Anda di halaman 1dari 16

PERAN DEWAN SYARIAH NASIONAL DAN DEWAN PENGAWAS

SYARIAH DALAM KEGIATAN USAHA PERBANKAN SYARIAH


Makalah ini dibuat untuk memenuhi komponen Mata Kuliah NAMA
asdas asdas asdas asdas asdas asdas asdas asdas asdas

MATA KULIAH asdas

Oleh:
NAMA
NIM KAMU asdas

FAKULTAS HUKUM asdas

UNIVERSITAS KRISNADWIPAYANA
asdas

BEKASI
2021
I. LATAR BELAKANG

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur


keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Bank Muamalat sebagai bank syariah
pertama dan menjadi pionir bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan
sistem ini ditengah menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi
pada tahun 1998 telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang
dilikuidasi karena kegagalan sistem bunganya. Sementara perbankan yang
menerapkan sistem syariah dapat tetap eksis dan mampu bertahan. Di tengah-tengah
krisis keuangan global yang melanda dunia pada penghujung akhir tahun 2008,
lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis.
Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan,
kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat
berharga, peminjam dan para penyimpan dana di bankbank syariah. Hal ini dapat
dibuktikan dari keberhasilan bank Muamalat melewati krisis yang terjadi pada tahun
1998 dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan tidak menerima
bantuan apapun dari pemerintah dan pada krisis keuangan tahun 2008, Bank Muamalat
bahkan mampu memperoleh laba lebih dari Rp 300.000.000.000,- (tiga ratus miliar
Rupiah).

Perbankan syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk


menunjukkan bahwa perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu
tumbuh dengan signifikan. Oleh karena itu perlu langkah-langkah strategis untuk
merealisasikannya. Langkah strategis pengembangan perbankan syariah yang telah di
upayakan adalah pemberian izin kepada Bank Umum Konvensional untuk membuka
kantor cabang Unit Usaha Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank konvensional
menjadi bank syariah.1 Langkah strategis ini merupakan respon dan inisiatif dari
Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan dari
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (“UU Perbankan”). UU Perbankan mengatur

1
Ibid.
dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan
diimplementasikan oleh Bank Syariah. Bank Islam atau di Indonesia disebut bank
syariah merupakan lembaga keuangan yang berfungsi memperlancar mekanisme
ekonomi di sektor riil melalui aktivitas kegiatan usaha (investasi, jual beli, dan
sebagainya) berdasarkan prinsip syariah yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum
Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang
dinyatakan sesuai dengan nilai-nilai syariah yang bersifat makro dan mikro. Bank
Syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Adapun
pengertian lain dari Bank Syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara
bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha,
atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.

Dalam perbankan di Indonesia yang diatur dalam UU Perbankan disebutkan


bahwa bank umum merupakan lembaga keuangan yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa prinsip
syariah adalah peraturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara pihak bank
dengan pihak lain untuk penyimpanan dana, pembiayaan atau kegiatan lainnya yang
dinyatakan sesuai dengan syariah. Berdasarkan UU Perbankan, bank syariah berarti
bank yang tata cara operasionalnya didasari dengan tata cara Islam yang mengacu
pada ketentuan Al-Quran dan Al Hadits. Prinsip utama yang diikuti oleh bank syariah
adalah:2 (i) larangan riba dalam berbagai bentuk transaksi; (ii) melakukan kegiatan
usaha dan perdagangan berdasarkan perolehan keuntungan yang sah; dan (iii)
memberikan dan mengeluarkan zakat. Ciri-ciri bank syariah adalah sebagai berikut: 3
a. Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian diwujudkan
dalam bentuk jumlah nominal, yang angka besarnya tidak kaku dan dapat dilakukan

