Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ANALISIS KASUS PENOLAKAN PENDAFTARAN MEREK “PURE BABY” OLEH


DIREKTORAT JENDERAL HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

Disusun oleh:

Nama : Alma Nurullita


NIM : 81114116328
Mata Kuliah : Kekayaan Intelektual
Rombel : 02
Dosen Pengampu : Andry Setiawan, S.H. M.H.

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah
individu yang berjudul “Analisis Kasus Penolakan Pendaftaran Merek ‘Pure Baby’ Oleh
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual”.
Terima kasih saya sampaikan kepada Dosen Pengampu mata kuliah Kekayaan
Intelektual, Bapak Andry Setiawan S.H.,M.H. yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat saya gunakan sebagai media belajar serta dapat memberikan infomasi dan menambah
wawasan bagi para pembaca.
Tentunya dalam penyusunan makalah ini masih memiliki banyak kekurangan,
sehingga saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak
demi perbaikan makalah ini untuk kedepannya.
Wassalamu’alaikum wr. wb.

Semarang, 1 Juli 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI.............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang .................................................................................................................. 1
2. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 2
3. Tujuan Penulisan ............................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kronologi Penolakan Pendaftaran Merek “Pure Baby” Oleh Dirjen HKI ..................... 3
2.2 Analisis Penyelesaian Kasus Penolakan Merek “Pure Baby” Oleh Dirjen HKI ........... 4
BAB III PENUTUP
Kesimpulan .......................................................................................................................... 7
Saran ..................................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 8
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Merek merupakan salah satu unsur terpenting bagi setiap produk yang dijual dan
dipasarkan. Peran merek sangatlah penting karena merek merupakan nama atau identitas
yang membedakan sebuah produk dengan produk lainnya. Konsumen pun akan lebih
mengenal sebuah produk dengan menyebut mereknya. Pengertian merek menurut Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf
angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki
daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Sedangkan
pengertian Merek Dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang dan beberapa orang secara bersama-sama atau badan
hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Merujuk pada
pengertian tersebut, setiap merek hendaknya memiliki ciri khas masing-masing, baik pada
nama, desain logo, maupun desain tulisan. Sebuah produk akan memiliki daya tarik lebih
apabila memiliki nama ataupun logo yang unik dan mempunyai ciri khasnya tersendiri.
Setiap perusahaan maupun individu yang mengeluarkan suatu produk beserta
mereknya, wajib mendaftarkannya ke Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) Kementrian Hukum dan HAM. Manfaat utama dari sebuah merek yaitu :
agar konsumen mampu mencirikan suatu produk (baik itu barang maupun jasa),
memungkinkan suatu perusahaan dapat membedakan dirinya dan produk yang dimiliki
dengan para pesaingnya, serta dapat menjadi nilai tambah bagi perusahaan untuk
berinvestasi guna menjamin bahwa merek produk yang mereka miliki mempunyai reputasi
yang baik. Mengingat pentingnya manfaat pendaftaran merek, maka setiap perusahaan
harus mendaftarkan setiap produk yang dikeluarkannya kepada Dirjen HKI. Namun tidak
semua merek yang didaftarkan dapat langsung disetujui dan disahkan oleh Dirjen HKI.
Terdapat kriteria khusus untuk menentukan setiap merek layak disahkan atau tidak. Salah
satu kriteria tersebut adalah kesamaan atau ada beberapa kemiripan dengan produk yang
sejenis, baik dari segi nama maupun desain.
Apabila suatu tanda tidak memiliki daya pembeda, maka tanda itu tidak dapat
dijadikan sebagai suatu merek. Begitu juga jika merek itu tidak digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang dan/atau jasa, maka permohonan mereknya akan ditolak1. Kasus
penolakan atas pendaftaran merek pernah dilakukan oleh Dirjen HKI terhadap pendaftaran
merek “Pure Baby” yang diproduksi oleh PT Antarmitra Sembada (AMS). “Pure Baby”
merupakan sebuah merek untuk produk perawatan bayi. Dirjen HKI memiliki alasan
terkait dengan penolakan merek “Pure Baby” tersebut. Dengan adanya kasus penolakan
daftar merek tersebut, dalam makalah ini akan dibahas mengenai kronologi penolakan
merek dan analisis penyebab penolakan merek tersebut beserta penyelesaiannya.

2. Rumusan Masalah
2.1 Bagaimana kronologi penolakan pendaftaran merek “Pure Baby” oleh Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual?
2.2 Bagaimana analisis penyelesaian kasus penolakan merek “Pure Baby”?

