Anda di halaman 1dari 15

NAMA : Ryan Dwitama Hutadjulu

NPM : 110120200525

UTS METODE PENELITIAN DAN PENULISAN HUKUM

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN PRINSIP RULE OF REASON

TERHADAP PRAKTIK MONOPOLI TERKAIT KEPEMILIKAN SILANG

SAHAM YANG DILAKUKAN OLEH HOLDING COMPANY DITINJAU

DARI UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN

PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

A. Latar Belakang

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dan merupakan

kebutuhan pokok dalam kehidupan, karena manusia membutuhkan

interaksi dan komunikasi dengan manusia lain. Oleh karena itu,

ketersediaan kemudahan berkomunikasi sangat dibutuhkan

masyarakat. Untuk itulah diperlukan adanya sistem komunikasi yang

mampu memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Hak atas informasi

dan komunikasi dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 F

(Amandemen keempat UUD 1945) yang menyatakan bahwa setiap

orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk

mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan


menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran

yang tersedia.

Berdasarkan Penjelasan atas RPJP Tahun 2005-2025,

persaingan yang makin tinggi pada masa yang akan datang menuntut

peningkatan kemampuan dalam penguasaan dan penerapan Iptek

dalam rangka menghadapi perkembangan global menuju ekonomi

berbasis pengetahuan. Dalam rangka meningkatkan kemampuan Iptek

nasional, tantangan yang harus dihadapi adalah meningkatkan

kontribusi Iptek untuk meningkatkan kemampuan dalam memenuhi

hajat hidup bangsa; menciptakan rasa aman; memenuhi kebutuhan

kesehatan dasar, energi, dan pangan; memperkuat sinergi kebijakan

Iptek dengan kebijakan sektor lain; mengembangkan budaya Iptek di

kalangan masyarakat; meningkatkan komitmen bangsa terhadap

perkembangan Iptek; mengatasi degradasi fungsi lingkungan;

mengantisipasi dan menanggulangi bencana alam; serta

meningkatkan ketersediaan dan kualitas sumber daya Iptek, baik SDM,

sarana dan prasarana, maupun pembiayaan Iptek.

Era globalisasi, kemajuan teknologi, dan tuntutan kebutuhan

masyarakat yang makin meningkat untuk mendapatkan akses

informasi menuntut adanya penyempurnaan dalam hal

penyelenggaraan pembangunan pos telematika. Oleh karena itu, perlu

adanya integrasi antara pendidikan dan teknologi informasi serta

sektor-sektor srategis lainnya, walaupun pembangunan pos dan


telematika saat ini telah mengalami berbagai kemajuan, informasi

masih merupakan barang yang dianggap mewah dan hanya dapat

diakses dan dimiliki oleh sebagian kecil masyarakat. Oleh sebab itu,

tantangan utama yang dihadapi dalam sektor itu adalah meningkatkan

penyebaran dan pemanfaatan arus informasi dan teledensitas

pelayanan pos telematika masyarakat pengguna jasa. Tantangan lain

adalah konvergensi teknologi informasi dan komunikasi yang

menghilangkan sekat antara telekomunikasi, teknologi informasi,

penyiaran, pendidikan, dan etika moral.

Dengan didirikannya perusahaan-perusahaan yang bergerak

dalam bidang telekomunikasi tentunya akan mempermudah

masyarakat untuk mendapatkan sarana komunikasi. Masyarakat akan

mendapatkan banyak pilihan, sehingga mereka dapat menentukan

pilihan sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, perusahaan-

perusahaan tersebut akan bersaing dalam mendapatkan pelanggan

atau pengguna jasa telekomunikasi.

Berdasarkan RPJP Tahun 2005-2025, investasi diarahkan untuk

mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi

secara berkelanjutan dan berkualitas dengan mewujudkan iklim

investasi yang menarik; mendorong penanaman modal asing bagi

peningkatan daya saing perekonomian nasional; serta meningkatkan

kapasitas infrastruktur fisik dan pendukung yang memadai. Investasi

yang dikembangkan dalam rangka penyelenggaraan demokrasi


ekonomi akan dipergunakan sebesar-besarnya untuk pencapaian

kemakmuran bagi rakyat. Dengan demikian diharapkan terciptanya

iklim investasi yang baik dalam berbagai sektor terutama pada sektor

telekomunikasi dan tidak adanya praktek monopoli yang

mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.

