Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH FIDUSIA

(TUGAS KELOMPOK KEBENDAAN PERDATA)

i
DAFTAR ISI
Cover…………………………………………………..…...…………………………….…….i
Daftar Isi………..…………..…………………………………………………………….…...ii
BAB I PENDAHULUAN……...…………………...…………………………………….......1
1.1 Latar belakang……………………………..…………………………………...….1
1.2 Rumusan Masalah…………………………..………….……………………...…..2
1.3 Tujuan Pembuatan…………………………………………...………………...…..2
1.4 Manfaat………..............……………………………………………...……………2
BAB II ISI………….………………………………………………..……………….............3
Pengertian Fidusia…………………………………………......………………3
2.1 Definisi, Sejarah, Latar Belakang Fidusia..……………………...………………...3
2.1.1 Menurut UU no 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia………………5
Objek Fidusia………………………………………………………………….6
2.2 Objek dan Perkembangan Fidusia……………………………………..…………..6
2.2.1 Berdasar UU no 42 Tahun 1999……….......…………………………….7
2.3 Ciri – Ciri Fidusia…………………...………………….………………………...10
2.4 Cara mengadakan Fidusia………………………………………..….………...…14
2.4.1 Kelemahan Fidusia Sebelum Berlakunya UU no 42 tahun 1999….…...14
2.5 Azas-Azas Fidusia………………………………….......………………………...16
2.6 Terjadinya Jaminan Fidusia berdasar UU no 42 tahun 1999……………………..18
2.7 Eksekusi Jaminan Fidusia Berdasar UU no 42 tahun 1999.…...…………………19
2.8 Hapusnya Jaminan Fidusia Berdasar UU no 42 tahun 1999……………………..21
2.9 Ketentuan Pidana dan Peralihan Jaminan Fidusia berdasar UU no 42 tahun
1999………………………………………………………………………………..…22
BAB III ANALISIS PUTUSAN …………………………………………….......................24
3.1 Kasus Posisi…...…………..…………………………..………………………....24
3.2 Penilaian Kebasahan Perjanjian dengan Jaminan Fidusia dan Conservator dan
Conservatoir Beslag………...…………………............…………….……………….25
3.3 Pembuktian Dalil gugatan perbuatan Melawan Hukum (PMH) pada tergugat dan
Wanpresrasi pada penggugat…………………………………………....……………26
3.4 Penilaian Putusan Hakim atas dasar terpenuhinya salah satu dalil gugatan……...29
BAB IV KESIMPULAN………………………………………………………………….

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan kegiatan ekonomi di Indonesia yang mulai semakin pesat mengakibatkan


adanya keperluan urgensi terhadap sumber-sumber untuk membiayai kegiatan usaha.
Hubungan antara pertumbuhan kegiatan ekonomi berkaitan erat dengan pembiayaan. Hal ini
disebabkan karena dunia perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya merupakan mitra
usaha bagi perusahaan-perusahaan jasa non keuangan lainnya. 1 Hak kebendaan dapat
memberikan jaminan jika terdapat benda yang ditunjuk secara khusus sebagai barang
jaminan. Dengan adanya jaminan kebendaan, maka kreditur pemegang jaminan tersebut akan
memiliki hak untuk didahulukan (preference) dalam hal pelunasan hutang dari kreditur-
kreditur lainnya.2 Jaminan kebendaan yang umum diperjanjikan antara lain gadai, hipotik,
hak tanggungan, dan fidusia.

Seiring perkembangan ekonomi, jaminan kebendaan berupa hipotik dan gadai dirasakan
kurang memadai, maka dari itu lahirlah jaminan fidusia. Jaminan fidusia sendiri
sebagaimana yang dipaparkan para ahli adalah perluasan akibat banyak kekurangannya
lembaga gadai (pand) dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapat mengikuti
perkembangan di masyarakat.3 Adanya jaminan fidusia ini disambut hangat oleh golongan
pengusaha kecil maupun menengah yang memerlukan dana untuk kelangsungan usahanya.
Dengan jaminan fidusia, mereka mendapatkan perolehan dana dari pihak Bank dengan
mudah dan cepat, dikarenakan fidusia hanya mendasarkan kepercayaan terhadap debitur
dimana barang jaminan tetap berada di bawah penguasaan debitur. Fidusia diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dimana Pasal 1 ayat (1)
menyatakan “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda”. Pada pasal 1 ayat (2) UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia, dapat dimengerti bahwa jaminan fidusia dapat diperjanjikan terhadap benda bergerak

1
Maria Kaban, Tinjauan Juridis Terhadap Perjanjian Kredit, artikel diakses pada 8 Oktober 2016,
dari http://library.usu.ac.id/download/fh/perdata-maria4.pdf.
2
Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, Depok: CV Gitama Jaya,
2008, hlm.93.
3
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, cet.I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004, hlm.57.

1
yang bewujud maupun tidak berwujud dan benda yang tidak bergerak seperti bangunan yang
tidak dapat dibebani hak tanggungan.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia, adapun benda-benda yang dapat


dijadikan sebagai objek jaminan fidusia, yakni berupa benda bergerak yang merupakan benda
dalam persediaan (investori), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan kendaraan
bermotor.4 Namun selama berjalannya waktu, kebendaan yang menjadi objek jaminan fidusia
mulai meliputi juga kebendaan bergerak yang tak berwujud, maupun benda tak bergerak. 5
Saat ini, sudah mulai digunakan secara jelas bentuk-bentuk mengenai jaminan fidusia dalam
hal transaksi pinjam meminjam. Meskipun jaminan fidusia dikatakan proses pembebanannya
sederhana, namun sesungguhnya juga dianggap masih kurang dapat menjamin adanya
kepastian hukum. Sistem dalam menggunakan jaminan fidusia yang ada sekarang ini
sebenarnya memungkinkan bagi para pemberi fidusia untuk menguasai kebendaan yang
dijaminkan. Hal ini agar dapat menjalankan kegiatan usaha yang dibiayai dari pinjaman
dengan menggunakan jaminan fidusia tersebut. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis
akan membahas lebih dalam lagi mengenai jaminan fidusia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang melandasi terciptanya UU tentang fidusia?


2. Jelaskan mengenai asas-asas yang terdapat didalam UU fidusia?
3. Jelaskan perbedaan jaminan fidusia dengan bentuk jaminan lainnya?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi terciptanya UU tentang fidusia.


2. Untuk memahami asas-asas yang terdapat didalam UU fidusia.
3. Untuk dapat membedakan fidusia dengan bentuk jaminan kebendaan lainnya.

1.4 Manfaat

1. Untuk pemenuhan tugas kelompok mata kuliah Kebendaan Perdata.


2. Untuk menambah pengetahuan dari kalangan pelajar.
3. Untuk dapat menjadi salah satu referensi bacaan saat ujian dengan mata kuliah yang
berkaitan.

BAB II

4
Penjelasan Undang-Undang No 42 tahun 1999 Jaminan Fidusia
5
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 8.

2
LANDASAN TEORI FIDUSIA

Pengertian Fidusia

2.1 Definisi, Sejarah, dan Latar Belakang Fidusia

Fidusia sebagai lembaga jaminan sudah lama dikenal dalam masyarakat Romawi, yang pada
mulanya tumbuh dan hidup dalam hukum kebiasaan. Berdasarkan pertauta sejarah, lembaga
jaminan fidusia selanjutnya diatur dalam yurisprudensi dan telah mendapat pengakuan dalam
undang-undang. Fidusia adalah lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat yang
eksistensi dan perkembangannya selalu dikaitkan degan sistem civil law. Dalam hukum
Romawi, khususnya di bidang hukum perjanjian pada tingkat awal perkembangannya tidak
terdapat bentuk yuridis yang memadai untuk memberikan jaminan baik benda bergerak
maupun benda tidak bergerak karena hak gadai dan hipotik sebagai jaminan belum
berkembang. Sementara, kebutuhan masyarakat Romawi akan bentuk lembaga jaminan pada
saat itu sangat dirasakan dalam hubunganya dengan peminjaman uang sehingga praktik
menggunakan konstruksi hukum yang ada yaitu pemberian jaminan kebendaan oleh debitur
kepada kediturnya dengan pengalihan hak milik secara kepercayaan. Sistem hukum Indonesia
mempunyai hubungan yang erat dengan hukum Belanda karena adanya pertautan sejarah
yang didasarkan pada asas konkordansi (concordantie beginsel).

Fidusia adalah suatu istilah yang berasal dari hukum Romawi, yang memiliki dua pengertian
yakni sebagai kata benda dan kata sifat. Sebagai kata benda, istilah fidusia memiliki ari
seseorang yang diberi amanah untuk mengurus kepentingan pihak ketiga dengan itikad baik,
penuh ketelitian.bersikap hati-hati dan berterus terang. Sedangkan,kata sifat dalam istilah
fidusia menunjukkan pengertian tentang hal yang berhubungan dengan kepercayaan (trust).

Dalam bidang hukum, menurut hukum Romawi dikenal dua bentuk fidusia yaitu fiducia cum
creditore dan fiducia cum amico. Kedua bentuk fidusia tersebut timbul dari perjanjian yang
disebut pactum fiduciae kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio6. Dalam
pengertian fiducia cum creditore, seorang kreditur pemegang benda jaminan tidak dapat
bertindak seperti seorang pemilik benda7. Debitur percaya bahwa kreditur tidak akam
memiliki benda jaminan untuk selamanya dan akan memenuhi janjinya untuk
mengembalikan benda jaminan jika debitur tidak memenuhi kewajibannya. Adapun hakikat

6
Dr. H.Tan Kamelo, ”Hukum Jaminan Fidusia: Suatu Kebutuhan yang didambakan, (Bandung:
P.T.Alumni, 2004), hlm. 44-46.
7
Ibid.

