonomi dan struktur
sosial dari negara. Hukum adalah bagian sederhana dari ideologi super
struktur yang mengontrol kenyataan material dari produksi; dimana
ditetapkan dan didefinisikan dalam kata dari fungsi politik.
a. Kelompok negara-negara yang telah menerima socialist law
dapat dibagi ke dalam dua kategori utama:
Jurisdiksi sosialis kuno, seperti Polandia, Bulgaria, Hungaria,
Czechoslovakia, Rumania, Albania, Repbulik Rakyat China,
Republik Rakyat Vietnam, Republik Rakyat Demokratik Korea,
Mongolia (merupakan sistem hukum nasionalnya yang tertua di
dalam kelompok ini) dan Kuba;
b. Sistem Hukum Sosialis yang terbaru atau yang kemudian
berkembang, seperti Republik Demokratic Kamboja, Laos,
Mozambique, Angola, Somalia, Libya, Ethiopia, Guiena dan
Guyana.

E. Soal Tugas / Latihan


1. Apa perbedaan sumber hukum yang berasal dari common law
system dan civil law system?
2. Jelaskan sumber hukum dari Sistem Sosialis Law!

56
PERTEMUAN IX DAN X

Pada Pertemuan IX dan X menjelaskan tentang penemuan hukum


Setelah mengikuti pertemuan ini diharapkan mahasiswa mampu :
1. Memahami pengertian penemuan hukum
2. Memahami dan menjelaskan beberapa istilah dalam penemuan
hukum
3. Memahami dan menjelaskan kapan waktu penemuan hukum
4. Memahami dan mengkontruksikan metode penemuan hukum
5. Memahami dan menjelaskan aliran-aliran dalam penemuan hukum

BAB V
PENEMUAN HUKUM

A. Pengertian Penemuan Hukum


Berdasarkan Pasal 20 AB “Hakim harus mengadili berdasarkan
Undang-Undang” dan Pasal 22 AB + Pasal 14 Undang-undang No. 14
tahun 1970 mewajibkan “Hakim untuk tidak menolak mengadili perkara
yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas
Undang-undang yang mengaturnya melainkan wajib mengadilinya”.
Jika terdapat kekosongan aturan hukum atau ataurannya tidak jelas maka
untuk mengatasinya diatur dalam pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970
menyebutkan : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam
masyarakat”. Artinya seorang Hakim harus memiliki kemampuan dan
keaktifan untuk menemukan hukum (Recht vinding).
Yang dimaksud dengan Recht vinding adalah proses pembentukan
hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan
peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan hasil
penemuan hukum menjadi dasar untuk mengambil keputusan.
Penemuan hukum ini dilakukan oleh Hakim, dalam penemuan
hukum ini ada perbedaan pandangan antara Eropa Kontinental dengan
Anglo Saxon Eropa Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara

57
metode interpretasi dengan metode konstruksi, sedangkan Anglo Saxon
memisahkannya secara tegas.
Van Apeldorn menyatakan, seorang hakim dalam tugasnya
melakukan pembentukan hukum harus memperhatikan dan teguh-teguh
mendasari pada asas :
1. Menyesuaikan Undang-undang dengan fakta konkrit
2. Dapat juga menambah Undang-undang apabila perlu.
Hakim membuat Undang-undang karena Undang-undang
tertinggal dari perkembangan masyarakat. Hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan yang juga berfungsi sebagai penemu yang dapat
menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang bukan hukum.
Seolah-olah Hakim berkedudukan sebagai pemegang kekuasaan legislatif
yaitu badan pembentuk per Undang-undangan. Pasal 21 AB menyatakan
bahwa hakim tidak dapat memberi keputusan yang akan berlaku sebagai
peraturan umum. Sebenarnya hukum yang dihasilkan hakim tidak sama
dengan produk legislatif. Hukum yang dihasilkan hakim tidak diundangkan
dalam Lembaran Negara. Keputusan hakim tidak berlaku bagi masyarakat
umum melainkan hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara. Sesuai
pasal 1917 (2) KUHPerdata yang menentukan “bahwa kekuasaan
keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan dalam
keputusan tersebut.
Akan tetapi para ahli hukum mengetahui bahwa Undang-undang
tidak akan pernah lengkap. Disitulah letak peran Hakim untuk
menyesuaikan peraturan Undang-undang dengan kenyataan yang
berlaku dalam masyarakat agar dapat mengambil keputusan hukum yang
sungguh-sungguh adil sesuai tujuan hukum. Namun demikian tidak semua
ahli hukum sependapat dengan hal tersebut di atas dan sebagai reaksinya
lahirlah aliran yang yang menolak dan menerima penemuan hukum oleh
hakim:
• Aliran ini berpandangan klasik (Aliran konservatif) yang di tenggari oleh
Montesquieu, dan juga Immanuel Kant berpendapat bahwa Hakim
dalam menetapkan Undang-undang terhadap peristiwa hukum

58
sesungguhnya tidak menjalankan perannya secara mandiri. Hakim
hanyalah penyambung lidah atau corong Undang-undang
(“Bouchedelaloi”) sehingga tidak dapat merubah kekuatan hukum
Undang-undang, tidak dapat menambah, tidak dapat menguranginya
disebabkan Undang-undang satu-satunya sumber hukum positif.
Undang-undang merupakan premis mayor dan peristiwa konkrit
merupakan premis minor; sedangkan keputusan Hakim adalah konklusi
(kesimpulannya).
Hal ini merupakan kesimpulan logis tidak akan melebihi dari
yang terdapat pada premis-premisnya. Ini adalah pandangan yang
logiscistis, karena sandarkan pada Pasal 20 AB bersumber dari
pandangan ini yaitu : Pasal 20 AB “Hakim harus mengadili menurut
Undang-undang kecuali ditentukan dalam pasal 11, hakim sama sekali
tidak boleh menilai anti atau keadilan dari undang-undang”. Pasal 21
AB : “Tiada seorang Hakim pun dengan jalan peraturan umum,
disposisi atau reglemen boleh memutuskan dalam perkara yang tunduk
kepada keputusannya”.
• Sebagai reaksi aliran ini lahir pula penentangnya yang berpandangan
lebih modern yaitu Aliran Progresif yang di pelopori oleh Van Eikema
Hommes teori dan pendapatnya disebut materi Juridis, yang di Jerman
dipertahankan oleh Oscar Bullow, Eugen Ehrlich, dan di Perancis oleh
Francois Geny serta di Amerika oleh Oliver Wendel Holmes dan Jerome
Frank. Geny menentang penyalahgunaan cara berfikir yang abstrak
logistis dalam pelaksanaan hukum dan fiksi bahwa Undang-undang
berisikan hukum yang berlaku. Oliver Wendel Holmes & J. Frank
menentang pendapat yang mengatakan bahwa hukum yang ada itu
lengkap yang dapat menjadi sumber bagi Hakim dalam memutuskan
peristiwa konkrit.
Penemuan hukum lebih menggunakan pandangan Mazhab
historis yang dipelopori oleh Carl Von Sevigny yaitu Hakim perlu juga
memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat,
karena setiap bangsa itu memiliki jiwa bangsanya masing-masing

59
(Volkgeist) yang berbeda untuk setiap tempat. Hukum precedent
dinegara-negara Anglo Saxon adalah hasil penemuan hukum yang
otonom sepanjang pembentukan peraturan & penerapan peraturan
dilakukan oleh hakim berdasarkan hati nuraninya tetapi juga sekaligus
bersifat heteronom karena Hakim terikat kepada keputusan-keputusan
terdahulu (faktor-faktor diluar diri hakim).
Sedangkan hukum kontinental [seperti di Indonesia] mengenal
penemuan hukum yang heteronom sepanjang Hakim terikat kepada
Undang-undang. Tetapi penemuan hukum Hakim tersebut mempunyai
unsur-unsur otonom yang kuat disebabkan Hakim harus menjelaskan
atau melengkapi Undang-undang menurut pendangannya sendiri.
Lebih lanjut lahir pula suatu aliran yang mengetengahkan Metode
penemuan hukum.
Penemuan hukum merupakan kegiatan utama dari Hakim dalam
melaksanakan Undang-undang apabila terjadi peristiwa konkrit.
Undang-undang sebagai kaedah umumnya adalah untuk melindungi
kepentingan manusia. Oleh sebab itu harus dilaksanakan/ditegakkan.
Agar dapat memenuhi azas bahwa setiap orang dianggap tahu akan
Undang-undang maka undang-undang harus disebar luaskan dan
harus jelas. Kalaupun Undang-undang itu jelas tidak mungkin lengkap
dan tuntas, tidak mungkin Undang-undang mengatur segala kehidupan
manusia secara lengkap dan tuntas karena kegiatan menusia sangat
banyaknya. Selain itu Undang-undang sebagai hasil karya menusia
yang sangat terbatas kemampuannya.
Setiap peraturan hukum itu bersifat abstrak dan pasif. Abstrak
karena sangat umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan
akibat hukum apabila tidak terjadi peristiwa konkrit. Peristiwa hukum
yang abstrak memerlukan rangsangan agar dapat aktif, agar dapat
diterapkan kepada peristiwanya. Interpretasi (penafsiran) adalah salah
satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan mengenai
teks Undang-undang agar ruang lingkup kaedah tersebut diterapkan
kepada peristiwanya.

60
B. Beberapa Istilah Dalam Penemuan Hukum
Sering dipermasalahkan apakah mengenai istilah penemuan hukum
tidak lebih tepat dengan istilah “Pelaksanaan Hukum”, Penerapan Hukum,
Pembentukan Hukum atau Penciptaan Hukum.
Pelaksanaan Hukum dapat berarti menjalankan hukum tanpa
adanya sengketa atau pelanggaran. Ini meliputi pelaksanaan hukum oleh
setiap warga negara setiap hari yang sering disadarainya dan juga oleh
aparat negara.
Penerapan Hukum, berarti menerapkan (peraturan) hukum yang
abstrak sifatnya pada peristiwanya. Menerapkan (peraturan) hukum pada
peristiwa yang konkrit secara langsung tidak mungkin. Peristiwa konkrit ini
harus dijadikan peristiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan hukumnya
dapat diterapkan.
Pembentukan Hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan
umum yang berlaku umum, bagi stiap orang. Kalau lazimnya
pembentukan hukum dilakukan oleh pembentuk UU, maka hakim
dimungkinkan pula membentuk hukum, kalau penemuan hukumnya itu
kemudian merupakan yurisprudensi tetap yang diikuti oleh para hakim dan
merupakan pedoman bagi masyarakat yaitu putusan yang mengandung
asas-asas hukum yang dirumuskan dalam peristiwa konkrit, tetapi
memperoleh kekuatan berlaku umum. Jadi satu putusan dapat sekaligus
mengandung 2 unsur yaitu disatu pihak putusan merupakan penyelesaian
atau pemecahan suatu peristiwa konkrit dan dipihak lain merupakan
peraturan hukum untuk waktu mendatang.
Istilah Penciptaan Hukum kurang tepat, karena memberi kesan
bahwa hukum nya itu sama sekali tidak ada, kemudian diciptakan, dari
tidak ada menjadi ada. Hukum bukanlah selalu berupa kaedah baik tertulis
maupun tidak, tetapi dapat berupa perilaku atau peristiwa. Dari prilaku
itilah terdapat hukumnya. Dan prilaku itulah harus diketemukan atau digali
kaedah atau hukumnya. Maka istilah Penemuan hukum lah yang tepat.
Penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum
oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan

61
peraturan hukum umum pada pristiwa hukum konkrit. Penemuan hukum
adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das
sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das
sein) tertentu.
Dalam lingkup hukum nasional Indonesia penemuan hukum sudah
diperintahkan oleh UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Juncto UU No. 40 Tahun 2009.
Pasal 16 ayat (1), Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeiksa dan menadilinya.
Pasal 28 (1), hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ; (2) Dalam
mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan
pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Pengadilan disamping tugasnya menerapkan UU atau hukum
dalam memberikan keputusan suatu perkara yang ditanganinya, para
pihak dapat mengartikan ketentuan UU secara berlainan atau berbeda,
maka disini peranan hakim menentukan pendapatnya tentang ketentuan
UU tersebut. Disini tampak jelas nahwa pengadilan mempunyai
kedudukan yang penting dalam sistem kita. Pengadilan mempunyai fungsi
yang hakekatnya melengkapi ketentuan-ketentuan tertulis melelui
pembentukan hukum (rechtsvorming) dan penemuan hukum (rechvinding)
dengan perkataan lain pengadilan/hakim dalam sistem hukum kita
mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law) karena itu
sistem hukum Indonesia walaupun merupakan sistem hukum tertulis,
namun merupakan sistem yang terbuka.

