Anda di halaman 1dari 19

TINDAKAN JUAL RUGI (PREDATORY PRICING) TERHADAP

PRODUK SEMEN BERDASARKAN PENDEKATAN RULE OF


REASON

Raddine Salsabila
UNPAD Bandung, Jawa Barat, Indonesia
raddinesalsabila@gmail.com
Ryan Dwitama Hutadjulu
UNPAD Bandung, Jawa Barat, Indonesia
ryandwitama.hutadjulu@gmail.com
Elisantris Gultom
UNPAD Bandung, Jawa Barat, Indonesia
elisatris68@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan memahami tindakan jual rugi
(predatory pricing) yang merupakan perilaku terlarang dan dianggap melanggar
Undang-Undang Persaingan Usaha. Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian hukum normatif, sehingga data utamanya adalah bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder. Permasalahan yang dibahas adalah bagaimana
pengaturan tindakan jual rugi dan penerapan pendekatan Rule of Reason tindakan
jual rugi produk semen oleh PT. Conch South Kalimantan Cement. Penelitian ini
adalah termasuk jenis penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang
menitikberatkan pada data sekunder secara kepustakaan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa jual rugi atau penetapan harga sangat rendah merupakan
salah satu kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999, karena dapat
menghambat persaingan usaha dan merugikan kesejahteraan masyarakat.
Penerapan pendekatan rule of reason pada kasus jual rugi (predatory pricing) oleh
PT. Conch South Kalimantan Cement dilakukan berdasarkan teori pembuktian hard
line evidence theory yaitu pembuktian tindakan jual rugi dengan menggunakan
analisis ekonomi. Peningkatan pangsa pasar PT. Conch South Kalimantan Cement
secara signifikan dan keluarnya 5 (lima) pelaku usaha pesaing dari pasar berdampak
pada pasar yang semakin terkonsentrasi dan mengakibatkan praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Kata Kunci: Jual Rugi, Persaingan Usaha, Rule of Reason.

A. Pengantar
Penggunaan semen di Indonesia terus meningkat akibat proyek
infrastruktur yang sedang dibangun oleh pemerintah, dan industri semen
merupakan industri yang mendukung pembangunan jalan raya, pelabuhan,
konstruksi, air bersih dan perumahan, industri semen dalam negeri. Hal
demikian berkaitan dengan strategi dalam peningkatan infrastruktur. Karena hal

1
tersebut, permintaan terhadap semen menjadi tinggi. Dengan demikian, industri
semen di Indonesia merupakan industri yang cukup menjanjikan. 1
Persaingan dalam kegiatan usaha adalah suatu hal yang niscaya dan
merupakan “nafas” dari kegiatan usaha itu sendiri, 2 demikian juga persaingan
dalam industri semen di Indonesia melihat potensi keuntungan yang dapat
diperoleh pengusaha dari kegiatan usaha ini. Para pesaing bisnis (usaha)
mempunyai tujuan yang sama yakni berusaha memenangkan
pertarungan/persaingan bisnis. Namun pada kenyataannya, kondisi dunia usaha
3

banyak diwarnai oleh perilaku pelaku usaha yang tidak sehat. Pelaku usaha
cenderung memupuk insentif untuk mendapatkan kekuatan pasar sehingga
memperoleh keleluasaan untuk mengendalikan harga dan faktor-faktor lain yang
menentukan transaksi usaha. Untuk menghindari sisi negatif persaingan tersebut
perlu aturan (hukum) yang jelas, sehingga persaingan dapat berjalan dengan
baik.4
Hukum persaingan usaha secara umum merupakan peraturan perundang-
undangan yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan
usaha.. Menurut Arie Siswanto, hukum persaingan usaha (competition law)
adalah instrumen hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu
harus dilakukan.5 Tujuan hukum persaingan usaha tidak sekedar memberikan
kesejahteraan kepada konsumen namun juga memberikan manfaat bagi publik.
Dengan adanya kesejahteraan konsumen maka terciptalah kesejahteraan rakyat.
Dengan kata lain, keberadaan hukum persaingan usaha tidak hanya menjamin
kesejahteraan konsumen tetapi juga menjaga kepentingan umum dan
meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.6
Persaingan usaha yang sehat sangat penting karena dengan adanya
persaingan maka akan dapat tercipta efisiensi dalam perdagangan ( allocative
efficiency) dan efisiensi dalam produksi (productive efficiency) serta dapat
mendorong meningkatnya kreativitas.7 Productive efficiency adalah efisiensi yang
ingin dicapai oleh perusahaan dalam menghasilkan barang dan jasa perusahaan
tersebut dilakukan dengan biaya yang serendah-rendahnya karena dapat
menggunakan sumber daya yang sekecil mungkin, 8 sedangkan allocative
efficiency adalah efisiensi bagi masyarakat dan konsumen dengan syarat dapat
dikatakan efisiensi apabila para produsen dapat membuat barang-barang yang

1
Basir, “Industri Semen Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Hukum Islam,
Volume XVII, Nomor 2, Desember 2017, hal. 73.
2
Mustafa Kamal Rokan, 2012, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia,
Rajawali Pers, Jakarta, hal. 1.
3
M. Udin Silalahi, 2007, Perusahaan Saling Mematikan & Bersengkongkol: Bagaimana Cara
Memenangkan?, Elex Media Komputindo, Jakarta, hal. 3.
4
Basir, Op.Cit., hal. 76.
5
Arie Siswanto, 2004, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 25.
6
Hermansyah, 2008, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia , Kencana, Jakarta,
hal. 15.
7
Asril Sitompul, 1999, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan Terhadap
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 4.
8
Mustafa Kemal Rokan, Op.Cit., hal. 56.

