Anda di halaman 1dari 100

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan perekonomian dan perdagangan menimbulkan dampak

terhadap aktifitas suatu perusahaan. Dalam menjalankan aktifitasnya, perusahaan

membutuhkan modal karena keberadaan modal sangat penting sebagai suatu

sarana untuk mengembangkan usaha suatu perusahaan. Modal yang dibutuhkan

perusahaan dapat berupa barang-barang maupun berupa uang, yang dapat berasal

dari kekayaan perusahaan itu sendiri maupun pinjaman dari pihak lainnya.

Pinjaman tersebut diperoleh, setelah perusahaan (debitor) melakukan perjanjian

utang piutang atau perjanjian pinjam meminjam uang dengan pihak lain (kreditor).

Pinjaman yang diperoleh debitur dari kreditur, dapat berupa kredit dari bank,

kredit dari perusahaan selain bank, atau pinjaman dari orang perorangan.

dengan demikian kredit itu dapat pula berarti bahwa pihak kesatu memberikan

prestasi baik berupa barang, uang atau jasa kepada pihak lain, kontraprestasinya

akan diterima kemudian ( dalam jangka waktu tertentu ).1Kredit merupakan tulang

punggung bagi pembangunan di bidang ekonomi.2Ini berarti perkreditan

mempunyai arti penting dalam berbagai aspek pembangunan seperti bidang

1
S. Mantayborbir, et. al, Hukum Piutang dan Lelang Negara di Indonesia, Pustaka Bangsa,
Medan, 2002, hal. 5.
2
Tan Kamello, Hukum Jamnan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Di Didambakan, Alumni, 2006,
hal 1 sebagaimana dikutip dari Ali Said, Pada Pidato Pengarahan Menteri Kehakiman RI, dalam
Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perkreditan , Jakarta, BPHN, 1995.

1
perdagangan, perindustrian, perumahan, transportasi dan lain sebagainya.

Perkreditan juga memberikan perlindungan kepada golongan ekonomi lemah

dalam pengembangan usahanya. 3Sektor perkreditan merupakan salah satu sarana

pemupukan modal bagi masyarakat bisnis. Bagi kaum pengusaha, mengambil

kredit sudah merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

bisnis.7 Untuk melepaskan dunia bisnis tanpa pinjaman kredit Bank sangatlah

sulit. Namun bagi perbankan setiap pemberian kredit yang disalurkan kepada

pengusaha selalu mengandung risiko. Dana kredit tersebut kemudian digunakan

oleh debitur untuk menjalankan kegiatan usahanya. Namun, keadaan yang sering

terjadi, setelah dana kredit diperoleh yang digunakan untuk tujuan usaha, ternyata

usaha yang dijalankan oleh debitur mengalami kerugian yang berakibat pada

masalah keuangan, sehingga kemungkinan besar debitur berhenti membayar

utang-utangnya. Ketidakmampuan debitur dalam membayar utang-utangnya

(insolven), dapat mengakibatkan debitur terancam pailit yang berdampak pada

dilikuidasinya harta kekayaan debitur. Jika pelunasan utang tersebut melewati

jangka waktu yang diperjanjikan maka akan menimbulkan suatu permasalahan.

karena itu perlu unsur pengamanan dalam pengembalian pinjaman . Unsur

pengamanan (safety) adalah salah satu prinsip dasar dalam peminjaman kredit

selain unsur keserasiannya (suitability) dan keuntungan (profitability).8 Bentuk

pengamanan kredit dalam praktik perbankan dilakukan dalam pengikatan

jaminan. Pada dasarnya jaminan itu dapat dibedakan menjadi 2 (dua) pertama

3
Tan Kamello, Ibid, sebagaimana dikutip dari Sumardi Mertokusumo, Aspek-Aspek Hukum
Perkreditan Golongan Ekonomi Lemah, Kertas Kerja Dalam Simposium Aspek-Aspek
Hukum Masalah Perkreditan, Jakarta, BPHN Departemen Kehakiman, 1995, hal 97

2
jaminan perorangan ( Personal guarantee ) yang dasar hukum pasal 1820

KUHPerdata berbunyi : Penanggungan ialah suatu persetujuan dimana pihak

ketiga demi kepentingan kreditur, mengikat diri untuk memenuhi perikatan

debitur, bila debitur debitur itu tidak memenuhi perikatannya. dan Kedua

jaminan kebendaan pasal 1131 KUHPerdata berbunyi : segala barang barang

bergerak dan tidak bergerak milik debitur ,baik yang sudah ada maupun yang

akan datang , menjadia jaminana untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu

agunan adalah sebagai salah satu unsur jaminan dalam pemberian kredit, maka

jika telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur untuk

mengembalikan hutangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak

tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Hal ini sebagaimana

dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan, secara teoritis

Bank dimungkinkan untuk memberikan kredit tanpa jaminan karena jaminan

(collateral) tidak merupakan syarat mutlak. Jaminan (collateral) hanya merupakan

salah satu syarat yang harus dipenuhi di samping syarat lainnya. Apabila unsur-

unsur lain telah dapat menyakinkan pihak Bank atas kemampuan debitur,

maka jaminan cukup hanya berupa jaminan pokok saja dan Bank tidak wajib

meminta jaminan tambahan. Keberadaan jaminan kredit merupakan upaya guna

memperkecil risiko, dimana jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan

kreditur yaitu kepastian hukum akan pelunasan hutang debitur atau pelaksanaan

suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur.4Pemberian jaminan

kebendaan selalu menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang,

4
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat
Pada Tanah Dalam Konsep Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hal. 23

3
(si pemberi jaminan) dan menyediakannya guna pemenuhan kewajiban

(pembayaran hutang) seorang debitur, sedangkan jaminan perorangan adalah

suatu perjanjian antara si pemberi piutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang

menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berutang (debitur). keberadaan

jaminan hutang sangat potensial perkembangannya selain memiliki dasar hukum

yang kuat maka keberadaan jaminan juga sangat berpotensial dalam hal

dikabulkannya permohonan kredit atau tidak.melalui peraturan perundang-

undangan hukum jaminan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Banda Yang Berkaitan Dengan Tanah

(selanjutnya disebut Undang-Undang Hak Tanggungan), Undang-Undang No. 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut Undang-Undang

Fidusia). 5jaminan kebendaan merupakan jaminan yang obyeknya terdiri dari

benda yang mengandung asas-asas sebagai berikut:

1) Memberikan kedudukan yang didahulukan bagi kreditur pemegang

hak jaminan terhadap para kreditur lainnya.

2) Bersifat asesor terhadap perjanjian pokok yang dijamin dengan

jaminan tersebut.

3) Memberikan hak separatis bagi kreditur pemegang hak jaminan.

Artinya benda yang dibebani dengan hak jaminan bukan

merupakan harta pailit dalam hal debitur dinyatakan pailit oleh

pengadilan.

5
R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia
(Termasuk Hak Tanggungan), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 15

4
4) Merupakan hak kebendaan. Artinya hak jaminan akan selalu

melekat di atas benda tersebut (droit de suite) kepada siapapun juga

benda beralih kepemilikannya.

5) Kreditur pemegang hak jaminan mempunyai kewenangan penuh

untuk melakukan eksekusi atas hak jaminannya.

6) Berlaku bagi pihak ketiga, dimana berlaku pula asas publisitas. Artinya,

hak jaminan tersebut harus didaftarkan.

Adanya jaminan kebendaan yang menentukan dengan jelas benda tertentu yang

diikat dalam perjanjian jaminan memberikan kepada kreditur suatu hak terhadap

benda yang diikat untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari kreditur

lainnya dengan cara mengeksekusi benda jaminan tersebut, apabila debitur tidak

mampu lagi membayar hutangnya, Kreditur pemegang jaminan kebendaan

tersebut mempunyai kedudukan yang kuat karena dapat melakukan eksekusi

dengan menjual benda yang dijaminkan tersebut malalui pelelangan atau

penjualan umum. Adapun lembaga jaminan kebendaan tersebut, meliputi hipotik

dan gadai yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum perdata serta

hak tanggungan dan jaminan fidusia yang diatur di luar KUHPerdata

Adanya lembaga jaminan hak tanggungan dan fidusia diharapkan akan

memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, khususnya

Bank selaku kreditur pemegang jaminan kebendaan, terutama yang berkaitan

dengan masalah pengembalian kredit. Pada dasarnya dalam dunia perbankan,

Bank sebagai kreditur mengandalkan 2 (dua) sumber pelunasan bagi kredit yang

diberikan kepada debitur, yaitu:

5
1) Pelunasan dari pendapatan (revenue) yang diperoleh oleh debitur

dari hasil usahanya yang disebut first way out.

2) Pelunasan dari harta kekayaan debitur dan jaminan-jaminan yang

diberikan oleh debitur atau para penjaminnya, yang disebut second

way out.

Salah satu sarana hukum yang dapat dipergunakan bagi penyelesaian utang

piutang adalah peraturan kepailitan. Pada asasnya setiap kreditur yang tidak

terpenuhi piutangnya dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada

pengadilan terhadap seorang debitur dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat Undang-Undang

Kepailitan). Sehubungan dengan perbankan, dalam hal seorang debitur berada

dalam keadaan tidak membayar hutang-hutangnya terhadap kredit yang diberikan

oleh Bank selaku kreditur, maka kreditur dalam hal ini tidak dapat lagi

mengharapkan first way out sebagai sumber pelunasan kredit. Sehingga, apabila

debitur dalam keadaan pailit maka Undang-Undang Kepailitan diharapkan dapat

memberikan jaminan dan keamanan bagi para kreditur dari second way out atas

harta kekayaan debitur yang merupakan obyek jaminan dengan cara

mengeksekusi harta kekayaan debitur sebagai sumber pelunasan kredit. ditambah

lagi ketika suatu perusahaan tersebut sebagai debitur memiliki lebih dari satu

kreditur yang menuntut pelunasan pembayaran utang. Maka hal ini akan

menimbulkan upaya dari kreditor untuk mengajukan permohonan pailit terhadap

debitur tersebut sebagai salah satu solusi untuk menyelesaikan pelunasan utang

6
piutang oleh debitor ,keadaan pailit yang dialami debitur terjadi ketika debitur

dinyatakan tidak dapat atau sudah tidak mampu untuk melunasi seluruh utang-

utangnya yang dalam hal ini ia memiliki lebih dari satu utang terhadap lebih dari

satu kreditur. Peraturan kepailitan dibuat berlaku umum yaitu bagi subjek hukum

yang berada dalam keadaan tidak bisa membayar utang-utangnya, Pengertian

Utang menurut Pasal 1 angka 6 pada Undang-Undang No 37 tahun 2004 perihal

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, adalah “Kewajiban

yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang

Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan

timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau

Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi

memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan

Debitor”. dalam hukum kepailitan Indonesia, dikenal beberapa jenis kreditur

antara lain Kreditur Konkruen, Kreditur Preferen, dan Kreditur Separatis Syarat

untuk mengajukan kepailitan adalah adanya utang yang telah jatuh waktu dan

dapat ditagih serta adanya lebih dari satu kreditor. Setelah adanya putusan

kepailitan, langkah selanjutnya adalah melakukan rapat verifikasi yang akan

melakukan pencocokan atau pengujian terhadap utangutang yang dimiliki oleh

debitor terhadap kreditor-kreditornya, dalam rapat ini juga akan dilakukan

penggolongan kreditor berdasarkan sifat-sifat, utang tersebut yang akan

menentukan prosedur pembayarannya, yaitu kreditor preferen, separatis, serta

konkuren. Seringkali dalam kepailitan terdapat permasalahan yang harus dihadapi

oleh para kreditor, terutama kreditor konkuren atau kreditor biasa adalah untuk

7
mendapatkan pelunasan piutangnya terhadap debitor yang telah dinyatakan pailit,

biasanya disebabkan karena adanya itikad buruk dari debitor untuk mengalihkan

aset harta kekayaan yang dimilikinya atau segala upaya debitor pailit untuk

menghambat proses pengurusan dan pemberesan harta kekayaan pailit (boedel

pailit) yang dilakukan oleh kurator, di sisi lain permasala`han yang mungkin

dihadapi adalah ketidakmampuan atau adanya itikad buruk dari kurator dan

hakim pengawas dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta kekayaan

pailit, permasalahan lainnya yang timbul adalah apabila harta kekayaan debitor

pailit tidak cukup untuk melunasi segala utang-utangnya kepada para kreditornya,

terlebih apabila kreditor konkuren tersebut dihadapkan dengan situasi adanya

kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang juga memiliki piutang kepada

debitor, mengingat berdasarkan Pasal 1132 dan 1133 KUHPerdata para kreditor

pemegang hak jaminan kebendaan (secured creditor) memiliki hak untuk

mendapatkan pelunasan piutang yang dimilikinya dari harta kekayaan debitor pailit

secara terlebih dahulu daripada kreditor konkuren (unsecured creditor). Dalam

kepailitan yang dialami oleh debitur terdapat hak untuk penangguhan

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55-57 UU No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Kreditor separatis yang memegang hak jaminan atas kebendaaan sebagai

pemegang hak tanggungan, hak gadai atau hak lainnya dapat menjalankan

eksekusinya seakan-akan tidak terjadi kepailitan (Pasal 55 ayat (1) UU No. 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

Ketentuan ini adalah merupakan implementasi lebih lanjut dari prinsip structured

8
protoa dimana kreditor dan debitor pailit diklasifikasikan sesuai dengan kondisi

masing-masing. Namun dalam pelaksanaan eksekusi terdapat perbedaan antara

dalam kondisi yang pailit dengan kondisi tidak pailit, dalam kondisi pailit

muncul yang disebut masa tangguh (stay) dan eksekusi jaminan oleh kurator

setelah kreditor pemegang jaminan diberi waktu dua bulan untuk menjual sendiri.

Ketentuan hak tangguh ini diatur dalam Pasal 56 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang

menentukan bahwa kreditor tersebut ditangguhkan haknya selama 90 hari untuk

mengkesekusi benda jaminan yang dipegangnya. Hak ini memberikan

kesempatan kepada kurator untuk mendapatkan harga jual yang wajar bahkan

harga terbaik. Hal ini karena pada dasarnya pemegang jaminan memiliki hak

preferensi atas benda jaminan piutang kepada debitur, sehingga nilai likuidasi

benda jaminan melebihi nilai piutang kreditor, maka sisa nilai likuidasi benda

jaminan harus dikembalikan pada debitor. Penangguhan tersebut antara lain

untuk memberikan kesempatan kepada debitur untuk tercapainya perdamian,

melakukan negoisasi dengan pihak pembeli sehingga tercapai harga yang

optimal dan memberi kesempatan kepada kuratot untuk bekerja secara optimal.

Sehingga dalam proses kepailitan yang berlangsung ini mendapatkan solusi yang

sama-sama menguntungkan dan memberikan kepuasan kepada pihak-pihak yang

bersengketa. Selain itu dalam proses penjualan tersebut yang boleh dijual hanya

barang persediaan dan atau benda bergerak. Dalam kaitan dengan hak

penangguhan tersebut hakim memiliki wewenang untuk menetukan batas waktu

penangguhan dan kondisi dimana debitur tidak mampu membayar. Selain itu

9
hakim juga memiliki wewenang untuk melakukan pertimbangan lainnya yang

berkaitan dengan penagguhan tersebut, Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang (yang selanjutnya disebut PKPU) merupakan suatu cara yang dapat

ditempuh oleh debitur agar debitur dapat meneruskan kembali usahanya dan

terhindar dari kepailitan. PKPU diatur didalam Bab III Pasal 222-294 Undang-

Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (yang selanjutnya disebut Undang-Undang PKPU).

Permohonan PKPU diajukan ke Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya

meliputi daerah tempat kedudukan debitur. Permohonan PKPU harus diajukan

sebelum ada putusan pernyataan pailit. Apabila putusan pernyataan pailit sudah

diucapkan oleh hakim terhadap debitur, maka permohonan PKPU tidak dapat

diajukan lagi. Sebaliknya permohonan PKPU dapat diajukan bersama-sama

dengan permohonan pernyataan pailit. Dengan kata lain, permohonan PKPU

dapat diajukan sebagai tanggapan atas permohonan pernyataan pailit. Dalam

keadaan demikian, permohonan PKPU harus diputus lebih dahulu oleh hakim,

sedangkan putusan terhadap permohonan pernyataan pailit harus ditangguhkan.

PKPU pada hakikatnya bertujuan mengadakan perdamaian antara debitur dengan

para krediturnya. Undang-Undang PKPU mengenal dua macam perdamaian.

Pertama adalah perdamaian yang ditawarkan oleh debitur dalam rangka PKPU

sebelum debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Kedua, adalah

perdamaian yang ditawarkan oleh debitur kepada para krediturnya setelah

debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Perdamaian dalam rangka

PKPU diuraikan dalam Pasal 265 sampai dengan Pasal 294 Undang-Undang

10
PKPU. Menurut Undang-Undang PKPU rencana perdamaian dapat diajukan

bersamaan dengan diajukannya permohonan PKPU atau sesudah permohonan

PKPU diajukan. Rencana perdamaian pada dasarnya berisi kesepakatan yang

diajukan oleh debitur kepada kreditur, untuk merestrukturasi utang-utangnya.

Utang debitur dianggap layak untuk direstrukturasi apabila :

1. perusahaan debitur masih memiliki prospek usaha yang baik untuk

mampu melunasi utang. Apabila perusahaan diberi penundaan

pelunasan utang dalam jangka waktu tertentu, baik dengan atau

tanpa diberi keringanan-keringanan persyaratan atau diberi

tambahan utang baru;

2. selain hal tersebut diatas, utang debitur dianggap layak untuk

direstrukturasi apabila para kreditur akan memperoleh pelunasan

utang-utang mereka yang jumlahnya lebih besar melalui

restrukturasi daripada apabila perusahaan debitur dinyatakan pailit;

atau

3. Apabila syarat-syarat utang berdasarkan kesepakatan restrukturasi

menjadi lebih menguntungkan bagi para kreditur daripada tidak

dilakukan restrukturasi.

Kesepakatan mengenai isi rencana perdamaian, oleh Pengadilan Niaga

sepenuhnya diserahkan kepada debitur dengan para krediturnya. Pengadilan

Niaga hanya mengesahkan atau memberikan konfirmasi saja terhadap hasil

pengesahan atau penolakan pengesahaan perdamaian diatur dalam pasal 284 dan

11
Pasal 285 Undang - Undang PKPU. Apabila rencana perdamaian tersebut diterima

oleh para kreditur atau telah memenuhi kuorum yang dipersyaratkan didalam

Undang-Undang PKPU, hakim dapat memberikan pengesahannya apabila hakim

tidak menemukan alasan-alasan untuk menolak pengesahan sebagaimana yang

telah ditentukan didalam Undang-Undang PKPU. Namun, apabila para kreditur

menolak rencana perdamaian tersebut atau tidak memenuhi kuorum yang

dipersyaratkan didalam Undang-Undang PKPU, seketika itu juga Pengadilan

menyatakan debitur pailit.

