Anda di halaman 1dari 14

KELOMPOK PIDANA

NAMA - NPM
NAMA - NPM
NAMA - NPM
NAMA - NPM
NAMA - NPM
NAMA - NPM

PUTUSAN HAKIM
Putusan pengadilan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang
dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari suatu
yang telah dipertimbangan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat
berbentuk tertulis ataupun lisan.1 Sedangkan berdasarkan Pasal 1 butir 11 KUHAP:
“putusan pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pernyataan pemidanaan atau bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam Undang-undang ini.”

Bentuk putusan yang dijatuhkan pengadilan tergantung pada hasil


musyawarah yang didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti
dalam pemeriksaan di ruang persidangan. 2 Oleh karena itu akan terdapat beberapa
kemungkinan hasil penilaian sehingga putusan yang akan dijatuhkan pengadilan
mengenai suatu perkara dapat berbentuk:
1. Putusan Bebas
Putusan bebas berarti terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan
hukum (vrijspraak) atau acquittal atau dengan kata lain terdakwa tidak
dipidana. Dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa :
“jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di
sisang, kesalahan terdakwa atas pebuatan yang didakwakan

1
Buku Peristilahan dalam Praktik, Kejaksaan Agung, hlm. 221.
2
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penetapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Bandung: Sinar Grafika, 2008, hlm.
347.
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka
terdakwa diputus bebas.”

Ketentuan pasal 191 ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa seseorang


diputus bebas dalam keadaan dimana pengadilan berpendapat bahwa dari
hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan.3 Maksud dari “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah perbuatan tidak cukup terbukti
menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat
bukti yang sah menurut ketentuan hukum pidana. 4
Pasal 183 KUHAP menerangkan bahwa:
“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Putusan bebas apabila ditinjau dari segi yuridis adalah putusan yang
dinilai oleh majelis hakim yang bersangkutan bilamana:5
a. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara
negatif (negatief wetteliijke)

Pasal 183 KUHAP mengandung asas pembuktian menurut undang-


undang secara negative, yang mengajarkan prinsip hukum
pembuktian, disamping kesalahan terdakwa cukup terbukti, harus
pula dibarengi dengan keyakinan hakim akan kebenaran kesalahan
terdakwa. Dikatakan tidak memenuhi asas pembuktian menurut
undang-undang secara negatif adalah apabila pembuktian yang
diperoleh dipersidangan tidak cukup membuktikan kesalahan
terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup
terbuktu itu, tidak diyakini oleh hakim.

b. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian.

Menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan


kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-

3
R. Soenarto Soeodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung
dan Hoge Raad, PT. Rajagrafindo Persada, 2006, hlm. 516.
4
Ibid.
5
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 347.
kurangnya dua alat bukti yang sah. Apabila kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti
saja maka dapat dikatakan tidak memenuhi asas batas minimum
pembuktian. Hal ini dikenal dengan asas batas minimum pembuktian
Bertitik tolak dari kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP,
dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1), putusan bebas pada umumnya
didasarkan pada penilaian dengan pendapat hakim: 6

a. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak


terbukti, semua alat bukti yang diajukan dipersidangan baik berupa
keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk maupun
keterangan terdakwa, tidak dapat membuktikan kesalahan yang
didakwakan, atau
b. Secara nyata hakim menilai pembuktian kesalahan yang
didakwakan tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian.
Misalnya, alat bukti yang diajukan dipersidangan hanya terdiri dari
seorang saksi saja. Dalam hal ini seperti ini disamping tidak
memenuhi batas minimum pembuktian juga bertentangan dengan
pasal 185 ayat (2) KUHAP, yang menegakkan unus testis nulus
testis atau seseorang saksi bukan saksi.

