Anda di halaman 1dari 16

Ref. No.

: ****/FA/W&P/X/2018 Jakarta, 31 Oktober 2018

Kepada:
PT. SARANA MULTIGRIYA FINANSIAL (PERSERO)
Grha SMF
Jl. Panglima Polim I No.1,
Kebayoran Baru
Jakarta Selatan - 12160

U.p.: Direksi

Perihal: PENDAPAT HUKUM SEHUBUNGAN DENGAN REVIEW SAMPLE


PERJANJIAN DAN AKTA FIDUSIA KOVENSIONAL DAN SYARIAH”

Dengan Hormat,

Menunjuk pada perihal tersebut di atas, kami, yang bertanda-tangan dibawah ini, H.M.U. Fachri
Asaari, S.H., Advokat dan Konsultan Hukum serta Senior Partner pada Kantor Konsultan Hukum
WARENS & PARTNERS, berkantor di MENARA TASPEN Suite 301 & 302, Jl. Jend. Sudirman Kav.2,
Jakarta 10220, yang terdaftar sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal pada Otoritas Jasa Keuangan
(selanjutnya disebut “OJK”) dibawah pendaftaran No.STTD.KH-4/PM.22/2018 tanggal 6 Februari 2018
berlaku selama 5 (lima tahun) s/d tanggal 6 Februari 2023 (d/h No.95/STTD/KH/PM/1996 tanggal 10
September 1996) dan terdaftar sebagai anggota Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM)
No.98016, dan telah ditunjuk oleh PT. SARANA MULTIGRIYA FINANSIAL (PERSERO) yang
disingkat SMF, suatu perseroan terbatas berbentuk badan usaha milik negara yang bergerak di bidang
pembiayaan sekunder perumahan berkedudukan dan berkantor pusat di Jakarta Selatan (selanjutnya
disebut sebagai “SMF”) beralamat di Grha SMF, Jl. Panglima Polim I No.1 Kebayoran Baru, sesuai
dengan Perjanjian Penggunaan Jasa No.127/PPJ/SMF-W&P/IX/2018 tanggal 10 September 2018 yang
telah disetujui dan ditandatangani (countersigned) oleh SMF, untuk memberikan opini/pendapat dari segi
hukum (selanjutnya disebut sebagai “Pendapat Hukum”) sesuai dengan hasil review terhadap sample
perjanjian dan akta fidusia baik yang bersifat konvensional maupun syariah.
(Sesuaikan dengan Standar WP)

Selanjutnya, sesuai dengan penunjukan Warens & Partners Law Firm sebagai konsultan hukum
independen untuk melakukan review terhadap sample perjanjian dan akta fidusia baik yang bersifat
konvensional maupun syariah, kami telah diminta oleh SMF untuk melakukan penyempurnaan materi
perjanjian pinjaman termasuk akta fidusia, baik berdasarkan prinsip konvesional maupun syariah dan
memberikan risk opinion serta memberikan review mengenai exit strategy yang akan dilakukan oleh SMF
dalam rangka kegiatan usaha SMF pada pasar pembiayaan sekunder perumahan di Indonesia (untuk
selanjutnya disebut “Pekerjaan”).

Adapun ruang lingkup Pekerjaan mencakup:


1. Memberikan rekomendasi penyempurnaan materi perjanjian pinjaman termasuk akta fidusia
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Memberikan risk opinion atas kegiatan usaha penyaluran pinjaman SMF baik berdasarkan
prinsip konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah; dan
3. Memberikan review mengenai mekanisme exit strategy yang akan dilakukan Perseroan,
apabila terjadi permasalahan hukum pada debitur Perseroan termasuk dan tidak terbatas pada
wanprestasi, pailit dan likuidasi.

Selanjutnya, terhadap output yang diharapkan oleh SMF terhadap Pekerjaan ini adalah sebagai
berikut:
1. Terhadap ruang lingkup pekerjaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 di atas, hasil
pekerjaan harus berupa dokumen tertulis yang memuat penyempurnaan terhadap isi/materi
perjanjian pinjaman (baik berdasarkan prinsip konvensional maupun syariah) termasuk akta
fidusia SMF;
2. Terhadap ruang lingkup pekerjaan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan 3 di atas, hasil
pekerjaan harus berupa opini; dan
3. Hasil pekerjaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan 2 output Pekerjaan wajib
diserahkan kepada SMF paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
penandatanganan Perjanjian ini serta memuat isi yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, serta mengamankan kepentingan SMF selaku kreditur.

