Anda di halaman 1dari 40

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

MATA KULIAH PENGANTAR ILMU HUKUM

“ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERIKANAN


DALAM PENCURIAN IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF
INDONESIA WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN REPUBLIK
INDONESIA” (Studi Kasus Putusan No. 03/PID.SUS.P/2012/PN.MDN)

DOSEN PENGAMPU:

Hj. Sri Sulistjaningsih, Bc.IP., S.H., M.Si.

OLEH:

Fajar Putra Prastina R

3363/KELAS BK A

POLITEKNIK ILMU PEMASYARAKATAN

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA HUKUM DAN HAM

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI

DEPOK

2018

1|PENGANTAR ILMU HUKUM


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan kekuatan-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Penyusunan makalah ini
merupakan proses yang panjang dan melibatkan berbagai pihak, dan dosen pengajar yang
telah memberikan kesempatan dan pengarahan kepada saya dalam penulisan makalah ini.

Makalah ini membahas tentang “ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK


PIDANA PERIKANAN DALAM PENCURIAN IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF
INDONESIA WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA”
(Studi Kasus Putusan No. 03/PID.SUS.P/2012/PN.MDN)”.

Makalah ini di tujukan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah
Pengantar Ilmu Hukum taruna POLTEKIP Angkatan 52 Tingkat 1 Kelas Bimbingan
Kemasyarakatan A yang di diampu oleh Hj. Sri Sulistjaningsih, Bc.IP., S.H., M.Si.

Penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, saya mengharapkan
pembaca dapat memberikan kritik dan saran demi penyempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita. Saya
mengucapkan terima kasih atas perhatian dan kerjasama dari semua pihak yang telah
mendukung guna keberhasilan penulisan makalah ini.

Depok, 17 Mei 2018

Penyusun

2|PENGANTAR ILMU HUKUM


DAFTAR ISI

COVER ............................................................................. (1)

KATA PENGANTAR ........................................................................... (2)

DAFTAR ISI ........................................................................... (3)

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ (5)

1.1. LATAR BELAKANG ........................................................................... (5)

1.2. RUMUSAN MASALAH ........................................................................... (9)

1.3. TUJUAN ............................................................................. (9)

1.4. MANFAAT ............................................................................ (9)

BAB II KERANGKA TEORI ....................................................................... (11)

2.1. TEORI TINDAK PIDANA ................................................................ (11)

2.2. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA ..................................................... (12)

2.3. TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN ................................ (13)

1. Pengertian Tindak Pidan Di Bidang Perikanan ................................... (13)

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Perikanan ................................. (14)

3. Jenis dan Sifat Hukuman Pidana Perikanan ................................. (18)

2.4. SISTEM PERADILAN PIDANA DAN SISTEM PEMBUKTIAN ........... (19)

BAB III PEMBAHASAN ............................................................................ (22)

3.1. PENGATURAN HUKUM TERHADAP PENCURIAN IKAN OLEH NELAYAN


ASING MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG
PERIKANAN .................................................................................................. (22)

1. Pengaturan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencurian Ikan ........... (22)

2. Pertangungjawaban Pidana dan Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pencurian Ikan


(Ilegal Fishing) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) ........... (27)

3. Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Ikan (Ilegal Fishing)
Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) ........... (30)

3|PENGANTAR ILMU HUKUM


3.2. ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN NOMOR 03/PID.SUS.P/2012/PN.MDN
MENGENAI PENCURIAN IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA
WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA ........... (33)

BAB IVPENUTUP ............................................................................ (35)

KESIMPULAN ............................................................................ (35)

SARAN ............................................................................. (37)

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... (38)

4|PENGANTAR ILMU HUKUM


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang diapit antara
dua benua yaitu benua Asia-Australia dan diapit antara dua samudra Indonesia-Pasifik.
Indonesia terdiri dari 17.508 pulau, garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas sekitar 3,1
juta km2 (0,3 juta km2 perairan teritorial, 2,8 juta km2 perairan nusantara.1

Penegakan hukum dan peningkatan keamanan di laut Indonesia (Perairan) Indonesia


dan Zona Ekonomi Eksklusif) yang luasnya 6 juta km2 tersebut (3 kali dari luas darat) masih
memerlukan perhatian yang besar, termasuk penegakan hukum dan pengamanan di Alur
Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Peningkatan kemampuan penegakan hukum dan
pengamanan ini mencakup suatu kerja sama yang erat antara kegiatan-kegiatan di darat, laut,
dan udara. Usaha-usaha meningkatkan monitoring, kontrol, surveillance, serta kegiatan-
kegiatan penyelidikan dan proses pengadilan harus ditata dengan sebaik-baiknya.2

Fungsionalisasi hukum sebagai sarana pengelolaan sumber daya perikanan,


disamping sarana-sarana lainnya, juga memiliki kelebihan yang tidak dimiliki sarana
lainnya, yakni sifat mengikat dan/atau memaksa dari hukum itu. Perumusan kaidah-kaidah
kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan dalam suatu perundang-undangan tidak serta
merta menyelesaikan permasalahan yang ada, karena efektifitas hukum tersebut akan sangat
tergantung pada aspek operasionalnya. Disinilah peran sanksi yang seringkali dinilai penting
dan sangat menentukan untuk tercapainya kepatuhan, terlebih lagi sanksi hukum pidana.

Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan


strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai
dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara
berkelanjutan. Bahkan menurut Prof Hibnu, “Tindakan illegal fishing termasuk

1
H.Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal.295
2
Slamet Soebiyanto, “Keamanan Nasional ditinjau dari Prespektif Tugas TNI Angkatan Laut”,

Majalah Patriot, 2007, hlm.10.

5|PENGANTAR ILMU HUKUM


pengangkutan dapat dikategorikan kejahatan luar biasa. Oleh sebab itu, seharusnya penegak
hukum menyadari hal tersebut Karena penyelesaian dalam kasus illegal fishing yang extra
ordinary crime ya harus extra ordinary juga dalam penegakan hukumnya. Harus ada suatu
gerakan pro dalam penegakan hukum dengan memberikan hukuman yang maksimal. Coba
dicari ketentuan yang maksimal, jangan cuma denda.”3 Oleh karena itu, adanya kepastian
hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Dalam Undang-undang Republik
Indonesia (selanjutnya disingkat UU RI) Nomor 45 Tahun 2009 Tentang perubahan UU RI
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang perikanan lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum
terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup
penyidikan, penuntutan, dan pemerikasaan di sidang pengadilan.

