Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA

PEMBANGUNAN

A. Pengertian Perjanjian Kerjasama dalam Kitab Undang-Undang

Perdata

1. Pengertian Perjanjian Kerjasama

KUH Perdata memberi keleluasaan bagi para pihak yang mengadakan

perjanjian untuk membentuk kesepakatan di dalam maupun di luar KUH

Perdata itu sendiri. Peraturan ini berlaku untuk semua pihak yang

mengadakan kesepakatan, yang tidak bertentangan dengan undang-

undang, norma-norma kesusilaan yang berlaku. Perjanjian lahir karena

adanya kesepakatan, kesamaan kehendak (konsensus) dari para pihak.

Hal ini berarti bahwa perjanjian tidak diadakansecara formal saja,

melainkan juga secara konsensual.Dalam kehidupan sehari-hari, telah

tercipta suatu anggapan bahwa kontrak merupakan bentuk formal dari

suatu perjanjian yang berlaku untuk suatu jangka waktu tertentu yang

dibuat dalam bentuk tertulis Ketentuan umum dari suratperjanjian terdapat

dalam KUH Perdata pada Buku III Bab II, sedangkan mengenai

perjanjian-perjanjian khusus diatur dalam Buku III Bab XVIII.Pada Buku

III Bab II KUH Perdata berjudul Tentang perikatan yang dilahirkan dari

kontrak atau perjanjian. Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan

bahwa:Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu)

14 14
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lainnya atau

lebih.

Namun menurut Muhamad Abdul Kadir, Pasal 1313 KUHPerdata

mengandung kelemahan karena 7;

a. Hanya menyangkut sepihak saja

Dapat dilihat dari rumusan "satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang atau lebih lainnya. Kata "mengikatkan" sifatnya

hanya sepihak, sehingga perlu dirumuskan "kedua pihak saling

mengikatkan diri" dengan demikian terlihat adanya konsensus antara

pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik.

b. Kata perbuatan "mencakup" juga tanpa konsensus

Pengertian "perbuatan" termasuk juga tindakan melaksanakan tugas

tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung

konsensus. Seharusnya digunakan kata "persetujuan".

c. Pengertian perjanjian terlalu luas

Hal ini disebabkan karena mencakupjanji kawin (yang diatur dalam

hukum keluarga), padahal yang diatur adalah hubungan antara debitur

dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan.

d. Tanpa menyebutkan tujuan

Rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tidak disebut tujuan diadakannya

perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak jelas

untuk maksud apa.

7
Abdul Kadir Muhamad, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bandung, 1992, hlm 78.

15
Perjanjian memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat

para ahli yang satu dengan yang lain. Secara umum, perjanjian menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia adalahpersetujuan (baik lisan maupun

tulisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji

akan menaati apa yang disebut dalam persetujuan itu.

Menurut M. Yahya Harahap, Dari perjanjian tersebut maka timbullah

perikatan. Perikatan menurut Subekti merupakan suatu perhubungan

hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu

berhak menuntut sesuatu hal yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban

untuk memenuhi kewajiban itu. 8

Selain orang-perorangan (manusia secara biologis), para pihak dalam

perjanjian bisa juga terdiri dari badan hukum. Perseroan Terbatas (PT)

merupakan badan hukum yang dapat menjadi salah satu pihak atau

keduanya dalam perjanjian. Kedua-duanya merupakan subyek hukum,

yaitu pihak yangdapat melakukan perbuatan hukum, pihak yang

mengemban hak dan kewajiban. Suatu badan hukum segala perbuatan

hukumnya akan mengikat badan hukum itu sebagai sebuah identitas legal

(legal entity).

Meskipun perbuatan badan hukum itu diwakili pemimpinnya, misalnya

direktur dalam Perseroan Terbatas namun perbuatan itu tidak mengikat

pemimpin badan hukum itu secara perorangan, melainkan mewakili

perusahaan sebagai Legal entity.

8
M.Yahya Harahap, Segi-segi hukum perjanjian, alumni, Bandung, 1986, hlm.6

16
Dalam pelaksanaannya, jika terjadi pelanggaran perjanjian, misalnya

salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya (wanprestasi) sehingga

menimbulkan kerugian pada pihak yang lain, maka pihak yang dirugikan

itu dapat menuntut pemenuhan haknya yang dilanggar.