Dalam rangka pelaksanaan Pekerjaan, SMF telah menyampaikan kepada kami dokumen-
dokumen yang terdiri dari:
1. PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PT SARANA MULTIGRIYA FINANSIAL (PERSERO)
DAN PT BATAVIA PROSPERINDO FINANCE Tbk TENTANG PROGRAM PENINGKATAN
KAPASITAS PENYALURAN KPR Nomor: 004/PKS/SMF-BPF/I/2017;
2. PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PT. SARANA MULTIGRIYA FINANSIAL (PERSERO)
DENGAN PT. BANK PEMBANGUNAN DAERAH BALI TENTANG PEMBERIAN PlNJAMAN
UNTUK PEMBIAYAAN KREDIT PEMlLIKAN RUMAH Nomor : 024/PP/SMF-BPDBALIN/2017
& Nomor : 0401 /SPK/DIR/KRD/2017;
3. PERJANJIAN PEMBERIAN FASILITAS PINJAMAN PROGRAM KPR SMF DARI PT SARANA
MULTIGRIYA FINANSIAL (PERSERO) KEPADA PT BATAVIA PROSPERINDO FINANCE. Tbk
No: 045/PP/SMF-BPFNlll/2017;
4. AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH MUQAYADAH ANTARA PT SARANA MUL TIGRIYA
FINANSIAL (PERSERO) DENGAN PT BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO) TBK No.:
083/AKAD/SMF-BTNS/Xll/2017 & No.: 090/PP/BTN/Xll/2017;
5. PERJANJIAN PEMBERIAN PINJAMAN PROGRAM KPR SMF DARI PT SARANA
MULTIGRIYA FINANSIAL (PERSERO) KEPADA PT BATAVIA PROSPERINDO FINANCE, Tbk
No.085/PP/SMF-BPF/B1.046.8.17/XII/2017 Tanggal 28 Desember 2017;
6. AKTA PENDIRIAN PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PT. SARANA MULTIGRIYA
FINANSIAL disingkat PT. SARANA MULTIGRIYA FINANSIAL (PERSERO) Nomor 59 Tanggal
22 Juli 2005 dibuat dihadapan Imas Fatimah, S.H., Notaris di Jakarta;
7. AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN TANPA RAPAT PERUSAHAAN PERSEROAN
(PERSERO) PT SARANA MULTIGRIYA FINANSIAL Disingkat PT SARANA MULTIGRIYA
FINANSIAL (PERSERO) Nomor 02A Tanggal 3 Juni 2015 dibuat dihadapan Ir. Nanette
Cahyanie Handari Adi Warsito, S.H., Notaris di Jakarta;
8. AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN TANPA RAPAT PERUSAHAAN PERSEROAN
(PERSERO) PT SARANA MULTIGRIYA FINANSIAL Disingkat PT SARANA MULTIGRIYA
FINANSIAL (PERSERO) Nomor 166 Tanggal 29 Juni 2016 dibuat dihadapan Ir. Nanette
Cahyanie Handari Adi Warsito, S.H. , Notaris di Jakarta;
9. AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN TANPA RAPAT PERUSAHAAN PERSEROAN
(PERSERO) PT SARANA MULTIGRIYA FINANSIAL Disingkat PT SARANA MULTIGRIYA
FINANSIAL (PERSERO) Nomor 72 Tanggal 24 April 2018 dibuat dihadapan Ir. Nanette
Cahyanie Handari Adi Warsito, S.H. , Notaris di Jakarta;
10.Rekapitulasi Peraturan Presiden No.19 Tahun 2005 Jo. Peraturan Presiden No.1 Tahun 2008
Jo. Peraturan Presiden No.101 Tahun 2016;
11.Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.02/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Tanggal 1 April 2014;
12.Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.04/2015 tentang Penerbitan Dan
Persyaratan Efek Beragun Aset Syariah; dan
13.Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.05/2018 tentang Perusahaan Pembiayaan
Sekunder Perumahan.

DASAR DAN RUANG LINGKUP PENDAPAT HUKUM

1. Pendapat Hukum ini didasarkan pada hasil review Sample Perjanjian sebagaimana yang telah
diuraikan pada angka 1-5 di atas dan hasil review tersebut telah kami muat pada lampiran-1
pendapat hukum ini (selanjutnya disebut “Hasil Review Perjanjian”)

2. Pendapat Hukum ini terbatas pada dokumen diberikan oleh SMF kepada kami sehingga ruang
lingkupnya tidak meluas kepada hal-hal yang tidak terkait dengan Pekerjaan.

3. Pendapat Hukum ini dan Hasil Review Perjanjian kami lakukan tidak hanya didasarkan kepada
pemeriksaan dan penafsiran atas apa yang tertulis dalam dokumen-dokumen yang diberikan
kepada kami, tetapi juga didasarkan kepada substansi dari dokumen-dokumen tersebut, dan
jika tidak tersedia dokumen yang mendukung suatu transaksi hukum yang secara nyata
melibatkan SMF, kami mendasarkannya pada fakta-fakta yang mendukung
hubungan-hubungan hukum yang nyata sesuai dengan konsep-konsep, praktek-praktek dan
kebiasaan-kebiasaan hukum yang berlaku di Indonesia untuk transaksi atau hubungan hukum
termaksud.

4. Pendapat Hukum ini hanya menyangkut pendapat dari aspek yuridis dan tidak mencakup
aspek lain seperti pemeriksaan kebenaran data finansial, teknis atau kewajaran komersial
suatu transaksi. Kami tidak memberikan penilaian atas kewajaran nilai komersial atau finansial
dari suatu transaksi dimana SMF menjadi pihak atau mempunyai kepentingan didalamnya
atau harta kekayaannya terkait.
5. Tanggung jawab kami sebagai Konsultan Hukum yang independen dari SMF dalam rangka
Pekerjaan ini adalah terbatas pada, dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Standar
Profesi Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal.

Asumsi-Asumsi

Pendapat Hukum ini diberikan dengan mengingat dan mendasarkannya pada asumsi-asumsi
sebagai berikut:

1. Bahwa cap dan/atau tanda tangan atas semua dokumen asli yang diberikan atau ditunjukkan oleh
pihak ketiga kepada kami dalam rangka Pendapat Hukum ini dan Hasil Review Perjanjian, adalah
asli, dan dokumen-dokumen asli yang diberikan atau ditunjukkan kepada kami adalah otentik, dan
bahwa dokumen-dokumen yang diberikan kepada kami dalam bentuk fotokopi atau bentuk/format
digital adalah sesuai dengan aslinya.