Pengelolaan sumber daya hayati Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (selanjutnya


disingkat ZEEI) tidak hanya terbatas dikelola oleh nelayan Indonesia, tetapi nelayan asing
pun dapat ikut memanfaatkannya sesuai peraturan Internasional. Kapal perikanan berbendera
asing yang melakukan penangkapan ikan di wilayah ZEEI wajib menggunakan anak buah
kapal berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah
anak buah kapal. Dan untuk kapal berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan
di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib menggunakan nahkoda
dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia.

Pemanfaatan sumber daya perikanan pada dasarnya dapat dilaksanakan oleh warga
negara Indonesia (selanjutnya disingkat WNI), baik perorangan maupun dalam bentuk badan
hukum dan dapat dinikmati secara merata, baik oleh produsen maupun konsumen. Walaupun
sumber daya perikanan dapat dimanfaatkan oleh semua orang, dalam memanfaatkannya
harus senantiasa menjaga kelestarian. Ini berarti pengusahaan harus seimbang dengan daya
dukungnya sehingga diharapkan akan memberi manfaat secara teratur, terus menerus, dan
lestari. Salah satu cara diantaranya adalah dengan menjaga kelestarian melalui pengendalian
usaha perikanan, yaitu melalui perizinan usaha perikana.

Perizinan dimaksudkan untuk mengendalikan usaha dan berfungsi menjaga


kelestarian sumber daya ikan sekaligus membina usaha perikanan itu sendiri. Pembinaan dan
pengawasan mempunyai arti penting dalam rangka mengembangkan usaha perikanan
3
https://news.detik.com/berita/2872642/kasus-kapal-maling-ikan-hai-fa-dituntut-ringan-penegak-hukum-
harus-lebih-jeli di akses tanggal 15 Mei 2018 pukul 22.20
6|PENGANTAR ILMU HUKUM
berkelanjutan. Melalui upaya pembinaan dan pengawasan berkesinambungan pada
gilirannya akan menciptakan iklim usaha perikanan yang kondusif dan sehat.4

Upaya penegakan memerangi pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia


Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, selama ini Kementerian Kelautan dan
Perikanan, instansi penegak hukum, dan Pemerintah Daerah berjalan sendiri-sendiri.
Tidak ada gerakan serentak dan serius untuk memeranginya. Bahkan ada instansi
tertentu yang ikut bertugas sebagai pengawas dan penyidik terhadap pencurian ikan sengaja
membiarkan praktek ini karena menikmati setoran dari pelaku pencurian ikan.5

Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia sangat terkait
dengan peraturan hukum dan institusi penegak hukum, kalau yang pertama menyangkut
peraturan perundang-undangannya, sedangkan yang kedua menyangkut institusi
penggeraknya, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI-AL, Kepolisian RI,
Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Penegak hukum merupakan bagian tak
terpisahkan dari pembangunan hukum, sedangkan pembangunan hukum itu sendiri adalah
komponen integral dari pembangunan nasional.

Salah satu penyebab utama pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia ialah lemahnya pengawasan akibat
rendahnya integritas moral serta kurangnya sarana dan prasarana yang memadai. Keadaan
yang kurang menggembirakan ini menyebabkan suburnya pencurian ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, namun kelemahan
sistem tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Ia adalah produk dari integritas moral, karena
yang dapat berfikir perlunya diperbaiki sistem ialah yang bermoral.

4
Ibid, hal 154

5
Begi Hersusanto, Problematika Sinergi dalam Grand Design Nasional Kebijakan Keamanan Laut, (Jakarta:
penerbit CSIS,2007),hlm.1.

7|PENGANTAR ILMU HUKUM


Orang yang tidak bermoral atau bermoral rendah meskipun tidak mungkin terdorong
untuk memperbaiki sistem karena kelemahan sistem itu sendiri diperlukannya untuk
melakukan penyelewengan. Pola perbuatan ini sudah menjadi salah satu gejala umum yang
sulit diberantas, karena terbatasnya akses ke laut untuk melihat perilaku aparat pengawas
perikanan.6

Tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah


Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia oleh nelayan asing menurut audit BPK mencapai
30 trilyun rupiah pertahun. Menarik pula, pelaku tindak pidana pencurian ikan yang
dilakukan nelayan asing di perairan Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh dijatuhi pidana
penjara selama belum ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan
pemerintah Negara yang bersangkutan.

Dari latar belakang yang telah dipaparkan penulis tertarik untuk melakukan analisis
dalam bentuk makalah yang berjudul: “ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK
PIDANA PERIKANAN DALAM PENCURIAN IKAN DI ZONA EKONOMI
EKSKLUSIF INDONESIA WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN REPUBLIK
INDONESIA” (Studi Kasus Putusan No. 03/PID.SUS.P/2012/PN.MDN)”

6
Kajian white collar crime sendiri mulai dipopulerkan oleh Edwin H. Sutherland pada tahun 1939, saat
berbicara di depan pertemuan tahunan Amercan sociological Society ke-34 di Philadelphia tanggal 27
Desember, yang diistilahkan sebagai perbuatan kejahatan oleh orang yang terhormat dan memiliki status tinggi
serta berhubungan dengan pekerjanya

8|PENGANTAR ILMU HUKUM


1.2. Rmusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya dapat diambil dua
pokok permasalahan, yaitu:

1. Bagaimana Pengaturan Hukum Terhadap Pencurian Ikan oleh Nelayan Asing di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia menurut Undang - Undang Nomor : 45 Tahun 2009
tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor : 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan?
2. Bagaimana Analisis Hukum Terhadap Putusan Nomor : 03/Pid.Sus-P/2012/PN.Mdn
Mengenai Pencurian Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan hukum terhadap pemberantasan


tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis proses penanganan perkara terhadap
tindak pidana pencurian ikan dalam Kasus No: 03/Pid.Sus- P/2012/PN.Mdn.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik secara
teoritis maupun praktis, manfaat tersebut adalah :

a. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir
dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya pemahaman
tentang sejauh mana penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana
9|PENGANTAR ILMU HUKUM
pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia. Penelitian ini dapat menjadi bahan perbandingan dan
referensi bagi penelitan selanjutnya serta dapat memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan. Penelitian ini juga sebagai kontribusi bagi penyempurnaan perangkat
peraturan mengenai tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.

b. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum
khususnya penegakan terhadap tindak pidana pencurian ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, agar dapat lebih mengetahui dan
memahami tentang peranan aparat penegak hukum sebagai institusi yang diharap
kan berada pada garda terdepan dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak
pidana pencurian ikan.

