Anda di halaman 1dari 15

PROPOSAL SKRIPSI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR PADA PERJANJIAN


KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN PADA BPR
NUSAMBA DI KABUPATEN KENDAL

Diajukan guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Penelitian Hukum

Pengampu : H. M. Shidqon Prabowo S.H.,M.H

Oleh :

Ahmad Nur Ya Khabibi

NIM 20107011079

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

TAHUN AJARAN 20220/2023


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan pembangunan di segala bidang merupakan upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat baik dari segi lahir maupun batin. Khusunya
pada pembangunan yang berfokus pada bidang ekonomi itu membutuhkan dana yang
sangat besar sehingga membutuhkan hak jaminan yang mampu memberi kepastian hukum
bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam kehidupan sehari-hari, kegiatan pinjam-
meminjam uang atau lebih dikenal dengan istilah kredit bukanlah hal yang asing lagi.
Kegiatan ini sudah lama dilakukan oleh masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat
pembayaran. Berdasarkan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan selanjutnya
disebut UU Perbankan, berbunyi :“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Dalam pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun tahun 1992 tentang Perbankan merumuskan pengertian
kredit, berbunyi :“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangngnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal diatas, pembukuan kredit perbankan harus ada
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam (perjanjian kredit). Biasanya dalam
hubungan hukum yang terjadi antara krediturdan debitur terdapat adannya wanprestasi
yang mengakibatkan salah satu pihak mengalami kerugian. Dengan adanya wanprestasi
tersebut, maka pihak kreditur dapat menuntut agar pihak debitur memenuhi perjanjian atau
melakukan ganti rugi.
Dalam suatu pemberian kredit yang tertuang dalam suatu perjanjian kredit oleh
bank kepada debitur bukanlah tanpa resiko, mungkin saja resiko terjadi karena debitur tidak
wajin membayar hutangnya secara lunas, tetapi debitur diber kepercayaan oleh Undang-
Undang dalam perjanjian kredit untuk membayar secara bertahap atau mencicil. Resiko
yang biasanya terjadi karena kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan kredit, pergerakan
pasar, bank tidak mampu memenuhi kewajibannya yang telah jatuh tempo, dan adanya
aspek yuridis yang disebabkan adanya ketiadaan peraturan perundang-undangan yang
mendukung.1
Resiko-resiko yang umumnya merugikan kreditur perlu diperhatikan dengan
seksama oleh pihak bank, sehingga proses pemberian kredit perlu adanya keyakinan dari
pihak bank atas kesanggupan debitur untuk membayar hutangnya. Untuk memiliki
keyakinan tersebut, maka pihak bank sebelum memberikan kredit harus melakukan
penilaian secara seksama terhadap 7 hal atau lebih dikenal dengan istilah 7 P (party,
purpose, payment, profitability, protection, personality dan prospect). Salah satu hal yang
dipersyaratkan kredirur (bank) dalam pemberian kredit yaitu dengan adanya perlindungan
berupa jaminan yang diberikan kepada debitur untuk menjamin pelunasan hutangnya demi
kepastian hukum, apabila melebihi jangka waktu yang diperjanjikan debitur tidak bisa
melunasi hutangnya atau melakukan wanprestasi.
Fungsi dari pemberian jaminan yaitu untuk memberikan hak dan kekuasaan kepada
bank untuk mendapatkan pelunasan dengan barang jaminan tersebut, jika debitur beringkar
janji tidak membayar hutangnya padawaktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
Jaminan yang diserahkan oleh debitur, maka pihak bank mempunyai kewajiban untuk
melindungi debiturnya, karena hal ini berkaitan dengan kepentingan bank selaku penerima
jaminan.
Dalam praktik perbankan, pada umumnya nilai jaminan kredit lebih besar dari
jumlah kreditnya, sehingga debitur diharapkan segera untuk melunasi hutangnya kepada
bank agar nantinya tidak kehilangan barang yang diserahkan kepada bank sebagai jaminan
kredit. Hal ini terdapat dalam pasal 1131 KUHPerdata, yang berbunyi : ”Segala kebendaan
si berutang, baik barang yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru aka nada dilain hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan”, serta dalam pasal 1132 KUHPerdata, yang berbunyi : “ Barang-barang itu
menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil penjualan barang-barang