3. Tujuan Penulisan
3.1 Untuk mengetahui kronologi penolakan pendaftaran merek “Pure Baby” oleh
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
3.2 Untuk mengetahui analisis penyelesaian kasus penolakan merek “Pure Baby”.

1
Fajar Nurcahya Dwi Putra, “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Merek Terhadap Perbuatan
Pelanggaran Merek”, Mimbar Keadilan, Jurnal Ilmu Hukum, hal. 98.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kronologi Penolakan Pendaftaran Merek “Pure Baby” Oleh Dirjen HKI
Kasus ini berawal dari permohonan pendaftaran merek yang dilakukan oleh PT
Antarmitra Sembada (AMS) terhadap produk terbarunya “Pure Baby” yang merupakan
rangkaian produk perawatan bayi. Demi memperoleh status pemilik dan pemegang hak
atas merek Pure Baby, PT AMS mendaftarkan produknya tersebut ke Direktorat Merek
Direktoral Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementrian Hukum dan HAM. Pendaftaran
dilakukan pada 16 Juli 2012, namun mendapat penolakan oleh Dirjen (Direktorat
Jenderal) HKI. Setelah mendapat penolakan, PT AMS mengajukan kasus tersebut ke
Komisi Banding Merek. Tetapi rupanya Komisi Banding Merek menyetujui putusan
Dirjen Merek. Keduanya melihat bahwa merek yang diajukan AMS memiliki persamaan
pada pokoknya dengan merek lain yang telah terdaftar, yaitu “My Baby”. Menurut
Majelis, unsur dominan dari merek My Baby adalah seluruh kata tersebut. Begitu juga
dengan Pure Baby sehingga merek milik AMS memiki persamaan pada unsur
konseptual, bunyi, dan ucapan sebagaimana dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang
Merek.
Selain memiliki persamaan pada pokoknya, merek Pure Baby juga akan mendaftarkan
diri untuk kelas barang yang sejenis dengan My Baby, yaitu kelas 3. Berdasarkan
penelusuran, merek My Baby ini telah terdaftar di Dirjen HKI di beberapa kelas barang,
seperti kelas 1, 3, 5, 16, dan 28 sejak 2005 silam. Sedangakn Pure Baby, merek ini baru
hendak didaftarkan pada Juli 2012 untuk kelas 3, yaitu kelas yang memproduksi barang
seperti hand body losion, bedak, sabun, shampo. Sementara itu, untuk kelas 3 saja, My
Baby saja, My Baby yang terdaftar atas nama PT Bogamulia Nagadi ini telah terdaftar
sebanyak 14 jenis pada tahun yang berbeda-beda.
Terkait dalil AMS yang mengatakan merek miliknya tidak memiliki persamaan pada
pokoknya dengan My Baby karena ada merek lain yang menggunakan kata “Baby”,
majelis berpandangan bahwa penggunaan merek tidak dapat dilihat secara sebagian saja.
Merek harus dipandang secara utuh dan satu kesatuan. Pandangan tersebut merujuk pada
Putusan Mahkamah Agung No. 3055 K/Sip/1985 dan Putusan Mahkamah Agung No.
03K/N/Haki/2007.
2.2 Analisis Penyelesaian Kasus Penolakan Merek “Pure Baby” Oleh Dirjen HKI
Hak atas merek menurut Pasal 1 Undang-Undang Merek (UUM) adalah hak ekslusif
yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum
merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau
memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Jangka waktu perlindungan
merek selama 10 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu
perlindungan tersebut dapat diperpanjang.
Perlindungan merek sangat penting sekali, merek selain sebagai harta kekayaan yang
dapat menghasilkan keuntungan bagi pengusaha (pemilik merek), juga sebagai alat untuk
melindungi masyarakat selaku konsumen dari terjadinya penipuan kualitas barang
tertentu.2 Mengingat pentingnya manfaat merek, maka pendaftaran merek adalah hal
yang harus dilakukan oleh setiap perusahaan yang mengeluarkan suatu produk. Dengan
melakukan pendaftaran, akan diperoleh hak atas merek yang dapat menjaga
kelangsungan usaha dari perusahaan yang bersangkutan dan menghindari adanya
pemalsuan merek. UUM mengenal beberapa prinsip dalam pendaftaran merek,
diantaranya :
a. Prinsip first to file (pendaftar pertama). Prinsip ini menjelaskan bahwa pendaftar
pertama melalui pengajuan permohonan adalah pihak yang diakui sebagai
pemegang merek.
b. Merek yang akan didaftarkan tidak boleh menimbulkan kebingungan dan
penyesatan dengan suatu merek yang secara umum telah terkenal dan dimiliki
oleh pihak ketiga.
c. Prinsip cepat dalam penyelesaian hukum perkara merek. Upaya hukum yang
diajukan melalui pengadilan niaga, selanjutnya langsung dapat dilakukan upaya
hukum kasasi, tidak ada upaya banding.
Pendaftaran merek “Pure Baby” oleh PT Antarmitra Sembada (AMS) mengalami
penolakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Hal ini disebabkan karena
pihak Majelis dan Komisi Banding Merek melihat merek yang diajukan PT AMS
memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek lain yang telah terdaftar sebelumnya,
yaitu “My Baby”. Menurut Majelis, terdapat kesamaan kata “Baby” yang merupakan
unsur dominan dari kedua merek tersebut. Adanya kesamaan nama, logo, atau tampilan
visual dapat membuat konsumen merasa dibingungkan. Pandangan Majelis tersebut

