Anda di halaman 1dari 35

A.

Judul

Kedudukan Hukum Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-

XVII/2019.

B. Latar Belakang

Indonesia adalah negara majemuk, yakni negara kepulauan yang di dalamnya terdapat

berbagai suku, ras, agama, dan budaya. Oleh karenanya, Indonesia sangat rentan terhadap

terjadinya konflik antar masyarakat di lingkungan sekitarnya. Menurut Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi, “ Negara

Indonesia adalah Negara Hukum “. Negara hukum adalah konsep negara yang bersandar

pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang berlaku.

Negara hukum mensyaratkan bahwa setiap tindakan dari negara haruslah bertujuan untuk

menegakkan kepastian hukum, dilakukan secara setara, menjadi unsur yang mengesahkan

demokrasi, dan memenuhi tuntutan akal budi. Pada perkembangannya, hukum haruslah

memiliki sifat dinamis agar dapat selalu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Suatu

negara dapat dikatakan maju dan berkembang salah satunya karena pertumbuhan

ekonominya. Dalam hal kegiatan bisnis, Indonesia mengaturnya pada hukum bisnis agar

kegiatan bisnis dapat dijalankan secara adil. Hukum bisnis dapat diartikan sebagai peraturan-

peraturan yang tertulis yang dibuat oleh pemerintah dalam rangka mengatur, melindungi dan

mengawasi seluruh kegiatan bisnis baik itu kegiatan perdagangan atau industri atau bidang

jasa atau kegiatan lainnya yang berkaitan dengan keuangan dan sektor bisnis1.

1
Fahri S.H., M.H., M.M., “Perkembangan Hukum Bisnis Indonesia“, Jurnal STIE Ganesha, Vol.1 No.1 (2017)
Tangerang Selatan : Banten ,April 2017, hlm 89
Kegiatan bisnis adalah kegiatan yang dapat mewujudkan perkembangan dan pertumbuhan

perekonomian di Indonesia. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang

berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik perseorangan maupun badan hukum,

memerlukan dana yang besar. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, kebutuhan

terhadap pendanaanpun pasti meningkat, yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh melalui kegiatan pinjam meminjam.

Kegiatan pinjam-meminjam dalam kehidupan masyarakat sudah dilakukan sejak lama, yakni

sejak telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa hampir semua

masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam- meminjam uang sebagai sesuatu yang sangat

diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan bisnisnya dan untuk meningkatkan taraf

kehidupannya. Pihak pemberi pinjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia memberikan

pinjaman uang kepada yang memerlukannya. Sebaliknya, pihak peminjam berdasarkan

keperluan atau tujuan tertentu melakukan peminjaman uang tersebut2.

Perkembangan kebutuhan dana dalam pertumbuhan di sektor bisnis diikuti oleh perkembangan

melalui pinjaman atau kredit dengan menggunakan fasilitas yang membutuhkan adanya jaminan.

Kebutuhan akan jaminan melindungi kreditur, sehingga dana yang diberikan kepada debitur bisa

dikembalikan pada waktu yang ditentukan. Atau dengan kata lain, pihak pemilik dana (kreditor),

terutama lembaga pembiayaan atau lembaga perbankan mensyaratkan jaminan falam memberi

pinjaman untuk keamanan dana3. Dalam kegiatan ekonomi jaminan memegang peran penting

2
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Cet.5, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta,

2015, hlm. 1.
karena untuk mendapatkan pinjaman modal disyaratkan adanya jaminan, yang dipenuhi pencari

modal agar mendapatkan pinjaman modal untuk jangka panjang atau jangka pendek4.

Kegiatan pinjam-meminjam uang yang dikaitkan dengan persyaratan penyerahan jaminan utang

banyak dilakukan oleh perorangan dan berbagai badan usaha. Badan usaha umumnya secara

tegas menyaratkan kepada pihak peminjam untuk menyerahkan suatu barang (benda) sebagai

objek jaminan utang pihak peminjam. Jaminan utang yang ditawarkan (diajukan) oleh pihak

peminjam umumnya akan dinilai oleh badan usaha tersebut sebelum diterima sebagai objek

jaminan atas pinjaman yang diberikannya5.

Jaminan tersebut salah satunya berupa jaminan fidusia, yang berarti pengalihan hak kepemilikan

sebuah benda yang registrasi hak kepemilikannya masih dalam kekuasaan pemilik benda

tersebut. Menurut Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 Pemberi Fidusia, Pasal 1 ayat (2), “

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak

berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak

tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi

3
Debora R.N.N. Manurung, 'Perlindungan Hukum Debitur Terhadap ParateEksekusi Obyek Jaminan Fidusia',

Jurnal Ilmu Hukum Legal Opnion Universitas Tadulako, Volume 3.Edisi 2 (2015), hlm 1-2

4
Jatmiko Winarno, ' Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Melalui Perjanjian Jaminan Fidusia', Jurnal Independent

Universitas Islam Lamongan, Vol.1 No 1 (2013), hlm 44.

5
M. Bahsan, Hukum, Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Cet.5, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta,

2015. hlm. 3.
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima

Fidusia terhadap kreditor lainnya”. Selain dalam hal pinjam meminjam, contoh penerapan

jaminan fidusia yakni pembelian motor dan rumah secara kredit. Pemberi fidusia disebut dengan

debitor, dan penerima jaminan disebut kreditor.