2
Andri soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, edisi pertama (Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup), hlm. 24
3
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Ekonosia-FE,2003), hlm.
41
dengan kebebasan untuk tawar menawar dalam batas wajar. Beban biaya tersebut
hanya dikenakan sampai batas waktu sesuai dengan kesempatan dalam kontrak.
b. Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu
dihindari, karena persentase bersifat melekat pada sisa utang meskipun batas waktu
perjanjian telah berakhir.
c. Di dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank syariah tidak menerapkan
perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti yang ditetapkan di muka, karena
pada hakikatnya yang mengetahui tentang ruginya suatu proyek yang dibiayai bank
hanyalah Allah semata.
d. Pengarahan dana masyarakat dalam bentuk deposito tabungan oleh penyimpanan
dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai penyertaan dana pada
proyek=proyek yang dibiayai bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah
sehingga pada penyimpan tidak dijanjikan imbalan yang pasti.
e. Dewan Pengawas Syariah (“DPS”) bertugas untuk mengawasi operasionalisasi
bank dari sudut syariahnya. Selain itu manajer dan pimpinan bank Islam harus
menguasai dasar-dasar muamalah Islam.
f. Fungsi kelembagaan Bank Syariah selain menjembatani antara pihak pemilik modal
dengan pihak yang membutuhkan dana, juga mempunyai fungsi khusus yaitu fungsi
amanah artinya berkewajiban untuk menjaga dan bertanggung jawab atas
keamanan dana yang disimpan dan siap sewaktu-waktu apabila dana diambil
pemiliknya.

Keberadaan perbankan syariah tidak terlepas dari sebagian masyarakat yang


menginginkan sistem perekonomian Islam dalam aktivitas keuangannya. Tujuannya
adalah mencapai kesejahteraan atau taraf hidup yang memungkinkan masyarakat
melaksanakan akidah syariat Islam dengan cara yang lebih baik. keragu-raguan yang
umumnya dirasakan oleh umat Islam pada perbankan konvensional adalah imbalan
jasa dengan sistem bunga bank, karena bunga berdasarkan prinsip Islam dan agama-
agama wahyu sebelum Islam dinilai haram. Semua aktivitas usaha yang berdasarkan
sistem perekonomian Islam mempunyai karakteristik sebagai berikut: 4 (i) bersifat
4
Ade Arthesa dan Edia Handiman, Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, (Jakarta: PT
Indeks kelompok Gramedia, 2006), hlm. 78
mandiri; (ii) sesuai dengan syariat Islam; (iii) produk yang dihasilkan dapat memenuhi
semua kebutuhan masyarakat; (iv) berprinsip mencari keuntungan; (v) menerapkan
fungsi efisien dan manfaat dengan menjaga kelestarian lingkungan.

Istilah perikatan yang digunakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


(KUH Perdata), dalam Islam dikenal dengan “akad”. Jumhur Ulama mendefinisikan
akad sebagai “pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang
menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya”. Dalam istilah fiqh, secara umum akad
berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul
dari satu pihak seperti wakaf, talak dan sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak
seperti jual beli, sewa, wakalah dan gadai. Secara khusus akad berarti keterangan
antara ijab (pertanyaan penawaran/pemindahan kepemilikan) dan qabul (pertanyaan
penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh (ada
sesuatu). Dalam melaksanakan suatu perikatan Islam harus memenuhi rukun dan
syarat yang sesuai dengan hukum Islam. Rukun adalah suatu unsur yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan
sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu. Sedangkan
syarat adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’I dan ia
berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadannya menyebabkan hukum pun tidak ada.
Adapun rukun dalam akad yang lain itu ada tiga, yaitu: (i) pelaku akad; (ii) objek akad;
dan (iii) shighat atau pernyataan pelaku akad, yaitu ijab dan qabul.