Ekonomi yang lesu dan tingkat daya beli masyarakat yang menurun sejak

beberapa tahun terakhir, banyak menyebabkan usaha mengalami penurunan dan

mencapai titik kulminasi terakhir dalam kepailitan. Di Sektor Perbankan

Pembiayaan bermasalah banyak dicari solusi melalui media kepailitan. Untuk

nasabah yang memang memiliki itikad baik media kepailitan merupakan media

yamg tepat untuk menjadwal ulang restrukturisasi pembiayaan melalui media

Pengadilan Niaga. Namun untuk nasabah yang memiliki itikad buruk, kepailitan

bukanlah solusi yang terbaik. Pasal 1131 KUHPerdata yang berbunyi: ”Segala

kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baikyang

sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan

untuk segala perikatan perseorangan”, dan Pasal 1132, yang berbunyi:

”Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang

mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda benda itu dibagi-bagi

menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,

kecuali apabila diantara para ber piutang itu ada alasan alasan yang sah untuk

12
didahulukan “kedua pasal tersebut mengandung arti bahwa debitor wajib

bertanggung anggung jawab terhadap seluruh utangnya dengan memberikan

jaminan pelunasan kepada para kreditornya berupa benda bergerak maupun tidak

bergerak dan baik yang sudah ada maupun baru akan ada di masa mendatang

kepada seluruh kreditor untuk kemudian dibagi-bagikan kepada kreditor- kreditor

secara seimbang menurut besar kecilnya piutang yang dimiliki oleh masing-

masing kreditor, kewajiban ini baru hilang apabila debitor telah melunasi semua

utangnya kepada kreditor beserta bunga-bunga yang telah ditentukan.

KUHPerdata Pasal 1 angka 1, menyatakan bahwa: “Kepailitan adalah sita umum

atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya

dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim, Pengawas sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang ini”. Berdasarkan Pasal ini harta kekayaan debitor

yang telah dinyatakan pailit menjadi sitaan umum bagi para kreditornya guna

pelunasan utang-utang debitor yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan

seorang atau beberapa kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Undang-

Undang No. 37 Tahun 2004 juga telah memberikan pengertian utang yang

sebelumnya masih menjadi perdebatan banyak pihak karena belum adanya

pengertian utang yang menjadi salah satu syarat untuk mengajukan permohonan

kepailitan. Perbankan merupakan kreditor separatis yaitu kreditur yang

memegang jaminan kebendaan dan berhak untuk didahulukan pelunasan

utangnya daripada kreditur-kreditur lainnya. Kreditur separatis dalam hal ini

memiliki hak tersendiri yaitu hak eksekutorial untuk melakukan tindakan

eksekusi terhadap jaminan kebendaan yang dimilikinya ketika debitur dinyatakan

13
pailit. Hal ini diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Undang- Undang No.37 Tahun 2014

tentang Kepailitan dan PKPU. Namun pada kenyataannya, terdapat ketidak

konsistenan pengaturan mengenai eksekusi yang dapat dilakukan kreditur

separatis sebagai upaya agar debitur melunasi utangnya. Ketidak konsistenan ini

dapat dilihat pada ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun

2004 yang menyebutkan bahwa hak eksekusi yang dimaksud tersebut

ditangguhkan dalam jangka waktu 90 hari sejak tanggal debitur dinyatakan

pailit.dan ketentuan Pasal 60 Ayat (1) Undang – Undang No 37 Tahun 2004

yang menyebutkan bahwa pertanggungjawaban kepada kurator tentang hasil

penjualan benda yang menjadi agunan dan menyerahkan sisa hasil penjualan

setelah dikurangi jumlah utang ,bunga,dan biaya kepada kurator.hal ini akan

menimbulkan ketidakjelasan norma dalam pengaturan mengenai hak

eksekutorial yang dimiliki oleh kreditor separatis ketika debitur dinyatakan pailit.

Dari latar belakang yang ada maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tesis yang diberi judul : KEDUDUKAN KREDITOR SEPARATIS

PEMEGANG JAMINAN KEBENDAAN DALAM KEPAILITAN

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, terdapat beberapa permasalahan yang diangkat

dalam usulan penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :

1) Bagaimana Kedudukan Kreditor Separatis dalam melaksanakan hak

eksekutorialnya ?

2) Bagaimana hak kreditor Separatis sebagai pemegang jaminan

kebendaan Dalam kepailitan . terhadap adanya penangguhan eksekusi

objek jaminan

14
C. Keaslian Penelitian

Adapun penelitian dalam bentuk tesis yang diangkat dengan judul :

KEDUDUKAN KREDITOR SEPARATIS PEMEGANG JAMINAN

KEBENDAAN DALAM KEPAILITAN. Pengajuan judul yang telah melalui

tahap penelusuran pada data pustaka di lingkungan Universitas Lambung

Mangkurat dan perolehan informasi bahwa belum adanya pengangkatan judul

yang diajukan oleh peneliti yaitu tentang. “kedudukan kreditor separatis

pemegang jaminan kebendaan dalam kepailitan“ berbeda dengan penelitian-

penelitian terdahulu atau sebelumnya yang juga menganalisa mengenai masalah

Kepailitan . Adapun penelitian-penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan

tesis ini adalah :

Judul Tesis :

PERLINDUNGAN HUKUM DAN KEDUDUKAN KREDITOR SEPARATIS

DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN TERHADAP DEBITOR

a. Rumusan Masalah :

1) Bagaimana Antisipasi yang harus dilakukan dalam perjanjian

kredit yang memungkinkan memberikan perlindungan hukum

kepada Kreditor apabila terjadi kepailtan ?

2) Bagaimana kedudukan Kreditor pemegang jaminan dalam

kepailitan yang yang memungkinkan memperoleh pemenuhan

pengembalian Piutangnya ?

b. Hasil penelitian :

1) Perlindungan Hukum yang dapat memberikan keamanan dan

kepastian hukum bagi kreditor dalam perjanjian kredit, apabila

15
terjadi kepailitan, adalah bahwa hendaknya kredit tersebut kredit

tersebut disertai dengan jaminan kebendaan agar mempunyai sifat

piutang saparatis dan didahulukan yang memberikan kedudukan

kepada kreditor memperoleh pelunasan dari benda jaminan apabila

debitor wanprestasi atau kredit dalam keadaan macet.

2) Sifat piutang yang saparatis maka memberikan kedudukan kreditor

pemegang jaminan kebendaan sebagai kreditor saparatis yang

kedudukannya didahulukan dibandingkan kreditor lainnya dalam

memperoleh pengembalian hutang , dimana apabila terjadi

kepailitan maka kreditor saparatis berada dalam keadaan seolah

oleh tidak terjadi kepailitan

c. Penulis :

1) Sri Rejeki Slamet . Program Magister Ilmu Hukum Universitas Esa

Unggul Jakarta . 2019.

Judul Tesis

KEDUDUKAN KREDITOR SAPARATIS ATAS PENANGGUHAN

EKSEKUSI JAMINAN HAK TANGGUNGAN AKIBAT PAILITNYA

DEBITOR”

a. Rumusan masalah :

1) Bagaimana pengaturan eksekusi jaminan kreditor saparatis apabila

terjadi kepailitan.

2) Bagaimana Kedudukan kreditor separatis bilamana terjadi

penangguhan Eksekusi ?

16
b. Hasil penelitian :

1) Debitor Mengalami Kepailitan Bank sebagai Kreditor pemegang

Hak Tanggungan berhak menjual Objek yang di jaminkan dengan

cara penjualan jaminan dibawah tangan atas dasar kesepakatan

kedua belah pihak antara Debitur dan Kreditur dan melalui

pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan mengambil

pelunasan hutangnya dari hasil penjualan tersebut

2) Ditinjau berdasarkan Undang Undang Kepailitan adanya

penangguhan eksekusi tersebut , kreditor saparatis tidak di

pertimbangkan keberadaannya sehingga hal ini memberikan

kedudukan yang sejajar bagi kreditor Saparatis dengan kreditor

lainnya

c. Penulis:

Desy Corina Dwiyaning Program Studi Magister Ilmu Hukum

PROGRAM Kekhususan Hukum Bisnis, Universitas Udayana

Dari penelusuran yang dilakukan, baik judul, perumusan masalah tidak sama

dengan penelitian ini. Maka dapat dikatakan bahwa penelitian tesis ini adalah asli

dan secara keilmuan akademik dan dapat dipertanggungjawabkan.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan Penelitian bedasarkan permasalahan tersebut, maka peneliti yang hendak

dicapai dalam penelitian tesis ini adalah:

1) Mempelajari dan memahami kedudukan kreditor saparatis dalam

pelaksanaan hak eksekutorial pemegang jaminan kebendaan k dalam

17
mengeksekusi objek jaminan hak tanggungan dalam usaha pelunasan

hutang debitur pailit.

2) Mempelajari dan memahami kedudukan kreditor saparatis dalam

mengeksekusi objek jaminan hak tanggungan akibat terjadinya kepailitan.

3) Mempelajari dan memahami kedudukan Kreditor Saparatis pemegang

jaminan kebendaan terhadap kepalitan adanya penangguhan eksekusi

obyek jaminan (stay).

Mamfaat penelitian dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan

dan pemahaman mengenai hukum jaminan pada umumnya dan hukum kepailitan,

khususnya yang berkaitan dengan kedudukan Kreditor Saparatis atas penanguhan

eksekusi jaminan hak tanggungan dan apabila debitur dalam keadaan pailit

Kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:

a. Secara teoretis, dapat menambah bahan kepustakaan hukum tentang

hukum jaminan dan hukum kepailitan khususnya mengenai kedudukan

hukum pemegang jaminan kebendaan.

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukkan

dan memberikan pemahaman yang lebih baik dalam rangka

pengembangan lebih lanjut dalam hukum jaminan dan kepailitan

khususnya mengenai kedudukan kreditor saparatis sebagai pemegang

jaminan kebendaan bagi pihak-pihak yang terkait, seperti:

1) Kreditur pemegang jaminan kebendaan yang hendak menggunakan

hak Eksekutorial dalam Undang-Undang Hak Tanggungan dalam

penyelesaian utang piutang.

18
2) Pihak Kreditur saparatis sebagai pemegang jaminan kebendaan

yang hendak menggunakan lembaga kepailitan dalam

menyelesaikan pelunasan Debitur dalam kepailitan

E. Tinjauan Pustaka

Tinjauan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum atau

teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-

norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas

permasalahan penelitian. Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran

teoritis, oleh karena ada hubungan timbal baik yang erat antara teori dengan

kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, analisa, serta kontruksi , data

dalam suatu penelitian .

a. Teori Keadilan

Keadilan berasal dari kata adil yang artinya menurut kamus besar bahasa Indonesia

adalah tidak memihak atau tidak berat sebelah. Sehingga keadilan dapat diartikan

sebagai suatu perbuatan yang bersifat adil atau perbuatan yang tidak memihak.

Keadilan adalah salah satu dari tujuan hukum selain kemanfaatan dan kepastian

hukum. Perwujudan keadilan dapat dilihat dalam ruang lingkup kehidupan sehari-

hari dalam bermasyarakat dan bernegara.

Berbagai macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori- teori ini

menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran.

Teori keadilan Aritoteles, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam

dua macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan

distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut

19
prestasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap

orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan

tukar menukar barang dan jasa. teori keadilan merupakan salah satu tujuan hukum

seperti apa yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch dalam teori gabungan etis dan

utility yang konsep hukumnya adalah hukum bertujuan untuk keadilan, kegunaan

kepastian. Teori keadilan John Rawls, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan

utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi,

kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat

rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya

masyarakat lemah pencari keadilan. Teori ini digunakan untuk menjawab rumusan

masalah satu yaitu untuk mencari keadilan yang seadil-adilnya terhadap pelaksanaan

hak eksekutorial terhadap objek jaminan diharapkan teori ini dapat memberikan

rasa adil dalam hal pelaksanan hak eksekutorial , langsung dapat dilaksanakan tanpa

melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan

putusan tersebut.

b. Pengertian Hukum Jaminan

Sejarah Hukum jaminan di Indonesia ruang lingkupnya mencakup berbagai

ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur hal-hal yang berkaitan

dengan penjaminan hutang yang terdapat dalam hukum positif di Indonesia. Hukum

jaminan dalam ketentuan KUH Perdata terdapat pada Buku II yang mengatur tentang

prinsip-prinsip hukum jaminan, lembaga-lembaga jaminan (gadai dan hypotek), dan

pada buku ini yang mengaturtentang penanggungan hutang.

Beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian Hukum

Jaminan, antara lain :

20
1) Menurut J. Satrio mengartikan hukum jaminan sebagai peraturan

hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditur

terhadap debitur. 6Dari apa yang dipaparkan di atas ini, hukum

jaminan seolah-olah hanya difokuskan pada pengaturan hak-hak

kreditur saja, dan tidak memperhatikan hak-hak debitur. Padahal

subyek kajian hukum jaminan tidak hanya menyangkut kreditur

saja, akan tetapi erat kaitannya dengandebitur, karena yang menjadi

obyek kajian hukum jaminan adalah benda jaminan dari debitur.

2) Salim HS dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Hukum

Jaminan di Indonesia mendefenisikan hukum jaminan sebagai

"keseluruhan darikaidah- kaidah hukum yang mengatur hubungan

hukum antara pemberi danpenerima jaminan dalam kaitannya

dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit".

3) Mariam Darus Badruzaman merumuskan Jaminan sebagai suatu

tanggungan yang diberikan oleh debitur dan atau pihak ketiga

untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan.

4) Hartono Hadisaputro Jaminan adalah sesuatu yang diberikan

debitur kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa

debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang

yang timbul dari suatu perikatan.7

6
J satrio Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Hak Tanggungan PT Citra
Aditya Bakti Bandung 1997 Hal 23
7
BadrulZaman, MariamDarus. Sistem Hukum Perdata Nasional. Makalah dalam
kursus Hukum perikatan: kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia
proyek Hukum Perdata;Jakarta 1987 Hal 12

21
Menurut Jenis Jaminannya, Jaminan dibedakan atas dua macam yaitu:

1) Jaminan Materiil ( Kebendaan) adalah Jaminan yang berupa hak

mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai

hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan

terhadap siapa pun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan.

2) Jaminan Imateriil (Perorangan) adalah Jaminan yang menimbulkan

hubungan langsung pada perorangan tertentu,hanya dapat

dipertahankan terhadap debitur tertentu, tehadap kekayaan debitur

umumnya.

Unsur-unsur hukum jaminan yaitu:

1) Adanya pemberi dan penerima jaminan, pemberi jaminan adalah

borang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan

kepada penerima jaminan, yang membutuhkan fasilitas kredit yang

lazim disebut debitur. Sedangkan penerima jaminan adalah orang

atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi

jaminan. Badan hukum sebagai penerima jaminan adalah lembaga

yang memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembagaperbankan

dan atau lembaga keuangan non bank.

2) Adanya jaminan, pada dasarnya jaminan yang diserahkan kepada

kreditur adalah jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil

merupakan jaminan yang berupa hak-hak kebendaan, seperti

jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan

imateriil merupakan jaminan non kebendaan.

22
3) Adanya fasilitas kredit, dalam pembebanan jaminan yang dilakukan

oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit

dari bank atau lembaga keuangan non bank.

c. Penggolongan Lembaga Jaminan

Pada umumnya jenis-jenis lembaga jaminan sebagaimana dikenal dalam tata

hukum Indonesia, dapat digolong–golongkan menurut cara terjadinya,

menurut sifatnya, menurut obyeknya, dan menurut kewenangan

menguasainya, yaitu: Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh Undang-

Undang dan jaminan yang lahir karena perjanjian :

1) Jaminan yang tergolong jaminan umum dan jaminan khusus

2) Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan yang bersifat

perorangan.

3) Jaminan yang mempunyai obyek benda bergerak dan jaminan atas

benda tak bergerak.

4) Jaminan yang menguasai bendanya dan jaminan tanpa menguasai

bendanya

d. Klasifikasi lembaga jaminan perbankan, penggolongan jaminan pada

umumnya meliputi:

1) Jaminan pokok dan jaminan tambahan, jaminan pokok yaitu jaminan

yang berupa sesuatu atau benda yang berkaitan langsungdengan kredit

jaminan ini dapat berupa barang, proyek atau haktagih yang dibiayai

dengan kredit yang bersangkutan. Jaminantambahan adalah jaminan yang

23
tidak terkait langsung dengan kredit yang dimohon, Jaminan ini dapat

berupa jaminan, kebendaanmaupun perorangan.Jaminan umum dan

jaminan khusus, jaminan umum yaitu jaminanyang diberikan oleh debitur

kepada setiap kreditur, dimana didalamnya terdapat hak–hak tagihan

yang memberikan kedudukanyang sama pada setiap kreditur (konkuren).

Jaminan umum ini lahir karena Undang-Undang sebagaimana diatur

dalam Pasal 1131 yakni “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak

milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi

jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu ”. dan jugaPasal

1132 KUH Perdata yakni “ Harta kekayaan debitur menjadi jaminan

secara bersama-sama bagi semua kreditur yang memberikan hutang

kepadanya “.Sedangkan Jaminan khusus yaitu jaminan yang diberikan

oleh debitur kepada kreditur mempunyai hak dankedudukan yang

didahulukan dalam pelunasan hutang debitur.Jaminan ini menunjuk

secara khusus benda–benda tertentu sebagaijaminan atas piutangnya,

serta memberikan kedudukan yangistimewa (privilege) dan hak untuk

didahulukan pada krediturnya(preferent).

2) Jaminan kebendaan dan jaminan perorangan, jaminan kebendaanyaitu

jaminan yang mempunyai hubungan langsung dengan bendatertentu,

dimana dengan jaminan-jaminan, kreditur mempunyai hakkebendaan

(zakelijkrecht), dengan ciri selalu mengikuti dimanabenda itu berada

(droit de suit, zaakgevolg), dapat beralih, ataudialihkan, diprioritaskan

(azas prioriteit), separatis (dalam hal terjadi kepailitan), serta dapat

dipertahankan terhadap siapapun(absolute). Kreditur dengan jaminan

kebendaan akan mempunyaikedudukan sebagai kreditur preferent,

24
dengan memperolehkedudukan istimewa (privilege) dan hak yang

didahulukan (droitde preferent). Jaminan perorangan, yaitu jaminan yang

hanyamempunyai hubungan langsung dengan pihak pemberi jaminan.Hal

ini sesuai dengan azas pacta sunt servanda, sebagaimana terdapat di

dalam pasal 1340 KUH Perdata.

3) Jaminan atas benda bergerak dan benda tak bergerak, dalam system

hukum perdata di Indonesia penggolongan atas benda bergerak dantidak

bergerak merupakan penggolongan atas yang terpenting. Hal ini

berhubungan dengan pembendaan dalam penyerahan (levering),

daluaarsa (verjaring), kedudukan berkuasa (bezit), pembebanan/jaminan

(bezwaaring).

4) Jaminan dengan menguasai bendanya dan tanpa menguasai bendanya.

