Anda di halaman 1dari 13

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA

Disampaikan pada:
Forum Group Discussion
Focus Group Discussion
Penyusunan Kajian Perlindungan Konsumen sektor Jasa Keuangan

Di Hotel Royal Tulip, Gunung Geulis Resort and Golf, Bogor


Bogor, 17-18 Oktober 2018

Oleh:
Jamaslin James Purba, S.H, M.H.
(Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia - AKPI)
(Wakil Ketua Umum DPN PERADI)
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semakin hari kebutuhan masyarakat terus meningkat, namun


terkadang hal ini tidak sejalan dengan dana yang dimiliki. Pemenuhan dana ini
dapat dipenuhi melalui fasilitas kredit yang umumnya diberikan oleh lembaga
keuangan. Pada umumnya lembaga ini diatur oleh regulasi keuangan dari
pemerintah. Lembaga keuangan ini dapat diklasifikasikan menjadi 2
(dua) jenis, yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non
bank (asuransi, pegadaian, perusahaan sekuritas, lembaga pembiayaan, dan
lain-lain). Lembaga-lembaga keuangan ini memberikan kemudahan bagi
masyarakat dalam pemberian kredit yang ditujukan untuk kepentingan pribadi
maupun untuk usahanya.

Sebagai salah satu penyedia dana bagi masyarakat, lembaga


pembiayaan berada dalam pengawasan Departemen Keuangan dan
mempunyai dasar Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang
Lembaga Pembiayaan. Pembiayaan konsumen merupakan badan usaha
Lembaga Keuangan Bukan Bank khusus didirikan untuk melakukan kegiatan
yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan. Lembaga
pembiayaan konsumen merupakan lembaga hukum perjanjian yang
perkembangannya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak sebagai asas
pokok dari hukum perjanjian, yang diatur dalam Pasal 1338 juncto Pasal 1320
KUHPerdata.

Terkadang suatu perjanjian pembiayaan konsumen tidak selalu dapat


berjalan lancar. Yang biasanya terjadi adalah tertundanya pemenuhan
kewajiban dari konsumen kepada pihak perusahaan pembiayaan, atau sering
disebut wanprestasi. Oleh karena itulah, perjanjian pembiayaan konsumen
yang dibuat oleh perusahaan pembiayaan selalu mengikutkan adanya
jaminan (fidusia). Hal ini dimaksudkan agar apabila terjadi masalah, misalnya
wanprestasi, eksekusinya dapat dengan mudah dilakukan, sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia (“UU Fidusia”), yang mengatur tentang eksekusi jaminan
fidusia.

Dalam melakukan eksekusi fidusia, seringkali banyak lembaga


pembiayaan yang melaksanakan penarikan objek secara sepihak. Penarikan
ini dilakukan tanpa melibatkan juru sita dari Pengadilan. Hal ini pula yang
seringkali menjadi permasalahan di lapangan antara lembaga pembiayaan
dengan konsumen. Salah satu tindakan eksekusi secara sepihak ini dapat
dilihat dari banyaknya kasus penarikan kendaraan secara paksa oleh lembaga
pembiayaan. Dalam kasus ini konsumen terlambat melakukan pembayaran
ditengah angsuran yang seharusnya berjalan. Lembaga pembiayaan
konsumen melalui pihak ketiga (debt collector) dengan sepihak melakukan
eksekusi terhadap objek jaminan yang bermasalah tersebut. Eksekusi yang
dilakukan oleh tenaga penagihan secara sepihak ini, tentu tidak sesuai dengan
asas perlindungan konsumen. Asas-asas itu berupa keamanan, keselamatan
konsumen dan kepastian hukum. Asas yang dimaksud sesuai dengan yang
tertera dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jaminan Fidusia