Pada pasal 1 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jamninan Fidusia,

Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek

Jaminan Fidusia, sedangkan Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang

mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. Utang ialah

kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik secara langsung

maupun kontinjen.

Debitur sebagai pihak yang memiliki hutang pada pihak pemberi pinjaman atau kreditur sering

kadang tidak melakuklan sebagaimana kesepakatan, seperti contoh menunggak dan tidak

membayar sebagaimana kewajibannya. Untuk melindungi kepentingan kreditur, dalam Undang-

Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, pada Pasal 15 ayat (2) menyebutkan

bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada penjelasan pasal tersebut,

kekuatan Eksekutorial adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui putusan pengadilan dan

bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Aturan tersebut

bermakna bahwa apabila kreditur telah memiliki sertifikat fidusia dan debitur atau nasabah

wanprestasi yakni menunggak, kreditur dapat mengeksekusi jaminan fidusia tanpa ada putusan

pengadilan.

Implikasi dari ketentuan tersebut yakni, seringkali pihak kreditur melakukan tindakan sewenang-

wenang yakni dilakukan dengan cara menyewa jasa debt collector, untuk mengambil alih barang
yang dikuasai pemohon tanpa melalui prosedur hukum yang benar. Ada beberapa momentum

tindakan paksa, tanpa menunjukkan bukti dan dokumen resmi, tanpa kewenangan, dengan

menyerang diri pribadi, kehormatan, harkat dan martabat, serta mengancam keselamatan. Untuk

menghindari hal tersebut, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang berisi penafsiran terhadap frasa ‘ kekuatan eksekutorial ‘ pada

Pasal 15 ayat (2), frasa ‘ cidera janji ‘ pada Pasal 15 ayat (2), dan frasa ‘ kekuatan eksekutorial ‘

pada penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia. Pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019

pengeksekusian jaminan fidusia dapat dilakukan apabila dengan putusan pengadilan. Pada tahun

2021, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan sebuah putusan dengan Nomor 2/PUU-XIX/2021

yang dalam permohonannya meminta keadilan agar kedudukan antara kreditur dan debitur,

karena terjadi kedudukan yang lebih berat pada kreditur yang harus membawa perkara ke

pengadilan, sedangkan debitur tidak. Namun, pada amar putusannya menyatakan bahwa menolak

permohonan untuk seluruhnya. Oleh karena isu hukum tersebut, penyusun ingin memnulis

tentang “ Kedudukan Hukum Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 18/PUU-XVII/2019 “.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka penyusun mengemukakan rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana implementasi Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 ?

2. Bagaimana implikasi terhadap kedudukan kreditur pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 18/PUU-XVII/2019?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Maka berdasarkan uraian latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas penelitian

ini dilakukan dengan tujuan :

a. Untuk mengetahui dan menganalisis implementasi Undang-Undang Nomor 42 tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-

XVII/2019.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis sejauh mana pengaruh Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 terhadap kedudukan kreditur sebagai pihak yang

memiliki piutang pada debitur.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai derajat S-1 program

studi ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Mataram. Dan tulisan ini di harapakan

mampu di jadikan sebagai refrensi bagi para pihak yang ingin melanjutkan penelitian ini

dalam tahap lebih lanjut.

b. Manfaat Teoritis

Dari hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu

hukum terutama dalam pengembangan hukum bisnis.

c. Manfaat Praktis

Dengan adanya penelitian ini di harapkan dapat memberi masukan

kepada pihak debitur dan kreditur pada perjanjian penjaminan fidusia, masyarakat, praktisi

hukum, serta legislative dalam memecahkan persoalan-persoalan hukum.


E. Ruang Lingkup Penelitian

Agar tidak menimbulkan penafsiran yang lebih luas dan lebih terararah dalam melakukan

penelitian ini, maka di perlukan pembatasan ruang lingkup penelitian yang sesuai dengan latar

belakang yang menjadi dasar pemikiran serta rumusan masalah yang menjadi fokus utama

dalam kajian penelitian ini. Maka ruang lingkup penelitian ini di batasi pada persoalan

mengenai implikasi kedudukan dan usaha kreditur pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 18/PUU-XVII/2019.

F. Orisinalitas Penelitian

Nama / Judul Tulisan Persamaan Perbedaan

Widya Mayunita, Persamaan pada Perbedaan pada

11140480000147, penulisan/penelitian antara penulisan/penelitian antara

Implementasi Pemberian penyusun dengan Widya penyusun dengan Widya

Jaminan Fidusia terhadap Mayunita adalah sama-sama Mayunita adalah terletak pada

Debitur Kredit Macet pada membahas tentang jaminan tempat penelitian dan focus

PT Bank Mandiri, Tbk Area fidusia yang kemudian pada kajian. Maksudnya

Kisamaun Tangerang ( 2019 ) debiturnya tidak dapat adalah bahwa penyusun

memenuhi prestasinya. hanya meneliti debitur yang

melakukan wanprestasi pada

Bank Mandiri, , Tbk Area

Kisamaun Tangerang.

Dengan kata lain, penulis

hanya terfokus pada satu


kasus dan penelitian ini

dilakukan sebelum adanya

Putusuan Mahkamah

Konstitusi Nomor 18/PUU-

XVII/2019.