1
Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010, hlm. 2
itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila diantara para kreditur
itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan”.
Biasanya bentuk jaminan yang sering digunakan sebagai agunan dalam perjanjian
kredit bank yaitu ha katas tanas, hak guna usaha, hak pakai karena memiliki nilai atau harga
yang tinggi. Dalam hal ini sudah selayaknya jika debitur, kresitur, serta pihak lain terkait
memperoleh perlindungan melalui lembaga jaminan yang kuat dan dapat memberikan
kepastian hukum. Berdasarkan dalam pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960
tentang peraturan dasar pokok-pokok agrarian, menyebutkan bahwa sudah disediakan
lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat dibebankan pada hak atas tanah. Sejak
berlakunya Undang-Undang pokok agraria, lembaga hak tanggungan belum bisa berfungsi
karena belum ada Undang-Undang yang mengaturnya serta ketentuan peraturannya sudah
tidak sesuai dengan asas hukum tanah nasional dan kurang memenuhi kebutuhan ekonomi
dibidang perkreditan.2
Lembaga jaminan hak tanggungan kali ini telah ini telah diakui melalui Undang-
Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Ha katas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah dan menjadikan kepentingan kreditur dan debitur untuk mendapatkan
perlindungan hukum dari pemerintah. Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996, hak
tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok
agrarian. Untuk memberikan suatu kepastian hukum sebagai bentuk perlindungan hukum
maka pembebanan jaminan hak tanggungan ini wajib didaftarkan di kantor pertanahan
untuk memenuhi unsur publisitas atas barang jaminan dan mempermudah pihak ketiga
mengontrol jika terjadi pengalihan benda jaminan.
Dalam proses pemberian kredit, sering terjadi bahwa kreditur dirugikan oleh pihak
debitur yang melakukan wanprestasi, sehingga diperlukan adanya aturan hukum dalam
pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang ada dalam perjanjian kredit. Hal ini
bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum khusunya bagi kreditur
ketika debitur melakukan wanprestasi. Berdasarkan latang belakang tersebut penulis
tertarik untuk mengkaji tentang perlindungan hukum bagi kreditur dalam perjanjian kredit

2
Yudha Pandu, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Jaminan Fidusia dan Hak Tanggungan, Indonesia Legal
Center Publishing, Jakarta, 2008, hlm. 65-66
dengan jaminan hak tanggungan pada kantor pusat PT Bank Aceh Syariah di PRovinsi
Aceh, dalam suatu proposal usulan penelitian dengan judul ” perlindungan hukum bagi
kreditur dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan pada BPR
Nusamba di Kabupaten Kendal”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dimpulkan rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana perlindungan hukum kepada kreditur ketika debitur melakukan wanprestasi
dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan?
2. Bagaimana penafsiran ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 yang
berkaitan dengan tanah yang memberikan perlindungan hukum kepada kreditur ketika
debitur melakukan wanprestasi?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuannya adalah :
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum kepada kreditur ketika debitur melakukan
wanprestasi dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan.
2. Untuk mengetahui penafsiran ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996
yang berkaitan dengan tanah yang memberikan perlindungan hukum kepada kreditur
ketika debitur melakukan wanprestasi
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian sebagai berikut :
1. Memberikan informasi dalam perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum
perdata pada khususnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian
ini.
2. Dapat dijadikan referensi bagi para pihak yang berminat untuk meneliti lebih lanjut
tentang masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
3. Menjadi masukan bagi masyarakat, pemerintah, legislatif, praktisi hukum dan aparat
untuk memecahkan masalah-masalah hukum yang benkaitan dengan perjanjian kredit
dengan jaminan hak tanggungan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Perlindungan Hukum