Putusan bebas tersebut juga bisa didasarkan atas penilaian,


kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh kenyakinan hakim.
Penilaian yang demikian sesuai dengan system pembuktian yang dianut
dalam Pasal 183 KUHAP yang mengajarkan pembuktian menurut undang-
undang secara negatif. Terbuktinya kesalahan yang didakwakan dengan
alat bukti yang sah harus didukung oleh keyakinan hakim. Sekalipun
secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai
pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh
keyakinan hakim. Dalam keadaan penilaian yang seperti ini, putusan yang
akan dijatuhkan adalah membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum.

a. Putusan Bebas Murni

6
Ibid, hlm. 348.
Putusan bebas murni adalah putusan akhir dimana hakim
mempunyai keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan
7
kepada terdakwa adalah tidak terbukti.
b. Putusan Bebas Tidak Murni
Putusan bebas tidak murni adalah putusan dalam hal batalnya
dakwaan secara terselubung atau “pembebasan” yang menurut
kenyataannya tidak didasarkan kepada ketidakterbuktiannya apa
yang dimuat dalam surat dakwaan. 8 Pembebasan tidak murni pada
hakekatnya merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum
yang terselubung. Dapat dikatakan apabila dalam suatu dakwaan,
unsur delik dirumuskan sesuai dengan perundang-undangan,
sedangkan hakim memandang dakwaan tersebut tidak terbukti. 9
Putusan bebas tidak murni mempunyai kualifikasi sebagai
berikut:
1) Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru
terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat
dakwaan.
2) Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui
batas kewenangannya, baik absolut maupun relatif dan
sebagainya. 10
c. Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya
Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya
adalah pembebasan yang didasarkan atas pertimbangan bahwa
harus diakhiri suatu penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada
hasilnya. 11
d. Pembebasan terselubung
Pembebasan yang terselubung adalah pembebasan yang dilakuan
dimana hakim telah mengambil keputusan tentang “feiten” dan

7
Rd. Achmad S. Soemadipradja, Pokok-pokok hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung:
Alumni, 1981, hlm. 89.
8
Ibid.
9
Oemar Seno Adjie, Hukum-Hakim Pidana, Jakarta: Erlangga, 1984, hlm. 167.
10
Ibid, hlm. 164.
11
Rd. Achmad S. Soemadipradja, Op.Cit., hlm. 89.
menjatuhkan putusan “pelepasan dari tuntutan hukum”, padahal
putusan tersebut berisikan suatu “pembebasan secara murni” 12

2. Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum


Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum diatur dalam Pasal
191 ayat (2) KUHAP, yang berbunyi:
“jika pengadilan berpendapat bahwa perbutan yang didakwakan
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana,
maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”

Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum berdasarkan Pasal 191


ayat (2) KUHAP dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan
yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut
bukan tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum.Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum disebut onslag van
recht vervolging, yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat (2)
KUHAP, yakni putusan yang berdasarkan kriteria:
a. Apa yang didakwaan kepada terdakwa memang terbukti secara sah
dan meyakinkan;
b. Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan tidak merupakan tindak pidana.
Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan: 13
a. Materi hukum pidana yang didakwaan tidak cocok dengan tindak
pidana
b. Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa
tidak dapat dihukum, antara lain:
1) Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP),
2) Melakukan dibawah pengaruh daya paksa/Overmacht (Pasal 48
KUHP)
3) Adanya pembelan terdakwa (Pasal 49 KUHP),
4) Adanya ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP),
5) Adanya perintah jabatan (Pasal 51 KUHP).

3. Putusan Pemidanaan

12
Ibid.
13
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 56.
Pemidanaan dapat dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya. 14
Sesuai Pasal 193 KUHAP yang berbunyi:
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan
menjatuhkan pidana.
(2)
a. Pengadilan dapat menjatuh putusan, jika terdakwa tidak ditahan,
dapat memerintah supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila
dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu
b. Dalam hal terdakwa ditahan pengadilan juga dalam melanjutan
putusannya dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam
tahanan atau membebaskannya apabila terdapat alasan cukup
untuk itu.”

