Anda di halaman 1dari 14

Nama : Nabila Maulida Program Studi : Ilmu Hukum

NIM : 181010250449 Mata Kuliah : Hukum Dagang

Kelas : V. 113 Dosen : Yusman S.H., M.H.

Menganalisis 5 Kasus yang Berhubungan Dengan Hukum Dagang

Kasus Pertama
Berawal dari adanya perjanjian utang-piutang antara pemohon pailit yaitu CV Widya Mandiri
(selanjutnya disebut debitor) dengan para pihak supplier dan PT Bank Mandiri Tbk (selanjutnya
disebut kreditor). Perjanjian-perjanjian yang dibuat pemohon pailit merupakan bagian dari transaksi
jual produk hasil-hasil bumi antara lain pinang, gambir, damar, kopi dengan pihak supplier.

Permohonan Pailit diajukan oleh Debitor sendiri yaitu CV Widya Mandiri yang diwakili oleh
Petrus Hendya Suyono dengan dalil Debitor mempunyai 2 (dua) atau lebih Kreditor dan tidak
membayar utang yang telah jatuh tempo. Kepailitan CV Widya Mandiri sebagaimana terkait Pasal 5
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan “Permohonan
pernyataan pailit terhadap suatu firma harus memuat nama dan tempat tinggal masing-masing
pesero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma.”

Ketentuan Pasal 5 UUKPKPU di atas secara redaksional berlaku untuk permohonan pailit yang
ditujukan pada Firma. Sementara itu dalam praktik, bentuk usaha CV lebih banyak ditemukan dan
dipergunakan pelaku usaha untuk bentuk perusahaannya. Oleh karena itu, diperlukan suatu
penelaahan dan penelitian mengenai kepailitan Persekutuan Komanditer yang diharapkan dapat
memberikan kontribusi berupa konsep keilmuan sehingga dapat mendukung kesesuaian antara
kaidah dan asas–asas dalam hukum kepailitan khususnya kepailitan Persekutuan Komanditer.

Kepailitan persekutuan Komanditer sebagaimana terkait Pasal 5 UUK-PKPU atas permohonan


pailit persekutuan komanditer harus diajukan oleh sekutu yang secara tanggung renteng terikat
untuk seluruh utang persekutuan.

Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor dapat dilihat
pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, yang berbunyi bahwa “debitor yang mempunyai dua atau lebh
kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri atau maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya”.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-Undang nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menunjukkan bahwa pihak yang dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi seorang debitor adalah :

a) Debitor yang bersangkutan


b) Kreditor atau para kreditor
c) Kejaksaan untuk kepentingan umum
d) Bank indonesia apabila debitornya adalah bank
e) Badan Pengawas Pasar Modal (BAPePAM) apabila debitornya adalah perusahaan efek, bursa
efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian
f) Menteri Keuangan apabila debitornya adalah perusahaan asuransi,
g) Perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di
bidang kepentingan publik.

Kepailitan Persekutuan Komanditer sebagaimana terkait Pasal 5 UndangUndang Kepailitan yang


seharusnya mengajukan permohonan kepailitan adalah sekutu yang secara tanggung renteng terikat
untuk seluruh utang persekutuan komanditer, namun dalam hal ini Permohonan Kepailitan yang
diajukan oleh CV Widya Mandiri yang diwakili oleh Petrus Hendra Suyono sebagai Persero Pengurus.

Persekutuan Komanditer (CV) tidak diatur secara khusus oleh undangundang, baik di dalam
KUHPerdata maupun KUHD, akan tetapi pengaturannya mengacu pada ketentuan-ketentuan
Maatschap dalam KUHPerdata dan Persekutuan Firma, antara lain Pasal 19, 20, 21, 30 ayat (2) dan 32
KUHD. Ketentuan-ketentuan Maatschap diberlakukan tentu saja sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan khusus dalam KUHD seperti disebutkan di atas.

Berdasarkan ketentuan KUHPerdata dan KUHD maka hanya sekutu pengurus (komplementer)
yang dapat melakukan tindakan, tidak sekedar melakukan pengurusan terhadap jalannya
Persekutuan Komanditer tetapi juga melakukan perbuatan/hubungan hukum atas nama Persekutuan
Komanditer dengan pihak ketiga dan bertanggung jawab penuh terhadap persekutuan. Sedangkan
sekutu komanditer hanya memiliki hubungan intern saja dengan sekutu komplementer, tidak
diperkenankan melakukan tindakan hukum atas nama persekutuan dengan pihak ketiga. Hal ini
disebabkan kedudukan sekutu komanditer yang hanya bertanggung jawab terbatas pada
persekutuan sebesar jumlah pemasukannya dan berkewajiban melunasi pemasukan (modal) tersebut
sebagaimana telah dijanjikan untuk dimasukkan dalam persekutuan.

Pengaturan CV ini berada di dalam pengaturan masalah firma sebab pada dasarnya CV juga
merupakan firma dengan bentuk khusus, dimana kekhususannya terletak pada adanya sekutu
komanditer yang pada firma tidak ada. Pada firma hanya ada sekutu kerja atau Firmant, sedangkan
pada CV, kecuali ada sekutu kerja juga ada sekutu komanditer atau sekutu diam (sleeping partner).
Persekutuan komanditer itu ialah persekutuan firma yang mempunyai satu atau beberapa orang
sekutu komanditer. Sekutu komanditer adalah sekutu yang hanya menyerahkan uang, barang atau
tenaga sebagai pemasukan pada persekutuan, sedangkan dia tidak turut campur dalam pengurusan
atau penguasaan dalam persekutuan.