C. Waktu Penemuan Hukum


Waktu yang tepat diperlukan penemuan hukum, terdapat dua aliran
pemikiran:

62
1. Penganut Doktrin “Sen-clair”. Aliran ini berpendapat penemuan hukum
dibutuhkan apabila :
b. Peraturannya belum ada untuk suatu kasus in konkreto, atau
c. Peraturan sudah ada tetapi belum jelas
Diluar keadaan ini penemuan hukum tidak ada.
2. Penemuan Hukum harus selalu dilakukan. Hakim selalu dan tidak
pernah tidak melakukan penemuan hukum.
Peraturan perundang-undangan itu pada umumnya bersifat
statis, beku. Sekali diundangkan tidak dapat diubah lagi kecuali melalui
DPR, dan seringkali DPR tidak mampu nerubahnya. Apabila peraturan
perundang-undangan itu bersifat kasuistis dan terperinci, dalam waktu
yang relatif singkat akan ketinggalan jaman, karena tidak luwes
disebabkan jangkauannya sempit dan terbatas.
Dalam kerangka law enforcement, penemuan hukum dilakukan
oleh hakim. Hakim setelah menyelesaikan atau mengakhiri suatu
perkara atau sengketa, maka hakim harus terlebih dahulu mengetaui
secara objektif tentang duduk perkara yang sebenarnya sebagai dasar
putusannya dan bukan secara a priori menemukan putusannya sedang
pertimbangannya kemudian dikonstruir.
Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Dalam
memutus perkara perdata terdapat larangan bagi hakim mengabulkan
sesuatu yang melebihi yang diminta sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 178 ayat (3) HIR/189 ayat (3). Namun demikian masalah
menemukan hukumnya adalah urusan hakim. Hakim dalam
mempertimbangkan putusannya wajib karena jabatannya melengkapi
alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak,
demikian menurut Pasal 178 ayat (1) HIR/189 ayat (1) Rbg.
Hukum Indonesia yang mengikuti sistem Eropa Continental
(Sistem Kodifikasi), berbeda dengan sistem Hukum Anglo Saxon
(Sistem Common Law) yang menjunjung tinggi yurisprudensi dalam
mengembangkan hukumnya, sehingga berlaku asas the binding force

63
of presedent, yaitu putusan hakim sebelumnya mengikat hakim
kemudian.
Dalam Sistem Anglo Saxon, sistem penemuan hukumnya atas
dasar berfikir Induktif, karena itu hakim yang satu dengan yang lainnya
merasakan adanya satu kesatuan.
Sistem Kodifikasi dengan Sistem Common Law dengan stare
decisis et quita non movere-nya, keduanya mengenal yurisprudensi.
Namun antara kedua sistem tersebut tidak perlu dipertentangkan.
Dalam kedua sistem ini tidak menutup kemungkinan hukum yang dibuat
hakim dapat mengikuti perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
Artinya tidak pro status quo atau la bouche du droit sudah ditinggalkan.
Dalam Sistem Eropah Kontinental keberadaan yurisprudensi
tidak mengikat hakim kemudian didalam memutuskan suatu perkara
yang harus ditanganinya.
Dalam prakteknya bisa saja suatu putusan hakim mengikuti
putusan sebelumnya yang sudah merupakan suatu hukum
yurisprudensi. Namun sifat penemuan hukum dalam konsep Eropa
Continental yang dilakukan oleh hakim sifatnya bukan atas dasar
pemeikiran hukum otonom atau the binding force of precedent,
melainkan the persuasive force of presedent, yaitu mengikuti putusan
hakim sebelumnya karena adanya kecocokan/kesesuaian untuk
diikutinya. Artinya outusan hakim dalam sistem hukum Eropa
Continental sangat mandiri dan memiliki kebebasan.
Kondisi saat ini peluang untuk berkembangnya penemuan
hukum oleh hakim dimungkinkan oleh 2 sisi keadaan, yaitu : pertama,
dari sisi pembuat undang-undang itu sendiri, kedua dari sisi landasan
praktik dalam rangka penegakkan hukumnya.
Dari sisi landasan praktik dalam rangka penegakkan hukumnya,
seorang hakim dapat memutuskan suatu perkara mengikuti putusan
hakim sebelumnya atas dasar :
- alasan Psikologis :
- alasan Praktis ;

64
- alasan karena adanya kecocokan atau kesesuaian perkara yang
ditanganinya dengan perkara sebelumnya dan putusan telah diberikan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dipandang dapat
dipertanggung jawabkan.
Peluang untuk berkembangnya penemuan hukum oleh hakim
dimungkinkan oleh 2 sisi keadaan, yaitu, dari sisi pembuat UU itu
sendiri dan dari sisi landasan praktek penegakkan hukumnya.
Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit), terlebih
perkembangan saat ini peraturan perundang-undangan yang
dihasilkan sebagai produk hukum tertulis, dibuat tidak ditujukan secara
kasuistis akan tetapi isinya bersifat umum. Kenyataan ini
memungkinkan dan memberikan keleluasaan bagi hakim untuk
membentuk hukum (rechtsvorming) dan menemukan hukumnya
(rechtsvinding) melalui putusan-putusannya, hal tersebut diperkuat
dengan adalnya landasan hukum UU No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Kewenangan untuk membentuk dan menemukan hukum oleh
hakim apabila terjadi kekosongan hukum tidak bebas dalam arti tanpa
batas. Hakim tetap harus memperhatikan batasan untuk membentuk
dan menemukan hukum dengan memperhatikan 2 segi yaitu, segi
mikro dan makro. Dari segi makro dibatasi oleh sistem pemerintahan,
sistem politik, sistem ekonomi. Selanjutnya dari segi Mikro kebiasaan
hakim dibatasi atau diawasi oleh Pancasila, UUD, UU, Kesusilaan dan
Ketertiban umum.
Demikian pula dalam menyikapi keadaan pembangunan hukum
pada dewasa ini kiprah hakim sebagai agen pembangunan dapat
diharapkan melalui pembentukan (rechtsvorming) dan penemuan
hukum (rechtsvinding), sehingga hakim melalui putusan-putusannya
dapat melakukan dan mewujudkan hukum sebagai sarana
pembangunan masyarakat sebagaimana dikembangkan oleh Prof.
Mochtar Kususmaatmadja atau yang dikenal dengan Teori Hukum
Pembangunan.

65
D. Metode Penemuan Hukum
Metode mengenai cara penemuan hukum disebutkan dapat
dilakukan dengan dua metode (menurut Sudikno), yakni:
1) Interpretasi
2) Konstruksi
1) Interpretasi atau penafsiran
Interpretasi atau penafsiran merupakan metode penemuan hukum
yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-
undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan
dengan peristiwa tertentu. Metode interpretasi ini adalah sarana
atau alat untuk mengetahui makna undang-undang. Interpretasi
adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada
tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Secara
singkat dapat diartikan penafsiran terhadap teks Undang-undang,
dengan masih tetap berpegang pada bunyi teks itu.
Penemuan hukum dapat dilakukan melalui penafsiran
karena semua peraturan perundang-undangan tidak ada yang
lengkap dan jelas.
Montesquieu menghubungkan penemuan hukum dengan
tugas hakim memutus atau mengadili perkara. Pelaksanaan tugas
hakim menurut Montesquieu bertalian dengan tipe atau bentuk
pemerintahan yaitu Republik.
Penemuan hukum dapat dibedakan :
1) Semata-mata menerapkan hukum kedalam datu kasus konkrit.
Disini berlaku hakim hanyalah mulut Undang-undang.
2) Penafsiran, konstruksi, analogi dan penghalusan hukum.
3) Membentuk hukum atau menciptakan hukum.
Penafsiran merupakan salah satu cara (metode) untuk :
➢ Memahami makna asas atau kaidah hukum.
➢ Menghubungkan suatu fakta hukum dengan kaidah hukum.
➢ Menjamin penerapan atau penegakkan hukum dapat dilakukan
secara tepat, benar dan adil.

66
➢ Aktualisasi hukum, yaitu mempertemukan antara kaidah hukum
dengan perubahan-perubahan sosial agar kaidah hukum tetap
aktual mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesuai dengan
perubahan masyarakat.
Interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan
beberapa metode, yaitu secara:
a) Metode subsumptif
b) Interpretasi gramatikal
c) Interpretasi historis
d) Interpretasi sistematis atau logis
e) Interpretasi sosiologis atau teleologis
f) Interpretasi otentik atau penafsiran secara resmi
g) Interpretasi komparatif atau perbandingan hukum
h) Interpretasi futuristis
i) Interpretasi restriktif
j) Interpretasi ekstensif

1. Metode Subsumptif
Yang dimaksud dengan metode subsumptif adalah di
mana hakim harus menerapkan suatu teks undang-undang
terhadap kasus in-konkreto, dengan belum memasuki taraf
penggunaan penalaran yang lebih rumit, tetapi sekedar
menerapkan sillogisme.
Sebagai contoh, seorang hakim yang mengadili perkara
pidana, dimana penuntut umum mendakwakan bahwa
terdakwa melakukan pencurian. Dalam Hukum Pidana
Indonesia, pencurian diatur dalam pasal 362 KUH Pidana yang
menuntut terpenuhinya beberapa unsur, yaitu:
▪ Mengambil suatu barang,
▪ Barang itu sebagian atau seluruhnya milik orang lain,
▪ Dengan maksud untuk memiliki,
▪ Secara melawan hukum

67
Apa yang dimaksud dengan barang? Apa yang termasuk
kriteria pemilikan? Apa yang dimaksud melawan hukum?
Semua pertanyaan tersebut tidak ditemukan penjelasannya
dalam pasal KUH Pidana. Pengertian masing-masing unsur itu
diketahui baik dari doktrin maupun yurisprudensi. Jika hakim
masih sependapat dengan doktrin atau yurisprudensi yang ada,
berarti hakim “hanya menerapkan” dengan mencocokkan
unsur-unsur yang ada dalam pasal 362 KUH Pidana tadi
dengan peristiwa konkrit yang didakwakan pada terdakwa.
Proses pencocokan unsur-unsur undang terhadap peristiwa
konkrit itulah yang dinamakan dengan metode subsumptif.

2. Interpretasi Gramatikal
Interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran atau
penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna
ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut
bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut
bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari pada hanya sekedar
“membaca undang-undang”. Di sini ketentuan atau kaidah
hukum (tertulis) diartikan menurut arti kalimat atau bahasa
sebagaimana diartikan oleh orang biasa yang menggunakan
bahasa secara biasa (sehari-hari). “Peralatan rumah tangga”
dan “alat angkutan” misalnya harus diartikan secara wajar
dalam hubungannya dengan perkara yang diperiksa
pengadilan. Ini tidak menghalangi penggunaan istilah yang
lebih teknis bila hal itu diperlukan. “Kendaraan” (air), misal yang
lain, adalah segala angkutan orang atau barang yang bergerak
dari satu tempat ke tempat lain di atas atau di bawah
permukaan air. Akan tetapi, hal ini tidak berarti hakim terikat
erat pada bunyi kata-kata dari undang-undang. Interpretasi
gramatikal ini juga harus logis. Metode interpretasi gramatikal
ini disebut juga dengan metode obyektif.

68
3. Interpretasi Historis
Interpretasi historis yaitu penafsiran berdasarkan
sejarah hukum. Apabila interpretasi bahasa tidak bisa
menolong si pemakai hukum, maka bisa dilakukan interpretasi
sejarah. Ini bisa merupakan interpretasi berdasarkan
pemeriksaan atau penelitian sejarah hukum atau sejarah
perundang-undangan. Interpretasi sejarah hukum merupakan
suatu interpretasi yang luas yang juga meliputi interpretasi
sejarah perundang-undangan. Sedangkan interpretasi sejarah
perundang-undangan bersifat lebih sempit, yaitu menyelidiki
maksud pembuat peraturan dalam menetapkan peraturannya.
Karena interpretasi sejarah hukum bisa luas dan jauh sekali
(dan seringkali kurang relevan secara langsung), interpretasi
sejarah kini cenderung untuk diartikan sebagai interpretasi
sejarah perundang-undangan yaitu sejarah terjadinya undang-
undang atau ketentuan hukum tertulis itu.
Dengan penafsiran menurut sejarah, hendak dicari
maksud ketentuan undang-undang seperti yang dilihat oleh
pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya.
Pikiran yang mendasari metode interpretasi ini adalah bahwa
undang-undang adalah kehendak pembentuk undang-undang
yang tercantum dalam teks undang-undang. Di sini kehendak
pembentuk undang-undang yang menentukan. Interpretasi
menurut sejarah undang-undang ini disebut juga interpretasi
subyektif karena penafsir menempatkan diri pada pandangan
subyektif pembentuk undang-undang sebagai lawan
interpretasi menurut bahasa yang disebut metode obyektif.
Sumber interpretasi ini adalah surat menyurat dan pembicaraan
di DPR, yang kesemuanya itu memberikan gambaran tentang
apa yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.

69
Undang-undang itu tidak terjadi begitu saja. Undang-
undang selalu merupakan reaksi terhadap kebutuhan sosial
untuk mengatur yang dapat dijelaskan secara historis. Setiap
pengaturan dapat dilihat sebagai satu langkah dalam
perkembangan masyarakat. Suatu langkah yang maknanya
dapat dijelaskan apabila langkah-langkah sebelumnya
diketahui juga. Ini meliputi seluruh lembaga yang terlibat dalam
pelaksanaan undang-undang.
Untuk melihat dengan menyeluruh maksud dari masing-
masing pasal yang ada di UU No. 1 tahun 1974 bila diperlukan
penafsiran atasnya, maka perlu dilakukan pengkajian dengan
baik sejarah yang melatarbelakangi lahirnya undang-undang
tersebut, misalnya tentang sejarah gerakan emansipasi wanita
Indoensia dan juga terjadinya pro dan kontra di sekitar
pembentukan undang-undang tersebut mulai dari pengajuan
Rencana Undang-undang (RUU) nya sampai disahkannya
RUU tersebut sebagai UU.
Interpretasi sejarah mempunyai kelemahan. Hukum itu
bersifat dinamis dan berkembang sesuai perkembangan
masyarakat. Maksud dari sebuah peraturan yang diinginkan
oleh pembuat undang-undang saat mereka membuat undang-
undang tersebut belum tentu sesuai dengan realitas yang
terjadi saat terjadinya suatu persitiwa. Artinya, sangat mungkin
terjadi jurang perbedaan antara ketentuan undang-undang
dengan realitas sosial saat ini.
Interpretasi gramatikal dan historis akan menghasilkan
penafsiran yang lebih memuaskan apabila dikombinasikan
dengan pemahaman bahwa terjadinya sebuah undang-undang
selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain,
dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama
sekali dari keseluruhan perundang-undangan. Menafsirkan
undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem

70
perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya
dengan undang-undang lain seperti ini disebut penafsiran
sistematis atau logis.

4. Interpretasi Sistematis
Interpretasi Sistimatis, yaitu menafsirkan undang-
undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-
undangan. Pitlo, mengatakan bahwa interpretasi sistematis, ini
sebagaimana metode interpretasi lainnya, mempunyai nilai
relatif. Suatu kata dalam suatu perundang-undangan memiliki
makna yang lebih tinggi dibandingkan kata yang sama dalam
perundang-undangan yang lain. Inilah, yang menurut penulis,
menjadi salah satu kelemahan interpretasi sistematis. Setiap
undang-undang lahir dengan latar belakang dan kepentingan
yang berbeda. Setiap kata yang muncul dalam sebuah
perundang-undangan tentunya lahir menurut suasana yang
melingkupi lahirnya undang-undang tersebut dan juga
kepentingan yang “menunggangi” pembuat undang-undang.
Artinya, tidak setiap kata yang memiliki kesamaan arti dalam
undang-undang yang berbeda memiliki kesamaan nilai dan
penafsiran. Dan hal inilah yang juga perlu diperhatikan.
Interpetrasi bahasa dibantu oleh interpretasi sejarah dan
interpretasi sistematis masih belum memadai dan perlu
diselidiki sebab-sebab atau faktor apa dalam masyarakat atau
perkembangan masyarakat yang bisa memberi penjelasan
mengapa pengundang-undang (pemerintah) atau pengambil
inisiatif undang-undang (DPR) bergerak atau tergerak
mengajukan RUU itu. Ini dinamakan interpretasi sosiologis.