Perjanjian dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut

harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan pasal 1320

KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu

perjanjian, yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu

adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan

mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh

disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan

kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan

dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara

hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada

walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap

untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa

dan mereka yang berada dibawah pengampunan.

17
c. Mengenai suatu hal tertentu

Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang

telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi

perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan

tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah

jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.

d. Suatu sebab yang halal

Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta

perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah

komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu

syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan

perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut

dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan

syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila

syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu

perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat

dijalankan.

Sedangkan dalam Pasal 330 KUHPerdata, yang dimaksud dengan

tidak cakap untuk membuat sah perjanjian adalah:

a. Orang-orang yang belum dewasa

b. Mereka yang ditaruh didalam pengampunan

18
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

Undang-Undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa

undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertetu.

Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 330 KUH

Perdata, dinyatakan bahwa "belum dewasa adalah mereka yang belum

mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum

kawin". Dalam pasal 330 KUHPerdata lebih tepatnya mengatur bagi

golongan Eropa, Timur asing, dan Bumi Putera yang tidak memiliki

peraturan dalam hukum adatnya. Dikarenakan masing-masing masyarakat

di Indonesia mempunyai hukum adat masing-masing yang telah

menentukan aturan kebelumdewasaan.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

telah menimbulkan suasana baru dalam hukum Keluarga Indonesia.

Karena undang-undang tersebut tidak hanya mengatur tentang bidang

perkawinan saja, tetapi juga bidang lain yang termasuk bidang Hukum

Keluarga, seperti status anak, kedewasaan, serta tanggung jawab orang tua

terhadap anak dan anak terhadap anak, dan tentang perwalian anak.

Meskipun pengaturan tentang Hukum Keluarga dalam Undang-

undangperkawinan hanya garis besarnya saja dan masih memerlukan

peraturan pelaksana yang akan mengaturnya lebih lanjut, tetapi dapatlah

dikatakan bahwa undang-undang tersebut telah mengatur dasar-dasar

19
hukum Hukum Keluarga Nasional terutama berkaitan dengan kedewasaan

secara yuridis sosial dan juga tentunya ranah filosofinya.

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 ini juga mengatur tentang

kedewasaan, yaitu pada Pasal 47 ayat (1) (2) dan pasal 50. Sebagaimana

juga KUHPerdata mengatur batas usia dewasa dalam Bab tentang Hukum

Keluarga, maka Undang-undang nomor 1 Tahun 1974, juga telah

menentukan batas usia dewasa tersebut.

Pasal 47 ayat (1) menegaskan bahwa, Anak yang belum mencapai

umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan

perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak

dicabut kekuasaannya. Sedangkan pada pasal 47 ayat (2) menegaskan,

Orang tua mewaili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di

dalam dan diluar pengadilan.

Pada Pasal 50 ayat (1) menjelaskan, Anak yang belum mencapai

umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan

perkawinan yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua berada

dibawah kekuasaan wali. Sedangkan pada Pasal 50 ayat (2) menerangkan,

Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta

bendanya

Dari penjabaran diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa setiap perbuatan

hukum yang dilakukan anak dibawah usia 18 (delapan belas) tahun tanpa

diwakili orang tua atau walinya dapat dibatalkan. Disini dengan jelas dan

tegas peraturan ini mengatur perbuatan hukum seorang anak belum

20
dewasa. Jadi Pasal 47 ayat (1), (2) dan Pasal 50 ayat (1), (2), Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 telah mengatur tentang perbuatan hukum

seorang anak belum dewasa, karena ia dalam setiap perbuatan hukumnya

tidak dapat melakukannya sendiri melainkan harus selalu diwakili oleh

orang tua maupun walinya.

Dari penjelasan singkat tentang makna dewasa secara yuridis di atas,

dapat diambil satu garis besar, bahwa sesorang dapat dianggap dewasa

menurut hukum (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) apabila

memenuhi kriteia yang ada dan jelas dalam undang-undang tersebut.

Kriteria tersebut ditetapkan agar setiap subyek hukum dapat

dipertanggungjawabkan segala tindakan yang dilakukannya.

2. Asas-Asas Perjanjian

Asas-asas perjanjian diatur dalam KUH Perdata, yang setidaknya

memiliki lima asas yang perlu mendapat perhatian dalam pembuatan

perjanjian, adapun asas-asas yang diperlukan untuk membuat suatu

perjanjian antara kedua belah pihak yaitu:

a. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat

penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh

sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1)

KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian

21
pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata yang

menerangkan tentang syarat -syarat sahnya perjanjian.