10 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
BAB II
KERANGKA TEORI

2.1.Teori Tindak Pidana

Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana adalah istilah paling umum untuk
istilah strafbaar feit dalam bahasa Belanda. Terjemahan atas istilah strafbaar feit ke dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan dengan berbagai istilah misalnya tindak pidana, delik,
peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan pidana, strafbaarfeit.7

Menurut Van Hamel strafbaarfeit adalah ”kelakuan orang (menselijke gedraging)


yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana
(strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.”

Menurut Hazewinkel Suringa strafbarfeit adalah “Suatu perilaku manusia yang


pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap
sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-
sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.”8

Menurut Pompe strafbarfeit adalah “Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap


tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh
seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.9

Menurut Simons strafbaarfeit adalah “Suatu tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan
sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.”10

7
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 96-97.
8
P.A.F. Lamintang, 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan ke-
4, hlm. 182.
9
Ibid.
10
Ibid.
11 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
Selain apa yang dikemukakan oleh para ahli di Eropa, pengertian “strafbaar feit”
dikemukakan juga oleh sarjana-sarjana Indonesia. Seperti pendapat yang dikemukakan
Moeljatno bahwa “Suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-
undangan.”11

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa delik itu ada perbuatan yang
dilarang atau suatu perbuatan yang diancam dengan hukuman kepada barang siapa yang
melakukannya, mulai dari ancaman yang serendah-rendahnya sampai kepada yang setinggi-
tingginya sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.

2.2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka harus ada rumusan dalam peraturan
perundang-undangan pidana tentang perbuatan perbuatan yang dilarang dan disertai dengan
sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau
sifat khas dari larangan sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak
dilarang.
Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah:12

1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan)
2. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
3. Melawan hukum (onrechtmatig)
4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatooar
person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan subyektif dari tindak pidana (strafbaar
feit).13

11
Adami Chazawi, 2010, Pelajaran Hukum Pidana 1, Bagian 1;Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, Cetakan ke-5, hlm.72.
12
Sudarto , Hukum Pidana 1, hal 32
13
Ibid, hal 32
12 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
2.3. Tindak Pidana Di Bidang Perikanan

1. Pengertian Tindak Pidana Di Bidang Perikanan

Perikanan adalah kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan


sumber daya ikan.14Tindak pidana di bidang perikanan merupakan tindak pidana diluar
KUHPidana yang diatur menyimpang, karena tindak pidananya dapat menimbulkan
kerusakan dalam pengelolaan perikanan Indonesia yang berakibat merugikan masyarakat,
bangsa, dan negara. Dengan hukuman pidananya tinggi dan berat sebagai salah satu cara
untuk dapat menanggulangi tindak pidana di bidang perikanan. Banyak masyarakat
menyalahgukan kegiatan perikanan menjadi suatu keuntungan bagi diri mereka sendiri tanpa
memikirkan ekosistem laut, misalnya dengan menggunakan alat penangkap ikan yang
dilarang yang mengakibatkan ekosistem laut. Kini tindak pidana perikanan menjadi sorotan
masyarakat akibat maraknya tindak pidana mengenai perikanan, contoh tindak pidana
penangkapan ikan dengan alat yang dilarang, pengeboman ikan, bisnis perikanan ilegal tanpa
mempunyai surat perizinan serta masih banyak lagi kasus yang lainnya.

Tindak pidana di bidang perikanan menurut UU RI No. 45 tahun 2009 perubahan


UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan (selanjutnya disingkat UU RI tentang perikanan)
yang termasuk delik kejahatan diatur dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91,
Pasal 92, dan Pasal 94, serta Pasal 100A dan Pasal 100B, sedangkan yang termasuk delik
pelanggaran diatur dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95,
Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100 dan Pasal 100C.15

14
Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, PT, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 1

15
Ibid, hal 153
13 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Perikanan

Unsur-unsur tindak pidana perikanan yang ditentukan di dalam UU RI No. 45


Tahun 2004 tentang Perikanan antara lain :16

Kategori Pelanggaran

a. Pasal 87
(1). Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang
berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu
miliar rupiah).
(2). Setiap orang yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma
nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
a. Pasal 89
Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan
yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan
pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil
perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3)
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp800.000.000, 00 (delapan ratus juta
rupiah).
b. Pasal 90
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau
pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah
Republik Indonesia yang tanpa dilengkapi sertifikat kesehatan
untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp800.000.000, 00 (delapan ratus juta
rupiah).
c. Pasal 95
Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi
kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp600.000.000, 00 (enam ratus juta rupiah).
d. Pasal 96
Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak
mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
16
Undang-Undang No.31 Tahun 2004
14 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
banyak Rp800.000.000, 00 (delapan ratus juta rupiah).
e. Pasal 97

Kategori Pelanggaran

f. Pasal 87
(3). Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang
berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu
miliar rupiah).
(4). Setiap orang yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma
nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
g. Pasal 89
Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan
yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan
pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil
perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3)
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp800.000.000, 00 (delapan ratus juta
rupiah).
h. Pasal 90
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau
pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah
Republik Indonesia yang tanpa dilengkapi sertifikat kesehatan
untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp800.000.000, 00 (delapan ratus juta
rupiah).
i. Pasal 95
Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi
kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp600.000.000, 00 (enam ratus juta rupiah).
j. Pasal 96
Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak
mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp800.000.000, 00 (delapan ratus juta rupiah).

15 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
(1). Pasal 9a
6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000, 00
(satu miliar dua ratus juta rupiah).
(1). Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan,
dan anak buah kapal dengan sengaja di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan
Dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak,
alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan
dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp1.200.000.000, 00 (satu miliar dua
ratus juta rupiah).
(2). Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan,
penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal
perikanan dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan Dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat
dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).
(3). Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik
perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab
perusahaan pembudidayaan ikan dengan sengaja melakukan usaha
pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat
merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan
dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(4) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar
rupiah).