5. Interpretasi Sosiologis atau Teleologis


Interpretasi Sosiologis atau Teleologis yaitu penafsiran
menurut makna/tujuan kemasyarakatan. Melalui interpretasi ini,

71
hakim dapat menyelesaikan adanya perbedaan atau
kesenjangan antara sifat positif dari hukum dengan kenyataan
hukum. Sebagai contoh, ada sebuah undang-undang yang
masih berlaku, tetapi sebenarnya jiwanya sudah usang dan
tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.
Kemudian berdasarkan interpretasi sosiologis undang-undang
ini kenyataannya masih diterapkan terhadap peristiwa atau
kasus masa kini, maka sudah barang tentu sebenarnya
undang-undang itu tidak layak lagi dijadikan dasar
pertimbangan hukum oleh hakim atau kalaulah dipaksakan
penerapannya, maka akan terjadi “pemerkosaan’ hukum dan
rasa keadilan masyarakat.
Contoh konkret lain adalah interpretasi terhadap pasal
362 KUH Pidana: “Barangsiapa mengambil suatu barang, yang
seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud
untuk dimilikinya dengan melawan hukum, diancam karena
pencurian dengan pidana penjara paling lama 5 tahun…” Pada
saat pasal ini dibuat, para pembuat undang-undang belum
berfikir akan munculnya penggunaan listrik dalam kehidupan
manusia modern. Ketika dalam praktik terjadi penyadapan dan
penggunaan tenaga listrik, maka hakim sudah semestinya
menafsirkan kata “barang” dalam pasal tersebut termasuk
jaringan dan aliran listrik, sehingga penyadap listrik dapat
dikualifikasikan melakukan kejahatan pencurian listrik.
Kadang-kadang interpretasi sosiologis pun masih belum
bisa memuaskan dan harus dibantu oleh satu interpretasi yang
mengemukakan tujuan dari usaha membentuk undang-undang
baru itu. Ini disebut interpretasi teleologis yang digunakan untuk
membantu/menunjang argumentasi sosiologis di atas.
Misalnya adalah UU No. 1 tahun 1974. Salah satu
argumen yang dikemukakan oleh pemerintah, dalam hal ini
Menteri Kehakiman saat itu, dalam mengundangkan UU

72
tersebut adalah untuk mensukseskan pembangunan nasional,
salah satunya adalah program keluarga berencana. Menteri
Kehakiman saat itu mengatakan: “Apabila kita (masyarakat dan
bangsa Indonesia) gagal melaksanakan UU No. 1 tahun 1974
dalam kenyataannya, maka Program Keluarga Berencana
yang menjadi salah satu program inti usaha pembangunan
nasional semesta berencana akan mengalami kegagalan.”

6. Interpretasi Otentik atau penafsiran secara resmi


Adakalanya pembuat undang-undang itu sendiri
memberikan penafsiran tentang arti atau istilah yang
digunakannya di dalam perundangan yang dibuatnya. Dalam
hal ini hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran
dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan
pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri. Maksud
pembuat undang-undang dalam membuat penafsiran tersebut
adalah untuk menjadikannya sebagai kaidah umum yang
mengikat umum. Oleh karena itu, interpretasi otentik hanya
dapat dibuat oleh pembuat undang-undang dan tidak dapat
dibuat oleh hakim, karena pada azasnya penafsiran yang
dibuat oleh hakim itu hanya mengikat pada dua pihak yang
berperkara.
Contoh interpretasi seperti ini adalah tafsiran yang
terdapat dalam UU N0. 4/Prp. Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia, misalnya ketentuan tentang garis pangkal lurus.
Tafsiran resmi yang berbentuk definisi atau batasan
yang dimuat dalam undang-undang demikian biasanya dimuat
dalam pasal-pasal di bagian permulaan batang tubuh undang-
undang. Bisa juga termuat dalam Memori Penjelasan, dan
dapat juga dimuat dalam salah satu atau lebih pasal dalam
undang-undang itu.

73
7. Interpretasi Komparatif
Interpretasi Komparatif atau Perbandingan hukum, yaitu
penafsiran dengan cara membandingkan dengan kaedah
hukum di tempat laen. Interpretasi komparatif ini dimaksudkan
sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan
antara sistem hukum. Terutama bagi hukum yang timbul dari
perjanjian internasional, ini penting, karena dengan
pelaksanaan yang berimbang/seragam direalisir kesatuan
hukum yang melahirkan perjanjian internasional itu sebagai
hukum objektif atau sebagai kaidah hukum umum untuk
beberapa negara.

8. Interpretasi Futuristik
Interpretasi futuristik atau metode penemuan hukum
yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-
undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum
mempunyai kekuatan hukum. Misalnya suatu rancangan
undang-undang yang masih dalam proses pembahasan di
DPR, tetapi hakim yakin bahwa RUU itu akan diundangkan
(dugaan politis).

9. Interpretasi Restriktif
Interpretasi restriktif adalah metode interpretasi yang
sifatnya membatasi. Misalnya menurut interpretasi gramatikal
kata “tetangga” dalam pasal 666 KUH Perdata, dapat diartikan
setiap tetangga itu termasuk seorang penyewa dari pekarangan
di sebelahnya. Tetapi kalau tetangga ditafsirkan tidak termasuk
tetangga penyewa, ini berarti hakim telah melakukan
interpretasi restriktif.

74
10. Interpretasi Ekstensif
Interpretasi ekstensif adalah metode penafsiran yang
membuat interpretasi melebihi batas-batas hasil interpretasi
gramatikal. Sebagai contoh, perkataan “menjual” dalam pasal
1576 KUH Perdata oleh hakim ditafsirkan secara luas yaitu
bukan semata-mata hanya berarti jual beli, tetapi juga
menyangkut peralihan hak.

2) Metode Konstruksi
Sebelum membicarakan jenis konstruksi terlebih dahulu
dikemukakan syarat utama untuk melakukan konstruksi:
1. Meliputi materi hukum positif
2. Tidak boleh membantah dirinya sendiri
3. Faktor estetis
Intinya harus mengandung materi, kesatuan, logis dan
bentuk. Konstruksi hukum, dapat digunakan hakim sebagai metode
penemuan hukum apabila dalam mengadili perkara tidak ada
peraturan yang mengatur secara secara khusus mengenai
peristiwa yang terjadi.
Konstruksi hukum ini dapat dilakukan dengan menggunakan
logika berpikir secara:
a. Metode Argumentum Per Analogiam, dan
b. Metode Argumentum A’ Contrario
c. Rechtsvervijnings (Pengkonkritan/penyempitan hukum)
d. Fiksi Hukum
Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal
peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada
peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus memeriksa
dan mengadili perkara yang tidak ada perturannya yang khusus. Di
sini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan
undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak
boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih

75
tidak ada atau tidak lengkap hukumnya sebagaimana sudah
disebutkan sebelumnya. Hakim harus melakukan konstruksi
hukum dengan metode berfikir analogi, penyempitan hukum dan a
contrario.

a). Argumentum Per Analogiam (Analogi)


Argumentum per analogiam atau sering disebut analogi.
Pada analogi, peristiwa yang berbeda namun serupa, sejenis
atau mirip yang diatur dalam undang-undang diperlakukan
sama. Analogi merupakan salah satu jenis konstruksi hukum
yang sering digunakan dalam perkara perdata, tetapi
menimbulkan polemik penggunaannya dalam perkara pidana.
Analogi merupakan salah satu metode penemuan hakim
dimana hakim mencari esensi yang lebih umum pada suatu
perbuatan yang diatur oleh undang-undang dengan pada
perbuatan atau peristiwa yang secara konkrit dihadapi hakim.
Analogi memberikan penafsiran pada suatu peraturan hukum
dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut
sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang
sebenarnya tidak dapat dimasukkan kemudian dianggap sesuai
dengan bunyi peraturan tersebut.
Misalnya adalah UU Pasal 1576 KUH Perdata hanya
mengatur bahwa jual beli tidak memutuskan hubungan sewa
menyewa. Kemudian di dalam praktik, perkara yang dihadapi
oleh hakim adalah apakah hibah juga tidak memutuskan
hubungan sewa menyewa ataukah sebaliknya ? Karena
undang-undang hanya mengatur tentang jual beli, dan tidak
tentang hibah, maka hakim wajib melakukan penemuan hukum
agar dapat membuat putusan untuk perkara itu.
Hakim wajib memutus berdasarkan asas ius curia novit.
Karena itu, hakim pertama-tama mencari esensi dari perbuatan
jual beli. Ditemukan bahwa esensinya adalah peralihan hak. Lalu
dicari juga esensi dari perbuatan hibah, ditemukan juga

76
esensinya adalah peralihan hak. Dengan demikian ditemukan
bahwa peralihan hak merupakan genus (peristiwa umum),
sedangkan jual beli dan hibah masing-masing adalah species.
Berarti metode analogi ini menggunakan penalaran induksi,
berpikir dari yang khusus ke yang umum.

b). Argumentum a Contrario


Argumentum a contrario atau sering disebut a contrario,
yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang
didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit
yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.
Metode ini menggunakan penalaran bahwa jika undang-
undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu,
berarti peraturan itu terbatas pada perstiwa tertentu itu dan bagi
peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya. Ini merupakan cara
penafsiran atau penjelasan undang-undang yang didasarkan
pada pengertian sebaliknya dari peristiwa konkrit yang dihadapi
dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Apabila
suatu peristiwa tertentu diatur, tetapi peristiwa lainnya yang mirip
tidak, maka untuk yang terakhir ini berlaku hal yang sebaliknya.
Misalnya adalah tentang ketentuan bagi duda yang
hendak kawin lagi yang tidak tersedia peraturannya. Peristiwa
yang tersedia bagi peristiwa yang tidak sama tetapi mirip adalah
bagi janda, yaitu pasal 39 PP No. 9 tahun 1975; bagi janda yang
hendak kawin lagi harus menunggu masa iddah. Pasal tersebut
kemudian diberlakukan bagi duda a contrario sehingga duda
kalau hendak kawin lagi tidak perlu menunggu. Sudikno
Mertokusumo mengatakan bahwa baik argumentum per
analogiam maupun argumentum a contrario berakar pada asas
keadilan: peristiwa yang sama diperlakukan sama, peristiwa
yang tidak sama diperlakukan tidak sama.

77
c). Penyempitan Hukum (Rechtsverfijning)
Penyempitan hukum adalah memberlakukan peraturan
perundang-undangan yang ruang lingkupnya terlalu umum atau
luas pada suatu peristiwa yang sifatnya khusus atau tertentu
dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.
Mertokusumo mengatakan bahwa dalam penyempitan
hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau
penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan
yang bersifat umum. Peristiwa yang bersifat umum diterapkan
terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan
penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri. Misalnya
adalah maksud dari perbuatan melawan hukum dalam Pasal
1365 BW yang masih terlalu umum dan luas harus dipersempit
ruang lingkupnya.

e) Argumen Fiksi Hukum


Argumen Fiksi Hukum adalah memberikan suatu istilah –
istilah yang abstrak, gambaran semu, yang tidak sebenarnya
tetapi yang bermaksud dianggap benar. Contoh : pasal 2
KUHPerdata “anak pada kandungan seorang wanita dianggap
telah dilahirkan,jika kepentingan anak menghendaki”.
Jadi, dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hakim
dapat melakukan pembentukan/penemuan hukum ketika
hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas untuk memutus suatu
perkara dengan cara-cara sebagaimana telah dipaparkan di
atas.

E. Aliran-Aliran Penemuan Hukum


Aliran-aliran dalam penemuan hukum, diantaranya yaitu :
1) Legisme
2) Historis
3) Begriffsjurisprudenz

78
4) Interessenjurisprudenz
5) Freirechtbewegung

1) Aliran Legisme
Aliran ini lahir sbg reaksi atas ketidak seragaman hukum
kebiasaan pada abad 19 dengan jalan kodifikasi dengan menuangkan
hukum secara lengkap dan sistemats dalam kitab undang-undang.
Aliran ini menegaskan bahwa satu-satunya sumber hukum
adalah undang-undang, yang dianggap cukup jelas dan lengkap yang
berisi semua jawaban terhadap persoalan hukum sehingga hakim
hanyalah berkewajiban menerapkan peraturan hukum pada peristiwa
konkrit dengan bantuan penafsiran gramatikal.
Pemecahannya melalui subsumptie, dan untuk melaksanakan
ini diperlu kan syarat-syarat :
1. Undang-undang harus bersifat umum (berlaku bagi setiap orang.
2. Ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya harus dirumuskan
secara abstrak (sehingga berlaku umum)
3. Sistem peraturannya harus lengkap, sehingga tidak ada
kekosongan-kekosongan.
Berdasarkan pendapat ini maka semua hukum terdapat di
dalam undang-undang, dan hanya undang-undanglah yang menjadi
sumber hukum.
Aliran ini berpendapat bahwa semua hukum itu berasal dari
kehendak penguasa tertinggi, dalam hal ini kehendak pembentuk
undang-undang. Jadi semua hukum terdapat dalam undang-undang.
Berdasarkan pandangan ini hakim hanyalah berkewajiban
menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkritnya dengan
bantuan metode penafsiran terutama penafsiran gramatikal. Aliran ini
juga mengabaikan hukum kebiasaan dan yurisprudensi. Hal tersebut
dikarenakan pembentuk undang-undang ingin mencegah
ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum. Usaha kearah
kodifikasi ini hanya dapat dipahami melalui ajaran tentang pembagian

79
kekuasaan yang mendapat pengaruh dari Montesquieu dan harus
dilihat dengan latar belakang pandangan negara liberal.

2) Mazhab Historis
Abad ke 20 disadari bahwa UU tidak lengkap, nilai-nilai yang
dituangkan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat,
kalau kondisi ini diperta-hankan maka akan terjadi kekosongan
hukum.
Akhirnya Von Savigny mempelopori pandangan yang kemudian
dinamai Mazhab Historis, yang inti pandangannya adalah:
”Hukum tumbuh dari kesadaran hukum bangsa di suatu tempat
dan pada waktu tertentu”.
Berlawanan dengan pandangan Legisme, yaitu bahwa undang-
undang adalah satu-satunya sumber hukum, adalah pandangan
Mazab Historis yang dipelopori oleh von Savigny (1779-1861). Mazab
Historis berpendapat bahwa hukum itu ditentukan secara historis
yakni hukum tumbuh dari kesadaran hukum bangsa di suatu tempat
dan pada waktu tertentu (Das Recht Wird nicht gemacht, es ist und
wird mit dem Volke). Kesadaran hukum (Volksgeist) yang paling murni
terdapat dalam kebiasaan. Peraturan hukum terutama merupakan
pencerminan keyakinan hukum dan praktek-praktek yang terdapat
dalam kehidupan bersama dan tidak ditetapkan dari atas. Para yuris
harus mengembangkan dan mensistemasi keyakinan dan praktek-
praktek ini . Von Savigny berpendapat bahwa hukum adalah hukum
kebiasaan yang tidak cocok untuk kehidupan modern. Sebelum
mengkodifikasikan hukum harus mengadakan penelitian yang lebih
mendalam terlebih dahulu. Setelah itulah baru dapat dilakukan
kodifikasi. Jasa von Savigny dalam hal ini ialah bahwa ia memberi
tempat yang mandiri pada hukum kebiasaan sebagai sumber hukum.