Rangga Mandaska, Persamaan pada Perbedaan pada

02011181419063, penulisan/penelitian antara penulisan/penelitian antara

AnalisisYuridis Eksekusi penyusun dengan Rangga penyusun dengan Rangga

Objek Jaminan Fidusia Mandaska adalah sama-sama Mandaska adalah pada

dengan Penjuala di Bawah membahas mengenai tulisannya ia hanya

Tangan ( 2018 ) eksekusi jaminan fidusia oleh membahas mengenai

kreditur. eksekusi objek jaminan

fidusia dengan penjualan

bawah tangan yang

menyulitkan kreditur apabila

debitur tidak mampu lagi

melunasi angsuran

pinjamannya. Perbedaan

lainnya yakni, penulis dalam

tulisannya terfokus pada label

eksekutorial dari jaminan

fidusia, sedangkan Rangga

Mandaska membahas
mengenai eksekusi yang

dilakukan dengan penjualan

bawah tangan objek fidusia.

Sheeny Adhisti, E1106178, Persamaan pada Perbedaan pada

Fidusia Sebagai Jaminan penulisan/penelitian antara penulisan/penelitian antara

dalam Pemberian Kredit di penyusun dengan Widya penyusun dengan Sheeny

Persuda BPR Bank Pasar Mayunita adalah sama-sama Adhisti adalah Sheeny

Klaten ( 2009 ) membahas tentang jaminan Adhisti menuliskan mengenai

fidusia yang kemudian bagaimana pelaksaaan

debiturnya tidak dapat prosedur pemberian kredit

memenuhi prestasinya dengan jaminan fidusia pada

Perusda BPR Bank Pasar

Klaten serta meneliti tentang

resiko dan cara penyelesaian

yang ada pada Perusda BPR

Bank Pasar Klaten. Dengan

kata lain, tulisan Sheeny

Adhisti terfokus pada satu

lembaga yakni studi lapangan

di Perusda BPR Bank Pasar

Klaten.
G. Tinjauan Pustaka

1. . Tinjauan Umum Tentang Kedudukan Hukum

A. Pengertian Kedudukan

Pengertian kedudukan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dibedakan antara pengertian

kedudukan (status) dan kedudukan sosial (sosial status). Kedudukan diartikan sebagai tempat

atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sedangkan kedudukan sosial adalah tempat

seseorang dalam lingkungan pergaulannya, serta hak dan kewajiban. Kedudukan juga dapat

diartikan sebagai posisi jabatan seseorang dalam memiliki sebuah kekuasaan. Orang yang

memil;iki kekuasaan, kekuasaannya mempengaruhi kedudukan atau statusnya di lingkungan

sekitarnya.

Pada umumnya, kedudukan pada masyarkat memiliki tiga macam, yaitu sebagai berikut6:

a. Ascribed status, kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan

rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran, misalnya

kedudukan anak seorang bangsawan adalah bangsawan. Umumnya ascribed status

dijumpai pada masyarakat dengan sistem lapisan yang tertutup, seperti masyarakat

feodal, atau masyarakat tempat sistem lapisan bergantung pada perbedaan rasial.

b. Achieved status, kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha yang disengaja.

Misalnya, setiap orang dapat menjadi seorang guru asalkan memenuhi persyaratan

tertentu. Persyaratan tersebut bergantung pada yang bersangkutan bisa atau tidak bisa

6
Cahya Dicky Pratama, Status dan Peran Sosial dalam Studi Sosiologi,
( https://www.kompas.com/skola/read/2020/10/09/132358169/status-dan-peran-sosial-dalam-studi-sosiologi?
page=all diakses pada tanggal 7 September 2022 )
menjalaninya. Apabila yang bersangkutan tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut, ia

tidak akan mendapatkan kedudukan yang diinginkan.

c. Assigned status, kedudukan yang diberikan pada seseorang. Kedudukan ini mempunyai

hubungan yang erat dengan achieved status. Suatu kelompok atau golongan memberikan

kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa yang telah memperjuangkan

sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

B. Pengertian Hukum

Hukum berasal dari Bahasa Arab, yakni hakama-yahkumu-hukman (Masdar) yang dalam kamus

Arab-Indonesia Mahmud Junus diartikan dengan menghukum atau memerintah. Hukum juga

diartikan dengan memutuskan, menetapkan, dan meneyelesaikan setiap permasalahan7. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap

mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah. Pengertian lain dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia, hukum adalah undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur

pergaulan hidup masyarakat.

Terdapat beberapa aliran pemikiran hukum yang melatarbelakanginya pemahaman hukum.

Berikut ini merupakan paham serta pendapat para ahli:

1. Menurut Aristoteles

Aristoteles memberikan pengertian hukum adalah sebagai suatu kumpulan peraturan

yang mengikat masyarakat serta hakim. Bentuk dan isi dari konstitusi berbeda dari

7
M. Syafi’ie, S.H., M.H., “ Perihal Islam dan Hukum “, https://law.uii.ac.id/en/perihal-islam-dan-hukum/, diakses
pada tanggal 6 September tahun 2022 )
undang-undang. Karena undang-undang memilki kedudukan untuk mengawasi hakim

dalam menghukum orang yang bersalah8.

2. Menurut E. Utrecht

Hukum adalah himpunan peraturan yang mengatur kehidupan. Peraturan tersebut dapat berupa

perintah atau larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan harus ditaati oleh

seluruh anggota masyaakat9.

Menurut Hans Kelsen


3.