2
dibutuhkan oleh konsumen dan menjualnya pada harga yang para konsumen itu
bersedia untuk membayar harga barang yang dibutuhkan. 9
Sesuai dengan tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu
mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha
yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang
sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil,
maka Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat mengatur beberapa perilaku dan kegiatan yang dilarang dan yang dapat
mengakibatkan persaingan tidak sehat.10
Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat melarang adanya tindakan jual rugi (predatory pricing), hal ini
sebagaimana diatur pada Pasal 20 yang menyatakan “pelaku usaha dilarang
melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi
atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk
menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat. Secara sederhana, menjual rugi dapat digambarkan ketika
perusahaan yang memiliki posisi dominan atau kemampuan keuangan yang kuat
(deep pocket) menjual produknya di bawah harga produksi dengan tujuan untuk
memaksa pesaingnya keluar dari pasar.11
PT. Conch South Kalimantan Cement (selanjutnya disebut PT. CSKC)
memiliki kegiatan usaha berupa produksi dan penjualan semen. PT. CSKC mulai
memasuki pasar semen di Kalimantan Selatan dengan sedikit produk semen
yang diperdagangkan yaitu sekitar 2% (dua persen) dari keseluruhan penjualan
semen di wilayah Kalimantan Selatan. PT. CSKC diduga telah melakukan
persaingan usaha tidak sehat dalam industri semen nasional penjualan semen di
wilayah Kalimantan Selatan, yaitu dengan melakukan penetapan harga yang
sangat rendah terhitung 5 (lima) tahun kebelakang terahdap jenis semen
Portland Composite Cement (PCC).12 Atas hal tersebut, diketahui peningkatan
pangsa pasar mencapai di atas 40% (empat puluh persen), sedangkan terjadi
penurunan pangsa pasar pesaing. 13
Atas dugaan tersebut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (selanjutnya
disebut KPPU) mulai melakukan penyelidikan atas dugaan praktek persaingan
tidak sehat dan menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan dengan perkara
Nomor 03/KPPU-L/2020.14 Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan KPPU,
selanjutnya KPPU memberikan putusan atas perkara Nomor 03/KPPU-L/2020
9
Asmah, 2017, Hukum Persaingan Usaha “Hakikat Fungsi KPPU di Indonesia” , Social Politic
Genius, Makassar, hal. 43-44.
10
Abdul R. Saliman, 2008, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus , Kencana
Pranada Group, Jakarta, hal. 226.
11
Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hal. 157.
12
Januardi Husin, “Banting Harga, KPPU Selidiki Perusahaan Semen di Kalimantan Selatan”,
https://www.law-justice.co/artikel/88434/banting-harga-kppu-selidiki-perusahaan-semen-di-
kalimantan-selatan/, diakses pada tanggal 07 Februari 2021 pada pukul 20.05 WIB.
13
Ibid.
14
Boyke P. Siregar, “KPPU Selidiki Persaingan Tak Sehat Bisnis Semen di Kalsel”,
https://www.wartaekonomi.co.id/read291490/kppu-selidiki-persaingan-tak-sehat-bisnis-semen-di-
kalsel, diakses pada tanggal 7 Februrari 2021 pada pukul 19.35 WIB.

3
melalui musyawarah dalam Sidang Majelis Komisi pada hari Rabu, 13 Januari
2021 dan dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum melalui media
elektronik pada hari Jumat, 15 Januari 2021. Dalam putusan tersebut Majelis
Komisi memutuskan bahwa PT. Conch South Kalimantan Cement secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 20 UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat dan menghukum PT. Conch South Kalimantan Cement
membayar denda sejumlah Rp. 22.352.000.000,00.
Adapun tujuan penulisan dari jurnal ini adalah untuk mengetahui,
memahami dan menganalisa pengaturan tindakan jual rugi ( predatory pricing)
dalam Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat serta penerapan pendekatan rule of reason tindakan jual rugi (predatory
pricing) pada produk semen oleh PT. Conch South Kalimantan Cement?
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1) Bagaimana pengaturan tindakan jual rugi (predatory pricing) dalam Undang-
Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?
2) Bagaimana penerapan pendekatan rule of reason tindakan jual rugi
(predatory pricing) pada produk semen oleh PT. Conch South Kalimantan
Cement?

C. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah termasuk jenis penelitian yuridis normatif. Penelitian
hukum normatif adalah Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder. 15 Penelitian normatif atau hukum
kepustakaan adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder belaka. 16 Meliputi penelitian terhadap asas-
asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan
perbandingan hukum.17 Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode
deskriptif analitis, yaitu menjelaskan atau menggambarkan suatu keadaan yang
sebenarnya terjadi di lapangan, sehingga dari penelitian tersebut dapat
memberikan gambaran serta pemahaman yang mampu memberikan kesimpulan
dari permasalahan yang ada.18

D. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia


Persaingan atau competition dalam bahasa Inggris oleh Webster
didefinisikan sebagai “a struggle or contest between two or more persons for
the same objects”. Dengan memperhatikan terminologi “persaingan” di atas

15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2015, Penelitain Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 12-14.
16
Soerjono Soekanto dan Sri Maruji, Op.Cit., hal. 3
17
Ibid, hal. 14
18
Rony Hanityo Sumitro, 1985, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 182.

4
dapat disimpulkan bahwa dalam setiap persaingan akan terdapat unsur-unsur
sebagai berikut:19
a) ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam upaya saling
mengungguli;
b) ada kehendak diantara mereka untuk mencapai tujuan yang sama.
Persaingan dalam suatu pasar dapat terjadi antara para pelaku usaha guna
memenuhi kebutuhan konsumen. Persaingan merupakan hubungan antara dua
pihak atau lebih dalam upaya untuk saling mengungguli guna mencapai tujuan
yang sama. Salah satu bentuk persaingan dalam bidang ekonomi adalah
persaingan usaha. Persaingan usaha merupakan sebuah proses dimana para
pelaku usaha dipaksa menjadi perusahaan yang efisien dengan menawarkan
pilihan-pilihan produk dan jasa dalam harga yang lebih rendah. 20 Oleh karena
itulah, persaingan dalam dunia usaha merupakan hal yang biasa terjadi, bahkan
dapat dikatakan persaingan dalam dunia usaha itu merupakan conditio sine qua
non atau syarat mutlak bagi terselenggaranya ekonomi pasar, walaupun diakui
bahwa adakalanya persaingan usaha itu sehat dan dapat juga tidak sehat. 21
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.22 Persaingan usaha tidak sehat adalah dampak negatif
tindakan tertentu terhadap:23
a) Harga barang dan/atau jasa;
b) Kualitas barang dan/atau jasa;
c) Kuantitas barang dan atau jasa.
UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak
memberikan definisi secara tegas mengenai persaingan usaha, akan tetapi
memberikan pengertian mengenai persaingan usaha tidak sehat. Pengertian
persaingan usaha tidak sehat dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 UU
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang berbunyi:
“Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar para pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan usahanya yang dilakukan dengan cara-cara
yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.”