Kategori Kejahatan

1. Pasal 85
Setiap orang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau
menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak
sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang
tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan
untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang
dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).

16 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
2. Pasal 8
(1). Setiap orang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2). Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat
membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber
daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,
00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(3). Setiap orang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika
yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan
sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(4). Setiap orang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia menggunakan obat-obatan dalam
pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan
dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
3. Pasal 88
Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, megeluarkan,
mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang
merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan,
dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
4. Pasal 91
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku,
bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang
membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam
melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
5. Pasal 92
Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di
bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan,
17 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
6. Pasal 93
(1). Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
dan/atau di laut lepas dengan tidak memiliki SIPI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), Dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2). Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dengan tidak
memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling banyak Rp20.000.000.000, 00 (dua puluh miliar
rupiah).
7. Pasal 94
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait
yang tidak memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar
lima ratus juta rupiah).

3. Jenis dan Sifat Hukuman Pidana Perikanan

a. Jenis Hukuman Pidana

Dalam Pasal 10 KUHPidana dikenal ada dua jenis hukuman pidana, yaitu
pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok merupakan hukuman yang wajib di
jatuhkan hakim yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana
denda. Sedangkan pidana tambahan sifatnya tidak wajib dijatuhkan hakim, yaitu berupa
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Untuk jenis hukuman pidana di bidang perikanan hanya mengenal pidana
pokok, sedangkan pidana tambahan tidak diatur di dalam UU RI tentang Perikanan. Mengenai
pidana pokok yang dapat dijatuhkan hakim dalam perkara perikanan berupa pidana pernjara
dan pidana denda. Meskipun UU RI tentang Perikanan tidak mengatur secara khusus pidana
tambahan, namun hakim perikanan tetap dapat menjatuhkan pidana tambahan berdasarkan
Pasal 10 KUHPidana tersebut.
18 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
b. Sifat Hukuman Pidana

Hukuman pidana di bidang perikanan sebagian besar bersifat kumulatif, baik


ditujukan terhadap delik kejahatan maupun delik pelanggaran. Dalam hukuman kumulatif
pidana baddan (penjara) dengan pidana denda diterapkan sekaligus. Disini tidak ada alasan
bagi hakim untuk tidak menjatuhkan kedua pidana tersebut, juga hakim tidak dapat memilih
salah satu hukuman untuk dijatuhkan, melainkan wajib menjatuhkan pidana pokok kedua-
duanya.
Hukuman yang berupa pidana penjara yang tinggi dan pidana denda yang
berat terhadap pelaku pidana perikanan dengan tujuan agar menimbulkan efek jera. Pelaku
yang terbukti bersalah selain wajib menjalani pidana penjara bertahun-tahun, juga wajib
membayar denda kepada negara yang nilainya tidak sedikit.

2.4. Sistem Peradilan pidana dan Sistem Pembuktian

Sistem peradilan pidana merupakan istilah yang digunakan sebagai padanan


Criminal Justice System. Buku Romli Atmasasmita dalam bukunya “ Sistem Peradilan
Pidana Kontemporer”.17Pengertian itu lebih banyak menekankan pada suatu pemahaman
mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan. Pengertian itu juga menekankan pada fungsi
dari jaringan tersebut untuk menegakkan hukum pidana. Tekanannya bukan semata-mata
pada adanya penegakan hukum oleh peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam
melaksanakan fungsi penegakan hukum tersebut, peradilan menjalankannya dengan
membangun suatu jaringan.

Proses peradilan pidana itu adalah suatu sistem dengan kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, serta lembaga pemasyarakatan sebagai sub-sistem. Pelanggar hukum berasal dari
masyarakat dan akan kembali pula ke masyarakat, baik sebagai warga taat pada hukum (non
residivis), maupun mereka yang kemudian akan mengulangi kembali perbuatannya
(residivis).18

17
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta : Prenada Media Group 2011), hlm. 2
18
Mardjono Reksodiputro, “Survei Dan Riset Untuk Sistem Peradilan Pidana Yang Lebih Rasional”, Kriminologi
Dan Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Kedua, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1997), hal 99.
19 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
Ke empat subsistem peradilan pidana yaitu subsistem penyidikan, subsistem
penuntutan, subsistem pengadilan dan subsistem pelaksanaan putusan sebagaimana tersebut
di atas, merupakan suatu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau yang
sering dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice
System).19

Di samping teori Sistem Peradilan Pidana di atas, juga digunakan teori Sistem
Pembuktian. Adapun prinsip teori Sistem Pembuktian adalah:20

1. Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara Positif (Positive Wettelijk


Bewijstheorie).
Pembuktian menurut undang-undang secara positif, “keyakinan hakim tidak
ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem ini
berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
undang-undang. Pembuktian salah atau tidaknya terdakwa tergantung kepada alat-
alat bukti yang sah. Terpenuhinya syarat-syarat dan ketentuan pembuktian
menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa
mempersoalkan keyakinan hakim. Hakim yakin atau tidak tentang kesalahan
terdakwa, bukan menjadi masalah.

2. Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction in Time).


Sistem pembuktian conviction in time menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa, ditentukan oleh penilayan keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang
menentukan terbuktinya kesalahan terdakwa. Hakim dalam menyimpulkan
keyakinannya tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil
dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang
pengadilan dan boleh juga dari hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan
hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan
terdakwa. Hakim dapat menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-
mata atas dasar keyakinan belaka tanpa di dukung oleh alat bukti yang cukup.
19
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, (Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006), hal.19.
20
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Pemeriksaan Sidang Pengadilan,
Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000) hlm.277-279.

20 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
3. Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis

(Conviction Raisonnee).

Pembuktian ini menunjukkan keyakinan hakim tetap memegang peranan


penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Sistem pembuktian ini
faktor keyakinan hakim dibatasi yaitu harus didukung dengan alasa-alasan yang
jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang
mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim harus
mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal.

4. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk


Bewijsleer).
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan
teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan
sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time.
Rumusannya berbunyi, salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh
keyakinan hakim yang didasarkan dari alat-alat bukti yang sah menurut undang-
undang.