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada

seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan

dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di

antaranya:

1) bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau


tidak.
2) bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian.
3) bebas menentukan isi atau klausul perjanjian.
4) bebas menentukan bentuk perjanjian.
5) kebebasan- kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan 9.

b. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)

Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya salah

satu pihak ingkar janji (wanprestasi), maka hakim dengan

keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar

melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan perjanjian, bahkan

hakim dapat memerintahkan pihak lain yang membayar ganti rugi.

Putusan pengadilan tersebut merupakan jaminan bahwa hak dan

kewajiban para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum

secara pasti hukum yang secara pasti memiliki perlindungan hukum.

Asas ini dapat dipertahankan seluruhnya dalam hal :

1) Kedudukan para pihak dalam perjanjian tersebut seimbang

2) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum

9
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT, Grafindo Persada, Jakarta,
2007, hlm. 4

22
c. Asas Konsesualisme (Concesualism)

Pada dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik terjadinya kata

sepakat. Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat dinyatakan

dan diucapka, sehingga tidak perlu lagi formalitas tertentu.

Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal Undang-

Undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu

perjanjian, misalkan syarat harus tertulis, contohnya adalah jual

beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat tertulis.

d. Asas Itikad Baik

Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemukan dalam

hukum benda (pengertian subyektif), maupun dalam hukum perjanjian

seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 (pengertian obyektif) 10

Dimana hal ini dapat berarti bahwa itikad baik berarti keadaan

batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian, yaitu

harus jujur, terbuka dan saling percaya. Keadaan para pihak itu tidak

boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau

menutupi keadaan sebenarnya.

e. Asas Kepribadian (Personality)

Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun

dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya

suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan

bahwa perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang

10
Subekti, Hukum pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta 2001, hal 43

23
membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat

kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317.

Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang

membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain.Maka asas ini

dinamakan asas kepribadian.

B. Klasifikasi Jenis Perjanjian Kerjasama

Dalam Kitab Undang-undang hukum Perdata dibagi beberapa hal tentang

perikatan, yaitu:

1. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang.

Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang

Ketentuan ini, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1235 sampai dengan

Pasal 1238. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli, tukar

menukar, penghibahan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-

lain.

2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.

perjanjian untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu diatur

pada pasal 1239 sampai dengan 1242, apabila si berutang tidak

memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam

kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga". Sebagai

contoh perjanjian ini adalah perjanjian hutang.

3. Perjanjian untuk penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak

dipenuhinya suatu perikatan.

24
Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu

perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berhutang, setelah

dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika

sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang

telah dilampaukannya. Penjelasannya ini tertera pada Pasal 1243 sampai

dengan Pasal 1252 KUHPerdata.

Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis

yaitu 11:

1. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan

meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat

perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan

perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUHPerdata. Dalam

perjanjianjual beli hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak

penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak

mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan

hak menerima barangnya.

2. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan

kewajiban pada salah satu pihak sajaMisalnya perjanjian hibah. Dalam

hibah ini kewajiban hanya ada padaorang yang menghibahkan yaitu

memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak

mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak

11
Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2003, hlm.
82.

25
menerima barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada

orang yang menghibahkan. .

3. Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi

keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (schenking) dan

pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata.

4. Perjanjian konsensuil, riil dan formil. Perjanjian konsensuil adalah

perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan

antarapihak yang membuat perjanjian. Perjanjian riil adalah perjanjian

yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan.

Misalnya perjanjian penitipan barang Pasal 1741 KUHPerdata dan

perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 KUHPerdata. Perjanjian

formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-

undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk

tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum

notaris atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, undang-undang

menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian

perkawinan dibuat dengan akta notaris. .

5. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama. Perjanjian

bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan

ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V sampai

dengan bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah

dan lain-lain. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak

26
diatur secara khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian

leasing, perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.

Menurut R. Subekti terdapat beberapa macam jenis perjanjian jika dilihat

dari bentuknya, adapun jenis perjanjian jika dilihat dari bentuknya yakni 12 :

1. Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada

suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau

tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa

perjanjian itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu

timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, mengandung adanya suatu

perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertanggung

jawabkan (ospchoriende voorwade)

2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu

(tijdshcpaling), perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan

waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang

belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah

suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat

ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang.