2. Bahwa dokumen-dokumen, pernyataan-pernyataan dan keterangan-keterangan yang diberikan


oleh pihak ketiga kepada kami untuk tujuan Pendapat Hukum dan Hasil Review Perjanjian adalah
benar, akurat, lengkap dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, serta tidak mengalami
perubahan sampai dengan tanggal Pendapat Hukum ini.

3. Bahwa kami juga secara terpisah dan mandiri, sepanjang dimungkinkan oleh ketentuan dan
praktek hukum yang berlaku, telah melakukan pemeriksaan dan meminta langsung kepada pihak
ketiga yang kami anggap relevan, termasuk badan-badan eksekutif untuk memberikan
pernyataan, pemeriksaan, dan penegasan tertentu, baik lisan maupun tertulis, sehubungan
dengan beberapa aspek hukum yang menurut pendapat kami penting dan berhubungan erat
dengan Pendapat Hukum dan Hasil Review Perjanjian, dan untuk maksud pemberian Pendapat
Hukum ini, kami telah mengasumsikan kebenaran dan ketepatan dari fakta dan informasi yang
diberikan oleh pihak ketiga tersebut berdasarkan pada pemeriksaan dan penafsiran atas apa
yang tertulis dalam dokumen-dokumen yang diberikan kepada kami dan juga didasarkan pada
substansi dari dokumen-dokumen tersebut.

PENDAPAT HUKUM

Setelah memeriksa dan meneliti dokumen-dokumen tersebut diatas dan atas dasar pernyataan-
pernyataan dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh SMF dan pihak ketiga kepada kami serta
menunjuk pada Hasil Review Perjanjian, maka kami berpendapat sebagai berikut:

1. Sesuai dengan Hasil Review dan hasil penelusuran kami, bahwa Direksi SMF setidak-
tidaknya dapat memiliki tindakan pengamanan dalam pemberian fasilitas pembiayaan baik
secara konvensional maupun secara syariah, adapun tindakan pengamanan yang dapat kami
sampaikan berupa:
a. Dalam hal terdapatnya calon Debitur atau Mudharib, maka dari manajemen SMF wajib
untuk meminta dilakukannya Know Your Customer (KYC) dan Anti Money Laundering
(AML) yang biasa digunakan dalam kegiatan pembiayaan kepada calon Debitur atau
Mudharib.
b. Surat internal dari bagian operasional atau bagian lain yang terkait di SMF (atau bisa
juga dikenal dengan nama Memo Internal) wajib dibuat untuk disampaikan kepada
Direksi SMF yang setidak-tidaknya memuat keterangan:
i. Nama calon Debitur atau Mudharib
ii. Legalitas calon Debitur atau Mudharib
iii. Tujuan kebutuhan dana
iv. Objek yang akan dijadikan jaminan
v. Tinjauan dari Risk Management SMF yang menjadi perhatian
vi. Mitigasi risiko atas objek jaminan apabila sewaktu-waktu bermasalah
c. Apabila huruf b telah terpenuhi maka Direksi SMF wajib memenuhi persetujuan-
persetujuan yang disyaratkan dalam Anggaran Dasar SMF maupun persetujuan
lainnya yang wajib dipenuhi sesuai peraturan perundang-undangan dan peraturan
pelaksanaannya.
d. Dalam hal calon Debitur atau Mudharib diberikan fasilitas pembiayaan atau akad
secara syariah, maka SMF wajib mengumpulkan seluruh dokumen dan informasi
yang bersifat penting dimana dokumen dan informasi tersebut dijadikan dasar
sebagai alat pembuktian yang sah apabila suatu hari terdapatnya sengketa dan/atau
perkara.
e. Direksi SMF wajib meminta kepada bagian-bagian terkait terhadap update secara
periodic (bulanan), triwulanan, semesteran dan tahunan atas performa keuangan dari
Debitur atau Mudharib dan apabila dimungkinkan Direksi SMF berhak meminta
daftar-daftar piutang serta daftar jaminan KPR dari Debitur atau Mudharib untuk
setidak-tidaknya mengetahui objek jaminan mana yang sedang diikat pada waktu itu.
f. Apabila dimungkinkan, maka Direksi SMF meminta kepada Direksi atau pengurus
dari Debitur atau Mudharib untuk dibuatkan daftar portfolio asset yang dapat dijadikan
jaminan fidusia yang bersifat free, clean and clear apabila dikemudian hari ternyata
objek jaminan yang telah didaftarkan secara fidusia harus diganti karena satu dan lain
hal dengan daftar portfolio asset yang telah dibuat tersebut, adapun terhadap daftar
portfolio asset tersebut kami menyarankan dibuat secara bulanan, triwulanan,
semesteran dan tahunan agar Direksi SMF dapat membuat keputusan tepat dalam
hal terjadinya wanprestasi yang mengakibatkan objek jaminan harus diganti dan/atau
ditambahkan.
g. Dalam hal pada suatu waktu ternyata fasilitas pembiayaan bermasalah baik karena
wanprestasi, kepailitan dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU),
likuidasi atau terdapatnya gugatan-gugatan yang bersifat material yang
mempengaruhi jalannya fasilitas pembiayaan, maka Direksi SMF dapat meminta
kepada internal SMF untuk dibuatkan laporan insidentil atas terjadinya kejadian
tersebut yang setidak-tidaknya memuat:
i. Nama Debitur atau Mudharib
ii. Jumlah nominal fasilitas yang bermasalah
iii. Daftar Objek Jaminan
iv. Kronoligis permasalahan
v. Daftar pelanggaran disertai dasar hukum terkaitnya
vi. Tanggapan Risk Management SMF
vii. Solusi atau jalan keluar terhadap permasalahan tersebut
h. Dalam hal permasalahan dapat diselesaikan, maka Direksi SMF meminta laporan
beserta bukti-bukti penunjang (sesuai kebutuhan Direksi) atas penyelesaian
permasalahan tersebut.
i. Dalam hal permasalahan tidak dapat terselesaikan maka Direksi SMF wajib meminta
keterangan lebih lanjut terhadap rencana-rencana Debitur atau Mudharib yang
diketahui oleh SMF yang dilaporkan secara tertulis kepada Direksi SMF.
j. Apabila dimungkinkan untuk dilakukan negosiasi antara SMF selaku
Kreditur/Shahibul Maal dengan PIHAK KEDUA selaku Kreditur/Mudharib maka
negosiasi tersebut harus dilaksanakan atas dasar itikad baik untuk menyelesaikan
permasalahan yang timbul antara Para Pihak, pelaksanaannya sebaiknya dilakukan
sebelum Jaminan Fidusia menyentuh kolektibilitas 4.
k. Dalam hal negosiasi tidak berjalan baik, maka Direksi SMF dapat mengajukan usulan
untuk penyelesaian permasalahan (baik berupa restrukturisasi, cessie, novasi,
subrogasi, delegasi dan/atau fasilitas-fasilitas penyelesaian yang memungkinkan
untuk dilaksanakan) agar seluruh Jumlah Terhutang sesuai Perjanjian Pembiayaan
dan Akta Fidusia dapat terselesaikan dengan baik.
l. Dalam hal huruf k tidak berhasil dilakukan, maka Direksi SMF atas dasar permintaan
secara tertulis kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Peraturan
Kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia No.8 Tahun 2011 tanggal 22 Juni 2011
tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia (“Perkap No.8/2011”), dapat
meminta untuk dilakukannya pengamanan dengan terlebih dahulu memperhatikan
persyaratan pengamanan:
i. Adanya permintaan dari pemohon
ii. Memiliki akta jaminan fidusia
iii. Jaminan fidusia terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia
iv. Memiliki sertifikat jaminan fidusia; dan
v. Jaminan Fidusia berada di wilayah Negara Indonesia.
Yang mana ketentuan pada Pasal 8 dan Pasal 9 Perkap No.8/2011 wajib dipenuhi
terlebih dahulu oleh SMF yang mana tindakan lanjutan dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia akan mengacu kepada Pasal 10 s/d Pasal 23 Perkap No.8/2011.
m. Dalam hal SMF berusaha untuk melakukan pembicaraan terlebih dahulu secara
kekeluargaan dengan Debitur atau Mudharib, maka dapat dilakukan secara
bersamaan dengan huruf l sebagai bentuk itikad baik dari SMF.
n. Dalam hal huruf l berjalan dengan baik maka SMF menerima dokumen-dokumen asli
terkait dengan dokumen Jaminan Fidusia beserta dokumen-dokumen lainnya.
o. Selanjutnya, Direksi SMF akan mempertimbangkan jalan penyelesaian yang terbaik
apakah eksekusi melalui pengadilan, pelelangan umum, dibawah tangan atau
penyelesaian lainnya yang akan ditempuh sesuai dengan konteks permasalahannya
(wanprestasi, kepailitan dan/atau PKPU, likuidasi, pembubaran atau sebab-sebab
lainnya) yang pertimbangannya sebaiknya dibuat secara tertulis.
p. Dalam hal huruf o telah selesai dilaksanakan maka Direksi SMF memutuskan untuk
memilih jalan penyelesaian secara bertahap dan disertakan dengan solusi lainnya
apabila jalan penyelesaian secara bertahap itu belum berhasil dijalankan.
q. Selanjutnya, sebagai ilustrasi, apabila Direksi SMF menempuh jalan eksekusi melalui
pelelangan umum, maka syarat formil dan syarat materil harus dipenuhi terlebih
dahulu sampai dengan selesainya eksekusi melalui pelelangan umum tersebut
selesai.
r. Dalam hal huruf q selesai dilaksanakan namun tidak menutupi seluruh hutang fasilitas
pembiayaan, maka SMF menyampaikan kembali kepada Debitur atau Mudharib
bahwa SMF akan berkedudukan sebagai kreditur konkuren untuk mengupayakan
agar sisa Jumlah Terhutang tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Dalam hal
ternyata huruf q selesai dilaksanakan dengan baik maka SMF menyelesaikan
kewajibannya secara sendiri dan apabila terdapatnya kelebihan dana maka kelebihan
tersebut wajib dikembalikan SMF kepada pihak yang berhak.
s. Dalam hal ternyata Objek Jaminan Fidusia yang akan dieksekusi dalam keadaan
tidak ditemukan atau fiktif, maka Direksi SMF atas pertimbangan internal SMF dapat
mengajukan laporan-laporan terkait kepada instansi yang berwenang agar bisa
segera ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang.
t. Dalam hal huruf r selesai dilaksanakan maka SMF wajib menyelesaikan secara
sendiri atas hutang-hutang yang belum terbayar dan apabila terdapat sisa maka wajib
dikembalikan kepada Debitur atau Mudharib.
u. Apabila pada huruf s ternyata belum dapat diselesaikan, maka Direksi SMF dapat
mengajukan gugatan secara perdata dan/atau pidana untuk mengupayakan
kembalinya Jaminan Fidusia demi melunasi Jumlah Terhutang.
v. Dalam hal huruf u selesai dilaksanakan dan seluruhnya hasilnya baik dan dapat
diterima maka SMF dapat mencatatkan pada buku SMF bahwa hutang yang
berkaitan telah dilunasi dengan jalan-jalan yang ditempuh sesuai peristiwa
hukumnya.
w. Setelah seluruhnya dapat diselesaikan dengan baik, maka Direksi SMF akan
melaporkan setiap dan seluruh tahap penyelesaian kepada Pemegang Saham SMF
secara tertulis dan salinan dari laporan tersebut wajib disimpan untuk keperluan audit
perusahaan dan/atau et acquit de charge Direksi SMF pada saat Rapat Umum
Pemegang Saham Tahunan.