80
3) Begriffsjurisprudenz
Ketidak mampuan legislator meremajakan undang-undang
pada waktunya merupaka alasan dasar untuk memberi peran yang
lebih aktif kepada hakim untuk menyesuaikan undang pada keadaan
yang baru.
Dalam posisi seperti ini jurisprudensi mulai memperoleh
peranan sebagai sumber hukum.
Dalam abad 19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh Rudolf von
Jhering yang menekankan pada sistematik hukum.
Pada pertengahan abad 19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh
Rudolf von Jhering (1818-1890) yang menekankan pada sistematik
hukum. Setiap putusan baru dari hakim harus sesuai dengan sistem
hukum. Berdasarkan ketentuan yang dibentuk oleh sistem hukum,
maka setiap ketentuan undang-undang harus dijelaskan dalam
hubungannya dengan ketentuan undang-undang yang lain, sehingga
ketentuan-ketentuan undang-undang itu mrupakan satu kesatuan
yang utuh. Menurut aliran ini yang ideal adalah apabila sistem yang
ada itu berbentuk suatu suatu piramida dengan pada puncaknya suatu
asas utama, dari situ dapat dibuat pengertian-pengertian baru
(Begriff).
Khas bagi aliran Begriffsjurisprudenz ini ialah hukum dilihat
sebagai satu sistem tertutup mencakup segala-galanya yang
mengatur semua perbuatan sosial. Pendekatan hukum secara ilmiah
dengan sarana pengertian-pengertian yang diperhalus ini merupakan
dorongan timbulnya postivisme hukum, tetapi juga memberi
argumentasi-argumentasi yang berasal dari ilmu hukum, dan dengan
demikian obyektif, sebagai dasar putusan-putusan. Pasal-pasal yang
tidak sesuai dengan sistem dikembangkan secara “ilmiah” dan
diterapkan interpretasi restriktif.
Inti ajaran ini menegaskan bahwa; Yang ideal adalah apabila
sistem yang ada berbentu suatu piramida, yang mana dipuncak
piramida terletak asas utama, dan dari puncak piramida dibuatlah

81
pengertian-pengertia baru (Begriff) dan selanjutnya dikembangkan
sistem asas-asas dan pengertian-pengertian umum yang digunakan
untuk mengkaji undang-udang.

Gambar Piramida Begriff

Asas-asas Utama

Pengertian-pengertian

Ciri khas aliran ini:


Lebih memberikan kebebasan kepada hakim tinimbang aliran
legisme, hakim tidak perlu terikat pada bunyi undang-undang, dia
dapat mengambil argumentasinya dari peraturan-peraturan hukum
yang tersirat dalam undang-undang. Dengan demikian lebih
bersandar kepada ilmu hukum.

4) Interessenjurisprudenz
Aliran ini sebagai reaksi terhadap aliran Begriffjurisprudenz,
aliran ini lebih menitik beratkan kepada “kepentingan-kepentingan”
(interessen) yang difiksikan, dan oleh karena itu pulalah aliran ini
dinamai dengan “Interesenjurisprudez” yang mengalami masa
kejayaan pada awal abad 20 di Jerman.

82
Pendapat aliran ini: Bahwa hukum tidak boleh dilihat oleh hakim
sebagai formil-logis belaka, akan tetapi harus dinilai menurut
tujuannya. Adapun yang menjadi tujuan menurut van Jhering adalah
“idee keadilan dan kesusilaan yang tak mengenal waktu”. Contoh:
bahwa siapa yang dalam proses hak milik benda tidak atas nama, dan
dapat menunjukkan penguasanya (bezit) atas benda tersebut, maka
ia dibebaskan dari pembuktian.
Pembentuk undang-undang sewaktu merumuskan peraturan
telah mempertimbangkan pelbagai kepentingan dan akhirnya
mengambil pilihan. Dalam ketentuan undang-undang telah ditetapkan
kepentingan-kepentingan mana yang dimata pembentuk undang-
undang itu mempunyai nilai. Apabila kemudian diminta putusan dari
hakim (dalam konflik kepentingan), maka ia harus menyesuaikan
dengan ukuran nilai yang dimuat dalam undang-undang. Ia tidak boleh
atas kemauannya sendiri menilai kepentingan konkrit pihak-pihak
yang bersangkutan, akan tetapi mengeluarkan unsur-unsur itu yang
telah dinilai oleh pembentuk undang-undang dan berkaitan dengan itu
mengambil putusan. Yang menentukan terutama adalah selalu
penilaian oleh pembentuk undang-undang. Hakim dalam putusannya
harus bertanya kepentingan manakah yang diatur atau dimaksudkan
oleh pembentuk undang-undang.

5) Freirechtbewegung
Reaksi yang tajam terhadap aliran Legisme baru muncul pada
sekitar tahun 1900 di Jerman, reaksi ini dimulai oleh Kantorowics
dengan nama samaran Gnaeus Flavius.
Aliran ini menantang keras pendapat yang menyatakan bahwa
kodifikasi itu lengkap dan hakim dalam proses penemuan hukum tidak
memiliki sumbangan kreatif.
Aliran ini berpendapat bahwa: Hakim memang harus
menghormati undang-undang, tetapi ia dapat tidak hanya sekedar
tunduk dan mengikuti undang-undang, melainkan menggunakan

83
undang-undang sebagai sarana untuk menemukan pemecahan
peristiwa konkrit yang dapat diterima. Dapat diterima karena pemecahan
yang diketemukan dapat menjadi pedoman bagi peristiwa konkrit serupa
lainnya, di sini hakim tidak berperan sebagai penafsir undang-undang, tetapi
sebagai pencipta hukum.

F. Soal Tugas / Latihan


1. Kapan waktu yang tepat untuk penemuan hukum?
2. Sebutkan dan jelaksan metode penemuan hukum!

84
PERTEMUAN XI DAN XII

Pada Pertemuan XI dan XII menjelaskan tentang Faktor-Faktor Pengubah


Hukum. Setelah mengikuti pertemuan ini diharapkan mahasiswa mampu :
1. Memahami dan menjelaskan aspek politik
2. Memahami dan menjelaskan aspek budaya
3. Memahami dan menjelaskan aspek ekonomi
4. Memahami dan menjelaskan aspek globalisasi
5. Memahami dan menjelaskan aspek ilmu pengetahuan dan teknologi
6. Memahami dan menjelaskan pendidikan

BAB VI
FAKTOR-FAKTOR PENGUBAH HUKUM

A. Aspek Politik
Faktor-faktor pengubah hukum dari aspek politik terdiri dari
beberapa sub aspek, yaitu :
1. Penguasa
Sistem Politik dapat diartikan sebagai seperangkat interaksi
yang diabstraksikan dari totalitas prilaku sosial melalui nilai-nilai yang
disebarkan untuk suatu masyarakat. Suatu sistem politik harus
mempunyai kemampuan untuk mempertahankan kehidupan,
langsung dan berkelanjutan serta mempunyai dorongan alamiah,
bertahan dalam segala kondisi lingkungan yang menekankannya
sampai batas tertentu. Pemerintah sebagai personifikasi negara
dalam konsep ini hanya mekanisme formal, disamping pranata sosial
politik lainnya yang tidak resmi.
Pemerintah pada intinya merupakan pelaksana kehendak
negara yang tidak lain merupakan manifestasi dari sistem politik.
Pemerintah merupakan sebagian kecil dari keseluruhan anggota
masyarakat dalam suatu negara yang diberi tugas untuk
menyelenggarakan kekuasaan negara.
John Austin mengatakan bahwa hukum itu perintah dari
penguasa negara, dan hakikat hukum itu terletak pada unsur perintah

85
itu. Hukum itu merupakan satu sistem yang tetap, logis dan tertutup,
oleh karena itu hukum dibedakan dalam dua jenis hukum yaitu hukum
dari Tuhan untuk manusia dan hukum yang dibuat oleh manusia.
Dalam diri hukum itu sendiri sebenarnya terdapat 4 unsur
perintah yaitu perintah (command), sanksi (sanction), kewajiban (duty)
dan kedaulatan (sovereignty). Jadi menurut John Austin sebagai
pelopor aliran Positivisme Hukum memandang bahwa hukum itu tidak
lain kecuali perintah yang diberikan oleh penguasa (law is a command
of lawgivers).
Dalam pandangan Realisme Hukum, hukum itu tidak selalu
sebagai perintah dari penguasa negara, sebab hukum dalam
perkembangannya selalu dipengaruhi oleh berbagai hal.
Hubungan antara hukum dan kekuasaan digambarkan dalam
suatu slogan :
“Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan
tanpa hukum adalah kelaliman“ (Mochtar kusumaatmadja).
Peperzak mengemukakan hubungan antara hukum dengan
kekuasaan dengan 2 cara :
1) Dari konsep sanksi ; perilaku yang menyimpang memerlukan
sanksi bagi penegakan aturan aturan hukum. Penggunaan
sansi memerlukan legimitasi yudiris agar menjadi kekerasan
yang sah.
2) Konsep penegakan konstitusi ; termasuk penegakan prosedur
yang benar dalam pembinaan hukum mengasumsikan
digunakanya kekuatan (force).
Kekuasaan merupakan suatu fungsi dari masyarakat yang
teratur. Hakikat kekuasaan dalah kemampuan seseorang untuk
memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Kekuasan harus tunduk
pada hukum.
Lili Rasjidi menjelaskan bahwa hukum dalam pelaksanaannya
memerlukan kekuasaan untuk mendukungnya. Kekuasaan itu

86
diperlukan karena hukum itu bersifat memaksa, tanpa adanya
kekuasaan, pelaksanaan hukum akan menjadi terhambat.
Van Apeldorn menyatakan bahwa hukum itu sendiri sebenarnya
kekuasaan. Hukum itu merupakan salah satu sumber daripada
kekuasaan, disamping sumber-sumber lainnya seperti kekuatan (fisik
dan ekonomi), kewibawaan (rohanian, intelegensia, dan moral).
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa baik buruknya
sesuatu kekuasaan sangat tergantung dan bagaimana kekuasaan
tersebut digunakan, artinya baik buruknya kekuasaan senantiasa
harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang
sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat lebih dahulu.

2. Partai Politik
Dalam suatu negara demokrasi partai politik merupakan hal
yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara, sebab melalui
partai politik inilah rakyat menentukan kebijakan untuk memilih
presiden dan wakil presiden dan pejabat lainnya. Sedemikian
pentingnya keberadaan partai politik dalam sebuah negara, sampai
pada munculnya pameo “Negara modern tanpa partai politik, sama
saja dengan kolam yang tidak ada ikannya”.
Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan pihak yang
berkuasa. Hubungan ini sangat dipengaruhi oleh masyarakat yang
melahirkan partai politik itu. Kalau kelahiran partai politik itu
diidentikkan sebagai pengejawantahan dari kedaulatan dalam politik
formal, maka semangat kebebasan selalu dikaitkan oleh masyarakat
dalam membicarakan partai politik sebagai pengendali kekuasaan
oleh pejabat yang diberi wewenang untuk menjalankan kebijakan
negara.
Partai politik seringkali diasosiasikan orang sebagai organisasi
perjuangan yaitu tempat seseorang atau sekelompok orang
memperjuangkan hak-hak politik dalam sebuah negara. Partai politik

87
berusaha untuk memperoleh kekuasaan dengan 2 cara yaitu pertama,
ikut serta dalam pemerintahan yang sah melalui Pemilu dengan
merebut suara terbanyak (mayoritas), kedua, dengan cara tidak sah
(subversive) untuk memperoleh kekuasaan tertinggi dalam negara
dengan cara revolusi.
Dalam konteks Indonesia, peran partai politik sebagai aspek
pengubah hukum terlebih dahulu harus merujuk kepada ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk UU bersama
DPR.

3. Lembaga Swadaya Masyarakat


Tidak semua aspirasi yang ada dalam masyarakat dapat
tertampung dalam partai poltik yang telah ada dalam suatu negara.
Aspirasi masyarakat yang tidak tertampung itu biasanya diwujudkan
dalam berbagai organisasi yang dibentuk diluar pemerintah, seperti
organisasi profesi, kelompok LSM, kelompok penekan (pressure
group) dan kelompok kepentingan (Interest group).
Salah satu ciri penting dalam organisasi kemasyarakatan ini
adalah kesukarelaan dalam pembentukan dan keanggotannya.
Anggota masyarakat bebas untuk membentuk, memiliki dan
bergabung dalam organisasi kemasyarakatan yang dikehendaki
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara atas
dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama dan kepentingan.
Dalam melaksanakan kegiatan dan program kerja sesuai
dengan bidang yang menjadi sorotan masing-masing LSM,
kebanyakan dari mereka terlebih dahulu mengumpul data yang
diperlukan dengan mengadakan penelitian lapangan untuk dapat
mengetahui kondisi objektif tentang persoalan yang menjadi bidang
garapannya.
Data-data yang terkumpul itu diolah sedemikian rupa sehingga
didapat data yang akurat yang selanjutnya disusun langkah-langkah

88
yang strategis selanjutnya untuk mengupayakan perbaikan kondisi
yang diinginkan oleh LSM tersebut.
LSM yang bergerak dalam bidang masing-masing telah
memberikan berbagai masukan kepada pembuat kebijakan baik
dalam bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif baik dalam rangka
membuat aturan hukum maupu dalam bidang penerapan hukum
menuju kepada hal yang lebih baik. Peranan pengaruh dari LSM
dalam mengubah sistem hukum yang akan diberlakukan kepada
masyarakat cukup dominan.

4. Kelompok Penekan
Kelompok penekan adalah sekumpulan orang yang
mempunyai visi yang berlainan dengan visi dari orang-orang yang
duduk dalam suatu lembaga negara yang mempunyai wewenang
untuk membuat suatu kebijakan nasional terhadap sesuatu hal yang
menyangkut hajat hidup orang banyak.
Orang-orang yang termasuk dalam kelompok penekan ini
terdiri dari orang-orang yang berada dalam berbagai golongan dari
lapisan masyarakat, mulai dari kelas bawah sampai kepada kelas
menengah dan atas.
Pengaruh dari kelompok penekan terhadap suatu masalah
dalam kelompok masyarakat suatu bangsa dapat mempengaruhi
kebijakan yang telah ditetapkan oleh penyelenggara negara.
Meskipun tidak semua perjuangan kelompok penekan berhasil
mempengaruhi kebijakan negara, tetapi banyak juga yang berhasil
sehingga kebijakan yang telah ditetapkan terpaksa harus diubah, yang
pada akhirnya berubah pula pada produk hukum yang dibuatnya.