Jaminan dengan menguasai bendanya, yakni krediturmenguasai benda

jaminan secara nyata. Yang termasuk dalamkategori ini adalah gadai, hak

rentensi. Jaminan dengan tanpamenguasai bendanya, kreditur tidak

menguasai benda jaminansecara nyata tetapi hanya menguasai dokumen

atau kepemilikan yuridisnya saja. klasifikasi Penggolongan lembaga

jaminan sebagaimana diuraikan di atas sangat erat sekali kaitannya

dengan pengertian atau makna dari perjanjian itu sendiri, yaitu menjamin

dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari

suatu perikatan hukum. Sebagaimana klasifikasi lembaga jaminan

perbankan pembebanan jaminan yang terpenting adalah jaminan atas

benda bergerak dan benda tidak bergerak,karena sangat terkait dengan

pembebanan atas jaminan tersebut. dimana untuk benda bergerak

pembebanannya bisa dengan jaminan gadai, bisa dengan fidusia. Untuk

25
benda tidak bergerak dapat dibebankan dengan hak tanggungan atas

tanah dan hypotek untuk kapal laut, pesawat udara danmesin- mesin

pabrik yang mempunyai berat 20 m3.

e. Obyek Benda Jaminan dan Ruang Lingkup Hukum Jaminan

1) Sebagaimana obyek jaminan hutang yang lazim digunakan dalam

suatu hutang piutang dalam jaminan kredit adalah benda bergerak,

bendatidak bergerak dan jaminan perorangan. Berdasarkan

ketentuan Undang–undangFidusia Nomor 42 Tahun 1999, benda

bergerak terdiri atas benda yangberwujud dan benda yang tidak

berwujud, serta benda tidak bergerak,khususnya bangunan yang

tidak dibebani hak tanggungan.Benda atau barang yang dijadikan

sebagai objek jaminan hutang akan dapat diketahui apakah benda

tersebut milik si debitur atau pihak lain. Menurut M. Bahsan,

apabila benda atau barang yang dijadikan sebagai obyek jaminan

hutang milik si pemohon (debitur) sebagai obyek jaminan kredit

merupakan milik pihak (orang) lain maka bank perlu meneliti

keabsahan pengunaanya sebagai jaminan kredit kepada bank oleh

pemohon kredit. 8Berbagai obyek jaminan hutang, benda yang

dipakaijaminan sebelum penilaian hukum tentang kelayakan benda

obyek jaminanitu dilakukan, dalam hal ini ada beberapa

aspek yang perlu diperhatikantentang obyek jaminan tersebut

8
M Bahsan . Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit perbankan di Indonesia, Raja Grafindo Persada
; Jakarta 2007 Hal 114

26
mempunyai nilai atau harga secaraekonomis. Bila dijadikan

jaminan Hutang yaitu: Jenis dan bentuk jaminan, apakah

merupakan barang yang bergerak dan apa jenisnya, barang tidak

bergerak dan apa jenisnya penanggungan hutangnya.

2) Kondisi obyek jaminan, akan sangat berpengaruh terhadap nilai

ekonomisnya, karena kondisi obyek jaminan sering

berkaitandengan keadaan fisiknya, persyaratan teknisnya dan

kelengkapan lainnya

3) Kemudahan pengalihan kepemilikan obyek jaminan, hal ini

sangatberpengaruh pada suatu obyek jaminan yang mudah

dapatdialihkan atau dipindahtangankan kepada pihak lain akan

mempunyai nilai ekonomi yang relatif baik.

4) Tingkat harga yang jelas dan prospek pemasaran, suatu barangyang

dijadikan sebagai obyek jaminan, tingkat harga tidak

hanyadidasarkan kepada permintaan dan penawaran, tetapi juga

kepadakestabilan dan prospek perkembangan harganya, tingkat

harga ini merujuk kepada harga pasar yang berlaku.

5) Penggunaan obyek jaminan, dapat mempengaruhi tingkat hargaatau

nilai ekonominya dari pemanfaatan obyek jaminan tersebut.Terkait

dengan obyek jaminan berdasarkan atas beberapa aspek ekonomi

mengenai kelayakan obyek jaminan, dalam pemberian

pinjamankreditur dalam hal ini harus berupaya semaksimal

mungkin untukmengetahui nilai ekonomi yang sebenarnya untuk

27
dapatdipertanggungjawabkan dari obyek jaminan yang diajukan

oleh debitur, yang masing-masing sangat terkait dengan jenis

obyek jaminan. Sebagaimana disebutkan oleh Salim, HS, bahwa

Hukum jaminan adalah “Keseluruhan dari kaidah-kaidah

hukumyang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan

penerimajaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan


9
untukmendapatkan fasilitas kredit. Dalam hukum positif di

indonesia, ruang lingkup hukum jaminanmencakup berbagai

ketentuan peraturan perundang–undangan yang mengatur hal–hal

yang berkaitan dengan penjaminan hutang yang terdapatdalam

hukum positif Indonesia. Adapun ketentuan–ketentuan yang

mengatur mengenai hukumjaminan di Indonesia, antara lain

terdapat dalam KUHPerdata, KUHDagang yang mengatur

mengenai penjaminan hutang. Di samping itu terdapat undang–

undang tersendiri yaitu UU No. 4 Tahun 1996 tentang hak

tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan

tanah dan UU No. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia, yang

masing-masing mengatur tentang lembaga jaminan dalam rangka

penjaminanhutang. Berdasarkan atas ruang lingkup hukum jaminan

dalam hukum positif di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa

ruang lingkup hukum jaminan meliputi jaminan umum dan jaminan

khusus. Jaminan khusus dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu

9
HS Salim, 2004, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 4

28
jaminan kebendaan danjaminan perorangan. Dalam jaminan

kebendaan ini dapat berupa jaminan benda bergerak dan tidak

bergerak. Yang termasuk dalam jaminan benda bergerak meliputi

gadai dan fidusia. Sedangkan jaminan benda tidak bergerak

meliputi hak tanggungan, fidusia khususnya rumah susun,

hypotek kapal laut, dan pesawat udara. Untuk jaminan perorangan

melipu borg, tanggung menanggung (tanggung renteng) dan

garansi bank. 10

Berdasarkan sifatnya, terdapat 2 (dua) asas dalam pemberian jaminan yaitu:

1) Jaminan yang bersifat umum, yaitu jaminan yang diberikan oleh

debitur kepada setiap kreditur, hak–hak tagihan mana

tidakmempunyai hak saling mendahului (konkuren) antara kreditur

yangsatu dan kreditur lainnya.11

2) Jaminan yang bersifat khusus, yaitu jaminan yang diberikan oleh

debitur kepada kreditur, hak–hak tagihan mana mempunyai hak

mendahului sehingga ia berkedudukan sebagai kreditur privilege

(hak preferent). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ruang

lingkup hukum jaminan umum adalah jaminan yang diberikan tidak

mempunyai hak yangmendahului (konkuren) antara kreditur yang

satu dengan kreditur yanglainnya. Beda halnya dengan jaminan

yang bersifat khusus, dimanakreditur yang menerima jaminan

10
HS Salim I, Op. Cit., hal 23
11
HS Salim, Op. Cit., hal 29

29
tersebut dari Debitur mempunyai hakmendahului dari kreditur yang

lain, yang dikenal sebagai kreditur yangmempunyai hak preferent

atau privilege.

f. Sumber Hukum Jaminan

Sumber hukum jaminan tertulis umumnya terdapat dalam kaidah – kaidah

hukum jaminan yang berasal dari sumber tertulis seperti :

1) Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgelijk Wetboek

(BW), jaminan yang masih berlaku dalam Buku II Kitab Undang-

Undang HukumPerdata adalah gadai (pand) hypotek kapal laut, Gadai

diatur dari Pasal 150-Pasal 1160 KUH Perdata,sedangkan hypotekdiatur

dalam Pasal 1162-232 KUH Perdata.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, diatur dalam Stb. 1847

Nomor 23, KUH Dagang terdiri dari 2 buku, yaitu Buku I tentang

dagang pada umumnya dan Buku II tentang hak–hak dan

kewajibanyang timbul dalam pelayanan, yang terdiri dari 754 pasal.

Pasal-pasalyang erat kaitannya dengan jaminan adalah pasal-pasal

yangkaitan dengan hypotek kapal laut, yang diatur dalam pasal

314-316KUH Dagang.

3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atas

tanah beserta benda–benda yang berkaitan dengan tanah. Undang-

undang ini mencabut berlakunya hypotek sebagaimana diatur

dalam Buku II KUH Perdata, sepanjang mengenai tanah dan crediet

verband.

30
g. Pengertian Hak Tanggungan

Undang-Undang Pokok Agraria menamakan lembaga hak jaminan atas tanah

dengan sebutan “Hak Tanggungan”, yang kemudian menjadi judul Undang–

Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta

Benda–benda yang berkaitan dengan tanah.Penyebutan Hak Tanggungan

dalam Undang–Undang Pokok Agraria inidipersiapkan sebagai pengganti

lembaga hak jaminan hypotek dan credietverband.Menurut Undang–Undang

No. 4 Tahun 1996 tentang HakTanggungan Pasal 1 butir 1 dinyatakan bahwa ;

“Hak tanggungan atas tanah beserta benda– benda yang berkaitandengan tanah,

yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalahhak jaminan yang

dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang–

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok–Pokok Agraria,

berikut atau tidak berikut benda–benda lain yang merupakan satu kesatuan

dengan tanah itu,untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan

yangdiutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur–kreditur lain”.12

Hak tanggungan merupakan implementasi dari amanat pada Pasal 51 Undang–

Undang Pokok Agraria sebagai upaya untuk dapat menampungserta sekaligus

mengamankan kegiatan perkreditan dalam upayamemenuhi kebutuhan

tersedianya dana untuk menunjang kegiatan pembangunan.13 Selanjutnya

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 pasal 1 angka 1 telah merumuskan

12
Harsono Budi, Hukum Agraria Indonesia,, Djambatan;Jakarta.2007 Hal 15
13
Maria. S.W Sumardjono, 1996, Prinsip Dasar dan Beberapa Isu Di Seputar Undang- Undang
Hak Tanggungan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 67

31
pengertian Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan

dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan

yang dibebankan pada hak atas tanahsebagaimana dimaksud dalam Undang–

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

berikut atau tidak berikutbenda-benda lain yang merupakan satu kesatuan

dengan tanah itu, untukpelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan

yang diutamakankepada kreditur tertentu terhadap kreditur–kreditur lain.

Sebagai bagian dari Hak Jaminan, Hak Tanggungan memberikan kedudukan

diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lainnya (droit de

preference). Hak tanggungan mempunyai beberapa ciri–ciri pokok yaitu:

1) Memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur-krediturnya.

2) Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun berada.

3) Memenuhi asas spesialitas dan publisitas

4) Mudah dan Pasti pelaksanaan eksekusinya.14

Asas - asas Hak Tanggungan

Menurut Kartini Muljadi-Gunawan Widjaja menjelaskan satu persatu asas–

asas hukum kebendaan yang melekat atau ada pada haktanggungan sebagai hak

kebendaan yang bersifat terbatas, yang diberikan sebagai jaminan pelunasan

hutang debitur kepada kreditur , yaitu:15

14
Maria SW Soemardjono, Hak Tanggungan dan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung,1996,
hal 2.
15
Kartini Muljadi-Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan Hak Tanggungan, Prenada
Media, Jakarta, 2005, hal. 147

32
a. Hak Tanggungan bersifat memaksa;

Tidak dimungkinkan untuk dilakukan penyimpangan terhadap ketentuan yang

diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, kecuali yang

diperkenankan,mengakibatkan tidak berlakunya Hak Tanggungan tersebut.

b. Hak tanggungan dapat beralih atau dipindahkan

Hak Tanggungan lahir dari suatu perjanjian yang bersifat accesoir, yang

mengikutiperikatan pokok, yang merupakan utang yang menjadi dasar bagi

lahirnya Hak Tanggungan tersebut. Hak tanggungan dapat beralih atau

berpindah tangan, dengan terjadinya peralihan atau perpindahan hak milik

atas piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut, peralihan atau

perpindahan Hak Milik atas piutang tersebut, dapat terjadi karena berbagai

sebab dan alasan.

c. Hak Tanggungan bersifat Individualiteit :

Bahwa yang dapatdimiliki sebagai kebendaan adalah segala sesuatu yang

menurut hukum dapat ditentukan terpisah (Individueel bepaald). Meskipun

atas sebidang tanah tertentu yang telah ditentukan dapat diletakkanlebih dari

satu Hak Tanggungan, namun masing-masing Hak Tanggungan tersebut

adalah berdiri sendiri, terlepas dari yanglainnya. Eksekusi atau hapusnya Hak

Tanggungan yang satu membawa pengaruh terhadap Hak Tanggungan

lainnya yangdibebankan diatas hak tanah yang dijaminkan dengan Hak

Tanggungan tersebut.

33
d. Hak Tanggungan bersifat menyeluruh (totaliteit);

Pada prinsipnya suatu Hak Tanggungan diberikan dengan segala ikutannya,

yang melekat dan menjadi satu kesatuan dengan bidang tanah

yangdijaminkan atau diagunkan dengan Hak Tanggungan, maka eksekusi

Hak Tanggungan atas bidang tanah tersebut juga meliputisegala ikutannya,

melekat dan menjadi satu kesatuan dengan bidang tanah yang dijaminkan

atau diagunkan dengah Hak Tanggungan tersebut.

e. Hak Tanggungan tidak dapat dipisah–pisahkan (Onsplitsbaarheid )

Hak Tanggungan berjenjang (ada prioritas yang satu atas yang lainnya):

Penentuan peringkat Hak Tanggungan hanya dapatditentukan berdasarkan

pada saat pendaftarannya. Dalam hal pendaftaran dilakukan pada saat yang

bersamaan.

Peringkat Hak Tanggungan tersebut ditentukan berdasarkan pada saat pembuatan

Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

a. Hak Tanggungan harus diumumkan (Asas Publisitas).

b. Hak Tanggungan mengikuti bendanya (Droit De Suite).

Droit DeSuite adalah ciri utama atau yang paling pokok dari hak kebendaan.

Dimana pemeganghak kebendaandilindungi ketangan siapapun kebendaan yang

dimiliki denganhak kebendaan tersebut beralih, dengan hak kebendaantersebut

berhak untuk menuntutnya kembali, dengan atau tanpa disertai dengan ganti rugi.

34
a. Hak Tanggungan bersifat mendahului (Droit De Preferent);

Adalah sifat khusus yang dimiliki oleh hak kebendaan dalam bentuk jaminan

kebendaan. Pada dasarnya Hak Tanggungandiberikan sebagai jaminan pelunasan

utang, yang bersifatmendahului, dengan cara menjual sendiri bidang tanah

dijaminkan denga Hak Tanggungan tersebut, dan selanjutnya memperoleh

pelunasannya dari hasil penjualannya tersebut hingga sejumlah nilai Hak

Tanggungan atau nilai piutang kreditur, mana yang lebih rendah.

b. Hak Tanggungan yang terbatas (Jura In Re Alliena);

Ketentuan ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari prinsipdroit de preferent,

dimana Hak Tanggungan hanya semata-mata ditujukan bagi pelunasan utang,

dengan cara menjual (sendiri) bidang tanah yang dijaminkan dengan Hak

Tanggungan tersebut,dan selanjutnya memperoleh pelunasannya dari hasil

penjualan tersebut, hingga sejumlah nilai Hak Tanggungan atau nilai

piutangkreditur, mana yang lebih rendah. Jadi bersifat sangat terbatas,yang dapat

lahir hanya sebagai suatu perjanjian accesoir belaka. Sedangkan menurut

Sjahdeini menyebutkan,bahwa asas-asas hak tanggungan terdiri dari:16

1) Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan bagikreditur

pemegang hak tanggungan.

2) Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi.

3) Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yangtelah

ada.

16
Sutan Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan: Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan masalah
yang dihadapi oleh Perbankan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

35
4) Hak Tanggungan dapat dibebankan selain atas tanahnya juga berikut

dengan benda-benda yang berkaitan dengan tanahtersebut.

5) Hak Tanggungan dapat dibebankan juga atas benda–benda

yangberkaitan dengan tanah yang baru akanada di kemudian hari.

6) Hak Tanggungan bersifat accesoir.

7) Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru dan

yang akan datang.

8) Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang.

9) Hak Tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek hak

tanggungan itu berada. di atas Hak Tanggungan tidak dapat dilakukan

sita oleh pengadilan.

10) Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang tertentu (asas

spesialitas )

11) Hak Tanggungan wajib didaftarkan (asas publisitas).

12) Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji – janji tertentu,

Objek Hak Tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri

oleh pemegang hak tanggungan bila debitur cidera janji.

13) Pelaksanaan eksekusi hak tanggungan mudah dan pasti.

A. Objek Hak Tanggungan

Objek Hak Tanggungan merupakan hak atas tanah berupa (1) hakmilik, (2) Hak

guna usaha, dan (3) hak guna bangunan. Disamping itu hak–hak atas tanah berupa

hak pakai atas tanah negara yang telah terdaftardan menurut sifatnya dapat

dialihkan dapat pula dibebani hak tanggungan.Hak tanggungan juga dapat

dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunannya, tanaman, dan hasil karya

36
yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut

dan yang merupakan milik pemegang hak yang pembebanannya dinyatakan

dengan tegas. Satu objek hak tanggungan dapat dibebani lebih dari satu hak

tanggungan untuk menjamin pelunasan lebih dari satu hutang.17

B. Subjek Hak Tanggungan

Subjek hak tanggungan terdiri dari pemberi dan penerima (pemegang) hak.

Pemberi hak tanggungan dapat berupa orang perorangan atau badan hukum yang

mempunyai kewenangan untuk melakukanperbuatan hukum terhadap objek hak

tanggungan yang harus ada pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan.

Sedangkan pemegang hak tanggungan juga dapat berupa orang– perorangatau

badan hukum yangberkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (kreditur)

Lahir dan Berakhirnya Hak Tanggungan Lahirnya Hak Tanggungan menurut

Pasal 13 ayat (1) Undang Undang Hak Tanggungan, terhadap pembebanan hak

tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selain itu didalam Pasal

13 ayat (5) jo ayat (4) undang undang hak tanggungan juga dinyatakan bahwa hak

tanggungan tersebut lahir pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan lengkap

surat surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. Dengan demikian, hak

tanggungan itu lahir dan baru mengikat setelah dilakukan pendaftaran, karena jika

tidak dilakukan pendaftaran itu pembebanan hak tanggungan tersebut tidak

diketahui oleh umum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak

ketiga.18 Dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang Undang Hak Tanggungan

17
Kasmir Masalah-Masalah yang Dihadapi Perbankan, Airlangga University Press, 1996, hal. 11-
3
18
Sutedi Opcit hal 79

37
dinyatakan bahwa Hak Tanggungan berakhir dan hapus karena beberapa hal

sebagai berikut :

a. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan, dimana hapusnya

utang itu mengakibatkan hak tanggungan sebagai hak Accesoir menjadi

hapus. Hal ini terjadi karena adanya hak tanggungan tersebut adalah untuk

menjamin pelunasan dari utang debitur yang menjadi perjanjian pokoknya.