Sebelum dibahas lebih jauh tentang pengertian Jaminan Fidusia


hendaknya kita memahami dahulu mengenai pengertian
jaminan. Sebenarnya dalam literatur hukum tidak dikenal istilah hukum
jaminan, sebab kata recht dalam rangkaiannya
sebagai zakerheidsrechten berarti”hak”,sehingga zakerheidsrechten bera
rti hak-hak jaminan. Dengan demikian kalau mau merumuskan hukum
jaminan, maka dapat dikatakan sebagai ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur tentang jaminan pada umumnya, maksudnya jaminan tagihan
kreditur atas hutang debitur.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ketentuan umum tentang


jaminan diletakkan dalam Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138. Dalam
Pasal-Pasal tersebut diatur prinsip tanggung jawab seorang debitur terhadap
hutang-hutangnya dan juga kedudukan semua kreditur atas tagihan yang
dipunyai olehnya terhadap debiturnya. Dalam Pasal 2 ayat (1) Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari
1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengan
jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk
melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.

Jaminan adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai yang mudah


untuk diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk pembayaran
dari utang debitur berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat oleh kreditur dan
debitur. Selanjutnya Pasal 1 ayat (23) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan juga menyebutkan agunan adalah jaminan tambahan yang
diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa jaminan


sebagai sarana perlindungan bagi keamanan kreditur yaitu
memberikan kepastian akan pelunasan utang debitur sesuai dengan
perjanjian kredit. Jaminan dapat menutupi segala resiko terhadap
kemungkinan macetnya suatu kredit baik yang ada unsur kesengajaan atau
tidak. Oleh karena itu, selain benda yang menjadi objek jaminan kredit diikat
dengan asuransi tertentu dan harus juga didaftarkan pada pada Kantor
Pendaftaran Fidusia, penilaian jaminan kredit haruslah teliti jangan sampai
terjadi sengketa, palsu, dan sebagainya.

Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata "Fides", yang


berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini maka hubungan (hukum)
antara debitur (pemberi kuasa) dan kreditur (penerima kuasa) merupakan
hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Istilah fidusia sudah lama
dikenal dalam bahasa Indonesia dan merupakan istilah resmi dalam dunia
hukum di Indonesia. Undang-Undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 juga
menggunakan istilah ”fidusia”. Namun terkadang, untuk fidusia ini juga
dikenal dengan istilah ”Penyerahan Hak Milik Secara Kepercayaan”.
Dalam terminologi Belandanya sering disebut dengan Fiduciare Eigendom
Overdracht, sedangkan dalam bahasa Inggrisnya sering disebut dengan
istilah Fiduciary Transfer of Ownership.

Berkaitan dengan Fidusia dan Jaminan Fidusia, dalam Undang-Undang


Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan pengertian
mengenai masing-masing tersebut:
⚫ Pasal 1 butir 1:
“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya
dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.”

⚫ Pasal 1 butir 2:
“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda benda bergerak
baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak
bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam
penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.”
Perjanjian Jaminan Fidusia ini termasuk dalam perjanjian formil, karena
berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 bahwa
pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan Akta Notaris
dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia. Bahkan
akta tersebut wajib didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan kemudian baru
dikeluarkanlah Sertifikat Jaminan Fidusia.

Perjanjian pemberian jaminan fidusia sama seperti perjanjian


penjaminan lain, yang merupakan perjanjian yang bersifat accesoir,
sebagaimana ditegaskan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999,
berbunyi “Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian
pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu
prestasi.”

B. Pembebanan Jaminan Fidusia

Pembebanan objek Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam


bahasa Indonesia, akta yang dibuat oleh notaris tersebut merupakan akta
Jaminan Fidusia. Dalam Akta Jaminan Fidusia tersebut selain
dicantumkan hari dan tanggal juga dicantumkan mengenai waktu
(jam) pembuatan akta tersebut. Pasal 6 Undang-Undang Jaminan Fidusia
menyatakan bahwa pembebanan Jaminan Fidusia dilakukan dengan cara
berikut ini:
Dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia, Akta Jaminan sekurang-
kurangnya memuat:
1) Identitas para pemberi dan penerima fidusia;
2) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, yaitu mengenai macam-
macam perjanjian dan utang yang dijamin dengan fidusia;
3) Uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia;
4) Nilai penjaminan;
5) Nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

Berdasarkan pasal 8 UU Fidusia, jaminan fidusia dapat di berikan kepada lebih


dari satu kreditur secara bersama sama, misalnya dalam Perjanjian Kredit
Sidikasi. Sedangkan Pasal 17 UU Fidusia di tegaskan bahwa adanya larangan
tentang fidusia ganda.