3. Perikatan yang memperbolehkan memilih alternatif adalah suatu

perikatan dimana terdapat dua macam atau lebih prestasi, sedangkan

kepada si berhutang diserahkan yang mana yang ia lakukan.

4. Perikatan tanggung menanggung (hooldelijk atau solidair) ini adalah

suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak

12
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 52

27
yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan,

atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu

piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam belakangan ini,

sedikit sekali terdapat dalam praktek.

5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu

perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan

tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari

kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu

perjanjian. Persoalantentang dapat atau tidaknya dibagi suatu

perikatan, barulah tampil ke permukaan. Jika salah satu pihak dalam

perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana

biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia

digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya.

6. Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk

mencegah jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan

kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak

menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam

suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu

pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh

para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim mempunyai kekuasaan

untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah sebahagian

dipenuhi.

28
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut

berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut 13:

1. Perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang

menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya

perjanjian jual-beli.

2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.Perjanjian dengan

cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi

salah satu pihak saja Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana

terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi

dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut

hukum

3. Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoend).

Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.

Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi

nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling

banyak terjadi sehari-hari. Di luar perjanjian khusus tumbuh perjanjian

umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tdiak diatur di dalam KUH

Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tak

terbatas. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktekadalah berdasarkan

asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang

berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian

umum adalah perjanjian sewa beli.

13
Op-cit, Meriam darus Badrulzaman, hlm 9

29
4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang

menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan

perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak

mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain

(perjanjian yang menimbulkan perikatan).

5. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil Perjanjian konsensuil adalah

perjanjian di mana di antara kedua belah pihak telah tercapai

persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan-perikatan.

6. Perjanjian-Perjanjian yang istimewa sifatnya.

a. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian di mana para pihak

membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan

hutang (kwijtschelding) pasal 1438 KUH Perdata;.

b. Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst) yaitu perjanjian

dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di

antara mereka.

c. Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi, pasal

1774 KUH Perdata.

d. Perjanjian public, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya

dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak

sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas.

Adapun jenis perjanjian kerjasama kontrak bisnis dapat dilihat dari

hubungan hubungan dan kondisi bisnis yang terjadi pada suatu perusahaan.

30
Terlepas dari bidang usaha yang dijalani, adapun macam-macam hubungan dan

kondisi bisnis tersebut yaitu sebagai berikut 14:

1. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan kontraktor dan mitra

bisnis.

Hubungan dengan kontraktor merupakan hubungan pemborongan

suatu proyek, bisa dalam rangka mengadakan suatu bangunan pabrik

dan atau kantor, dimana perusahaan menjadi pemilik (yang

memberikan order kerja) dan kontraktor menjadi pemborong (yang

menerima order kerja). Skala dan kompleksitas proyek dapat sangat

beragam. Dari yang proyek kecil hingga yang proyek besar; dari yang

sederhana hingga yang canggih. Konsep perikatan (perjanjian)-nya pun

beragam mengikuti hal-hal tersebut. Dari sekedar Perjanjian

Pemborongan hingga Engineering Procurement Construction Contract

atau EPC Contract.

Sedangkan hubungan dengan mitra bisnis, perusahaan mempunyai

kepentingan yang sama dalam suatu proyek atau obyek kerjasama

bisnis tertentu. Dalam hal suatu proyek, maka kedua belah pihak

melakukan:

a. Suatu kerjasama operasi (joint operation; seperti: Joint Operation

Agreement atau Production Sharing Agreement)

14
Diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl31/jenis-jenis-kontrak-bisnis,
pada tanggal 6 juni 2015

31
b. Penyertaan modal saham (joint venture) dengan mendirikan suatu

perusahaan usaha patungan (joint venture company), yang

perjanjiannya disebut Joint Venture Agreement.