3
hubungan fiducia cum creditore yang didasarkan pada moral, sangat sulit bagi debitur untuk
menuntut haknya melalui saluran hukum. Sementara, untuk fiducia cum amico, seseorang
menyerahkan kewenangannya kepada pihak lain atau menyerahkan suatu barang kepada
pihak lain untuk diurus.8

Beberapa pengertian Fidusia dalam pembagian terminologi, diantaranya9:

a. Dalam Bahasa Indonesia, Fidusia dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan istilah
“penyerahan hak milik secara kepercayaan”.

b. Dalam Bahasa Belanda, dalam terminologi Belandanya sering disebut dengan istilah
lengkapnya berupa Fiduciare Eigendoms Overdracht (FEO).

c. Dalam Bahasa Inggris, dalam bahasa Inggris secara lengkap sering disebut istilah
Fiduciary Transfer of Ownership.

Beberapa pengertian Fidusia menurut doktrin diantaranya10 :

a. Mahadi: “Fidusia” berasal dari bahasa latin yang artinya kepercayaan erhadap seseorang
atau sesuatu ,pengharapan yang besar. Sementara, terdapat kata “fido” merupakan kata
kerja yang berarti mempercayai seseorang atau sesuatu.

b. Subekti: Dalam fidusia terkandung kata “fides” berarti kepercayaan;pihak berhutang


percaya bahwa pihak berpiutang memiliki barangnya itu hanya untuk jaminan.Dan dalam
arti kata lain yaitu “fiduciair” adalah kepercayaan yang diberikan secara bertimbal balik
oleh satu pihak kepada yang lain bahwa apa yang keluar ditampakkan sebagai
pemindahan milik, sebenarnya (ke dalam,intern hanya suatu jaminan saja untuk suatu
hutang).

c. Asser Van Oven: “Zekerheids-eigendom” diartikan sebagai hak milik sebagai jaminan.

d. Blom: “Bezitloos zekerheidsrecht” diartikan sebagai hak jaminan tanpa penguasaan.

e. Kahrel: “Verruimd Pandbegrip” diartikan sebagai pengertian gadai yang diperluas

Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

8
Ibid.
9
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 3.
10
Dr. H.Tan Kamelo, Op. Cit., hlm. 39.

4
Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia,sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima
Fidusia terhadap kreditor lainnya. 11.

2.1.1 Menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

Pengertian berdasarkan Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF)
adalah:

Pasal 1 angka (1)

“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda.”

Pasal 1 angka (2)

“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun
yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia,
sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.”

Dari defenisi yang diberikan di atas, jelas bahwa fidusia dibedakan dari jaminan fidusia,
dimana fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan jaminan fidusia
adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. Ini berarti pranata jaminan fidusia yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 ini adalah pranata jaminan fidusia
sebagaimana dimaksud fiducia cum creditore contracta. Maksud dari fiducia cum creditore
contrata adalah janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditur, dikatakan bahwa kreditur
akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditur sebagai jaminan atas
hutangnya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan
tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah dibayar lunas.
Macamnya benda yang dapat dijadikan jaminan pelunasan utang disebutkan dengan jelas dan
tegas dalam pengertian jaminan fidusia. Namun benda yang kepemilikannya dialihkan
dinyatakan tetap berada dalam penguasaan “pemilik benda”, padahal kepemilikan dari benda
yang bersangkutan, telah beralih ke pihak lain walaupun bersifat sementara dan hanya
11
Ibid.

5
sebagai jaminan pelunasan utang. Untuk tidak menimbulkan salah penafsiran, menurut
pemulis seyogyanyalah dikatakan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan tetap pada
penguasaan “pemilik semula/sejati”.

Objek Fidusia
2.2. Objek dan Perkembangan Fidusia
Menurut sejarah hukum jaminan fidusia dan pendapat para ahli hukum antara lain Pitlo dan
A. Veenhoven bahwa pada prinsipnya semua benda baik benda bergerak maupun benda tidak
bergerak yang dapat diserahkan hak miliknya kepada orang lain dapat pula diserahkan hak
miliknya secara kepercayaan sebagai jaminan hutang melalui lembaga fidusia. Namun,
terkhusus untuk benda tidak bergerak sudah ada lembaga jaminannya sendiri yaitu hipotik
atau hak tanggungan yang tidak dimungkinkan dijaminkan melalui lembaga fidusia. Tetapi
meskipun sudah ada lembaga jaminan tersendirinya tetap masih memiliki relevansi untuk saat
ini, yang mendapat dukungan dari Mahkamah Agung dan hukum positif. Ada beberapa alasan
yag memperkuat, diantaranya12 :

1. Setiap benda tanah dan bukan tanah karena sifatnya bergerak atau tidak bergerak yang
secara yuridis dapat diserahkan kemilikannya kepada orang lain dapat pula diserahkan
sebagai jaminan hutang melalui jaminan fidusia.

2. Tanah sudah mendapat pengaturan hak jaminannya lewat lembaga hak


tanggungan,lembaga jaminan fidusia tidak dimungkinkan untuk itu. Pengikatan tanah
sebagai objek hak tanggungan memiliki pembatasan yaitu tanah-tanah yang sudah
memiliki bukti hak milik,hak guna bangunan,hak guna usaha dan hak paki.

3. Putusan MA No, 3216/K/Perd/1984 tanggal 28 Juli 1986 telah menetapkan bahwa


tanah berikut rumah yang ada diatasnya yang belum jelas status haknya dapat
difidusiakan.

4. Undang-Undang Jaminan Fidusia menyebutkan dengan tegas bahwa bangunan yang


tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah termasuk objek jaminan fidusia.

Jika meninjau kepada pembagian benda dalam hukum benda yang didasarkan pada UUPA
dan KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek), maka yang dapat dijadikan objek dalam fidusia
adalah benda bukan tanah (personal property) yang terbagi kedalam benda bergerak
(movable thing) dan benda tidak bergerak (immovable thing). Benda bergerak dan tidak
12
Dr. H.Tan Kamelo,S.H.,M.S.,Op.cit.,hal 221-223

6
bergerak masing-masing dibagi lagi kedalam benda terdaftar (registered) dan tidak terdaftar
(unregistered). Untuk masing-masing pembagian tersebut maka keduanya dapat
menggunakan jaminan fidusia. Tetapi, tidak menutup kemungkinan untuk benda tanah dalam
benda tidak bergerak yang juga dibagi kedalam terdaftar dan tidak terdaftar ,diantara
keduanya hanya benda tidak bergerak yang tidak terdaftar yang dapat menggunakan jaminan
fidusia13.

Menurut J. Satrio, pembagian objek Jaminan Fidusia yaitu14:

 Benda bergerak 
 Benda tidak bergerak 
 Khususnya yang berupa bangunan yang tidak dibebani dengan jaminan fidusia 
 Dan harus bisa dimiliki dan dialihkan 

2.2.1. Berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999

Berdasar pada apa yang telah diuraikan dalam sub judul tentang “pengertian” maka dapat
disimpulkan bahwa menurut pasal 1 angka (2) dan angka (4) yang dapat dijadikan objek
jaminan fidusia adalah benda apapun yang dapat dimiki, dan yang hak kepemilikannya dapat
ddialihkan.15 Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia, maka yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari
benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan
kendaraan bermotor. Tetapi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia ini, maka objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas.
Berdasarkan undang-undang ini, objek jaminan fidusia dibagi 2 macam, yaitu benda
bergerak, baik yang berujud maupun tidak berujud; dan benda tidak bergerak, khususnya
bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan.16

Menurut H. Salim HS, berdasarkan Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia tersebut, objek Jaminan Fidusia dibagi 2 (dua) macam yaitu :

1. Benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan, 

13
Dr. H.Tan Kamelo,S.H.,M.S.,Ibid.,hal181
14
J.Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002, hal.179.
15
Frieda Husni Hasbullah, Op. Cit., hlm 70.
16
RetnoWulandari,Jaminan Fidusia,
https://www.academia.edu/7432708/MAKALAH_JAMINAN_FIDUSIA_OLEH_RETNO_WULANDARI_113
00108, diakses pada Selasa, 4 Oktober 2016 pukul 5.35.

7
2. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani Jaminan  fidusia.
Yang dimaksud dengan bangunan di sini dalam kaitannya dengan bangunan rumah
susun, sebagaimana yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun. 17

Adapun yang dapat dijadikan obyek jaminan fidusia adalah sebagai berikut :

 Benda bergerak yang berwujud seperti benda dagangan, inventory (benda dalam
persediaan), peralatan mesin, kendaraan bermotor dll.;

 Benda bergerak yang tidak berwujud termasuk saham, piutang;

 Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan, misalnya
bangunan milik debitur yang berdiri di atas tanah milik orang lain atau tanah hak
pakai dari pihak lain.18

Pasal 2 Undang-undang Jaminan Fidusia memberikan batas ruang lingkup berlakunya


Undang-undang Jaminan Fidusia, yaitu berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan
untuk membebani benda dengan jaminan fidusia, yang dipertegas kembali oleh rumusan
yang dimuat dalam Pasal 3 Undang-undang Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa
Undang-undang Jaminan Fidusia ini tidak berlaku terhadap:

 Jaminan fidusia yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan
perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib
didaftar. Namun demikian, bangunan di atas milik orang lain yang tidak dapat dibebani
jaminan fidusia berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan dapat dijadikan objek jaminan fidusia. 

