Anda di halaman 1dari 8

1. Apakah agunan merupakan suatu kewajiban?

I. DASAR HUKUM

A. Pengertian Kredit

Kredit adalah sebuah kepercayaan, dimana pemberian fasilitas kredit haruslah

berdasarkan suatu kepercayaan dari pihak bank selaku kreditur, bahwa pemberian

fasilitas kredit tersebut dapat kembali dengan aman dan menguntungkan, serta

digunakan untuk tujuan yang sesuai dengan rencana sebagaimana diatur dalam

dokumen perkreditan yang telah disepakati oleh pemohon kredit (debitur) dengan

pihak Perbankan (kreditur).1

Dasar dari kepercayaan kreditur dalam memberikan kredit sendiri adalah adanya

keyakinan kreditur terhadap debitur yang diperoleh dari proses analisis dari fakta dan

data yang kemudian dikumpulkan dan diinterpretasikan serta dikonklusikan dalam

suatu kesimpulan.2 Hal yang demikian dapat dilihat dalam Undang-Undang

Perbankan Pasal 8 ayat 1, yang menyatakan bahwa dalam memberikan kredit atau

pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan

berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad kemampuan serta kesanggupan

nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud

sesuai dengan yang diperjanjikan.

B. Dasar Pemberian Kredit

1
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2003, hal. 92.
2
Undang Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan (“UU Perbankan”), p. 8(1).
Untuk memperoleh keyakinan sebelum memberikan kredit, bank harus

melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan,

dana prospek usaha dari Nasabah Debitur.

Pemberikan kredit kepada debitur selalu berpedoman pada prinsip-prinsip dalam

pemberian kredit. Prinsip ini dikenal dengan istilah Prinsip 5C yang terdiri dari :

1. Character (watak kepribadian)

2. Capital (modal)

3. Collateral (jaminan/agunan)

4. Capacity (kemampuan), dan

5. Condition of Economy (kondisi ekonomi).3

Agunan (collateral) dapat berupa benda bergerak dan tidak bergerak, yang

diserahkan debitur kepada kreditur untuk menjamin apabila fasilitas kredit tidak

dibayar kembali sesuai waktu yang ditetapkan. Jika hal demikian terjadi, maka benda

tersebut dapat dijual untuk pelunasan fasilitas kredit tersebut.4

Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka

apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas

kemampuan Nasabah Debitur mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa

barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah

yang kepemilikannya didasarkan pada hukum, dan lain-lain yang sejenis dapat

digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang

tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan

agunan tambahan.5

3
Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung, Alumni, 2006, hal.184.
4
Try Widiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Enginering, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 6.
5
Ibid, Penjelasan p. 8(1).
C. Pengertian Jaminan

Jaminan adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima atau garansi atau janji

seseorang untuk menanggung hutang atau kewajiban tersebut tidak terpenuhi. Sama

halnya yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank

Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 2 Februari 1991 Tentang Jaminan yang

berbunyi : “Jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk

melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.”6 Sedangkan pengertian agunan

diatur didalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Terdapat juga dalam

Pasal 1 angka 23 yang berbunyi : “Agunan adalah jaminan tambahan yang

diserahkan Nasabah Debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit

atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.”7

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 8 jaminan/agunan (collateral)

dapat berupa jaminan umum dan jaminan khusus. Pada jaminan umum kreditur tidak

mempunyai hak preferent seperti yang terdapat dalam Pasal 1131 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata yang menetapkan bahwa segala kebendaan si berutang

(debitur) baik yang bergerak, maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun

yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya.

Sementara dalam jaminan khusus, kreditur mempunyai hak preferent seperti yang

terdapat pada Pasal 1133 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menetapkan

bahwa hal untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak

6
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 2 Februari 1991 Tentang Jaminan, p. 2(1)
7
UU Perbankan, Op. Cit, p. 1(23).
8
Kitab Undang Undang Hukum Perdata, p. 1131.
istimewa, dari gadai dan dari hipotik, dimana gadai dan hipotik lebih tinggi dari pada

hak istimewa.9

D. Kredit Tanpa Agunan

Pemberian kredit dalam praktek Perbankan di Indonesia umumnya diikuti

penyediaan jaminan oleh pemohon kredit, sehingga pemohon kredit yang tidak bisa

memberikan jaminan sulit untuk memperoleh kredit dari Bank. Persyaratan bagi

pemohon kredit untuk menyediakan jaminan ini dapat menghambat pengembangan

usaha pemohon kredit karena pengusaha kecil yang modal usahanya sangat terbatas

tidak memiliki harta kekayaan yang memenuhi syarat untuk dijadikan jaminan kredit.