Setelah tadinya pemerintah memberikan izin investasi asing di

sektor telekomunikasi hingga 95%, namun sekarang jatah tersebut

akan dipangkas menjadi tinggal 49% saja. Aturan tersebut sudah ada

dalam draf final Daftar Negatif Investasi (DNI) yang disusun oleh

Departemen Perdagangan yang isinya membatasi pemodal asing di

bidang telekomunikas tidak boleh lebih dari 49%. Pengusaha asing

menguasai yang 50% lebih di sektor ini harus menguranginya secara

bertahap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. Organisasi Perdagangan

Dunia (WTO) juga telah sepakat untuk menerima pembatasan

kepemilikan asing di perusahaan telekomunikasi hingga 35%.

Kesepakatan negara ASEAN juga hanya 40% (Agus. S Riyanto, dkk.

Asing Didamba, Asing Dipangkas. www.Majalahtrust.com).

Pembatasan investasi asing dilakukan untuk mencegah adanya

monopoli dari pihak asing dan untuk menumbuhkan industri lokal,

selain itu apabila kepemilikan asing tidak dibatasi juga akan

menimbulkan kepemilikan saham silang. Adanya kepemilikan saham

silang dilarang dalam dunia usaha.


Yang tengah terjadi adalah kepemilikan saham silang oleh

Temasek Holdings. Temasek Holdings yang berdiri pada tahun 1974

merupakan perusahaan besar dari Singapura. Dua anak

perusahaannya, yakni Singapore Telecomunications Ltd. (Sing Tel)

dan Singapore Technologie Telemedia Pte. Ltd. (STT) memiliki saham

di dua perusahaan telekomunikasi di indonesia. Sing Tel saat ini

memiliki 35% saham di Telkomsel dan STT menguasai 40,77% saham

Indosat. Kedua perusahaan tersebut 100% sahamnya dimiliki

Temasek. Padahal, pangsa pasar telepon seluler di Indonesia

didominasi oleh Telkomsel dan Indosat, hingga 84,4%. Dengan

penguasaan terhadap dua operator dengan share market terbesar di

Indonesia itu, lembaga riset Indef menghitung, Temasek diperkirakan

menguasai 89,61% pangsa pasar industri telekomunikasi di Indonesia.

Hal tersebut menunjukkan adanya persaingan usaha tidak sehat.

Temasek Holdings telah melanggar Pasal 27 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu mengatur mengenai kepemilikan

saham. Pada prinsipnya tidak ada larangan bagi siapapun untuk

memiliki saham di setiap perusahaan. Adanya larangan mengenai

kepemilikan saham silang dianggap tidak sesuai dengan

perkembangan teknologi karena industri telekomunikasi Indonesia

masih membutuhkan modal besar yang hanya bisa didapat dari

investor asing, selain itu jika seorang investor memiliki beberapa


perusahaan sekaligus dianggap sebagai hasil sinergi dan merupakan

strategi industri untuk bertahan dalam kancah persaingan global.

Adanya larangan kepemilikan saham silang dalam perusahaan

agar tercipta pluralitas dalam kepemilikan (prularity of ownership).

Adanya pluralitas kepemilikan merupakan hal yang penting untuk

mencegah terjadinya praktek monopoli dalam bidang telekomunikasi

yang hanya dikuasai oleh sekelompok orang tertentu saja, sehingga

dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat di bidang

telekomunikasi yang dapat merugikan pelanggan atau pengguna jasa

telekomunikasi. Menurut UndangUndang Nomor 36 Tahun 1999

tentang Telekomunikasi juga menegaskan bahwa sektor

telekomunikasi di Indonesia harus berkompetisi dengan sehat. Hal

tersebut tercantum pada Pasal 10 yang mengatur mengenai larangan

praktek monopoli.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan

yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan tentang kepemilikan silang saham

dalam perseroan terbatas ditinjau dari Undang-undang Nomor 40

Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas?

2. Bagaiamana penerapan prinsip rule of reason terhadap praktik

monopoli terkait kepemilikan silang saham yang dilakukan oleh


holding company ditinjau dari undang-undang no. 5 tahun 1999

tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak

sehat?

C. Kerangka Pemikiran

Persaingan atau competition dalam bahasa Inggris oleh

Webster didefinisikan sebagai “a struggle or contest between two or

more persons for the same objects”. Dengan memperhatikan

terminologi “persaingan” di atas dapat disimpulkan bahwa dalam

setiap persaingan akan terdapat unsur-unsur sebagai berikut: 1

a) ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam upaya saling

mengungguli;

b) ada kehendak diantara mereka untuk mencapai tujuan yang

sama.