Dengan demikian, hapusnya utang tersebut juga mengakibatkan hapusnya

hak tanggungan.

b. Dilepaskannya hak tanggungan tersebut oleh pemegang hak tanggungan,

hapusnya hak tanggungan karena dilepaskan oleh pemegang hak tanggungan

tersebut dengan memberikan pernyataan tertulis mengenai hal dilepaskannya

hak tanggungan kepada pemberi hak tanggungan.

c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan suatu penetapan peringkat ketua

pengadilan negeri. Ini dikarenakan permohonan pembeli agar hak atas tanah

yang dibelinya itu dibersihkan dari beban hak tanggungan.

Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) , Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan (SKMHT), Janji-Janji dalam Hak Tanggungan, Buku Tanah dan

Sertifikat Hak Tanggungan Lahirnya hak tanggungan didasarkan pada adanya

perjanjian pokok, yaitu perjanjian utang piutang. Pemberian hak tanggungan

didahului oleh janji debitur untuk memberikan hak tanggungan kepada kreditur

sebagai jaminan pelunasan utang. Janji tersebut dituangkan dan merupakan bagian

tak terpisahkan dari perjanjian utang–piutang, kemudian dilakukan pemberian hak

38
tanggungan melalui pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan:

a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi hak;

b. Domisili para pihak yang tercantum dalam akta;

c. Penunjukan secara jelas utang yang dijaminkan dengan hak tanggungan. Nilai

tanggungan, dan uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan;

Di samping itu dalam akta pemberian hak tanggungan dapat pula

dicantumkan adanya janji-janji, kecuali untuk memiliki objek hak tanggungan. Isi

janji–janji tersebut adalah:

a. Membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk menyewakan objek

hak tanggungan kecuali persetujuan tertulis pemegang hak;

b. Membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk mengubah bentuk

atau susunan objek hak, kecuali dengan persetujuan tertulis pemegang hak;

c. Memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk

mengelola objek hak berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri;

d. Memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk

menyelamatkan objek hak jika diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau

untuk mencegah hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek hak

tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-

undang;

e. Pemegang hak tanggungan pertama berhak menjual atas kekuasaan sendiri

f. Pemegang hak tanggungan tidak akan melepaskan hak dan tanahnya ;

g. Janji pemegang hak tanggungan untuk memperoleh seluruh atau sebagian

39
ganti rugi jika hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan dicabut

atau dialihkan;

h. Janji Pemegang Hak Tanggungan untuk mengosongkan objek hak pada

waktu eksekusi hak tanggungan ;Pembebanan Hak Tanggungan pada Bank

Pengikatan Jaminan Kredit dengan hak tanggungan dapat dilakukan apabila

seorang nasabah atau debitur yang mendapatkan kredit dari bank, menjadikan

barang tidak bergerak yang berupa tanah (Hak atas Tanah) berikut atau tidak

berikut benda benda yang tidak berkaitan dengan tanah tersebut (misalnya

bangunan, tanaman, patung dan sebagainya) sebagai jaminan tanpa debitur

menyerahkan barang jaminan tersebut secara fisik kepada kreditor (bank).

Artinya barang jaminan tersebut secara fisik tetap dikuasai oleh orang

bersangkutan dan kepemilikannya tetap berada pada pemilik semula, tetapi karena

dijadikan jaminan utang dengan diadakannya perjanjian hak tanggungan, sehingga

kewenangan pemberi hak tanggugan untuk melaksanakan perbuatan hukum

dengan pihak ketiga atau perbuatannya lain yang mengakibatkan turunnya nilai

jaminan itu dibatasi dengan hak tanggungan yang dimiliki oleh bank sebagai

pemegang hak tanggungan tersebut. Pelaksanaan pengikatan jaminan ini

merupakan buntut dari suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit. Oleh

karena itu pelaksanaan pengikatan Jaminan tersebut baru dapat dilakukan setelah
19
perjanjian kredit diselesaikan. Didalam pelaksanaan pengikatan jaminan kredit

19
H.A.Chalik dan Marhainis Abdul Muhay, Beberapa Segi Hukum dibidang Perkreditan,
Jakarta;Badan Penerbit Yayasan Pembinaan Keluarga UPN Veteran, hal 69

40
dengan hak tanggungan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh kreditur

(Bank), antara lain sebagai berikut :

a. Hak Tanggungan diadakan untuk menjamin pelunasan utang utang debitur,

karena dengan diadakannya hak tanggungan tersebut, bank mendapatkan hak

untuk didahulukan pelunasan piutangnya dari kreditur lainnya apabila barang

yang dijual tersebut dijual.

b. Tanah yang dijadikan jaminan dengan hak tanggungan harus memenuhi asas

spesialitas dan asas publitas. Asas spesialitas ini maksudnya hak tanggungan tersebut

hanya dapat dibebankan atas benda tidak bergerak berupa tanah (hak atas tanah)

tanpa atau dengan benda benda yang berkaitan dengan tanah tersebut, yang

disebutkan nama, letak, sifat dari benda tersebut didalam akta pemeberian hak

tanggungan tersebut harus memenuhi asas publisitas artinya pemberian hak

tanggungan tersebut harus didaftarkan pada kantor pertanahan yang daftarnya dapat

dilihat dan diketahui oleh pihak ketiga yang berkepentingan maupun oleh umum.

C. Pengertian Sita Jaminan

Sita Jaminan adalah penyitaan yang dilakukan oleh pengadilan atas benda

bergerak atau tidak bergerak, milik penggugat atau tergugat untuk menjamin

adanya tuntutan hak dari pihak yang berkepentingan atau pemohon sita. Penyitaan

ini merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan

perdata. Barang Barang yang disita untuk kepentingan penggugat dibekukan,

berarti bahwa barang barang disimpan untuk jaminan tidak boleh dialihkan atau

dijual (ps.197 ayat 9, 199 HIR, 212, 214 Rbg).

41
4) Tujuan Sita Jaminan

Tujuan dari sita jaminan adalah untuk menjamin apabila gugatan dikabulkan atau

dimenangkan, putusannya dapat dilaksanakan sehingga penggugat dapat

menikmati kemenangannya, sebab ada kemungkinan bahwa pihak tergugat,

selama sidang berjalan mengalihkan harta kekayaannya kepada orang lain.

5) Tata Cara Sita Jaminan

Tata Cara Pengajuan Sita Jaminan diajukan dengan dua cara yaitu :

1) Secara Tertulis

2) Diajukan dalam Gugatan;

3) Alasan Pengajuan diuraikan dalam tuduhan atau Posita, dan

4) Didalam Tuntutan dimohonkan pengajuan sah dan berharga

5) Secara Lisan

6) Dimohonkan langsung dalam siding

Praktiknya, permohonan Sita Jaminan dilakukan dalam surat gugat bersama sama

dengan pengajuan gugat Pokok. Sedangkan dalam pasal 226 dan 227 HIR

memungkinkan untuk mengajukan permohonan sita jaminan secara terpisah dari

pokok perkara. Tetapi dalam praktiknya hampir tidak pernah terjadi, Penyitaan

dilakukan oleh juru sita dengan dua orang saksi atas perintah Ketua Pengadilan

Negeri dengan penetapan sita.

1) Panitera wajib membuat berita acara penyitaan.

2) Panitera wajib memberitahukan isi berita Acara penyitaan kepada

tersita kalau tersita hadir; dan

3) Benda sita tetap dibawah kekuasaan pihak tersita dengan kewajiban

untuk menjaga. Barang sitaan berupa tanah, diadakan register

42
sendiri. Apabila menyangkut tanah yang sudah didaftarkan, dalam

hal penyitaan dicatat juga dalam register tanah dikantor pendaftaran

tanah. Dengan demikian, pihak calon pembeli dapat mengetahui

tanah tersebut sedang disita atau tidak.

6) Macam Macam Sita yang diatur dalam HIR

1) Sita Revindicatoir (pasal 226 HIR)

Pemilik barang bergerak, yang barangnya ada ditangan orang lain

dapat di minta balik secara lisan maupun tertulis, kepada Ketua

Pengadilan Negeri ditempat orang yang memegang barang tersebut

tinggal, agar barang tersebut disita.

Barang disita secara Revindicatoir adalah barang bergerak dan terperinci

milik tergugat.

a) Untuk dapat mengajukan permohonan Sita Revindicatoir

tidak perlu ada dugaan yang beralasan, bahwa seseorang yang

berhutang selama belum dijatuhkan putusan, mencari akal

akan menggelapkan atau melarikan barang yang

bersangkutan.

b) Akibat Hukum Sita ini adalah penggugat tidak dapat

menguasai barang yang telah disita, sebaliknya tergugat

dilarang untuk mengalihkannya.

c) Apabila gugatan penggugat dikabulkan, maka dinyatakan sah

dan berharga, sedangkan kalau gugatan itu ditolak, maka sita

Revindicatoir itu dinyatakan dicabut.

43
2) Sita Consevatoir (pasal 227 HIR)

a) Penyitaan (Beslag) ini merupakan tindakan persiapan dari

pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada Ketua

Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat dilaksanakannya

putusan perdata dengan menjual barang tergugat yang disita

guna memenuhi tuntutan penggugat.

b) Barang yang disita secara conservatoir adalah barang bergerak

dan tidak bergerak milik tergugat.

c) Penyitaan ini hanya dapat terjadi berdasarkan perintah Ketua

Pengadilan Negeri atas permintaan penggugat (pasal 227 ayat

1 HIR, 261 ayat 1 Rbg )

d) Untuk mengajukan Sita Jaminan harus ada dugaan yang

beralasan bahwa seorang yang berhutang selama belum

dijatuhkan putusan oleh hakim atau belum dijalankan, mencari

akal untuk menggelapkan atau melarikan barangnya.

e) Apabila gugatan penggugat dikabulkan, maka dinyatakan sah

dan berharga, sedangkan kalau gugatan ditolak, maka sita

conservatoir itu dinyatakan dicabut.

f) Setiap saat tergugat dapat mengajukan permohonan kepada

hakim yang memeriksan pokok perkara yang bersangkutan,

agar sita jaminan atas barangnya dicabut, apabila dikabulkan

maka tergugat harus menyediakan tanggungan yang

mencukupi.

44
g) Sita Eksekutoir (pasal 197 HIR)

h) Penyitaan dapat dilakukan sesudah putusan hakim mempunyai

kekuatan hukum yang tetap dan akan dieksekusi.

i) Penyitaan dilakukan oleh Panitera Pengadilan Negeri, yang

wajib membuat berita acara tentang pekerjaannya itu serta

memberitahukan isinya kepada tersita kalau hadir., dan

Panitera dibantu oleh dua orang saksi yang ikut

menandatangani berita acara.

Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan

eksekusinya , jika debitur cedera janji. walaupun secara umum ketentuan tentang

eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara perdata yang berlaku, dipandang perlu

untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan

dalam UUHT , yaitu yang mengatur Lembaga “ parate executie “ sebagaimana

yang dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT , pembuat

undang undang sebenarnya bermaksud untuk menyatakan bahwa meskipun pada

dasarnya eksekusi secara umum diatur oleh Hukum Acara Perdata , namum

untuk membuktikan salahn satu ciri Hak Tanggungan terletak pada pelaksanaan

eksekusinya adalah mudah dan pasti. Oleh karena itu secara khusus ketentuan

eksekusi Hak Tanggungan diatur tentang Lembaga Parate executie dalam

UUHT dengan maksud memperkuat posisi dari kreditur pemegang Hak

Tanggungan pertama dan pihak pihak yang mendapatkan hak daripadanya,

kemudahan mengunakan sarana pasal 6 UUHT dikarenakan pelaksanaan

penjualan objek Hak Tanggungan hanya melalui pelelangan umum , tampa harus

45
meminta fiat Ketua Pengadilan Negeri. Kemudahan tersebut terutama

menunjukkan efisiensi waktu dibanding dengan eksekusi putusan pengadilan

yang berkekuatan hukum tetap, pasal 6 UUHT memberikan perlindungan

kepada kreditur darei perbuatan debitur yang kurang pantas , tidak layak atau

bahkan tidak mempunyai itikat baik, pasal 6 UUHT tersebut dipersiapkan

sebagai tiang penyanggah utama bagi kreditur ( bank ) dalam memperoleh

percepatan pelunasan piutangnya, agar piutang yang telah kembali pada

kreditur, kemudian keuangan tersebut dapat dipergunakan Kembali untuk

perputaran roda perekonomian, tidak diragukan lagi bahwa pasal 6 UUHT

merupakan dasar hukum berlakunya “ parate executie debitur dalam keadaan

wanprestasi , yang dipergunakan sebagai sarana yang sangat baik demi

kebutuhan ekonomi. Perkembangan perekonomian dan perdangan serta

pengaruh globalisasi yang menlanda dunia usaha dewasa ini serta modal yang

dimiliki oleh pengusaha pada umumnya sebagaian besar pinjaman yang berasal

dari bank ,penanaman modal , penerbitan obligasi maupun car acara lain yang

diperbolehkan menurut hukum, telah banyak menimbulkan permasalahan

permasalahan penyelesaian hutang piutang dalam masyarakat perbankan ,

keadaan ini mengakibatkan timbulnya masalah masalah yang berantai, apabila

tidak segera diselaikan akan berdampak lebih luas.lembaga jaminan oleh

kredit,jaminan Hak tanggungan hal ini didasarkan pada kemudahan dalam

identifikasi objek Hak Tanggungan jelas dan pasti eksekusinya serta

pendahulukan pembayaran dari hasil pelelangan tanah pada krediturnya

46
20
pemamfaatan lembaga eksekusi Hak Tanggungan merupakan cara percepatan

pelunasan piutang agar dana yang dikeluarkan oleh Bank dapat segera

dibayarkan dan dapat dipergunakan Kembali oleh debitur lainnya , undang

Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta

benda benda yang berkaitan dengan tanah ( UUHT ).lembaga Hak Tanggungan

tersebut merupakan pengganti Lembaga Hipotik dan Credietverband , yang

sebenarnya merupakan produk hukum yang telah diamanatkan oleh pasal 51

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang pengaturan dasar Pokok-

pokok Agraria atau undang undang pokok pokok Agraria ( UUPA ) yang

menyebutkan sudah disediakan Lembaga Hak Jaminan yang kuat yang dapat

dibebankan pada hak atas tanah,yaitu Hak Tanggungan,sejak UUHT di

undangkan maka lembaga jaminan hipotek dan credietverband sepanjang


21
menyangkut tanah , berakhir masa tugas dan peranannya pernyataan Maria

S.W. Sumarjono tidak seluruhnya tepat mengingat pasal 26 UUHT menyebutkan

bahwa eksekusi hipotek yang ada mulai berlakunya UUHT ini, masih berlaku

terhadap eksekusi Hak Tanggungan , selama belum ada peraturan perundang

undangan yang mengaturnya , dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal 14

UUHT.22 Masyarakat khusunya kalangan perbankkan sangat berharap dengan

berlakunya UUHT , Hak Tanggungan dirancang sebagai Hak Jaminan yang kuat

dengan ciri khas eksekusi mudah dan pasti. keberadaan UUHT bagi sistim

20
Retnowulan sutantio, peneliti tentang perlindungan hukum eksekusi jaminan, Badan Pembina
Hukum Nasional (BPHN),Departemen Kehakiman RI,Jakarta,1999hlm.8.
21
Maria S.W.Sumardjono,”Kredit Perbankkan Permasalahnya dalam kaitannya dengan
Berlakunya Undang Undang hak Tanggungan “,Artikel jurnal Hukum Ius Quta Iustum nomor 7
Volume 4 1997,hlm 85
22
Herowati poesoko ,Parate ExecutieObjek Hak Tanggungan ( Inkonsistensi ,konflik Norma dan
kesesatan Penalaran dalam UUHT ) cetakan I,laksBang Pressindo,Yogyakarta,2007,hlm.3.

47
hukum perdata khususnya Hukum jaminan merupakan wujud kepastian hukum

yang seimbang dalam bidang pengikatan jaminan atas benda benda yang

berkaitan dengan tanah sebagai agunan kredit kepada kreditur ( Bank ) , debitur

maupun pemberi Hak Tanggungan dan pihak ketiga yang terkait . hal ini

mengingatkan bahwa dalam perjanjian Kredit senantiasa memerlukan jaminan

yang aman ( secure ) bagi pengembalian dana kredit23

2.1 Tinjauan Umum Mengenai Kepailitan

2.1.1 Pengertian Kepailitan Dan Syarat-Syarat Pengajuan Permohonan Pailit

Kepailitan berasal dari kata dasar “pailit” yaitu jatuh, bangkrut, pailit

(tentang perusahaan dan sebagainya).24 Pailit adalah segala sesuatu yang

berhubungan dengan peristiwa atau keadaan berhenti membayar utang- utang

debitor yang telah jatuh tempo. Si pailit adalah debitor yang mempunyai dua

orang atau lebih kreditor dan tidak mampu membayar satu atau lebih hutangnya

yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.25

Ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Kewajiban Utang (disebut UUK dan

PKPU) menyatakan bahwa ”kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan

debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di

bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

ini”. Esensi kepailitan dari pengertian tersebut menurut Rahayu Hartini secara

23
Ahmad Ashar, “ Eksekusi jaminan Atas Tanah yang dibebani Hak Tanggungan dalam
perjanjian kredit pemilikan Rumah pada Bank Tabungan Negara : Karya Ilmiah
24
A. A. Waskito, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: KawahMedia, 2016), halaman 413.
25
H Zaeni Asyhadie dkk, Hukum Perusahaan Dan Kepailitan (Jakarta: Erlangga, 2012), halaman
211-212.

48
singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan debitor baik yang

ada pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan

berlangsung untuk kepentingan semua kreditor yang pada waktu kreditor

dinyatakan pailit mempunyai utang, yang dilakukan dengan pengawasan pihak

yang berwajib.26 Akan tetapi dikecualikan dari kepailitan adalah:

a. Semua hasil pendapatan debitor pailit selama kepailitan tersebut dari

pekerjaan sendiri, gaji suatu jabatan/jasa, upah pensiun, uang tunggu/uang

tunjangan, sekedar atau sejauh hal itu diterapkan oleh hakim pengawas.

b. Uang yang diberikan kepada debitor pailit untuk memenuhi kewajiban

pemberian nafkahnya menurut peraturan perundang-undangan (Pasal 213,

225,321 KUHPerdata).

c. Sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim pengawas dari pendapatan hak

nikmat hasil (seperti dimaksud dalam Pasal 311 KUHPerdata).

d. Tunjangan dari pendapatan anak-anaknya yang diterima oleh debitor pailit

berdasarkan Pasal 318 KUHPerdata).27

Sejalan dengan pengertian dalam Pasal 1 ayat (1) tersebut di atas, kepailitan

merupakan proses penyitaan harta debitor untuk mencapai kesepakatan damai

sehingga pembagian utang debitor dapat terbagi dengan adil ke seluruh kreditor.