B. Aspek Budaya
Perubahan yang terjadi secara drastis dalam era globalisasi ini juga
menyebabkan terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat.
Terjadinya pergeseran nilai didalam keluarga maupun lingkungan yang

89
lebih luas. Oleh karena itu pengaruh keluarga dan lingkungan yang lebih
luas perlu mendapat perhatian. Terdapat beberapa faktor yang
mempercepat proses perubahan yaitu, kontak dengan kebudayaan lain,
penduduk yang heterogen, toleransi terhadap tindakan-tindakan
penyimpangan, sistem pendidikan yang modern, sikap menghargai hasil
karya orang lain, motivasi untuk maju, ketidakpuasan terhadap sektor-
sektor tertentu didalam kehidupan masyarakatnya, animo untuk
meningkatkan taraf hidup.
Dalam sejarah kehidupan manusia, secara naluriah dimana saja,
kapan saja manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama,
hidup berkelompok dan bergaul satu sama lain. Dalam pergaulan itu
seseorang akan menemukan aturan-aturan didalam berinteraksi antara
yang satu dengan yang lain. Aturan dalam berinteraksi itu biasanya bertitik
tolak pada norma-norma yang hidup dalam masyarakat dan norma-norma
itu memberikan acuan tentang cara bersikap dan berprilaku yang
disepakati untuk ditaati agar tercapai ketertiban dan kedamaian dalam
kehidupan bersama tersebut
Kita mengenal dalam masyarakat ada stratifikas sosial yang
terbentuk ada kalanya dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan
masyarakat itu seperti umur, kepandaian dan kekayaan. Ada pula yang
sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama, hal ini biasanya
berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang secara resmi
dalam organisasi-organisasi formal, seperyi pemerintahan, perusahaan,
partai politik dan sebagainya.
Menurut Selo Sumardjan dan Soelaeman Suemardja, ukuran dan
kriteria yang biasanya dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat
ke dalam lapisan-lapisan adalah
Pertama ukuran kekayaan, atau kebendaan ;
Kedua, ukuran kehormatan;
Ketiga, ukuran kekuasaan ;
Keempat, ukuran ilmu pengetahuan.

90
Ukuran tersebut tidaklah bersifat limitatif, sebab masih banyak
ukuran lain yang dapat dijadikan kriteria dan ukuran dalam menentukan
lapisan-lapisan dalam masyarakat.
Penggolongan penduduk Indonesia (Hindia Belanda pada waktu
itu) berdasarkan pada ketentuan Pasal 163 IS (Indische Staatregeling)
dan Pasal 109 RR (Regerings Reglement) dan hukum yang berlaku untuk
tiap golongan penduduk berdasarkan Pasal 131 IS dan 75 RR yang
berasal dari warisan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Regerings
Reglement adalah peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan
parlemen untuk mengatur pemerintah daerah jajahan di Indonesia yang
selanjutnya dianggap sebagai UUD pemerintah jajahan Belanda,
sedangkan Indische Staatregeling adalah pengganti dari Reglement
Regering.
Adanya penggolongan penduduk dan hukum yang berlaku untuk
tiap golongan penduduk tersebut merupakan politik hukum dari
pemerintahan Kolonial Belanda untuk mengawasi penduduk yang berada
di daerah jajahannnya dan dalam upaya pembodohan dan politik
memecah belah (devide et impera) untuk penduduk di wilayah Hindia
Belanda pada waktu itu.
Pasal 163 IS (Indische Staatregeling) mengenai penggolongan
penduduk menyebutkan:
a) Golongan Eropa, meliputi :
▪ Semua orang Belanda,
▪ Semua orang yang berasal dari Eropa, tetapi bukan Belanda ;
▪ Semua orang Jepang ;
▪ Semua orang yang berasal dari negara lain, tetapi tidak
termasuk orang Belanda atau orang yang berasal dari Eropa
bukan Belanda, yang di negaranya tunduk pada hukum keluarga
yang asas-asasnya sama dengan hukum Belanda. Anak sah
atau yang diakui menurut undang-undang dan keturunan
selanjutnya dari orang-orang yang berasal dari Eropa bukan
Belanda ;

91
▪ semua orang yang berasal dari tempat lain, tetapi bukan
Belanda atau Eropa yang lahir di Hindia Belanda.
b) Golongan Bumiputera, meliputi :
▪ Semua orang yang termasuk rakyat di Hindia-Belanda dan tidak
pernah pindah ke dalam golongan penduduk lain dari golongan
Bumiputera ;
▪ Golongan penduduk lainnya yang telah meleburkan diri menjadi
golongan Bumiputera dengan cara meniru atau mengikuti
kehidupan sehari-hari golongan Bumiputera dan meninggalkan
hukumnya atau karena perkawinan;
c) Golongan Timur Asing, meliputi :
▪ Mereka yang tidak termasuk golongan Eropa dan Golongan
Bumiputera.
▪ Golongan Timur Asing ini dibedakan atas Timur Asing Tionghoa
dan Timur Asing Bukan Tionghoa, seperti Arab, India.
Kebudayaan sebagai hasil cipta karsa dan rasa manusia
mempunyai tingkatan yang berbeda-beda antara kebudayaan di tempat
tertentu dengan kebudayaan ditempat lain, ditempat tertentu kemungkinan
terdapat kebudayaan yang lebih sempurna dibandingkan dengan
kebudayaan di tempat lain.
Pada umumnya masuknya teknologi asing sebagai unsur dari
kebudayaan luar merupakan hal yang paling dapat diterima oleh
masyarakat, sedangkan unsur-unsur yang menyangkut sistem
kepercayaan seperti ideologi, falsafah hidup atau nilai-nilai luhur
merupakan hal yang sangat sulit diterima oleh suatu masyarakat.
Adanya kontak budaya suatu kelompok sosial (masyarakat) dalam
suatu negara, maka akan mempengaruhi terjadinya suatu pembentukan
dan perubahan produk hukum di negara tersebut.
Agar gerak dan kontak budaya tersebut dapat berjalan sesuai
dengan yang diharapkan dan dapat menghasilkan integrasi antara unsur-
unsur kebudayaan asing dengan kebudayaan sendiri dari masyarakat
penerima, maka masyarakat penerima harus menyesuaikan pengaruh

92
asing yang datang itu dengan kesadaran hukum dari masyarakat itu
sendiri.
Anti Kemapanan
Kekuasaan dan wewenang yang dipegang oleh seseorang dalam
waktu yang terlalu lama dalam kehidupan sosial masyarakat, maka akan
menimbulkan kejenuhan dalam kehidupan organisasi yang pada akhirnya
akan menimbulkan gejolak dalam kehidupan masyarakat.
Apabila hal ini terjadi maka pihak-pihak yang berwenang harus
mencari jalan yang terbaik untuk mencari solusi pemecahannya. Salah
satu jalan yang terbaik adalah mengadakan reformasi hukum dan
memfungsikan sebagai alat untuk merekayasa masyarakat dalam
mencapai ketertiban, ketentraman dan keadilan dalam kehidupan
bersama.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan hukum
dalam suatu negara dapat berasal dari dalam negeri (internal) yakni
adanya suatu perubahan yang cepat dan radikal sehingga mempengaruhi
seluruh sistem hukum yang sedang berjalan, dapat pula berasal dari faktor
luar eksternal yang mempengaruhi sistem hukum nasional yaitu adanya
keharusan suatu negara untuk menyesuaikan hukum nasionalnya dengan
hukum internasional.

C. Aspek Ekonomi
Dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini telah hadir berbagai
kejadian baru dalam perkembangan ekonomi dunia, seperti terjadinya era
pasar bebas dunia, interdependensi sistem baik dalam bidang politik
maupun bidang ekonomi, lahirnya berbagai lembaga ekonomi
Internasional, pengelompokkan negara dalam kawasan ekonomi regional
dan sebagainya.
Hal tersebut tentu tidak dapat dilaksanakan dalam kevakuman
hukum dan kaidah-kaidah hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur
mekanisme hubungan tersebut agar tidak terjadi konflik internasional
dalam hubungannya dengan ekonomi suatu negara.

93
Oleh karena itulah dalam kaitan tersebut diatas Indonesia telah
meratifikasi berbagai perjanjian Internasional untuk diterapkan di
Indonesia, yang diharapkan dengan ratifikasi tersebut Indonesia dapat
menempatkan diri sebagai pelaku ekonomi yang mapan dalam era
globalisasi.

D. Aspek Globalisasi
Abad ke-21 adalah abad globalisasi yang ditandai dengan adanya
keterbukaan dan kebebasan dalam berbagai bidang kehidupan.
Globalisasi adalah suatu perubahan zaman sehingga terjadi perubahan
pula pada segala aspek kehidupan manusia, yaitu aspek keagamaan,
sosial budaya, ekonomi dan keuangan, politik dan keamanan, pendidikan
dan sebagainya.
Reformasi hukum dalam berbagai bidang kehidupan sebagai arus
globalisasi di Indonesia merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
pelaksanaan agenda reformasi. Akibat terjadinya perubahan dalam
berbagai kehidupan masyarakat, maka perubahan hukum sangat
mendesak untuk dilakukan baik pada tingkat nasional maupun pada
tingkat regional.
Perubahan hukum mencakup pembaruan dalam cara berfikir,
tingkah laku, pola hidup yang sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan
perkataan lain agenda reformasi hukum dalam menghadapi arus
globalisasi ini mencakup reformasi kelembagaan (institusional reform),
reformasi perundang-undangan (Instrumetal reform dan reformasi budaya
hukum (cultur reform).

E. Aspek Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Talcot Parsons mengemukakan : “...penemuan dibidang teknologi
merupakan penggerak perubahan sosial, sebab penemuan yang demikian
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang berantai sifatnya”.
Namun demikian perubahan yang ditimbulkannya tidak senantiasa
dalam wujud perubahan positif atau yang bermanfaat, sebab penemuan

94
diidang teknologi canggih serta penggunaannya secara langsung ataupun
tidak langsung dapat menimbulkan dampak negatif.
Akibat pengaruh drastis komunikasi modern juga mengubah
berbagai konsep tradisional tentang nilai dan kaidah yang tadinya
diwariskan secara turun-temurun selama ribuan tahun, tetapi
diberantakkan hanya dalam waktu sekian tahun saja. Hal ini tidak
terkecuali terhadap persepsi tradisional tentang nilai dan persepsi moral
mengenai hubungan seksual dan pemerkosaan.
Persepsi dan nilai tradisional diatas segera dapat berubah hanya
dalam tempo singkat sebagai akibat teknologi modern yang canggih tadi.
Salah satu hal yang berubah adalah modus operandi kejahatan, seperti
misalnya penggunaan komputer untuk melakukan kejahatan korupsi,
pencurian dan sebagainya.
Pencurian dengan modus operandi baru tampak pada penggunaan
telepon seluler. Hal-hal yang cukup menarik adalah bahwa penemuan-
penemuan baru dibidang teknologi, juga dapat menjadi pendorong
meningkatnya kualitas kejahatan kekerasan.
Hasil penelitian FH Undip (1982) antara lain sebagai berikut :
 Ditinjau dari intensitas dan frekwensi terjadinya kejahatan, yang paling
banyak dilakukan adalah delik-delik terhdap harta benda, kemudian
menyusul delik-delik lalu lintas.
 Ada pengarus kemajuan teknologi terhadap tingkah laku tindak pidana
terhadap perkembangan teknik pelaksanaan tindak pidana.
 Ada hubungan langsung antara kemajuan-kemajuan dalam sektor
perhubungan dan gerak kemasyarakatan yang berkenaan dengan
ruang geografi (mobilitas horisontal) dengan peningkatan tindak
pidana.
 Intensitas kejahatan menimbulkan rasa takut, gelisah dan cemas di
kalangan masyarakat.

95
F. Aspek Pendidikan
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Melalui pendidikan manusia dapat mengetahui segala sesuatu
yang sudah, sedang dan akan terjadi. Melalui pendidikan manusia dapat
menghasilkan sumber daya manusia yang andal dibidang apa saja yang
dikehendakinya.
Pendidikan Tinggi Hukum merupakan bagian dari sistem
pendidikan nasional dan merupakan bagian integdral dalam usaha
membentuk manusia dan masyarakat indonesia yang berbudaya dan
berkualitas guna menciptakan masyarakat hukum yang
berprikemanusiaan dan berkeadilan berdasarkan kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Dari generasi yang sadar, terdidik dan mempunyai integritas moral
yang solid diharapkan munculnya gagasan segar dalam mengembangkan
hukum, sebagai langkah untuk membangun kembali mentalitas bangsa.
Maka diharapkan aparat hukum mampu untuk bertindak sesuai dengan
asas hukum yang berlaku. Disamping itu dengan kemampuan yang
dimiliki ia mampu menjaga kemandiriannya terhadap pengaruh dari
campur tangan pihak kekuasaan segala lainnya, kebebasan dari paksaan,
direktiva atau rekumendir dari pihak ekstra judiciil, kecuali dalam hal-hal
yang diijinkan oleh UUD atau peraturan perundang-undangan lainnya.

G. Soal Tugas / Latihan


1. Apa saja aspek-aspek pengubah hukum yang anda ketahui dan
jelaskan masing-masing!
2. Berikan contoh konkrit penerapan aspek-aspek pengubah di dalam
masyarakat saat ini!

96
PERTEMUAN XIII DAN IV

Pada Pertemuan XIII dan IV menjelaskan tentang Kesadaran Hukum Dalam


Masyarakat Untuk Melakukan Perubahan
Setelah mengikuti pertemuan ini diharapkan mahasiswa mampu :
1. Memahami dan menjelaskan pengertian kesadaran hukum
2. Memahami dan menjelaskan motivasi mematuhi hukum
3. Memahami dan menjelaskan hal berlakunya hukum
4. Memahami dan mengkontruksikan faktor-faktor yang mempengaruhi
efektifitas hukum

BAB VII
KESADARAN HUKUM DALAM MASYARAKAT UNTUK
MELAKUKAN PERUBAHAN

A. Pengertian Kesadaran Hukum


Secara ilmiah maupun melalui pengamatan sangat sulit
mengetahui adanya kesadaran hukum masyarakat, akan lebih sulit lagi
jika ingin mengetahui tingkat kesadaran yang dimiliki oleh mereka.
Untuk mengetahui secara kualitatif, tinggi atau rendahnya
kesadaran hukum adalah dengan cara melakukan pengamatan, adapun
petunjuk-petunjuk yang perlu diamati.
Kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas perundang-
undangan adalah 3 unsur yang saling berhubungan. Sering orang
mencampuradukkan antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum.
Krabbe menyatakan bahwa kesadaran hukum sebenarnya
merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat didalam diri manusia
tentang hukum yang diharapkan ada.
Pengertian itu akan lebih lengkap lagi jika ditambahkan nilai-nilai
masyarakat tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh
masyarakat tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum
dalam masyarakat.