C. Permohonan Pendaftaran Jaminan Fidusia

Berdasarkan pasal 11 UU Fidusia, maka Fidusia wajib di daftarkan ke


kantor pendaftaran Fidusia. Setelah pendaftaran maka akan di peroleh
Sertifikat jaminan Fidusia, hak fidusia lahir setelah pendaftarannya (Pasal 14
& Pasal 15 UU Fidusia).

Jaminan fidusia mengikuti benda yang di bebani jaminan fidusia , dalam


arti berpindahnya benda objek fidusia maka hak jaminan kebendaan yang
melekat juga ikut berpindah, dengan kata lain jaminan fidusia mengikuti benda
nya (Pasal 20 UU Fidusia).
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2015,
permohonan pendaftaran jaminan fidusia, permohonan perbaikan sertifikat
jaminan fidusia, permohonan perubahan sertifikat jaminan fidusia, dan
pemberitahun penghapusan sertifikat jaminan fidusia diajukan oleh penerima
fidusia, kuasa, atau wakilnya kepada Menteri melalui sistem pendaftaran
Jaminan Fidusa secara Elektronik.

Bahwa berdasarkan Pasal 4 PP Nomor 21 Tahun 2015, permohonan


pendaftaran jaminan idusia dapat diajukan dalam jangka waktu paling
kama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembuatan akta
jaminan fidusia. Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia yang telah
memenuhi ketentuan tersebut dibuktikan dengan diperolehnya bukti
pendaftaran.
Pembayaran atas biaya pendaftaran jaminan fidusia melalui bank
persepsi berdasarkan bukti pendaftaran. Setelah pemohon pendaftaran
melakukan pembayaran, maka pendaftaran jaminan fidusia akan dicatat
secara elektronik. Jaminan fidusia akan terbit pada tanggal yang sama
dengan tanggal jaminan fidusia dicatat (Pasal 7). Sertifikat jaminan
fidusia ditandatangani secara elektronik oleh pejabat Kantor
Pendaftaran Fidusia. Apabila terjadi kesalahan dalam pengisian data
permohonan pendaftaran jaminan fidusia yang diketahui setelah sertifikat
jaminan fidusia dicetak, penerima fidusia, kuasa atau wakilnya wajib
mengajukan permohonan perbaikan sertifikat jaminan fidusia kepada
Menteri, paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak sertifikat jaminan
fidusia terbit.

Biaya pendaftaran fidusia (Pasal 18) adalah sebagai berikut:

Nilai hutang sampai dengan Rp. 100 juta : 2,5 %


Nilai Hutang antara 100 juta sampai dengan 1 milyar : 1,5 %
Nilai hutang diatas 1 milyar : 1 %

Tujuan pendaftaran jaminan fidusia seperti yang diamanatkan oleh


Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia adalah (1)
untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang
berkepentingan; dan (2) untuk memberikan hak yang didahulukan
(referensi) kepada penerima fidusia terhadap kreditur yang lain karena
jaminan fidusia memberikan hak kepada penerima fidusia untuk tetap
menguasai benda yang menjadi objek jaminan fidusia berdasarkan
kepercayaan.

Hak kebendaan akan lahir saat pendaftaran Jaminan Fidusia sehingga


kreditor berubah menjadi kreditor separatis (Pasal 27 UU Fidusia),
kreditor separatis adalah kreditor yang memiliki semua hak istimewa yang
diberikan oleh Undang-Undang. Dengan adanya pendaftaran tersebut, pihak
penerima Jaminan Fidusia yaitu kreditor akan mendapatkan manfaat dan
keuntungan, maka pendaftaran Jaminan Fidusia wajib dilakukan oleh
penerima Jaminan Fidusia yaitu kreditor, sedangkan pihak debitor tidak ada
kepentingan dalam melakukan pendaftaran Jaminan Fidusia tersebut, akan
menjadi suatu keuntungan bagi pihak debitor apabila benda/objek jaminan
tidak didaftarkan oleh pihak kreditor.

