A. Tujuan Pembelajaran
Pengantar
Pada pertemuan ke 6 ini kita akan berbicara tentang kewenangan pejabat negara
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Mengenai hal ini, Montesquieu melalui ajaran trias politica membagi kekuasaan
dalam negara ke dalam tiga kekuasan yang terpisah satu sama lain dan masing-
masing dilakukan oleh organ tersendiri, yaitu kekuasaan legislatif dalam
membentuk Undang-Undang; kekuasaan eksekutif untuk menjalankan
pemerintahan berdasarkan Undang-Undang yang dibuat oleh lembaga legislatif
tersebut; dan kekuasaan yudikatif yang menjalankan lembaga peradilan apabila
terdapat penyimpangan di dalam pelaksanaan Undang-Undang.
Fungsi Bestuur lebih luas daripada lapangan pekerjaan ketiga kekuasaan lain
(polisi, mengadili, dan membuat peraturan) itu. Oleh C. van. Vollenhoven sifat
Bestuur itu dinyatakan sebagai suatu penyelenggaraan pemerintahan yang bebas
dan secara spontan. Di samping itu, menurut C. van. Vollenhoven, fungsi Regeling
memiliki fungsi untuk membuat peraturan. Jadi, menurut C. van. Vollenhoven
fungsi membuat peraturan itu sebenarnya tidak murni merupakan monopoli dari
lembaga legislatif (Ronald S.Lumbuun, 2011:148).
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Hans Kelsen yang mengatakan bahwa
lembaga legislatif tidak pernah memonopoli pembuatan norma-norma umum, tetapi
hanya menempati posisi tertentu yang lebih disukai.
Maria Farida Indrati Soeprapto mencoba membahas tentang lembaga negara dan
perundang-undangan berdasarkan ketentuan Perubahan UUD 1945. Menurutnya
(2007: 126-129), Sistem Pemerintah Negara sesudah Perubahan UUD 1945 adalah
sebagai berikut:
I. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan, Negara Indonesia adalah
negara hukum, dengan demikian hal ini bedampak pula pada prinsip
pemerintahan yang berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar).
II. Kekuasaan Negara yang tertinggi adalah di tangan rakyat, sesuai dengan
rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Perubahan yang menetapkan bahwa,
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar.
III. Majelis Permusyawaran Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui
pemilihan umum, dan mempunyai wewenang untuk:
a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
c. memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya menurut Undang-Undang Dasar, sesuai Pasal 3 UUD 1945
Perubahan;
d. memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam terjadi kekosongan;
dan
e. memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal terjadi
kekosongan, sesuai Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 Perubahan.
Menurut Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 Perubahan, Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Menurut Pasal 20A UUD 1945 Perubahan, Dewan Perwakilan Rakyat juga
memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, memiliki
hak interppelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, sedangkan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat juga mempunyai hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
VI. Menteri Negara ialah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggung
jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa
dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer), hal ini
ditegaskan dalam Pasal 7C UUD 1945 Perubahan, yang menyatakan bahwa
Presiden tidak dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sesuai ketentuan dalam Pasal 7A dan Pasal 7B serta 20A UUD 1945
Perubahan, Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-
tindakan Presiden, sehingga apabila Dewan Perwakilan Rakyat menganggap
bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden, yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar, maka
melalui putusan Mahkamah Konstitusi Dewan Perwakilan Rakyat dapat
mengusulkan pemberhentian Presiden kepada Majelis Permusyawaran
Rakyat. Seperti dalam sistem pemerintahan negara sebelum Perubahan UUD
1945, maka Menteri-menteri negara pegawai biasa. Meskipun kedudukan
Menteri negara tergantung pada Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai
tinggi biasa, oleh karena Menteri-menterilah yang terutama menjalankan
kekuasaan Pemerintah (pouvoir executif) dalam praktik.
Dengan rumusan dalam Batang Tubuh UUDNRI Tahun 1945 dan gambaran dari
sistem pemerintahan negara tersebut, Maria Farida Indrati (2007: 130) berpendapat
bahwa sebenarnya Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan
(separation of power) dalam penyelenggataan Pemerintahan Negara RI.
Dalam Pasal 4 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 ditegaskan: “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”
Ketentuan ini mengandung makna bahwa Presiden adalah Kepala Pemerintahan
Negara di Republik Indonesia.
Menurut ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 8 juncto Pasal 37 UUD 1945 (setelah
Perubahan), MPR hanya memiliki 4 (empat) kewenangan, yaitu:
Dengan demikian, setelah Perubahan UUD 1945, MPR tidak lagi berwenang
menetapkan garis-garis besar haluan negara dan ketetapan-ketetapan yang bersifat
mengatur (regeling) dan mengikat untuk umum seperti sebelumnya. Satu-satunya
produk hukum yang bersifat mengatur (regeling) yang termasuk dalam ruang
lingkup kewenangan MPR dewasa ini adalah produk perubahan UUD yang
dilakukan menurut ketentuan Pasal 37 UUD 1945 (setelah Perubahan).
Oleh karena itu, MPR tidak lagi mempunyai kewenangan untuk menetapkan
peraturan di luar perubahan UUD, maka terhitung sejak terbentuknya MPR hasil
Pemilihan Umum 2004 tidak akan ada lagi produk hukum yang berisi norma yang
mengatur yang ditetapkan oleh MPR, selain dari produk Perubahan UUD 1945
(Jimly Asshiddiqie, 2010a: 36).