Persaingan tidak sehat dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kategori yaitu :24
a) tindakan anti persaingan (anti competition), adalah tindakan yang
bersifat menghalangi atau mencegah persaingan agar jangan sampai
terjadi. Tindakan ini dilakukan oleh pelaku usaha yang ingin
memegang posisi monopoli dengan mencegah calon pesaing atau
menyingkirkan pesaing dengan cara yang tidak wajar;

19
Arie Siswanto, Op.Cit., hal. 14.
20
Munir Fuady, 2000, Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat , Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 2.
21
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Kencana, Jakarta, hal. 3.
22
Ningrum Natasya Sirait, 2003, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat , Pustaka Bangsa
Press, Medan, hal. 41.
23
Munir Fuady, Op.Cit., hal. 5.
24
Suharsil dan Mohammad Taufik Makarao, 2010, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha TIdak Sehat di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 52-56.

5
b) tindakan persaingan curang (unfair competition practice), adalah
tindakan yang bersifat tidak jujur yang dilakukan dalam kondisi
persaingan. Tindakan ini tidak selalu berakhir pada tiadanya
persaingan, akan tetapi pelaku usaha kecil yang tidak memiliki potensi
memonopoli pasar dapat melakukan tindakan persaingan curang.
Asas dari UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat secara tegas telah ditetapkan dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa
pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku
usaha dan kepentingan umum. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)
yang mengatur mengenai sistem ekonomi di Indonesia.
Tujuan pembentukan UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat secara tegas telah ditetapkan dalam Pasal 3 dan secara implisit
terdapat dalam bagian konsideran. Dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa tujuan
pembentukan UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
adalah sebagai berikut:
a) Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat;
b) Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan
usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah,
dan pelaku usaha kecil;
c) Mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d) Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Penggunaan undang-undang persaingan usaha di Indonesia memiliki
substansi yang tidak berbeda jauh dengan yang terdapat dalam negara-negara
lain.25 Yang membedakan adalah bahwa dalam undang-undang dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu:
Terdapat 6 kegiatan pelaku usaha yang dilarang dalam UU Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu: Monopoli, Monopsoni,
Penguasaan Pasar, Jual Rugi (Predatory Pricing), Manipulasi biaya produksi,
Persekongkolan,.
E. Praktek jual rugi (predatory pricing) Sebagai Kegiatan Yang Dilarang
Praktek jual rugi (predatory pricing) adalah salah satu jenis kegiatan yang
dilarang dalam rangka penguasaan pasar. Larangan kegiatan praktek jual rugi
(predatory pricing) diatur dalam Pasal 20 UU Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat yang berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa
dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat
rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha
pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”

25
Johny Ibrahim, 2009, Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya
di Indonesia, Bayu Media, Malang, hal. 9.

6
Ada beberapa unsur penting dalam ketentuan di atas yaitu:
a) melakukan jual rugi atau penetapan harga yang sangat rendah;
b) dengan maksud menyingkirkan atau mematikan usaha pesaing;
c) pasar bersangkutan;
d) dapat terjadi praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Dari unsur tersebut diatas terlebih dahulu harus dipahami bahwa strategi
jual rugi belum tentu dimaksudkan untuk mematikan para pelaku usaha pesaing.
Oleh karena itu harus diperhatikan, diteliti, dan dikaji secara cermat tujuan suatu
pelaku usaha yang melakukan praktek jual rugi. Pada umumnya praktek jual rugi
dimaksudkan pada 5 (lima) tujuan utama, yaitu: 26
a) Mematikan pelaku usaha pesaing di pasar bersangkutan yang sama,
b) Membatasi pesaing dengan memberlakukan harga jual rugi sebaga entry
barrier,
c) Memperoleh keuntungan besar di masa mendatang,
d) Mengurangi kerugian yang terjadi di masa lalu, atau
e) Merupakan harga promosi dalam upaya memperkenalkan produk baru
sebagai alat strategi pemasaran.
Secara sederhana, menjual rugi dapat digambarkan ketika perusahaan
yang memiliki posisi dominan atau kemampuan keuangan yang kuat (deep
pocket)  menjual produknya di bawah harga produksi dengan tujuan untuk
memaksa pesaingnya keluar dari pasar. Setelah memenangkan persaingan,
perusahaan tersebut akan menaikkan harga kembali di atas harga pasar dan
berupaya mengembalikan kerugiannya dengan mendapatkan keuntungan dari
harga monopoli (karena pesaingnya telah keluar dari pasar).27
Praktek jual rugi (predatory pricing) dalam jangka pendek akan
menguntungkan konsumen, namun setelah menyingkirkan pesaing dari pasar
dan menghambat calon pesaing baru, pelaku usaha dominan atau pelaku usaha
incumbent tersebut akan menaikkan harga secara signifikan yang mengarah
kepada harga monopoli.28 Selama menjalankan praktek jual rugi, pelaku usaha
incumbent akan mengalami kerugian yang cukup besar dibandingkan dengan
kerugian yang diderita oleh pelaku usaha pesaing dengan tingkat efisiensi yang
sama. Hal ini disebabkan karena keharusan pelaku usaha incumbent memenuhi
kebutuhan seluruh permintaan pasar pada tingkat harga rendah yang
diberlakukannya.29
Penetapan harga rendah dapat menguntungkan konsumen, akan tetapi
keuntungan tersebut hanya bersifat sementara, karena setelah jangka waktu
tertentu, di mana sejumlah pelaku usaha pesaing tersingkir dari pasar konsumen
justru akan dirugikan setelah pelaku usaha menetapkan harga yang sangat
tinggi yang mengarah, atau dapat merupakan harga monopoli. 30 Ketika pelaku

26
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, “Pedoman Pelaksanaan Pasal 20 Tentang Jual Rugi
(Predatory Pricing)”, Seri Pedoman Pelaksanaan Undang‐Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, 2009, hal. 12.
27
Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hal. 157.
28
Rezmia Febrina, “Dampak Kegiatan Jual Rugi (Predatory Pricing) Yang Dilakukan Pelaku
Usaha Dalam Perspektif Persaingan Usaha”, Jurnal Selat, Volume 4, Nomor 2, Mei 2017, hal. 244-
245.
29
Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hal. 262.
30
Ibid, hal. 261.