D. Eksekusi Jaminan Fidusia

Semula eksekusi jaminan benda yang dijaminkan untuk pelunasan


utang tersebut, harus melalui gugatan ke Pengadilan Negeri. Eksekusi
dilakukan berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap. Eksekusi Jaminan Fidusia dengan cara seperti ini memerlukan waktu,
tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Karena itu, Undang-Undang Fidusia
memberikan pengecualian kreditor dapat melakukan eksekusi melalui
pelelangan umum atau dibawah tangan atas dasar kekuasaan sendiri.

Eksekusi Jaminan Fidusia, berdasarkan sertifikat jaminan Fidusia yang


dicantumkan kata-kata : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA” artinya mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Eksekusi jaminan fidusia diatur dalam Pasal 29 sampai dengan


Pasal 34 Undang-Undang Jaminan Fidusia. Berdasarkan Undang-Undang
Jaminan Fidusia tersebut, ada 3 (tiga) cara eksekusi jaminan fidusia,
yaitu: a. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia;
b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas
kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum;
c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan
kesepakatan pemberi dan penerima fidusia.
Pasal 30 UU Fidusia : Debitur wajib menyerahlan objek fidisia dalam rangka
eksekusi jaminan fidusia

Pasal 33 UU Fidusia: Perkanjian yang memberikan kewenangan kepada


Kreditur memiliki benda yang menajdi objek fiduisa dilarang.

Hapusnya Fidusia (Pasal 25 UU Fidusia) :


hapusnya hutang, pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia,
dan musnah nya benda objek jaminan fidusia.

E. Akibat Hukum Terhadap Benda Jaminan Fidusia yang Tidak Didaftarkan

Suatu objek jaminan fidusia yang tidak didaftarkan maka akan


menimbulkan suatu resiko tertentu, salah satunya adalah eksekusi tidak dapat
dilakukan karena syarat dalam eksekusi harus adanya sertifikat jaminan fidusia
yang didapatkan pada saat pendaftaran jaminan fidusia. Hal ini juga sesuai ketentuan
pada Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia yang mengatakan bahwa
benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan.

Dengan tidak didaftarkannya objek jaminan fidusia, lembaga


pembiayaan tidak dapat melaksanakan penarikan objek secara sepihak.
Pengambilan paksa objek jaminan oleh lembaga pembiayaan menggunakan
jasa pihak ke tiga (debt collector) merupakan perbuatan yang melawan
hukum.

F. Perlindungan Konsumen Terhadap Eksekusi Jaminan Fidusia

Berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia,


adanya hak eksekusi atau kekuatan eksekutorial adalah pelaksananaan eksekusi
yang langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final
serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Tentunya
mengenai aturan tersebut banyak masyarakat belum mengetahui dan hanya pasrah
jika pelaku usaha atau debt collector mengambil objek jaminan secara paksa.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen


(UUPK) mengatur bahwa konsumen berhak mendapatkan perlindungan
hukum jika terjadi cidera janji yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam hal ini atas
pengambilan paksa kendaraan konsumen yang belum jatuh tempo. Bentuk
Perlindungan hukum Preventif bagi konsumen terdapat dalam UUPK dimana
mengatur mengenai hak dan kewajiban dari konsumen dan pelaku usaha,
selain itu dalam UUPK diatur pula mengenai batasan-batasan dari tindakan konsumen
dan pelaku usaha untuk mencegah timbulnya kerugian bagi salah satu pihak.
Selanjutnya Perlindungan Represif merupakan perlindungan akhir berupa
sanksi seperti denda, penjara, dan hukum tambahan yang diberikan apabila sudah
terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Mengenai perlindungan
hukum represif bagi pihak konsumen dan pelaku usaha telah diatur dalam Pasal 45
UUPK yang menyatakan, “Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh
melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela
para pihak yang bersengketa”.