Hukum merupakan sistem norma, sebuah sistem yang didasarkan pada keharusan-

keharusan ( apa yang seharusnya atau das sollen ). Bagi Hans Kelsen, norma merupakan

produk pikiran manusia yang sifatnya deliberatif10.

Menurut Marxis
4.

Marxis menyatakan, hukum merupakan cerminan hubungan masyarakat pada suatu

tahapan perkembangan tertentu yang ekonomis11


.

8
By Dwi, “Pengertian Hukum”, http://umum- pengertian.blogspot.sg/2016/02/pengertian-umum-hukum-
adalah.html, diakses pada tanggal 5 September 2022.
9
Olivia Sabat, ” Pengertian Hukum Menurut Para Ahli dan Penggolongannya “,
https://www.google.com/amp/s/www.detik.com/edu/detikpedia/d-5798560/pengertian-hukum-menurut-para-
ahli-dan-penggolongannya/amp diakses pada tanggal 7 September 2022.
10
Adji Samekto, Menelusuri Akar Pemikiran Hans Kelsen Tentang Stunfenbeautheorie Dalam Pendekatan Normatif-
Filosofis, Jurnal Hukum Progresif, Vol.7 No.1 ( 2019), hlm.1

11
Sumadiria, Hukum & Etika Media Massa, Cet. 2,Simbiosa Rekatan Media, Bandung, 2019, hlm. 2.
Menurut E.M. Mayers
5.

Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditunjukkan

kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi dasar penguasa dalam

menjalankan kewenangan tugas-tugasnya12.

6. Menurut Austin

Hukum adalah setiap undang-undang positif yang telah ditentukan secara langsung atau

tidak langsung oleh individu atau kelompok orang yang berkuasa bagi anggota atau

kelompok masyarakat politik yang berdaulat, dimana yang dapat membuat hukum adalah

yang berkuasa13.

Para ahli hukum Indonesia juga memiliki pendapatnya masing- masing, seperti berikut ini:

 J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto

Hukum adalah peraturan yang memilki sifat memaksa, menentukan tingkah laku manusia dalam

kehidupan dan lingkungan masyarakat yang dibuat dan dilaksanakan oleh badan resmi yang

berwajib14.

12
Wibowo T.Turnady, “ Pengertian Hukum Menurut Para Ahli”, Jurnal Hukum, 2021, hlm 1.

13
E-Jurnal, “Pengertian Hukum Menurut Para Ahli”, http://www.e- jurnal.com/2013/11/pengertian-hukum-

menurut-para-ahli.html, (diakses pada tanggal 6 September 2022 ).

14
Berita Hari Ini, “ Pengertian Hukum menurut J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto Beserta Fungsi dan

Jenis-Jenisnya “ ( https://kumparan.com/berita-hari-ini/pengertian-hukum-menurut-j-c-t-simorangkir-beserta-fungsi-

dan-jenis-jenisnya-1vpGkqzdtxf/full, diakses pada tanggal 5 September 2022 )


 S.M Amin

Pada bukunya, “ Bertamasya ke Alam Hukum “, S.M Amin menjelaskan bahwa hukum adalah

kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi. Adapun tujuan hukum

adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban

terjaga15.

 Menurut Mochtar Kusumaatmadja

Mochtar Kusumaatmadja beranggapan bahwa hokum adalah kaidah dan asas-asas yang mengatur

hubungan masyarakat dan dibuat berdasarkan pada keadilan. Ia memandang bahwa hokum

sebagai alat untuk memelihara, melindungi, dan mengamankan ketertiban dalam masyarakat16.

Melalui pengertian hukum yang telah disebutkan oleh para ahli hukum, maka hukum memiliki

unsur-unsur hukum yaitu17


:

15 C.S.T. Kansil, “ Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia“, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm

38.

16
Silmi Nurul Utami, 10 Pengertian Hukum Menurut Para Ahli,
https://www.kompas.com/skola/read/2021/06/03/100000869/10-pengertian-hukum-menurut-para-ahli?
amp=1&page=2&jxconn=1*1nmepaq*other_jxampid*eXJmMHQ2LXZZUVN1ejdPWmpsaG8xeWlWQXl2UGNmQTN
2NVplRDF2VmtOMlMwRzRVQUJUdldIM21WWFRlUmNndQ.. Diakses pada tanggal 6 September 2022
17
C.S.T Kansil, “ Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia“ Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm.39
1. Peraturan yang mengatur perilaku manusia dan pergaulannya di dalam kehidupan

masyarakat;

2. Peraturan dibuat oleh badan (instansi) resmi yang berwajib;

3. Peraturan hukum dalam pelaksanaanya memiliki sifat memaksa;

4. Memiliki sangsi yang tegas kepada yang melanggar peraturan.

Suatu peraturan juga akan disebut sebagai hukum apabila memenuhi ciri-ciri sebagai berikut18:

1. Berisi peraturan yang dapat mengatur tingkah laku masyarakat dalam bergaul atau

berinteraksi dengan sesamanya.

2. Peraturan dibuat oleh badan resmi atau pihak yang memang diminta untuk membuat

hukum.

3. Peraturan tersebut bersifat memaksa dan mengharuskan masyarakat untuk mengikutinya.

4. Sanksi untuk orang yang melanggarnya bersifat tetap dan tegas.

5. Perintah-perintah yang ada haruslah dipatuhi oleh setiap orang di suatu negara

C. Pengertian Kedudukan Hukum

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki hubungan timbal balik antar satu dengan yang lainnya.