7
usaha incumbent menaikkan harga, maka pelaku usaha pesaing akan kembali
masuk ke industri tersebut. Kondisi ini akan berlangsung terus sehingga akan
terjadi praktek jual rugi yang pada akhirnya merugikan konsumen. 31
Predatory pricing sebenarnya adalah merupakan hasil dari perang harga
tidak sehat antara pelaku usaha dalam rangka merebut pasar. Strategi yang
tidak sehat ini pada umumnya beralasan bahwa harga yang ditawarkan
merupakan hasil kinerja peningkatan efisiensi perusahaan. Oleh karena itu, hal
ini tidak akan segera terdeteksi sampai pesaing dapat mengukur dengan tepat
berapa harga terendah yang sesungguhnya dapat ditawarkan pada konsumen
(dimana harga = biaya marginal). 32 Strategi ini akan dapat mengakibatkan
produsen menyerap pangsa pasar yang lebih besar, yang dikarenakan
berpindahnya konsumen pada penawaran harga yang lebih rendah. Sementara
produsen pesaing akan kehilangan pangsa pasarnya. Pada jangka yang lebih
panjang, produsen pelaku predatory pricing akan dapat bertindak sebagai
monopolis.33
Jual rugi (predatory pricing) merupakan salah satu kegiatan yang dilarang
secara Rule of Reason yang memungkinkan pengadilan mempertimbangkan
faktor-faktor kompetitif dan menetapkan layak atau tidaknya suatu hambatan
perdagangan. Artinya untuk mengetahui apakah hambatan tersebut bersifat
mencampuri, mempengaruhi, atau bahkan menghambat proses persaingan.34
Selain itu harus dibuktikan bahwa pengaturan harga yang dapat merugikan
pelaku usaha lain merupakan suatu stategi yang biasa dilakukan oleh
perusahaan yang dominan untuk dapat menyingkirkan pesaingnya di suatu
pasar dengan cara menetapkan harga atau penjualan yang sangat rendah dan
umumnya di bawah biaya variabel. 35

F. Prinsip Rule of Reason


Pendekatan per se illegal maupun rule of reason telah lama diterapkan
untuk menilai apakah suatu tindakan tertentu dari pelaku usaha melanggar
undang-undang antimonopoli.36 Model pendekatan ini digunakan dengan
mengenali hambatan yang terjadi dalam suatu proses persaingan dimana
hambatan yang terjadi ada yang mutlak bersifat menghambat persaingan usaha
dan ada yang mempunyai pertimbangan atau alasan ekonomi. Oleh karena itu,
dengan pertimbangan ataupun rasionalisasi yang dipengaruhi faktor ekonomi,
sosial dan keadilan, maka dapat diputuskan bahwa tindakan tersebut dapat
dianggap atau tidak menciptakan hambatan dalam proses persaingan. 37
Rule of Reason memiliki definisi:38

31
Ibid, hal. 262.
32
Suhasril et. al., Op.Cit., hal. 115.
33
Ayudha D. Prayoga, et.al, 2000, Persaingan Usaha Hukum Yang Mengaturnya di Indonesia,
Proyek ELIPS, Jakarta, hal. 50.
34
Rezmia Febrina, Op.Cit., hal. 235.
35
Suhasril et. al., Op.Cit., hal. 121.
36
Andi Fahmi Lubis, et.al., 2008, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, GTZ
GmbH, Jakarta, hal. 55.
37
Ningrum Natasya Sirait, Op.Cit., hal. 78.
38
Ibid.

8
“Is a legal approach by competition authorities or the courts where
an attempts is made to evaluate the pro competitive features of a
restrictive business practices against is anti competitive affects in
order to decide whether or not the practice should be prohibited.
Some market restriction which prima facie give rise to competition
issues may on further examination be found to have valid efficiency-
enhacing benefits.”
Pendekatan Rule of Reason diterapkan pada akibat dari perjanjian atau kegiatan
usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan
tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. 39
Rule of Reason merupakan pendekatan yang digunakan otoritas
persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau
kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau
kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau
kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan usaha. 40
Dalam penerapannya, Rule of Reason memungkinkan pengadilan untuk
menafsirkan atau menginterpretasikan undang-undang, dalam pengadilan
disyaratkan untuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti latar belakang
dilakukannya tindakan, alasan bisnis di balik tindakan itu, serta posisi si pelaku
tindakan dalam industri tertentu, apabila telah dipertimbangkan faktor-faktor
tersebut, maka dapat ditentukan apakah suatu tindakan bersifat legal atau
tidak.41
Keunggulan Rule of Reason adalah menggunakan analisis ekonomi untuk
mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti, yaitu apakah suatu tindakan
pelaku usaha memiliki implikasi kepada persaingan. 42 Pendekatan Rule of
Reason juga mengandung satu kelemahan, dan mungkin merupakan kelemahan
paling utama yaitu, bahwa Rule of Reason yang digunakan oleh para hakim dan
juri mensyaratkan pengetahuan tentang teori ekonomi dan sejumlah data
ekonomi yang kompleks, di mana mereka belum tentu memiliki kemampuan
yang cukup untuk memahaminya, guna dapat menghasilkan keputusan yang
rasional.43
Pendekatan Rule of Reason digunakan dalam UU Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dicirikan dengan kata-kata yang
termuat dalam ketentuan pasal-pasalnya, yakni pencantuman “yang dapat
mengakibatkan” dan/atau “patut diduga”.44 Kata-kata tersebut mengartikan
perlunya penelitian secara lebih mendalam, apakah suatu tindakan dapat
menimbulkan praktek monopoli yang bersifat menghambat persaingan. 45 

39
A.M. Tri Anggraini, “Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal Dalam Hukum
Persaingan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24, Nomor 2, Tahun 2005, hal. 5.
40
Andi Fahmi Lubis, Op.Cit., hal. 55.
41
Arie Siswanto, Op.Cit., hal. 66.
42
Rezmia Febrina, Op.Cit., hal. 235.
43
Ibid.
44
A.M. Tri Anggraini, Op.Cit., hal. 6.
45
Lewinda Oletta Sidabutar, “Pendekatan “Per Se Illegal” dan “Rule of Reason” dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat”, Jurnal RechtsVinding Online, 3 April 2020.