Perlindungan hukum merupakan suatu jaminan atau kepastian bahwa seseorang
akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya, sehingga yang
bersangkutan merasa aman. Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa hukum itu
bertujuan agar tercapainya ketertiban dalam masyarakat sehingga diharapkan
kepentingan manusia akan terlindungi untuk mencapai tujuannya dan bertugas
membagi hak dan kewajiban antar perorangan dalam masyarakat, membagi wewenang
dan mengut amakan pemecahan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.
Menurut Subekti dalam buku Sudikno Mertokusumo berpendapat, bahwa tujuan
hokum itu mengabdi kepada tujuan Negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan bagi rakyatnya.
Menurut Philipus M. Hadjon perlindungan hukum dibagi menjadi 2, yaitu :
1) Perlindungan hukum yang preventif
Perlindungan hukum ini memberikan kesempatan kepada rakyat untuk
mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum suatu keputusan
pemerintahan mendapat bentuk yang definitif. Sehingga, perlindungan hukum ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi tindak
pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Dan dengan adanya
perlindungan hukum yang preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati
dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas freies ermessen, dan
rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana
keputusan tersebut.
2) Perlindungan hukum yang represif
Perlindungan hukum ini berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi
sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang secara partial
menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yang dikelompokkan menjadi 3
badan, yaitu :
a. Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum.
b. Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding.
c. Badan-badan khusus.
2. Tinjauan Umum Kreditur
A. Pengertian Kreditur
Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, adapun pengertian Kreditur adalah
adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang
yang dapat ditagih di muka pengadilan. Kreditur adalah pihak bank atau lembaga
pembiayaan lainnya yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-
undang.
Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998, kreditur dibagi 3, yaitu :
a. Kreditur Konkuren
Kreditur konkuren adalah para kreditur secara bersama-sama memperoleh
pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada
besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara
keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan debitur tersebut. Kreditur
konkuren ini diatur dalam pasal 1132 KUHPerdata.
b. Kreditur Preferen (yang diistimewakan)
Kreditur preferen merupakan kreditur yang mempunyai hak istimewa, yaitu
suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seseorang berpiutang
sehingga tingkatnya lebih tinggi dari pada orang berpiutang lainnya, semata-
mata berdasarkan sifat piutangnya. Hal ini terdapat dalam pasal 1139 dan pasal
1149 KUHPerdata.
c. Kreditur Separatis
Kreditur Separatis adalah kreditur pemegang hak jaminan kebendaan in rem,
yang dalam KUH Perdata disebut dengan nama gadai dan hipotek. Hak penting
yang dipunyai kreditur separatis adalah hak untuk dapat kewenangan sendiri
menjual/mengeksekusi objek agunan, tanpa putusan pengadilan (parate
eksekusi). Hak tersebut untuk gadai, hipotek, hak tanggungan, dan jaminan
fidusia.
B. Hak dan Kewajiban Kreditur
Hak maupun kewajiban dari kreditur adalah memberikan pinjaman kepada seorang
debitur berupa uang atau mungkin modal untuk sebuah usaha dari debitur atau
penggunaan lain yang akan digunakan dari pinjaman uang tersebut. Dalam hal ini
hak kreditur mempunyai kewajiban membantu siapa saja yang akan melakukan
pinjaman. Dan sebagai gantinya kreditur berhak menahan barang atau benda
berharga milik debitur sebagai jaminan kepada kreditur untuk melakukan
pelunasan hutangnya.
3. Pengertian Perjanjian Kredit
Menurut Pasal 1754 KUHPerdata menentukan bahwa Perjanjian Kredit (pinjam
meminjam) adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada
pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena
pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Adapun unsur-unsur
dari perjanjian kredit yaitu :
a. Adanya kesepakatan atau persetujuan antara peminjam dengan pemberi pinjaman.
b. Adanya suatu jumlah barang tertentu yang dapat habis karena memberi pinjaman.
c. Adanya pihak penerima pinjaman yang nantinya akan mengganti barang yang
sama.
d. Peminjam wajib membayar bunga bila diperjanjikan.