4. Putusan yang Menyatakan Tidak Berwenang Mengadili


Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili berhubungan
dengan kewenangan mengadili secara relatif. Masalah sengketa
wewenang mengadili secara relatif diatur pada Bagian Kedua, Bab XVI
KUHAP. Yang dimaksud dengan kewenangan mengadili relatif adalah
Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi mana yang berwenang
mengadili suatu perkara.15 Terdakwa dalam keberatannya (eksepsi) dapat
mengajukan alasan berupa wewenang pengadilan untuk mengadili. Jika
majelis hakim berpendapat sama dengan keberatan yang diajukan
terdakwa atau penasihat hukumnya, maka hakim akan memutuskan bahwa
Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili. 16

5. Putusan yang menyatakan Bahwa Dakwaan Batal Demi Hukum


Putusan pengadilan yang berupa pernyataan dakwaan penuntut
umum batal atau batal demi hukum didasarkan pada Pasal 143 ayat (2)
dan Pasal 156 (1) KUHAP. Alasan utama yang menyebabkan keluarnya
putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum, apabila
surat dakwaan tidak memenuhi unsur yang ditentukan dalam Pasal 143
ayat (2) huruf b KUHAP, yaitu didalam surat dakwaan harus diberi tanggal
dan ditandatangani serta berisi: uraian secara cermat, jelas dan lengkap

14
Ibid, hlm. 57.
15
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 96.
16
Ibid.
mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan
tempat tindak pidana itu dilakukan.

Dalam hal dijatuhkannya putusan yang menyatakan bahwa dakwaan


batal demi hukum, maka sesuai dengan pasal 144 KUHAP, penuntut
umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan
hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk
tidak melanjutkan penuntutannya. Dalam pasal tersebut juga di jabarkan
bahwa surat dakwaan tersebut hanya dapat 1 (satu) kali dilakukan
perubahan dengan jangka waktu selambat-lambatnya tujuh hari sebelum
hari sidang, yang kemudian salinan perubahan surat dakwaan diberikan
kepada tersangka atau penasihat hukum dari penyidik.

6. Putusan yang Menyataan Bahwa Dakwaaan Tidak dapat Diterima


Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak diterima
berdasarkan kewenangan menuntut dari Penuntut Umum. Hal ini terjadi
apabila wewenang Penuntut Umum dalam menuntut suatu tindak pidana
sudah hapus, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 75 KUHAP, dalam hal
pengaduan sudah ditarik kembali; kasus pidana nebis in idem (Pasal 76
KUHAP); kasus pidana yang daluarsa (Pasal 78 KUHAP); surat dakwaan
yang didakwakan oleh Penuntut Umum bukan perkara pidana tetapi
perkara perdata.

UPAYA HUKUM
Menurut KUHAP ada dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa yang
diatur dalam BAB XVII, dan upaya hukum luar biasa diatur dalam BAB XVIII.
A. Upaya Hukum Biasa
1) Upaya Hukum Banding
Berdasarkan Pasal 67 KUHAP menyebutkan bahwa “Terdakwa atau
penuntut umum berhak untuk meminta banding terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari
segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya
penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat”.
Terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum
banding ke Pengadilan Tinggi atas semua putusan Pengadilan Negerti
tingkat pertama, kecuali :
(1) Putusan bebas;
(2) Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang
tepatnya penerapan hukum;
(3) Putusan pengadilan dalam acara cepat.

Adapun tujuan dari pengajuan permohonan banding atas putusan


Pengadilan Negeri adalah :
(1) Menguji putusan Pengadilan Negeri (tingkat pertama) tentang
ketepatan atau bersesuaian dengan hukum dan perundang-
undangan yang berlaku;
(2) Pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara itu.

Alasan dari pengajuan permohonan banding antara lain :


(1) Kelalaian Dalam Penerapan Hukum Acara
(2) Kekeliruan Penerapan Hukum Acara
(3) Ada Yang Kurang Lengkap

2) Upaya Hukum Kasasi


Kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan
penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya,
artinya kekuasaan kehakiman telah ditafsirkan secara luas dan sempit.
Jadi penafsiran secara sempit yaitu “jika hakim memutus sesuatu perkara
padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman; dalam
arti luar misalnya jika hakim pengadilan memutus padahal hakim pertama
telah membebaskannya”.
Berdasarkan Pasal 244 KUHAP sebagai dasar dari pengajuan kasasi
menyatakan bahwa “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan
pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah
Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan
bebas”. Kasasi merupakan upaya hukum terhadap putusan banding yang
telah dijatuhkan oleh pengadilan tinggi atau tingkat banding.
Tujuan dari kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan penerapan
hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan
undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum. Tujuan-tujuan dari
kasasi, antara lain :
(1) Koreksi Terhadap Kesalahan Putusan Pengadilan Bawahan
(2) Menciptakan Dan Membentuk Hukum Baru
(3) Pengawasan Terciptanya Keseragaman Penerapan Hukum