9
Salah satu contoh pasal yang ditafsirkan menggunakan prinsip Rule of
Reason adalah Pasal 4 UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, yang mana berimplikasi dengan pelaku usaha sebenarnya tidak
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-
sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau
jasa atau membuat perjanjian oligopoli selama tidak mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan mempunyai
alasan-alasan yang dapat diterima sebagai dasar pembenar dari perbuatan
mereka tersebut.
G. Pengaturan tindakan jual rugi (predatory pricing) dalam Undang-
Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Untuk kelancaran jalannya persaingan usaha maka diperlukan aturan
hukum yang berguna untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan
persaingan usaha yakni dengan menerbitkan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam dunia persaingan usaha, ada banyak strategi yang digunakan oleh
para pelaku usaha. Namun, tidak semua strategi yang mereka gunakan dalam
bersaing sesuai dengan aturan hukum. Salah satunya strategi predatory pricing
yang kerap digunakan oleh pelaku usaha dalam mendapatkan banyak konsumen
sekaligus menyingkirkan pesaingnya keluar dari pangsa pasar.
Dalam jangka pendek, tindakan predatory pricing sangat menguntungkan
konsumen karena mendapatkan harga barang atau jasa dengan harga yang
murah, namun apabila seluruh pesaingnya tidak dapat melakukan kegiatan
usahanya lagi, maka pelaku usaha yang mendominasi akan menaikkan harga ke
tingkat yang tinggi untuk menutupi kerugian yang diderita pada saat penetapan
harga sangat rendah. Untuk itu, dalam undang-undang diatur pula mengenai
larangan menggunakan praktek predatory pricing yang terdapat dalam Pasal 20
UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam pasal ini diatur mengenai larangan kepada para pelaku usaha dalam
melakukan pemasokan barang atau jasa dengan cara menetapkan harga jual
dengan sangat rendah dengan tujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha
saingannya ataupun dengan maksud untuk mematikan usaha pesaingnya dalam
pasar yang bersangkutan sehingga hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dengan terbitnya
peraturan tersebut, pelaku usaha yang melakukan persaingan usaha dengan
cara yang sehat akan terlindungi oleh adanya atauran tersebut.
Praktek jual rugi dengan tujuan menyingkirkan atau mematikan pelaku
usaha pesaingnya di pasar dalam konteks persaingan usaha adalah suatu
perilaku pelaku usaha yang umumnya memiliki posisi dominan di pasar atau
sebagai pelaku usaha incumbent menetapkan harga yang merugikan secara
ekonomi selama suatu jangka waktu yang cukup panjang. Strategi ini dapat
mengakibatkan pesaingnya tersingkir dari pasar bersangkutan dan/atau
menghambat pelaku usaha lain untuk masuk ke pasar.
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 disebutkan, bahwa:

10
“Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan/atau jasa dengan
cara melakukan jual rugi, atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan
maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat."
Unsur-unsur predatory pricing yang terdapat dalam Pasal 20 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu:
1) Melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah;
2) Mempunyai maksud untuk menyingkirkan atau mematikan pelaku usaha
pesaingnya;
3) Mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat.
Menjual rugi dapat digambarkan ketika perusahaan yang memiliki posisi
dominan atau kemampuan keuangan yang kuat ( deep pocket) menjual
produknya dibawah harga produksi dengan tujuan untuk memaksa pesaingnya
keluar dari pasar. Setelah memenangkan persaingan, perusahaan tersebut akan
menaikkan harga kembali di atas harga pasar dan berupaya mengembalikan
kerugiannya dengan mendapatkan keuntungan dari harga monopoli. 46
Selain pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, larangan penetapan
harga juga diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
mengenai larangan penetapan harga di bawah harga pasar. Namun demikian
Pasal 7 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan diterapkan
berbeda oleh KPPU, tergantung pada fakta kasus per kasus. Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 mensyaratkan adanya perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, sedangkan
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak mencantumkan adanya
persyaratan perjanjian.
Penetapan harga di bawah harga pasar atau kegiatan jual rugi atau
predatory pricing ini merupakan suatu bentuk penjualan atau pemasokan barang
dan/atau jasa dengan cara jual rugi yang bertujuan untuk mematikan
pesaingnya. Dapat dikemukakan, bahwa faktor merupakan hal yang sangat
penting dan esensial dalam dunia usaha. Oleh karenanya, perilaku pelaku usaha
yang menetapkan jual rugi atau harga sangat rendah bertujuan untuk
menyingkirkan atau mematikan usaha para pesaingnya. Ini bertentangan
dengan prinsip persaingan yang sehat. Sama halnya seperti penguasaan pasar
yang harus didasarkan pada adanya posisi dominan. 47
Berkaitan dengan pengertian mengenai perjanjian yang menetapkan harga
di bawah harga pasar (predatory pricing) diatur dalam Pasal 7 dari Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999.

46
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan XI, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13.
47
Project ELIPS and Partnership for Business Competition, 2001, Persaingan Usaha dan
Hukum Yang Mengaturnya di Indonesia, Elips Project, Jakarta, hal. 44.

11
"Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat."
Perjanjian penetapan harga di bawah biaya marginal yang dilarang adalah
perjanjian yang dibuat pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya dengan
tujuan menetapkan harga di bawah harga pasar atau di bawah biaya rata-rata,
yang membawa akibat timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat. Larangan
pembuatan perjanjian yang berisikan penetapan harga barang atau jasa di
bawah harga pasar ini dikenal dengan istilah “antidumping".