2. Prinsip yang berlaku dalam Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
(“UUJF”) secara tegas menegaskan bahwa objek jaminan fidusia tidak boleh dimiliki oleh
Kreditur dalam hal ini SMF karena objek jaminan fidusia menganut larangan milik beding (baik
berlaku pada UUJF maupun pada Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tanggal 9 April 1996
tentang hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah),
dalam hal SMF ingin melakukan pengelolaan sendiri dan/atau mengambilalih jaminan fidusia,
maka pengelolaan sendiri tersebut harus dilakukan oleh pihak ketiga lainnya dengan syarat
SMF tidak boleh memiliki secara terus menerus atas jaminan fidusia tersebut. Dalam hal SMF
ingin melakukan pengambilalihan jaminan fidusia piutang, maka cara yang dapat ditempuh
adalah dengan melakukan eksekusi terlebih dahulu melalui instansi yang berwenang yang
kemudian dilanjutkan oleh pemilik baru atas objek jaminan fidusia piutang melakukan
kerjasama dengan SMF yang akan ditentukan kemudian. Apabila SMF menguasai dan
memiliki secara hukum atas objek jaminan fidusia maka kepemilikan atas objek jaminan
fidusia tersebut batal demi hukum.
3. Dalam hal terjadinya kepailitan terhadap debitur SMF, maka kepailitan tersebut wajib tunduk
terhadap UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan UU No.37 Tahun
2004 tentang Kepailitan (“UUK”) serta peraturan lainnya yang berlaku. Khusus terhadap
debitur SMF yang berbentuk BUMN, bahwa sepanjang pengetahuan kami, Menteri Keuangan
memiliki hak khusus terhadap kepailitan Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”). Selanjutnya,
terhadap prosedur mengajukan kepailitan maka sesuai dengan UUK memiliki persyaratan:

a. Paling sedikit mempunyai 2 (dua) Kreditor.


b. Tidak membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang kepada salah satu Kreditornya.
c. Utang yang tidak dibayarkan tersebut harus telah jatuh tempo.

Apabila SMF akan mengajukan gugatan pailit kepada Perbankan yang berbentuk BUMN
maka diperlukannya izin dari Menteri Keuangan dan terhadap permohonan pernyataan
pailitnya hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Dalam hal Perbankan BUMN
juga berbentuk perseroan terbuka, maka keterlibatan Otoritas Jasa Keuangan jauh lebih
mendalam mengingat Otoritas Jasa Keuanga berusaha untuk melindungi kepentingan
pemegang saham masyarakat.

Terhadap perusahaan swasta baik bersifat terbuka maupun tertutup dan lembaga keuangan
lainnya, terhadap permohonan pailit dapat diajukan oleh Kreditur yang dalam hal ini SMF.
SMF wajib memenuhi ketentuan yang dimuat pada huruf a s/d c di atas terlebih dahulu.
Adapun untuk perseroan terbuka yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan Otoritas
Jasa Keuangan dalam mengajukan pailit memerlukan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan,
sedangkan pada perusahaan swasta yang bersifat tertutup serta lembaga keuangan lainnya
dapat diajukan kepailitan sesuai dengan Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.

Dalam hal SMF mengajukan gugatan pailit, maka saran kami sebaiknya SMF melakukan
eksekusi terlebih dahulu atas Objek Jaminan Fidusia yang telah diikat antara SMF selaku
Penerima Fidusia dan Debitur atau Mudharib selaku Pemberi Fidusia. Terhadap objek jaminan
fidusia, bahwa hak SMF dijamin melalui Pasal 27 ayat (3) UUJF. Setelah eksekusi selesai
dilaksanakan namun belum seluruhnya Jumlah Terhutang oleh SMF, maka SMF masih
memiliki upaya hukum untuk mengajukan gugatan kepailitan dengan syarat memenuhi
ketentuan-ketentuan yang berlaku di UUK.

Sehubungan dengan objek jaminan fidusia, bahwa Pasal 55 ayat (1) UUK telah mengatur
bahwa setiap kreditor pemegang fidusia dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak
terjadinya kepailitan.