Pengajuan Permohonan Pailit CV Widya Mandiri dilakukan oleh direktur CV Widya Mandiri yaitu
Petrus Hendra Suyono sebagai Persero Pengurus. Dikaitkan dengan Pasal 5 UUK-PKPU menyebutkan
“Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma harus memuat nama dan tempat tinggal
masing-masing pesero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma.” Yang
seharusnya mengajukan permohonan pailit yaitu Tuan Petrus Suyono selaku sekutu pengurus, tetapi
dalam kepailitan CV Widya Mandiri yang mengajukan permohonan pailit adalah Persekutuan
Komanditer tersebut yang diwakili oleh Tuan Petrus Suyono.

Kesimpulan dari analisis pada kasus ini ialah Permohonan Kepailitan CV Widya Mandiri diajukan
oleh Direktur CV Widya Mandiri mewakili Persekutuan Komanditer. Dalam pasal 5 UU No 37 tahun
2004 seharusnya yang mengajukan permohonan adalah sekutu pengurus yang bertanggung jawab
secara tanggung renteng. Permohonan Kepailitan seharusnya menyebutkan nama dan tempat
tinggal sekutu pengurus bukan CV Widya Mandiri yang diwakili oleh sekutu pengurus. Kedudukan
CV Widya Mandiri sebagai badan usaha yang tidak berbadan hukum tidak dapat menjadi subjek
hukum kepailitan walaupun yang menjadi objek hukum dari kepailitan adalah harta persekutuan
komanditer, maka mengakibatkan bunyi putusan Pengadilan Niaga tidak tepat.

Kasus Kedua
Kemajuan Merek dagang di indonesia semakin banyak macam pilihannya dengan teknologi
informasi dan komunikasi yang mendukung perkembangan berbagai macam-macam merek yang
terkenal di masyarakat luas. Adanya kesamaan nama antara GeprekBensu milik Ruben Onsu dengan
Kedai Bengkel Susu (Bensu) yang dimiliki oleh Jessy Handalim, serta terdapat permasalah sertifikat
yang dimiliki oleh kedua perusahaan tersebut yang dimana keduanya memiliki kesamaan nama
belakang dari merek tersebut. Maka dari itu, pemilik asli nama dari Bensu yaitu Ruben Onsu
menggugat saudara Jessy Handalim ke Pangadilan Niaga atas kesamaan nama yang telah dibuat.
Terdapat juga pengajuan permohonan pendaftaran produk ke Ditjen KI.

Berdasarkan fakta berita, bahwa adanya kesamaan nama antara Geprek Bensu milik Ruben Onsu
dengan Kedai Bengkel Susu (Bensu) yang dimiliki oleh Jessy Handalim, terdapat juga permasalahan
sertifikat yang dimiliki oleh kedua perusahaan tersebut yang dimana keduanya memiliki kesamaan
nama belakang dari merek tersebut. Pemilik asli dari nama Bensu yaitu Ruben Onsu menggugat
saudara Jessy Handalim ke Pangadilan Niaga atas kesamaan nama yang telah dibuat. Oleh karena
itu, terdapat pengajuan permohonan pendaftaran produk ke Ditjen Kekayaan Intelektual oleh Ruben
Onsu. Akan tetapi tergugat yaitu Jessy Handalim juga sudah mendaftarkan terlebih dahulu
produknya ke Ditjen Kekayaan Intelektual. Pihak dari Ruben Onsu mengajukan gugatan dengan
Nomor Perkara 48/Pdt.SusHKI/Merek/2018/PN Niaga Jkt.Pst pada tanggal 25 September 2018.
Berikut isi Gugatan yang diinginkan oleh Ruben Onsu terhadap merek Bensu:

1. Menerima dan mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;


2. Menyatakan singkatan nama Penggugat “BENSU” adalah singkatan nama orang terkenal;
3. Menyatakan merek Geprek Bensu milik Penggugat adalah merek terkenal;
4. Menyatakan Penggugat sebagai pendaftar merek “BENSU” yang beritikad baik dan
mempunyai hak tunggal/khusus untuk memakai merek tersebut;
5. Menyatakan merek BENSU yang didaftarkan oleh Tergugat dengan nomor IDM000622427
dalam kelas 43 dibatalkan karena merupakan singkatan nama terkenal milik penggugat;
6. Menyatakan merek BENSU yang didaftarkan oleh Tergugat dengan nomor IDM000622427
dalam kelas 43 dibatalkan karena mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek
Geprek Bensu Penggugat;
7. Menyatakan merek BENSU yang didaftarkan oleh Tergugat dengan nomor IDM000622427
dalam kelas 43 dibatalkan karena permohonannya diajukan atas dasar iktikad tidak baik;
8. Memerintahkan turut Tergugat untuk membatalkan merek BENSU atas nama JESSY
HANDALIM dengan nomor pendaftaran IDM000622427 untuk kelas 43 dengan mencoretnya
dari Daftar Umum Merek dan Berita Resmi;
9. Merek dengan segala akibat hukumnya;
10. Membebankan Tergugat untuk membayar biaya perkara.

Dalam gugatan yang di buat oleh Kuasa Hukum dari Ruben Onsu sebagai pemilik utama dari
nama Bensu tersebut, terdapat petitum yang dimana tergugat Jessy Handalim harus membatalkan
pendaftaran produknya kepada Ditjen Kekayaan Intelektual yang sudah tertulis di dalam surat kuasa
yang di buat oleh kuasa hukum dari Ruben Onsu yakni Minola Sebayang. Karena merek Bensu ini
merupakan kepanjangan dari nama Ruben Onsu. Adapun pengaturan dasar mengenai merek yaitu
sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953);
2. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia No. 67 Tahun 2016 Tentang
Pendaftaran Merek.