Dalam perjanjian kredit, pihak yang meminjamkan adalah kreditur, pihak yang
menerima pinjaman adalah debitur, dan barang yang dipinjamkan adalah uang.
Berdasarkan ketentuan pasal 1765 KUHPerdata, dalam perjanjian kredit ini dibolehkan
memperjanjikan adanya bunga, sehingga debitur tidak hanya mempunyai kewajiban
untuk mengembalikan uang pinjaman, namun juga wajib membayar bunganya. Dalam
Pasal 8 ayat (2) UU Perbankan menentukan bahwa “Bank Umum wajib memiliki dan
menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.” Hal ini menunjukkan bahwa
peraturan yang berlaku menghendaki setiap pemberian kredit dalam bentuk apapun
harus senantiasa disertai dengan perjanjian tertulis. Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (2)
huruf a UU Perbankan menegaskan bahwa “Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia memuat antara lain Pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.

Dalam praktik perbankan dikenal beberapa prinsip-prinsip yang digunakan dalam


pemberian kredit, antara lain :

a. Prinsip kepercayaan, disini diartikan bahwa kredit adalah kepercayaan kreditur


kepada debitur, sekaligus kepercayaan bahwa debitur akan mengembalikan
utangnya kepada pihak kreditur sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak.
b. Prinsip kehati-hatian, merupakan implementasi dari prinsip kepercayaan dalam
suatu pemberian kredit.
c. Prinsip 5C, yaitu watak (character) yang berkaitan dengan kepribadian, moral dan
kejujuran calon debitur; modal (capital) yaitu permodalan usaha dari pemohon
fasilitas kredit; kemampuan (capacity) yaitu berkaitan dengan kemampuan calon
debitur dalam memimpin perusahaan sehingga dapat memberikan keuntungan;
kondisi ekonomi (condition of economic) yaitu keadaan ekonomi pada waktu kredit
diberikan kepada calon debitur; dan yang terakhir adalah jaminan (collateral) yaitu
kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan guna menjamin pelunasan hutang
calon debitur atas fasilitas kredit yang disalurkan.
d. Prinsip 5P, meliputi para pihak (party), tujuan (purpose), pembayaran (payment),
perolehan laba (profitability), perlindungan (protection).
e. Prinsip 3R, meliputi return (penilaian atas hasil yang akan diperoleh perusahaan
debitur setelah memperoleh kredit), repayment (kesanggupan debitur dalam
mengembalikan kredit sesuai dengan jangka waktu kredit) dan risk bearing abbility
(kemampuan debitur untuk menghindari resiko).
4. Tinjauan Umum Hak Tanggungan
A. Pengertian Hak Tanggumgan
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah
adalah : “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu kepada kreditur-kreditur lain”.
Menurut H. Salim H.S., Hak Tanggungan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau didahulukan kepada
pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference.
b. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda itu berada
atau disebut droit de suite. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 bahwa walaupun objek hak tanggungan sudah
dipindahtangankan haknya kepada pihak lain, kreditur pemegang hak
tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum
apabila debitur cidera janji;
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga
dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan;
d. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya atau memberikan kemudahan
bagi kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.
B. Dasar Hukum Hak Tanggungan
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan, peraturan yang mengatur tentang pembebanan Hak atas tanah adalah
Bab XXI Buku II KUH Perdata, yang berkaitan dengan hyphoteek dan
creditverband dalam Staatsblad 1908-542sebagaimana telah diubah dengan
Staatsblad 1937-190. Kedua ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi karena
tidak sesuai dengan kebutuhan perkreditan di Indonesia.
Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, adalah :
a. Ketentuan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996).
b. Objek Hak Tanggungan (Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 Undang- Undang
Nomor 4 Tahun 1996).
c. Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan (Pasal 8 sampai dengan Pasal 9
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996).
d. Tata Cara Cara Pemberian, Pendaftaran, Peralihan dan Hapusnya Hak
Tanggungan (Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996).
e. Eksekusi Hak Tanggungan (Pasal 20 sampai dengan Pasal 21 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996).
f. Pencoretan Hak Tanggungan (Pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996).
g. Sanksi Administrasi (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996).
h. Ketentuan Peralihan (Pasal 24 sampai dengan Pasal 26 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996).
i. Ketentuan Penutup (Pasal 27 sampai dengan Pasal 31 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996).
C. Subjek dan Objek Hak Tanggungan
Subjek Hak Tanggungan di dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 adalah :
a. Pemberi Hak Tanggungan, dapat perorangan atau badan hukum, yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hokum terhadap objek
Hak Tanggungan.
b. Pemegang Hak Tanggungan, terdiri dari perorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak berpiutang.

Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang, tetapi
hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan harus memenuhi syarat-syarat :

a. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang.
b. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat
publisitas.
c. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila cidera janji benda
yang dijadikan jaminan utang akan dijual di muka umum.
d. Memerlukan penunjukkan dengan undang-undang.
Menurut H. Salim HS, terdapat 5 (lima) jenis hak atas tanah yang dapat
dijaminkan dengan Hak Tanggungan dan diatur juga pada pasal 6 UU Hak
Tanggungan yaitu :

a. Hak Milik.
b. Hak Guna Usaha.
c. Hak Guna Bangunan.
d. Hak Pakai, baik hak milik maupun hak atas Negara.
e. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau
akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak
milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dan
dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.
BAB III

METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif merupakan penelitian terhadap apa yang telah dikonsepkan dalam peraturan
perundang-undangan atau norma dan kaidah. Dimana suatu peraturan perundang-
undangan menjadi dasar dalam menjalankan suatu kebijakan maupun perlindungan hukum.
Penelitian hukum normatif yaitu menelaah aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan
perlindungan hukum bagi kreditur dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak
tanggungan.
2. Sumber dan Jenis Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bahan-bahan hukum yang
terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer
Adalah bahan hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan
peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan hukum primer adalah
bersumber dari :
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti
hasil-hasil seminar atau karya ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat
dari pakar hukum sepanjang relevan dengan objek penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder: contohnya adalah Kamus Hukum,
ensiklopedia, dan jurnal-jurnal ilmiah.
3. Metode Pendekatan
Metode yang digunakan untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini digunakan
pendekatan:
a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach)
Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
b. Pendekatan konseptual (Conseptual Approach)
Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang di dalam ilmu hukum. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu
argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.
4. Tekhnik dan Alat Pengumpulan Bahan Hukum
Di dalam penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan
dengan studi kepustakaan atau studi dokumen terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier. Penelurusan bahan-
bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, menginventarisasi literatur serta
dari perundang-undangan kaitannya dengan pokok pembahasan bersifat ilmiah dan dari
peraturan yang kaitannya dengan pokok permasalahan dan pembahasannya.
5. Analisis Bahan Hukum
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yaitu
berdasarkan bahan hukum yang terkumpul atau diperoleh dari peraturan perundang-
undangan, dengan metode dedukatif berupa pemaparan suatu permasalahan ataupun proses
berpikir yang dimulai dengan menelaah norma-norma/undang-undang secara umum yang
diikuti dengan penerapan hukum dan diakhiri dengan konsklusi atau kesimpulan yang
bersifat khusus.
DAFTAR PUSTAKA

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia; Sebuah Studi tentang
Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan
Umum. PT Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 2-5.
Yudha Pandu, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Jaminan Fidusia dan Hak
Tanggungan, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2008, hlm. 65-66
Rudyanti Dorotea Tobing, Hukum Perjanjian Kredit, Konsep Perjanjian Kredit Sindikasi
Yang Berdasarkan Demokrasi Ekonomi, Cet. 1, Laksbang Pressindo, Surabaya,
2014, hlm. 98
Riduan Tobink dan Bill Nikholaus, Kamus Istilah Perbankan, Atalya Rileni Sudeco, Jakarta,
2003, hlm.
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan Edisi Revisi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm.
191.
Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,
2010, hlm. 2
Widjnarto, Solusi Hukum Dalam Menyelesaikan Kredit Bermasalah, InfoBank, Jakarta,
1997, hlm. 23.

Anda mungkin juga menyukai