4. Apabila Debitur SMF mengalami keadaan dimana Debitur dilikuidasi, maka pelaksanaan dari
Eksekusi Jaminan Fidusia dapat dilangsungkan seperti tidak adanya keadaan likuidasi,
adapun hal tersebut sesuai dengan Pasal 27 ayat (3) UUJF dimana hak yang didahulukan
dari Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan/atau likuidasi Pemberi
Fidusia.
5. Dalam kaitannya dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) penerapan
terhadap objek jaminan fidusia adalah sama seperti dengan angka 3 dan 4 di atas yakni tidak
terpengaruhi, namun pada saat proses PKPU berlangsung pemilik hak agunan tidak dapat
melaksanakan haknya sebagaimana dimuat dalam Pasal 246 UUK. Hal ini yang wajib
diperhatikan oleh SMF dimana ketika SMF mengetahui bahwa Debitur mengalami keadaan
bermasalah secara keuangan maka SMF secara aktif melakukan permintaan keterangan
dan/atau data sehinggga terhadap hal-hal yang dapat menghambat hak SMF dalam
mengeksekusi jaminan fidusia dapat diminimalisir.

6. Terhadap Cessie, bahwa dikenal adanya Cessie yang tidak sah, sebagai berikut:
a. Cessie yang bertentangan dengan undang-undang.
b. Cessie yang bertentangan dengan ketertiban umum.
c. Cessie yang secara signifikan dapat mengubah kewajiban dari pihak debitur.
d. Cessie yang dilarang dalam perjanjian yang menimbulkan hak yang dialihkan.

Tentang cessie yang bertentangan dengan undang-undang atau ketertiban umum misalnya
cessie yang mengalihkan hak untuk membeli senjata kepada musuh dari negara yang sedang
terlibat perang. Sedangkan cessie yang dapat mengubah kewajiban dari pihak debitur dapat
diberikan contoh sebagai berikut : Dengan suatu kontrak jual beli, seorang pembeli membeli
sejumlah barang secara rutin tiap minggu dalam jumlah tertentu, dengan pembayaran secara
mencicil. Kemudian, pembeli men-cessie hak belinya kepada pihak lain. Penjual dapat
menolak cessie tersebut jika dalam pertimbangannya pihak pembeli tersebut mempunyai
kemampuan membayar yang berbeda dengan pihak pembeli semula. Dia dapat juga menolak
pembeli baru jika pihak pembeli baru ternyata musuh bebuyutannya.

Contoh lain dari cessie yang dapat mengubah kewajiban dari pihak debitur adalah sebagai
berikut: Seorang nasabah menandatangani sebuah perjanjian asuransi kesehatan untuk 2
(dua) tahun dengan suatu perusahaan asuransi. Ketika kontrak asuransi baru berjalan 4
(empat) bulan, tetapi preminya sudah dibayar lunas, pihak tertanggung mengalihkan cessie
hak asuransinya kepada pihak lain, yang menyebabkan bergantinya pihak tertanggung.
Dalam hal ini, pihak perusahaan asuransi dapat menolak cessie tersebut dengan alasan
bahwa pihak penerima pengalihan mungkin mempunyai kondisi kesehatan yang berbeda
dengan tertanggung semula, sehingga mungkin juga akan mengubah kewajiban dari pihak
perusahaan asuransi. Tentang cessie yang dilarang dalam perjanjian yang menimbulkan hak
yang dialihkan banyak contohnya, karena memang banyak kontrak yang secara eksplisit
melarang pengalihan hak yang timbul dari kontrak tersebut kepada pihak lain, yang tertuang
dalam nonassignable clause, misalnya yang berbunyi: “Pihak distributor tidak dapat
mengalihkan seluruh hak yang terbit dari kontrak ini kepada pihak lain manapun tanpa
persetujuan tertulis dari pihak prinsipal”.

Cessie atas kontrak masa depan diatur secara khusus pada KUH Perdata. Ketentuan tentang
cessie dalam Pasal 613 KUH Perdata menentukan tentang cessie terhadap piutang. Dengan
demikian yang ada mekanisme dalam KUH Perdata adalah jika objek pengalihannya sudah
dalam bentuk piutang. Oleh karena itu pada prinsipnya tidak dimungkinkan jika ada
pengalihan terhadap hak-hak yang timbul dari suatu kontrak, di mana kontrak tersebut sendiri
masih belum dibuat sama sekali. Sebab dalam hal ini piutang tersebut masih belum ada.
Meskipun begitu dalam hal-hal tertentu piutang yang belum ada tersebut cukup layak untuk
dialihkan. Akan tetapi, menurut hemat penulis, jika kita melihat kepada sistem KUH Perdata
yang juga menganut sistem kebendaan berkontrak (freedom of contract) atau sistem terbuka
(open system), maka kontrak untuk pengalihan piutang yang akan tetap sah, meskipun pada
saat kontrak ditandatangani piutang tersebut masih belum ada. Mengikatnya kontrak tersebut
hanya sebatas mengikat secara obligatoir saja, sedangkan penyerahan piutangnya dilakukan
pada waktu piutang tersebut sudah benar-benar ada. Hal ini sesuai dengan asas cessie
sebagai kontrak riil/nyata. Berdasarkan asas kontrak yang nyata ini, jika seorang berjanji
untuk mengalihkan piutangnya di kemudian hari, meskipun perjanjian yang demikian sudah
mengikat secara obligatoir (Pasal 1333 jo Pasal 1334 KUH Perdata), tetapi piutangnya belum
beralih, kecuali jika dilakukan cessie pada saat piutang benarbenar eksis. Perbuatan hukum
pengembangan cessie dapat dilihat bahwa di samping lembaga hukum cessie dalam
bentuknya yang tradisional berupa pengalihan piutang, terdapat juga berbagai perbuatan
hukum yang merupakan pengembangan dari lembaga cessie atau menggunakan cessie
sebagai sarana untuk mencapai sasarannya. Perbuatan hukum yang merupakan
pengembangan dari lembaga cessie tersebut adalah sebagai berikut