Jadi, berdasarkan kasus antara Geprek Bensu milik Ruben Onsu dengan Kedai Bengkel Susu
(Bensu) milik Jessy Handalim, apabila Ruben Onsu yang pertama kali mendaftarkan mereknya
dibanding Jessy Handalim, maka Ruben lah yang berhak mendapat perlindungan hukum serta
berhak atas sertifikat merek Bensu dengan merujuk ketentuan yang mengatur mengenai merek
diatas. Apabila ada pihak lain yang ingin menggunakan merek Bensu tersebut, maka harus meminta
izin terlebih dahulu oleh pemilik aslinya yaitu Ruben Onsu.

Permasalahan nama merek antara Geprek Bensu milik Ruben Onsu dengan Kedai Bengkel Susu
(Bensu) yang dimiliki oleh Jessy Handalim upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh
perlindungan hukum apabila merek tersebut belum terdaftar atau didaftarkan yaitu dengan melalui
pendaftaran merek yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan
Indikasi Geografis Pasal 4 hingga 8.

Perlindungan hukum terhadap pendaftaran merek produk makanan berdasarkan ketentuan Pasal
4 hingga Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 bahwa pendaftar pertama berdasarkan asas
first to file system yang artinya bahwa pendaftar pertama lah yang berhak untuk menggunakan
secara sah merek tersebut. Berkaitan dengan kasus Ruben Onsu dalam hal Ruben yang pertama kali
mendaftarkan merek bensunya, maka Ruben lah yang berhak mendapatkan perlindungan hukum
serta menggunakan sertifikat merek Bensu tersebut. Apabila pihak lain yang ingin menggunakan
atau mencoba memakai merek tersebut tanpa izin dari pemilik aslinya maka terdapat sanksi Pidana
yang terdapat dalam Pasal 100 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 serta sanksi
perdatamelalui jalur litigasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata,
maupun jalur non litigasi.

Sebaiknya kepada pemilik asli dari merek Bensu yaitu Ruben Onsu mengajukan permohonan
pendaftaran merek kepada Ditjen Kekayaan Intelektual sesuai dengan prosedur yang telah
ditentukan, agar kedepannya tidak terjadi permasalahan dalam penggunaan merek yang
bersangkutan.

Kasus Ketiga
Perdagangan merupakan salah satu topik yang mengundang banyak kontroversi di Indonesia.
Berbagai macam masalah sering terjadi di sektor perdagangan. Salah satu masalah yang cukup
marak dibahas dan menjadi pokok perhatian para ahli hukum di Indonesia adalah mengenai
pelanggaran merek dagang. Kasus pelanggaran hak merek masih cukup sering terjadi di Indonesia.
Oleh sebab itu dibutuhkan suatu telaah mendalam yang mengkaji tentang pelanggaran hak merek,
sehingga kasus pelanggaran hak merek di Indonesia dapat lebih diminimalisasi. Salah satu kasus
pelanggaran hak merek di Indonesia terjadi pada produk obat sakit kepala Oskangin. Berdasarkan
pertimbangan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Oskangin terbukti menggunakan
merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan Oskadon dan memiliki itikad tidak baik
yaitu membonceng ketenaran Oskadon. Persamaan pada pokoknya terdapat pada kata ‘Oska’ yang
mendominasi unsur kata Oskadon. Keputusan majelis hakim pada akhirnya mengabulkan
permohonan penggugat dan membatalkan merek Oskangin.

Oskadon merupakan salah satu obat sakit kepala yang sudah cukup lama beredar di Indonesia.
Masyarakat Indonesia pun sudah tidak asing lagi jika mendengar merek obat sakit kepala yang satu
ini. Slogan “Oskadon Memang Oye!” ternyata bukan hanya suatu slogan kosong belaka. Hal ini
terbukti saat Oskadon mengajukan gugatan ke pengadilan. Merek obat sakit kepala ini ternyata tidak
terkalahkan melawan obat sejenis dengan merek Oskangin. Oskadon telah menggugat merek
Oskangin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).

Hasilnya hakim mengabulkan permohonan tersebut serta memerintahkan Oskangin mencabut


nama tersebut. Ketua majelis hakim Marsudin Nainggolan dalam sidang di PN Jakpus mengabulkan
permohonan penggugat dan membatalkan merek Oskangin. Menurut majelis hakim, berdasarkan
bukti merek Oskadon telah dipromosikan secara besar-besaran sudah sejak lama. Sedangkan
Oskangin baru terdaftar sejak 1 Juli 2010. Majelis juga beralasan membatalkan merek Oskangin
karena merek tersebut mengandung unsur kata ‘Oska’ yang mendominasi unsur kata Oskadon.
Menurut ketua majelis hakim Marsudin Nainggolan, Oskangin telah mendaftarkan merek
Oskangin dengan berniat membonceng ketenaran merek Oskadon. Selain itu, kata ‘Oska’ telah
digunakan sebagai merek Oskadon terlebih dahulu dibanding Oskangin. Hakim juga melihat secara
visual antara kedua merek tersebut memiliki persamaan pada pokoknya. Menurut ketua majelis
hakim Marsudin Nainggolan, tergugat terbukti memiliki itikad tidak baik karena mempunyai
persamaan pada pokoknya. Menanggapi putusan ini, kuasa hukum Oskadon Nur Hatimah mengaku
senang. Sebab putusan hakim seperti yang diharapkan oleh kliennya. Sementara kuasa hukum
Oskangin, Irawan Adnan mengaku kecewa dan akan mengajukan kasasi.