 Hipotik atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) m3 atau
lebih.

 Hipotik atas pesawat terbang, dan 

17

18
Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia-Kantor Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta,
Pelanggaran-pelanggaran Hukum dalam Perjanjian Kredit dengan Perjanjian Fidusia, http://www.kumham-
jogja.info/karya-ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/183-pelanggaran-pelanggaran-hukum-dalam-perjanjian-kredit-
dengan-jaminan-fidusia, diakses pada Selasa, 4 Oktober 2016 pukul 3.14.

8
 Gadai. 19

Lembaga jaminan fidusia sebagai suatu perjanjian accessoir dari perjanjian utang piutang
(perjanjian kredit) merupakan perkembangan dari lembaga jaminan gadai. Perbedaan
prinsipil antara lembaga jaminan gadai dengan lembaga jaminan fidusia terletak pada aspek
penguasaan atas obyek jaminannya. Pada lembaga gadai, obyek jaminan diserahkan dan
dikuasai oleh pihak penerima gadai (kreditur), sedangkan dalam perjanjian jaminan fidusia,
obyek jaminan tetap dikuasai oleh pihak pemberi fidusia (debitur). Perbedaan tersebut
merupakan kelebihan jaminan fidusia dibandingkan gadai karena obyek jaminan tetap dapat
dimanfaatkan oleh debitur untuk kegiatan usahanya.20

Perjanjian jaminan fidusia terdiri dari pihak-pihak yang dapat dikategorikan sebagai subjek
jaminan fidusia, yang diantaranya adalah pemberi fidusia dan penerima fidusia. Dalam Pasal
1 angka 5 dan 6 UUJF menyebutkan, bahwa: 

Pasal 1 angka 5 UUJF:

“Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang
menjadi obyek Jaminan Fidusia.”

  Pasal 1 angka 6 UUJF:

“Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang
yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia.”

Pemberi fidusia adalah debitur (pihak yang mempunyai utang) maupun pihak ketiga.
Sedangkan penerima fidusia adalah kreditur (pihak yang mempunyai piutang) yang bisa lebih
dari satu dalam rangka pembayaran kredit konsorsium sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 8
UUJF.21

19
Landasan Teori, Pengertian Jaminan Fidusia, Sifat, dan Pembebanan Menurut Hukum Undang-
undang, http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-jaminan-fidusia-sifat-dan.html, diakses pada Selasa,
4 Oktober 2016 pukul 5.42.
20
Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia-Kantor Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta,
Pelanggaran-pelanggaran Hukum dalam Perjanjian Kredit dengan Perjanjian Fidusia, http://www.kumham-
jogja.info/karya-ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/183-pelanggaran-pelanggaran-hukum-dalam-perjanjian-kredit-
dengan-jaminan-fidusia, diakses pada Selasa, 4 Oktober 2016 pukul 3.14.
21
 Eflin Rotua Sinaga, Pemberi Jaminan Fidusia Berkewarganegaraan Asing,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54b7532a142e7/pemberi-jaminan-fidusia-berkewarganegaraan-
asing, diakses pada Selasa, 4 Oktober 2016 pukul 6.00.

9
Benda yang menjadi obyek jaminan fidusia harus disebut dengan jelas dalam akta jaminan
fidusia, baik identifikasi benda tersebut maupun penjelasan surat bukti kepemilikannya dan
bagi benda inventory yang selalu berubah-ubah dan atau tetap harus dijelaskan jenis benda
dan kualitasnya. Jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis
benda, termasuk piutang baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang
diperoleh kemudian. Pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh kemudian
tidak perlu dilakukan dengan perjanjian tersendiri.

2.3 Ciri-Ciri Fidusia


 Accessoir
Timbulnya fidusia diawali dengan adanya suatu perjanjian pinjam-meminjam uang
atau hutang piutang sebagai perjanjian pokok. Kemudian sebagai jaminan pelunasan
hutang dibuatlah suatu jaminan tambahan (accessoir) yang berupa perjanjian dengan
jaminan fidusia tersebut. Jika perjanjian pokok hutang piutang sudah dilunasi, maka
secara otomatis jaminan fidusia berakhir. Oleh karena itu, lahir dan berakhirnya hak milik
berdasarkan kepercayaan tergantung pada perjanjian pokok.22 Pemberi fidusia percaya
bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan
setelah dilunasi hutangnya. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia
tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.23
Kedudukan perjanjian fidusia dikonstruksikan sebagai jaminan accessoir itu menjamin
kuatnya lembaga jaminan tersebut bagi keamanan kreditur. Dana sebagai perjanjian yang
bersifat accessoir yang lain, yaitu:24
 Adanya tergantung pada perjanjian pokok.
 Hapusnya tergantung pada perjanjian pokok.
 Jika perjanjian pokok batal, maka ikut batal.
 Jika perjanjian pokok beralih, maka ikut beralih.

 Jika perutangan pokok beralih karena cessi ataupun subrogasi, maka ikut beralih
juga tanpa adanya penyerahan khusus.

Adapun yang berpendapat bahwa penyerahan hak milik secara fidusia tidak memiliki
sifat accessoir tetapi berdiri sendiri, sehingga lahir dan berakhirnya fidusia tidak
22
Frieda Husni Hasbullah S.H.,M.H., Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi Jaminan
(Jakarta: Ind Hill-Co., 2009), 61-62.
23
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminann Fidusia (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2000), 119.
24
Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H., Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan (Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta, 2007), 37.

10
bergantung pada perjanjian pokok. Jika penyerahan hak milik secara fidusia akan diakhiri,
maka harus diadakan berbuatan hukum tersendiri yang menyatakan bahwa penyerahan
hak milik fidusia telah berakhir.25

 Sebagai Jaminan Pelunasan Hutang


Dalam fidusia, penyerahan hak milik atas benda berpindah bukan berarti menciptakan
hak milik sebenarnya melainkan hanya merupakan hak milik terbatas sampai
dilakukannya pelunasan hutang oleh debitur ke kreditur. Meskipun demikian, ada
perbedaan pendapat sebagai berikut:26
a. Pendapat lama (Zaman Romawi)
Penyerahan hak milik berdasarkan kepercayaan adalah hak milik yang sempurna
didasarkan pada pemikiran bahwa perjanjian fidusia merupakan perjanjian obligatoir.
b. Pendapat modern
Perjanjian penyerahan hak milik secara fidusia merupakan hak milik terbatas oleh
karenanya melahirkan hak jaminan dan bukan hak milik.
Perbedaan kedua pendirian tersebut terlihat jelas dalam hal pemberi fidusia
mengalami pailit, pendiri pertama menyatakan bahwa jika debitur mengalami pailit, maka
seluruh kekayaan debitur jatuh ke dalam budel pailit termasuk benda yang menjadi obyek
jaminan fidusia. Sedangkan menurut pendirian modern, jika debitur jatuh pailit, maka
benda obyek jaminan fidusia tidak termasuk dalam budel pailit. Kurator kepailitan tidak
berhak menuntut benda obyek jaminan fidusia dari kekuasaan pemberi fidusia.27

Dengan demikian, dikarenakan fidusia merupakan perjanjian accessoir, maka dengan


sendirinya mempunyai sifat hanya sebagai jaminan pelunasan hutang dalam perjanjian
pokok.28

 Constitutum Possessorium
Dalam perjanjian fidusia, benda tetap dikuasai debitur walaupun hak milik atas benda
tersebut telah berpindah ke kreditur. Oleh karenanya dinamakan penyerahan hak milik
dengan melanjutkan penguasaan atas benda jaminan (constitutum possessorium).29 Dalam
hal ini, terkait dengan ciri hak mutlak pada suatu benda yang dijaminkan, yaitu yang
mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan

25
Frieda Husni Hasbullah S.H.,M.H., Op. Cit. 62.
26
Ibid. Page 62-63.
27
Supianto S.H.,M.H., Op. Cit. 121-122.
28
Frieda Husni Hasbullah S.H.,M.H., Op. Cit. 62-63.
29
Ibid. Page 63.

11
kepada siapapun, selalu mengikuti bendanya (droit de suite), dan dapat diperalihkan.
Selain itu, juga pada hak kebendaan mengenal asas bahwa hak kebendaan yang lebih tua
(lebih dahulu terjadi) lebih diutamakan daripada hak kebendaan yang terjadi kemudian.30

 Droit de Preference
Fidusia merupakan hak milik terbatas yang berfungsi sebagai jaminan, secara
otomatis debitur yang jatuh pailit, maka benda yang dijaminkan tersebut tidak masuk ke
dalam boedelpailit. Dalam hal ini, Kurator Kepailitan tidak berhak menuntut benda yang
bersangkutan dari debitur sehingga kreditur mempunyai hak preferent karena dia
mempunyai kedudukan “separatist”. Dengan demikian, kreditur berhak menjual benda
fidusia sebagai jaminan pelunasan hutang debitur kepadanya lebih dulu dari kreditur lain. 31
Hasil penjualan benda-benda tersebut dibagi-bagi antara mereka bersama secara “ponds-
ponds gelijk” seimbang dengan besarnya piutang masing-masing. Kecuali jika undang-
undang untuk perjanjian mereka menetapkan lain, maka asas kesamaan (Pasal 1131, 1132
KUH Perdata) tersebut dapat dilanggar.32

Meskipun demikian, jika sekalipun Kurator Kepailitan menjual benda tersebut kepada
orang lain, maka hak kebendaan tersebut tetap ada (droit de suite). Selain itu, ditentukan
dalam Undang-Undang Kepailitan Pasal 56 bahwa para kreditur pemegang hipotik dan
gadai tergolong separatist, sehingga jika terjadi kepailitan pada debitur, hak dari
pemegang hipotik dan gadai itu pemenuhannya lebih diutamakan daripada yang lain, di
luar kepailitan atau seolah-olah tidak terjadi kepailitan.33

 Parate Execusi
Berkaitan dengan kedudukan “separatist” dan hak preferent yang dimiliki oleh
kreditur, maka kreditur selaku penerima fidusia berhak melakukan parate eksekusi dan
menagih piutangnya dari hasil penjualan benda yang dijaminkan tanpa executoriale titel.34

Lembaga jaminan fidusia mempunyai ciri-ciri dan sifat dari Jaminan Fidusia sebagaimana
diatur dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia antara lain sebagai
berikut:

30
Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H., Op. Cit. 46-47.
31
Frieda Husni Hasbullah S.H.,M.H., Op. Cit. 63.
32
Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H., Op. Cit. 47.
33
Ibid. Page 49.
34
Frieda Husni Hasbullah S.H.,M.H., Op. Cit. 63-64.