21 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Pengaturan Hukum Terhadap Pencurian Ikan Oleh Nelayan Asing Menurut
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

1. Pengaturan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencurian Ikan

a. Pengaturan Hukum Terhadap Perampasan Benda dan/atau Alat yang dipergunakan


dalam dan/atau yang dihasilkan dari Tindak Pidana Pencurian Ikan.

Pemerintah menilai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tidak dapat lagi


mencegah secara efektif tindak pidana pencurian ikan di perairan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang
semakin lama semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif, serta bentuk
kejahatannya yang semakin terorganisir. Secara subtansial, perubahan yang signifikan
pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dibandingkan dengan undang-undang
yang terdahulu, adalah penekanan pada ketentuan sanksi pidana berat terhadap kapal
asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia.

Sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 ini ada tersirat bahwa
undang-undang ini dirubah karena terdapat kekurangan. Beberapa hal yang dapat kita
cermati tentang perubahan-perubahan substansial antara undang-undang nomor 31
Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 antara lain pada:21

1. Hal Pembatasan Penangkapan

Kapal penangkap ikan berbendera asing tidak diperbolehkan menangkap ikan di


Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
tanpa memiliki Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Indonesia.

21
Supriadi, Hukum Perikanan Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2011), hlm.462
22 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
2. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI )
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 93 tidak
menyebutkan secara jelas mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ),
melainkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Melalui Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009, penyebutan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sudah
sangat tegas dan jelas. Penegasan itu dapat dilihat pada Bab XV Ketentuan Pidana Pasal
93 ayat (2) menyatakan, “Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak
memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua
puluh milyar rupiah).

3. Hal Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan yang di emban TNI-AL dan Pegawai
Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kewenangan besar bagi TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diberikan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 untuk mencegah dan memberantas pencurian ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) perairan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia merupakan salah satunya tugas berat yang harus dilaksanakan. Dalam
melaksanakan fungsi dan tugasnya, penyidik dan pengawas perikanan dapat
melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal
perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.22

4. Putusan Perampasan Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/ atau yang
dihasilkan dari Tindak Pidana Pencurian Ikan.

Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan digunakan untuk
menempatkan benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan
dari tindak pidana pencurian ikan menjadi rampasan melalui putusan pengadilan.

22
Lihat penjelasan pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
23 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
5. Peran Serta Masyarakat Diperlukan

Selain TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan
Perikanan dan Penegak Hukum lainnya, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
juga diikutsertakan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

6. Tidak Mementingkan Unsur Kesengajaan

Tindak Pidana Pencurian Ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif


Indonesia “setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan “ dalam beberapa
pasal Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan tidak memperdulikan unsur
kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai
niat melakukan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

7. Penggunaan Sistem Pidana Penjara

Penggunaan Sistem Pidana Penjara terhadap pelaku tindak pidana pencurian


ikan oleh Nelayan Asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia tidak diberlakukan. Penahanan pun tidak
boleh dilakukan oleh penyidik. Ketika ditangkap di Tempat Kejadian Perkara,
selanjutnya tersangka di bawa untuk diproses dengan membuat Berita Acara
Pemeriksaan (BAP). Setelah selesai diperiksa, tersangka harus secepatnya
dipulangkan ke negara asalnya tanpa ditahan terlebih dahulu.

8.Persamaan Hukuman Bagi Percobaan dan Tindak Pidana Selesai

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-


Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyamakan hukuman pidana bagi
pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku tindak pidana percobaan. Tindak Pidana
Pencurian Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI ) adalah suatu kejahatan
karena perbuatan tersebut memiliki efek yang sangat besar yaitu merugikan Negara
lebih kurang 30 trilyun rupiah per tahun.23 Dari ketentuan pidana yang diatur dalam

23
Lihat Koran Harian Kompas terbit tanggal 4 Juni 2012 halaman 1.
24 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
Bab XV Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dapat dikelompokkan dari segi bentuk
perbuatannya yaitu Kejahatan dan pelanggaran.

1. Bentuk perbuatan yang dikategorikan kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal, 84,
85, 86, 88, 91, 92, 93, 94, dan 94A.
2. Bentuk perbuatan yang dikategorikan Pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal,
87, 89, 90, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 100A, 100B, 100C, dan 100D. Klasifikasi
kejahatan dan pelanggaran dalam tindak pidana perikanan tersebut di atas sesuai
rumusan hukum pidana dari Moelyatno, yang menyatakan hal-hal sebagai
berikut:

a. Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan Hukum yang berlaku di suatu
Negara.
b. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana.
c. Hukum pidana menentukan perbuatan mana yang dipandang sebagai
perbuatan pidana.
d. Barang siapa melakukan perbuatan pidana diancam dengan pidana
e. Hukum pidana mengatur tentang pertanggungjawaban hukum pidana
(criminal liability atau criminal responsibility).

f. Beberapa pendapat tentang pengertian hukum pidana.


g. Hal-hal yang perlu ditegaskan sehubungan pengertian kita kepada hukum
pidana.24

Berdasarkan rumusan dari Moelyatno di atas dalam tindak pidana perikanan dapat
dengan jelas terlihat apakah itu berupa kejahatan ataupun pelanggaran yang dilakukan
oleh pelaku tindak pidana pencurian ikan dan pidana apa yang akan diberikan kepada
pelanggar peraturan perikanan yang ada.
Sinkronisasi peraturan dalam bidang perikanan dapat dilihat dari :

1. Dalam pengelolaan sumber daya ikan


Pelaksanaan pengelolaan Sumber Daya Ikan pada Pasal 4 angka (3) mengenai
jumlah yang boleh ditangkap diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
473a/Kpts/Ik.250/6/1985 tentang Penetapan Jumlah Tangkapan Ikan yang

24
Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, ( Yogyakarta : Penerbit Liberty 1987), hal. 19.
25 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ).
Pasal 3 mengenai daerah dan jalur penangkapan ikan pelaksanaannya diatur dalam
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.05/Men/2012
tentang perubahan ke dua atas peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
Per.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan
Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan dalam Pasalnya menyebutkan “Jalur
Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia terdiri atas : 25
a. Jalur Penangkapan Ikan I, terdiri dari :
1. Jalur penangkapan ikan I-A, meliputi perairan pantai sampai dengan 2 (dua)
mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah.
2.Jalur penangkapan ikan I-B, meliputi perairan pantai di luar 2 ( dua ) mil laut
sampai dengan 4 (empat) mil laut.
b. Jalur Penangkapan Ikan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I
sampai dengan 12 ( dua belas ) mil laut diukur dari permukaan air laut pada
surut terendah.
c. Jalur Penangkapan Ikan -III, meliputi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan
perairan di luar jalur penangkapan ikan II, sampai dengan 200 (dua ratus) mil
laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah.