Berdasarkan kasus tersebut, diketahui bahwa jenis produk dari kedua merek yang memiliki
sengketa sama-sama merupakan obat sakit kepala. Penggunaan kata “Oska” pada merek obat sakit
kepala Oskangin memang sangat mirip dengan merek Oskadon. Kesamaan-kesamaan seperti ini
memang mengindikasikan adanya itikad tidak baik dari pihak Oskangin karena cenderung menjiplak
atau meniru merek Oskadon yang sudah terlebih dahulu dikenal oleh masyarakat luas.

Pembatalan merek Oskangin oleh majelis hakim memang sudah merupakan keputusan yang
tepat. Hal ini dilakukan dengan dasar sebab yang jelas baik dari aspek perizinan dan tampilan
visualnya. Merek Oskadon telah terlebih dahulu terdaftar sebagai merek dagang yang sah dan
dilindungi Undang-Undang, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Sedangkan
Oskangin baru terdaftar pada tahun 2010. Oskangin diduga memiliki maksud tidak baik dengan
memakai unsur kata “Oska”, yaitu memanfaatkan popularitas dari merek Oskadon demi
memudahkan promosi agar lebih cepat mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Namun,
masyarakat yang cerdas tentu dapat menilai originalitas dari kedua merek tersebut. Merek manakah
yang meniru (plagiat) dan merek manakah yang ditiru.

Kasus Keempat

Sengketa Rahasia dagang dapat terjadi karena seseorang tidak bisa menjaga Rahasia itu dengan
baik. Biasanya, seseorang akan membocorkan Rahasia dagang suatu perusahaan apabila diiming –
imingi uang yang berjumlah besar. Pelanggaran rahasia dagang dianggap telah terjadi jika terdapat
seseorang dengan sengaja mengungkapkan informasi atau mengingkari kesepakatan atau
mengingkari kewajiban (wanprestasi) atas perikatan yang telah dibuatnya baik tersurat maupun
tersirat untuk menjaga rahasia dagang dimaksud.

Seseorang pun dianggap telah melanggar rahasia dagang orang lain jika ia memperoleh atau
menguasai rahasia dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Kekecualian terhadap ketentuan pelanggaran rahasia dagang ini diberikan terhadap


pengungkapan atau penggunaan rahasia dagang yang didasarkan untuk kepentingan pertahanan
keamanan, kesehatan, dan keselamatan masyarakat di samping berlaku pula untuk tindakan rekayasa
ulang atas produk yang dihasilkan dari penggunaan rahasia dagang milik orang lain yang dilakukan
semata-mata untuk kepentingan pengembangan lebih lanjut produk yang bersangkutan.

Dalam kasus ini yang menjadi terdakwa adalah Danar Dono, karyawan PT Kota Minyak
Automation yang dituntut oleh PT Kota Minyak Automation. Yang menjadi permasalahan dalam
kasus ini adalah pembocoran rahasia dagang PT Kota Minyak Automation yang dilakukan oleh Danar
Dono. Danar Dono membocorkan rahasia perusahaan tempatnya bekerja kepada saingan
perusahaannya. Kasus ini terjadi di Jakarta tahun 2007, dan dibawa ke Mahkamah Agung tahun 2009.

 Maret 2007, Danar Dono yang bekerja di PT Kota Minyak Automation membuat design,
gambar, dokumentasi, kalkulasi harga untuk penyusunan proposal tender pengadaan barang
berupa cerobong api di PT. Medco E&P Indonesia.
 Tanpa diketahui oleh PT Kota Minyak Automation, Danar Dono juga mengerjakan proposal
yang sama untuk perusahaan saingan yaitu PT Envico dengan tujuan memenangkan tender
dari PT. Medco E&P Indonesia yang sedang diikuti oleh PT Kota Minyak Automation. PT
Envico meminta Danar Dono untuk mengerjakan proposal tersebut karena Danar Dono telah
mengatakan bahwa ia telah keluar dari PT Kota Minyak Automation. Atas keperluan ini PT
Envico membayar 200 juta rupiah pada Danar Dono.
 Danar Dono kemudian dengan sengaja membuatkan proposal penawaran PT Kota Minyak
Automation dengan harga yang lebih tinggi dengan jumlah penawaran sebesar $ 128.404,00
sedangkan untuk proposal penawaran PT Envico lebih rendah dengan jumlah penawaran
sebesar $ 121.331,00 dan sengaja membuat PT Kota Minyak Automation tidak memiliki
software untuk perhitungan ‘ground level concentraton’ sehingga tidak lolos secara tekhnikal
sehingga setelah tender dibuka oleh PT Medco E&P Indonesia perwakilan PT Kota Minyak
Automation kalah dan PT Envico menjadi pemenang tender.
 Perbuatan Danar Dono lalu diketahui oleh PT Kota Minyak Automation berdasarkan file
computer terdakwa, dimana terdapat Purchase Order dari PT Metalindo Perkasa Mandiri
yang ditujukan PT Envico atas nama Danar Dono.
 Karena ini PT Kota Minyak Automation mengalami kerugian, kemudian lalu menuntut Danar
Dono di PN Jakarta Utara. Hakim PN Jakarta Utara memutuskan bahwa Danar Dono telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja tanpa
hak mengingkari kesepakatan untuk menjaga rahasia dagang, melakukan perbuatan
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 13 dan pasal 14 sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam pasal 17 ayat (1) UU RI No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, juga diatur
dan diancam pidana sesuai pasal 323 ayat (1) KUHP, dan menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa dengan pidana penjara selama satu tahun.
 Danar Dono lalu mengajukan banding terhadap putusan ini. Pengadilan Tinggi Jakarta
kemudian memutuskan sama dengan PN Jakarta Utara dan menambah kurun waktu pidana
penjara Danar Dono menjadi 1 tahun 2 bulan.
 Danar Dono yang masih merasa tidak puas kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung.