Adapun alasan untuk mengajukan permohonan kasasi yang diatur


dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP, yaitu Pemeriksaan dalam tingkat kasasi
dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna
menentukan:
1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang; Maka Mahkamah Agung mencetapkan
disertai penunjuk agar pengadilan yang memutus perkara yang
bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang
dibatalkan, atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung
dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan
setingkat yang lain.
3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Maka Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain
mengadili perkara tersebut (Pasal 255 KUHAP).

B. Upaya Hukum Luar Biasa

Selain dari upaya hukum biasa, terdapat juga upaya hukum luar biasa
yang telah diatur dalam BAB XVIII Bagian Kesatu dari Pasal 259 sampai
dengan Pasal 262 KUHAP tentang kasasi demi kepentingan hukum dan
Bagian Kedua dari Pasal 263 sampai Pasal 269 KUHAP tentang peninjauan
kembali atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
1) Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Pemeriksaan kasasi demi pekentingan hukum ini dapat diajukan
terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, tetapi hanya dapat diajukan oleh Jaksa Agung saja
berdasarkan penyampaian dari pejabat kejaksaan yang menurut
pendapatnya perkara ini perlu dimintakan kasasi demi kepentingan
hukum. Kasasi demi kepentingan hukum ini diatur dalam Pasal 259
sampai dengan Pasal 262 KUHAP. Pengajuan kasasi demi
kepentingan hukum oleh Jaksa Agung ini dimaksudkan untuk
menjaga kepentingan terpidana dan juga membuka kemungkinan
bagi perubahan atas putusan pengadilan di bawah keputusan
Mahkamah Agung yang dirasakan kurang tepat oleh Jaksa Agung
dengan kata lain putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri
atau Pengadilan Tinggi (judex factie) terlalu berat yang tidak sesuai
dengan tuntutan penuntut umum.

2) Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali atas putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (herziening) berdasarkan Pasal 263 ayat (1)
KUHAP menyatakan bahwa Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau
lepas telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana atau ahli
warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHAP
mengenai syarat-syarat dalam pengajuan Peninjauan Kembali adalah
sebagai berikut :
a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat,
bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas (vrijspraak)
atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alie
rechtsvervolging) atau tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima (niet ontvvankelijk verklaring) atau terhadap perkara itu
diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa
sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai
dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,
ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

HAKIM PENGAWAS PENGAMAT


Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana Pasal 1 butir 8 bahwa hakim adalah pejabat peradilan negara yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.Pertanggungjawab an hakim
ini menyangkut tugasnya memutus perkara. Karena itu ia tidak boleh menolak
perkara. Perkara yang diajukan kepadanya harus diperiksa, diadili dan diputus. 17
Pelaksanaan pengawasan dan pengamatan yang dilakukan oleh hakim menurut
KUHAP adalah sebagai berikut:18
a. Mula-mula jaksa mengirim tembusan berita acara pelaksanaan putusan
pengadilan yang ditandatangani olehnya, kepada kepala lembaga
pemasyarakatan, terpidana, dan kepada pengadilan yang memutus perkara
tersebut pada tingkat pertama (Pasal 278 KUHAP).
b. Panitera mencatat pelaksanaan tersebut dalam register pengawasan dan
pengamatan. register tersebut wajib dibuat, ditutup dan ditandatangani oleh
panitera setiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatangi juga oleh hakim
pengawas dan pengamat (Pasal 279 KUHAP).
c. Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna
memperoleh kepastian bahawa putusan pengadilan dilaksanakan
semestinya. Hakim tersebut mengadakan penelitian demi ketetapan yang
bermanfaat bagi pemidanaan , serta pengaruh timbale balik antara perilaku
narapida dan pembinaan narapidana oleh lembaga pemasyarakatan.
Pengamatan tetap dilaksanakan setelah narapidana selesai menjalani

