Anda di halaman 1dari 20

PERTEMUAN KE- 6

LEMBAGA ATAU PEJABAT PEMBENTUK PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN

A. Tujuan Pembelajaran

Adapun tujuan pembelajaran yang akan dicapai, mahasiswa diharapkan mampu:

 Menjelaskan kewenangan pejabat negara dalam pembentukan peraturan


perundang-undangan.
B. Uraian Materi

Pengantar

Pada pertemuan ke 6 ini kita akan berbicara tentang kewenangan pejabat negara
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Kewenangan untuk mengatur atau membuat aturan (regeling) pada dasarnya


merupakan kewenangan lembaga legislatif yang berdasarkan prinsip kedaulatan
rakyat mempunyai kewenangan untuk menentukan suatu peraturan yang mengikat
dan membatasi kebebasan individu warga negara.

Mengenai hal ini, Montesquieu melalui ajaran trias politica membagi kekuasaan
dalam negara ke dalam tiga kekuasan yang terpisah satu sama lain dan masing-
masing dilakukan oleh organ tersendiri, yaitu kekuasaan legislatif dalam
membentuk Undang-Undang; kekuasaan eksekutif untuk menjalankan
pemerintahan berdasarkan Undang-Undang yang dibuat oleh lembaga legislatif
tersebut; dan kekuasaan yudikatif yang menjalankan lembaga peradilan apabila
terdapat penyimpangan di dalam pelaksanaan Undang-Undang.

Namun demikian, pendapat Montesquieu tersebut mendapatkan koreksi dari


beberapa ahli lainnya. Terdapat ahli yang berpendapat bahwa di samping lembaga
legislatif, cabang-cabang kekuasaan lainnya dapat pula memiliki kewenangan
untuk mengatur atau menetapkan peraturan yang juga mengikat untuk umum,
apabila para wakil rakyat sendiri telah memberikan persetujuannya dalam Undang-
Undang. Hal ini berarti bahwa apabila mendapat pendelegasian kewenangan, maka
cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif juga dapat membuat peraturan.

Salah satu yang berpendapat demikian C. van. Vollenhoven berpendapat bahwa


pengertian pemerintahan (regering) bisa berarti lembaga (overheid) dapat pula
berarti sebagai suatu fungsi (functie). C. van. Vollenhoven membagi kekuasaan
pemerintahan ke dalam empat fungsi, yaitu ketataprajaan (bestuur), pengaturan
(regeling), keamanan/kepolisian (politie), dan peradilan (rechtspraak) yang
kemudian dipisahkan karena adanya wawasan negara berdasarkan hukum.
Pembagian dalam empat fungsi pemerintahan yang diungkapkan oleh van
Vollenhoven tersebut disebut juga dengan istilah Caturpraja (Maria Farida Indrati
Soeprapto, 2007:115).

Berlainan dengan eksekutif konsep Montesquieu, C. Van Vollenhoven memiliki


konsep yang lebih luas mengenai Bestuur, karena menurut C. Van Vollenhoven
fungsi bestuur tidak hanya terbatas pada menjalankan UU, tetapi juga meliputi
tugas negara. Tidak termasuk di dalamnya adalah tugas mempertahankan ketertiban
umum secara preventif, mengadili (menyelesaikan perselisihan), atau membuat
peraturan.

Fungsi Bestuur lebih luas daripada lapangan pekerjaan ketiga kekuasaan lain
(polisi, mengadili, dan membuat peraturan) itu. Oleh C. van. Vollenhoven sifat
Bestuur itu dinyatakan sebagai suatu penyelenggaraan pemerintahan yang bebas
dan secara spontan. Di samping itu, menurut C. van. Vollenhoven, fungsi Regeling
memiliki fungsi untuk membuat peraturan. Jadi, menurut C. van. Vollenhoven
fungsi membuat peraturan itu sebenarnya tidak murni merupakan monopoli dari
lembaga legislatif (Ronald S.Lumbuun, 2011:148).