Pelaku akad haruslah orang yang mampu melakukan akad untuk dirinya (ahliyah)
dan mempunyai otoritas syariah yang diberikan pada seseorang untuk merealisasikan
akad sebagai perwakilan dari (wilayah). Objek akad harus ada ketika terjadi akad, harus
sesuatu yang disyariatkan, harus bisa diserahterimakan ketika terjadi akad, dan harus
sesuatu yang jelas antara dua pelaku akad. Sementara itu, ijab qabul harus jelas
maksudnya, sesuai antara ijab dan qabul, dan bersambung antara ijab dan qabul.
Beberapa unsur dalam akad yang kemudian dikenal sebagai rukun tersebut masing-
masing membutuhkan syarat agar akad dapat terbentuk dan mengikat antara pihak.
Beberapa syarat tersebut meliputi:5
a. Syarat terbentuknya akad, dalam Hukum Islam syarat ini dikenal dengan nama al-
syuruth al-in’iqad. Syarat in’iqad ada yang umum dan khusus. Syarat umum harus
selalu ada pada setiap akad, seperti syarat yang harus ada pada pelaku akad, objek
akad dan shighah akad, akad bukan pada sesuatu yang diharamkan, dan akad pada
sesuatu yang bermanfaat. Sementara itu, syarat khusus merupakan sesuatu yang
harus ada pada akad-akad tertentu, seperti syarat minimal dua saksi pada akad
nikah.
b. Syarat keabsahan akad adalah syarat tambahan yang dapat mengabsahkan akad
setelah in’iqad tersebut dipenuhi. Adapaun pengertian lain yaitu syarat yang
diperlukan secara syariah agar aka berpengaruh, seperti dalam akad perdagangan
harus bersih dari cacat. Apabila sebuah akad tidak memenuhi empat syarat
tersebut, meskipun rukun dan syarat in’iqad sudah terpenuhi, akad tidak syah dan
disebut sebagai akad fasid. Menurut ahli hukum Hanafi, akad fasid adalah akad
yang menurut syara’ syah pokoknya, tetapi tidak syah sifatnya. Maksudnya adalah
akad yang telah memenuhi rukun dan syarat terbentuknya, tetapi belum memenuhi
syarat keabsahannya.
c. Syarat nafadz ada dua yaitu kepemilikan (barang dimiliki oleh pelaku dan berhak
menggunakannya) dan wilayahnya.
d. Syarat lazim yaitu bahwa akad harus dilaksanakan apabila tidak ada cacat.

Akad atau transaksi yang digunakan bank syariah dalam operasinya terutama
diturunkan dari kegiatan mencari keuntungan (tijarah) dan sebagian dari kegiatan tolong
menolong (tabarru’). Turunan dari tijarah kontrak bagi hasil dengan segala variasinya.
Cakupan akad yang akan dibahas meliputi akad perniagaan (Al-Bai) yang umum
digunakan untuk produk bank syariah. Pembatalan akad dapat dilakukan apabila: (i)
jangka waktu akad telah berakhir; (ii) salah satu pihak menyimpang dari apa yang
diperjanjikan; dan (iii) jika ada bukti kelancangan dan bukti pengkhianatan (penipuan).

5
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm. 34
II. RUMUSAN MASALAH

Sebagaimana telah dinyatakan dalam latar belakang di atas mengenai ciri-ciri


bank syariah, dalam bank syariah dibentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang
bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syariahnya. Selain itu,
terdapat juga Dewan Syariah Nasional (“DSN”) yang juga memiliki peran dan tanggung
jawab atas berjalannya kegiatan usaha bank syariah di Indonesia. Dalam tulisan ini
akan dibahas lebih mendalam mengenai peran DSN dan DPS dalam pelaksanaan
kegiatan usaha bank syariah.

III. PEMBAHASAN

Dewan Syariah Nasional (DSN)


DSN didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (“MUI”) sebagai lembaga yang
memiliki kewenangan dalam bidang keagamaan yang berhubungan dengan
kepentingan umat Islam Indonesia. DSN berdiri pada tanggal 10 Februari 1999 sesuai
dengan Surat Keputusan (SK) MUI Nomor Kep-754/MUI/II/1999. Lembaga DSN MUI ini
merupakan lembaga yang memiliki otoritas kuat dalam penentuan dan penjagaan
penerapan prinsip syariah dalam operasional di lembaga keuangan syariah, baik
perbankan syariah, asuransi syariah dan lain-lain. Hal ini sebagaimana termuat dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU Perbankan
Syariah”) pasal 32 maupun Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (“UUPT”) pasal 109 yang pada intinya bahwa DPS wajib dibentuk di bank
syariah maupun perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah. DSN dibentuk oleh MUI yang bertugas dan memiliki wewenang untuk
memastikan kesesuaian antara produk jasa, dan kegiatan usaha lembaga keuangan
syariah (bank, asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya) dengan prinsip
syariah. Ada tiga hal yang melatarbelakangi pembentukan DSN, yaitu: 6