Pembagian harta debitor tersebut adalah untuk kepentingan semua kreditor, hal

ini senada dengan pendapat Adrian Sutedi yang menyatakan bahwa “kepailitan

adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitor (orang-orang

26
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan (Malang: UMM Press. 2007), halaman 6.
27
Ibid.

49
yang berutang) untuk kepentingan semua kreditor- kreditornya (orang-orang

berpiutang)”.28 Sementara itu, Sentosa Sembiring mengemukakan bahwa:

“kepailitan memiliki makna ketidakmampuan pihak penghutang (debitor) untuk

memenuhi kewajibannya kepada pihak pemberi utang (kreditor) tepat pada

waktu yang sudah ditentukan. Jika terjadi ketidakmampuan untuk membayar

utang, maka salah satu solusi hukum yang dapat ditempuh baik oleh debitor

maupun kreditor melalui pranata hukum kepailitan”.29 Dalam kepailitan terdapat

syarat-syarat yang sangat penting karena bila permohonan kepailitan tidak

memenuhi syarat, maka permohonan tersebut tidak akan dikabulkan oleh

pengadilan niaga. Syarat-syarat tersebut ialah sebagai berikut :

a. Pailit ditetapkan apabila debitor yang mempunyai dua kreditor atau lebih

tidak mampu membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo.

(Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004).

b. Paling sedikit harus ada 2 (dua) kreditor (concursus creditorium).

c. Harus ada utang. Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tidak menentukan apa

yang dimaksud dengan utang. Dengan demikian para pihak yang terkait

dengan suatu permohonan pernyataan pailit dapat berselisih pendapat

mengenai ada atau tidaknya utang.

d. Syarat utang harus telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pasal 2 ayat(1)

didalam UU No. 37 Tahun 2004 tidak membedakan, tetapi menyatukan

syarat utang yang telah jatuh tempo dan utang yang telah dapat ditagih.

28
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), halaman 24
29
Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang Terkait dengan
Kepailitan (Bandung: CV. Nuansa Aulia. 2006), halaman 13

50
e. Syarat cukup satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Bunyi

Pasal 2 ayat (1) di dalam Undang-Undang No, 37 Tahun 2004 merupakan

perubahan dari bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Kepailitan No. 4

Tahun 1998 dan Faillissementsverordening Stb. 1905 No. 217 jo. S. 1906

No. 348. Bunyi Pasal 1 ayat (1) Fv adalah setiap debitor yang tidak mampu

membayar utangnya yang berada dalam keadaan berhenti membayar

kembali utang tersebut, baik atas permintaannya sendiri maupun

permintaan dari seorang kreditoratau beberapa orang kreditornya, dapat

diadakan putusan oleh majelis hakim yang menyatakan bahwa debitor

yang bersangkutan dalam keadaan pailit.

f. Debitor harus dalam keadaan insovelsi, yaitu tidak membayar lebih dari

50% utang-utangnya. Debitor harus telah berada dalam keadaan berhenti

membyar kepada para kreditornya, bukan sekadar tidak membayar kepada

satu atau dua orang kreditor saja.30

7) Asas-asas kepailitan

Kepailitan harus memenuhi dan berlandaskan pada asas:

a. Asas keseimbangan, tidak ada penyalahgunaan lembaga atau pranata

dalam kepailitan yang digunakan oleh debitor yang tidak jujur dan

terdapat ketentuan yang dapat mencegah kreditor melakukan itikad tidak

baik.

30
Adrian Sutedi, op.cit.,halaman 31-32.

51
b. Asas kelangsungan usaha, debitor yang pada proses kepailitannya atau

telah diputus kepailitannya tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya

c. Asas keadilan, pada asas ini kepailitan dapat memberikan rasa keadilan

bagi para pihak yang memiliki kepentingan sehingga tidak terjadi

kesewenang-wenangan baik yang dilakukan oleh salah satu pihak.

d. Asas integrasi, dalam hal ini kepailitan harus berdasarkan hukum formil

dan materiil yang berlaku di Indonesia.31

e. Asas Perlindungan Hukum Dalam UUK dan PKPU

Pada penjelasan Pasal 222 ayat (2) dan (3) yang dimaksud dengan “kreditor”

adalah kreditor baik Kreditor Konkuren maupun kreditor yang didahulukan.

Sehingga termasuk Kreditor Preferen maupun Kreditor Separatis. Pada dasarnya

kedudukan kreditor adalah sama dan karenanya mereka mempunyai hak yang

sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka

masing-masing. Kedudukan yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat

dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak yang

lemah hanya mengikuti saja. Tiap kreditor mempunyai keistimewaan masing-

masing ada beberapa macam kreditor, diantaranya sebagai berikut :

1) Kreditor separatis

Ialah kreditor ialah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan,

yang dapat bertindak sendiri. Golongan kreditor ini tidak terkena

akibat putusan pernyataan pailit debitor, artinya hak-hak

31
Rahayu Hartini, op.cit., halaman 16-17.

52
eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada

kepailitan dari debitor. Kreditor ini dapat menjual sendiri

barang-barang yang menjadi jaminan, seolah – olah tidak terjadi

kepailitan.32

Dari hasil penjualan tersebut, mereka mengambil sebesar

piutangnya sedangkan jika ada sisanya disetorkan ke kas kurator

sebagai budel pailit. Sebaliknya bila hasil penjualan tersebut

ternyata tidak mencukupi, kreditor tersebut untuk tagihan yang

belum terbayar dapat memasukkan kekurangannya sebagai

kreditor bersaing (kreditur konkuren).

3) Kreditor Preferent/Istimewa

Dikatakan istimewa disebabkan kreditor yang karena sifat

piutangnya mempunyai kedudukan istimewa dan mendapat hak

untuk memperoleh pelunasan lebih dahulu dari penjualan harta

pailit. Kreditor preferent ini berada dibawah pemegang hak

kebendaan. Pasal 1133 KUHPerdata mengatakan bahwa hak

untuk didahulukan di antara orang-orang berpiutang terbit dari

hak istimewa dari gadai dan hipotik. Hak istimewa adalah suatu

hakyang oleh undang-undang diberikan kepada seorang

berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi dari pada orang

piutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.

32
Shawir Arsyad, “Jenis-Jenis Kreditor Dalam Kepailitan”, (online),
(http://arsyadshawir.blogspot.co.id/2021/11/jenis-jenis-kreditor-dalam-kepailitan.html, diakses
16 April 2022)

53
Selanjutnya KUHPerdata mengatur mengenai kreditor preferent,

dimana kreditor preferent ialah kreditor pemegang hak istimewa

yang disebut dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata.

c) Kreditor Konkuren

Kreditor yang dikenal juga dengan kreditor bersaing. Kreditor

konkuren ini memiliki kedudukan yang sama dan berhak

memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitor, baik yang

telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari setelah

sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutang

kepada para kreditor, pemegang hak jaminan dan para kreditor

dengan hak istimewa secara proporsional menurut perbandingan

besarnya piutang masing – masing kreditor konkuren tersebut.33

Pasal-Pasal dalam KUHPerdata sebagaimana yang dijelaskan

diatas mengatur mengenai urutan prioritas masa kreditor, apabila

tidak ditentukan bahwa suatu piutang merupakan hak istimewa

yang berkedudukan lebih tinggi dari pada piutang yang dijamin

dengan suatu hak jaminan, maka urutan kreditornya adalah

sebagai berikut :

a) Kesatu, kreditor yang memilki piutang yang dijamin dengan

hak jaminan.

b) Kedua, kreditor yang memilki hak istimewa.

c) Ketiga, kreditor konkuren.

33
Ibid.

54
F. Metode penelitian

a. Jenis Penelitian Hukum.

Jenis penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum

normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah

bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksudkan adalah mengenai asas-

asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,

perjanjian serta doktrin (ajaran).34 Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian

normatif atau doktrinal adalah penelitian yang memberikan penjelasan sistematis

aturan yang mengatur suatu kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan

antara peraturan menjelaskan daerah kesulitan dan mungkin memprediksi

pembangunan masa depan.35, dimana objek penelitiannya yakni konflik norma

dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT dan Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan terkait

pengeksekusian oleh kreditor separatis. Penelitian ini menggunakan pendekatan

Perundang- Undangan (Statute Approach). Bahan hukum yang digunakan dalam

penelitian ini ialah bahan hukum primer yakni Undang- Undang Nomor 4 Tahun

1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan

dengan Tanah, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan Kitab Undang- Undang Hukum

Perdata. Serta bahan hukum sekunder yakni menggunakan literatur buku dan

jurnal hukum yang terkait dengan kreditor separatis.

34
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto achmad ,2010,Dualisme Penelitian Normatf dan
Empiris,Yogyakargta : Pustaka Pelajar,hlm.34
35
Peter mahmud Marzuki,Op.cit,hlm32

55
b. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang ini adalah penelitian Normatif yang meneliti asas asas

hukum jaminan kebendaan dan prinsif kepailitan dengan merujuk kepada

peraturan perundang undangan yang berlaku, Penelitian ini bersifat deskriptif

analitis yang merupakanyang memberikan perlindungan hukum kreditor apabila

ternyata debitor dinyatan pailit oleh pengadilan.dokumen untuk memperoleh data

skunder yang bersumber dari bahan hukum primer berupa KUHPerdata , undang

undang Perbankkan , Undang Undang Hak Tanggungan UUHT dan bahan hukum

sekunder yang berupa kutipan – kutipan dari buku buku yang tercantum dalam

daftar pustaka, serta bahan hukum tersier seperti kamus dan majalah, hasil

penelitian dianalisa secara kualitatif,dimanahasil penelitian disajikan dalam

bentuk rangkaian kalimat.

c. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat preskriptif analitis. Penelitian yang bersifat preskriptif

analitis mengandung hal-hal yang terkait dengan apa yang seyogyanya dilakukan

bukan membuktikan kebenaran hipotesis. Oleh karena itu preskripsi timbul dari

hasil telaah yang telah dilakukan.36

d. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan.37 Adapun beberapa pendekatan

yang peneliti gunakan untuk menganalisa :

36
Ibit,Hlm,69.
37
Philipus M Hadjon,1999, Menulis Laporan Penelitian Hukum,Surabaya : Universitas
Airlangga,hlm.2.

56
1) Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Pendekatan ini untuk memperjelas persoalan menyangkut

konsistensi dasar filosofis, dasar ontologis, ratio legis/logika

hukum (konsistensi) adalah sesuatu yang tetap (asas hukum) antara

konstitusi – undang-undang, sesama undang-undang, undang-

undang – peraturan pemerintah.38

2) Pendekatan konseptual (Conceptual Approach)

Pada pendekatan ini peneliti perlu merujuk prinsip-prinsip hukum

yang dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana

ataupun doktrin-doktrin hukum. Melalui pemahaman terhadap

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut akan menjadi

sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi

hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.39

1. Sumber Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

1) Kitab Undang -Undang Perdata ( KUH Perdata )

2) Undang Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Pembayaran Hutang.

3) Undang Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

berserta Benda Benda yang berkaitan dengan Tanah.

4) Undang Undang No 10 tahun 1998 Perubahan atas Undang

Undang Nomor 7 Tahun tahun 1992 Tentang Perbankan.

38
Hadin Mudjad dan Nunuk Nuswardani,2012,penelitian Hukum Indonesia
Kontemporer,Yogyakarta : Genta Publishing,hlm.46.
39
Peter Mahmud marzuki,op,cit,hlm178.

57
b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum sekunder memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer, yang diperoleh dari buku buku ,majalah , koran , situs , internet,

pendapat serta pandangan dari berbagai pihak yang dapat digunakan untuk

menunjang penelitian ini

c. Bahan Hukum Terseir

Bahan Hukum ini merupakan bahan yang memberikan penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder , berupa Kamus Hukum dan Kamus

Besar Bahasa Indonesia

2. Memperoleh Bahan Hukum

Prosedur memperoleh bahan hukum yang dilakukan oleh peneliti yaitu

menggunakan studi kepustakaan (library research), yang dilakukan

dengan cara pengumpulan bahan hukum dengan studi kepustakaan,

dengan cara mengumpulkan dan menginventarisasi bahan hukum yang

kemudian di catat dalam bentuk sistem kartu (card system)

3. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Bahan Hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan (library

research) tersebut, baik berupa pendapat-pendapat dalam literatur, jurnal, dan

artikel yang membahas tentang permasalahan yang diteliti. Bahan hukum tersebut

kemudian diolah dengan cara :

1) Pemeriksaan (editing), yaitu mengoreksi apakah bahan hukum yang

terkumpul sudah cukup lengkap, benar, dan relevan dengan masalah.

58
2) Penandaan (coding), yaitu memberi catatan atau tanda yang

menyatakan bahan hukum.

3) Rekonstruksi (reconstruction), yaitu menyusun ulang bahan hukum

secara teratur dan logis, sehingga mudah dipahami dan

diinterpretasikan.

4) Sistematika (systematizing), yaitu menempatkan bahan hukum dalam

kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.

Kemudian bahan hukum hasil pengolahan tersebut dianalisis melalui penafsiran

hukum secara kualitatif dan kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil

pembahasan kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif sebagai jawaban

terhadap permasalahan yang diteliti

G. Pertanggung jawaban Sistimatika Penulisan

Penelitian tesis ini akan disusun dalam 4 (empat) bab, dengan sistematika

penulisan sebagai berikut :

BAB I

Menguraikan tentang pendahuluan, yang isinya terdiri latar belakang

masalah yang memuat ide sebagai dasar penelitian secara keseluruhan,

paparan tentang apa yang menjadi masalah penelitian, alasan mengapa

masalah tersebut penting untuk diteliti, kemudian diikuti dengan

perumusan masalah atau pokok yang akan diteliti. Untuk itu agar

penelitian ini mencapai sasaran yang diinginkan, maka dirumuskan tujuan

59
dan kegunaan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Selanjutnya sebagai

dasar pijakan penelitian ini dibuatlah tinjauan pustaka, yang kemudian

dilanjutkan dengan metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian

ini. Bab ini kemudian diakhiri dengan pertanggungjawaban sistematika

penulisan yang akan dipergunakan sebagai pertanggungjawaban langkah-

langkah dalam penelitian

BAB II

Menguraikan tentang issu Kepastian Hukum sebagai Kreditor Saparatis

pemegang jaminan kebendaan milik Debitor apabila objek jaminan

tersebut dieksekusi

BAB III

Menguraikan hak hak kreditor Saparatis sebagai pemegang jaminan

kebendaan akibat kepailitan terhadap adanya penangguhan eksekusi objek

jaminan

BAB IV

Penutup, menyajikan kesimpulan dan saran, di mana kesimpulan

merupakan pernyataan singkat tentang hasil akhir yang mengaitkan antara

landasan teoritik yang dijadikan pijakan dengan hasil analisis masalah

yang diperoleh. Sedangkan saran merupakan pernyataan berdasarkan

pengalaman dan pertimbangan peneliti bagi semua pihak yang mempunyai

kaitan dan kepentingan dengan objek penelitian.

60
BAB II

KEDUDUKAN KREDITOR SEPARATIS DALAM MELAKSANAKAN

HAK EKSEKUTORIAL PEMEGANG JAMINAN KEBENDAAN SAAT

DEBITUR PAILIT

A. Pengaturan Pelaksanaan dalam Proses Eksekusi Hak Tanggungan.

Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah telah ada semenjak

diundangkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tanggal 5 September

1960, sebagaimana disebutkan dalam pasal 25, 33 dan 39. Namun keputusan-

keputusan yang mengatur hak tanggungan itu tidak dimuat dalam UUPA,

sehingga ketentuan-ketentuan mengenai hipotek dalam BUKU II BW dinyatakan

masih berlaku sebagai pengganti sementara undang-undang yang akan mengatur

hak tanggungan belum ada. Lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Eksekusi Hak Tanggungan sebagai Lembaga jaminan atas tanah untuk

menggantikan hipotek dan credietverband memberikan dampak yang positip bagi

perkembangan hukum jaminan. Sebab dengan UU Hak Tanggungan, kreditur

diberikan kemudahan dan keistimewaan, kepastian hukum di saat melaksanakan

eksekusi objek hak tanggungan, menurut Pasal 1 ayat (1) UUHT, yang

menyatakan bahwa, Hak tanggungan adalah hak penguasaan atas tanah, berisi

kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan

agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk

menjualnya jika debitur cidera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau

sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya.

61
Terdapat beberapa unsur essensial yang menjadi ciri-ciri dari Hak Tanggungan,

yaitu :

1) sebagai hak jaminan kebendaan;

2) objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah;

3) diperuntukkan untuk menjamin pelunasan hutang dengan eksekusi yang

kuat, mudah dan pasti; dan

4) memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur pemegang Hak

Tanggungan.

Pengaturan tentang eksekusi objek Hak Tanggungan dapat kita lihat pada Pasal 20

UUHT ayat (1), dimana disebutkan bahwa:

Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan:

1) Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak

Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau;

2) Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak

Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara

yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk

pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak

mendahulu dari pada kreditur-kreditur lainnya.

berdasarkan Pasal 20 Ayat (1) huruf a di atas yang mengacu pada Pasal 6

UUHT, disebutkan bahwa terjadi cidera janji oleh debitur, maka kreditur

pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk langsung menjual

objek Hak Tanggungan tanpa melalui putusan pengadilan. Pasal 6 UUHT,

62
secara spesifik disebutkan bahwa: “Apabila debitur cedera janji, pemegang

Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak

Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta

mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”. Mengacu

pada Pasal 6 UUHT dapat ditarik beberapa unsur yang harus terpenuhi, yaitu

adanya :

1) adanya cedera janji oleh debitur;

2) kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak;

3) hak atas kekuasaan sendiri untuk menjual objek Hak Tanggungan;

4) dijual melalui pelelangan umum;

5) pelunasan piutang yang dimiliki oleh kreditur diambil dari hasil penjualan

dari objek Hak Tanggungan.