97
Kesadaran hukum yang dimiliki warga masyarakat belum menjamin
bahwa warga masyarakat tersebut akan menaati suatu peraturan hukum
atau perundang-undangan, kesadaran seseorang bahwa mencuri itu
salah atau jahat, belum tentu menyebabkan orang tidak melakukan
pencurian jika pada saat dimana ada tututan mendesak.
Bahkan menteri Kehakiman Oetojo Oesman (1996) membedakan
kesadaran hukum :
- kesadaran hukum yang baik
- kesadaran hukum yang buruk
Salah satu contoh kesadaran hukum yang buruk adalah seseorang
yang semakin memiliki pengetahuan hukum mengetahui kemungkinan
menggunakan proses banding dan kasasi meskipun ia sebenarnya sadar
bahwa dirinya berada di pihak yang salah. Kesadaran hukum yang buruk
ini menjadi salah satu penyebab semakin menumpuknya perkara di MA.
Soerjono Soekanto mengemukakan 4 unsur/indikator kesadaran
hukum yaitu :
1. pengaturan tentang hukum
2. pengetahuan tentang isi hukum
3. sikap hukum
4. pola perilaku hukum.
Studi tentang kesadaran hukum juga mengkaji bagaimana
pengetahuan seseorang tentang hukum, dapat ditransfer ke dalam
tindakan dan keputusan yang diambil setiap orang. Kesadaran hukum
juga menyelidiki seberapa jauh konsep hukum yang diketahui seseorang,
ikut memengaruhi tujuan, pilihan dan permasalahan yang dialami setiap
orang.
Beberapa faktor yang salah satunya menjadi fokus pilihan dalam
kajian tentang kesadaran hukum adalah :
▪ penekanan bahwa hukum sebagai sumber otoritas, sangat erat
kaitannya dengan lokasi dimana suatu tindakan hukum terjadi

98
▪ studi tentang kesadaran hukum tidak harus mengistimewakan
hukum sebagai sebuah sumber otoritas atau motivasi untuk
tindakan;
▪ studi kesadaran hukum memerlukan observasi, yang tidak hanya
pada apa yang individu katakan kepada peneliti dan juga tidak
sekdar terhadap apa yang mereka pikirkan tentang. permasalahan
sosial dan peranan hukum dalam memperbaiki kehidupan mereka,
tetepi juga apa mereka melakukan.
Brian H. Bix menguraikan bahwa merupakan satu isu penting yang
senantiasa muncul berulang dalam ilmu hukum adalah apakah atau
seluas apakah adanya satu kewajiban untuk mentaati hukum.
Terdapat beberapat type standar tentang argumentasi bagi suatu
kewajiban moral untuk mentaati :
▪ Consent (persetujuan) ;
▪ Fairness, reciprocity, or fair play (kepantasan, hubungan timbal
balik, atau perlakuaan yang fair ;
▪ Gratitude (sikap berterima kasih) ;
▪ Moral duty (kewajiban moral) untuk mendukung institusi-institusi
secara sungguh-sungguh.

B. Motivasi Mematuhi Hukum


Jika dianalisis lebih lanjut ada bebarapa faktor pendorong yang
menjadikan norma hukum lebih dipatuhi oleh masyarakat :
1. Dorongan yang bersifat psikologis/ kejiwaan.
2. Dorongan untuk memelihara nilai-nilai moral yang luhur di dalam
masyarakat.
3. Dorongan dalam upaya untuk memperoleh perlindungan hukum.
4. Dorongan untuk menghindar dari sanksi hukum.
Jenis-jenis ketaatan menurut H.C. Kelman :
▪ Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang menanti
suatu aturan, hanya karena ia takut terkena saknsi. Kelemahan

99
ketaatan jenis ini, karena ia membutuhkan pengawasan yang
terus menerus.
▪ Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang mentaati
suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak
lain menjadi rusak.
▪ Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang
menaati suatu aturan, benar-benar karena ia merasa bahwa
aturan itu sesuai dengan nilai-nilai instrinsik yang dianutnya.
Kapan suatu aturan hukum atau perundang-undangan dianggap
tidak efektif berlaku, maka jawabannya adalah :
▪ Jika sebagian besar warga masyarakat tidak menaatinya ;
▪ Jika ketaatan sebagian besar warga masyarakat hanya ketaatan
yang bersifat complieance atau identification. Dengan kata lain
walaupun sebagian besar warga masyarakat terlihat menaati
aturan hukum atau perundang-undangan, namun ukuran atau
kualitas efektivitas aturan atau perundang-undangan itu masih
dapat dipertanyaan.
Beberapa faktor yang mempengarui masyarakat tidak sadar akan
pentingnya hukum adalah :
1. Adanya ketidak pastian hukum;
2. Peraturan-peraturan bersifat statis;
3. Tidak efisiennya cara-cara masyarakat untuk mempertahankan
peraturan yang berlaku;
Berlawanan dengan faktor-faktor diatas salah satu menjadi fokus
pilihan dalam kajian tentang kesadaran hukum adalah :
1. Penekanan bahwa hukum sebagai otoritas, sangat berkaitan
dengan lokasi dimana suatu tindakan hukum terjadi;
2. Studi tentang kesadaran hukum tidak harus mengistimewakan
hukum sebagai sebuah sumber otoritas atau motivasi untuk
tindakan;

100
3. Studi tentang kesadaran hukum memerlukan observasi, tidak
sekedar permasalahan sosial dan peranan hukum dalam
memperbaiki kehidupan mereka, tetapi juga apa mereka lakukan
Ketaatan hukum tidaklah lepas dari kesadaran hukum, dan
kesadaran hukum yang baik adalah ketaatan hukum, dan ketidak sadaran
hukum yang baik adalah ketidak taatan. Pernyataan ketaatan hukum
harus disandingkan sebagai sebab dan akibat dari kesadaran dan
ketaatan hukum.
Sebagai hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara kesadaran
hukum dan ketaataan hukum maka beberapa literaur yang di ungkap oleh
beberapa pakar mengenai ketaatan hukum bersumber pada kesadaran
hukum, hal tersebut tercermin dua macam kesadaran, yaitu :
1. Legal consciouness as within the law, kesadaran hukum sebagai
ketaatan hukum, berada dalam hukum, sesuai dengan aturan
hukum yang disadari atau dipahami;
2. Legal consciouness as against the law, kesadaran hukum dalam
wujud menentang hukum atau melanggar hukum.
Hukum berbeda dengan ilmu yang lain dalam kehidupan manusia,
hukum berbeda dengan seni, ilmu dan profesionalis lainya, struktur hukum
pada dasarnya berbasis kepada kewajiban dan tidak diatas komitmen.
Kewajiban moral untuk mentaati dan peranan peraturan membentuk
karakteristik masyarakat.
Didalam kenyataannya ketaatan terhadap hukum tidaklah sama
dengan ketaatan sosial lainnya, ketaatan hukum merupakan kewajiban
yang harus dilaksanakan dan apabila tidak dilaksanakan akan timbul
sanksi, tidaklah demikian dengan ketaatan sosial, ketaatan sosial
manakala tidak dilaksanakan atau dilakukan maka sanksi-sanksi sosial
yang berlaku pada masyarakat inilah yang menjadi penghakim. Tidaklah
berlebihan bila ketaatan didalam hukum cenderung dipaksakan.
Jika kita mengurai tentang alasan-alasan mengapa masyarakat
tidak menaatai hukum atau mentaati hukum, ini adalah terjadi karena
keragaman kultur dalam masyarakat. Mengapa orang mentaati hukum?

101
Konsep Hermeneutika menjawabnya bahwa tidak lain, karena hukum
secara esensial bersifat relegius atau alami dan karena itu, tak disangkal
membangkitkan keadilan.
Kewajiban moral masyarakat untuk mentaati hukum, kewajiban
tersebut meskipun memaksa namun dalam penerapan atau prakteknya
kewajiban tersebut merupakan tidak absolut. Kemajemukan budaya yang
tumbuh didalam masyarakat, norma-norma hidup dan tumbuh
berkembang dengan pesat. Kewajiban moral dalam menyelesaikan
masalah-masalah dengan keadaan tertentu.
Menurut Kohlberg (Valazquez, 1998) menyatakan perkembangan
moral individu ada 3 tahap yaitu:
1. Level Preconvenstional. Level ini berkembang pada masa kanak-
kanak.
a. Punishment and obidience orientation: alasan seseorang patuh/
taat adalah untuk menghindari hukuman.
b. Instrument and relativity orientation; perilaku atau tindakan benar
karena memperoleh imbalan atau pujian.
2. Level Conventional: Individu termotivasi untuk berperilaku sesuai
dengan norma-norma kelompok agar dapat diterima dalam suatu
kelompok tersebut.
a. Interpersonal concordance orientation: orang bertingkah laku
baik untuk memenuhi harapan dari kelompoknya yang menjadi
loyalitas, kepercayaan dan perhatiannya seperti keluarga dan
teman.
b. Law and order orientation: benar atau salah ditentukan loyalitas
seseorang pada lingkungan yang lebih luas seperti kelompok
masyarakat atau negara.
3. Level Postconventional: pada level ini orang tidak lagi menerima saja
nilai-nilai dan norma-norma dari kelompoknya, melainkan melihat
situasi berdasarkan prinsip-prinsip moral yang diyakininya.
a. Social contract orientation: orang mulai menyadari bahwa orang-
orang memiliki pandangan dan opini pribadi yang sering

102
bertentangan dan menekankan cara-cara adil dalam mencapai
konsensus dengan perjanjian, kontrak dan proses yang wajar.
b. Universal ethical principles orientation. Orang memahami bahwa
suatu tindakan dibenarkan berdasarkan prinsip-prinsip moral
yang dipilih karena secara logis, komprehensif, universal, dan
konsisten.
Menurut Cristoper Berry Gray (The Philosopy of Law An
Encyclopedia), tiga pandangan mengapa seorang mentaati hukum :
1. Pandangan Ekstrem pertama, adalah pandangan bahwa
merupakan “kewajiban moral” bagi setiap warga negara untuk
melakukan yang terbaik yaitu senantiasa mentaati hukum,
kecuali dalam hal hukum memang menjadi tidak menjamin
kepastian atau inkonsistensi, kadang-kadang keadaan ini
muncul dalam pemerintahan rezim yang lalim.
2. Pandangan kedua yang dianggap pandangan tengah, adalah
kewajiban utama bagi setiap orang (Prima facie) adalah
kewajiban mentaati hukum.
3. Pandangan Ketiga dianggap pandangan ekstrem kedua yang
berlawanan dengan pandangan pertama, adalah bahwa kita
hanya mempunyai kewajiban moral untuk hukum, jika hukum itu
benar, dan kita tidak terikat untuk mentaati hukum.
Kesadaran hukum dan ketaatan hukum sering kita dengar atau kita
membaca pernyataan-pernyataan yang menyampaikan “Kesadaran
hukum” dengan “Ketaatan Hukum” atau “Kepatuhan Hukum”, suatu
persepsi keliru. Pemahaman Kesadaran hukum dan ketaatan hukum yang
mana dijelaskan bahwa :
1. Kesadaran hukum yang baik, yaitu ketaatan hukum, dan
2. Kesadaran hukum yang buruk, yaitu ketidaktaatan hukum.
Kewajiban moral masyarakat secara individu untuk mentaati hukum,
tidak ada yang mengatakan bahwa kewajiban merupakan sesuatu yang
absolut, sehingga terkadang secara moral, kita dapat melanggar hukum,
namun tidak ada pakar hukum, yang secara terbuka atau terang-terangan

103
melanggar hukum. Kita memiliki alasan moral yang kuat untuk melakukan
apa yang diperintahkan oleh hukum, seperti, tidak melakukan penghinaan,
penipuan, atau mencuri dari orang lain. Kita harus mentaati hukum, jika
telah ada aturan hukum yang disertai dengan ancaman hukuman. Mereka
yang yakin akan hukum, harus melakukan dengan bantuan pemerintah,
dan mereka yakin, akan mendapat dukungan dai warga masyarakat.
Menurut Hans Kelsen, Jika Berbicara tentang efektifitas hukum,
dibicarakan pula tentang Validitas hukum. Validitas hukum berarti bahwa
norma-norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus berbuat sesuai
dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum., bahwa orang harus
mematuhi dan menerapkan norma-norma hukum. Efektifitas hukum berarti
bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum
sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar
diterapkan dan dipatuhi.

C. Hal Berlakunya Hukum


1. Secara filosofis
Berlakunya hukum secara filosofis berarti bahwa hukum tersebut
sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi.
2. Secara yuridis
Berlakunya hukum secara secara yuridis, dijumpai anggapan-
anggapan sebagai berikut:
a. Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa kaidah hukum mempunyai
kelakuan yuridis, apabila penetuannya berdasarkan kaidah yang
lebih tinggi tingkatannya. Ini berhubungan dengan teori “stufenbau”
dari Kelsen.
b. W. Zevenbergen, menyatakan bahwa suatu kaidah hukum
mempunyai kelakuan yuridis, jikalau kaidah tersebut “op de
verischte ize is tot sand gekomen”
3. Secara sosiologis
Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah
tersebut efektif, artinya, kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya

104
oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakt (Teori
kekuasaan), atau kaedah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh
masyarakat (teori pengakuan). Berlakunya kaidah hukum secara
sosiologis menurut teori pengakuan adalah apabila kaidah hukum
tersebut diterima dan diakui masyrakat. Sedangkan menurut teori
paksaan berlakunya kaidah hukum apabila kaidah hukum tersebut
dipaksakan oleh penguasa.

D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektifitas Hukum


Menurut Soerjono Soekanto ada beberapa faktor yang
mempengaruhi efektifitas hukum, yaitu :
1. Faktor Hukumnya Sendiri
Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian Hukum
sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak
sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara
penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu
tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai
hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum
tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, Masih
banyak aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat yang mampu
mengatur kehidupan masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya sekedar
keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif,
sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing
orang.
Mengenai faktor hukum dalam hal ini dapat diambil contoh pada
pasal 363 KUHP yang perumusan tindak pidananya hanya
mencantumkan maksimumnya sajam, yaitu 7 tahun penjara sehingga
hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat
bergerak dalam batas-batas maksimal hukuman. Oleh karena itu, tidak
menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap

105
pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan
antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini
merupakan suatu penghambat dalam penegakan hukum tersebut.
2. Faktor Penegak Hukum
Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum atau law enforcement. Bagian-bagian itu law
enforcement adalah aparatur penegak hukum yang mampu
memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaat hukum secara
proporsional. Aparatur penegak hukum menyangkup pengertian
mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak
hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti sempit dimulai
dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan petugas
sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur diberikan
kewenangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing, yang
meliputi kegiatan penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, penbuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta
upaya pembinaan kembali terpidana.
3. Faktor Sarana Atau Fasilitas Yang Mendukung Penegakan Hukum
Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan
sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama
adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Fasilitas
pendukung mencangkup tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan
yang cukup dan sebagainya.
Jika fasilitas pendukung tidak terpenuhi maka mustahil
penegakan hukum akan nencapai tujuannya. Kepastian dan kecepatan
penyelesaian perkara tergantung pada fasilitas pendukung yang ada
dalam bidang-bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian didalam masyarakat. Masyarakat mempunyai
pendapat-pendapat tertentu mengenai hukumantara lain :

106
1) Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan;
2) Hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang
kenyataan;
3) Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan
perilaku pantas yang diharapkan;
4) Hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif
tertulis);
5) Hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat;
6) Hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa;
7) Hukum diartikan sebagai proses pemerintahan;
8) Hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik;
9) Hukum diartikan sebagai jalinan nilai;
10) Hukum diartikan sebagai seni.