Secara formal kewenangan atau otoritas publik senantiasa diatur berdasarkan


peraturan perundang-undangan, baik secara atributif maupun delegatif. Atribusi
kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (attributtie van
wetgevingsbevoegdheid) adalah pemberian kewenangan membentuk peraturan
perundang-undangan yang diberikan oleh Grondwet (Undang-Undang Dasar) atau
Wet (Undang-Undang) kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan.
Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa
sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang diberikan (Maria
Farida Indrati Soeprapto, 2007:115).

Selain itu, kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan dapat


diberikan melalui delegasi (delegatie van wetgevingsbevoegdheid), dalam hal ini
kewenangan tersebut dilimpahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik melalui
pernyataan dengan tegas maupun tidak.

Berlainan dengan kewenangan atribusi, pada kewenangan delegasi kewenangan


tersebut tidak diberikan, melainkan “diwakilkan”, selain itu kewenangan delegasi
ini bersifat sementara dalam arti kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang
pelimpahan tersebut masih ada (Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007:115).

Pelimpahan kewenangan tersebut diciptakan oleh parlemen dengan tujuan tertentu,


serta diberi kewenangan melalui kata-kata yang dituangkan dalam ketentuan UU
yang dianggap perlu dan cukup untuk memenuhi tujuan tersebut. Tentu saja
perundang-undangan merupakan instrumen hukum yang memberikan kewenangan
hukum dan kewajiban hukum (Ronald S.Lumbuun, 2011:149)

Fungsi Regeling (pengaturan) menurut C. van Vollenhoven adalah membuat


peraturan-peraturan umum yang tidak hanya undang-undang dalam arti formil,
tetapi juga undang-undang dalam arti materiel, yaitu setiap perundang-undangan
yang mempunyai daya ikat terhadap semua orang (Ronald S.Lumbuun, 2011:149).

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Hans Kelsen yang mengatakan bahwa
lembaga legislatif tidak pernah memonopoli pembuatan norma-norma umum, tetapi
hanya menempati posisi tertentu yang lebih disukai.

Pada umumnya di negara yang menganut paham pemisahan kekuasaan (separation


of powers) secara tegas, fungsi legislatif atau kekuasaan membentuk UU
(legislative power atau pouvoir legislatif) dilakukan oleh satu badan, yaitu badan
legislatif (the legislative council atau the legislature). Badan tersebut adakalanya
dinamakan Parlemen. Fungsi tersebut dapat didelegasikan kepada badan lain,
khususnya badan eksekutif.

Sementara, di dalam negara yang menganut paham pembagian kekuasaan


(distribution of power) fungsi tersebut tidak secara mutlak berada pada satu badan,
tetapi “dibagi” dengan badan lain. Walaupun demikian, badan pembentuk UUD
(konstitusi) selalu dipegang oleh satu badan yang biasa dikenal dengan sebutan
Badan atau Sidang Konstituante. Pembetukan konstitusi sebagai aturan dasar
dimiliki oleh badan khusus dan tidak dapat didelegasikan.

Sistem Pemeruntahan Negara Republik Indonesia

Maria Farida Indrati Soeprapto mencoba membahas tentang lembaga negara dan
perundang-undangan berdasarkan ketentuan Perubahan UUD 1945. Menurutnya
(2007: 126-129), Sistem Pemerintah Negara sesudah Perubahan UUD 1945 adalah
sebagai berikut:

I. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan, Negara Indonesia adalah
negara hukum, dengan demikian hal ini bedampak pula pada prinsip
pemerintahan yang berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar).
II. Kekuasaan Negara yang tertinggi adalah di tangan rakyat, sesuai dengan
rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Perubahan yang menetapkan bahwa,
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar.
III. Majelis Permusyawaran Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui
pemilihan umum, dan mempunyai wewenang untuk:
a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
c. memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut Undang-Undang Dasar, sesuai Pasal 3 UUD 1945
Perubahan;
d. memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam terjadi kekosongan;
dan
e. memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal terjadi
kekosongan, sesuai Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 Perubahan.