Apabila dilihat secara sederhana memang pasal 6 UUHT memberikan hak untuk

menjual sendiri benda jaminan atau dengan kata lain pasal 6 UUHT secara

eksplisit memberikan hak untuk melakukan parate executie kepada kreditur

apabila debitur wanprestasi, artinya bahwa kreditur pemegang Hak Tanggungan

tidak lagi harus meminta persetujuan dari debitur, dan juga tidak harus menunggu

putusan dari Pengadilan, karena Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan

yang sama dengan penetapan pengadilan. Hal ini mengesankan seolah-olah parate

executie ini lahir karena undang-undang dan tidak perlu diperjanjikan oleh

kreditur dan debitur sebelumnya.6 Pelaksanaan eksekusi objek Hak Tanggungan

juga dapat didasarkan pada titel eksekutorial sebagaimana tercantum dalam

sertifikat Hak Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan dapat menjadi dasar

pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan. Disamping berfungsi sebagai tanda bukti

63
adanya Hak Tanggungan, sertifikat Hak Tanggungan juga berguna sebagai dasar

pelaksanaan eksekusi bila debitur cidera janji. Dengan menunjukkan bukti, bahwa

debitur ingkar janji dalam memenuhi kewajibannya, maka pemegang sertifikat

Hak Tanggungan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua

Pengadilan yang bersangkutan sebagai dasarnya. Eksekusi akan dilaksanakan atas

perintas dan dengan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri tersebut, melalui

pelelangan umum yang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara.7 Ditentukan dalam

Penjelasan atas Pasal 20 ayat (1) UUHT, bahwa pada prinsipnya setiap eksekusi

objek Hak Tanggungan harus dilaksanakan dengan melalui “pelelangan umum”,

karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk

objek Hak Tanggungan, namun ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) UUHT

memberikan kemungkinan untuk menyimpang dari prinsip eksekusi objek Hak

Tanggungan dilaksanakan melalui pelelangan umum. Pasal 20 ayat (2) UUHT

menentukan, bahwa atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan,

penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika

dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan

semua pihak. Dengan demikian, eksekusi melalui penjualan di bawah tangan

hanya dapat dilakukan bila hal tersebut telah disepakati oleh pemberi dan

pemegang Hak Tanggungan. Ditentukan dalam Penjelasan atas Pasal 20 ayat (2)

UUHT, bahwa kemungkinan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan tersebut

dimaksudkan untuk mempercepat penjualan objek Hak Tanggungan dengan harga

penjualan tertinggi, sebab penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak

akan menghasilkan harga tertinggi.8 Ketentuan mengenai proses pelaksanaan

64
lelang diatur dalam, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010

tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan untuk melaksanakan ketentuan tersebut

maka diterbitkanlah Peraturan Direktur Jendral Kekayaan Negara Nomor PER-

03/KN/2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang, kemudian mengenai

proses pelaksanaan lelang parate executie berdasarkan pasal 6 UUHT lebih jelas

diatur dalam Surat Edaran Nomor 19/PN/2000 tentang Pelaksanaan Surat Edaran

Nomor SE-21/PN/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pasal 6 Undang-Undang

Hak Tanggungan.

B. Konsep Parate Executie dalam Pelaksanaan Lelang Pasal 6 UU Hak


Tanggungan

Lelang merupakan salah satu alternatif penjualan yang diatur dalam

Vendue Reglement Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3

(Undang-Undang Lelang). Mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan No.

213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (PMK No. 213/2020),

Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran

harga secara tertulis dan/ atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk

mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang.

Jenis-jenis lelang secara umum terdiri dari 3 jenis, yaitu:

1) Lelang Eksekusi;

2) Lelang Noneksekusi Wajib; dan

3) Lelang Noneksekusi Sukarela

65
perkara terkait lelang eksekusi hak tanggungan di KPKNL Banjarmasin

Nomor 93/58 Lelang Eksekusi Hak TanggunganTanggal 6 Maret 2018 Penjual

PT. BPR Multidhana Bersama pada umumnya berkaitan pula dengan jumlah

lelang yang telah dilaksanakan. Terkait dengan lelang eksekusi hak tanggungan

sendiri pada umumnya timbul dari adanya perjanjian kredit dengan objek jaminan

benda tidak bergerak. Dimana terhadap jaminan berupa benda tidak bergerak

tersebut dibebankan hak tanggungan yang dibuat berdasarkan akta pemberian hak

tanggungan (APHT) yang selanjutnya akan didaftarkan ke kantor pertanahan

untuk memperoleh Sertifikat Hak Tanggungan (SHT). Sertifikat hak tanggungan

berdasarkan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan memiliki

kekuatan eksekutorial selayaknya putusan pengadilan. Dalam perkara-perkara

mengenai lelang hak tanggungan yang masuk ke KPKNL, salah satu dalil yang

sering disampaikan oleh Penggugat dalam gugatannya yaitu terkait dengan

ketentuan dalam Pasal 224 HIR yang menyatakan bahwa terhadap akta yang

dibuat di hadapan Notaris di Indonesia yang kepalanya berbunyi “Demi keadilan

dan Ketuhanan yang Maha Esa” berkekuatan hukum sama dengan putusan hakim

yang jika tidak dengan jalan damai, maka surat akta tersebut dijalankan dengan

perintah di bawah pimpinan ketua pengadilan (Fiat Pengadilan). Ketentuan

mengenai pelaksanaan (eksekusi) Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan

tersebut seringkali menjadi salah satu dalil gugatan yang diajukan oleh debitor.

Pasalnya KPKNL seringkali dianggap telah melakukkan perbuatan melawan

hukum (PMH) karena tidak menjalankan prosedur lelang berdasarkan Fiat

Executie melalui penetapan ketua pengadilan. Sementara lelang eksekusi

66
Pasal 6 hak tanggungan yang diselenggarakan oleh KPKNL dilakukan

dengan dasar konsep Parate Executie sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20

Undang-Undang Hak Tanggungan yang mengatur mengenai eksekusi Hak

Tanggungan apabila Debitor cidera janji, yang dapat dilakukan melalui 3 (tiga)

cara yaitu :

a. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf (a) :

Yaitu berdasarkan hak Pemegang Hak Tanggungan Pertama untuk menjual

objek Hak Tanggungan atas kekuasaaan sendiri melalui pelelangan umum

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6 UUHT.

b. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf (b) :

Yaitu pelaksanaan eksekusi atas dasar Titel eksekutorial yang terdapat dalam

Sertifikat Hak Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat

(2) UUHT. Dalam hal ini, berdasarkan irah-irah yang tercantum dalam

Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat kata-kata “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

c. Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) :

Yaitu eksekusi dibawah tangan, ialah penjualan objek Hak Tanggungan yang

dilakukan oleh Pemberi Hak Tanggungan berdasarkan kesepakatan dengan

Pemegang Hak Tanggungan, jika dengan cara ini akan diperoleh harga yang

tertinggi, kreditur menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi terhadap

objek jaminan yang diikat dengan hak tanggungan menggunakan konsep

Parate Executie (dengan dasar Pasal 20 UUHT), membuat debitur dapat

mengajukan keberatan atas objek jaminan yang akan di eksekusi oleh

kreditur. Perbedaan pendapat mengenai konsep eksekusi hak tanggungan ini

67
tentunya akan membuat celah dan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan

lelang, khususnya lelang eksekusi hak tanggungan. Hal ini juga dapat

menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses jual beli

melalui lelang, karena risiko gugatan yang ada kedepannya , Parate Eksekusi

Istilah parate executie secara etimologis berasal dari kata paraat yang

artinya siap di tangan, sehingga parate executie dikatakan sebagai sarana

eksekusi yang siap di tangan. Di dalam doktrin / ajaran ilmu hukum,

kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri atau parate executie

diberikan arti bahwa kalau debitur wanprestasi, kreditur bisa melaksanakan

eksekusi objek jaminan tanpa harus meminta fiat dari ketua pengadilan, tanpa

harus mengikuti aturan main dalam Hukum Acara Perdata, tidak perlu ada

sita lebih dahulu, tidak perlu melibatkan juru sita dan karenanya prosedurnya

lebih mudah dan biayanya lebih murah. Dalam Pasal 20 UUHT ditentukan

tiga alternatif cara yang dapat digunakan oleh kreditor untuk mengeksekusi

objek jaminan hak tanggungan jika debitor wansprestasi, yaitu dengan parate

executie, eksekusi atas dasar titel eksekutorial yang ada dalam Sertifikat Hak

Tanggungan dan penjualan dibawah tangan. Ketiga eksekusi hak tanggungan

tersebut di atas masing-masing memiliki perbedaan dalam prosedur

pelaksanaannya. Untuk eksekusi yang menggunakan titel eksekutorial

berdasarkan Sertifikat Hak Tanggungan pelaksanaan penjualan benda

jaminan tunduk dan patuh pada hukum acara perdata sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 224 H.I.R. dan Pasal 258 R.Bg. Sedangkan eksekusi

secara dibawah tangan pelaksanaannya harus memenuhi beberapa persyaratan

68
yang antara lain adanya kesepakatan antara pemberi hak tanggungan dengan

pemegang hak tanggungan. Adapun bentuk eksekusi yang lain adalah parate

executie. Pasal 6 UUHT menyebutkan: “Apabila debitur cidera janji,

pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak

tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta

mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.“ Di dalam

doktrin, “kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri” atau parate

executie diberikan arti bahwa apabila debitur wanprestasi, kreditur dapat

melaksanakan eksekusi objek jaminan tanpa harus minta fiat dari ketua

Pengadilan, tanpa harus mengikuti aturan yang tercantum dalam hukum acara

perdata, tidak perlu ada sita lebih dahulu, tidak perlu melibatkan juru sita dan

karenanya prosedurnya lebih mudah dan biayanya lebih murah. berdasarkan

ketentuan tersebut, pengambilalihan agunan berupa jaminan dapat dilakukan

oleh pemegang hak tanggungan (kreditur) tanpa perlu meminta persetujuan

terlebih dahulu kepada pemberi hak tanggungan, apabila akan melakukan

eksekusi atas hak tanggungan yang menjadi jaminan utang debitur dalam hal

debitur cidera janji. yang menyatakan bahwa pelaksanaan parate executie

dilaksanakan berdasarkan Pasal 224 H.I.R. dan Pasal 258 R.Bg.

Penjelasan Umum Angka 9 UUHT yang menyatakan:


Salah satu ciri hak tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam
pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara
umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam hukum acara perdata
yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus
ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam undang-undang ini,
yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene
Indonesisch Reglement) dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum untuk

69
Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het
.Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura),
lembaga jaminan kebendaan baik gadai, hipotek, hak tanggungan dan jaminan

fidusia disediakan sistem eksekusi agunan yang mudah. Bilamana debitur

wanprestasi maka kreditur diberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi

agunan yang mudah, sederhana, serta cepat dan itu merupakan lembaga hukum

parate eksekusi. bertujuan untuk memudahkan penjualan lelang objek jaminan

di hadapan umum akibat debitur wanprestasi sehingga pelunasan piutang kreditor

relatif cepat. Parate eksekusi merupakan eksekusi yang dapat dilakukan oleh

kreditur tanpa meminta bantuan pengadilan atau proses peletakan sita jaminan.

Hak eksekusi yang selalu siap sesuai dengan namanya “paraat” yang berarti hak

itu siap di tangan kreditur untuk dilaksanakan.[2] Hal ini sebagaimana diatur pada

Pasal 1155 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), Pasal 1178

KUH Perdata, Pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang

Berkaitan dengan Tanah (“UU HT”)dan Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29

ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

C. Proses pelaksanaan eksekusi hak tanggungan yang mengandung titel

eksekutorial terhadap debitor dalam kepailitan

Dalam Penjelasan Umum angka 9 UUHT Pasal 14 ayat (2) dan (3) yang

menyatakan:

Irah-irah yang dicantumkan pada sertifikat hak tanggungan dan dalam


ketentuan pada ayat ini, dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan
eksekutorial pada Sertipikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitor

70
cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata
cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan
peraturan hukum acara perdata.

Eksekusi sertifikat Hak Tanggungan dengan adanya kekuatan eksekutorial ,

tunduk dan patuh sebagaimana pelaksanaan suatu putusan pengadilan yang harus

dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan hukum acara

perdata. Pasal 6 jo. Pasal 20 Ayat (1) Huruf (a) Undang-Undang Hak Tanggungan

dengan Penjelasan Umum angka 9 UUHT dan Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan

(3) UUHT. Kondisi ini akhirnya membuat asas kemudahan dan kepastian hukum

parate eksekusi hak tanggungan dapat tercapai, kreditur dalam hal ini pemegang

hak tanggungan dapat menjalankan eksekusi hak tanggungan dengan mudah

sesuai dengan cita-cita pembentukan Undang-Undang Hak Tanggungan

sebagaimana yang tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Hak

Tanggungan. dalam ketentuan Pasal 6 UUHT sendiri, tidak memerlukan

pembuktian melalui putusan pengadilan, sebab cukup dibuktikan melalui bukti

kelalaian pembayaran cidera janji ( wanprestasi ) saat jatuh tempo, dan atau

melalui pemberitahuan dari kreditur terhadap debitur. Hal ini dapat dipahami

bahwa ketentuan pelaksanaan parate eksekusi merupakan perintah undang-undang

(ex lege) bukan berdasarkan perjanjian. Sehingga sebagai undang-undang khusus,

sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generali maka UUHT merupakan

aturan hukum yang bersifat khusus (lex specialis) dan mengesampingkan

KUHPerdata (lex generalis).

71
Pasal 1 butir (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa “Hak

Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang

selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah jaminan yang dibebankan pada hak

atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-

benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan

utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor

tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.” Pemberian Hak Tanggungan didahului

dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan

utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan

dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan suatu perjanjian lainnya yang

menimbulkan utang tersebut, dan pemberian Hak Tanggungan tersebut dilakukan

dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT (Pasal 10 ayat

(1) dan (2) Undang¬-undang No. 4 Tahun 1996). Pemberian Hak Tanggungan

wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan sebagai bukti adanya Hak

Tanggungan, Kantor Pendaftaran Tanah menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan

yang memuat irah-irah” DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN

YANG MAHA ESA” (Pasal 13 ayat (I), Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang

No. 4 Tahun 1996). Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial

yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap, dan apabila debitur cidera janji maka berdasarkan titel eksekutorial yang

terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan tersebut, pemegang hak tanggungan

mohon eksekusi sertifikat hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang

72
berwenang. Kemudian eksekusi akan dilakukan seperti eksekusi putusan yang

telah berkekuatan hukum tetap. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak

Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah

tangan, jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi yang

menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) Undang-undang No.4 Tahun

1996). Pelaksanaan penjualan dibawah tangan tersebut hanya dapat dilakukan

setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pembeli dan/

atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan

diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah

yang bersangkutan dan/ atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang

menyatakan keberatan (Pasal 20 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris

atau akta PPAT, dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada

membebankan Hak Tanggungan;

2) tidak memuat kuasa substitusi;

3) mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan

nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitur apabila

debitur bukan pemberi Hak Tanggungan;

Eksekusi hak tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan yang

berkekuatan hukum yang tetap. Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir

dengan pelelangan tanah yang dibebani dengan Hak tanggungan Setelah

dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dibebani Hak tanggungan dan uang

hasil lelang diserahkan kepada Kreditur, maka hak tanggungan yang membebani

73
tanah tersebut akan diroya dan tanah tersebut akan diserahkan secara bersih, dan

bebas dan semua beban, kepada pembeli lelang. Apabila terlelang tidak mau

meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 200 ayat (11) HIR. Hal ini berbeda dengan penjualan berdasarkan janji

untuk menjual atas kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) BW, dan

Pasal 11 ayat (2) e UU No. 4 Tahun 1996 yang juga dilakukan melalui pelelangan

oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang hak tanggungan pertama,

Janji ini hanya berlaku untuk pemegang Hak tanggungan pertama saja. Apabila

pemegang hak tanggungan pertama telah membuat janji untuk tidak dibersihkan

(Pasal 1210 BW dan pasal 11 ayat (2) j UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan), maka apabila ada Hak tanggungan lain-¬lainnya dan hasil lelang

tidak cukup untuk membayar semua Hak tanggungan yang membebani tanah yang

bersangkutan, maka hak tanggungan yang tidak terbayar itu, akan tetap

membebani persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh pembeli dan

pelelangan yang sah. Jadi pembeli lelang memperoleh tanah tersebut dengan

beban-beban hak tanggungan yang belum terbayar. Terlelang tetap harus

meninggalkan tanah tersebut dan apabila ia membangkang, ia dan keluarganya,

akan dikeluarkan dengan paksa. Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua

Pengadilan Negeri, maka lelang tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua

Pengadilan Negeri dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan apapun oleh

pejabat instansi lain, karena lelang yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan

Negeri dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara, adalah dalam rangka

eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari Kantor Lelang Negara. Penjualan

74
(lelang) benda tetap harus di umumkan dua kali dengan berselang lima belas hari

di harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan obyek yang

akan dilelang (Pasal 200 ayat (7) HIR, Pasal 217 RBg). Eksekusi berdasarkan title

eksekutorial : KETUHANAN YANG MAHA ESA yang dicantumkan dalam

sertifikat Hak Tanggungan dimaksud untuk menegaskan adanya kekuatan

eksekutorial, jika debitur wanprestasi, maka kreditur langsung meminta kepada

pengadilan negeri agar dilaksanakan eksekusi berdasarkan sertifikat hak

tanggungan yang mempunyai title eksekutorail, eksekusi demikian didasarkan

pada pasal 224 HIR dan pasal 258 Rbg yang mengatur eksekusi terhadap

Dokumen selain putusan pengadilan yang title eksekutorial Eksekusi berdasarkan

pada pasal 224 HIR dilakukan oleh kreditur dengan cara mengajukan

permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau surat perintah sehingga

eksekusi dapat dijalankan secara paksa bahkan dengan bantuan aparat keamanan

sekalipun Kreditor Separati merupakan kreditur pemegang hak tanggungan

diman salah satu ciri khas yang dimiliki oleh hak tanggungan adalah adanya

kemudahan dalam melakukan eksekusi. Perbankkan selaku kreditur separatis

dapat melakukan eksekusi hak tanggungan atau hak atas jaminan kebendaan

dengan melakukan penjualan lelang secara umum tanpa meminta fiat

(persetujuan) eksekusi kepada pengadilan negeri.

75
BAB III

KEDUDUKAN KREDITOR SEPARATIS SEBAGAI PEMEGANG

JAMINAN KEBENDAAN TERHADAP ADANYA PENANGGUHAN

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN DALAM KEPAILITAN

A. Kedudukan kreditor Separatis sebagai pemegang jaminan kebendaan debitur

dalam kepailitan

Hal ini juga berlaku ketika debitur sebagai yang berhutang No. 37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan PKPU dijelaskan bahwa setiap kreditur pemegang

Jaminan Kebendaan berupa Hak Tanggungan dapat mengeksekusi haknya seolah-

olah tidak terjadi kepailitan. Sehingga Perbankkan sebagai krediturseparatis

pemegang jaminan Kebendaan apabila dihadapkan dengan keadaan bahwa

debitur pailit, maka ia dapat mengeksekusi haknya seolah-olah kepailitan tersebut

tidak pernah terjadi atau hak eksekusinya tidak terpengaruh dengan pailitnya

debitur. Dalam hal ini karena tidak dipengaruhi oleh keadaan pailit yang dialami

debitur , maka Perbankkan selaku kreditur separatis memiliki hak istimewa ,

Pemegang Hak Tanggungan untuk menjual objek hak tanggungan atas

kekuasannnya sendiri melalui pelelangan Umum serta mengambil pelunasan atas

piutangnya dari hasil penjualan tersebut.. Hak istimewa ini disebut dengan

( Parate executie ) Meskipun Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun

2004 menyatakan bahwa kreditur separatis tidak terpengaruh dengan keadaan

76
debitur pailit atau berada di luar kepailitan debitur, bukan berarti pelaksanaan hak

parate executie yang dimilikinya sama sekali tidak terpengaruh oleh kepailitan

debitur. Dalam ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan PKPU menjelaskan bahwa pelaksanaan hak eksekusi yang

disebut hak parate executie yang dimiliki oleh kreditur separatis harus

ditangguhkan selama paling lama 90 hari ketika debitur telah dinyatakan pailit.