Hakim Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari Danar Dono, kemudian
membebankan pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi. Alasan
pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan, judex facti tidak salah menerapkan hukum yaitu dalam
menerapkan dakwaan yang telah terbukti, di mana seharusnya tedakwa melindungi kepentingan
perusahaan tempatnya bekerja yang telah memberi gaji dan mengikat perjanjian kerja dengan
terdakwa, terdakwa mengungkapkan informasi pada pihak lain yaitu kepada PT Envico sehingga
perusahaan PT Kota Minyak Automation tidak dapat memenangkan tender pengadaan cerobong api
dan mengalami kerugian. Putusan judex facti tidak bertentangan dengan hukum dan atau undang –
undang, sehingga harus ditolak.

Dalam kasus di atas dapat dilihat bahwa Danar Dono telah sengaja membocorkan rahasia
perusahaan tempatnya bekerja kepada perusahaan kompetitor sehingga perusahaan kompetitor
dapat memenangkan tender yang seharusnya dimenangkan oleh perusahaan tempatnya bekerja.
Untuk itu, memang benar apa yang telah diterapkan oleh PN Jakarta Utara dan PT Jakarta bahwa
Danar Dono terbukti telah melakukan pelanggaran Rahasia Dagang yang dimuat dalam UU no. 30 th
2000 tentang Rahasia Dagang. Pasal – pasal tersebut berbunyi;

 Pasal 13; Pelanggaran Rahasia Dagang juga terjadi apabila seseorang dengan sengaja
mengungkapkan Rahasia Dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban
tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang yang bersangkutan.

 Pasal 14; Seseorang dianggap melanggar Rahasia Dagang pihak lain apabila ia memperoleh
atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Salah satu kasus yang dapat dijadikan sebagai perbandingan adalah kasus Cohen vs
Lindenbaum. Meski kasus tersebut masuk dalam ranah perdata, tapi disini dapat disimpulkan bahwa
sebagai perusahaan yang merugi akibat rahasianya dibocorkan, maka Lindenbaum berhak
mengajukan gugatan terhadap Cohen. Dalam kasus ini, dapat dilihat karena PT Kota Minyak
Automation merugi karena rahasianya dibocorkan, maka perusahaan ini berhak menuntut orang
yang membocorkan rahasia dagangnya. PT Envico tidak bersalah karena tidak mengetahui bahwa
Danar Dono masih bekerja dalam perusahaan saingannya, sehingga tidak dapat dituntut.

Terjadinya pengungkapan informasi yang dimiliki satu pihak kepada pihak lainnya tanpa
diketahui oleh pihak pemilik informasi dapat menimbulkan kerugian bagi pemilik informasi tersebut.
Dalam kasus di atas, pengungkapan informasi dilakukan oleh buruh dari pemilik informasi dimana
sebenarnya masalah ini telah ada pengaturannya. Pengaturan yang dimaksud disini adalah kewajiban
bagi buruh untuk menjaga kerahasiaan informasi yang dimiliki oleh tempat dimana ia bekerja
berdasarkan perjanjian yang mengaturnya.

Untuk masalah hukum kedua, tercantum dalam pasal 3 UU No. 30 th 2000 yaitu yang termasuk
dalam rahasia dagang yang dapat dilindungi;

(1) Rahasia Dagang mendapat perlindungan apabila informasi tersebut bersifat rahasia mempunyai
nilai ekonomi, dan dijaga kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya

(2) Informasi dianggap bersifat rahasia apabila informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak
tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat.

(3) Informasi dianggap memiliki nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat
digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dalam
meningkatkan keuntungan secaraekonomi.

(4) Informasi dianggap dijaga kerahasiaannya apabila pemilik atau para pihak yang menguasainya
telah melakukan langkah-langkah yang layak dan patut.

Apabila dilihat dan dihubungkan dengan ketentuan pasal 3 tersebut, Karena proposal yang
dibuatkan oleh Danar Dono untuk PT Kota Minyak Automation tidak diketahui umum dan
mempunyai nilai ekonomi serta dijaga kerahasiaannya melalui upaya mencantumkan ketentuannya
dalam peraturan tata tertib perusahaan maka termasuk kedalam rahasia dagang sehingga harus
dilindungi. Dan karena Danar Dono telah melakukan perbuatan membocorkan rahasia tersebut maka
ia memang melakukan tindak pidana sehingga harus dipidana.

Untuk masalah hukum nomor 3, Tidak adanya peraturan perundangan yang mengatur secara
eksplisit mengenai perjanjian antara buruh dengan pengusaha terhadap adanya kewajiban untuk
menjaga rahasia dagang perusahaan tempatnya bekerja, baik dalam UU No. 30 Tahun 2000 tentang
Rahasia Dagang (UU Rahasia Dagang), peraturan perundangan di bidang perburuhan, UU No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti
Monopoli), maupun dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP), bukan berarti tidak ada pengaturan terhadap hal tersebut. Dalam
prakteknya, perjanjian mengenai rahasia dagang ini diatur dalam perjanjian kerja antara buruh
dengan pengusaha.

Perjanjian kerja merupakan salah satu dari perjanjian untuk melakukan pekerjaan sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 1601 KUHPerdata. Sebagai perjanjian yang mempunyai ciri-ciri khusus
(yakni mengenai perburuhan), pada prinsipnya perjanjian kerja juga merupakan perjanjian sehingga
sepanjang mengenai ketentuan yang sifatnya umum, terhadap perjanjian kerja berlaku ketentuan
umum.