2. Presiden
Pasal 20 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 menegaskan: “Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Sedangkan Pasal 5 ayat (1)
UUDNRI Tahun 1945 menegaskan: “Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” Ketentuan ini dapat
ditafsirkan bahwa Presiden hanya berhak untuk mengajukan RUU usul inisiatif
kepada DPR. Akan tetapi, jika Pasal 5 ayat (1) dihubungkan dengan Pasal 20 ayat
(2) UUDNRI Tahun 1945 yang menetapkan bahwa “Setiap rancangan undang-
undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.”, maka pertanyaan yang timbul adalah apa makna
“persetujuan bersama” tersebut? “Persetujuan bersama” di sini adalah bahwa antara
DPR dan Presiden (menteri yang mewakili) harus sama-sama setuju terhadap RUU
yang sedang dibahas di DPR. Baik DPR maupun Presiden (menteri yang mewakili)
keduanya harus setuju, tidak bisa yang setuju hanya salah satu saja, DPR saja atau
Pemerintah saja. Dengan demikian, “persetujuan bersama” di sini mutlak sifatnya
dan tidak bisa ditawar tawar lagi (Wicipto Setiadi, 2004: 24).
Lembaga-Lembaga Negara Lainnya
Selain MPR yang berwenang mengubah UUD serta Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden yang berwenang membentuk UU, masih terdapat lembaga-lembaga negara
lainnya yang mempunyai fungsi tertentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara
di Indonesia.
Namun demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011
yang menyatakan “ Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR,
DPR, DPD, MA, MK, BPK, Komisi Yudisial, ...dst. diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Jadi, Peraturan
Perundang-undangan dapat dibentuk atau ditetapkan berdasarkan delegasi atau
atribusi.
1. Presiden
Lebih lanjut, Maria Farida Indrati Soeprapto (2007: 152) menegaskan, sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan, Presiden dalam menjalankan Pemerintahan
Negara memegang kekuasaan dan tanggung jawab sebagai penyelenggara tertinggi
pemerintahan negara, sehingga Presiden juga penyelenggara tertinggi perundang-
undangan negara bersama DPR.
Dalam hal ikhwal yang memaksa atau negara dalam keadaan darurat
(staatsnoodrecht), Presiden berhak menetapkan Perpu sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 22 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Dalam
hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan
Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang.”
Untuk mewujudkan mekanisme check and balances antara Presiden dan DPR, ada
kriteria normatif yang harus dipenuhi dalam menetapkan Perpu sebagaimana dalam
Pasal 22 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945, yang intinya bahwa Perpu harus mendapat
persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. Apabila DPR tidak menyetujui,
Perpu tersebut harus dicabut. Pasal ini bertujuan untuk mengantisipasi agar
pemerintahan tetap dianggap kredibel.
Menurut Bagir Manan dan Kuntana Magnar (1997: 152), ditinjau dari segi
wewenang, Perpres dapat dibedakan :
2. Menteri-menteri Negara
“Pasal 17
Selain itu, dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 8 UU No. 23 Tahun 1999
disebutkan: ”Peraturan Bank Indonesia adalah ketentuan hukum yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan dan dimuat dalam
Lembaran Negara.
5. Pemerintahan Daerah
Dari ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6) UUDNRI Tahun 1945 ini dapat
disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota
mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan
lainnya, dalam melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUDNRI Tahun 1945 dan Pasal 236
UU No. 23 Tahun 2014 tersebut, kewenangan Pemerintah Daerah dalam
pembentuhan Peratuan Daerah tersebut diberikan secara atribusi, baik melalui
Pasal 18 ayat (6) UUDNRI Tahun 1945 maupun Pasal 236 UU No. 23 Tahun
2014.
6. Kepala Daerah
Dalam ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah disebutkan bahwa “Setiap Daerah dipimpin oleh kepala Pemerintahan
Daerah yang disebut kepala daerah.” Kemudian, dalam Pasal 65 huruf g
disebutkan bahwa kepala daerah mempunyai tugas melaksanakan tugas lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pasal 65
huruf g ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 246 ayat (1) UU No.23 Tahun
2014, yang menyebutkan: Untuk melaksanakan Perda atau atas kuasa peraturan
perundang-undangan, kepala daerah menetapkan Perkada;
Pemerinahan Desa
Perdes terdiri atas Peraturan Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa, dan
Peraturan Kepala Desa [Pasal 69 ayat (1) No. 6/2014 tentang Desa].
Kepala Desa
C. LATIHAN SOAL/TUGAS
1. Setelah perubahan UUD 1945, apakah MPR mempunyai kewenangan untuk
menetapkan ketetapan yang bersifat mengatur (regeling) dan mengikat umum
seperti sebelumnya? Jelaskan!
2. Bagaimana apabila DPR “nekad” menyampaikan RUU yang disetujui secara
aklamasi oleh fraksi-fraksi di DPR tetapi tidak disetujui oleh Pemerintah
tersebut kepada Presiden untuk disahkan berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat
(4) UUDNRI Tahun 1945? Jelaskan!
3. Mengapa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus mendapat
persetujuan DPR pada bersidangan yang berikut? Jelaskan!
4. Apakah Peraturan Pemerintah dapat dibentuk berdasarkan kewenangan
atribusi? Jelasakan!
D. DAFTAR PUSTAKA
Buku
Manan, Bagir. 1997. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung:
Alumni.
Media Massa
Peraturan Perundang-Undangan