Sedangkan dalam obyek kerjasama bisnis tertentu dapat mencakup hal-

hal yang sangat luas dan beragam. Pada umumnya:

a. Struktur transaksi pembiayaan proyek (seperti: Build

OperateandTransfer Agreement atau disingkat BOT Agreement,

atau Build Operate and Own Agreement atau disingkat BOO

Agreement)

b. Proses alih teknologi atau pengetahuan tertentu (seperti: Technical

Assistance Agreement);

c. Kepentingan pengembangan/jaringan bisnis (seperti: Collaboration

Agreement);

d. Kepentingan penelitian dan pengembangan serta rekayasa

mengenai obyek tertentu; mungkin tidak ada pendapatan yang

diperoleh tetapi tujuan dari hasil kegiatan tersebut yang

diutamakan (seperti: Research, Developmentand Engineering

Agreement);

e. Kepentingan hak milik intelektual (seperti: Licence Agreement).

2. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan pemasok.

Sederhananya, perjanjian dengan para pemasok barang atau jasa

bagi kepentingan produksi atau operasi bisnis sehari-hari. Biasanya

disebut Supply Agreement.

32
3. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan distributor, retailer/agen

penjualan.

Dalam hal perusahaan tidak melakukan penjualan langsung melalui

divisi pemasaran dan penjualannya, maka ia akan menunjuk pihak lain

yaitu distributor atau retailer atau agen penjualan. Biasanya disebut

Distribution Agreement dan Sales Representative Agreement.

4. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan konsumen atau debitur.

Dalam hal konsumen tidak mampu membayar tunai, maka

perusahaan dapat melakukan pembiayaan sendiri terhadap konsumen

yang bersangkutan dengan melakukan perjanjian jual beli dengan

cicilan (Purchase With Installment) atau sewa beli (Hire Purchase

Agreement).

5. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan para pemegang saham.

Pada umumnya, dalam hal kondisi diluar dari penyertaan modal

yang sudah diatur dalam anggaran dasar, yaitu seperti Perjanjian

Hutang Subordinasi atau bila ada kesepakatan antara pemegang saham

lama dengan yang baru, yaitu Shareholder Agreement.

6. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan kreditur yang memberikan

fasilitas kredit atau pinjaman.

Pada umumnya dikenal dengan dengan Facility Agreement atau

Credit Agreement. Namun dari segi sifat hutang dan struktur transaksi

dapat merupakan macam ragam hubungan atau transaksi pinjaman,

misalnya, Syndicated Facility Agreement.

33
Secara konsepsional dikenal beberapa bentuk kerjasama antara pemerintah

dengan swasta, yaitu:

1. Build and transfer

Suatu perjanjian dimana kedudukan kontraktor hanya membangun

proyek tersebut, setelah selesai dibangunnya proyek tersebut maka

proyek yang bersangkutan diserahkan kembali kepada pihak bowler

tanpa hak kontraktor untuk mengelolah/memungut hasil dari proyek

tersebut. Dalam praktik build and transfer ini disebut dan dipadankan

dengan contract design and build atau full finace sharing, turn key

project.

2. Build, operated, transfer (BOT)

Setelah membangun proyek tersebut pihak swasta kemudian

berhak mengelolah atau mengoperasikan proyek tersebut dalam waktu

tertentu, dan dengan pengoperasian tersebut pihak swasta memperoleh

keuntungan, dan setelah jangka waktu disepakati kemudian proyek

tersebut diserahkan kepada pihak swasta tanpa memperoleh

pembayaran dari pemerintah.

3. Kerjasama bangun, kelola, sewa, dan serah (build,operate,leasehold,

and transfer).

Perjanjian antara pemerintah dengan pihak swasta dengan syarat,

sebagai berikut:

a. Pemerintah daerah memiliki asset (tanah)


b. Pihak ketiga membangun diatas tanah milik pemerintah daerah.
c. Pihak ketiga mengelola, mengoperasikan dengan menyewakan
kepada pihak lain atau pemerintah daerah itu sendiri.

34
d. Pihak ketiga memberikan kontribusi dari hasil sewa kepada
pemerintah daerah yang besarnya ditetapkan sesuai dengan
kesepakatan.
e. Jangka waktu kerjasama sesuai kesepakatan bersama.
f. Setelah berakhirnya kerjasama pihak ketiga menyerahkan seluruh
bangunan kepada pemerintah daerah.