Veithzal Rivai, dkk. Islamic Banking Sistem Bank Islam Bukan Hanya Solusi Mengahadi Krisis
6

Namun Solusi Dalam Menghadapi Berbagai Persoalan Perbankan & ekonomi Gobal. Jakarta: Bumi
Akasara, 2010. hlm. 755
a. Mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai masalah perekonomian dan mendorong
penerapan ajaran Islam dalam bidang perekonomian yang dilaksanakan sesuai
dengan tuntutan syariat Islam.
b. Efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan
dengan masalah ekonomi.
c. Mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi dan keuangan.

Fungsi utama DSN adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah


agar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Untuk itu DSN membuat guidelines
produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Fungsi lain DSN adalah
meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga
keuangan syariah. Selain itu juga DSN mempunyai kewenangan di antaranya: 7
a. Memberikan dan mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai
anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada suatu lembaga keuangan syariah.
b. Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS di masing-masing lembaga keuangan
syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait.
c. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan hukum bagi ketentuan yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti bank Indonesia dan badan
pengembangan pasar modal (BAPEPAM).
d. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan
penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN.
e. Mengusulkan kepada pihak yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila
peringatan tidak diindahkan.

Menurut keputusan DSN Nomor 01 Tahun 2000 tentang Pedoman Dasar MUI,
DSN bertugas sebagai berikut:8
a. Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian
pada umumnya dan keuangan khususnya.
b. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.

7
R. Ilyas, Peran Dewan Pengawas Syariah Dalam Perbankan Syariah. JPS (Jurnal Perbankan
Syariah), 2 (1), 2021, hlm 45-46
8
Ibid. hlm. 46
c. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan.
d. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.

Selain itu juga DSN mempunyai wewenang sebagai berikut: 9


a. Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS di masing-masing lembaga keuangan
syariah dan menjadi dasar tindakan hukum terkait.
b. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti departemen keuangan dan Bank
Indonesia.
c. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan
duduk sebagai DPS pada suatu lembaga keuangan syariah (LKS).
d. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam
pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam
maupun luar negeri.
e. Memberikan peringatan kepada LKS untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa
yang telah dikeluarkan oleh DSN.
f. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila
peringatan tidak diindahkan.

Di Indonesia, otoritas masalah keagamaan berada di bawah MUI, begitu pula


masalah yang berkaitan dengan dewan syariah. Dengan berkembangnya LKS,
berkembang pula jumlah DPS yang berada pada masing-masing LKS. Hal ini sering kali
menimbulkan munculnya fatwa yang berbeda-beda antara DPS di satu LKS dengan
DPS di LKS lainnya. Untuk mengeluarkan sebuah fatwa, MUI membentuk komisi fatwa.
Komisi ini menganalisis permasalahan yang akan difatwakan dengan merujuk pada Al-
Qur’an dan Hadits, pendapat empat Imam mazhab serta pendapat para ulama
terdahulu. Dalam memberikan fatwa tersebut, DSN tidak boleh dipengaruhi atau
terpengaruh oleh lembaga manapun. Independen diperlukan agar fatwa yang dihasilkan
benar-benar sesuai dengan ketentuan syariah dan dapat menjaga objektivitas dari
pembuatan fatwa-fatwa yang dikeluarkan DSN. Dewan Syariah bertugas untuk