12
a. Memberikan kedudukan yang mendahului kepada kreditur penerima fidusia terhadap
kreditur lainnya (pasal 27 UUF). Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan
terhadap kreditur lainnya. Hak yang didahulukan dihitung sejak tanggal pendaftaran
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Hak yang
didahulukan yang dimaksud adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan
piutangnya atau hasil eksekusi benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan di tangan siapapun obyek itu berada (droit de
suite) (Pasal 20 UUF). Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek
Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas
benda persediaan yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan
memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 6
dan Pasal 11 UUF).
Untuk memenuhi asas spesialitas dalam ketentuan Pasal 6 UUF, maka akta jaminan
fidusia sekurang-kurangnya memuat :
 Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia ;
 Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia ;
 Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia ;
 Nilai penjaminan dan ;
 Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia ;

Asas Publisitas dimaksudkan dalam UUF untuk memberikan kepastian hukum,


seperti termuat dalam Pasal 11 UUF yang mewajibkan benda yang dibebani dengan
jaminan fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang terletak di Indonesia,
kewajiban ini bahkan tetap berlaku meskipun kebendaan yang dibebani dengan jaminan
fidusia berada di luar wilayah Republik Indonesia 35. Pendaftaran benda yang dibebani
dengan jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia, dan
pendaftarannya mencangkup benda, baik yang berada di dalam maupun diluar wilayah
Negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan
jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani
jaminan fidusia36.

35
Gunawan Widj aya dan Ahmad Yani, Op. Cit., Hlm. 139.
36
Ibid.

13
Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya (Pasal 29 UUF). Dalam hal debitor cidera janji,
pemberi fidusia wajib menyerahkan obyek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan
eksekusi. Eksekusi dapat dilaksanakan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial oleh
penerima fidusia.

2.4 Cara Mengadakan Fidusia

Tahapan terjadinya fidusia:37

I. Dilakukan perjanjian hutang piutang antara debitur dan kreditur. Debitur meminjam
uang dengan janji menyerahkan hak milik atas bendanya secara fidusia atas dasar
kepercayaan, sedangkan kreditur akan memberi pinjaman uang kepada debitur
sekaligus kreditur menjadi pemilik sementara atas benda yang dijaminkan sampai
debitur melunasi hutangnya. Dalam hal ini, timbul hak dan kewajiban yang bersifat
konsensual dan obligatoir, yaitu baru melahirkan hak yang bersifat persoonlijk.
II. Dilakukan penyerahan benda oleh debitur kepada kreditur yang sifatnya masih
abstrak karena benda tersebut masih dalam kekuasaan debitur. Penyerahan benda
tersebut dilakukan secara constitutum possessorium, yaitu penyerahan dengan
melanjutkan kekuasaan atas benda tersebut yang berarti benda memang tetap
dikuasai debitur meskipun hak miliknya telah berpindah kepada kreditur. Dalam
tahap ini telah terjadi suatu perjanjian kebendaan sehingga lahirnya suatu jaminan
kebendaan adalah sah.
III. Perjanjian pinjam pakai (bruiklening), yaitu antara debitur dan kreditur dilakukan
perjanjian bahwa kreditur selaku pemilik baru benda yang dijaminkan meminjam-
pakaikan hak milik atas benda yang masih dalam kekuasaan debitur kepada pemberi
fidusia tersebut atas dasar kepercayaan.

Dengan demikian, apabila debitur pada waktu yang telah ditentukan melunasi hutangnya
kepada kreditur, maka secara otomatis hak milik atas benda tersebut kembali ke tangan
debitur dan jaminan fidusia berakhir.

2.4.1 Kelemahan Fidusia Sebelum Berlakunya UU No. 42 Tahun 1999

 Tidak didaftarkan. Pada dasarnya, ketika perjanjian jaminan fidusia tidak


didaftarkan, maka tidak akan melahirkan hak kebendaan pula sehingga hak yang lahir
dari perjanjian tersebut merupakan hak perorangan yang bersumber dari perjanjian

37
Ibid. Page 64-65.

14
obligatoir.38 Dengan tidak didaftarkannya benda jaminan fidusia dapat mengakibatkan
adanya ketidakpastian hukum, khususnya bagi pihak ketiga yang jujur dan bermaksud
memilikinya namun tidak mengetahui dengan pasti apakah benda yang berada dalam
kekuasaan bezitter atau debitur sudah dijaminkan fidusia atau belum. Selain itu, tidak
ada perlindungan hukum kepada penerima fidusia karena benda yang dijaminkan
tetap ditangan pemberi fidusia. Jika kreditur menerima jaminan fidusia dari debitur
yang tidak jujur, maka yang dilindungi bukanlah kreditur melainkan adalah debitur
sebagai pemilik sebenarnya (awal) benda yang bersangkutan.39 Oleh karena itu,
pendaftaran jaminan fidusia harus diadakan, untuk menjamin kepastian hukum kepada
para pihak yang berkepentingan dan memberikan hak yang didahulukan (preferen)
kepada kreditur terhadap kreditur lain.40
 Tidak ada asas publisitas dan spesialitas. Tidak didaftarkannya benda jaminan
fidusia dan pencatatannya dalam Buku Daftar Fidusia mengakibatkan pihak ketiga
atau masyarakat pada umumnya tidak mengetahui bahwa suatu benda telah dijadikan
jaminan fidusia pada pihak lainnya.41 Prinsip publisitas dalam jaminan fidusia kepada
Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF) “benda yang dibebani dengan jaminan fidusia
wajib didaftarkan”. Dengan adanya pendaftaran tersebut, semua keterangan atau
informasi mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang ada pada Kantor
Pendaftaran Fidusia bersifat terbuka untuk umum.42 Sebab jaminan terpenting dari
proses jaminan fidusia adalah pembebanan jaminan fidusia dan pendaftaran akta
jaminan fidusia.43
 Kemungkinan penyalahgunaan benda jaminan. Debitur dapat melakukan tindakan
yang tidak terpuji atas benda jaminan fidusia karena benda tersebut masih dikuasainya
walaupun hak milik sudah beralih ke kreditur selaku penerima fidusia. Maka dapat
dikatakan bahwa debitur memiliki kekuasaan yang tidak terbatas, misalnya
mengadakan fidusia ulang atau mengalihkannya ke pihak lain.44
 Penyusutan atau berkurangnya nilai benda jaminan. Nilai obyek jaminan fidusia
dapat mengalami penyusutan baik karena intensitas pemakaian oleh debitur ataupun

38
Supianto, Hukum Jaminan Fidusia dan Prinsip Publisitas Pada Jaminan. (Garudhawaca, 2015), hlm.
115.
39
Frieda Husni Hasbullah, Op. Cit. hlm. 65-66.
40
Supianto, Op. Cit. hlm. 18.
41
Frieda Husni Hasbullah, Op. Cit. hlm. 66.
42
Supianto, Op. Cit. hlm. 18.
43
Ibid. Page 19.
44
Frieda Husni Hasbullah, Op. Cit., hlm. 66.