2
Khoirul Hidayah, Hukum HKI Hak Kekayaan Intelektual (Malang: Setara Press, 2017), hal. 54.
merujuk pada Pasal 6 ayat (1) UUM bahwa permohonan harus ditolak oleh Direktorat
Jenderal Merek apabila :
“mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik
pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis.”
Hal tersebut menyebabkan merek Pure Baby mengalami penolakan oleh Direktorat
Jenderal Merek. Dalam hal ini, Dirjen Merek hanya bertumpu pada pasal yang terdapat
dalam Undang-Undang Merek tanpa melakukan penafsiran secara mendalam terhadap
realita di lapangan. Dalil yang dikeluarkan dapat dikatakan lemah dan Majelis terkesan
kurang analitis serta terburu-buru dalam mengeluarkan putusan. Seharusnya, Majelis
melakukan analisis yang lebih tajam dalam membandingkan isi pasal dengan merek Pure
Baby yang dianggap menyerupai merek My Baby.
PT AMS yang tidak terima dengan keputusan Dirjen Merek mengajukan keberatan
atas penolakan tersebut kepada Komisi Banding Merek Ditjen HKI. Namun, Komisi
Banding Merek sepakat dengan putusan Direktorat Jenderal Merek dengan keluarnya
putusan No. 173/KBM/HKI/2012 pada 19 Agustus 2012.
Setelah keluarnya putusan tersebut, PT AMS tetap berusaha untuk mendapatkan hak
ekslusif atas merek Pure Baby yang dikeluarkannya. Pihak PT AMS berargumen bahwa
merek miliknya tidak memiliki persamaan pada pokonya dengan merek My Baby karena
ada merek lain yang juga menggunakan kata “Baby”. PT AMS mengajukan gugatan
terhadap Komisi Banding Merek kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Berbeda
dengan pandangan Majelis Hakim Banding, Ketua Majelis Hakim Endah Deti Pertiwi
mengatakan, PT AMS dapat membuktikan argumennya bahwa merek Pure Baby tidak
memiliki kesamaan secara konseptual dengan merek My Baby. Menurut Endah Deti
Pertiwi, kata Baby dalam merek Pure Baby bukan unsur yang dominan, merek Pure
Baby yang berbahasa Inggris tidak diartikan kata per kata, melainkan harus diartikan
dalam satu kesatuan.
Pendapat dari Ketua Majelis Hakim Pengadilan Niaga tersebut memang benar, karena
pada dasarnya suatu merek tidak bisa dianggap sama dengan merek lainnya hanya karena
ada kesamaan kata atau salah satu kata di dalamnya. Penyebutan merek tidak bisa
dilakukan per kata, melainkan harus per kalimat yang merupakan satu kesatuan dari
merek tersebut. Plagiarisme atau peniruan terhadap merek terjadi apabila terdapat
kesamaan nama atau logo yang dominan atau telah menjadi ciri khas dari merek tersebut,
dan kata yang gunakan bukan berasal dari bahasa sehari-hari atau istilah yang sifatnya
umum.
Majelis Hakim menyatakan bahwa putusan Komisi Banding Merek yang menolak
pendaftaran merek Pure Baby karena dianggap sama dengan produk lain tersebut, pada
Mei 2015 lalu harus dibatalkan karena tidak beralasan hukum. Dengan adanya putusan
Majelis Hakim yang menyatakan bahwa merek Pure Baby tidaklah “sama” atau “serupa”
dengan produk sebelumnya yaitu My Baby, maka PT AMS dapat langsung mendapatkan
sertifikat merek Pure Baby dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Sehingga
dengan demikian “Pure Baby” milik PT AMS telah menjadi merek yang sah atau legal
dan telah terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual atau Dirjen HKI.
Dengan keluarnya izin edar dari Dirjen HKI, maka PT AMS sebagai pemilik merek
Pure Baby telah menaati peraturan yang berlaku dan menempuh prosedur yang benar
untuk mendaftarkan merek yang dimilikinya. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya
pelanggaran hak cipta seperti pemalsuan, plagiarisme, dan sebagainya. Selain itu upaya
pendaftaran merek menunjukkan sikap taat kepada negara melalui pelaksanaan peraturan
perundang-undangan di Indonesia, salah satunya adalah mengupayakan izin yang sah
dan kelegalan bagi setiap merek yang dikeluarkan oleh pengusaha.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pendaftaran merek merupakan hal yang sangat penting dilakukan oleh setiap perusahaan
atau pengusaha yang mengeluarkan suatu produk. Dengan mendaftarkan merek ke Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual atau Dirjen HKI, maka setiap pemilik merek akan
mendapatkan hak eksklusif yang dapat melindungi kelangsungan usahanya. Pendaftaran
merek dapat mencegah adanya pemalsuan produk maupun plagiarisme antara satu produk
dengan produk lainnya yang dapat membingungkan konsumen. Namun tidak semua proses
pendaftaran merek berjalan dengan lancar. PT AMS atas produknya Pure Baby ditolak oleh
Dirjen Merek dan Majelis Banding Merek dengan alasan memiliki nama yang menyerupai
produk lain yang berjenis sama yaitu My Baby. Berbeda dengan pendapat Majelis Hakim
Pengadilan Niaga yang bertolak belakang dengan pendapat Majelis Hakim Banding. Putusan
yang dikeluarkan Majelis Banding memang kurang tepat dan kurang analitis dalam menilai
suatu produk. Majelis Hakim Pengadilan Niaga mengabulkan permintaan kasasi PT AMS dan
memenangkan gugatan PT AMS, sehingga PT AMS dapat memperoleh sertifikat dari Dirjen
HKI dan produk perawatan bayi Pure Baby menjadi salah satu produk yang legal dan telah
memenuhi izin beredar.