9
Ibid. hlm. 46
menggali, mengkaji dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syariah)
untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga-lembaga keuangan
syariah serta mengawasi pelaksanaan dan implementasinya. Anggota lembaga adalah
para ahli hukum Islam serta praktisi ekonomi, terutama sektor keuangan, baik bank
maupun non-bank yang berfungsi untuk menjalankan tugas-tugas MUI. Dalam
pelaksanaannya, lembaga ini dibantu dengan badan pelaksana harian (BPH-DSN) yang
melakukan penelitian, penggalian dan pengkajian masalah-masalah yang berkaitan
dengan perbankan syariah.
Setelah dianggap cukup memadai, hasil kajian itu dituangkan dalam bentuk
rancangan fatwa DSN. Rancangan fatwa DSN ini selanjutnya dibawa dalam rapat pleno
pengurus DSN untuk dibahas. Kemudian diputuskan menjadi fatwa DSN. Finalisasi
fatwa ini terutama dari aspek redaksional, ditandatangani oleh penyusun dari BPH-
DSN. Sampai saat ini DSN telah mengeluarkan fatwa yang meliputi produk perbankan
syariah, lembaga keuangan non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta
berbagai fatwa penunjang transaksi-transaksi lainnya yang ada pada lembaga
keuangan syariah.

Dewan Pengawas Syariah (DPS)


Pada dasarnya DPS melanjutkan perpanjangan tangan DSN dalam
merealisasikan fatwa yang telah diputuskan oleh DSN. DPS berperan sebagai
pengawas dari lembaga keuangan syariah yang mengawasi setiap operasional
kegiatan pebankan syariah baik itu bank syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah
dan lain-lain, sehingga semua lembaga keuangan syariah dapat berjalan sesuai dengan
tuntutan syariat Islam. DPS tidak terlibat secara langsung dalam pelaksanaan
manajemen lembaga keuangan syariah, karena hal ini sudah menjadi tanggung jawab
langsung di bawah wewenang Direksi suatu lembaga keuangan syariah. DPS berhak
memberikan masukan kepada pihak pelaksana lembaga keuangan syariah. DPS
adalah badan independen yang terdiri dari para pakar syariah muamalah yang juga
memiliki pengetahuan dalam bidang perbankan yang ada di lembaga keuangan
syariah dan bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan DSN pada lembaga
keuangan syariah tersebut. DPS merupakan badan independen, sehingga untuk
menjamin mengeluarkan pendapat maka harus diperhatikan beberapa hal: 10
a. DPS bukan staf bank, dalam arti bahwa mereka tidak tunduk dibawah kekuasaan
administratif.
b. DPS dipilih oleh rapat umum pemegang saham (RUPS).
c. Honorarium DPS ditentukan oleh RUPS.
d. DPS mempunyai sistem kerja dan tugas-tugas tertentu seperti halnya badan
pengawas lainnya.

DPS memiliki peran penting dan strategis dalam penerapan prinsip syariah di
perbankan syariah. DPS bertanggung jawab untuk memastikan semua produk dan
prosedur bank syariah sesuai dengan prinsip syariah. Karena pentingnya peran DPS
ini, maka dua undang-undang di Indonesia mencantumkan keharusan adanya DPS di
perusahaan syariah dan lembaga perbankan syariah, yaitu UUPT dan UU Perbankan
Syariah. Dengan demikian, secara yuridis, DPS di lembaga perbankan menduduki
posisi yang kuat, karena keberadaannya sangat penting dan strategis. Peran utama
para ulama dalam DPS adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar
selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi
yang berlaku dalam bank syariah sangat khusus jika dibanding bank konvensial.
Karena itu, diperlukan garis panduan ini disusun dan ditentukan oleh DSN. Prinsip
syariah merupakan acuan utama bagi DSN dalam menyusun fatwa terkait aktivitas
keuangan berbasis syariah yang ditujukan bagi industri keuangan syariah. Tidak hanya
itu, adanya prinsip syariah digunakan untuk mengakomodasi DPS dalam pengawasan
kepada industri keuangan syariah baik bank (IKBS) maupun nonbank (IKNB). Karena
setiap industri keuangan syariah baik bank maupun nonbank diwajibkan memiliki dewan
pengawas, yang secara otomatis baik industri keuangan syariah bank maupun non-
bank terikat dengan adanya aturan-aturan syariah sebagaimana yang telah ditetapkan,
hal ini dinamakan dengan kepatuhan syariah (syariah compliance).
Menurut Pasal 109 UUPT, Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai dewan komisaris wajib mempunyai DPS.