Dalam kehidupan sehari-hari dilingkungan manapun, adar atau tidaknya manusia selalu

melakukan perbuatan yang berhubungan dengan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan
18
Widya Kurniasih, “ Tujuan Hukum : Unsur, Jenis, dan Ciri-Ciri Menurut Ahli “ (
https://www.gramedia.com/literasi/tujuan-hukum/, diakses pada tanggal 5 September 2022
yang dilakukan manusia yang menimbulkan hak dan kewajiban harus dipenuhi. Perbuatan

hukum tersebut terdiri dari perbuatan hukum sepihak, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan

satu pihak saja yang menimbulkan hak dan kewajiban seperti pembuatan surat wasiat dan hibah.

Perbuatan hukum dua pihak adalah perbuatan hukum yang dilakukan dua pihak dan

menimbulkan hak dan kewajiban seperti jual-beli, perjanjian sewa, dan lain-lain19.

Hukum bersifat dinamis, dimana hukum akan terus mengikuti perkembangan yang terjadi pada

masyarakat. Dalam suatu masyarakat, keadaan hukumnya dipengaruhi pleh perkembangan

maupun perubahan yang terjadi secara terus-menerus.. Dengan demikian hukum dapat

dimengerti dengan menjalani dan memahami sistem sosial terlebih dahulu dan hukum

merupakan suatu proses.

Hukum yang ada pada masyarakat juga berperan sebagai suatu sistem norma. Menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia, norma adalah aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok

dalam masyarakat. Norma adalah standar untuk menentukan apakah perbuatan atau tindakan

dapat diterima atau tidak, dapat dibenarkan atau tidak. Norma menjadi acuan manusia dalam

mengatur dan mengelola tingkah lakunya. Terdapat istilah dalam ilmu hukum, yakni das sollen

dan das sein, das sollen disebut kaidah hukum yang menerangkan kondisi yang diharapkan,

sedangkan das sein dianggap sebagai keadaan yang nyata. Norma menunjuk apa yang

seharusnya ada (das sollen) dan bukan yang ternyata ada (das sein). Hukum yang pada

masyarakat berfungsi sebagai sebuah norma membuat manusia terikat dengan kewajiban hukum

dan tanggung jawab hukum.

19
Abi Asmana, “Pengertian Perbuatan Hukum”, http://legalstudies71.blogspot.sg/2015/0 6/pengertian-perbuatan-
hukum.html, diakses pada tanggal 7 September 2022, pukul 23.50
Legal Standing atau disebut juga dengan kedudukan hukum adalah keadaan di mana seseorang

atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk

mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan

Mahkamah Konstitusi (“MK”)20.

Secara harfiah kedudukan hukum dikenal sebagai locus standi dalam bahasa Latin, atau

legal standing dalam bahasa Inggris, diadopsi dari sistem hukum common law. Legal

standing juga dikenal sebagai ius standi, atau standing to sue. Legal standing lahir

karena adanya hubungan hukum alam atau hukum manusia antara sesama manusia dan

manusia dengan alam. Pihak yang menjadi legal standing di muka pengadilan dapat

berupa individu maupun sekelompok orang atau organisasi. Evan Tsen Lee dan Josephine

Mason Ellis dalam paper “The Standing Doctrine’s Dirty

Little Secret”, menyatakan bahwa kedudukan hukum atau locus standi adalah suatu

keadaan ketika suatu pihak dianggap memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan

20
Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa : Pemikiran Hukum Dr.Harjono , S.H., M.C.L / Harjono, Cetakan Ke-1,
Konstitusi Press, Jakarta, 2008, halaman 176
penyelesaian sengketa di suatu pengadilan. Kedudukan hukum menjadi penting, karena

akan memengaruhi suatu proses hukum akan mengarah ke mana21.

ssSebagai contoh untuk melihat subyek hukum memiliki kedudukan hukum di Indonesia dapat

dilihat melalui kewenangannya dalam mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.

Subyek hukum yang dimaksud adalah subyek hukum yang telah memenuhi kualifikasi sebagai

subyek hukum dan kemudian diberikan kedudukan hukum. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 51 ayat (1) menyebutkan mengenai subyek hukum yang

dapat mengajukan permohonan karena telah memiliki kedudukan hukum, yaitu sebagai berikut:

1. Perorangan warga negara Indonesia;

2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam

undang- undang;

3. Badan hukum publik atau privat; atau

4. Lembaga negara.

Secara garis besar, kedudukan hukum adalah suatu status atau posisi dimana suatu subyek

hukum atau obyek hukum ditempatkan supaya mempunyai fungsi dan tujuan. Kedudukan hukum

21 Raden Adha Pamekas dan Jonsi Afriantara, “ Locus Standi “, Jurnal Yudisial, Vol.14 No.3 ( 2021 ), Jakarta Pusat,

Desember 2021, hlm.V.


juga merupakan penentu bagaimana subyek hukum atau obyek hukum dapat melakukan kegiatan

yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan.

B. Tinjauan Umum Tentang Jaminan Fidusia

A. Pengertian Jaminan Fidusia

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata jaminan adalah janji seseorang untuk

menanggung utang atau kewajiban pihak lain apabila utang atau kewajiban tersebut tidak

dipenuhi. Arti lainnya dari jaminan adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima. Sedangkan,

jika dilihat dari segi bahasa, kata fidusia sendiri bisa diartikan dalam beberapa bahasa. Pertama

adalah kata fidusia yang diambil dari bahasa Romawi yaitu fides. Kata fides sendiri memiliki arti

kepercayaan. Lalu kata fidusia juga diambil dari bahasa Belanda yaitu Fiduciaire Eigendom

Overdracht. Selain itu kata fidusia juga diambil dari bahasa Inggris yaitu Fiduciary Transfer of

Ownership. Kedua bahasa tersebut jika diterjemahkan memiliki arti penyerahan hak milik yang

memiliki dasar kepercayaan22.