Penangguhan ini terhitung sejak tanggal putusan pailit atas debitur diucapkan

karena harta pailit demi hukum berada di bawah sita umum. Kepailitan sebagai

sita umum berlaku terhadap seluruh harta debitur pailit tanpa terkecuali barang-

barang yang menjadi jaminan kebendaan bagi kreditur separatis. Ketentuan pasal

ini yang menyatakan adanya penangguhan atas pelaksanaan eksekusi dari kreditor

separatis menimbulkan keadaan tidak konsisten dengan ketentuan hukum dalam

Pasal 55 ayat (1) yang dalam praktek menyebabkan kerancuan penerapan aturan

tentang kedudukan kreditor separatis. Pada saat penangguhan maka kedudukan

perbankakan selaku kreditor separatis tidak lagi memiliki hak untuk didahulukan

atau menjadi setara dengan kreditur konkruen, sehingga hak untuk mengeksekusi

jaminan kebendaannya dalam kepailitan menjadi hilang selama masa

penangguhan. Masa penangguhan ini disebut dengan stay. Periode stay terjadi

bertujuan untuk mencegah timbulnya upaya pencaplokan harta pailit oleh

sekelompok debitur selama proses kepailitan berlangsung, sehingga melalui stay

ini mencegah kreditor separatis melakukan kecurangan dalam melaksanakan hak

istimewanya yang akan merugikan kreditur-kreditur lainnya yang tidak dijamin

dengan hak kebendaan debitur. Keadaan stay seolah-olah menyebabkan

77
kedudukan kreditur separatis yang berada di luar kepailitan tidak berlaku, namun

T.H.Jackson berpendapat bahwa ketentuan stay justru sejalan dengan norma

kolektivitas dalam hukum kepailitan bahwa dengan berlakunya stay maka kreditur

separatis akan menerima pembayaran yang setara dengan nilai jaminan utangnya.

Sesuai dengan prinsip dari hukum kepailitan yaitu collective proceeding yaitu

menghimpun dan memaksimalkan nilai likuiditas dari harta pailit guna

didistribusikan kepada seluruh kreditur berdasarkan ranking dan sifat utangnya

masing- masing. Sehingga dalam hal ini, sebenarnya periode stay

atau penangguhan merupakan saat yang tepat untuk mengintervensi hak nya,

parate eksekusi ( parate executie ) yang dimiliki kreditor separatis yang

dalam hal ini adalah Bank demi melindungi kreditur lainnya dan mempermudah

kurator untuk melakukan pencatatan harta serta status dari harta debitur pailit

tersebut ,

B. Pengaturan Eksekusi Jaminan Kreditor Separatis Apabila Terjadi Kepailitan

Menurut Pasal 1 ayat (1) UUHT, yang menyatakan bahwa, Hak

tanggungan adalah hak penguasaan atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur

untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk

dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur

cidera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagai pembayaran

lunas hutang debitur kepadanya.

Terdapat beberapa unsur essensial yang menjadi ciri-ciri dari Hak Tanggungan,

yaitu :

78
1) sebagai hak jaminan kebendaan;

2) objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah;

3) diperuntukkan untuk menjamin pelunasan hutang dengan eksekusi

yang kuat, mudah dan pasti; dan

4) memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur pemegang

Hak Tanggungan.

Pengaturan tentang eksekusi objek Hak Tanggungan dapat kita lihat pada Pasal 20

UUHT ayat (1), dimana disebutkan bahwa:

Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan:

1) Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak

Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau;

2) Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan

dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak

Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditur-kreditur lainnya.

Dapat kita lihat bahwa berdasarkan Pasal 20 Ayat (1) huruf a di atas yang

mengacu pada Pasal 6 UUHT, disebutkan bahwa terjadi cidera janji oleh debitur,

maka kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk

langsung menjual objek Hak Tanggungan tanpa melalui putusan pengadilan. Pasal

6 UUHT, secara spesifik disebutkan bahwa: “Apabila debitur cedera janji,

pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek

Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta

79
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut . Mengacu pada

Pasal 6 UUHT dapat ditarik beberapa unsur yang harus terpenuhi, yaitu adanya :

a. adanya cedera janji oleh debitur;

b. kreditur sebagaipemegang Hak Tanggungan mempunyai hak;

c. hak atas kekuasaan sendiri untuk menjual objek Hak Tanggungan;

d. dijual melalui pelelangan umum;

Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak

Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau;

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan

dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak

Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditur-kreditur lainnya.

Dapat kita lihat bahwa berdasarkan Pasal 20 Ayat (1) huruf a di atas yang

mengacu pada Pasal 6 UUHT, disebutkan bahwa terjadi cidera janji oleh debitur,

maka kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk

langsung menjual objek Hak Tanggungan tanpa melalui putusan pengadilan.

Pasal 6 UUHT, secara spesifik disebutkan bahwa: “Apabila debitur cedera janji,

pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak

Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil

pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.

80
Mengacu pada Pasal 6 UUHT dapat ditarik beberapa unsur yang harus terpenuhi,

yaitu adanya :

a. adanya cedera janji oleh debitur;

b. kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak

c. hak atas kekuasaan sendiri untuk menjual objek Hak tanggungan

d. dijual melalui pelelangan umum;

melalui pelelangan umum yang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara.40

Ditentukan dalam Penjelasan atas Pasal 20 ayat (1) UUHT, bahwa pada

prinsipnya setiap eksekusi objek Hak Tanggungan harus dilaksanakan dengan

melalui “pelelangan umum”, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh

harga yang paling tinggi untuk objek Hak Tanggungan, namun ketentuan dalam

Pasal 20 ayat (2) UUHT memberikan kemungkinan untuk menyimpang dari

prinsip eksekusi objek Hak Tanggungan dilaksanakan melalui pelelangan umum.

Pasal 20 ayat (2) UUHT menentukan, bahwa atas kesepakatan pemberi dan

pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat

dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh

harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Dengan demikian, eksekusi

melalui penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan bila hal tersebut telah

disepakati oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. Ditentukan dalam

Penjelasan atas Pasal 20 ayat (2) UUHT, bahwa kemungkinan eksekusi melalui

penjualan di bawah tangan tersebut dimaksudkan untuk mempercepat penjualan

40
Rachmadi Usman, 2016, Hukum Jaminan Keperdataan, Cetakan ketiga, Sinar Grafika,
Jakarta, h.493

81
objek Hak Tanggungan dengan harga penjualan tertinggi, sebab penjualan melalui

pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi.41

Ketentuan mengenai proses pelaksanaan lelang diatur dalam, Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan

untuk melaksanakan ketentuan tersebut maka diterbitkanlah Peraturan Direktur

Jendral Kekayaan Negara Nomor PER-03/KN/2010 tentang Petunjuk Teknis

Pelaksanaan Lelang, kemudian mengenai proses pelaksanaan lelang parate

executie berdasarkan pasal 6 UUHT lebih jelas diatur dalam Surat Edaran Nomor

19/PN/2000 tentang Pelaksanaan Surat Edaran Nomor SE-21/PN/1998 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan , eksekusi

merupakan tindakan melaksanakan atau menjalankan keputusan pengadilan.

Menurut pasal 195 H.I.R eksekusi diartikan sebagai menjalankan putusan hakim

oleh pengadilan. “Hak Menjalankan putusan hakim” merupakan keseluruhan

ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang yang dapat dipergunakan untuk

memaksa seorang yang dikalahkan perkaranya untuk melakukan apa yang

diwajibkan kepadanya sesuai amar putusan hakim.6 Pengaturan terkait eksekusi

dalam pasal 20 ayat (1) yang mengacu pada Pasal 6 UUHT, disebutkan bahwa

bila terjadi cidera janji oleh debitor, maka kreditor pemegang Hak Tanggungan

pertama mempunyai hak untuk langsung menjual objek Hak Tanggungan tanpa

melalui putusan pengadilan. Pasal 6 UUHT, secara spesifik disebutkan bahwa

bilamana debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai

hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui

41
Ibid. h. 494

82
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan

tersebut.Hak untuk menjual objek hak tanggungan tanpa melalui putusan

pengadilan tersebut dapat dilakukan karena Sertifikat Hak Tanggungan

memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA”, hal ini memberikan kekuatan eksekutorial

yang sama antara sertifikat hak tanggungan dengan putusan pengadilan. Apabila

ditinjau dari perspektif sistem peradilan hukum, dalam hal debitor wanprestasi,

kreditor separatis maupun kreditor konkuren dapat mengajukan permohonan

eksekusi melalui gugatan perdata. Namun, penyelesaian tersebut memakan waktu

dan biaya, maka diadakannya lembaga Hak Tanggungan yang menyediakan cara

penyelesaian khusus yang lebih mudah dan tetap memiliki kepastian dalam

pelaksanaannya Sejalan dengan UUHT, pasal 55 UU Kepailitan mengatur bahwa

hak yang dimiliki kreditor separatis untuk mengeksekusi tidak akan terpengaruh

meskipun adanya kepailitan. Hak tanggungan merupakan jaminan untuk

pelunasan utang tertentu, yang di berikan kedudukan diutamakan kepada kreditur

tertentu terhadap kreditur kreditur lainnya. Hak tanggungan juga tetap membebani

objek hak tanggungan di tangan siapapun benda itu berada ini berarti bahwa

kreditur pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda yang

dijadikan objek jaminan hak tanggungan, biarpun sudah dipindahkan haknya


42
kepada pihak lain. Namun, pada pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan menyebutkan

hak untuk mengeksekusi yang dimiliki oleh kreditor ditangguhkan dalam jangka

waktu maksimal 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit. Penangguhan

42
Juswito Satrio, op.cit, h. 277

83
eksekusi setelah adanya keputusan pailit dimaksudkan sebagai masa tenang bagi

debitor, yakni tidak adanya pelaksanaan pemenuhan hak. Hal ini berlaku pula bagi

kreditor separatis, dimana pada masa penangguhan eksekusi, kreditor separatis

tidak memiliki hak untuk diutamakan sebagaimana yang diatur dalam hukum

jaminan sampai berakhirnya insolvensi. Selain itu, pihak kreditor juga tidak dapat

mengajukan tuntutan maupun permohonan sita barang agunan untuk pelunasan

piutangnya. Penangguhan eksekusi ini tidak berlaku apabila tagihan kreditor

dijamin dengan uang tunai. Jangka waktu penangguhan eksekusi dapat pula

berakhir demi hukum apabila kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat

dimulainya keadaan insolvensi yaitu ketidakmampuan debitor untuk membayar

hutangnya, hal ini didasarkan pada pasal 57 ayat (1) UU Kepailitan. Selain itu,

syarat pengeksekusian dapat diubah melalui permohonan kepada kurator.

persyaratan tersebut meliputi jangka waktu penangguhan dan/atau terkait agunan

yang dapat dieksekusi kreditur.43

43
Herowati Poesoko, 2013, Dinamika Hukum Parate Executie Objek Hak Tanggungan, Edisi
Revisi, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, h. 203

84
Tabel
Perbandingan rumusan pasal UU HT dengan UU
KPKPU dan pokok materi konsideran masing-masing
Peraturan Perundang-undangan

Keterangan Pasal 6 Pasal 14 & Pasal 20 Pasal 55. 56. 59 & Pasal 60

Undang-Undang Hak Tanggungan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU

Latar 1. Pembangunan nasional bertitik 1. Pembangunan hukum nasional dalam


Belakang berat pada bidang ekonomi, rangka mewujudkan masyarakat adil dan
membutuhkan penyediaan dana makmur berdasarkan Pancasila dan
yang cukup besar, memerlukan Undang-Undang Dasar Negara Republik
lembaga hak jaminan yang kuat Indonesia Tahun 1945 harus menjamin
dan mampu memberi kepastian kepastian, ketertiban, penegakan, dan
hukum bagi pihak-pihak yang perlindungan hukum yang berintikan
berkepentingan, mewujudkan keadilan dan kebenaran;
masyarakat yang sejahtera, adil, 2. Eksistensi Peraturan Pemerintah
dan makmur berdasarkan Pancasila Pengganti Undang-Undang tersebut lahir
dan UUD1945; akibat desakan International Monetary
2. ketentuan mengenai Hypotheek Fund (IMF) sebagai prasyarat
berdasarkan Pasal 57 Undang- mendapatkan pinjaman dana untuk
Undang No. 5 Tahun 1960 tentang memulihkan kondisi perekonomian
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Indonesia;
Agraria, dipandang tidak sesuai 3. Tujuan pengesahan UU Kepailitan
lagi dengan kebutuhan kegiatan semata-mata untuk melindungi
perkreditan, sehubungan dengan kepentingan kreditor asing, jelas terlihat
perkembangan tata ekonomi dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Indonesi; dan No. 4 Tahun 1998 yang tidak
3. Mewujudkan unifikasi Hukum mempertimbangkan apakah debitor dalam
Tanah Nasionalhak untuk keadaan solven ataukah insolven untuk
dinyatakan pailit yang dilanjutkan
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
menggantikan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998. Berdasarkan keputusan
Badan Musyawarah Dewan Perwakilan
Rakyat, pembahasan RUU No. 37 Tahun
2004 diserahkan kepada Komisi IX
(Bidang Keuangan dan Perbankan) jika
dilihat materi pembahasannya memuat
hukum acara tidak meminta pendapat atau
penjelasan dari Komisi II (Bidang
Hukum);
4. Perkembangan perekonomian dan
perdagangan makin banyak permasalahan
utang piutang yang timbul di masyarakat
dan krisis moneter yang terjadi di
Indonesia menimbulkan kesulitan bagi
dunia usaha dalam menyelesaikan utang
piutang untuk meneruskan kegiatannya;

85
Isi Pasal 1. Pasal 6 ayat (1)Apabila debitor 1. Dengan tetap memperhatikan
cidera janji wanprestasi , ketentuan sebagaimana dimaksud
pemegang hak tanggungan pertama dalam pasal 56, pasal 57 dan pasal
mempunyai hak untuk menjual 58 , setiap kreditor pemegang gadai
objek Hak Tanggungan atas ,Jaminan fidusia, hak tanggungan
kekuasaan sendiri melalui hipotek ,atau hak agunan atas
pelelangan umum ,serta mengambil benda lainnya , dapat
pelunasan piutang nya dari hasil mengeksekusi haknya seolah olah
penjualan tersebut tidak terjadi kepailitan

1. Yang dimaksud dalam pasal 14 (


1)Hak Tanggungan diterbitkan 2. Hak eksekusi Kreditor dan hak
Kantor Pertanahan sesuai dengan pihak ketiga untuk menuntut
Undang Undang berlakuSertifikat hartanya yang berada dalam
selanjutnya Pasal (2) dan Pasal ( 3) penguasaan Debitor pailit atau
Hak Tanggungan memuat irah irah : Kurator ditangguhkan untuk
DEMI KEADILAN jangkawaktu paling lama 90
BERDASARKAN KETUHANAN (sembilan puluh) hari sejak tanggal
YANG MAHA ESA mempunyai putusan pernyataan pailit
kekuatan eksekutorial yang sama diucapkan;
dengan putusan Pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap 3. Selama jangka waktu penangguhan,
dan berlaku sebagi pengganti Gross Kurator dapat menggunakan harta pailit
acte hypotheek sepanjang mengenai berupa benda tidak bergerak maupun
hak tanah benda bergerak atau menjual harta pailit
yang berupa benda bergerak dalam rangka
kelangsungan usaha Debitor, dalam hal
Eksekusi Hak Tanggungan , apabila telah diberikan perlindungan yang wajar
debitor Cidera Janji Berdasarkan : bagi kepentingan Kreditor atau pihak
ketiga
(a) Hak Pemegang Hak tanggungan
pertama untuk menjual objek 4. Kreditor pemegang hak sebagaimana
Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus
dimaksud dalam pasal 6, atau melaksanakan haknya tersebut dalam
jangka waktu paling lambat 2 (dua)
(b) Titel eksekutorial yang terdapat bulansetelah dimulainya keadaan
dalam sertifikat hak tanggungan
insolvensi.
dimaksud dalam pasal 14 ayat
(2) objek hak tanggungan dijual
5. Setiap waktu Kurator dapat
melalui pelelangan umum
menurut tata cara yang membebaskan benda yang menjadi
ditentukan dalam peraturan agunan dengan membayar jumlah
perundang-undangan untuk terkecil antara harga pasar benda
pelunasan piutang pemegang agunan dan jumlah utang yang
hak tanggungan dengan Hak dijamin dengan benda agunan
mendahului dari pada kreditor tersebut kepada Kreditor yang
kreditor lainnya. bersangkutan.

6. Kreditor pemegang hak


sebagaimana dimaksud dalam pasal
55 ayat (1) yang melaksanakan
haknya ,wajib memberikan
pertanggungjawabab kepada
kurator tentang hasil penjualan
benda yang menjadi agunan dan
menyerahkan sisa hasil penjualan ,
setelah dikurangi jumlah
utang,bunga dan biaya kepada
kurator

86
C. Proses Penangguhan Eksekusi Objek Jaminan Hak Tanggungan

Yang dimaksud dengan penangguhan eksekusi jaminan hutang dalam

hukum pailit adalah dalam masa-masa tertentu, sungguhpun hak untuk

mengeksekusi jaminan hutang ada di tangan kreditur separatis (kreditur dengan

hak jaminan), tetapi kreditur separatis tersebut tidak dapat mengeksekusinya

karena ia berada dalam“masa tunggu” untuk masa tertentu, di mana jika masa

tunggu tersebut sudah lewat baru ia dibenarkan untuk mengeksekusi jaminan

hutangnya. Inilah yang dimaksud dengan penangguhan eksekusi atau yang dalam

istilah Inggris disebut dengan Stay.44 Dalam Undang-Undang Kepailitan, tentang

Penangguhan ini diatur dalam Pasal 56. Penangguhan ini berlaku demi hukum

tanpa harus diminta oleh para pihak mengenai penangguhan eksekusi ini.

Retnowulan Sutantio mengatakan bahwa apabila pelelangan pada hari putusan


45
dijatuhkan belum terlaksana maka pelelangan harus ditangguhkan. Didalam

penjelasan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dijelaskan sebagai

berikut:

1) Penangguhan eksekusi dimaksudkan untuk memperbesar

kemungkinan tercapainya perdamaian.

2) Penangguhan eksekusi dimaksudkan untuk memperbesar

kemungkinan mengoptimalkan harta pailit.

44
Asis Ikhwansyah, Kredit dan Hak yang dimiliki dalam kepailitan , Magister Kenotariatan
,UNPAD,Bandung2001,hal 103
45
Retno Wulan Sutantio, Pengaruh Kepailitan Terhadap Pemegang Hak Tanggungan Dan
Dukungan Pelayanan Permohonan yang diperlukan Seminar NasionalPeningkatan Pelayanan
pertanahan Dalam Rangka Pemulihan Kondisi Sosial Ekonomi Dewasa ini, Jakarta 1998, hal 18

87
3) Penangguhan eksekusi dimaksudkan untuk memungkinkan Kurator

melaksanakan tugasnya secara optimal.