10
Ibid. hlm. 47
DPS sebagaimana dimaksud terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat
oleh RUPS atas rekomendasi MUI. DPS bertugas memberikan nasihat dan saran
kepada Direksi serta mengawasi kegiatan perseroan agar sesuai dengan prinsip
syariah. Perusahaan yang berbadan hukum perseroan terbatas wajib mempunyai DPS.
Sejalan dengan itu, Pasal 32 UU Perbankan Syariah menyebutkan bahwa DPS wajib
dibentuk di bank syariah dan bank umum konvensional yang memiliki UUS. DPS
sebagaimana dimaksud diangkat oleh RUPS atas rekomendasi MUI. DPS bertugas
memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar
sesuai dengan prinsip syariah. Menurut Pasal 21 Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/24/PBI/2004 anggota DPS wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Integritas, yaitu: (i) memiliki akhlak dan moral yang baik, (ii) memiliki komitmen untuk
mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, (iii) memiliki komitmen
yang tinggi terhadap pengembangan operasional bank yang sehat, (iv) tidak
termasuk dalam daftar tidak lulus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
bank Indonesia.
b. Kompetensi, yaitu memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah
muamalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan atau keuangan secara
umum.
c. Reputasi keuangan yaitu pihak-pihak yang tidak termasuk dalam kredit/pembiayaan
macet dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu persoalan dinyatakan pailit dalam waktu 5
(lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan.

Berdasarkan keputusan pimpinan MUI tentang susunan pengurus DSN-MUI


Nomor Kep-98/MUI/III/2001, DPS menjalankan fungsi-fungsi sebagai berikut: (i)
sebagai penasihat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan kantor cabang syariah
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan aspek syariah; (ii) sebagai mediator antara
bank dengan DSN dalam mengomunikasikan usul dan saran pengembangan produk
dan jasa bank memerlukan kajian dan fatwa dari DSN; (iii) sebagai perwakilan DSN
yang ditempatkan pada bank-bank syariah. Tugas DPS, antara lain: 11
11
Mawaddah Irham, “Analisi Persepsi Dosen Terhadap Perbankan Syariah (Studi Kasus Dosen
Fakultas Ekonomi UMN)”, AT-TAWASSUTH: Jurnal Ekonomi Islam IV (2): 2019. 447
a. Mengawasi jalannya lembaga keuangan syariah sehari-hari agar senantiasa sesuai
dengan ketentuan-ketentuan syariah,
b. Membuat pernyataan secara berkala bahwa lembaga keuangan syariah yang
diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah,
c. Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari lembaga keuangan syariah
yang diawasinya.
d. Bersama komisaris dan direksi mengawal dan menjaga penerapan nilai-nilai Islam
dalam setiap aktivitas yang dilakukan oleh lembaga keuangan syariah.
e. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang lembaga keuangan syariah
melalui media-media yang sudah ada dan berlaku di masyarakat.

Untuk melakukan pengawasan tersebut, anggota DPS harus memiliki kualifikasi


keilmuan yang integral, yaitu ilmu figh muamalah dan ilmu ekonomi keuangan Islam
modern. Kesalahan besar perbankan syariah saat ini adalah mengangkat DPS karena
kharisma dan kepopulerannya di tengah masyarakat, bukan karena keilmuannya di
bidang ekonomi dan perbankan syariah. Dalam struktur perusahaan. DPS berada
setingkat dengan fungsi komisaris sebagai pengawas direksi. Jika fungsi komisaris
adalah pengawas dalam kaitan dengan kinerja manajemen, maka DPS melakukan
pengawasan pada manajemen dalam kaitan dengan implementasi sistem dan produk-
produk agar tetap sesuai dengan syariah Islam. Bertanggungjawab atas pembinaan
akhlak seluruh karyawan berdasarkan sistem pembinaan keislaman yang telah
diprogramkan setiap tahunnya. Ikut mengawasi pelanggaran nilai-nilai Islam di
lingkungan perusahaan tersebut. Bertanggungjawab atas seleksi syariah terhadap
penerimaan karyawan baru yang dilaksanakan oleh sekretaris DPS.