IV. Presiden ialah penyelenggara Pemerintahan Negara yang tertinggi di Negara


Republik Indonesia, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 Perubahan
yang menetapkan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.

Selain itu, di dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan


tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and
responbility upon the President), hal ini berhubungan erat dengan rumusan
Pasal 6A UUD 1945 Perubahan yang menetapkan bahwa Presiden dan Wakil
Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

V. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Menurut Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 Perubahan, Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 Perubahan, Dewan Perwakilan


Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang, namun dalam
membentuk Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat harus membahas
bersama Presiden dan mendapat persetujuan dari Presiden, sesuai Pasal 20
ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 Perubahan.

Menurut Pasal 20A UUD 1945 Perubahan, Dewan Perwakilan Rakyat juga
memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, memiliki
hak interppelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, sedangkan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat juga mempunyai hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.

Dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, maka Presiden


seharusnya bekerja bersama-sama dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidak
bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak
tergantung kepada Dewan.

VI. Menteri Negara ialah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggung
jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam Pasal 17 UUD 1945 Perubahan antara lain ditetapkan bahwa:

(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.


(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Dengan demikian, Menteri-menteri itu tidak bertanggung jawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat tetapi kepada Presiden, oleh karena Presiden yang
mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara tersebut..
Kedudukan Menteri-menteri tersebut tidak tergantung pada Dewan
Perwakilan Rakyat, akan tetapi tergantung dari Presiden, karena Menteri-
menteri negara tersebut merupakan pembantu Presiden.

VII. Kekuasaan Kepala Negara tidak takterbatas

Meskipun Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan


Rakyat, ia bukan “diktator”, artinya kekuasaaannya tidak takterbatas.

Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa
dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer), hal ini
ditegaskan dalam Pasal 7C UUD 1945 Perubahan, yang menyatakan bahwa
Presiden tidak dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.

Menurut Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 Perubahan, Anggota-anggota Dewan


Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah semuanya merangkap
menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Sesuai ketentuan dalam Pasal 7A dan Pasal 7B serta 20A UUD 1945
Perubahan, Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-
tindakan Presiden, sehingga apabila Dewan Perwakilan Rakyat menganggap
bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden, yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar, maka
melalui putusan Mahkamah Konstitusi Dewan Perwakilan Rakyat dapat
mengusulkan pemberhentian Presiden kepada Majelis Permusyawaran
Rakyat. Seperti dalam sistem pemerintahan negara sebelum Perubahan UUD
1945, maka Menteri-menteri negara pegawai biasa. Meskipun kedudukan
Menteri negara tergantung pada Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai
tinggi biasa, oleh karena Menteri-menterilah yang terutama menjalankan
kekuasaan Pemerintah (pouvoir executif) dalam praktik.

Sebagai pemimpin Departemen, Menteri mengetahui seluk beluk hal-hal yang


mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu Menteri
mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik
negara yang mengenai Departemennya.
Untuk menetapkan politik Pemerintah dan koordinasi dalam Pemerintahan
Negara, para Menteri bekerja bersama satu sama lain seerat-eratnya di bawah
pimpinan Presiden.

Berdasarkan ketentuan UUDNRI Tahun 1945, yang berkaitan dengan sistem


pemerintahan negara tersebut, dapat disimpulkan bahwa kewenangan pembentukan
UU dilaksanakan oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Dengan
demikian, dapat disimpulkan pula bahwa di negara Republik Indonesia Presiden
adalah pemegang kekuasaan pemerintahan (kekuasaan eksekutif) dan juga
pemegang kekuasaan membentuk UU (kekuasaan legistif) bersama DPR.

Berdasarkan ketentuan dalam UUDNRI Tahun 1945, ketiga kekuasaan negara


tersebut saat ini dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara sebagai berikut:

 Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden.


 Kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR bersama Presiden.
 Kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi, serta Badan-badan Peradilan lainnya.