15
karena jangka waktunya yang kurang diperhitungkan. Akibatnya, nilai atau harga
benda tersebut sudah tidak sesuai dengan perhitungan jumlah hutang yang seharusnya
dikembalikan oleh debitur ke kreditur. Dengan demikian, keadaan tersebut sangat
merugikan kreditur dalam hal ini debitur melakukan wanprestasi atau tidak sanggup
membayar hutangnya pada waktu yang telah ditentukan. Hal ini berarti, kreditur yang
nota bene adalah pemilik baru benda yang dijaminkan tersebut memperoleh haknya
tidak sesuai dengan jumlah piutangnya kepada debitur.45
 Mengalami kesulitan dalam pelaksanaan eksekusinya. Apabila debitur
wanprestasi, maka kreditur akan mengalami kesulitan untuk melaksanakan eksekusi
sehubungan disamping benda tersebut masih dikuasai oleh debitur dan juga tidak
adanya ketentuan yang mengatur tentang lembaga eksekusi jaminan fidusia yang
memberi hak kepada penerima fidusia untuk melakukan parate eksekusi. 46 Terhadap
perjanjian yang memberikan jaminan fidusia di bawah tangan, maka tidak dapat
dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan melalui pengajuan gugatan
perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang formal hingga
turunnya putusan pengadilan.47

2.5 Azas-azas Fidusia


Dalam UUJF, pembentuk undang-undang tidak mencantumkan secara tegas asas-asas hukum
jaminan fidusia yang menjadi fundamen dari pembentukan norma hukumnya namun
sebenarnya asas hukum jaminan fidusia dapat ditemukan dalam pasal-pasal dari UUJF. Azas-
azas hukum jaminan fidusia yang terdapat dalam UUJF adalah:48

 Asas “droit de preference”. Kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur


yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal
1 angka 2 lebih lanjut UUJF tidak memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud
dengan kreditur yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainya.namun dibagian lain
yakni Pasl 27 UUJF dijelaskan pengertian tentang hak yang didahulukan terhadap
kreditu-kreditur lainnya. Hak yang didahulukan adalah hak penerima fidusia untuk

45
Ibid. Page 66-67.
46
Ibid. Page 67.
47
Achmad Imam Ghozali, “Eksekusi terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia dengan Akta di Bawah
Tangan”, Hukum Online, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17783/eksekusi-terhadap-benda-objek-
perjanjian-fidusia-dengan-akta-di-bawah-tangan, Accessed on October 6, 2016 at 02.00 p.m.
48
Pengadilan Negeri Lubuklinggau, Workshop Pembahasan Undang-undang No. 42 Tahun 1999
Tentang Fidusia. http://pn-lubuklinggau.go.id/index.php/berita/berita-pengadilan/berita-terkini/244-fidusia,
diakses pada Selasa, 4 Oktober 2016 pukul 6.16.

16
mengambil pelunasan piutannya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek
jaminan fidusia.

 Asas “droit de suite”. Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek
jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada. Dalam ilmu huku asas
ini disebut dengan “droit de suite”. Pengakuan asas ini dalam UUJF menunjukkan
bahwa jaminan fidusia merupakan hak kebendaan (zakelikrecht) dan bukan hak
perorangan (persoonlijkrecht) Dengan demikian, hak jaminan fidusia dapat
dipertahankan terhadap siapapun juga dan berhak untuk menuntut siapa saja yang
menggangu hak tersebut. Hak perseorangan tidak memiliki karakter droit de suite.
Dalam karakter droit de suite terdapat prinsip hak yang tua didahulukan dari hak yang
muda. Hal ini berarti apabila terdapat beberapa hak kebendaan diletakkan atas sesuatu
benda, kekuatan hak itu ditentukan oleh urutan waktunya. Pengakuan asas bahwa hak
jaminan fidusia mengikuti bendanya dalam tangan siapapun benda itu berada
memberikan kepastian hukum bagi kreditur pemegang jaminan fidusia untuk
memperoleh pelunasan hutang dari hasil penjualan objek jaminan fidusia apabila
debitur peebri jamina fidusia wanprestasi. Kepastian hukum atas hak tersebut bukan
saja benda jainan fidusia masih berada pada debitur pemberi jaminan fidusia bahkan
ketika benda jaminan fidusia itu telah berada pada pihak ketiga. Hak kebendaan
jaminan fidusia baru lahir pada tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam bukum
daftar fidusia. Karena itu konsekuensi yuridis adalah peberlakukan asas droit de suite
baru diakui sejak tanggal pencatatan jaminan fidusia dalam daftar fidusia. Maksud
penegasan ini tidak lain adalah kalau jaminan fidusia tidak dicatatkan dalam buku
daftar fidusia berarti hak jaminan fidusia bukan merupakan hak kebendaan melainkan
memiliki karakter hak perseorangan. Akibatnya, bagi pihak ketiga adalah tidak
dihormatinya hak jaminan fidusia dari kreditur pemegang jaminan fidusia. Sebagai
konsekuensinya apabila terjadi peralihan benda jaminan fidusia, kreditur pemegang
jaminan fidusia tidak dapat dilindungi berdasrkan asas droit de suite. Dengan kata
lain, kreditur pemegang jaminan fidusia berkedudukan sebagai kreditur konkuren
bukan kreditur preferen.

 Asas asesoritas. Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang lazim disebut asa
asesoritas. Asas ini mengandung arti bahwa keberadaan jaminan fidusia ditentukan
oleh perjanjian lain yakni perjanjian utama atau perjanjian principal. Perjanjian utama

17
bagi jaminan fidusia adalah perjanjian hutang-piutang yang lmelahirkan hutag yang
dijain dengan jaminan fidusia. Dalam UUJF, asas tersebut secara tegas dinyatakan
bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok.
Sesuai dengan sifat assesor ini, berarti hapusnya jaminan fidusia juga ditentuka oleh
hapusnya hutang atau karena pelunasan hak atas jaminan fidusia oleh kreditor
penerima jaminan fidusia.

 Asas spesialitas atau pertelaan. Bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara
detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia. Subjek jaminan fidusia berisikan
uraian secara detail terhadap subjek jaminan fidusia. Subjek jaminan fidusia yang
dimaksud adalah identitas para pihak yakni pemberi dan penerima kaian fidusia,
sedangkan ojek jaminan yg dimaksudkan adalah data perjanjian pokok yng
dijaminkan fidusia, uraian mengenai benda jaminan fidusia, nilai penjaminan dan
nilai benda yang menjadi objek jaminan. Dalam ilmu hukum disebut asas spesialitas
atau pertelaan.

 Asas publikasi. Jaminan Fidusia harus didaftar ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Dalam
ilmu hukum disebut asas Publikasi. Dengan diberlakukannya pendaftaran akta
jaminan fidusia, berarti perjanjian fidusia lahir dan momentum tersebut menunjukkan
perjanjian jaminan fidusia adalah perjanjian kebendaan. Asas publikasi juga
melahirkan adanya kepastian hukum dari jaminan fidusia.

 Asas pendakuan, Benda yag dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki
oleh kreditur penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan. Jaminan
Fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditur penerima fidusia yang terlebih
dahulu mendaftar ke Kantor Fidusia daripada kreditur yang mendaftarkan kemudian.

 Asas itikad baik, Pemberi fidusia harus mempunyai itikad baik. Asas itikad bbaik
disini memiliki arti subjektif sebagai kelanjutan bukan arti objektif seagai kepatuhan
seperti sebagai kepatuhan seperti dalam hukum perjanjian. Dengan asas ini
diharapkan bahwa pemberi jaminan fidusia wajib memelihara benda jaminan, tidak
mengalihkan, menyewakan dan menggadaikan kepada pihak lain.

 Asas jaminan fidusia mudah dieksekusi, Kemudahan pelaksanaan eksekusi jaminan


fidusia dilakukan dengan mencantumkan irah-irah: Demi Keadilan Berdasarkan

18
Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sertifikat jaminan fidusia. Dengan titel eksekutoril
ini menimbulkan konsekuensi yuridis bahwa jaminan fidusia mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.

2.6 Terjadinya Jaminan Fidusia Berdasarkan UU No. 42 Tahun 1999 (UUJF)

Hak Jaminan Fidusia dapat terjadi melalui proses atau tahap tahap :

 Antara pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia dilakukan janji untuk serah terima
benda sebagai Jaminan Fidusia yang dicantumkan dalam perjanjian pinjam meminjam
uang sebagai perjanjian pokok. Janji ini sifatnya konsensual obligatoir , oleh karena
itu masih merupakan hak perorangan.
Secara umum, perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok:
1) Perjanjian Obligatoir
2) Non Obligatoir

Perjanjian obligatoir yang disebut diatas adalah perjanjian yang mewajibkan


seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu, sedangkan perjanjian
konsensus adalah  suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak4950

 Kemudian dilakukan Perjanjian Pembebanan atau pemberian jaminan Fidusia.


Pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan Akta Notaris dalam
Bahasa Indonesia dan hal ini disebut sebagai Akta Jaminan Fidusia ( Pasal 5 ayat 1).
Dalam Akta Jaminan Fidusia ini selain dicantumkan hari dan tanggal, juga
dicantumkan mengenai waktu(jam) pembuatan Akta tersebut.
 Sebagai tahap terakhir, pendaftaran benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia
dilakukan di Kantor Pendafraran Fidusia (pasal 11 dan 12).

Selanjutnya Kantor Pendaftaraan Fidusia tersebut akan mencatat Jaminan Fidusia dalam
buku Daftar fidusia (pasal 13 ayat 3). Dengan dicatatnya Jaminan Fidusia tersebut dalam
Buku Daftar Fidusia , maka sejak tanggal itu pula Jaminan Fidusia lahir ( pasal 14 ayat 3).

2.7 Eksekusi Jaminan Fidusia Berdasarkan UU No. 42 Tahun 1999 (UUJF)

49
Wibowo Tunardy, Jenis-jenis Perjanjian, http://www.jurnalhukum.com/jenis-jenis-perjanjian/,
diakses pada 5 oktober 2016 pukul 7.30.
50
Damang Averroes Al-Khawarizmi. Jenis-jenis Kontrak, http://www.negarahukum.com/hukum/jenis-
jenis-kontrak.html, diakses pada 5 oktober 2016 pukul 7.34.

19
Berdasar Pada Undang-Undang No.42 Tahun 1999, Jaminan Fidusia dapat dieksekusi :

 Pasal 15 ayat 2 , dimana eksekusi langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan
dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
 Pasal 15 ayat 3 , dimana penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.
 Pasal 29 Bab 5 mengenai Eksekusi Jaminan Fidusia, ditentukan :
Ayat 1 : Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara :
d. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh
Penerima Fidusia
Pasal 15 ayat 2 : Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 15 ayat 1 : Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA"
e. Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima
Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan.
f. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan
Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan para pihak.