H. Penerapan pendekatan rule of reason tindakan jual rugi (predatory


pricing) produk semen oleh PT. Conch South Kalimantan Cement
Penerapan rule of reason dalam Undang-Undang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tergambar dari konteks kalimat
yang membuka alternatif interpretasi bahwa tindakan tersebut harus dibuktikan
terlebih dahulu akibatnya secara keseluruhan dengan memenuhi unsur-unsur
yang ditentukan dalam undang-undang apakah telah mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli ataupun persaingan usaha tidak sehat. Substansi Undang-
Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang
menggambarkan prinsip rule of reason adalah pasal-pasal yang mempunyai
kalimat membuka peluang bahwa akibat yang ditimbulkan dari tindakan tersebut
melanggar Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
Secara garis besar Undang-Undang Nomormor 5 Tahun 1999
menggunakan dua pendekatan dalam pengaturan persaingan usaha yaitu
pendekatan per se illegal dan pendekatan rule of reason.48 Pengaturan mengenai
predatory pricing sendiri menggunakan pendekatan rule of reason, yang artinya
predatory pricing baru diambil tindakan hukum apabila berpotensi akan
berakibat buruk terhadap praktek persaingan usaha. 49
Berdasarkan pendekatan rule of reason, meskipun suatu perbuatan telah
memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, namun jika ada
alasan-alasan yang wajar ( reasonable) maka perbuatan tersebut bukan
merupakan pelanggaran hukum. Penerapan hukumnya bergantung pada akibat
yang ditimbulkan, apakah perbuatan tersebut telah menimbulkan praktek
monopoli atau tidak.50
Dalam penerapan pendekatan rule of reason ada 2 (dua) teori pembuktian
yang biasa dipakai untuk mengevaluasi tindakan yang dilakukan oleh pelaku
usaha, yaitu :

48
Johnny Ibrahim, 2006, Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori Dan Implikasi Penerapannya
Di Indonesia, Bayumedia, Malang, hal.227.
49
Rachmadi usman, 2013, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
hal.13.
50
L. Budi Kagramanto, 2015, Mengenal Hukum Persaingan Usaha, Laros, Surabaya, hal. 108.

12
a. Bright Line Evidence Theory dan
b. Hard Line Evidence Theory
Berdasarkan bright line evidence theory pelaku usaha dinyatakan
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat, yaitu cukup dengan membuktikan bahwa tidak ada lagi persaingan usaha
dalam pasar yang bersangkutan. Sementara berdasarkan hard line evidence
theory pelaku usaha dinyatakan mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat yaitu dibuktikan dengan menggunakan
analisis ekonomi.
Dalam kasus tindakan jual rugi (predatory pricing) produk semen oleh PT.
Conch South Kalimantan Cement, analisis ekonomi dilakukan terhadap 2 (dua)
variabel yaitu:
a) Pangsa Pasar, yaitu apakah PT. Conch South Kalimantan Cement
mendapatkan manfaat berupa kenaikan pangsa pasar yang signifikan.
Semakin tinggi nilai pangsa pasar yang dimiliki oleh perusahaan, maka
kekuatan pasarnya akan semakin besar.
b) Konsentrasi Pasar, yaitu apakah PT. Conch South Kalimantan Cement
membuat pelaku usaha pesaing keluar dari pasar bersangkutan, sehingga
pasar semakin terkonsentrasi.
Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan, majelis komisi dalam perkara
mempertimbangkan dampak dari PT. Conch South Kalimantan Cement dilihat
dari perolehan pangsa pasar PT. Conch South Kalimantan Cement yang
meningkat secara signifikan. PT. Conch South Kalimantan Cement merupakan
perusahaan yang baru masuk pada pasar penjualan semen di wilayah
Kalimantan Selatan, dan baru menjalankan produksinya pada bulan November
2014 dan memasarkan produknya pada awal tahun 2015.

Grafik 1
Pangsa pasar semen jenis PCC di Kalimantan Selatan
Tahun 2014 – 2019 (dalam persen)
60
Indocement
50 SBI
Gresik
40
Tonasa
30 Bosowa
Jui Shin
20
Cemindo
10 Jawa
Conch South
0
2014 2015 2016 2017 2018 2019