Unsur-unsur fidusia adalah sebagai berikut23 :

1)  Pengalihan hak kepemilikan suatu benda;

2)  Dilakukan atas dasar kepercayaan;

22
Ananda, " Fidusia : Pengertian, Sertifikat Jaminan, Hak Eksekusi, dan Prinsip ", (

https://www.gramedia.com/best-seller/fidusia/, diakses tanggal 7 September 2022 )

23
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008), hlm. 152
3)  Kebendaannya tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Pemindahan hak kepemilikan dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia atas dasar

kepercayaan, dengan syarat bahwa benda yang menjadi objeknya tetap berada di tangan pemberi

fidusia.Dalam hal ini yang diserahkan dan dipindahkan itu dari pemiliknya (pemberi fidusia)

kepada penerima fidusia adalah hak kepemilikan atas suatu benda yang dijadikan sebagai

jaminan, sehingga hak kepemilikan secara yuridis atas benda yang dijaminkan beralih kepada

penerima fidusia. Sementara itu secara ekonomis atas benda yang dijaminkan tersebut tetap

berada di tangan atau dalam penguasaan pemiliknya (pemberi fidusia).

Dalam ketentuan pasal 1 angka 1 undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

bahwa yang dimaksud dengan fidusia adalah “Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas

dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya diadakan tersebut

tetap dalam penguasaan pemilik benda.” Adapun yang dimaksud dengan jaminan fidusia

menurut pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yaitu :

“Hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda

tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan, sebagaimana

dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap

berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi penulasan gutang tertentu, yang

memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.”

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada intinya fidusia merupakan penyerahan

hak milik secara kepercayaan terhadap suatu benda dari debitur kepada kreditur, karena hanya
penyerahan hak milik secara kepercayaan, maka hanya kepemilikannya saja diserahkan

sedangkan bendanya masih tetap dikuasai debitur atas dasar kepercayaan dari kreditur.

B. Pembebanan Jaminan Fidusia

Pembebanan benda dengan jaminan fidusia diatur dalam pasal 5 UU No. 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia, yang berbunyi :

(1) Pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa

Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia.

(2) Terhadap pembuatan akta jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikenakan

biaya yang besarnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya akta jaminan fidusia sekurang-kurangnya memuat24:

1. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia Identitas tersebut meliputi nama lengkap,

agama, tempat tinggal, atau tempat kedudukan dan tanggal lahir, jenis kelamin, status

perkawinan dan pekerjaan.

2. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, yaitu mengenai macam perjanjian dan

hutang yang dijamin dengan fidusia.

3. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.

4. Nilai penjaminan.

5. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.

24
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2007 hlm. 135.


Syarat tersebut diatas harus dipenuhi agar perjanjian fidusia yang dilakukan tidak batal atau

saling merugikan antara pemberi fidusia dan penerima fidusia. Mengacu pada pasal 1870

KUHPerdata, bahwa akta notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan

pembuktian yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya di antara para pihak

beserta ahli warisnya atau para pengganti haknya. Jadi, bentuk akta otentik dapat dianggap

paling menjamin kepastian hukum yang berkenaan dengan objek jaminan fidusia.

Menurut Munir Fuady, jika ada alat bukti sertifikat jaminan fidusia dan sertifikat tersebut adalah

sah, maka alat bukti lain dalam bentuk apapun harus ditolak. Para pihak tidak cukup misalnya

hanya membuktikan adanya fidusia dengan hanya menunjukkan akta jaminan yang dibuat

notaris. Sebab menurut pasal 14 ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka

dengan akta jaminan fidusia, lembaga fidusia dianggap belum lahir. Lahirnya fidusia tersebut

adalah pada saat didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia25.

C. Penerima dan Pemberi Jamninan Fidusia

Menurut UU No 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, definisi pemberi dan penerima

jaminan fidusia terdapat pada BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (5) dan (6). Pemberi

25
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, PT. Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 34.
Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan

Fidusia yang kemudian disebut kreditor karena mempunyai piutang karena perjanjian atau

undang-undang. Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai

piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia yang selanjutnya disebut debitor

karena mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang.

Pihak yang memegang fidusia harus memiliki tanggung jawab dan tugas yang bersifat etis serta

legal. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan yakni26 :

 Pihak yang dengan sengaja menerima kewajiban fidusia atas nama pihak lainnya, maka

wajib bertanggung jawab untuk bertindak dan mengelola aset sesuai dengan kepentingan

pemilik.

 Memastikan tidak ada masalah atau konflik kepentingan yang muncul di antara

pemegang fidusia dan pemilik aset.

 Sesuai dengan aturan hukumnya, pemegang fidusia wajib memberitahu kondisi asli dari

aset yang dijual kepada calon pembeli, serta tidak akan mendapatkan keuntungan dari

penjualan aset tersebut.