Ayat 2 : Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilakukan
setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh Pemberi dan
Penerima Fidusia kepada pihak-pibak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya
dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.

 Pasal 30 Bab 5 mengenai Eksekusi Jaminan Fidusia, ditentukan: Pemberi Fidusia wajib
menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan
eksekusi Jaminan Fidusia.

 Pasal 31 Bab 5 mengenai Eksekusi Jaminan Fidusia, ditentukan: Dalam hal Benda yang
menjadi objek Jamiman Fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat

20
dijual di pasar atau di bursa, penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 Pasal 32 Bab 5 mengenai Eksekusi Jaminan Fidusia, ditentukan: Setiap janji untuk
melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dengan cara
yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31
(Pasal Atas) , batal demi hukum.

 Pasal 33 Bab 5 mengenai Eksekusi Jaminan Fidusia, ditentukan: Setiap janji yang
memberi kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk memiliki Benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia apabila debitor cidera janji, batal demi hukum. Ketentuan ini untuk
melindungi Pemberi Fidusia karena adakalanya nilai hasil eksekusi benda yang
dijaminkan lebih besar dari jumlah utang Pemberi Fidusia kepada Penerima Fidusia.

 Pasal 34 Bab 5 mengenai Eksekusi Jaminan Fidusia, ditentukan :

Ayat 1 : Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, Penerima Fidusia wajib
mengembalikan kelebihan tersebut kepada Pemberi Fidusia.

Ayat 2 : Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang debitor tetap
bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.

Kesimpulan dalam pasal 34 ini menerangkan bahwa Penerima Fidusia wajib


mengembalikan kelebihan pada pemberi fidusia. Namun apabila hasil eksekusi tidak
mencukupi untuk pelunasan hutang, maka pemberi Fidusia (debitur) tetap bertanggung
jawab atas hutang yang belum dibayar.51

2.8 Hapusnya Jaminan Fidusia berdasar UU No. 42 Tahun 1999 (UUF)

Jaminan Fidusia berdasar pasal 4 merupakan perjanjian ikutan ( accesoir) dari suatu
perjanjian pokok, maka dengan sedirinya atau demi hukum jaminan Fidusia akan hapus
dengan hapusnya hutang pokok.

Pasal 4 Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dan suatu perjanjian pokok yang
menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.

Berdasar Bagian Keempat tentang Hapusnya Jaminan Fidusia pasal 25 , disebutkan :


51
Frieda Husni Hasbullah. Hukum kebendaan perdata ( hak hak yang memberi jaminan jilid 2) . hlm88

21
 Ayat 1: Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut: (a) hapusnya utang yang
dijamin dengan fidusia; (b) pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia;
atau (c) musnahnya Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
 Ayat 2: Musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak menghapuskan
klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b: Jaminan Fidusia meliputi
klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia diasuransikan.
 Ayat 3: Penerima Fidusia memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai
hapusnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan melampirkan
pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan hak, atau musnahnya Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia tersebut.
Berdasar Bagian Keempat tentang Hapusnya Jaminan Fidusia pasal 26 , disebutkan :

 Ayat 1: Dengan hapusnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan Jaminan Fidusia dan Buku Daftar
Fidusia.

 Ayat 2: Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan yang menyatakan


Sertifikat Jaininan Fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi.

2.9 Ketentuan Pidana dan Ketentuan Peralihan Jaminan Fidusia berdasar UU No. 42
Tahun 1999 (UUF)

o Ketentuan Pidana
Dengan adanya ancaman pidana, maka Fidusia sebagai salah satu lembaga Jaminan
diharapkan dapat berfungsi sebagai suatu lembaga Jaminan yang ideal yang memberikan rasa
aman dan merupakan dambaan bagi setiap orang yang berkepentingan.52

 Berdasar Bab 6 Ketentuan Pidana pasal 35, disebutkan:


Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan
cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui
oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,-
(seratus juta rupiah).

52
Ibid. Hlm 91.

22
 Berdasar Bab 6 Ketentuan Pidana pasal 36, disebutkan:
Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang
dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta) rupiah.

Pasal 23 ayat 2 : Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau


menyewakan kepada pihak lain Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang tidak
merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari
Penerima Fidusia.

o Ketentuan Peralihan
Ketentuan Peralihan ini dimaksudkan untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum
terhadap Jaminan Fidusia yang telah ada selama ini yang didasarkan pada Yurisprudensi ,
juga untuk mengantisipasi akibat hukum yang ditimbulkan sesdah berlakunya UUF.53

 Berdasar Bab 7 Ketentuan Pidana pasal 37, disebutkan :


Ayat 1: Pembebanan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang telah ada sebelum
berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-undang ini.
Ayat 2: Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak
berdirinya Kantor Pendaftaran Fidusia, semua perjanjian Jaminan Fidusia harus sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-undang ini, kecuali ketentuan mengenai kewajiban
pembuatan akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
Pasal 5 ayat 1: Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris
dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia.
Ayat 3: Jika dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dilakukan
penyesuaian, maka perjanjian Jaminan Fidusia tersebut bukan merupakan hak agunan atas
kebendaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.
 Berdasar Bab 7 Ketentuan Pidana pasal 38, disebutkan:
Sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini, semua
peraturan perundang-undangan mengenai fidusia tetap berlaku sampai dengan dicabut,
diganti, atau diperbaharui.54
53
Frieda Husni . loc.cit .
54
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_42_99.html

23
BAB 3
ANALISIS PUTUSAN

3.1    Kasus Posisi


Budi Rohendi (Penggugat) sepakat melakukan Perjanjian Pembiayaan Konsumen
dengan PT. Federal International Finance cabang Subang (Tergugat) untuk memberi dan
menerima utang/piutang fasilitas pembayaran dengan Jaminan Fidusia. Barang yang
dijaminkan oleh Penggugat ialah kendaraan miliknya. Pada tanggal 7 Maret 2014, Tergugat
mengambil secara paksa kendaraan milik Penggugat yang dijadikan jaminan. Dalam hal ini,
Penggugat dengan kuasa hukumnya mendalilkan bahwasanya perbuatan Tergugat selaku
kreditur telah melanggar ketentuan Undang-Undang  No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia artinya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat dan ditandatangani oleh debitur dan
kreditur sebagai Perjanjian Accessoir (ikutan) yang tidak disesuaikan dengan ketentuan
Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sehingga tidak melahirkan
perjanjian fidusia serta  dalam hal  ini Tergugat didalilkan melakukan Perbuatan Melawan
Hukum (PMH) terhadap Penggugat. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Subang menolak
gugatan tersebut dan ketika banding diajukan ke Pengadilan Tinggi Bandung, Majelis Hakim
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Subang dengan mengabulkan gugatan PT. Federal
International Finance.

3.2    Penilaian Keabsahan Perjanjian dengan Jaminan Fidusia dan Conservatoir Beslag
Menurut hemat penulis, penggugat, Budi Rohendi (yang selanjutnya disebut “Budi”),
mengajukan gugatan dengan dalil bahwa telah terjadi kesepakatan antara Budi Rohendi
dengan PT. Federal International Finance (yang selanjutnya disebut “PT. FIF”) mengenai
utang/piutang fasilitas pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia. Berangkat dari dalil
gugatan yang diajukan Budi, pada dasarnya, sudah terjadi ketidaksesuaian antara fakta yang
diungkapkan Budi dengan PT. FIF dalam Konvensi poin nomor 4 Putusan No.

24
102/Pdt/2015/PT.BDG. Sejak awal para pihak tidak pernah menyepakati adanya perjanjian
jaminan fidusia (perjanjian accessoir) terhadap perjanjian pokok utang-piutang atas fasilitas
pembiayaan konsumen. PT. FIF menyatakan bahwa yang terjadi adalah kesepakatan untuk
melakukan Perjanjian Pembiayaan Konsumen dengan nomor perjanjian 308000585112,
tertanggal 4 Juni 2012 yang sah sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Budi
sebagai penggugat yang mendalilkan perjanjian jaminan fidusia juga tidak dapat
membuktikan keberadaan Akta Jaminan Fidusia, sebagai syarat sahnya jaminan fidusia
menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Oleh karena itu,
perjanjian jaminan fidusia dianggap tidak pernah lahir karena tanpa adanya Akta Jaminan
Fidusia, benda yang menjadi jaminan fidusia itu sendiri tidak dapat dicatatkan pada Buku
Daftar Fidusia (pasal 13 ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999). Berdasarkan fakta yang
diungkapkan PT. FIF maka perjanjian jaminan fidusia ini memang tidak pernah disepakati di
antara para pihak. Secara otomatis, UU No. 42 Tahun 1999 tidak dapat dijadikan dasar
gugatan dalam konteks perkara ini.
Pada perkara ini, PT. FIF menegaskan bahwa Perjanjian Pembiayaan Konsumen yang
disepakati dengan Budi merupakan perjanjian dengan jaminan umum. Berdasarkan ketentuan
Pasal 1131 KUHPerdata, seluruh harta kekayaan debitur baik benda bergerak maupun tidak
bergerak, benda yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi
jaminan atas utang-utangnya. Atas perjanjian dengan jaminan umum ini, menurut ketentuan
Pasal 1134 KUHPerdata, terdapat pula hak istimewa yakni suatu hak yang oleh undang-
undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang
berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
Mengacu pada ketentuan-ketentuan pasal yang diatur dalam KUHPerdata, tindakan PT.
FIF mengambil motor Honda /NF 125 TR M/T milik Budi adalah sah karena hal tersebut
dilakukan sebagai upaya melaksanakan kesepakatan yang tertera dalam Perjanjian
Pembiayaan Konsumen nomor perjanjian 308000585112, tertanggal 4 Juni 2012, berdasarkan
ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, asas pacta sunt servanda (perjanjian yang dibuat para
pihak berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian
tersebut).
PT. FIF juga memiliki hak istimewa untuk mengambil motor Budi sebagai barang
jaminan untuk pelunasan hutangnya. Hak istimewa ini mendahulukan PT. FIF sebagai
kreditur dibandingkan Irvan SS sebagai kreditur lain dari perjanjian gadai antara Budi dengan
Irvan. Karena ternyata ditemukan fakta bahwa Budi telah menggadaikan sepeda motornya
kepada Irvan dan yang bersangkutan telah berbohong pada dalil gugatannya di poin 3