2. Pemanfaatan Sumber Daya Ikan

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor


Per.12/Men/2009 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor Per.05/Men/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap dalam Pasal 6 ayat (1)
bahwa “ Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang akan melakukan kegiatan
penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia wajib
memiliki Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP)”.26 Dalam Pasal 6 ayat (2) disebutkan “
Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang menggunakan kapal untuk melakukan
kegiatan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
wajib melengkapi dengan Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) untuk setiap kapal yang

25
Lihat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.05/Men/2012

tentang perubahan atas perubahan ke dua atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikan Republik
Indonesia Nomor Per.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan alat Penangkapan Ikan
26
Lihat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2008 tentang Usaha Perikanan
Tangkap Pasal 6 ayat (1).
26 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
digunakan. Pasal 9 ayat (4) disebutkan bahwa setiap kapal pengangkut ikan berbendera
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) wajib dilengkapi dengan
Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).

2. Pertanggungjawaban Pidana dan Penerapan Sanksi PidanaTerhadap Pencurian Ikan


(Illegal Fishing) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)

Masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak


pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan.27

Berbicara mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang, maka harus
diketahui apakah dapat dimintanya pertanggungjawaban pelaku atas tindak pidana yang
dilakukannya, dimana ada beberapa unsur yang penting untuk dianalisis sehingga kita
mengetahui secara jelas apakah orang tersebut harus diminta pertanggungjawabannya
atau tidak. Adapun unsur-unsur tersebut terdiri dari unsur kesalahan, kemampuan
bertanggung jawab, alasan penghapusan pidana.

1. Kesalahan

Pengertian kesalahan menurut pendapat ahli hukum Mezger,28 mengatakan bahwa


kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar adanya pencelaan pribadi
terhadap si pembuat tindak pidana. Seseorang dapat dinyatakan bersalah dan dapat
mempertanggungjawabkan perbuatan pidana sehingga dapat dipidana apabila telah
memenuhi unsur-unsur kesalahan dalam arti luas, sekaligus sebagai unsur subjektif.

27
Chairul Huda, Op.Cit.
28
Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hlm. 88. Kesalahan dapat
ditinjau dari 3sisi yakni:

a. Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian


“pertanggungjawaban dalam hukum pidana” di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si
pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa orang yang bersalah melakukan
suatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.
b. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan kealpaan.
c. Kesalahan dalam arti yang sempit adalah kealpaan.

27 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
Syarat pemidanaan tersebut meliputi :

a. Kesengajaan

Kesengajaan (dolus/opzet) adalah merupakan bagian dari kesalahan (schuld).

Adapun pembagian jenis sengaja yang secara tradisional dibagi menjadi tiga jenis,
yaitu:29
1. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogemark)
2. Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet bewustheid van zekerheid of
noodzakelijkheid).
3. Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (opzet met
waarschlijkheidbewustzijn).

b. Kelalaian (culpa)
Kelalaian adalah jika seseorang tidak bermaksud melanggar larangan undang-
undang, tetapi dia tidak mengindahkan larangan itu. Dia alpa, lalai, teledor dalam
melakukan perbuatan tersebut. Jadi, dalam kelalaiannya kurang mengindahkan larangan
sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal
menimbulkan keadaan yang dilarang.30 Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si
pembuat maka kealpaan tersebut dapat dibedakan atas dua yaitu :
1. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld), kealpaan yang disadari terjadi apabila si
pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu
akibat yang menyertai perbuatannya, meskipun ia telah berusaha untuk mengadakan
pencegahan supaya tidak timbul akibat itu.
2. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld), kealpaan yang tidak disadari
terjadi apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan
timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi seharusnya ia dapat
membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut.

29
Sudarto, Op.Cit.,hlm. 103-105
30
http://syarifblackdolphin.wordpress.com/2012/01/11/pertanggungjawaban-pidana, diakses

tanggal 15 Mei 2018.


28 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
c. Kemampuan Bertanggung jawab
Simons menyatakan bahwa kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan
psykis, yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari
sudut umum ataupun orangnya,31 seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya
sehat, yakni apabila;32
1. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri
2. Mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan
dengan hukum
3. Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.

d. Alasan Penghapusan Pidana

Dua jenis alasan penghapusan pidana (umum) yakni:

1.Alasan Pemaaf, yakni menyangkut pribadi si pembuat dalam arti bahwa orang ini
tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak
dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya merupakan perbuatan pidana
akan tetapi pelakunya tidak dapat dipidana. Adapun alasan pemaaf yang terdapat pada
KUHP adalah :
a. Tidak mampu bertanggung jawab karena tidak sempurna akal, jiwanya atau
terganggu karena sakit.
b. Karena daya paksa, daya paksa maksudnya adalah tidak dapat diharapkan dari
sipembuat untuk mengadakan perlawanan, maka daya paksa dapat dibedakan
dalam 2 hal yakni :33
-Paksaan absolute
-Paksaan relatif
c. Pelampauan batas pembelaan darurat yang terdiri dari beberapa syarat yaitu:34

-Melampaui batas pembelaan yang diperlukan


-Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang
hebat.
- Kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan oleh adanya serangan, maka harus

31
Romli Atmasasmita, Op.Cit, hlm.65
32
Moeljatno, Asas-asa Hukum Pidana , (Jakarta: Bina Aksara, 1994), hlm.165
33
Fuad Usfa dan Togat, Pengantar Hukum Pidana, ( Malang, UMM Pers, 2004 ), hlm.90.
34
S.R. Sianturi, Op.Cit. hlm. 293.
29 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
ada hubungan kausal antara keduanya.
d. Itikad baik melaksanakan perintah jabatan.
2.Alasan pembenar, yakni alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, meskipun perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik dalam undang-
undang. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP adalah pada:
a. Pasal 49 ayat (1) merupakan suatu pembelaan darurat atau paksa
noodweer) yang memiliki syarat :

1. Adanya serangan.
2. Adanya pembelaan yang perlu ditujukan terhadap serangan itu.
b. Pasal 50 merupakan suatu perbuatan karena menjalankan suatu peraturan
perundang-undangan.

3. Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal


Fishing) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ).

a. Dasar Pemidanaan dan Penjatuhan Pidana

Pemidanaan agar dapat dipahami lebih mendalam maka harus diketahui dasar dari
pemidanaan yang dimulai dari aliran klasik. Sistem pidana dan pemidanaan aliran klasik
ini sangat menekankan pemidanaan terhadap perbuatan, bukan pada pelaunya. Artinya
penetapan sanksi dalam undang-undang tidak dipakai sistem peringanan atau
pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa si pelaku, kejahatan-
kejahatan yang dilakukan terdahulu maupun keadaan-keadaan khusus dari
perbuatan/kejahatan yang dilakukan.35 Aliran modern yang mencari sebab kejahatan
dengan memakai metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati atau
mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Karenanya
aliran ini bertitik tolak dari pandangan determinisme dan menghendaki adanya
individualism pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi terhadap pelaku
kejahatan.

35
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit. hlm. 25-26 dan 62.
30 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
b. Tujuan Pemidanaanan
Tujuan pemidanaan bila dilihat dari pendapat sarjana seperti menurut Wirjono
Prodjodikoro, yaitu :
1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara
menakut- nakuti orang banyak (general preventif) maupun menakut-nakuti orang
tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar kemudian hari tidak melakukan
kejahatan lagi (special preventif), atau
2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar
menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat. 36

P.A.F. Lamintang menyatakan pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang
tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu :
1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri
2. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan, dan
3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan
kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah
tidak dapat diperbaiki lagi.37

Dari kerangka pemikiran di atas, melahirkan beberapa teori tentang tujuan


pemidanaan.

a. Teori absolute atau teori pembalasan


Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan.
Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang
yang melakukan kejahatan.

Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori absolut ini, Romli
Atmasasmita mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut :38

1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik


perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat
dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak dapat dihindari dan

36
http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian jenis-jenis dan tujuan.html diakses tanggal 15 Mei
2018.
37
Barda Nawawi Arief.Op.Cit.hlm.43.
38
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm.
83-84.
31 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran
retributive ini disebut vindicative.
2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan
anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain
atau memperoleh keberuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan
menerima ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness.
3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya
suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran retributif ini disebut
proportionality.

b. Teori relatif atau teori tujuan


Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi
terhadap teori absolut.
Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di
dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si
pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk
mempertahankan ketertiban umum.

c. Teori Gabungan (Integratif)


Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan
penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan
ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas ( teori absolut dan teori
relatif ) sebagai dasar pemidanaan.

d. Teori Treatment
Treatmen sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang
berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan,
bukan kepada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini
adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatmen) dan perbaikan (rehabilitation)
kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.

e. Teori Sosial Defence (Teori Perlindungan Masyarakat)


Sosial Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah Perang Dunia II
dengan tokoh terkenalnya adalah Fillipo Gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan
Pusat Studi Perlindungan Masyarakat. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial

32 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap
perbuatannya”.39

c. Ancaman Pidana

Larangan melakukan Penangkapan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang


tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang- Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang ketentuan pidananya terdapat pada Pasal
93 ayat (2) mengenai pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
banyak Rp 20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah).
Penerapan pidana penjara tidak berlaku terhadap pelaku tindak pidana pencurian
ikan yang dilakukan oleh Nelayan asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
sebagaimana diatur dalam Pasal 102.

3.2. ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN NOMOR


03/PID.SUS.P/2012/PN.MDN MENGENAI PENCURIAN IKAN DI ZONA EKONOMI
EKSKLUSIF INDONESIA WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN REPUBLIK
INDONESIA

Menurut Pasal 93 ayat ( 2 ) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang


perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang
berbunyi : “ Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap
ikan berbendera asing melakukan penangkapa ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat ( 2 ), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.20.000.000.000,- (dua puluh
miliar rupiah )”. Terdakwa dalam hal ini sebagai pelaku tindak pidana harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan pidana denda sebesar 3 ( tiga ) miliar
rupiah dan perampasan kapal KM. Khanomcun-2 GT.80 berbendera Thailand beserta
isinya, namun tidak menjalani pidana penjara karena tempat kejadian perkara di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ) sebagaimana diatur dalam Pasal 102 Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31

39
Ibid. hlm.90.

33 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
Tahun 2004 tentang Perikanan mengatakan “ Ketentuan tentang pidana penjara dalam
Undang-Undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik
Indonesia dengan Negara yang bersangkutan.

Sanksi yang dijatuhkan Majelis Hakim kepada Terdakwa dalam kasus ini sudah
tepat yaitu pemberian tindakan hukum denda sebesar Rp. 3.000.000.000,- ( tiga miliar
rupiah ) dan perampasan kapal ikan KM. Khanomcun-2 GT.80 berbendera Thailand
beserta isinya. Putusan yang ditetapkan oleh hakim terhadap kasus pencurian ikan
(illegal fishing) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ) perairan Selat Malaka
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia ( WPP-RI ) sudah menerapkan
penjatuhan pidana denda dan perampasan kapal ikan KM. Khanomcun-2 GT.80
berbendera Thailand beserta isinya tanpa pidana penjara ( hukuman badan )
sebagaimana diatur dalam Pasal 102 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Hakim sudah merealisasikan ketentuan pasal 93 ayat (2) Undang-Undang Nomor


45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk memutus perkara
pencurian ikan ( illegal fishing ) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) perairan
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia ( WPP-RI ) Putusan
yang dijatuhkan oleh hakim terhadap kasus pencurian ikan ( illegal fishing ) ini juga
telah menerapkan filsafat pemidanaan ditinjau dari presfektif Pancasila yaitu
keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan korban, pelaku, masyarakat, dan
Negara.