13
Berdasarkan fakta pangsa pasar semen di Kalimantan Selatan, PT. Conch
South Kalimantan Cement mengalami kenaikan yang sangat signifikan, yaitu dari
0% (nol persen) tahun 2014 menjadi 43,65% (empat puluh tiga koma enam
puluh lima persen) di tahun 2015. Pangsa pasar PT. Conch South Kalimantan
Cement tersebut dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya, yaitu
42,51% (empat puluh dua koma lima puluh satu persen) tahun 2016, 46,48%
(empat puluh enam koma empat puluh delapan persen) tahun 2017, 49,32%
(empat puluh sembilan koma tiga puluh dua persen) tahun 2018 dan 46,56%
(empat puluh enam koma lima puluh enam persen) tahun 2019. Peningkatan
pangsa pasar yang signifikan tersebut berdampak pada berkurangnya pangsa
pasar pelaku usaha pesaing, bahkan mengakibatkan ada pelaku usaha pesaing
yang tersingkir dari pasar bersangkutan.
Bahwa berdasarkan data pangsa pasar tersebut, Majelis Komisi menilai
perolehan pangsa pasar PT. Conch South Kalimantan Cement yang meningkat
secara signifikan merupakan hal yang tidak lazim sebagai perusahaan baru pada
industri semen di wilayah Kalimantan Selatan, hal ini juga diperkuat dengan
pangsa pasar pelaku usaha pesaing di Kalimantan Selatan yaitu PT Indocement
Tunggal Prakarsa, Tbk, PT Semen Gersik (Persero), Tbk, PT Semen Tonasa
(Persero), PT Solusi Bangun Indonesia, Tbk dan PT Semen Bosowa Maros
mengalami penurunan. Majelis Komisi menilai PT. Conch South Kalimantan
Cement terbukti menerapkan strategi harga jual di bawah harga pokok
penjualan selama 1 (satu) tahun pada tahun 2015. Penerapan strategi harga
yang dilakukan oleh PT. Conch South Kalimantan Cement tersebut bermaksud
untuk menaikkan pangsa pasar dengan cara memangsa pesaingnya. Hal ini
terbukti adanya peningkatan pangsa pasar PT. Conch South Kalimantan Cement
secara signifikan, sedangkan jika tujuannya adalah hanya untuk promosi maka
tidak akan meningkat tajam pangsa pasarnya.
Melihat pada pangsa pasar semen di wilayah Kalimantan Selatan,
menunjukkan dengan masuknya PT. Conch South Kalimantan Cement pada
pasar penjualan produk semen jenis PCC di wilayah Kalimantan Selatan
mengakibatkan adanya pelaku usaha pesaing yang keluar dari pasar tersebut,
yaitu PT. Cemindo Gemilang; PT. Semen Bosowa Maros; PT. Solusi Bangun
Indonesia; PT. Jui Shin Indonesia; dan PT. Semen Jawa. kelima perusahaan
tersebut keluar dari pasar wilayah Kalimantan Selatan setelah mengalami
penurunan penjualan dan berusaha untuk menurunkan harga jual tetapi tidak
mampu bersaing dengan harga jual semen PT. Conch South Kalimantan Cement
pada pasar bersangkutan.
Berdasarkan data pangsa pasar sebagaimana data Indeks Herfindahl-
Hirschman (HHI) yang yang dikuadratkan dari pangsa pasar semen jenis PCC di
wilayah Kalimantan Selatan diketahui sebagai berikut: tahun 2014 sebesar 2.682
(dua ribu enam ratus delapan puluh dua), tahun 2015 sebesar 2.927 (dua ribu
sembilan ratus dua puluh tujuh), tahun 2016 sebesar 2.930 (dua ribu sembilan
ratus tiga puluh), tahun 2017 sebesar 3.129 (tiga ribu seratus dua puluh
sembilan), tahun 2018 sebesar 3.316 (tiga ribu tiga ratus enam belas) dan tahun
2019 sebesar 3.125 (tiga ribu seratus dua puluh lima). Kenaikan HHI
menunjukkan konsentrasi pasar meningkat, sebagai bukti bahwa tingkat

14
persaingan pada industri semen di pasar wilayah Kalimanatan Selatan
mengalami penurunan.
Berdasarkan hal tersebut, Majelis Komisi menilai peningkatan pangsa pasar
PT. Conch South Kalimantan Cement secara signifikan merupakan akibat dari
perilaku PT. Conch South Kalimantan Cement dalam menerapkan jual rugi atau
menetapkan harga yang sangat rendah. Peningkatan pangsa pasar PT. Conch
South Kalimantan Cement secara signifikan dan keluarnya 5 (lima) pelaku usaha
pesaing dari pasar sebagaimana telah diuraikan diatas berdampak pada pasar
yang semakin terkonsentrasi yang mengakibatkan praktek monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.
Untuk membuktikan terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran Pasal 20
Undang-Undang Nomormor 5 Tahun 1999, maka Majelis Komisi
mempertimbangkan unsur-unsur sebagai berikut :
1. Unsur Pelaku Usaha;
Pelaku usaha dalam kasus jual rugi (predatory pricing) adalah PT Conch
South Kalimantan Cement yaitu suatu badan usaha yang berbentuk badan
hukum perseroan terbatas yang melakukan kegiatan usaha dalam industri
semen.
2. Unsur Melakukan Pemasokan;
Bahwa Terlapor memproduksi semen jenis OPC dan PCC dari pabrik miliknya
yang berlokasi di Tabalong, Kalimantan Selatan. Terlapor menjual hasil
produksinya yaitu semen jenis OPC dan PCC di antaranya adalah wilayah
Kalimantan Selatan kepada para distributor.
3. Unsur Barang;
Semen jenis PCC yang diproduksi oleh Terlapor merupakan benda yang
berwujud yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
4. Unsur Jual Rugi atau Menetapkan Harga yang Sangat Rendah;
Pada tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 harga jual semen jenis PCC
Terlapor lebih rendah dibandingkan pelaku usaha pesaingnya di wilayah
Kalimantan Selatan sebagaimana telah diuraikan.
5. Unsur Menyingkirkan atau Mematikan Usaha Pesaingnya;
Berdasarkan pangsa pasar semen di wilayah Kalimantan Selatan terdapat 5
(lima) pelaku usaha yang keluar di wilayah Kalimantan Selatan. kelima
perusahaan tersebut keluar dari pasar wilayah Kalimantan Selatan setelah
mengalami penurunan penjualan dan berusaha untuk menurunkan harga
jual, tetapi tidak mampu bersaing dengan harga jual semen pada pasar
bersangkutan. Dengan tersingkirnya 5 (lima) pelaku usaha pesaing di
wilayah Kalimantan Selatan menunjukan pasar yang semakin terkonsentrasi.
6. Unsur Pasar Bersangkutan;