Dengan rumusan dalam Batang Tubuh UUDNRI Tahun 1945 dan gambaran dari
sistem pemerintahan negara tersebut, Maria Farida Indrati (2007: 130) berpendapat
bahwa sebenarnya Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan
(separation of power) dalam penyelenggataan Pemerintahan Negara RI.

Presiden Penyelenggara Tertinggi Pemerintahan Negara

Dalam Pasal 4 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 ditegaskan: “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”
Ketentuan ini mengandung makna bahwa Presiden adalah Kepala Pemerintahan
Negara di Republik Indonesia.

Jika dihubungkan dengan teori C. van Vollenhoven, pengertian pemerintahan


(regering) bisa berarti sebagai lembaga (overheid) dapat pula berarti sebagai suatu
fungsi (functie). Pemerintahan dalam arti luas terdiri atas empat fungsi, yaitu
ketataprajaan (bestuur), pengaturan (regeling), keamanan/kepolisian (politie), dan
peradilan (rechtspraak) di mana fungsi peradilan ini kemudian dipisahkan karena
adanya wawasan negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) .

Pemerintah dalam arti lembaga yang menyelenggarakan pemerintahan sesuai


dengan UUDNRI Tahun 1945 adalah Presiden. Pernyataan ini diperjelas oleh
rumusan Pasal 4 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 menegaskan lebih lanjut bahwa,
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan menurut Undang-Undang
Dasar.”

Dengan demikian jelaslah bahwa sesudah Perubahan UUD 1945, Presiden


Republik Indonesia tetap sebagai Penyelenggara Tertinggi Pemerintahan Negara,
yang menjalankan seluruh tugas dan fungsi pemerintahan dalam arti luas yang
menyangkut ketataprajaan, keamanan/kepolisian, dan pengaturan (Maria Farida
Indrati Soeprapto, 2007:131).

1. Majelis Permusyawaran Rakyat

Menurut ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 8 juncto Pasal 37 UUD 1945 (setelah
Perubahan), MPR hanya memiliki 4 (empat) kewenangan, yaitu:

a. mengubah dan menetapkan UUD;


b. memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden;
c. memilih Presiden dan/Wakil Presiden untuk mengisi lowongan jabatan; dan
d. melantik Presiden dan/Wakil Presiden.

Dengan demikian, setelah Perubahan UUD 1945, MPR tidak lagi berwenang
menetapkan garis-garis besar haluan negara dan ketetapan-ketetapan yang bersifat
mengatur (regeling) dan mengikat untuk umum seperti sebelumnya. Satu-satunya
produk hukum yang bersifat mengatur (regeling) yang termasuk dalam ruang
lingkup kewenangan MPR dewasa ini adalah produk perubahan UUD yang
dilakukan menurut ketentuan Pasal 37 UUD 1945 (setelah Perubahan).

Oleh karena itu, MPR tidak lagi mempunyai kewenangan untuk menetapkan
peraturan di luar perubahan UUD, maka terhitung sejak terbentuknya MPR hasil
Pemilihan Umum 2004 tidak akan ada lagi produk hukum yang berisi norma yang
mengatur yang ditetapkan oleh MPR, selain dari produk Perubahan UUD 1945
(Jimly Asshiddiqie, 2010a: 36).

2. Presiden

Sebagai penyelenggara pemerintahan, Presiden dapat membentuk peraturan


perundang-undangan yang diperlukan, oleh karena Presiden juga merupakan
pemegang kekuasaan pengaturan di Indonesia.

Fungsi pengaturan ini terlihat dalam pembentukan Undang-Undang bersama DPR


sesuai Pasal 20 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUDNRI Tahun 1945, pembentukan
Peraturan Pemerintah berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945,
pembentukan Perpu berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945, yang
merupakan peraturan perundang-undangan yang disebut secara langsung oleh
UUD 1945, dan juga pembentukan Peraturan Presiden yang berasal dari ketentuan
Pasal 4 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945.