 Akta fidusia tetap berguna meskipun pemilik aset meninggal dunia, terutama apabila

asetnya merupakan bagian dari perkebunan atau hal lainnya yang membutuhkan

pengelolaan serta pengawasan.

26
PT. Tokopedia, “ Fidusia “, ( https://kamus.tokopedia.com/f/fidusia/, diakses pada tanggal 6

September 2022 )
C. Tinjauan Umum Mahkamah Konstitusi

A. Pengertian Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Kekuasaan kehakiman dilakukan

oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan

tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain

Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian,

Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang

mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD

1945.

B. Kedudukan dan Susunan Mahkamah Konstitusi Menurut Undang-Undang

Undang-Undang yang mengatur secara spesifik tentang Mahkamah Konstitusi yaitu UU No. 24

Tahun 2003 kemudian terjadi perubahan menjadi UU No. 8 Tahun 2011. Undang-undang ini

lahir untuk adanya aturan yang jelas tentang mekanisme dan prosedural dalam Mahkamah

Konstitusi baik mencakup hukum acara, kewenangan yang dimilikinya dan lain-lain. Terkait

dengan susunan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Undang-Undang No. 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang meliputi:


a. Kedudukan Mahkamah Konstitusi

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

“Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan

kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan, dan dalam hal ini menurut Pasal 3, Mahkamah Konstitusi berkedudukan di Ibukota

Negara Republik Indonesia.

b. Susunan Mahkamah Konstitusi

Menurut Pasal 4 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 mengalami perubahan sesuai dengan UU

No. 8 Tahun 2011 yaitu:

1)Mahkamah Konstitusi mempunyai Sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan

dengan Keputusan Presiden.

2)Susunan Mahkamah Konstitusi atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua

merangkap anggota, dan tujuh orang anggota Hakim Konstitusi.

3) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota Hakim Konstitusi

untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan

Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi

yang terpilih sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (3) dapat dipilih kembali dalam jabatan

yang sama untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

4) Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada Ayat (3)

terpilih, rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh Hakim

Konstitusi yang paling tua usianya.


4a) Rapat pemilihan sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) dihadiri paling sedikit 7 (tujuh) orang

anggota Hakim Konstitusi.

4b) Dalam hal forum rapat sebagaimana dimaksud pada Ayat (4a) tidak terpenuhi, rapat ditunda

paling lama 2 (dua) jam.

4c) Apabila penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada Ayat (4b) telah dilakukan dan forum

rapat belum terpenuhi, rapat dapat mengambil keputusan tanpa menunggu lagi.

4d) Pengambilan keputusan dalam rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah

Konstitusi sebagaimana dimaksud pada Ayat (4c) dilakukan secara musyawarah mufakat untuk

mencapai aklamasi.

4e) Apabila keputusan tidak dapat dicapai secara aklamasi sebagaimana dimaksud pada Ayat

(4d), keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak melalui pemungutan suara yang dilakukan

secara bebas dan rahasia.

4f) Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusidilakukan dalam 1 (satu) kali rapat

pemilihan.

4g) Calon yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan sebagaimana dimaksud pada Ayat

(4f) ditetapkan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.

4h) Calon yang memperoleh suara terbanyak kedua dalam pemilihan sebagaimana dimaksud

pada Ayat (4f) ditetapkan sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.


5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua diatur dalam

Peraturan Mahkamah Konstitusi.

Pasal 5 menegaskan pula, bahwa hakim konstitusi adalah pejabat Negara. Kemudian pada Pasal

6 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Hak-hak Para Hakim Konstitusi mengalami perubahan sesuai

dengan UU No. 8 Tahun 2011 yaitu: kedudukan protokoler dan hak keuangan Ketua, Wakil

Ketua, dan Anggota Hakim Konstitusi berlaku ketentuan Peraturan Perundang-undangan bagi

pejabat Negara (Pasal 6 Ayat 2). Negara memberikan jaminan keamanan Hakim Konstitusi

dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman

(Pasal 6 Ayat 2).

Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang sebuah

Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi (Pasal 8). Disebutkan pula bahwa

anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (Pasal 9).

C. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi

Pasal 24C ayat (1 dan 2) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur fungsi dari Mahkamah

Konstitusi yaitu :

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang

Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil

pemilihan umum.

2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan

pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar

1945.

Dari Pasal tersebut dapat diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki 5 (lima)

tugas/kewenagan yang sangat vital terutama dalam ketatanegaraan Indonesia. Maka untuk

mengetahui lebih jelas berbagai kewenagan tersebut, dibawah ini akan dibahas berbagai

kewenagan Mahkamah Konstitusi, yaitu:

1. Kewenangan Menguji Undang-Undang terhadap UUD

Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 merupakan tugas yang

mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tampak dari permohonan yang

masuk dan terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Dalam kaitan dengan peran Mahkamah Konstitusi tentang Judicial Review secara lebih rinci

telah disebutkan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003, khususnya pada bagian ke-8

tentang pengujian Undang-Undang terhadap UUD yang mengatur.

2. Memutus Sengketa Kewenangan atar Lembaga Negara

Sengketa kewenangan atar lembaga Negara, secara jelas memperoleh batasan bahwa lembaga

Negara tersebut hanyalah lembaga Negara yang memperoleh kewenangannya menurut UUD

1945. Pasca dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, banyak terjadi

pergeseran dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, salah satunya adalah pergeseran paradigma
kelembagaan Negara. Pergeseran ini ditandai dengan direduksinya status MPR yang kini tidak

lagi sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat.