25
sehingga hak istimewa PT. FIF untuk mengambil motor tersebut patut didahulukan. Selain
itu, motor yang diambil oleh PT. FIF jelas bukan merupakan benda jaminan fidusia
melainkan jaminan umum sehingga tidak ada ketentuan dalam UU Fidusia yang berlaku dan
mengikat para pihak.
Terkait permohonan Budi agar Pengadilan Negeri Subang melakukan sita jaminan
(conservatoir beslag) terhadap barang sengketa yakni: 1 unit sepeda motor tidak dapat
dibenarkan. Conservatoir beslag merupakan penyitaan barang milik seorang berhutang
(debitur) yang diajukan si berpiutang (kreditur) menjelang akan dilakukan penuntutan ke
pengadilan guna pengamanan sementara barang-barang tersebut karena debitur telah
melakukan wanprestasi yaitu tidak membayar hutangnya pada saat yang sudah ditentukan.
Permohonan kreditur untuk menyita barang yang dikuasai debitur, dapat dikabulkan bila
dikhawatirkan debitur berusaha menyembunyikan atau melarikan barang-barangnya dengan
maksud membebaskannya dari beban eksekusi (Pasal 227 HIR/RIB, Pasal 261 RBg).
Dalam kasus ini, tidak seharusnya conservatoir beslag diajukan oleh Budi selaku
debitur karena ia adalah pihak yang sebenarnya telah melakukan wanprestasi (cidera janji).
Tindakan Budi telah merugikan PT. FIF selaku pihak kreditur. Oleh karena itu, pihak yang
berhak mengajukan conservatoir beslag seharusnya adalah PT. FIF, dengan mengajukan
permohonan kepada hakim agar barang-barang Budi disita untuk memudahkan proses
eksekusi. Permohonan penyitaan barang oleh Budi tidak memiliki tujuan yang jelas dan
sekedar berupaya mencari keuntungan saja. Sedangkan conservatoir beslag yang diajukan
PT. FIF terhadap rumah Budi dapat dibenarkan, dengan alasan Budi telah melanggar janji
untuk melunasi utang pada PT. FIF dan penyitaan tersebut dilakukan agar gugatan rekonvensi
yang diajukan PT. FIF tidak sia-sia atau illusoir.

3.3 Pembuktian Dalil Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) pada Tergugat dan
Wanprestasi pada Penggugat

Perbuatan Melawan Hukum pada Tergugat


Menurut R. Wirjono Projodikoro, perbuatan melawan hukum diartikan sebagai perbuatan
melanggar hukum ialah bahwa perbuatan itu mengakibatkan kegoncangan dalam neraca
keseimbangan dari masyarakat.55 Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud
dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan
oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.

55
R. Wirjono Projodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung : Sumur,19940, hlm. 13.

26
Adapun menurut ketentuan 1365 KUHP Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang
dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum ialah:56

1. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig).


2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.
3. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan (kelalaian).
4. Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.

Salah satu unsur PMH adalah bahwa, perbuatan tersebut harus melawan hukum
(onrechtmatig) adalah berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban
hukum si pelaku, melanggar hak subjektif orang lain serta bertentangan dengan kesusilaan
maupun sifat berhati-hati, kepantasan dan kepatutan dalam lalu lintas masyarakat.

Dalam kaitannya dengan Putusan Nomor 102/Pdt/2015/PT.BDG, maka perbuatan


melawan hukum yang dilakukan oleh PT. Federal International Finance Cq. Pt Federal
International (PT. FIF) sebagaimana hal tersebut didalilkan oleh penggugat (Budi) tidak
terpenuhi. Pendapat PT. FIF tidak memenuhi unsur-unsur perbuatan itu harus melawan
hukum (onrechtmatig) didasari dengan beberapa dasar argumen.

Pertama. Perbuatan PT FIF dalam melakukan penyitaan tidak bertentangan dengan


kewajiban hukum tergugat ataupun melanggar hak subjektif penggungat. Hal ini dikarenakan
Perjanjian Pembiayaan Konsumen dengan Penggugat yang merupakan perjanjian yang sah
dan mengikat kedua belah pihak sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu
Perjanjian Pembiayaan Konsumen. Sehingga perbuatan untuk melakukan penyitaan bukanlah
hal yang melanggar kewajibannya. Sebagai pengguat, dalam ekespsi tergugat yang
menyatakan merupakan suatu hal yang wajar jika di dalam kehidupan bermasyarakat timbul
suatu hubungan hutang-piutang dimana hak serta kewajiban masing-masing pihak seketika
juga timbul atas hal tersebut sebagaimana juga begitu wajarnya ketika pihak berpiutang
menagih hutang-hutang pada pihak yang berhutang karena telah menunggak atau melalaikan
kewajibannya membayar hutang selama berbulan-bulan. Sehingga dengan demikian
perbuatan penyitaan oleh PT FIF tidak melanggar baik kewajiban hukum tergugat maupun
melanggar hak subjektif penggugat.

Kedua, meskipun perjanjian fidusia, seperti yang didalilkan penggugat tidak terpenuhi,
dan layaknya batal demi hukum dikarenakan jaminan tersebut belum didaftarkan. Namun,

56
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) ,
hlm. 21.

27
seperti yang penulis paparkan sebelumnya jaminan umum berlaku dan menyertai dalam
perjanjian pokok. Sehingga perbuatan PT. FIF menyita objek sengketa adalah sebagai
kapasitasnya untuk menyita objek jaminan umum.

Ketiga, perbuatan penyitaan jaminan itu telah didahului oleh wanprestasi yang dilakukan
oleh Budi, yang akan penulis jelaskan pada bagian selanjutnya. Dengan demikian perbuatan
melawan hukum, yang dilakukan oleh PT. FIF sebagaimana hal tersebut didalilkan oleh Budi,
tidak tepat.

Wanprestasi Penggugat

Wirjono Prodjodikoro, mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi


didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu
perjanjian. Barangkali daslam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk
prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi”.57 Menurut M.Yahya
Harahap “wanprestasi” dapat dimaksudkan juga sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak
tepat pada waktunya atau dilaksanakan tidak dengan selayaknya.58

R. Subekti mengemukakan bahwa “wanprestsi” itu asalah kelalaian atau kealpaan yang dapat
berupa 4 macam yaitu:59

1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.


2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana yang
diperjanjikan.
3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,
4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.

Seseorang dapat dikatakan wanprestasi adalah apabila ia telah lalai melakukan prestasinya.
Dalam hal yang demikian itu, untuk mengetahui lalainya seseorang dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata :

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap
lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

57
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur, 1966), hlm. 17.
58
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 60.
59
R.Subekti, Hukum perjanjian Cet.ke-II,(Jakarta: Pembimbing Masa, 1970), hlm. 50 .

28
Pasal ini menerangkan bahwa wanprestasi itu dapat diketahui dengan 2 cara, yaitu sebagai
berikut:60

1. Pemberitahuan atau somasi, yaitu apabila perjanjian tidak menentukan waktu tertentu
kapan seseorang dinyatakan wanprestasi atau perjanjian tidak menentukan batas
waktu tertentu yang dijadikan patokan tentang wanprestasi debitur, harus ada
pemberitahuan dulu kepada debitur tersebut tentang kelalaiannya atau
wanprestasinya.
2. Sesuai dengan perjanjian, yaitu jika dalam perjanjian itu ditentukan jangka waktu
pemenuhan perjanjian dan debitur tidak memenuhi pada waktu tersebut, dia telah
wanprestasi.

Didalam suatu transaksi kredit angsuran atau dalam hal ini perjanjian hutang – piutang sudah
menjadi hal umum, adanya termin batasan waktu pembayaran perbulan. Sehingga dalam
kaitannya dengan kasus Budi vs. PT FIF, maka dapat diketahui bahwa lalainya Budi adalah
ketika prestasi tidak dipenuhi pada ketetapan waktu tersebut, tanpa perlu adanya somasi.
Bahwa fakta-fakta hukum di pengadilan menunjukan bahwa Budi telah menunggak atau
melalaikan kewajibannya membayar hutang selama berbulan-bulan.61 Sehingga seperti yang
didalilkan oleh PT FIF, perbuatan lalai dari Budi adalah benar.