4. Kerjasama Bangun, Serah, dan Kelola (Build, Transfer,and Operate).

Perjanjian anatara pemerintah dengan pihak swasta dengan syarat,

sebagai berikut:

a. Pemerintah daerah memiliki aset (tanah)


b. Pihak ketiga membangun di atas tanah pemerintah daerah
c. Setelah pembangunan selesai pihaak ketiga menyerahkan
bangunan kepada pemerintah daerah
d. Pihak ketiga mengelola bangunan tersebut selama kerjasama
e. Pihak ketiga memberikan imbalan berupa uang atau bangunan lan
kepada pemerintah daerah sesuai kesepakatan
f. Risiko selama masa kerjasama ditanggung oleh pihak ketiga
g. Setelah berakhirnya kerjasama, tanah dan bangunan tersebut
diserahkan kembali kepada pemerintah daerah.

5. Kerjasama Rehabilitasi, Guna, dan Serah (Renovate,Operate, and

Transfer).

Memiliki syarat yang harus dipenuhi, sebagai berikut:

a. Pemerintah daerah memiliki asset (tanah dan bangunan)


b. Pihak ketiga memiliki modal untuk rehabilitasi bangunan
c. Pihak ketiga mengelola bangunan selama kerjasama
d. Hasil pengelolaan seluruhnya menjadi hak pihak ketiga
e. Pihak ketiga tidak boleh mengagunkan bangunan
f. Jangka waktu kerjasama ditetapkan maksimal lima tahun
g. Setelah berakhirnya masa kerjasama, tanah dan bangunan
diserahkan kepada pemerintah daerah dalam keadaan baik
6. Kerjasama Renovasi, Guna Sewa, dan Serah ( Renovate, Operate,

Leasehold, and Transfer ).

Kerjasama antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga dengan

syarat-syarat sebagai berikut:

35
a. Pemerintah daerah memiliki asset (tanah dan bangunan)
b. Pihak ketiga merenovasi bangunan
c. Pihak ketiga mengelola dan mengoperasikan bangunan dan dengan
menyewakan dari pemerintah daerah untuk disewakan lagi pada
pihak lain atau dipakai sendiri
d. Pihak ketiga memberikan kontribusi dari hasil sewa dari
pemerintah daerah yang besarnya ditetapkan sesuai kesepakatan
e. Pihak ketiga menanggung biaya pemeliharaan dan asuransi
f. Risiko kerjasama sesuai kesepakatan.

7. Kerjasama bangun, Serah, dan Sewa (Build, Transfer, Leasehold)

Kerjasama anatara pemerintah daerah dengan pihak ketiga dengan

ketentuan:

a. Pemerintah memiliki aset (tanah)


b. Pihak ketiga membangunkan diatas tanah pemerintah
c. Pihak ketiga menyerahkan bangunan kepada pemerintah daerah
setelah selesai
d. Pihak ketiga mengelola, mengoperasikan bangunan dengan cara
menyewakan kepada orang lain.
e. Pihak ketiga memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah dari
hasil sewa tersebut yang besarnya sesuai kesepakatan.
f. Pihak ketiga menaggung biaya pemeliharaan.
g. Risiko s elama masa kerjasama ditanggung oleh pihak ketiga.

Dalam kondisi ini maka pengadaan barang/jasa pemerintah yang


dilelang kepada perusahaan kontraktor swasta ini dapat disimpulkan
bahwa perjanjian ini menganut dasar Build and transfer, karena pihak
kontrak hanya membangun apa yang diperjanjikan dalam kontrak. Setelah
kontraktor menyelesaikan pekerjaan maka akan diserahkan kepada pihak
pemerintah selaku penyelengara lelang pekerjaan.

C. Dasar Hukum Perjanjian Kerjasama Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah

Pengadaan barang ataupun jasa yang terjadi antara orang

perorangan/badan hukum dengan perorangan atau badan hukum lainnya, diatur

secara umum dalam KUH Perdata dalam hal terjadi kesepakatan antara para pihak

36
untuk melakukan pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan persyaratan

perjanjian sebagaimana yang diisyaratkan dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal

Latar belakang yang mendasari PERPRES Nomor 4 Tahun 2015 pertama

ialah berlandaskan pada Undang-Undang Dasar Pasal 4 ayat (1) Republik

Indonesia, maka lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang

penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010. Dengan melihat Undang-Undang Nomor 29

Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka terbentuknya Peraturan

Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Presiden

Nomor 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Nomor 54

Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Beberapa hal yang baru dalam Perpres Nomor 4 Tahun 2015 adalah: 15

1. Yang melakukan proses pemilihan penyedia dalam pengadaan langsung,

penunjukan langsung, dan e-purchasing adalah pejabat pengadaan.

2. Penyedia dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa dipersyaratkan

antara lain memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah

memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir.