3. Dewam Perwakilan Rakyat

Pasal 20 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 menegaskan: “Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Sedangkan Pasal 5 ayat (1)
UUDNRI Tahun 1945 menegaskan: “Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” Ketentuan ini dapat
ditafsirkan bahwa Presiden hanya berhak untuk mengajukan RUU usul inisiatif
kepada DPR. Akan tetapi, jika Pasal 5 ayat (1) dihubungkan dengan Pasal 20 ayat
(2) UUDNRI Tahun 1945 yang menetapkan bahwa “Setiap rancangan undang-
undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.”, maka pertanyaan yang timbul adalah apa makna
“persetujuan bersama” tersebut? “Persetujuan bersama” di sini adalah bahwa antara
DPR dan Presiden (menteri yang mewakili) harus sama-sama setuju terhadap RUU
yang sedang dibahas di DPR. Baik DPR maupun Presiden (menteri yang mewakili)
keduanya harus setuju, tidak bisa yang setuju hanya salah satu saja, DPR saja atau
Pemerintah saja. Dengan demikian, “persetujuan bersama” di sini mutlak sifatnya
dan tidak bisa ditawar tawar lagi (Wicipto Setiadi, 2004: 24).
Lembaga-Lembaga Negara Lainnya

Selain MPR yang berwenang mengubah UUD serta Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden yang berwenang membentuk UU, masih terdapat lembaga-lembaga negara
lainnya yang mempunyai fungsi tertentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara
di Indonesia.

Secara keseluruhan yang dapat dianggap sebagai Lembaga-lembang negara


menurut UUDN RI Tahun 1945 adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK,
KY, dan BPK.

Namun demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011
yang menyatakan “ Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR,
DPR, DPD, MA, MK, BPK, Komisi Yudisial, ...dst. diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Jadi, Peraturan
Perundang-undangan dapat dibentuk atau ditetapkan berdasarkan delegasi atau
atribusi.

Lembaga Pemerintah Pembentuk Peraturan Perundang-undangan

1. Presiden

Presiden Republik Indonesia adalah Kepala Negara, Penyelenggara Tertinggi


Pemerintahan Negara Republik Indonesia.

Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia menurut UUDNRI Tahun 1945,


mengalami beberapa bergeseran. Salah satu perubahan terhadap UUD 1945 yang
penting adalah dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum. Pasal 6A ayat (1) Perubahan UUD
1945 menegaskan: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat.”
Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto (2007: 151), apabila ketentuan dalam Pasal
6A ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 dikaitkan dengan teori Rousseau, yang
menyatakan bahwa rakyat dapat berada di dua tempat atau posisi, yaitu rakyat
sebagai citoyen yang berarti rakyat yang memerintah atau yang berdaulat, dan
rakyat sebagai sujet yang berarti rakyat yang diperintah, maka posisi Presiden RI
sesudah Perubahan UUD 1945 lebih kuat daripada sebelum Perubahan UUD 1945.
Oleh karena rakyat sebagai pemegang kedaulatan atau sebagai citoyen telah
memberikan “mandatnya” atau kedaulatannya kepada Presiden secara langsung,
dengan demikian rakyat telah menyerahkan kewenangan untuk memerintah dan
mengatur tersebut langsung kepada Presiden. Hal ini lebih menguatkan posisi
Presiden, yang menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945:
”Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar 1945.”

Lebih lanjut, Maria Farida Indrati Soeprapto (2007: 152) menegaskan, sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan, Presiden dalam menjalankan Pemerintahan
Negara memegang kekuasaan dan tanggung jawab sebagai penyelenggara tertinggi
pemerintahan negara, sehingga Presiden juga penyelenggara tertinggi perundang-
undangan negara bersama DPR.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai Penyelenggara Tertinggi Pemerintahan


Negara, Presiden dubantu oleh seorang Wakil Presiden, menteri-menteri negara.
Menteri Koordinator, Menteri, Menteri, pejabat-pejabat setingkat menteri, dan
Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian.

a. Kewenangan Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU


(Perpu). Perpu adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.

Dalam hal ikhwal yang memaksa atau negara dalam keadaan darurat
(staatsnoodrecht), Presiden berhak menetapkan Perpu sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 22 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Dalam
hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan
Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang.”