F. Soal Tugas / Latihan


1. Jelaskan dan uraikan apa yang dimaksud dengan Kesadaran hukum,
ketaatan hukum, dan efektivitas perundang-undangan?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas hukum, berikan
contohnya!

107
PERTEMUAN XV DAN XVI

Pada Pertemuan XV dan XVI menjelaskan tentang law tool of social


engineering. Setelah mengikuti pertemuan ini diharapkan mahasiswa
mampu :
1. Memahami dan menjelaskan Konsep Law Tool Of Social Enginering
2. Memahami dan menjelaskan Rekayasa Sosial Sebagai Alat
Pemersatu Bangsa
3. Memahami dan mengkontruksikan Metode Mewujudkan Hukum
Sebagai Sarana Social Engineering

BAB VIII
LAW TOOL OF SOCIAL ENGINERING

A. Konsep Law Tool Of Social Enginering


Konsep hukum sebagai sarana pembaharu masyarakat
mengingatkan kita pada pemikiran Roscoe Pound, salah seorang
pendukung Sociological Jurisprudence. Pound mengatakan, hukum dapat
berfungsi sebagai alat merekayasa (law as a tool of social engineering),
tidak sekadar melestarikan status quo.
Jadi berbeda dengan Mazhab Sejarah yang mengasumsikan
hukum itu tumbuh dan berkembang bersama dengan perkembangan
masyarakat, sehingga hukum digerakkan oleh kebiasaan, maka Social
Jurisprudence berpendapat sebaliknya. Hukum justru yang yang menjadi
instrument untuk mengarahkan masyarakat menuju kepada tujuan yang
diinginkan, bahkan kalau perlu, menghilangkan kebiasaan masyarakat
yang dipandang negatif.
Menurut Satjipto Rahardjo, langkah yang diambil dalam social
engineering bersifat sistematis, dimulai dari identifikasi problem sampai
kepada jalan pemecahannya, yaitu :
1) Mengenai problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk di
dalamnya mengenali dengan saksama masyarakat yang hendak
menjadi sasaran dari penggarapan tersebut;

108
2) Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting
dalam hal sosial engineering itu hendak terapkan pada masyarakat
dengan sektor-sektor kehidupan majemuk, seperti : tradisional,
modern, dan pencernaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari
sector mana yang dipilih;
3) Membuat hipotesis-hipotesis dan memilih mana yang paling layak
untuk bisa dilaksanakan.
Di Indonesia, konsep Pound ini dikembangkan oleh Mochtar
Kusumaatmadja. Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran, hukum di Indonesia tidak cukup berperan sebagai alat,
tetapi juga sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pemikiran ini
oleh sejumlah ahli hukum Indonesia disebut-sebut sebagai mahzab
tersendiri dalam filsafat hukum, yaitu Mahzab Filsafat Hukum Unpad.
Pendekatan sosiologis yang disarankan oleh Mochtar
dimaksudkan untuk tujuan praktis, yakni dalam rangka menghadapi
permasalahan pembangunan sosial-ekonomi. Ia juga melihat, urgensi
penggunaan pendekatan sosialogis dengan mengambil model berpikir
Pound ini, lebih-lebih dirasakan oleh Negara-negara berkembang
daripada Negara-negara maju. Hal itu tidak lain karena mekanisme
hukum di negara-negara berkembang belum semapan di Negara-
negara maju.
Mengingat pembangunan social-ekonomi ini selalu membawa
perubahan-perubahan, maka seharusnya hukum itu mengambil peran,
sehingga perubahan-perubahan tersebut dapat dikontrol agar
berlangsung tertib dan teratur. Dalam hal ini hukum tidak lagi berdiri di
belakang fakta (het recht hinkt achter de feiten aan), tetapi justru
sebaliknya.
Hukum dalam konsep Mochtar tidak diartikan sebagai alat tetapi
sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang
melandasi konsep tersebut adalah :

109
1) Bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha
pembangunan dan pembaruan memang diinginkan, bahkan
dianggap dan
2) Bahwa hukum dalam arti kaidah diharapkan dapat
mengarahkan kegiatan manusia kea rah yang dikehendaki
oleh pembangunan dan pembaharuan itu.
Untuk itu diperlukan saran berupa peraturan hukum yang
berbentuk tertulis (baik perundang-undangan maupun yurisprudensi),
dan hukum yang berbentuk tertulis itu harus sesuai dengan hukum
yang lain dalam masyarakat sebenarnya, Konsep Mochtar ini tidak
hanya dipengaruhi oleh Sociological Jurisprudence, tetapi juga oleh
Pragmatic Legal Realism.
Lebih jauh lagi, Mochtar berpendapat bahwa pengertian sarana
lebih luas dari pada alat (tool). Alasannya
1) Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses
pembaruan hukum lebih menonjol, misalnya jika disbanding
dengan Amerika Serikat, yang menempatkan yurisrudensi
(khususnya putusan Supreme Court) pada tempat lebih
penting,
2) Konsep hukum sebagai alat akan mengakibatkan hasil yang
tidak jauh berbeda dari penerapan legisme sebagaimana
pernah diasakan pada zaman Hindia Belanda, dan di
Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan
masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu, dan
3) Apabila hukum di sini termasuk juga hukum internasional,
maka konsep hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini
diterima resmi sebagai landasan kebijakan hukum nasional.
Mochtar, kemudian menegaskan, dari uraian diatas kiranya jelas
bahwa walaupun secara teoritis konsepsi hukum yang melandasi
kebijaksanaan hukum dan perundang-undangan (reschts politik)
sekarang ini diterangkan menurut istilah atau konsepsi-konsepsi atau

110
teori masa kini yang berkembang di Eropa dan di Amerika Serikat,
namun pada hakekatnya konsepsi tersebut lahir dari masyarakat
Indonesia sendiri berdasarkan kebutuhan yang mendesak dan
dipengaruhi faktor-faktor yang berakar dalam sejarah masyarakat dan
bangsa kita.
Meskipun Mochtar menegaskan, bahwa gagasannya juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berakar pada sejarah bangsa,
menurut Soetandyo Wignjosoebro, Mochtar tidak terlampau percaya
bahwa budaya, tradisi, dan hukum asli rakyat pribumi harus dilestarikan
seperti yang pernah dilakukan pada masa-masa pemerintah kolonial.
Kebijakan anti-acculturation yang tidak mendatangkan kemajuan apa-
apa, sedangkan introduksi hukum Barat dengan tujuan-tujuan yang
terbatas pun kenyataannya hanya berdampak kecil untuk proses
modernisasi (Indonesia) secara keseluruhannya. Untuk itu, Mochtar
mengusulkan agar pembangunan hukum nasional di Indonesia
hendaklah tidak secara tegesa-gesa dan terlalu pagi membuat
keputusan : hendak hukum colonial berdasarkan pola-pola pemikiran
Barat, ataukah untuk secara a priori mengembangkan hukum adat
sebagai hukum nasional.
Sebelum memutuskan apa yang hendak dikembangkan sebagai
hukum nasional, Mochtar menganjurkan agar dilakukan penelitian-
penelitian terlebih dahulu untuk menentukan bidang hukum apa yang
perlu diperbarui, dan bidang (ranah) apa yang dibiarkan berkembang
sendiri. Mochtar melihat, bahwa untuk hukum-hukum yang yang tidak
netral, pembangunannya diupayakan sedekat mungkin behubungan
dengan budaya dan kehidupan spiritual bangsa. Di sisi lain, untuk
bidnag hukum lain, seperti kontrak, badan usaha, dan tata niaga, dapat
diatur melalui hukum perundang-undangan nasional. Untuk ihwal lain
yang lebih netral seperti komunikasi, pelayaran, pos dan
telekomunikasi model yang telah dikembangkan dalam system hukum
asing pun dapat saja ditiru.

111
Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan bahwa ide Mochtar
tentang kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang terbatas, ialah
kodifikasi yang terbatas secara selektif pada hukum yang tidak hendak
menjamah ranah kehidupan budaya dan spiritual rakyat (setidak-
tidaknya untuk sementara ini), telah menjadi bagian dari program kerja
Badan Pembinaan Hukum Nasional bertahun-tahun lamanya.
Ide law as a tool of social engineering ini rupanya baru ditujukan
secara selektif untuk memfungsikan hukum guna merekayasa
kehidupan ekonomi nasional aja, dan tak berpretensi akan sanggup
merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya. Ide
seperti ini tentu saja bersesuaian dengan kepentingan pemerintah Orde
Baru, karena ide untuk mendahulukan pembangunan hukum yang
gayut dengan netral yang juga hukum ekonomi, tanpa melupakan tentu
saja hukum tatanegara manakala sempat diselesaikan dengan hasil
baik akan sangat doharapkan dapat dengan cepat membantu
penyiapan salah satu infrastruktur politik dan ekonomi.
Soetandyo lebih jauh mencatat, bahwa dalam
perkembangannya tidak semua ahli hukum sependapat dengan
perkembangan hukum nasional dengan cara mengembangkan hukum
baru atas dasar prinsip-prinsip yang telah diterima dalam kehidupan
internasional, dengan maksud untuk memperoleh sarana yang
berdayaguna membangun infrastruktur politik dan ekonomi nasional
dengan membiarkan untuk sementara infrastruktur social budaya yang
tidak netral atau belum dapat dinetralkan. Pihak-pihak yang tidak setuju
berpendapat, upaya demikian terlalu menyimpang dari tradisi.
Ada dua golongan yang tidak setuju. Pertama, mereka yang
percaya harus ada kontinuitas perkembangan hukum dari yang lalu
(colonial) ke yang kini (nasional). Golongan kedua adalah mereka yang
percaya bahwa hukum nasional harus berakar dan berangkat dari
hukum rakyat yang ada, yaitu hukum adapt. Dengan mengutip John
Ball dalam bukunya berjudul Indonesian Law Commentary and
Teaching Materials (1985) dan The Struggle or National Law in

112
Indonesia (1986), golongan pertama ini antara lain tokoh-tokoh
Pengacara di Jakarta,seperti Adnan Buyung Nasution Sulistio, dan
Thiam Hien. Golongan kedua, merupakan kelanjutan dari gerakan yang
telah berumur tua, sudah kehilangan pencetus-pencetus ide barunya
yang mampu bersaing. Beberapa nama yang dapat disebut adalah
(almarhum) Djojodigoeno dan M. Koesnoe.
Suatu tanggapan yang lain mengenai gagasan Mochtar, datang
dari S. Tasrif. Ia mengingatkan agar pembinaan hukum tidak diarahkan
untuk menghasilkan perundang-undangan baru belaka, tetapi
seharusnya juga menghasilakn perundang-undangan yang tidak
menyampaikan hak asasi manusia dan martabat manusia, sehingga
slogan Rule of law pada hakikatnya akan menjadi rule of just law.
Pendapat S. Tasrif ini perlu untuk digarisbawahi. Hal ini juga
sebenarnya disadari sepenuhnya oleh Mochtar Kusumaatmadja,
dengan mengatakan bahwa pembinaan hukum nasional secara
menyeluruh menghadapi tiga kelompok masalah (problem areas),
yaitu:
1) Inventarisasi dan kepustakaan hukum,
2) Media dan personil (unsure manusia), dan
3) Perkembangan hukum nasional.
Kelompok masalah ketiga, perkembangan hukum nasional,
dapat dibedakan dalam dua masalah, yaitu
1) Masalah pemilihan bidang hukum mana yang hendak
dikembangkan, dan
2) Masalah penggunaan model-model asing.
Masalah pertama dapat diatasi dengan menggunakan berbagai
ukuran (kriterium), yaitu :
1) Ukuran keperluan yang mendesak (urgent need),
2) Feasibility, dalam hal ini bidang huku yang terlalu
mengandung komplikasi-komplikasi cultural, keagamaan,
dan sosiologis, akan ditangguhkan pengembangannya,

113
3) Perubahan yang pokok (fundamental change), yang
maksudnya, perubahan (melalui perundangan-undangan) di
sini diperlukan karena pertimbangan-pertimbangan
politis,ekonomis dan/atau sosial.
Menurut Mochtar, perubahan hukum demikian sering diadakan
oleh Negara-negara bekas jajahan dengan pemerintah yang memiliki
kesadaran politik yang tinggi. Bidang hukum yang biasanya dipilih
adalah hukum agrarian, perburuhan, hukum-hukum mengenai
pertambangan dan industri. Di mana ada keinginan untuk menarik
penanaman modal asing maka aka nada tarikan antara keinginan
demikian dengan keinginan untuk mengadakan perubahan dasar
(fundamental change) dalam perundang-undangan yang ditinggalkan
pemerintah kolonial yang menempatkan pemerintah yang
bersangkutan dalam kedudukan yang tidak murah.
Masalah kedua adalah penggunaan model-model (hukum)
asing. Walaupun ada kalanya menguntungkan untuk menggunakan
model-model hukum asing, namun seperti disinggung di muka, Mochtar
menyadari bahwa penggunaan model-model tersebut dapat mengalami
hambatan. Untuk itu harus dipertimbangkan apakah pemakaian
menggunakan wujud semua (adoption) atau dalam bentuk yang sudah
diubah (adoption).
Berdasarkan uraian dan pertimbangan yang sangat logis seperti
yang telah dipaparkan, konsep hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat merupakan konsep pembangunan (atau pembinaan)
hukum yang paling tepat dan relevan sampai saat ini. Masalahnya
terletak pada seberapa jauh pembentukan peraturan perundang-
undangan baru (dalam bidang-bidang hukum yang dianggap netral)
telah diantisipasi dampaknya bagi masyarakat secara keseluruhannya.
Contoh sederhana dari pemikiran hukum
sebagai social engineering akan tampak seperti ini :
Saat seseorang tertangkap basah mencuri makanan di sebuah
warung makan, kemudian orang itu berhasil ditangkap dan telah

114
dilakukan proses penyidikan hingga sampai di “meja hijau”. Hakim yang
menjadi corong penerapan hukum kemudian tidak meneliti dan
memutus berdasar atas undang-undang. Putusan hakim itu lalu
didasarkan pada hati nurani terlebih dahulu, seperti pertanyaan
mengapa orang itu mencuri, apakah karena memang dia berniat jahat
dan murni melawan hukum karena ada rasa ingin memiliki barang yang
bukan miliknya dengan tidak sah, ataukah karena dia memang mencuri
karena belum makan selama 1 minggu lamanya sebagai dampak dari
kemiskinan. Setelah hakim melihat melalui hati nurani, kemudian hakim
itu memutus berdasar undang-undang/ketentuan yang berlaku dan
sesuai, karena hakim pada dasarnya dalam memutus harus dilandasi
oleh hukum.