34 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
BAB IV

PENUTUTP

1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka


dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a. Pengaturan Hukum terhadap pencurian ikan menurut Undang-Undang Nomor 45


Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan adalah diatur dalam Pasal 93 ayat (2) yaitu “Setiap orang yang
memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing
melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar
rupiah)”. Majelis Hakim dalam perkara ini menjatuhkan hukuman denda sebesar
Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah) dan perampasan kapal serta segala
isinya tanpa menajatuhkan hukuman penjara.

Hukuman panjara tidak dikenakan karena Pasal 102 Undang-Undang Nomor


45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan menyatakan, “ “Ketentuan tentang pidana penjara dalam
undang-undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang
terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara
Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan”.

35 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
b. Analisis Hukum terhadap tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dalam
putusan nomor: 03/Pid.Sus.P/2012/PN.Mdn. adalah sebagai berikut:

1. Putusan Majelis Hakim dalam menjatuhkan vonis perkara Nomor


03/Pid.Sus.P/2012/PN. Mdn dengan pidana denda dan perampasan kapal
beserta isinya telah diterapkan tanpa menjatuhkan pidana penjara terhadap
Terdakwa. Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
adalah dasar hukum yang diberikan kepada Terdakwa yang berbunyi “Setiap
orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki
SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.
20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah).

Majelis Hakim dalam perkara ini mengingat pasal 93 merupakan


kategru tindak pidana kejahatan perikanan maka menjatuhkan vonis yaitu
pidana denda sebesar Rp. 3.000.000.000, (tiga milyar rupiah) serta kapal dan
segala isinya dirampas untuk Negara, kecuali alat tangkap ikan trawl
dirampas untuk dimusnahkan.Vonis ini sudah tepat mengingat kapal dan
isinya sangat mahal yang bisa membuat nelayan asing semakin takut untuk
melakukan pencurian ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.

2. Kerugian Negara akibat pencurian ikan ( illegal fishing ) oleh nelayan asing di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) mencapai 30
triliun rupiah setiap tahun. Melihat besarnya kerugian Negara akibat pencurian
ikan oleh nelayanasing membuat kita terperangah seolah-olah Pe merintah
tidak mau mengurus laut yang masuk Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia. Di samping itu polisi sebagai penegak hukum tidak ikut
dilibatkan dalam penegakan hukum di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (
ZEEI) ).

36 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
2. Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka penulis
mengemukakan beberapa saran sebagai berikut :

a. Perlu keseriusan Pemerintah Indonesia untuk mengatasi pencurian ikan di Zona


Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan memperbesar anggaran pengawasan
dan melengkapi sarana dan prasarana yang berhubungan dengan pengawasan
perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Pengawasan
sangat penting karena pelaku pencurian ikan tidak boleh ditahan dan hukuman
denda yang dijatuhkan tidak bisa dieksekusi karena terdakwa sudah berada di
negaranya. Artinya sebesar apapun denda yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim
tidak ada gunanya karena denda tersebut tidak dapat direalisasikan. Untuk itu
Pemerintah Indonesia harus berusaha mencari jalan keluar agar denda berupa
uang di yang dikenakan sebagai hukuman terdakwa bisa diambil.

b. Perlu keberanian hakim dalam menjatuhkan putusan yang paling berat yaitu
pidana denda yang besar dan perampasan kapal ikan beserta isinya agar nelayan
asing jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya yaitu mencuri ikan di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia.

37 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
DAFTAR PUSTAKA

A.Buku

Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem


Peradilan Terpadu, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006.

Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Kriminal, op.cit, hal.2

Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana, Prespektif Eksistensi dan


Abolisionisme, Bandung : Bina Cipta, 1996.

Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta : Prenada


Media Group, 2011.

Hamzah, Amir, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986, hlm.78.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Pemeriksaan


Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta : Sinar
Grafika, 2000 hlm. 277-279.

Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada


Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Prenada Media, 2006
hlm.7.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1994, hlm.165. Muladi,
Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang : Badan penerbit

Universitas Diponegoro, 1995.


Prakoso, Djoko, Pembaharuan Hukum di Indonesia, Yogyakarta : Penerbit
Liberty 1987

Reksodiputro, Mardjono, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Universitas


Indonesia, 1997.

Sianturi, S.R, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya,


38 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
Jakarta: Alumni, 1996 hlm. 245.
Soedarto, Tentang Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Kertas Kerja,
pada simposium Pembaharuan Hukum Pidana, Semarang, 1980
Supriadi, Hukum Perikanan Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2011.

Usfa,Fuad dkk. Pengantar Hukum Pidana, Malang: UMM Pers, 2004 hlm.90.

B. Makalah, Jurnal Hukum, dan Artikel

Soebiyanto, Slamet, Keamanan Nasional Ditinjau dari Prespektif Tugas TNI-


Angkatan Laut, Majalah Patriot, 2007. Hlm.10.
Kerugian Negara Akibat Pencurian Nelayan Asing Di Wilayah Perairan Indonesia
Mencapai 3 (tiga) trilyun pertahun , Harian Kompas terbitan tanggal 4 Juni 2012 hal.
1.

C. Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang -Undang


Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI).Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor


PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan
Tangkap.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik

39 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M
Indonesia (WPP-RI).
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
PER.08/MEN/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor 02/MEN/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan
Penempatan Alat Penangkapandan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

D. Internet

https://news.detik.com/berita/2872642/kasus-kapal-maling-ikan-hai-fa-dituntut-ringan-

penegak-hukum-harus-lebih-jeli, Diakses tanggal 15 Mei 2018 Kasus Kapal Maling Ikan

Hai Fa Dituntut Ringan, Penegak Hukum Harus Lebih Jeli

http://ilmu hukum, umsb.ac.id, diakses tanggal 15 Mei 2018


http://kitabpidana.blogspot.com/2013/05/ Kesalahan dan Pertanggung jawaban

Pidana, diakses tanggal 15 Mei 2018.


http://syarifblackdolphin.wordpress.com, Pertanggungjawaban Pidana, diakses

tanggal 15 Mei 2018. http://www.doktorsetyoutomo.files.wordpress.com,


Sistem Pemidanaan, diakses
tanggal 15 Mei 2018.
http://raypratama.blogspot.com, Pengertian, Jenis-Janis dan Tujuan Pemidanaan,
diakses tanggal 15 Mei 2018.

40 | P E N G A N T A R I L M U H U K U M

Anda mungkin juga menyukai