Perjanjian kerja merupakan perjanjian yang memaksa (dwang contract) karena para pihak tidak
dapat menentukan sendiri keinginannya dalam perjanjian sebagaimana layaknya dalam hukum
perikatan dikenal dengan istilah “kebebasan berkontrak” yang tercantum dalam pasal 1338
KUHPerdata. Dengan adanya perjanjian kerja, para pihak yang mengadakan perjanjian mempunyai
hubungan hukum yang disebut hubungan kerja, dan sejak itulah terhadap mereka yang mengadakan
perjanjian kerja berlaku hukum perburuhan.

Akan tetapi hal ini bukan berarti tidak dapat dibuat suatu kesepakatan lain antara pengusaha
dengan buruhnya yang kemudian dapat dituangkan dalam perjanjian kerja tersebut. Asas kebebasan
berkontrak tetap dapat berlaku sejauh mana tidak bertentangan dengan kaidah heteronom dalam
hukum perburuhan, dengan kata lain tidak bertentangan dengan peraturan perundangan dalam
bidang perburuhan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Unsur-unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian kerja yang ditentukan dalam peraturan
perundangan (kaidah heteronom) antara lain:

1. adanya pekerjaan, yaitu prestasi yang harus dilakukan sendiri oleh pihak penerima kerja, dan tidak
boleh dialihkan kepada pihak lain (bersifat individual);

2. adanya unsur di bawah perintah, dimana dengan adanya hubungan kerja yang terbentuk, tercipta
pula hubungan subordinasi antara pihak pemberi kerja dengan pihak penerima kerja;

3. adanya upah tertentu, yaitu merupakan imbalan dari pekerjaan yang dilakukan oleh pihak
penerima kerja yang dapat berbentuk uang atau bukan uang (in natura)

4. adanya waktu, yaitu adanya suatu waktu untuk melakukan pekerjaan dimaksud atau lamanya
pekerja melakukan pekerjaan yang diberikan oleh pemberi kerja.

Selain dari keharusan adanya unsur-unsur di atas, dimungkinkan untuk dilakukannya perjanjian lain
berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak mengenai hal-hal lain yang dipandang perlu
selama tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Dalam berbagai peraturan perundangan di bidang perburuhan tidak ada ketentuan yang
melarang adanya perjanjian untuk menjaga kerahasiaan suatu informasi yang dimiliki oleh suatu
perusahaan. Akhirnya dapat ditarik kesimpulan, bahwa dengan adanya kesepakatan antara
pengusaha dan buruhnya yang menimbulkan kewajiban bagi buruhnya untuk menjaga kerahasiaan
informasi perusahaan tempat ia bekerja (rahasia dagang perusahaannya) tidak bertentangan dengan
peraturan perundangan yang berlaku dan dapat dilakukan oleh pengusaha dalam rangka melindungi
informasinya yang berharga.

Secara pidana, tuntutan dapat dilakukan berdasarkan UU Rahasia Dagang dan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP). Tuntutan yang dapat dilakukan berdasarkan UU Rahasia Dagang,
dasar hukumnya adalah pasal 13 dan pasal 17(1), yaitu diancam pidana penjara paling lama 2 tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Terhadap pelanggaran
rahasia dagang berdasarkan UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, hanya dapat dilakukan
tuntutan apabila ada aduan dari pihak yang merasa dirugikan (pasal 17(2)). Jadi pelanggaran rahasia
dagang merupakan delik aduan.

Pelanggaran terhadap rahasia dagang dalam KUHP masuk ke dalam lingkup kejahatan. Dasar
hukum yang digunakan adalah pasal 322 ayat 1 KUHP dimana dinyatakan bahwa bagi orang yang
dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya baik itu
yang sekarang ataupun yang dulu dapat diancam pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda
paling banyak sembilan ribu rupiah. Jika pelanggaran rahasia dagang tersebut dilakukan setelah
buruh itu tidak lagi bekerja di perusahaan tersebut dan ia berada pada waktu dimana ia masih harus
menjaga rahasia dagang tersebut maka ketentuan dalam KUHP yang digunakan tidak lagi pasal 322
ayat 1, tetapi menggunakan pasal 323 ayat 1. Pasal 323 ayat 1 menyatakan bagi orang yang dengan
sengaja memberitahukan hal-hal khusus tentang suatu perusahaan dagang, kerajinan atau pertanian,
dimana ia bekerja atau dahulu bekerja, yang seharusnya dirahasiakan, diancam pidana penjara paling
lama 9 bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Dalam pasal 323 ayat 2 disyaratkan
pula adanya pengaduan dari pengusaha untuk dapat mengajukan tuntutan (delik aduan).

Melihat pada peraturan perundangan di bidang perburuhan, maka pelanggaran rahasia dagang
yang dilakukan oleh buruh dapat mengacu pula pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI
(KepmenTK) No. 150/Men/2000 tanggal 20 Juni 2000. Dalam Kepmen. TK tersebut pada pasal 18
ayat 1 (j), dinyatakan bahwa buruh yang melakukan tindakan membongkar atau membocorkan
rahasia perusahaan atau mencemarkan nama baik pengusaha dan atau keluarga pengusaha yang
seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara, dapat diberikan ijin kepada pengusaha
untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh tersebut. Ijin PHK ini diberikan
oleh P4 (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan) Daerah untuk PHK perorangan atau P4 Pusat
untuk PHK massal.