a. Anjak piutang (dengan atau tanpa hak regres).


b. Cessie untuk jaminan hutang.
c. Pengalihan surat berharga.
d. Cessie kegiatan bisnis.

Pada cessie ganda, Pasal 613 KUH Perdata antara lain menyatakan bahwa penyerahan akan
utang piutang atas nama dan kebendaan tidak bertubuh lainnya dilakukan dengan jalan
membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan dengan mana hak-hak atas kebendaan
itu dilimpahkan kepada orang lain, penyerahan yang demikian bagi si berhutang tidak ada
akibatnya tetapi setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui
dan diakuinya. Sedangkan bagi si berpiutang, cessie sudah berlaku, meskipun belum ada
pemberitahuan kepada debitur. Timbul pertanyaan bagaimana jika atas tagihan yang sama
dilakukan beberapa kali cessie oleh pihak kreditur yang sama, sehingga terjadi cessie ganda.
Dalam hal ini, A mengalihkan piutangnya dari debitur B kepada C, tetapi tidak berapa lama
kemudian, sebelum diberitahukan atau sebelum disetujui atau diakui oleh pihak debitur B, A
mengalihkan piutang yang sama kepada D dengan segera memberitahukan pengalihan
piutang (kepada D) tersebut kepada B. Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 613 KUH
Perdata, maka akibat hukum dari cessie ganda tersebut adalah :

1. Cessie tidak terjadi kepada D, tetapi hanya sebatas obligatoir saja.


2. Cessie telah terjadi kepada C, tetapi belum berlaku bagi debitur (B).
3. C sudah berhak atas piutang tersebut karena cessie kepada C lebih dahulu dilakukan
ketimbang cessie kepada D.
4. Karena cessie untuk D sudah berlaku bagi debitur (B), maka jika B membayar kepada C,
B tidak dapat disalahkan.
Dengan demikian, kepada kreditur KUH Perdata menganut sistem pengalihan pertama (first
assignment), sedangkan kepada debitur, KUH Perdata menganut sistem pemberitahuan
pertama (first notification). Artinya kepada cessie tersebutlah lebih dahulu diberitahukan
kepada debitur.

Terkait dengan fasilitas pembiayaan SMF, bahwa Cessie merupakan sebuah opsi alternatif
apabila Jaminan Fidusia bermasalah untuk dilakukannya eksekusi, dimana Cessie dapat
dilakukan pengikatan setelah terdapatnya piutang bermasalah dan/atau apabila diperlukan
dari awal maka dapat turut serta diperjanjikan bersamaan dengan perjanjian fasilitas
pembiayaan.

Dalam hal SMF memanfaatkan pilihan Cessie, bahwa wajib diingat terdapatnya larangan
memiliki beding sebagaimana sama dengan UUJF sehingga dalam hal ini hak pengalihan
piutang yang beralih kepada pihak ketiga lainnya dan SMF selaku Kreditur merupakan pihak
yang diperbolehkan untuk mengalihkan hak tagih atas piutang yang telah dijaminkan secara
fidusia tersebut kepada pihak ketiga lainnya.

7. Terhadap salah satu exit strategy lainnya, SMF dapat merumuskan dan/atau mengajukan
kepada pihak ketiga lainnya dimana pihak ketiga tersebut sudah dan/atau akan berkedudukan
sebagai Debitur SMF dimana diperlukannya opini dari pihak ketiga, khususnya bank asal,
dimana opini tersebut dibuat oleh konsultan hukum yang memiliki kualifikasi untuk
merumuskan dan menandatangani opini tersebut.

8. Dalam opini tersebut, setidak-tidaknya memuat:


a. Aset benar
b. Telah dicek oleh konsultan hukum bank asal
c. Cocoknya dokumen fotokopi yang disampaikan kepada SMF dengan dokumen asli
yang dimiliki/dikuasai oleh bank asal
d. Harus memenuhi peraturan BI apabila Debitur SMF merupakan perbankan dan
memenuhi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
e. Jaminan yang diserahkan oleh SMF harus diaudit terlebih dahulu dan apabila
terdapat kejanggalan harus diganti serta diklarifikasi bahwa bank asal tidak akan
memasukkan Jaminan tersebut ke Daftar Piutang yang diserahkan kepada SMF.
f. Risiko Hukum yang terdapat pada bank asal
g. Konsultan hukum yang ditunjuk oleh bank asal harus memiliki kualifikasi yang
memuaskan SMF dan wajib ditunjuk untuk setiap transaksi.