Untuk mewujudkan mekanisme check and balances antara Presiden dan DPR, ada
kriteria normatif yang harus dipenuhi dalam menetapkan Perpu sebagaimana dalam
Pasal 22 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945, yang intinya bahwa Perpu harus mendapat
persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. Apabila DPR tidak menyetujui,
Perpu tersebut harus dicabut. Pasal ini bertujuan untuk mengantisipasi agar
pemerintahan tetap dianggap kredibel.

b. Kewenangan Presiden untuk Menetapkan Peraturan Pemerintah

Kewenangan Presiden yang bersifat regulatif atau mengatur adalah kewenangan


untuk menetapkan PP untuk menjalankan UU sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
5 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 : “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.” Mengacu pada Pasal
5 ayat (2) tersebut, PP merupakan jenis peraturan yang diciptakan oleh UUDNRI
Tahun 1945 khusus untuk mengefektifkan fungsi UU, dengan cara merinci
ketentuan-ketentuannya, dan mengelola prosedur penerapannya. Kekuasaan
membentuk PP baru berfungsi secara efektif apabila secara eksplisit dikehendaki
oleh kekuasaan pembentukan UU. PP itu diadakan untuk melaksanakan UU,
sehingga tidak mungkin bagi Presiden untuk menetapkan PP sebelum ada UU.
PP biasanya dibuat atas perintah UU atau untuk melaksanakan suatu UU. Karena
itu, PP tidak dapat berdiri sendiri tanpa pendelegasian materiil dari UU yang
sudah ada lebih dahulu.

c. Kewenangan Presiden untuk Membuat Peraturan Presiden

UUDNRI Tahun 1945 tidak mencantumkan “secara tegas”, baik mengenai


kewenangan Presiden membuat Peraturan Presiden (Perpres) maupun kedudukan
Perpres sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan.

Walaupun demikian kewenangan Presiden untuk menetapkan Perpres bersumber


dari ketentuan Pasal 4 UUDNRI Tahun 1945 tersebut yang menyatakan:
“Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar.”

Menurut Bagir Manan dan Kuntana Magnar (1997: 152), ditinjau dari segi
wewenang, Perpres dapat dibedakan :

Pertama, Perpres sebagai pelaksanaan kewenangan konstitusional. Baik sebagai


Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan, Presiden berwenang
menetapkan keputusan secara mandiri yang tidak tetap batas lingkupnya, sehingga
kategori ini yang disebut Perpres Mandiri. Hal ini sesuai dengan asas umum, bahwa
salah satu ciri yang selalu melekat pada pejabat atau jabatan adalah adanya
wewenang membuat putusan. Kewenangan ini merupakan kewenangan atributif.

Kedua, Perpres dapat juga dikeluarkan sebagai peraturan delegasi. Sebagai


peraturan delegasi, Perpers ditetapkan untuk melaksanakan perintah UUDNRI
Tahun 1945, UU/Perpu, atau PP.

2. Menteri-menteri Negara

Sesudah Perubahan UUD 1945 ditetapkan pula bahwa Presiden dalam


penyelenggaraan pemerintahan negara dibantu oleh Menteri-menteri Negara
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 UUDNRI Tahun 1945, yang berbunyi:

“Pasal 17

(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.


(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
(4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur
dalam undang-undang.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 17 UUDNRI Tahun 1945 tersebut, dapat disimpulkan


bahwa menteri-menteri negara bukanlah pegawai tinggi biasa, meskipun kedudukan
menteri itu tergantung pada Presiden. Selain itu, berdasarkan Pasal 17 ayat (3)
UUD 1945, sebenarnya menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan
pemerintahan (pouvoir executif) di bidangnya.

Oleh karena, setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.


Menteri-menteri tersebut juga seharusnya mengetahui seluk beluk, serta hal-hal
yang mengenai lingkungan kerjanya dan bidang tugasnya. Selain itu, untuk
menetapkan politik pemerintahan dan koordinasi di dalam pemerintahan negara,
para menteri bekerja sama satu sama lain di bawah pimpinan Presiden.