Ketentuan dalam KepmenTK tersebut terdapat pula dalam undang-undang tenaga kerja yang
baru, yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal 158 ayat 1(i)
dinyatakan bahwa pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja atau buruh
dengan alasan telah dilakukannya kesalahan berat membongkar atau membocorkan rahasia
perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara. Kesalahan berat
tersebut harus dibuktikan oleh pengusaha dengan kejadian pekerja atau buruh tertangkap tangan,
ada pengakuan dari pekerja atau buruh yang bersangkutan, atau bukti lain berupa laporan kejadian
yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya dua orang saksi.

Sesuai uraian di atas, apabila dikaitkan dengan kasus, benar bahwa Danar Dono sebagai
karyawan PT Kota Minyak Automation tidak memiliki hak untuk membocorkan rahasia perusahannya
karena ia telah terikat perjanjian kerja oleh perusahaan. Dan perusahaan pun berhak menuntut
secara pidana Danar Dono karena ia memang terbukti melakukan tindak pidana.

Karena hakim di kedua pengadilan tingkat sebelumnya tidak salah dalam menerapkan hukum,
maka benar apa yang diterapkan oleh hakim Mahkamah Agung bahwa permohonan kasasi Danar
Dono harus ditolak. Karena penolakan ini maka Danar Dono harus menjalani pidana yang telah
dijatuhkan oleh pengadilan Tinggi.

Dapat disimpulkan bahwa dalam kasus ini, hakim tidak salah menerapkan hukum dan karena
terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pelanggaran rahasia
dagang maka ia harus dijatuhkan pidana.
Kasus Kelima
Berawal ingin meningkatkankesejahteraan hidup, dua orang karyawan pabrik cokelat PT
BumiTangerang Mesindotama (BTM), Rachmat Hendarto alias Kristoforus (39) dan Andreas Tan Giok
San alias David Tan (34) didakwa telah membocorkan rahasia dagang PT General Food Industri
Bandung (GFIB). Dalam persidangan perkara tindak pidana pembocoran rahasia dagang yang digelar
di Pengadilan Negeri Bandung, Senin, jaksa penuntut umum Ahmad Nurhidayat SH menjerat
perbuatan kedua terdakwa dengan pasal13 jo pasal 17 Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2000
tentang Rahasia Dagang jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH-Pidana. Di hadapan majelis hakim yang
dipimpin hakim ketua Hadi Waluyo SH, jaksa mengatakan, perbuatan kedua terdakwa telah
merugikan PT GFIB, yang mana keduanya saat masih bekerja dan terikat sebagai karyawan PTGFIB,
telah keluar dan bekerja di perusahaan lain yang bergerak di bidang yang sama, yakni pengolahan
biji cokelat menjadi produk makanan olahan. Akibat perbuatan yang dilakukan kedua terdakwa pada
bulan Juni 2005 hingga Maret 2007 itu, pihak PT GFIB yang berkedudukan di Jalan Rajawali Sakti,
Dungus Cariang, Kota Bandung, merasa dirugikan. Saat bekerja di PT GFIB, terdakwa Rachmat
menjabat sebagai Process Engineer atau Process Superintendant, sedangkan terdakwa Andreas
sebagai Roaster Engineer atau Roaster Supervisor. "Karena kedudukan dan keahliannya, terdakwa
Rachmat Hendarto yang berkerja di PT GFIB sejak 10 April 1987, sempat beberapa bulan
disekolahkan ke luar negeri untuk memperkaya keahlian di bidangnya, bahkan yang bersangkutan
sempat menandatangani surat kesepakatantertulis dengan PT GFIB yang isinya antara lain
memegang teguh rahasiadagang dan tidak bekerja selama dua tahun setelah masa
berakhirhubungan kerja pada perusahaan yang bergerak di bidang yang sama,"kata jaksa.

Namun tanpa sepengetahuan dan seijin pihak PT GFIB, terdakwa melamar pekerjaan dan
diterima di perusahaan pengolah biji coklat lain, yakni PTBumi Tangerang Mesindotama (BTM),
dengan jabatan sebagai KepalaPabrik. Selanjutnya terdakwa Rachmat mengajak tersangka Andreas
untuk`hengkang` dari PT GFIB guna bergabung di PT BTM.

Bahkan, kata jaksa, untuk mengelabui PT GFIB, kedua terdakwa membuatsurat lamaran kepada
PT BTM dengan menggunakan nama samaran, yakniterdakwa Rachmat mengganti nama menjadi
Kristoforus RachmatHendarto dan terdakwa Andreas dengan nama David Tan.

Dalam nota dakwaan, dikatakan jaksa, perbuatan kedua terdakwa dianggapoleh PT GFIB telah
melanggar dan mengingkari kesepakatan tertulis danmembocorkan rahasia dagang, sehingga
perbuatan terdakwa diadukan oleh pihak PT GFIB pada tanggal 27 Nopember 2007 ke Polda Jabar.
Setelahmendengar nota dakwaan jaksa penuntut umum, kedua terdakwa melaluikuasa hukumnya M
Jaya SH dan Agung SH, mengajukan nota eksepsi atasdakwaan tersebut yang akan digelar Senin
(21/5) pekan depan.

Usai persidangan, kata kuasa hukum terdakwa, pengaduan pihak PT GFIByang berbuntut kasus
pidana itu dinilai berlebihan, karena PT GFIB telahmelanggar pasal 38 Undang Undang RI Nomor 39
Tahun 1999 tentangHak Asasi Manusia (HAM). Sebagaimana yang diatur dalam UU HAM,kata Agung
SH, semua warga negara berhak dan bebas mencari penghidupan dan kesejahteraan hidupnya yang
layak.
Terdakwa dalam kasus ini adalah Rachmat Hendarto aliasKristoforus dan Andreas Tan Giok San
alias David Tan, karyawanPT.Bumi Tangerang Mesindotama. Dalam kasus ini yang dilakukan
olehRachmat Hendarto alias Kristoforus dan Andreas Tan Giok San aliasDavid Tan adalah
membocorkan Rahasia Dagang PT.General FoodIndustri Bandung yang notabene keduanya saat
masih bekerja dan terikatsebagai karyawan PT GFIB, telah keluar dan bekerja di perusahaan lainyang
bergerak di bidang yang sama, yakni pengolahan biji cokelat menjadi produk makanan olahan.