DSN tidak dapat membubarkan DPS, tetapi hanya mengajukan kepada RUPS
untuk membubarkan DPS, jika tidak melakukan tugasnya dengan baik. Apabila terjadi
penyimpangan di DPS, maka bank Indonesia dalam hal ini direktur melaporkan kepada
DSN dan kemudian DSN akan merekomendasikan kepada RUPS agar
memberhentikan DPS. Adapun fenomena yang terjadi saat ini praktik pengawasan
pada bank-bank syariah di Indonesia merupakan peran vital DPS tetapi belum berjalan
secara optimal, bahkan sangat jauh dari peran yang semestinya mereka jalankan.
Fenomena ini tidak saja di lembaga bank perkreditan rakyat syariah, tetapi juga di bank
umum syariah. Banyak diantaranya DPS yang tidak berperan atau belum berperan
sama sekali dalam mengawasi operasional perbankan syariah. Tantangan yang
dihadapi oleh DPS baik di Indonesia maupun negara-negara muslim lainnya adalah
bagaimana menyatukan berbagai pandangan dari ulama yang kadang kala berbeda
satu sama lainnya. Dalam Islamic Financial Forum di Bahrain pada Desember 1998,
permasalahan kesatuan fatwa ulama global (seluruh negara-negara Muslim) sempat
didiskusikan. Tetapi dengan pertimbangan terdapatnya kompleksitas pendapat serta
adanya berbagai mazhab dalam Islam, maka pembentukan International Syariah Board
masih berupa agenda, di mana sangat penting untuk ditindaklanjuti.

IV. PENUTUP

DPS adalah badan independen yang terdiri dari para pakar syariah muamalah
yang juga memiliki pengetahuan dalam bidang perbankan yang ada di lembaga
keuangan syariah dan bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan DSN pada
lembaga keuangan syariah tersebut. Posisi DPS adalah sejajar dengan dewan
komisaris, karena harus mendapat persetujuan RUPS dan mewakili kepentingan RUPS
dari segi pengawasan kesyariahan. Jadi keduanya sama-sama bertanggungjawab
kepada RUPS. Selain itu perlu dipertimbangkan mengenai honorarium para anggota
DPS bila dianggap sejajar dengan anggota dewan komisaris, berarti imbalan yang
diberikan juga seharusnya sama. DPS memiliki peran penting dan strategis dalam
penerapan prinsip syariah di perbankan syariah. DPS bertanggung jawab untuk
memastikan semua produk dan prosedur bank syariah sesuai dengan prinsip syariah.
Karena pentingnya peran DPS ini, maka dua undang-undang di Indonesia
mencantumkan keharusan adanya DPS di perusahaan syariah dan lembaga perbankan
syariah, yaitu UUPT dan UU Perbankan Syariah. Dengan demikian, secara yuridis,
DPS di lembaga perbankan menduduki posisi yang kuat, karena keberadaannya sangat
penting dan strategis. Peran utama para ulama dalam DPS adalah mengawasi jalannya
operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah.
Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank syariah sangat khusus jika
dibanding bank konvensial. Karena itu, diperlukan garis panduan ini disusun dan
ditentukan oleh DSN.
Daftar Pustaka

Ade Arthesa dan Edia Handiman, Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, (Jakarta:
PT Indeks kelompok Gramedia, 2006).

Andri soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, edisi pertama (Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup).

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Ekonosia-


FE,2003).

R. Ilyas, Peran Dewan Pengawas Syariah Dalam Perbankan Syariah. JPS (Jurnal
Perbankan Syariah), 2 (1), 2021.

Mawaddah Irham, “Analisi Persepsi Dosen Terhadap Perbankan Syariah (Studi Kasus
Dosen Fakultas Ekonomi UMN)”, AT-TAWASSUTH: Jurnal Ekonomi Islam IV (2):
2019.

Veithzal, Rivai, dkk. Islamic Banking Sistem Bank Islam Bukan Hanya Solusi
Mengahadi Krisis Namun Solusi Dalam Menghadapi Berbagai Persoalan
Perbankan & ekonomi Gobal. Jakarta: Bumi Akasara, 2010.

Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009).

Anda mungkin juga menyukai