Saran
Setiap perusahaan yang mengeluarkan suatu produk hendaknya mendaftarkan produknya
tersebut agar mendapat hak eksklusif terhadap kepemilikan merek. Kreativitas dalam
membuat suatu nama, logo, ataupun jargon yang dapat menambah keunikan dari suatu merek
harus diperhatikan. Adanya kesamaan dengan merek lain adalah hal yang harus dihindari
agar setiap merek dapat memikat hati para konsumen, serta menjadi merek yang terkenal dan
dipercaya oleh khalayak umum. Selain perusahaan sebagai pihak pendaftar merek, Direktorat
Jenderal Merek yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual
diharapkan lebih selektif dalam menerima produk. Analisis yang mendalam dan teliti penting
dilakukan agar tidak terjadi salah tafsir terhadap merek yang dimohonkan pendaftarannya.
Kesalahan dalam melakukan penilaian atau analisis dapat merugikan pihak lain khususnya
perusahaan yang mengusahakan legalitas dan hak ekslusif bagi merek yang dikeluarkan oleh
perusahaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayah, Khoirul. Hukum HKI Hak Kekayaan Intelektual. Malang: Setara Press, 2017.

Putra, Fajar Nurcahya Dwi. “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Merek
Terhadap Perbuatan Pelanggaran Merek”, Mimbar Keadilan, Jurnal Ilmu Hukum, hal. 98.

Utami, Sinar Putri S. “Antarmitra Sembada Menang Merek Pure Baby.


http://nasional.kontan.co.id/news/antarmitra-sembada-menang-merek-pure-baby (akses 25
Juni 2018
“Sengketa Merek My Baby vs Pure Baby.” http://hukumonline.com (akses 24 Juni 2018).

“Manfaat Pendaftaran Merek.”, http:startuphki.com/manfaat-pendaftaran-merek/ (akses 26


Juni 2018).
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Anda mungkin juga menyukai