Dalam perkara ini Jaksa penuntut umum menuntut kedua karyawantersebut dengan pelanggaran
rahasia dagang dan hakim telah memvoniskedua karyawan tersebut dengan hukuman pidana dua
bulan penjara. Kedua terpidana tersebut di anggap telah melanggar Pasal 17 Undang-Undang No.30
Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang, yaitu bahwa “tanpahak telah menggunakan rahasia dagang
pihak lain”.

Menurut hemat penulis mengenai proses hukum dalam kasus ini,hakim tidak salah menerapkan
hukum yaitu dalam menerapkan dakwaanyang telah terbukti, di mana seharusnya terdakwa
melindungi kepentingantempatnya bekerja yang telah memberi gaji dan mengikat perjanjian
kerjadengan terdakwa.

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia
Dagang, yaitu yang termasuk dalam rahasia dagangyang dapat dilindungi :

1) Rahasia Dagang mendapat perlindungan apabila informasi tersebut bersifat rahasia


mempunyai nilai ekonomi, dan dijagakerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya

2) Informasi dianggap bersifat rahasia apabila informasi tersebuthanya diketahui oleh pihak
tertentu atau tidak diketahui secaraumum oleh masyarakat.

3) Informasi dianggap memiliki nilai ekonomi apabila sifatkerahasiaan informasi tersebut dapat
digunakan untuk menjalankankegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau
dalammeningkatkan keuntungan secara ekonomi.

4) Informasi dianggap dijaga kerahasiaannya apabila pemilik atau para pihak yang
menguasainya telah melakukan langkah-langkahyang layak dan patut

Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor30 Tahun 2000, Tentang
Rahasia Dagang kedua karyawan tersebutmenciptakan suatu produk yang sama dengan apa yang
dilakukannyaditempatnya bekerja terdahulu karena Formulasi dari produk yang dibuat untuk
PT.Bumi Tangerang Mesindotama tidak diketahui umum danmempunyai nilai ekonomi serta dijaga
kerahasiannya. Maka perbuatan yang telah ia lakukan tergolong tindak pidana, sehingga harus di
prosessecara hukum berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang HukumPidana (KUHP) yang
berlaku.

Kemudian, Tidak adanya peraturan perundang undangan yangmengatur secara eksplisit


mengenai perjanjian antara karyawan dengan pengusaha terhadap adanya kewajiban untuk menjaga
rahasia dagang perusahaan tempatnya bekerja, baik dalam Undang Undang Nomor 30Tahun 2000
tentang Rahasia Dagang, Undang Undang Nomor 13 Tahun2003 tentang ketenagakerjaan, Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1999tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat(Undang Undnag Anti Monopoli), maupun dalam Kitab Undang-undangHukum Perdata
(KUHPerdata) dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP), bukan berarti tidak ada pengaturan
terhadap hal tersebut. Dalam prakteknya, perjanjian mengenai rahasia dagang ini diatur dalam
perjanjian kerja antara buruh dengan pengusaha.

Perjanjian kerja merupakan salah satu dari perjanjian untuk melakukan pekerjaan sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 1601 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Sebagai
perjanjian yangmempunyai ciri-ciri khusus (mengenai hubungan kerja), pada prinsipnya perjanjian
kerja merupakan sebuah perjanjian yang didalamnya terdapatketerikatan para pihak. Sehingga
sepanjang mengatur mengenai ketentuanyang sifatnya umum, terhadap perjanjian kerja berlaku
ketentuan umum.

Perjanjian kerja merupakan perjanjian yang memaksa (dwang contract)karena para pihak tidak
dapat menentukan sendiri keinginannya dalam perjanjian sebagaimana layaknya dalam hukum
perikatan dikenal dengan istilah “kebebasan berkontrak” yang tercantum dalam pasal
1338KUHPerdata. Dengan adanya perjanjian kerja, para pihak yangmengadakan perjanjian
mempunyai hubungan hukum yang disebuthubungan kerja, dan sejak itulah terhadap mereka yang
mengadakan perjanjian kerja berlaku hukum perburuhan.

Namun, hal ini bukan berarti tidak dapat dibuat suatu kesepakatanantara pengusaha dengan
karyawan yang kemudian dapat dituangkandalam perjanjian kerja tersebut. Asas kebebasan
berkontrak tetap dapat berlaku sejauh mana tidak bertentangan dengan kaidah heteronom
dalamhukum perburuhan, dengan kata lain tidak bertentangan dengan peraturan perundangan
dalam bidang perburuhan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Berdasarkan uraian di atas, apabila dikaitkan dengan kasus yangada, Rachmat Hendarto alias
Kristoforus dan Andreas Tan Giok San aliasDavid Tan, karyawan PT.Bumi Tangerang Mesindotama
tidak memilikihak untuk membocorkan Rahasia Dagang perusahannya, karena ia telahterikat
perjanjian kerja dengan perusahaan. Dan perusahaan pun berhakmenuntut kedua karyawan PT.Bumi
Tangerang Mesindotama tersebutsecara pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 30
Tahun2000 tentang Rahasia Dagang yang berlaku, karena secara sah danmeyakinkan terbukti
melakukan tindak pidana.

Anda mungkin juga menyukai