Persaingan dalam suatu pasar dapat terjadi antara para pelaku

usaha guna memenuhi kebutuhan konsumen. Persaingan merupakan

hubungan antara dua pihak atau lebih dalam upaya untuk saling

mengungguli guna mencapai tujuan yang sama. Salah satu bentuk

persaingan dalam bidang ekonomi adalah persaingan usaha.

Persaingan usaha merupakan sebuah proses dimana para pelaku

usaha dipaksa menjadi perusahaan yang efisien dengan menawarkan

Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Jakarta 2004, hlm.
1

14.
pilihan-pilihan produk dan jasa dalam harga yang lebih rendah. 2 Oleh

karena itulah, persaingan dalam dunia usaha merupakan hal yang

biasa terjadi, bahkan dapat dikatakan persaingan dalam dunia usaha

itu merupakan conditio sine qua non atau syarat mutlak bagi

terselenggaranya ekonomi pasar, walaupun diakui bahwa adakalanya

persaingan usaha itu sehat dan dapat juga tidak sehat. 3

Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku

usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran

barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau

melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.4 Persaingan

usaha tidak sehat adalah dampak negatif tindakan tertentu terhadap: 5

a) Harga barang dan/atau jasa;

b) Kualitas barang dan/atau jasa;

c) Kuantitas barang dan atau jasa.

UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat tidak memberikan definisi secara tegas mengenai persaingan

usaha, akan tetapi memberikan pengertian mengenai persaingan

usaha tidak sehat. Pengertian persaingan usaha tidak sehat dapat

dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang berbunyi:

2
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 2.
3
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Kencana, Jakarta,
2012,hlm. 3.
4
Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pustaka
Bangsa Press, Medan, 2003, hlm. 41.
5
Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 5.
“Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar para
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya yang
dilakukan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan hukum
yang berlaku.”

Persaingan tidak sehat dapat dibedakan menjadi 2 (dua)

kategori yaitu :6

a) tindakan anti persaingan (anti competition), adalah tindakan

yang bersifat menghalangi atau mencegah persaingan agar

jangan sampai terjadi. Tindakan ini dilakukan oleh pelaku

usaha yang ingin memegang posisi monopoli dengan

mencegah calon pesaing atau menyingkirkan pesaing

dengan cara yang tidak wajar;

b) tindakan persaingan curang (unfair competition practice),

adalah tindakan yang bersifat tidak jujur yang dilakukan

dalam kondisi persaingan. Tindakan ini tidak selalu berakhir

pada tiadanya persaingan, akan tetapi pelaku usaha kecil

yang tidak memiliki potensi memonopoli pasar dapat

melakukan tindakan persaingan curang.

Asas dari UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat secara tegas telah ditetapkan dalam Pasal 2 yang

menyatakan bahwa pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan

kegiatan usahanya berasaskan ekonomi dengan memperhatikan

keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan

umum. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 33
6
Suharsil dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha TIdak Sehat di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 52-56.
Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang

mengatur mengenai sistem ekonomi di Indonesia.

Tujuan pembentukan UU Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat secara tegas telah ditetapkan dalam

Pasal 3 dan secara implisit terdapat dalam bagian konsideran. Dalam

Pasal 3 dinyatakan bahwa tujuan pembentukan UU Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah sebagai berikut :

a) Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi

nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat;

b) Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan

persaingan usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku

usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;

c) Mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat

yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan

d) Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Penggunaan undang-undang persaingan usaha di Indonesia

memiliki substansi yang tidak berbeda jauh dengan yang terdapat

dalam negara-negara lain.7 Yang membedakan adalah bahwa dalam

undang-undang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:

Terdapat 6 kegiatan pelaku usaha yang dilarang dalam UU

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,

7
Johny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori dan Implikasi
Penerapannya di Indonesia, Bayu Media, Malang, 2009, hlm. 9.
yaitu: Monopoli, Monopsoni, Penguasaan Pasar, Jual Rugi

(Predatory Pricing), Manipulasi biaya produksi, Persekongkolan,.

Kepemilikan saham silang dapat dikatakan sebagai

kepemilikan terafiliasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat mengakui akan adanya suatu hubungan antar (group) pelaku

usaha yang saling terafiliasi yang berkaitan satu dengan yang

lainnya, yang melakukan kegiatan produksi terhadap produk

berupa barang dan/ atau jasa sejenis dan dipasarkan melalui pasar

bersangkutan yang sama.8

Untuk mencegah makin menumpuknya penguasaan produk

atau pemasaran pada kelompok usaha tertentu yang cenderung

dominan dan merusak sistem persaingan usaha sehat yang ada

dalam masyarakat. Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat

melarang pelaku usaha untuk memiliki saham mayoritas pada

beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha

dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama,

atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan

usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, jika

kepemilikan tersebut mengakibatkan:

8
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Anti Monopoli, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 38
1) Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha

menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar

satu jenis barang dan/ atau jasa tertentu.

2) Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usah

menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa

pasar satu jenis barang dan/ atau jasa tertentu.

Pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 mengatur

mengenai larangan kepemilikan saham silang, baik secara

langsung maupun secara tidak langsung antar perusahaan.

Kepemilikan saham silang tersebut terjadi apabila misalnya,

perusahaan A memiliki saham perusahaan B, dan perusahaan B

justru memiliki saham di perusahaan A. Apabila hal tersebut terjadi,

kepemilikan saham tersebut harus dijual ke pihak lain yang tidak

terafiliasi.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas mengatur mengenai kepemilikan saham, yaitu pada Pasal

36 tertulis :

(1) Perseroan dilarang mengeluarkan saham baik untuk dimiliki


sendiri maupun dimiliki oleh Perseroan lain, yang sahamnya
secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh
Perseroan.
(2) Ketentuan larangan kepemilikan saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kepemilika
saham yang diperoleh berdasarkan peralihan karena
hukum, hibah, atau hibah wasiat.
(3) Saham yang diperoleh berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam jangka waktu
1 (satu) tahun setelah tanggal perolehan harus dialihkan
kepada pihak lain yang tidak dilarang memiliki saham dalam
Perseroan.
(4) Dalam hal Perseroan lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan perusahaan efek, berlaku ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Rule of Reason merupakan pendekatan yang digunakan

otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai

akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan

apakah suatu perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna

menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut

bersifat menghambat atau mendukung persaingan usaha. 9 Dalam

penerapannya, Rule of Reason memungkinkan pengadilan untuk

menafsirkan atau menginterpretasikan undang-undang, dalam

pengadilan disyaratkan untuk mempertimbangkan faktor-faktor

seperti latar belakang dilakukannya tindakan, alasan bisnis di balik

tindakan itu, serta posisi si pelaku tindakan dalam industri tertentu,

apabila telah dipertimbangkan faktor-faktor tersebut, maka dapat

ditentukan apakah suatu tindakan bersifat legal atau tidak. 10

Keunggulan Rule of Reason adalah menggunakan analisis

ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti,

yaitu apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi

kepada persaingan.11 Pendekatan Rule of Reason juga

9
Andi Fahmi Lubis, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, GTZ
GmbH, Jakarta, 2008, hlm. 55.
10
Arie Siswanto, Op.Cit., hlm. 66.
11
Rezmia Febrina, “Dampak Kegiatan Jual Rugi (Predatory Pricing) Yang
Dilakukan Pelaku Usaha Dalam Perspektif Persaingan Usaha”, Jurnal Selat, Volume 4,
Nomor 2, Mei 2017, hlm. 235.
mengandung satu kelemahan, dan mungkin merupakan kelemahan

paling utama yaitu, bahwa Rule of Reason yang digunakan oleh

para hakim dan juri mensyaratkan pengetahuan tentang teori

ekonomi dan sejumlah data ekonomi yang kompleks, di mana

mereka belum tentu memiliki kemampuan yang cukup untuk

memahaminya, guna dapat menghasilkan keputusan yang

rasional.12

Pendekatan Rule of Reason digunakan dalam UU Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dicirikan

dengan kata-kata yang termuat dalam ketentuan pasal-pasalnya,

yakni pencantuman “yang dapat mengakibatkan” dan/atau “patut

diduga”.13 Kata-kata tersebut mengartikan perlunya penelitian

secara lebih mendalam, apakah suatu tindakan dapat menimbulkan

praktik monopoli yang bersifat menghambat persaingan. 14 

Salah satu contoh pasal yang ditafsirkan menggunakan

prinsip rule of reason adalah Pasal 4 UU Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang mana

berimplikasi dengan pelaku usaha sebenarnya tidak dilarang

membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara

bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau

12
Ibid.
13
A.M. Tri Anggraini, “Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal
Dalam Hukum Persaingan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24, Nomor 2, Tahun 2005,
hlm. 6.
14
Lewinda Oletta Sidabutar, “Pendekatan “Per Se Illegal” Dan “Rule Of Reason”
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Jurnal Rechtsvinding Online, 3 April 2020.
pemasaran barang dan/atau jasa atau membuat perjanjian oligopoli

selama tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat dan mempunyai alasan-alasan yang

dapat diterima sebagai dasar pembenar dari perbuatan mereka

tersebut.

Anda mungkin juga menyukai