Menteri-menteri negara dalam membantu Presiden untuk melaksanakan bidang


urusan pemerintahan tersebut saat ini diatur dalam Undang-Undang No. 38 Tahun
2009 tentang Kementerian Negara.

3. Peraturan Pimpinan Lembaga Pemerintah NonKementerian (LPNK)

Lembaga Pemerintah NonKementerian (LPNK) dahulu bernama Lembaga


Pemerintah NonDepartemen (LPND) adalah lembaga negara di Indonesia yang
dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari Presiden. Kepala
LPNK berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui
Menteri/pejabat setingkat Menteri yang mengoordinasikan.

Pada saat ini terdapat 30 (tiga puluh) Lembaga Pemerintah NonKementerian


(LPNK), antara lain ANRI, BEK, BIG, BIN, Bakamla, BKN, BKKBN, BKPM,
BMKG, BNN, BNPB, BNPT, BNP2TKI, BPKP, Bapeten, BPOM, BPPT,
Bappenas, BPN, BPS, Basarnas, BSN, Batan, LAN, LIPI, LKPP, Lemhanas,
Lapan, Lemsaneg, Perpusnas. Setiap LPNK dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya mempunyai kewenangan.

4. Peraturan Lembaga Pemerintahan Lainnya

Peraturan lembaga pemerintahan lainnya (State Auxiliary Bodies) adalah peraturan


perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga tersebut berdasarkan atas atribusi
kewenangan pengaturan dari UU kepada lembaga itu.
Tujuan dari pemberian kewenangan pengaturan ini adalah sebagai alat bagi
lembaga pemerintah tersebut dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan
yang diatur dalam UU yang terkait.

Misalnya: Peraturan Bank Indoesia (PBI) yang merupakan peraturan perundang-


undangan yang dibentuk berdasarkan atribusi kewenangan pengaturan dari UU
No23/1999 kepada BI dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang
diatur dalam UU tersebut.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia


disebutkan:

(1) Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia.


(2) Bank Indonesia adalah lembaga negarayang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangam
Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas
diatur dalam Undang-Undang.
(3) Bank Indonesia adalah badanhukum berdasarkan Undan-Undang ini.

Selain itu, dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 8 UU No. 23 Tahun 1999
disebutkan: ”Peraturan Bank Indonesia adalah ketentuan hukum yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan dan dimuat dalam
Lembaran Negara.

Berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun


1999 tersebut dan dihubungkan dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU No 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan
Bank Indonesia merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan di
tingkat Pusat.

5. Pemerintahan Daerah

Pasal 18 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 menegaskan bahwa pemerintahan


daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemeritahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Kemudian,
Pasal 18 ayat (6) UUDNRI Tahun 1945 menegaskan bahwa Pemerintahan
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan praturan-peraturan lainnya
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Dari ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6) UUDNRI Tahun 1945 ini dapat
disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota
mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan
lainnya, dalam melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan.

Kewenangan pemerintah daerah untuk membentuk peraturan perundang-


undangan kemudian dirumuskan secara lebih konkret dalam UU tentang
Pemerintahan Daerah, terakhir dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah). Pasal 236 UU tersebut menentukan:

(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah


membentuk Perda.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan
persetujuan bersama kepala daerah.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan;
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat
memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUDNRI Tahun 1945 dan Pasal 236
UU No. 23 Tahun 2014 tersebut, kewenangan Pemerintah Daerah dalam
pembentuhan Peratuan Daerah tersebut diberikan secara atribusi, baik melalui
Pasal 18 ayat (6) UUDNRI Tahun 1945 maupun Pasal 236 UU No. 23 Tahun
2014.