Selama berlangsung jangka waktu untuk memperoleh penangguhan segala

tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat

diajukan dalam sidang badan peradilan dan baik kreditur maupun pihak ketiga

dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas barang yang menjadi

agunan. Walaupun demikian, pemegang jaminan kebendaan masih berhak

melakukan perlawanan terhadap penangguhan eksekusi tersebut yang secara

berturut-turut.

1) Mengajukan permohonan kepada kurator untuk mengangkat

penangguhan atau mengubah syarat-syarat penangguhan tersebut,

demikian Pasal 57 ayat (2) Undang-undang Kepailitan.

2) Jika Kurator menolak permohonan tersebut pihak kreditur dapat

mengajukan permohonan penangguhan atau perubahan terhadap

syarat-syarat penangguhan tersebut kepada hakim pengawas,

demikian Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan.

3) Terhadap putusan hakim pengawas, kreditur yang mengajukan

Permohonan untuk mengangkat penangguhan atau mengubah

syarat- syarat penangguhan tersebut atau kurator dapat mengajukan

perlawanan kepada pengadilan,demikian Pasal 58 ayat (3) Undang-

Undang Kepailitan

Alasan yang dapat digunakan untuk memperpendek jangka waktu 90 (sembilan

puluh) hari itu. antara lain bahwa secara kebetulan ada calon pembeli yang sangat

88
membutuhkan obyek jaminan tersebut dan berani membayar dengan harga tinggi

atau karena pelelangan sudah diumumkan secara dua kali berturut-turut

dalamsurat kabar dan biaya-biaya yang dikeluarkan sudah cukup besar, lagi pula

sudah terlalu banyak calon pembeli yang sudah mendaftarkan diri untuk ikut

dalam pelelangan. Selain itu juga dijelaskan bahwa “Selama berlangsungnya

jangka waktu penangguhan segala tuntutan hukum untuk memperoleh atas suatu

piutang tidak dapat diajukan di dalam sidang peradilan dan baik kreditur maupun

pihak ketiga dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita jaminan atas benda

yang menjadi agunan.” Misalnya jika aset yang menjadi jaminan hutang tersebut

yaitu pabrik yang tentunya sangat berguna bagi kelancaran usaha debitur yang

pailit. Maka apabila pabrik tersebut dapat dijual kapan saja oleh kreditur separatis

hal tersebut cenderung untuk menggagalkan suatu perdamaian. Karena bisnis

debitur akan segera berhenti. Hukum tentang penangguhan kewajiban pembayaran

hutang mengenal perkecualian sebagai berikut:

a. Penangguhan eksekusi tidak berlaku terhadap tagihan kreditur yang dijamin

dengan uang tunai. Misalnya: gadai deposito.

b. Penangguhan eksekusi tidak berlaku bagi hak kreditor untuk

memperjumpakan hutang. (Lihat Pasal 56 ayat(2) Undang-Undang Kepalitan)

Yang terkena kewajiban penangguhan eksekusi seperti yang ditentukan dalam

Pasal 56 Undang-Undang Kepalitan adalah:

1) Pemegang Hak Tanggungan.

2) Pemegang Hak Gadai

3) Pemegang agunan atas kebendaan lainnya. misalnya :

89
a) Pemegang fidusia.

b) Pemilik barang leasing.

c) Pemberi sewa beli.

d) Pemegang hak reklame (Pasal 1145 KUH perdata).

Selama penangguhan tersebut dapat saja terjadi di mana kurator menjual harta

pailit. sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 56 ayat (3) Undang-undang secara

lengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Selama jangka waktu penangguhan kurator

dapat menggunakan atau menjual harta pailit yang berada dalam pengawasan

kurator dalam rangka kelangsungan usaha debitur sepanjang untuk itu telah

diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan kreditur atau pihak ketiga.”

Penjelasan pasalnya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perlindungan

yang wajar adalah perlindungan yang perlu diberikan untuk melindungi

kepentingan kreditur atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan. Dengan

pengalihan harta yang bersangkutan. Hak kebendaan tersebut dianggap berakhir

demi hukum. Perlindungan dimaksud antara lain dapat berupa ganti rugi atas

terjadinya penurunan nilai harta pailit. hasil penjualan hak kebendaan pengganti,

imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai lainnya. Sehubungan dengan

pelaksanaan eksekusi oleh kreditur pemegang jaminan kebendaan, telah

dinyatakan secara tegas dalam Pasal 59 Undang-Undang Kepailitan

a. Kreditur pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)

harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2

(dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi.”

b. Setelah jangka waktu kurator harus menuntut diserahkannya benda yang

90
menjadi agunan untuk selanjutnya dijual tanpa mengurangi hak kreditur

pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut.

c. Setiap waktu kurator dapat membebaskan benda yang menjadi agunan

dengan membayar jumlah terkecil antara harga pasar benda agunan

danjumlah hutang yang dijamin dengan benda agunan tersebut kepada

kreditur yang bersangkutan Pasal 60 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang

Kepailitan berbunyi sebagai berikut:

1) Kreditur Pemegang hakyang melaksanakan haknya wajib

memberikan pertanggungjawaban kepada kurator tentang hasil

penjualan yang menjadi agunan dan menyerahkan sisa hasil

penjualan tersebut setelah dikurangi jumlah hutang, bunga, dan

biaya kepada kurator.

2) Atas tuntutan kurator atau kreditur yang diistimewakan yang

kedudukannya lebih tinggi dari pada kreditur pemegang , hak

wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk

jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan.

3) Dalam hasil penjualan ”tidak cukup melunasi piutang yang

bersangkutan kreditur pemegang hak tersebut dapat mengajukan

4) tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai

kreditur konkuren, setelah mengajukan permintaan pencocokan

utang.” Mengenai biaya kepailitan merupakan biaya-biaya yang

harus dikeluarkan dalam rangka acara kepailitan yang telah diatur

dalam Pasal 17 ayat dan Pasal 191 Undang-Undang Kepailitan.

91
d. Masa tunggu dalam Proses Penangguhan Eksekusi Jaminan Hak

Tanggungan Debitor dalam kepailitan

hukum kepailitan tidak mempunyai hak separatis yakni hak untuk dipisahkan dan

diutamakan. mengubah syarat-syarat penangguhan dapat dilakukan kreditor

separatis berdasarkan pasal 57 ayat (2) UU Kepailitan. Apabila permohonan

tersebut ditolak oleh kurator maka pemegang hak jaminan dapat mengajukan

permohonan kepada hakim pengawas, hal ini tercantum pada pasal 57 ayat (3) UU

Kepailitan. Selanjutnya, apabila hakim pengawas menolak untuk mengubah

persyaratan penangguhan tersebut, maka hakim pengawas wajib memerintahkan

agar Kurator memberikan perlindungan yang dianggap wajar untuk kepentingan

pemohon. Apabila melihat pada prinsip-prinsip kreditor separatis dalam hukum

jaminan, maka hak dan kedudukan kreditor separatis tidak dapat dikalahkan dan

kedudukannya tidak dapat disetarakan dengan kreditor lainnya. Dapat dikatakan

adanya pemisahan hak yang diberikan oleh hukum jaminan kepada kreditor

separatis. Berdasarkan pasal 14 UUHT kreditor separatis dapat mengeksekusi

benda jaminan berdasarkan kekuasaan sendiri tanpa terpengaruh dengan apapun

termasuk dengan adanya kepailitan. Maka, ketentuan terkait penangguhan antara

UU Kepailitan dengan UUHT menimbulkan adanya konflik dalam memaknai

kreditor separatis tersebut. Apabila ditinjau berdasarkan 1132 dan 1134 BW,

seharusnya ketentuan penangguhan dalam UU Kepailitan tidak mempengaruhi

kedudukan ataupun kewenangan yang dimiliki kreditor separatis, dikarenakan

92
telah ada pengaturan secara jelas terkait hak-haknya, selain itu pula tidak ada

ketentuan yang mengatur bahwa kreditor separatis harus tunduk pada peraturan

perundang-undangan lain, melainkan hal-hak kreditor separatis yang semestinya

diakui oleh peraturan lainnya. Hal ini dikarenakan hak dari kreditor separatis lahir

dari perjanjian jaminan sehingga kreditor separatis harus tetap tunduk pada hukum

jaminan. Apabila hak kreditor separatis tidak diakui, maka bertentangan dengan

prinsipnya yaitu prinsip preferensi. Sehingga, hal tersebut merugikan hak dan

kepentingan kreditor separatis dan menimbulkan adanya penyimpangan terhadap

ketentuan dan prinsip hukum jaminan Putusan Mahkamah Agung R.I.

Putusan Nomor 782 K/Pdt.Sus-Pailit/2017 Pembagian Hasil

Pemberesan/Penjualan Harta Pailit , kedudukan kreditor separatis tidak

dipertimbangkan sama sekali keberadaannya. Hal ini pula sejalan dengan

prinsip Paritas Creditorium dan Structured Prorata yang dimana mengandung

makna menklafikasikan kreditor secara proporsional menurut kedudukannya

dalam pembagian harta pailit, apabila meninjau sebab pembentukan UU Kepalitan

yakni menyederhanakan dan mempercepat pemenuhan utang,maka semua jenis

kreditor dapat bersama-sama melaksana kan hak subyektifnya

93
BAB IV

PENUTUP

B. KESIMPULAN

1. Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan yakni, Apabila

debitor mengalami kepailitan maka kreditor pemegang hak

tanggungan berhak menjual objek yang dijadikan jaminan melalui

pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan mengambil

pelunasan utangnya dari hasil penjualan tersebut. Namun, apabila

ditinjau berdasarkan UU Kepailitan, dalam eksekusi objek jaminan

tersebut ditangguhkan maksimal 90 hari. Dengan adanya

penangguhan eksekusi .

2. kreditor separatis tidak dipertimbangkan keberadaannya. Sehingga

hal ini memberikan kedudukan yang sejajar bagi kreditor separatis

dengan kreditor lainnya

C. SARAN

a. Adanya penangguhan terhadap hak untuk mengeksekusi jaminan

kebendaan oleh Bank sebagi kreditor separatis ketika debitur pailit

menimbulkan ketidak konsistenan norma antara Pasal 55 , Pasal 56

dan Pasal 60 dalam undang-undang kepailitan. Maka sesungguhnya

perlu diadakan perbaikan atau revisi ketentuan undang-undang

94
tersebut agar dapat memberikan kepastian hukum dan nantinya dapat

melindungi hak kreditur separatis yang kedudukannya berada di luar

kepailitan.

b. Selain itu, ketentuan pelaksanaan hak parate executie yang hanya

dapat dilaksanakan dalam periode waktu 2 (dua) bulan, sebenarnya

menciderai definisi dari hak parate executie itu sendiri yaitu

memberi hak kepada kreditor separatis untuk mengeksekusi sendiri

barang yang menjadi jaminan piutangnya. Oleh karena itu, juga perlu

dilakukan revisi mengenai ketentuan pembatasan waktu pelaksanaan

eksekusi oleh kreditur separatis agar dapat diberikan waktu yang

lebih untuk mengurus persiapan pelaksanaan eksekusi jaminan

kebendaannya namun UUHT menghendaki perlu memasukkan

secara khusus ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam

undang-undang ini karena ada ketentuan Lembaga parate executie

sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 HIR dan Pasal 258 HIR

c. Dalam jangka waktu paling lambat 2 ( dua ) bulan yang diberikan

terhadap kreditor pemegang hak , terlalu singkat untuk

meyelesaikan semua kewajiban Debitor dalam keadaan pailit

minimal 12 ( dua belas ) bulan.

d. Benda yang menjadi agunan kreditor di serahkan dan bertanggung

jawab terhadap Kurator, akan menimbulkan persoalan hukum

hingga ke pengadilan dalam penyelesaian / pelunasan kewajiban

Debitor dalam keadaan palit dan merugikan hak Kreditor .

95
DAFTAR PUSTAKA

A.Buku-buku

Amiruddin dan Zainal Arsikin. 2003. Pengantar Metode Penelitian Hukum.


Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Anton,Suyatno. 2016. Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Kredit Macet


Melalui Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan
Pengadilan. Depok : Prenadamedia Group.

Arsikin, Zainal. 1991. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di


Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers.

Budi, Untung. 2000. Kredit Perbankan di Indonesia Edisi.II. Yogjakarta : Andi.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. 1995. Pokok-Pokok Filsafat Hukum.


Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Djazuli, Bachar. 1995. Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum dan
Penegakan Hukum. Edisi Revisi. Jakarta : Akademika Pressindo.

Frieda, Husni Hasbullah. 2009. Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak yang


Memberikan Jaminan. Jakarta : Indo Hill-Co.

Gatot, Supramono. 1996. Pertahanan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan


Yuridis. Edisi Revisi Cetakan 2. Jakarta : Djambatan.

Gazali, Djoni S dan Rachmadi Usman. 2012. Hukum Perbankan. Jakarta : Sinar
Grafika.

Gunarto, Suhardi. 2003. Usaha Perbankan Dalam Perpektif Hukum. Yogyakarta :


Kanisius

Habib, Ajie. 2018. Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah.
Bandung : Mandar Maju.

Hadin, Muhjad dan Nunuk Nuswardani. 2012. Penelitian Hukum Indonesia


Kontenporer. Yogayakarta : Genta Publishing.

Hadi, Subhan M. 2008. Hukum Kepalitan, Norma, Prinsip dan Praktik di


Peradilan. Jakarta : Kencana.

96
Herowati, Poesoko. 2013. Dinamika Hukum Parate Executie Objek Hak
Tanggungan. Edisi Revisi. Yogyakarta : Aswaja Pressindo

Ivida, Dewi Amrih dan Herowati Poesoko. 2009. Hak Kreditor Separatis Dalam
Mengeksekusi Benda Jaminan Debitor Pailit. Yogyakarta : Laksbang
Pressindo.

Ivida, Dewi Amrih dan Herowati Poesoko. 2016. Hukum Kepailitan Kedudukan
dan Hak Kreditor Separatis atau Benda Jaminan Debitor Pailit. Yogyakarta :
Laksbang Pressindo.

Johannes, Ibrahim. 2004. Mengupas Tuntas Kredit Komersiadan Konsumtif


Dalam Perjanjian Kredit Bank Perspektif Hukum dan Ekonomi. Bandung :
Mandar Maju

Kartini, Mulyadi. 2001. Penyelesaian Hutang Piutang Melalui Kepailitan atau


PKPU. Bandung : Alumni.

Mariam, Darus Badrulzaman. 1997. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional.


Bandung : Alumni

M. Bahsan. 2010. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia.


Jakarta : Rajawali.

Muhammad, Djumhana. 2000. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung : PT


Citra Aditya Bakti.

Muhammad, Djumhana. 1999. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktik. Bandung :
PT Citra Aditya Bakti.

Mukti, Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian
Normatif dan Empiris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Munir , Fuady. 2013. Hukum Jaminan Utang. Jakarta : Erlangga

Peter, Mahmud Marzuki. 2017. Penelitian Hukum. Edisi Revisi. Jakarta :


Praenada Media.

Philipus, M Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia.


Surabaya : Bina Ilmu

Phipus, M.Hajdjon dan Tatiek Sri Djatmiati. 2005. Argumentasi Hukum.


Jogyakarta : Gajahmada Uversity Press.

97
Prof. Dr Sutan Remmy Sjahdeni. 2016. Sejarah Asas, dan Teori Hukum
Kepailitan. Jakarta : Prenamedia Group.

RH, Wiwowo. 2017. Keadilan Berkontrak. Jakarta : Penaku.

Soetjipto, Rahardjo. 1983. Permasalahan Hukum Di Indonesia, Bandung :


Alumni.

Sri, Soedewi Masjchoen Sofwan. 2013. Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-


Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta : Liberty
Offset.

Usman, Rachmadi. 2003. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia.


Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Usman, Rachmadi. 2008. Hukum Jaminan Keperdataan. Jakarta : Sinar


Grafika.

B. Artikel, Makalah dan Karangan dalam Buku dan Internet

Wahyu, Pratama. 2015. “Tinjauan Hukum tentang Sertifikat Hak Tanggungan


Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996”. Jurnal Ilmu Hukum. Legal
Opinion. Edisi 6. Vol 3 Hal 6.

I, Made Agni Prabawa Suryadi. 2013. “Pengaturan Eksekusi Barang Jaminan


Melalui Undang-Undang Hak Tanggungan”. Kertha Semaya : Jurnal Ilmu
Hukum. Universitas Udayana. Vol 1 No 12.

I, Putu Yoga Putra Pratama. 2019. “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Atas
Penyusutan Nilai Objek Jaminan Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Utang
Piutang”. Kertha Semaya : Jurnal Ilmu Hukum, Universitas Udayana. Vol 7
No 6.

Kadek, Septian Dharmawan Prastika. 2018. “Kedudukan Kreditur Dalam


Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Milik Atas Tanah Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah”. Kertha Semaya : Jurnal Ilmu
Hukum. Universitas Udayana. Vol 5 No 1.

Komang, Trianna. 2013. “Ketentuan Penangguhan Eksekusi Hak Tanggungan


Oleh Kreditor Separatis Akibat Adanya Putusan Pailit”. Kertha Semaya :
Jurnal Ilmu Hukum. Universitas Udayana. Vol 1 No 2.

98
Mahkamah Agung RI. 2008. “Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan
Perdata Umum dan Perdata Khusus”. Buku II. Edisi 2007. Jakarta

Mitia, Intansari. 2016. “Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dalam


Hal Debitur Wanprestasi”. Kertha Semaya : Jurnal Ilmu Hukum. Universitas
Udayana. Vol 5 No 2

Putu, Arya Aditya Pramana. 2013. “Pengaruh Undang-Undang Kepailitan dan


Undang-Undang Hak Tanggungan Terhadap Kedudukan Kreditur Pemegang
Hak Tanggungan Apabila Debitur Pailit”. Kertha Semaya : Jurnal Ilmu
Hukum. Universitas Udayana. Vol 1 No 4.

Sri, Redjeki Slamet. 2016. “Perlindungan Hukum dan Kedudukan Kreditor


Separatis Dalam Hal Terjadi Kepailitan Terhadap Debitor”. Jurnal Ilmu
Hukum. Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul. Vol 13 No 1.

C. Kamus-kamus

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1998. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

D. Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak


Tanggungan Atas Tanah Berserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan
Tanah (UUHT).

Repbulik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Jaminan


Fidusia

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang


Perlindungan Usaha Perusahaan Badan Usaha Perdagangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4443).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPerdata )

99
E. Putusan Pengadilan

Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung Perkara Nomor 782 K/Pdt.Sus-


Pailit/2017 tanggal 14 Agustus 2017.

F. Berita dan Tajuk Rencana dalam Surat Kabar dan Internet

www.djkn.kemenkeu.go.id. “Lelang Pasal 6 UUHT dan Lelang Berdasarkan Title


Eksekutorial.” Diakses tanggal 07 Mei 2022.

https://media.neliti.com/media/publications/152194-ID-none.pdf. Diakses tanggal


26 Pebruari 2018.

100

Anda mungkin juga menyukai