Pasal 5 Undang-Undang No.42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang


pada intinya jika konsumen tidak mampu membayar maka kreditur diberikan kuasa
untuk mengambil kendaraan dimanapun dan kapanpun yang kemudian ditanda
tangani oleh konsumen. Kita mengenal lembaga pembiayaan yakni sebagai badan
usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau
barang modal. Lembaga Pembiayaan merupakan alternatif pembiayaan diluar
perbankan yang lebih dapat disesuaikan dengan kebutuhan riil di
masyarakat bisnis. Dalam pengambilan kendaraan bermotor jika sudah ada
perjanjian fidusia, kemudian dibuatkan akte notarisnya bahwa jelas dalam hal ini
kreditur sudah memenuhi aturannya dalam penarikan kendaraan. Tetapi dalam
kenyataannya kebanyakan pihak kreditur tidak mematuhi aturan-aturan tersebut
seperti tidak menyertakan jaminan fidusianya bahkan ada juga yang diduga palsu
dalam pengambilan kendaraan.

Merupakan salah satu kewajiban jika pelaku usaha untuk senantiasa beritikad
baik dalam melakukan suatu kegiatan usahanya sebagaimana yang diamanatkan
dalam pasal 7 huruf a UUPK, hal ini bertujuan untuk menjaga iklim usaha yang sehat
serta tetap menjaga agar konsumen tidak dirugikan.

Pada dasarnya jika benda jaminan fidusia berkaitan dengan kendaraan yang
tidak didaftarkan dan tidak adanya sertifikat jaminan fidusia maka akibatnya
langsung kepada penerima fidusia (perusahaan pembiayaan). Berdasarkan Pasal 5
Peraturan Menteri Keuangan RI No.130/PMK/0.10/2012 menjelaskan mengenai
akibat hukum apabila perusahaan pembiayaan melanggar ketentuan seperti tidak
mendaftarkan jaminan fidusia.

Daftar Riwayat Hidup

JAMASLIN JAMES PURBA, S.H., M.H.

Alamat
Law Firm JAMES PURBA & PARTNERS
Wisma Nugra Santana, 12th Floor, Suite 1205
Jalan Jenderal Sudirman Kav. 7-8
Jakarta 10220 INDONESIA
Telephone : (62-21) 570 3844
Facsimile : (62-21) 570 3846
Mobile : 0811978778
Email : jameslaw@cbn.net.id

PERSONAL DATA

Nama : JAMASLIN JAMES PURBA, S.H., M.H.


Tempat & tanggal lahir : Pematang Siantar, 10 Desember 1967
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen

RIWAYAT PENDIDIKAN
Tahun 1992 : Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
dengan predikat Cum Laude.
Tahun 2013 : Lulus Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

RIWAYAT PEKERJAAN

• Tahun 1993 :
Junior lawyer pada Law Firm GEORGE WIDJOJO & PARTNERS, Jakarta
• Tahun 1994-1996 :
Associate lawyer at LAW FRIM AMROOS & PARTNERS, JAKARTA
• Tahun 1996 - 1999 :
Senior associate lawyer pada Law Firm MAKARIM & TAIRA S., Jakarta
• Tahun 1999 -2002 :
Senior Litigation Lawyer pada Law Firm HOTMAN PARIS & PARTNERS Jakarta
• December 2002:
Mendirikan Law Firm JAMES PURBA & PARTNERS

Pengalaman Organisasi:
- Ketua DPC Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Jakarta Pusat (2010-2013)
- Pengurus Dewan Pimpinan Pusat AAI (2010-2015)
- Ketua DPC PERADI JAKARTA PUSTA (2013-2018)
- Pengurus Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PERADI bidang Organisasi
(2010-2015)
- Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PERADI (2015-2020)
- Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) (2013-
2019)
- Sekretaris Umum Keluarga Alumni FH UGM (KAHGAMA 2018-2023)

Anda mungkin juga menyukai