15
Bahwa secara umum terdapat 2 (dua) jenis produk semen yang dipasarkan
oleh Terlapor, yaitu semen jenis OPC dan PCC. Mayoritas produksi semen
Terlapor dan di wilayah Kalimantan Selatan adalah semen jenis PCC. Bahwa
pasar bersangkutan dalam kasus jual rugi (predatory pricing) adalah pasar
penjualan semen jenis PCC di wilayah Kalimantan Selatan.
7. Unsur Praktek Monopoli dan/atau Persaingan Usaha tidak Sehat
Bahwa tindakan Terlapor dalam menerapkan stategi harga jual di bawah
harga pokok penjualan pada tahun 2015 dan menetapkan harga yang
sangat rendah dibandingkan pelaku usaha pesaingnya pada tahun 2014
sampai dengan tahun 2019 berdampak pada peningkatan pasar Terlapor
secara signifikan dan keluarnya 5 (lima) pelaku usaha pesaing dari pasar
bersangkutan. Peningkatan pangsa pasar Terlapor secara signifikan dan
keluarnya 5 (lima) pelaku usaha pesaing dari pasar bersangkutan tersebut
berdampak pada pasar yang semakin terkonsentrasi, sehingga
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat.
Berdasarkan fakta-fakta serta analisis dalam penerapan pendekatan rule of
reason, tindakan jual rugi (predatory pricing) produk semen oleh PT. Conch South
Kalimantan Cement terbukti melakukan pelanggaran yang berdampak pada
perubahan konsentrasi pasar semen di wilayah Kalimantan Selatan yang
menyebabkan tingkat persaingan industri semen di wilayah tersebut mengalami
penurunan.
I. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pengaturan predatory pricing dalam persaingan usaha di Indonesia yakni
menggunakan Pasal 20 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat untuk mengatur
penerapan persaingan usaha yang berkembang seperti praktek predatory
pricing yang berarti strategi usaha menetapkan harga yang sangat rendah
untuk barang dan atau jasa yang dihasilkan dalam suatu periode yang cukup
lama, untuk menyingkirkan pelaku usaha lain yang menjadi pesaing-
pesaingnya dari pasar atau juga untuk menghambat pelaku usaha lain masuk
ke dalam pasar tersebut. Tindakan ini merupakan sebuah bentuk persaingan
usaha tidak sehat yang sudah jelas dilarang berdasarkan Pasal 20 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut. Dengan demikian pengaturan tentang
pelarangan kegiatan atau tindakan Predatory Pricing dalam dunia usaha
sudah jelas dilarang dalam penerapan hukum Indonesia.
2. Berdasarkan analisis penerapan pendekatan rule of reason pada kasus jual
rugi (predatory pricing) oleh PT. Conch South Kalimantan Cement terbukti
adanya peningkatan pangsa pasar secara signifikan merupakan akibat dari
perilaku PT. Conch South Kalimantan Cement dalam menerapkan jual rugi
atau menetapkan harga yang sangat rendah. Peningkatan pangsa pasar PT.
Conch South Kalimantan Cement secara signifikan dan keluarnya 5 (lima)

16
pelaku usaha pesaing dari pasar sebagaimana telah diuraikan berdampak
pada pasar yang semakin terkonsentrasi yang mengakibatkan praktek
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

J. Daftar Pustaka
1. Buku
Andi Fahmi Lubis, et.al., 2008, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan
Konteks, GTZ GmbH, Jakarta.
Asmah. Hukum Persaingan Usaha “Hakikat Fungsi KPPU di Indonesia” , Social
Politic Genius, Makassar, 2017.
Fuady, Munir. Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat ,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia , Kencana,
Jakarta, 2008.
Ibrahim, Johnny. Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori Dan Implikasi
Penerapannya Di Indonesia, Bayumedia, Malang, 2006.
Kagramanto, L. Budi. Mengenal Hukum Persaingan Usaha , Laros, Surabaya,
2015.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Pedoman Pelaksanaan Pasal 20 Tentang
Jual Rugi (Predatory Pricing), Seri Pedoman Pelaksanaan Undang‐
Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, 2009.
Nugroho, Susanti Adi. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Kencana,
Jakarta, 2012.
Prayoga, Ayudha D. et.al, Persaingan Usaha Hukum Yang Mengaturnya di
Indonesia, Proyek ELIPS, Jakarta, 2000.
Project ELIPS and Partnership for Business Competition, Persaingan Usaha
dan Hukum Yang Mengaturnya di Indonesia , Elips Project, Jakarta,
2001.
Rokan, Mustafa Kamal. Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di
Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2012.
Saliman, Abdul R. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus ,
Kencana Pranada Group, Jakarta, 2008.
Silalahi, M. Udin. Perusahaan Saling Mematikan & Bersengkongkol:
Bagaimana Cara Memenangkan?, Elex Media Komputindo, Jakarta,
2007
Sirait, Ningrum Natasya. Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat , Pustaka
Bangsa Press, Medan, 2003.
Siswanto, Arie. Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004.

17
Sitompul, Asril. Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999) , Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1999.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Cetakan XI, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2006.
Suharsil dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha TIdak Sehat di Indonesia , Ghalia Indonesia,
Bogor, 2010.
Sumitro, Rony Hanityo. Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1985.
Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia , Sinar Grafika,
Jakarta, 2013.
2. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
3. Jurnal
A.M. Tri Anggraini, “Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal
Dalam Hukum Persaingan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24, Nomor
2, Tahun 2005.
Alum Simbolon, “Pendekatan yang Dilakukan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha Menentukan Pelanggaran Dalam Hukum Persaingan Usaha”,
Jurnal Hukum, Volume 20, Nomor 2, April 2013.
Basir, “Industri Semen Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal
Hukum Islam, Volume XVII, Nomor 2, Desember 2017.
Lewinda Oletta Sidabutar, “Pendekatan “Per Se Illegal” dan “Rule of Reason”
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Jurnal
RechtsVinding Online, 3 April 2020.
Ni luh putu diah rumika dewi, “Penerapan Pendekatan Rules Of Reason Dalam
Menentukan Kegiatan Predatory Pricing Yang Dapat Mengakibatkan
Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 5,
Nomor 2, Tahun 2017.
Rezmia Febrina. “Dampak Kegiatan Jual Rugi (Predatory Pricing) Yang
Dilakukan Pelaku Usaha Dalam Perspektif Persaingan Usaha ”,
Jurnal Selat, Volume 4, Nomor 2, Mei 2017.
4. Sumber Lain
Januardi Husin, “Banting Harga, KPPU Selidiki Perusahaan Semen di
Kalimantan Selatan”, https://www.law-
justice.co/artikel/88434/banting-harga-kppu-selidiki-perusahaan-
semen-di-kalimantan-selatan/,

18
Boyke P. Siregar, “KPPU Selidiki Persaingan Tak Sehat Bisnis Semen di
Kalsel”, https://www.wartaekonomi.co.id/read291490/kppu-selidiki-
persaingan-tak-sehat-bisnis-semen-di-kalsel,
Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2020
http://putusan.kppu.go.id/simper/_lib/file/doc/Final%20Salinan%20Putusan
%20Perkara%2003%20Semen.pdf

19

Anda mungkin juga menyukai