Hal yang kemudian didalilkan oleh Budi untuk kembali menggungat PT FIF di tingkat
banding adalah bahwa perjanjian Fidusia yang menyertai perjanjian pokok batal demi hukum,
sehingga tindakan PT FIF melakukan penyitaan barang adalah melawan hukum. Perlu di
ketahui sifat dari perjanjian fidusia adalah assessoir (perjanjian buntutan), maksudnya
perjanjian fidusia ini tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti membuntuti perjanjian
lainnya yang merupakan perjanjian pokok yaitu perjanjian hutang piutang. Oleh karena itu
konsekuensi dari perjanjian assesoir ini adalah bahwa jika perjanjian pokok tidak sah, maka
secara hukum perjanjian fidusia sebagai perjanjian assesoir juga ikut menjadi batal. Namun,
meskipun perjanjian assesoir batal namun hal tersebut, belum tentu akan membatalkan
perjanjian pokok.62

Perjanjjian pokok para pihak dalam hal ini Perjanjian Pembiayaan Konsumen merupakan
perjanjian yang sah dan mengikat kedua belah pihak sesuai dengan ketentuan Pasal 1320

60
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW,
(Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2008), hlm. 8.
61
Putusan Nomor 102/Pdt/2015/PT.BDG, hlm. 8.
62
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.19.

29
KUHPerdata, yaitu Perjanjian Pembiayaan Konsumen, namun seperti yang penulis paparkan
meskipun dengan perjanjian fidusianya batal demi hukum, tidak sama sekali membatalkan
perjanjian pokoknya. Bahwa penyitaan oleh PT. FIF telah didahului dengan adanya
wanprestasi yang dilakukan oleh Budi, sehingga perbuatan penyitaan barang jaminan oleh PT
FIF adalah sesuai dan bukan merupakan suatu PMH, karena telah didahului dengan
Wanprestasi oleh Budi.

3.4       Penilaian Putusan Hakim Atas Dasar Terpenuhinya Salah Satu Dalil Gugatan
Dalam Putusan dengan nomor register 102/Pdt/2015/PT.BDG sebagai mana yang
telah dijelaskan oleh penulis dalam pemaparan sebelumnya, Pengadilan Tinggi Bandung yang
berwenang mengadili di tingkat banding memutuskan untuk menguatkan putusan dari
pengadilan sebelumnya, yaitu Pengadilan Negeri Subang dengan nomor register putusan
23/Pdt.G/2014/PN.SNG yang isinya:

1. Mengabulkan gugatan dari Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi untuk sebagian;


2. Menyatakan surat Perjanjian Pembiayaan Konsumen Nomor 308000585112
tertanggal 04 Juni 2012 adalah sah menurut hukum;
3. Menyatakan Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi telah melakukan perbuatan
ingkar janji/wanprestasi terhadap Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi;
4. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi untuk yang selain dan
selebihnya.

Penulis sependapat dengan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi


Bandung dalam memutus perkara ini. Sebagaimana yang telah penulis paparkan sebelumnya,
tidak ditemukan adanya fakta hukum sebagaimana gugatan yang dilayangkan oleh Penggugat
Konvensi. Selain itu terdapat ketidaksesuaian fakta hukum antara konvensi yang dilayangkan
oleh Penggugat dan rekonvensi yang diajukan oleh Tergugat.
Pada dasarnya sejak awal para pihak tidak pernah menyepakati adanya perjanjian
jaminan fidusia (perjanjian accessoir) terhadap perjanjian pokok utang-piutang atas fasilitas
pembiayaan konsumen. Pihak Tergugat Konvensi menyatakan bahwa yang terjadi adalah
kesepakatan untuk melakukan Perjanjian Pembiayaan Konsumen dengan nomor perjanjian
308000585112, tertanggal 4 Juni 2012 yang sah sesuai dengan ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata. Penggugat sendiri yang mendalilkan perjanjian jaminan fidusia juga tidak dapat
membuktikan keberadaan Akta Jaminan Fidusia, sebagai syarat sahnya jaminan fidusia

30
menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Maka dari itu
dapat kita lihat bahwa pada dasarnya perjanjian Fidusia memang tidak pernah lahir karena
tanpa adanya akta jaminan tersebut, benda yang dijadikan objek fidusia sendiri tidak dapat
didaftarkan di Buku Daftar Fidusia. Karenanya pengadilan, baik dalam tingkat pertama
maupun banding, menolak konvensi dari Penggugat sebagaimana tertuliskan dalam poin
nomor 4 Konvensi tersebut.
Mengenai tindakan Tergugat Konvensi menyita Motor Honda/NF 125 M/T milik
Budi adalah sah karena hal tersebut dilakukan sebagai upaya melaksanakan kesepakatan yang
tertera dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Tergugat juga mempunyai hak istimewa untuk mengambil Motor tersebut sebagai bagian dari
barang jaminan perjanjian pembiayaan konsumen umum dibanding dengan kreditur lainnya
(Irvan SS) sebagai kreditur lain dari perjanjian gadai antara Penggugat dengan Irvan. Karena
ternyata ditemukan fakta bahwa Budi telah menggadaikan sepeda motornya kepada yang
bersangkutan. Disini, Penggugat telah berbohong pada dalil gugatannya di poin 3 sehingga
hak istimewa Tergugat untuk mengambil motor tersebut patut didahulukan. Selain itu, motor
yang diambil oleh Tergugat jelas bukan merupakan benda jaminan fidusia melainkan jaminan
umum sehingga tidak ada ketentuan dalam UU Fidusia yang berlaku dan mengikat para
pihak.
Selanjutnya mengenai unsur Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh PT.
FIF selaku tergugat sebagai mana didalilkan oleh pihak penggugat juga tidak terpenuhi.
Pertama ialah perbuatan PT FIF dalam melakukan penyitaan tidak bertentangan dengan
kewajiban hukum tergugat ataupun melanggar hak subjektif penggungat. Hal ini dikarenakan
Perjanjian Pembiayaan Konsumen dengan Penggugat yang merupakan perjanjian yang sah
dan mengikat kedua belah pihak sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu
Perjanjian Pembiayaan Konsumen. Sehingga perbuatan untuk melakukan penyitaan bukanlah
hal yang melanggar kewajibannya.
Yang kedua meskipun perjanjian fidusia, seperti yang didalilkan peggugat tidak terpenuhi,
dan layaknya batal demi hukum dikarenakan jaminan tersebut belum didaftarkan, Namun,
seperti yang penulis paparkan sebelumnya jaminan umum berlaku dan menyertai dalam
perjanjian pokok. Sehingga perbuatan PT. FIF menyita objek sengketa adalah sebagai
kapasitasnya untuk menyita objek jaminan umum. Ketiga ialah perbuatan penyitaan jaminan
itu telah didahului oleh wanprestasi yang dilakukan oleh Budi. Budi yang berperan sebagai
Penggugat Konvensi pada faktanya yang ditemukan telah melakukan penunggakan
pembayaran selama beberapa bulan, karenanya penyitaan yang dilakukan oleh PT. FIF selaku

31
pihak Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi adalah sesuai karena telah diawali dengan
adanya wanprestasi (ingkar janji) dari Penggugat.

BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan analisis putusan di atas, penulis setuju dengan putusan hakim Pengadilan Tinggi
Bandung yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Subang dengan mengabulkan gugatan
rekonvensi dari PT. Federal International Finance pada tingkat banding. Hal ini dilandasi oleh
beberapa argumen, antara lain sebagai berikut.
1. Budi (penggugat) dengan PT. FIF (tergugat) sejak awal perjanjian tidak
pernah menyepakati Perjanjian Pembiayaan Konsumen dengan jaminan fidusia. Budi
tidak dapat membuktikan keberadaan Akta Jaminan Fidusia, yang merupakan syarat
sahnya jaminan fidusia (Pasal 5 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999). Artinya, jaminan
fidusia tidak pernah dicatatkan pada Buku Daftar Fidusia (Pasal 13 ayat (3) UU No. 42
Tahun 1999) dan dianggap tidak pernah lahir sebagai perjanjian accesoir dari
perjanjian pokoknya.
2. Perjanjian Pembiayaan Konsumen dibebani jaminan umum. Betitik
tolak dari Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata, tindakan PT. FIF mengambil motor Budi
adalah sah dan dapat dibenarkan sebagai upaya melaksanakan klausula yang tertera
dalam perjanjian.
3. Conservatoir Beslag yang diajukan Budi, dalam kedudukannya sebagai
pihak yang mengajukan kredit (debitur) tidak dapat diterima karena tidak memiliki

32
alasan yang jelas. Conservatoir beslag seharusnya diajukan PT. FIF selaku kreditur
karena Budi wanprestasi atau tidak membayar utangnya. Conservatoir beslag yang
diajukan PT. FIF pada hakim dapat diterima guna kepentingan mengamankan barang-
barang Budi selama proses peradilan agar dapat dieksekusi untuk mengganti kerugian
materiil PT. FIF.
4. Unsur perbuatan melawan hukum yang didalilkan oleh Budi pada PT.
FIF tidak terpenuhi. Karena perbuatan PT FIF dalam melakukan penyitaan tidak
bertentangan dengan kewajiban hukum tergugat ataupun melanggar hak subjektif
penggungat. Penyitaan dilakukan dalam kapasitasnya untuk mengambil barang milik
penggugat sebagai jaminan pelunasan utang karena yang bersangkutan telah melanggar
janji untuk melunasi utangnya (wanprestasi).
5. Budi telah melakukan wanprestasi yakni tidak membayar utangnya
pada PT. FIF sesuai tenggang waktu yang ditentukan. Hal ini diungkapkan dalam
gugatan rekonvensi PT. FIF. Atas dasar inilah, penyitaan motor Budi oleh PT. FIF
dapat dibenarkan.

33

Anda mungkin juga menyukai