17
Abdullah Sani, Hakim dan Keadilan Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 62.
18
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 319.
pidananya. Pengawasan dan pengamatan berlaku bagi pemidanaan
bersyarat (Pasal 280 KUHAP).
d. Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga
pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau
sewaktuwaktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam
pengamatan hakim tersebut (Pasal 281 KUHAP).
e. Hakim dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan
tentang cara pembinaan narapidana tertentu. Hasil pengawasan dan
pengamatan dilaporkan oleh hakim pengawas dan pengamat kepada ketua
pengadilan secara berkala (Pasal 282 dan 283 KUHAP).

Selain di dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-


Undang Hukum Acara Pidana, tugas Hakim Pengawas dan Pengamat juga diatur di
dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 1985 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat, yaitu :
1) Perincian Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat
b) Memeriksa dan menandatangani resgister pengawas yang berada di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri.
c) Mengadakan checking on the spot paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali ke
lembaga pemasyarakatan untuk memeriksa kebenaran berita acara
pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani oleh Jaksa,
Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan terpidana.
d) Mengadakan observasi terhadap keadaan, suasana dan kegiatan yang
berlangsung di dalam lingkungan tembok-tembok lembaga, khususnya
untuk menilai apakah kedaaan lembaga pemasyarakatan tersebut sudah
memenuhipengertian bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia,
serta mengamati dengan mata kepala sendiri perilaku narapidana yang
dijatuhkan kepadanya.
e) Mengadakan wawancara dengan para petugas pemasyarakatan
(terutama para wali pembina narapidananarapidana yang bersangkutan)
mengenai perilaku serta hasil-hasil pembinaan narapidana, baik
kemajuan-kemajuan yang diperoleh maupun kemundurankemunduran
yang terjadi.
f) Mengadakan wawancara langsung dengan para narapidana mengenai
hal ihwal perlakuan terhadap dirinya, hubungan- hubungan kemanusiaan
antara sesame mereka sendiri maupun dengan para petugas lembaga
pemasyarakatan.
g) Menghubungi Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan Ketua Dewan
Pembina Pemasyarakatan (DPP), dan juga dipandang perlu juga
menghubungi koordinator pemasyarakatan pada kantor wilayah
Departemen Kehakiman dalam rangka saling tukar menukar saran
pendapat dalam pemecahan suatu masalah.
2) Metode Yang Dilakukan Dalam Melakukan Pengawasan.
Metode yang digunakan dalam melakukan pengawasan dan pengamatan
adalah metode edukatif persuasif yang ditunjang oleh asas kekeluargaan
3) Mekanisme Kerja Hakim Pengawas dan Pengamat
Mekanisme kerja hakim pengawas dan pengamat harus memenuhi tata cara
yang praktis dan pragmatis. Ia harus mengumpulkan fakta nyata berdasarkan
keadaan yang sebenarnya, jauh dari pencampuran opini subyektif. Hal ini
perlu untuk mencegah timbulnya kesimpulan yang menyesatkan.
4) Ruang Lingkup Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat
Pelaksanaan tugas hakim pengawas dan pengamat hanya ditujukan pada
narapidana (tidak termasuk yang berasal dari putusan pengadilan militer)
yang menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan yang terdapat dalam
daerah hukum pengadilan negeri dimana hakim pengawas dan pengamat
yang bersangkutan bertugas.

DAFTAR REFERENSI:
Abdullah Sani, Hakim dan Keadilan Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1975.

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Buku Peristilahan dalam Praktik, Kejaksaan Agung.

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.


M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.

Oemar Seno Adjie, Hukum-Hakim Pidana, Jakarta: Erlangga, 1984.

R. Soenarto Soeodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah


Agung dan Hoge Raad, PT. Rajagrafindo Persada, 2006.

Rd. Achmad S. Soemadipradja, Pokok-pokok hukum Acara Pidana Indonesia,


Bandung: Alumni, 1981.

Anda mungkin juga menyukai