3. Memutus Pembubaran Partai Politik

Sesuai dengan amanat konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berwenang memutus pembubaran

partai politik.Persoalannya adalah apakah partai politik tidak bertentangan dengan prinsip

demokrasi dan Hak Asasi Manusi hanya lembaga Negara. Paradigma ini telah dipraktekan dalam

Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 Tentang SUSDUK (Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawarahan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah)27.

4. Memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

Terkait dengan salah satu kewenangannya yaitu memutus sengketa hasil pemilihan umum, maka

berarti saat ini sudah ada satu lembaga yang dapat menyelesaikan permasalahan dan polemik

yang acap kali muncul pada pemilihan umum.

5. Melakukan Impeachment terhadap Presiden

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan impeachment terhadap Presiden dalam

konteks check and balances telah diatur dalam UUD RI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor

27
Fakhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi

di Indonesia, PT. Citra Aditiya Bakti, 2004, Bandung, hlm. 35-36


24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam

melakukan impeachment tidak disebutkan sebagai kewenangan hanya sebatas kewajiban saja,

karena sifat putusan yang berbeda antara kewenangan dan kewajiban. Kewenangan yang di

miliki oleh Mahkamah Konstitusi ini dalam rangka penerapan Prinsip check and balances dalam

proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden28.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan sebuah proses dan tata cara dalam memecahkan suatu masalah

yang dihadapi saat melakukan penelitian. Oleh karenanya, metode penelitian ini diperlukan

dalam melakukan sebuah penelitian. Metode penelitian dapat memberikan tujuan serta

sasaran yang tepat kepada peneliti dan pembaca agar sesuai dengan hasil yang diharapkan.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian normatif

yaitu hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan Perundang-undangan (Law

in Books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan

berperilaku manusia yang dianggap pantas29. Penelitian hukum normatif adalah pendekatan yang

dilakukan berdasarkan bahan baku utama, menelaah hal yang bersifat teoritis yang menyangkut

asas-asas hukum, konsepsi hukum, pandangan dan doktrin- doktrin hukum, peraturan dan system

hukum dengan menggunakan data sekuder, diantaranya asas, norma, dan aturan hukum yang

28
Fuadah dan Fufu Dzuratul, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Melakukan Impeachment terhadap
Presiden dalam Konteks Checkand Balances, Tesis esis UIN SMH Banten, 2020. Hlm. Abstrak

29
Amirudin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet.9, PT. Rajagrafindo Persada, Depok,
2016, hlm. 118.
terdapat dalam peraturan Perundang-undangan dan peraturan lainnya, dengan mempelajari buku-

buku, peraturan Perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan erat dengan

penelitian30.

Sebagai penelitian hukum normatif, maka penelitian ini termasuk kategori tipe penelitian hukum

bersifat deskriptif-preskriptif yang bertujuan menemukan solusi permasalahan (problem-

solution)31.

2. Metode Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode pendekatan, antara lain:

a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Pendekatan Perundang-undangan adalah pendekatan yang digunakan untuk mengkaji dan

menganalisa semua Undang- Undang dan pengaturan yang bersangkut-paut dengan isu hukum

yang sedang ditangani32.

30
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Peresada, Jakarta, 2006, hlm. 24

31
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2008, hlm. 50-51

32
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Teori Tesis dan Disertasi, Raja Grafindo,

Jakarta, 2013, hlm 17-18.


Pendekatan ini dilakukan dengan menjadikan Undang-Undang sebagai bahan utama pedoman

dalam penelitian yang dilakukan. Masih adanya kekosonngan atau kekurangan peraturan dalam

Undang-Undang maka digunakanlah pendekatan Perundang- undangan ini sebagai metode yang

tepat untuk dapat mengetahui apakah suatu Undang-Undang telah diimplementasikan secara

tepat atau belum.

b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual yaitu kerangka konseptual merupakan gambaran bagaimana hubungan

antara konsep-konsep yang akan diteliti dan pandangan ahli dengan permasalahan yang akan

dibahas33.

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini sumber bahan hukum yang digunakan adalah berasal dari Perundang-

undangan, buku-buku, karya ilmiah dan beberapa bahan hukum lainnya yang tentunya berkaitan

dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini bahan hukum yang digunakan, antara lain:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum utama dalam penelitian ini, Bahan hukum primer

adalah bahan hukum utama dalam penelitian ini, dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, Undang-Undang Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,

33
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm 47
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, dan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 2/PUU-XIX/2021.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer yang diperoleh dari buku-buku ilmiah terkait, hasil penelitian, makalah, artikel-

artikel34.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian yang dilakkukan secara normatif, bahan hukum yang diambil dengam

menggunakan teknik studi dokumen dengan melakukan studi kepustakaan, menelusuri,

membaca, mempelajari serta mengkaji berbagai sumber literatur berupa peraturan Perundang-

undangan, buku-buku dan pendapat pakar hukum yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

5. Analisis Bahan Hukum

Seluruh bahan hukum yang sudah diperoleh akan dikumpulkan dan dianalisis. Analisis bahan

hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan metode penafsiran (interpretasi). Penafsiran

(interpretasi) merupakan uraian mengenai pemahaman terhadap norma atau kaidah, serta materi

muatan dari setiap Pasal dalam ketentuan peraturan Perundang- undangan.

34
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm 34
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU, Makalah, dan Artikel

Anda mungkin juga menyukai