6. Kepala Daerah

Dalam ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah disebutkan bahwa “Setiap Daerah dipimpin oleh kepala Pemerintahan
Daerah yang disebut kepala daerah.” Kemudian, dalam Pasal 65 huruf g
disebutkan bahwa kepala daerah mempunyai tugas melaksanakan tugas lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pasal 65
huruf g ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 246 ayat (1) UU No.23 Tahun
2014, yang menyebutkan: Untuk melaksanakan Perda atau atas kuasa peraturan
perundang-undangan, kepala daerah menetapkan Perkada;

Peraturan Kepala Daerah (Perkada) merupakan peraturan pelaksanaan dari


Perda. Peraturan perundang-undangan ini dibentuk berdasarkan delegasi
kewenangan pengaturan dari suatu Perda, namun demikian pembentukan
Perkada bisa juga berdasarkan delegasi kewenangan dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi (Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014).

Jadi, Perkada dapat merupakan Peraturan Otonom maupun Peraturan Pelaksana.


Dapat dikatakan sebagai Peraturan Otonom yang bersumber dari delegasi
kewenangan, karena keberadaannya ditetapkan oleh Kepala Daerah atas kuasa
peraturan perundang-undangan yang tidak ditegaskan jenisnya, maka bisa jadi
peraturan perundang-undangan yang dimaksud Pasal ini berjenis UU.
Sedangkan sebagai Peraturan Pelaksana yang bersumber dari delegasi
kewenangan, karena kemunculan Perkada dipergunakan untuk melaksanakan
Perda.

Perkada terdiri atas Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota.

 Peraturan Gubernur, adalah peraturan perundang-undangan di Daerah yang


merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Provinsi, yang
dibentuk berdasarkan Pasal 246 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Peraturan Gubernur ditetapkan oleh Gubernur.
 Peraturan Bupati/Walikota, adalah peraturan perundang-undangan di Daerah
yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, yang dibentuk berdasarkan Pasal 246 ayat (1) UU No. 23
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Bupati/Walikota
ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

Pemerinahan Desa

Kepala Desa dengan kesepakatan bersama Badan Permusyawaratan Desa


menetapkan Peraturan Desa (Perdes). Peraturan Desa (Perdes) adalah peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan
disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa (Pasal 1 angka 7 UU No.
6/2014 tentang Desa).

Perdes terdiri atas Peraturan Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa, dan
Peraturan Kepala Desa [Pasal 69 ayat (1) No. 6/2014 tentang Desa].

Kepala Desa

Dalam pelaksanaan Peraturan Desa, Kepala Desa menetapkan Peraturan Kepala


Desa (Perkades) sebagai aturan pelaksanaannya. Jadi, Perkades merupakan
peraturan pelaksanaan dari Perdes. Perkades ini dibentuk berdasarkan delegasi
kewenangan pengaturan dari suatu Perdes. (Pasal 6 huruf l UU No. 6/2014).

C. LATIHAN SOAL/TUGAS
1. Setelah perubahan UUD 1945, apakah MPR mempunyai kewenangan untuk
menetapkan ketetapan yang bersifat mengatur (regeling) dan mengikat umum
seperti sebelumnya? Jelaskan!
2. Bagaimana apabila DPR “nekad” menyampaikan RUU yang disetujui secara
aklamasi oleh fraksi-fraksi di DPR tetapi tidak disetujui oleh Pemerintah
tersebut kepada Presiden untuk disahkan berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat
(4) UUDNRI Tahun 1945? Jelaskan!
3. Mengapa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus mendapat
persetujuan DPR pada bersidangan yang berikut? Jelaskan!
4. Apakah Peraturan Pemerintah dapat dibentuk berdasarkan kewenangan
atribusi? Jelasakan!
D. DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asshiddiqie, Jimly. 2006a. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press.

Manan, Bagir. 1997. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung:
Alumni.

Soeprapto, Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan: Jenis,


Fungsi,dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius.

Sri Soemantri, Martosuwignjo. 2014. Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran


dan Pandangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Media Massa

Majalah Hukum dan Pembangunan No. 3 Tahun 1979.

Jurnal Legislasi Volume I, No. 2 Tahun 2004.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Kementerian Negara


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang PembentukanPeraturan Perundang-
undangan.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Anda mungkin juga menyukai