B. Rekayasa Sosial Sebagai Alat Pemersatu Bangsa


Rekaya sosial merupakan alat yang mampu mengintegrasikan
masyarakat, hal ini dikarenakan adanya tujuan yaitu perubahan ataupun
mengendalikan stagnasi akibat keadaan yang telah memenui syarat
sebagai masyarakat yang sejahtera.
Sebagaimana kita tahu dalam sejarah Indonesia bahwa
kemerdekaan diraih atas keinginan melepaskan diri dari penjajahan,
keinginan yang timbul disebabkan oleh keadaan yang sama dan perasaan
sepenanggunan pun timbul karena hal tersebut, tetapi tentu pemaparan
atas hal ini lebih kompleks apabila kita coba mengkaji makna dari sistem
yang telah dibentuk pasca kemedekaan.
Ir.Soekarno maupun Moh. Hatta sadar betul bahwa mengincar
kemenangan lewat jalur peperangan tidak mampu membawa indonesia
pada gerbang kemerdekaan selain adanya korban jiwa dan harta benda
peperangan bisa saja berlangsung bertahun-tahun lamanya tanpa ada
solusi atas permasalahan tersebut, oleh karena itu perlu adanya konversi
lewat jalur persuasif yaitu diplomasi.
Tidak dapat disangkal bahwa apabila perang berkepanjangan
tanpa adanya diplomasi maka kemerdekaan tidaklah dapat tercapai,

115
meskipun bila nantinya Indonesia mampu memerdekakan diri lewat hal ini
maka hanya sebagian besar pulau jawalah yang akan disebut ‘Indonesia’.
Konsolidasi untuk merampungkan seluruh pulau-pulau di nusantara
menjadi satu kesatuan adalah senjata utama untuk meraih kemerdekaan
secara de jure maupun de facto.
Disinilah rekayasa sosial digunakan, beberapa wacana atas
kemerdekaan digunakan untuk mengintegrasikan masyarakat. Salah satu
contoh adalah paham nasionalisme hingga patriotik yang menjadi
landasan suatu perjuangan atas kemerdekaan yang diimpi-impikan.
Bentuk-bentuk lainnya bisa kita temukan dalam beberapa slogan
kenegaraan maupun dasar ideologi kita, Pancasila.
Ir.Soekarno menyadari hal ini sebagai proses menuju perubahan,
tetapi proses ini tidaklah mudah untuk dijalani. Maka perlu adanya
kesepahaman dari masing-masing delegasi atas apa yang disebut
kemerdekaan. Sebagai alat utama para pelopor kemerdekaan mengambil
bahasa melayu dan mengkonversinya menjadi bahasa nasional sehingga
penggunaan bahasa ini dilegalkan sebelum Indonesia merdeka.
Peran kaum intelektual pada detik-detik kemerdekaan pun tidak
lepas dari proses perubahan sosial yang telah direncanakan jauh
sebelumnya. Konsep perubahan sosial banyak diwarnai dengan isu-isu
sensitif seperti pendidikan hingga sandang pangan yang memadai
sehinga Keinginan kemerdekaan tidak hanya timbul akibat adanya
penjajahan tetapi pula karena keinginan untuk bersatu dalam satu payung.
Meskipun isu politik pada saat itu tidak digemborkan secara gamblang
namun pada dasarnya tujuan utama proses perubahan sosial di Indonesia
pada saat itu adalah perubahan sistem politik dan pengambil alihan
kekuasaan dari pemerintahaan kolonial kekaisaran Jepang.
Disisi lain, rekaya sosial kerap menjadi alat utama untuk
mengembangkan isu-isu lainnya. Seperti tindakan preventif terhadap
ancaman seperti yang terjadi ketika perang dunia I dan II dimana
pemerintahan blok Timur menganggap adanya expansi politik besar-
besaran yang dilakukan pihak Amerika dan hal ini blok barat sehingga

116
mencari celah peperangan, meskipun isu adanya westernisasi ini tidak
diakui pada sidang PBB di Jenewa namun bila menilik dari masing-masing
pihak maka yang akan ditemukan adalah keragaman yang satu dengan
yang lain, yaitu keragaman ideologi. Terpecahnya kedua blok dan
rampungnya negara-negara di masing-masing blok ini merupakan hasil
dari rekayasa sosial dimana dari masing-masing pihak berusaha
mengintegrasikan diri bersama anggotanya.

C. Metode Mewujudkan Hukum Sebagai Sarana Social Engineering


Terdapat beberapa metode atau cara untuk mewujudkan hukum
sebagai sarana social engineering di Indonesia. Kebutuhan akan hukum
yang lebih humanis sesuai dengan cita-cita bangsa selama ini sudah
saatnya diejawantahkan ke dalam tingkat implementasi yang nyata dan
berkesinambungan. Cara pertama adalah dengan memodifikasi praktek
hukum bagi para profesional hukum.
Praktek hukum yang berorientasi pada hukum tertulis selanjutnya
menjadi tiang penyangga/fondasi utama dari proses kegiatan profesional
hukum. Pandangan paling ekstrem adalah pandangan yang melihat hanya
yang formal (apa yang ada di dalam Undang-undang) yang memiliki
kekuatan untuk disebut hukum. Sehingga segala bentuk praktek hukum
diarahkan untuk mencapai yang formal tersebut. Bahkan pekerjaan
penegak hukum lebih mengarah kepada pencapaian yang formal itu,
misalnya dalam pengambilan tindakan tertentu. Umumnya penegak
hukum, seperti polisi, jaksa, dan pengacara mengenal jargon tangkap
dulu, tahan dulu, tertibkan dulu, tuntut dulu, gugat dulu dan lain
sebagainya. Bahkan saat ini, strategi-strategi perdamaian yang dulunya
tidak bersifat formal, seperti mediasi, negosiasi dan lain-lain, sekarang
diformalkan dalam aturan tertentu dan ditetapkan melalui lembaga formal
seperti pengadilan. Kegiatan praktek tersebut mendapatkan landasan
penguatnya dari asas-asas hukum yang berlaku saat ini, yang dapat
mengikat itu hanya yang formal semata.

117
Akibatnya, masyarakat digiring untuk berpikir formal dalam segala
hal tentang hukum dan hal yang non-formal disisihkan atau dibuang
karena dipandang tidak bernilai. Pada proses itu setiap tindak tanduk
masyarakat yang menyangkut hukum dapat digiring dan dikontrol oleh
institusi formal dalam hal ini negara. Melalui aturan formal yang ditetapkan
oleh negara dengan seluruh lembaganya, menjadikan negara sebagai
institusi total dalam praktek hukum, karena semua kegiatan pada akhirnya
bermuara kepada kekuasaan yang formal dan resmi tadi.
Kegiatan atau praktek hukum yang sekarang ini merupakan
kegiatan formal yang lebih mementingkan proses administrasi dalam
upaya penyelesaian perkara, daripada memberikan keadilan (Anthon F.
Susanto, 2010: 249). Memodifikasi praktek hukum yang ada saat ini
adalah dengan cara mengurangi kerja pengadilan dalam penyelesaian
sengketa/perkara, sebagai bentuk dari optimalisasi peradilan.
Selama ini, lembaga resmi seperti pengadilan merupakan ujung
tombak praktek hukum, padahal kita menyadari bagaimana pengadilan
kita telah kelebihan beban kerja sehingga upaya penyemaian tujuan-
tujuan hukum tidak dapat diwujudkan. Apabila hukum ingin mencapai titik
terjauh dari tujuan-tujuannya, maka penyelesaian di luar pengadilan akan
lebih bermanfaat, karena penyelesaian itu memberikan alternatif sangat
luas bagi pencapai tujuan-tujuan hukum.
Penyelesaian hukum tidak mesti diserahkan kepada lembaga-
lembaga resmi seperti pengadilan, tetapi dapat diselesaikan melalui peran
serta masyarakat secara luas. Artinya diberikan alternatif-alternatif
penyelesaian di luar tatanan hukum, di luar undang-undang atau ruang-
ruang pengadilan. Peran kearifan lokal menjadi sangat penting. (Anthon
F. Susanto, 2010: 247).
Penyelesaian perkara melalui cara-cara yang lebih arif dan
bijaksana di luar pengadilan tersebut, dapat diwujudkan apabila peran
lembaga resmi seperti pengadilan dikurangi. Pengurangan itu melalui
kesadaran, pemberdayaan atau partisipasi masyarakat.

118
Cara kedua yang digunakan untuk mewujudkan hukum sebagai
sarana social engineering adalah melakukan upaya pembaharuan
pendidikan hukum secara menyeluruh. Saat ini pendidikan hukum (di
Indonesia) telah begitu dikuasai oleh model pendidikan liberal positivistik,
yang lebih mementingkan aspek pendidikan instan dan lebih
mengedepankan kekuatan rasio dan teknologi. Dengan adanya
pendidikan hukum yang revolusioner, maka output dari pendidikan
tersebut yang nantinya akan mengawal dan menerapkan hukum, menjadi
memiliki semangat social engineering dalam menjalankan
profesionalitasnya.
Pendidikan hukum yang diharapkan mampu mengatasi krisis
manusia modern justru terjebak pada kepentingan sesaat dan terlalu
berorientasi pada semangat duniawi. Sehingga tidak heran apabila
dikatakan pendidikan hukum telah menemui ajalnya, karena pendidikan
hukum hanya berorientasi kepada formalisme. (Anthon F. Susanto, 2010:
251-252). Pendidikan tidak mampu diharapkan sebagai minimalisator
krisis manusia modern, pendidikan telah mati. Jadi, mari kita wujudkan
bersama metode kedua ini sehingga bisa memperbaiki sistem hukum ke
depan. Semoga.

G. Soal Tugas / Latihan

1. Jelaskan konsep law tool of social engineering!

2. Bagaimana konsep konsep law tool of social enginering diterapkan di

Indonesia dan berikan contohnya.

119
DAFTAR PUSTAKA

Buku / Bahan Ajar

- Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum,


Prenada Media, 2005
- Ali, Achmad Pengadilan Dan Masyarakat. Ujung Pandang, Hasanudin
University Press, 1999.
- Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, Yogyakarta, Kanisius, 2009
- Bahan Ajar Power Point Aspek-aspek Pengubah Hukum Universitas
Pamulang, 2017.
- Doyle, Paul Johnson Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, Alih bahasa oleh
Robert M.Z. Jakarta, Gramedia, 1986.
- Hukum Dan Perubahan Sosial, Satjipto Rahardjo, Penerbit Genta, 2009
- Lemek, Jeremias Mencari Keadilan, Pandangan Kritis Terhadap
Penegakan Hukum DiIndonesia, Jakarta, Galang Press, 2007.
- Nazaruddin Lathif, Teori Hukum sebagai sarana/alat untuk memperbaharui
atau merekayasa masyarakat, Pakuan Law Review, Fakultas Hukum
Universitas Pakuan, 2017
- Otje Salman & Anton F. Susanto, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan
Dan Membuka Kembali, efika Aditama : Bandung., 2004, 2015
- Rahardjo, Satjipto Sisi – Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Medan,
Penerbit Buku Kompas, 2003.
- Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis
serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Yogyakarta, Genta
Publishing, 2009.
- Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,
Yogyakarta, Genta Publishing, 2009
- Sudikno mertokusumo, Mengenal hukum suatu pengantar, Cahaya Atma
Pustaka, 2018
- Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2000.
- Soemardi, Dedi, Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta, IndHillCo, 1997.

120
- Syamsudin, Amir, Integritas Penegak Hukum: Hakim, Jaksa, Polisi, Dan
Pengacara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008.
- Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Filsafat Hukum, Yogyakarta, Kanisius,
1995.

Internet :
- Adi Condro Bawono dan Diana Kusumasari, Kapan dan Bagaimana Hakim
Melakukan Penemuan Hukum, https://www.hukumonline.com, diakses 3
Agustus 2020.
- Angga Handian Putra. 2009. “Law As A Tool of Social Engeneering Pada
PP No. 37 Tahun 2006”, diakses 17 Juli 2020
- Anthon F. Susanto. 2010. Ilmu Hukum Non Sistematik: Fondasi Filsafat
Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing,
diakses 2 Juni 2020.
- Chandra Mandela. 2010. “Filsafat Hukum”, http://mandela-
fighters.blogspot.com/2010/06/filsafat-hukum.html, diakses 18 Maret 2020
- Fokky Fuad, S.H., M.Hum, Hukum Sebagai Rekayasa Sosial, Kesalahan
Pemahaman Atas Pemikiran Roscoe Pound, Krisnaptik, Pelayan Prima,
Anti Kkn Dan Anti Kekerasan, Https://Krisnaptik.Wordpress.Com/Polri-
4/Teori/Hukum-Sbg-Rekayasa-Sosial, diakses 20 Juli 2020.
- Hierarki Peraturan Perundang-Undangan,
https://www.kompasiana.com/laksmiip/hierarki-peraturan-perundang-
undangan, diakses 1 Agustus 2020.
- Indrayanto. 2010. “Fungsi Hukum”, http://id.shvoong.com/law-and-
politics/law/fungsi-hukum/, diakses 19 Maret 2020.
- Penemuan Hukum Oleh Hakim (Rechtvinding),
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/umum/849-penemuan-hukum-oleh-
hakim-rechtvinding.html, diakses 8 Juli 2020.
- Resha Agriansyah Emsil. 2011. “Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan
Masyarakat (Law as a tool of social

121
engineering)”, http://reshaagriansyah.blogspot.com/2011/01/hukum-
sebagai-sarana-pembaharuan.html, diakses 18 April 2020
- Setia Darma. 2010. “Realisme Hukum”, http://setia-
ceritahati.blogspot.com/2010/04/realisme-hukum.html, diakses 27 Maret
2020
- Sindhusas, Mewujudkan Hukum Sebagai Sarana Social Engineering
di Indonesia, https://sindhusas.wordpress.com/2011/08/22/mewujudkan-
hukum-sebagai-sarana-social-engineering-di-Indonesia/ diakses 1 Juni
2020.
- Sistem-hukum-Indonesia, https://tegartia.wordpress.com/2009/sistem-
hukum-indonesia, diakses 5 Juni 2020.
- Sistem-hukum-yang-dianut-di-indonesia,
https://blostunian24.wordpress.com/2015/06/22/sistem-hukum-yang-
dianut-di-indonesia/, diakses 8 Juli 2020.

122

Anda mungkin juga menyukai