15
http://ahmaddamopolii.info/2015/1/23/perpres-4-tahun-2015-perubahan-keempat-atas-
perpres-54-tahun-2010/ diakses pada tanggal 7 Juni 2015

37
3. Persyaratan pemenuhan kewajiban perpajakan tahun terakhir

dikecualikan untuk pengandaan langsung dengan menggunakan bukti

pembelian atau kwitansi.

4. Pengumuman rencana umum pengadaan oleh pengguna anggaran

dilakakukan setelah rancangan peraturan daerah setelah disetujui

bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD.

5. Tanda bukti perjanjian terdiri atas;

a. Kwitansi
b. Surat Perintah Kerja
c. Surat Perjanjian
d. Surat pesanan

6. Bukti perjanjian untuk pengadaan barang/jasa melalui e-purchasing dan

pembelian secara online adalah surat pesanan.

7. Jaminan pelaksanaan sudah tidak diperlukan untuk pengadaan langsung,

penunjukan langsung darurat, sayembara, dan pengadaan e-purchasing.

8. Untuk pengadaan barang/jasa tertentu, kelompok kerja ULP dapat

mengumumkan pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa secara luas

kepada masyarakat sebelum RUP diumumkan.

9. Dalam hal proses pemilihan penyedia barang/jasa dilaksanakan melalui

pengesahan DIPA/DPA dan alokasi anggaran DIPA/DPA tidak disetujui

atau ditetapkan kurang dari nilai pengadaan barang/jasayang diadakan,

proses pemilihan penyedia barang/jasa dilanjutkan ke tahap

penandatanganan kontrak setelah dilakukan resisi DIPA/DPA atau

proses pemilihan penyedia barang/jasa dibatalkan. Dimana para pihak

38
menandatangani kontrak setelah penyedia barang/jasa meenjaminkan

menyerahkan jaminan pelaksanaan.

10. Pembayaran untuk pekerjaan konstruksi dilakukan senilai pekerjaan

yang telah terpasang.

11. Pemberian kesematan kepadapenyedia barang/jasa menyelesaikan

pekerjaan sampai dengan 50 hari kalender sejak masa berakhirnya

pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada melampaui tahun

anggaran maka dengan melakukan kontrak atas sumber pembiayaan

DIPA atas sumber-sumber pembiayaan tahun anggaran berikutnya.

12. Penegasan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan

secara elektronik.

13. Ketentuan pelaksanaan e-tendering untuk pengadaan jasa konsultasi.

Ketentuan pengadaan barang/jasa di desa diatur dengan pedoman yang

ditetapkan oleh Bupati/Walikota yang mengacuh pada pedoman yang ditetapkan

oleh LKPP berdasarkan kepada Kepres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman

Pengadaan Barang/Jasa pemerintah, pada pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa

Pengadaan barang/jasa pemerintah yang selanjutnya disebut dengan pengadaan

barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh

Kementrian/Lembaga/satuan kerja perangkat Daerah/institusi yang prosesnya

dimulai dari perencanaan untuk memperoleh barang/jasa.

Pengertian pengguna barang/jasa menurut Pasal 1 ayat 3 Perpres Nomor 4

Tahun 2015 adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang

dan/atau jasa milik negara /daerah di masing-masing K/L/D/I.

39
Lembaga Kebijakan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut

LKPP berdasarkan Pasal 1 ayat 4 Perpres Nomor 4 Tahun 2015 adalah Lembaga

Pemerintah yang bertugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan

Pengadaan Barang dan Jasa sebagaimana yang dimaksud dalam Perpres Nomor

106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah sebagaimana diubah dengan peraturan presiden Nomor 157 Tahun

2014 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga

Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa.

Penggunaan anggaran yang selanjutnya disebut PA dalam pasal 1 ayat 5

Perpres Nomor 4 Tahun 2015 adalah Pejabat pemegang kewenangan

penggunaan anggaran Kementrian/Lembaga/satuan kerja perangkat Daerah atau

pejabat yang disamakan pada Institusi pengguna APBD/APBN.

Pejabat pengadaan dalam pasal 1 ayat 9 Perpres Nomor 4 Tahun 2015

adalah personil yang ditunjuk untuk melaksanakan Pengadaan Langsung,

Penunjukan Langsung dan e-Purchasing.

40

Anda mungkin juga menyukai