Dalam perkembangannya untuk membantu masyarakat memperoleh modal

dengan mudah yang diharapkan mampu meningkatkan pembangunan nasional

khususnya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, maka Pemerintah telah

mengubah undang-undang pokok perbankan Nomor 14 tahun 1967 dengan Undang-

undang yang baru Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan yang telah dirubah dengan

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Undang-undang yang baru ini tidak lagi

mensyaratkan bahwa pemberian kredit harus diikuti dengan kewajiban

pemohon kredit menyediakan jaminan materiil atau jaminan immateriil. Dalam

Pasal 8 Undang-undang Perbankan yang baru hanya menegaskan bahwa dalam

memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis

yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan debitur serta kesanggupan nasabah

debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan hutang dimaksud sesuai

dengan yang diperjanjikan. Dari pasal ini persyaratan adanya jaminan untuk
9
Ibid, p. 1134.
memberikan kredit tidak menjadi keharusan. Bank hanya diminta untuk meyakini

berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik debitur dan kemampuan dari

debitur.10

Perkembangan seperti yang diuraikan sebelumnya mengakibatkan

berkembangnya produk-produk Perbankan, antara lain Kredit Tanpa Agunan. Kredit

Tanpa Agunan adalah kredit yang tidak disertai dengan penyerahan agunan sebagai

jaminan secara fisik oleh debitur, karena pemberian kredit ini tidak disertai dengan

penyerahan jaminan/agunan secara fisik, maka pihak kreditur (bank) dalam

memberikan Kredit Tanpa Agunan haruslah berhati-hati dan cermat karena dalam

perjanjian

Kredit Tanpa Agunan posisi kreditur disini hanya sebagai kreditur konkruen

yang tidak memiliki hak preferent/ hak untuk didahulukan dari kreditur-kreditur

lainnya (hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata

pasal 1132, pasal 1133 dan pasal1134 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Sehingga apabila jumlah kreditur banyak sekali, dan diantara kreditur-kreditur itu

terdapat kreditur preferen, maka terdapat kemungkinan akan terjadi perselisihan

antara para kreditur dalam pembagian/ pelunasan piutang dari masing-masing

kreditur.

II. ANALISIS HUKUM

PT Dettok merupakan produsen start up yang memproduksi hand sanitizer. PT

Dettok selanjutnya mengajukan kredit ke bank ABC, namun PT Dettok menolak

memberi agungan. Bersarkan oleh Undang-Undang Perbankan Pasal 8 ayat 1,


10
Sutarno, Op.Cit, hal. 140-141.
yang menyatakan bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan

prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang

mendalam atas itikad kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi

utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang

diperjanjikan.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tidak lagi mensyaratkan bahwa

pemberian kredit harus diikuti dengan kewajiban pemohon kredit menyediakan

jaminan materiil atau jaminan immaterial. Karena itu, pemberian kredit tanpa

agunan dapat dilaksanakan. Hal ini juga dapat diartikan bahwa pemberian jaminan

dalam kredit adalah bukan suatu kewajiban. Dalam Pasal 8 Undang-undang

Perbankan yang baru hanya menegaskan bahwa dalam memberikan kredit, bank

umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad

baik dan kemampuan debitur serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi

utangnya atau mengembalikan hutang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

Dari pasal ini persyaratan adanya jaminan untuk memberikan kredit tidak

menjadi keharusan atau kewajiban, melainkan keyakinan atas itikad baik,

kemampuan debitur serta kesanggupan nasabah lah yang menjadi kewajiban.

Karena ini, dalam kasus diatas, PT Dettok tidak memiliki kewajiban untuk

memberikan jaminan kepada bank ABC untuk dapat mendapatkan kredit dari

bank ABC.

2. Hal apa sajakah yang harus diperhatikan dalam memberikan kredit?


I. DASAR HUKUM

A. Hal yang harus diperhatikan dalam memberikan kredit

Dalam memberikan kredit, bank harus benar benar yakin atas itikad baik dan

kemampuan debitur serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau

mengembalikan hutang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal tersebut

dijelaskan pula dalam pasal 8 ayat 2 Undang Undang Perbankan. Untuk memperoleh

keyakinan, bank harus melakukan penilaian pembiayaan secara seksama dan menyeluruh.

Pemberian pembiayaan terhadap calon debitur umumnya menggunakan lima prinsip (5C)

penilaian yakni, Character (watak atau kepribadian), Capacity (kemampuan),

Capital (modal), Condition of economy (kondisi perekonomian), Collateral

(jaminan) seperti yang telah disebutkan pula dalam penjelasan diatas.

Selain lima penilaian pembiayaan tersebut, pada dasarnya pemberian pembiayaan

kepada debitur berpedoman pada dua prinsip yaitu :11

a. Prinsip kepercayaan, yakni bank mempunyai kepercayaan bahwa pembiayaan

yang diberikannya bermanfaat bagi nasabah sesuai dengan peruntukannya dan

bank percaya debitur yang bersangkutan dapat melunasi dalam jangka waktu yang

diperjanjikan.

b. Prinsip kehati-hatian, dalam memberikan pembiayaan kepada nasabah harus

selalu berpedoman dan menerapkan prinsip kehatihatian. Bentuk penerapan

secara konsisten berdasarkan itikad baik terhadap semua persyaratan dan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberian pembiayaan

dari bank yang bersangkutan.

11
Hermansyah. 2005. Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana
II. ANALISIS HUKUM

Anda mungkin juga menyukai