9. Selanjutnya, sehubungan dengan angka 6 di atas, SMF dapat memiliki:


a. Opini Konsultan Hukum yang ditunjuk oleh SMF sebagai konsultan hukum yang
independent untuk setiap transaksi yang menilai Opini Konsultan Hukum bank asal.
b. Risk Management secara internal yang dapat meyakinkan Direksi dan Dewan
Komisaris SMF dan/atau pemegang saham SMF bahwa setiap transaksi yang
dilakukan merupakan transaksi yang sah dan setiap jaminan yang diajukan tidak
dalam keadaan bermasalah serta memiliki kolektibilitas 1 dan/atau 2.
10. Terhadap pendapat hukum yang sudah dimuat dalam Hasil Review Perjanjian sudah termuat
pada Lampiran Pendapat Hukum ini.

11. Mengenai risiko hukum pengambilalihan jaminan, bahwa sesuai jaminan fidusia sebagaimana
dimuat dalam UU No.42 Tahun 1999 SMF tidak dapat memiliki dan memanfaatkan secara
terus menerus setelah terjadinya peristiwa cidera janji sesuai perjanjian pembiayaan dan/atau
akad mudharabah, adapun SMF memiliki kewenangan untuk:
a. Melakukan penjualan objek jaminan fidusia melalui lelang eksekusi (fiat eksekusi)
dengan tahapan:
1. Kreditor mengajukan permohonan penetapan (fiat) eksekusi lelang kepada
Ketua Pengadilan Negeri setempat yang wilayah hukumnya meliputi wilayah
hukum dimana debitor pemberi fidusia berdomisili atau di domisili hukum yang
telah dipilih oleh para pihak dalam perjanjian;
2. Pemohon membayar panjar biaya (SKUM);
3. Kepaniteraa Perdata / bagian eksekusi mempersiapkan surat permohonan
pelaksanaan lelang kepada kantor lelang paling lama 7 (tujuh) hari setelah
Penetapan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri;
4. Lelang dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) selaku penyelenggara lelang yang difasilitasi oleh badan peradilan;
5. Biaya lelang terlebih dahulu disetorkan kepada Kas Negara, selanjutnya hasil
bersih lelang akan diserahkan oleh KPKNL kepada Kepaniteraan, selanjutnya
Kepaniteraan menyerahkannya kepada Pemohon Lelang, sedangkan sisanya
dikembalikan kepada Termohon Lelang;
6. Dalam hal hasil penjualan atas objek jaminan fidusia tidak cukup untuk
melunasi utang debitor, maka debitor tetap wajib melunasi sisa utangnya,
sementara kedudukan kreditor berubah dari kreditor preferen (separatis dalam
kepailitan) menjadi kreditor konkuren;
7. Perihal teknis pelaksanaan lelang oleh KPKNL selengkapnya diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93 /PMK.06/2010 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang;
8. Setelah menerima pembayaran, kreditor penerima fidusia / kuasa / wakilnya
wajib memberitahukan kepada Menteri perihal hapusnya jaminan fidusia dalam
jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal
hapusnya Jaminan Fidusia (vide Pasal 16 PP No.21 Tahun 2015).
b. Melakukan penjualan objek jaminan fidusia melalui kekuasaan sendiri (parate eksekusi)
dengan tahapan:
1. Debitor pemberi fidusia bersedia agar benda yang menjadi objek jaminan
fidusia dijual melalui lelang umum oleh Balai Lelang;
2. Nilai limit pada (harga minimal barang yang akan dilelang) Lelang Non
Eksekusi Sukarela atas barang bergerak ditetapkan oleh pemilik benda, yaitu
kreditor penerima fidusia (vide Pasal 36 ayat (4) PMK 106/2013);
3. Nilai limit pada Lelang Non Eksekusi Sukarela atas barang tetap berupa
bangunan ditetapkan oleh kreditor penerima fidusia berdasarkan hasil
penilaian dari penilai (vide Pasal 36 ayat (4a) PMK 106/2013);
4. Penerima jaminan fidusia mengajukan permohonan lelang pada Balai Lelang;
5. Pemimpin Balai Lelang meneruskan permohonan tersebut kepada Pejabat
Lelang kelas II untuk menetapkan jadwal pelaksanaan lelang;
6. Balai Lelang selaku penjual melakukan pengumuman pelaksanaan lelang yang
melalui surat kabar harian yang terbit di kota/kabupaten tempat barang berada.
Pengumuman terhadap Lelang Non Eksekusi Sukarela atas objek jaminan
fidusia berupa bangunan dilakukan dalam jangka waktu minimal 7 (tujuh) hari
sebelum pelaksanaan lelang, sementara terhadap Lelang Non Eksekusi
Sukarela atas objek jaminan fidusia berupa barang bergerak wajib diumumkan
paling singkat 5 hari sebelum pelaksanaan lelang (vide Pasal 43 ayat (1) PMK
106/2013 jo Pasal 48 ayat (1) PMK 93/2010);
7. Lelang dilaksanakan oleh Pejabat Lelang kelas II;
8. Balai Lelang menyetor Bea Lelang kepada kas negara dan memberikan hasil
bersih lelang kepada kreditor penerima fidusia;
9. Hasil bersih tersebut digunakan untuk membayar seluruh piutang kreditor,
kemudian sisanya dikembalikan kepada debitor pemberi jaminan fidusia;
10. Dalam hal hasil penjualan atas objek jaminan fidusia tidak cukup untuk
melunasi utang debitor, maka debitor tetap wajib melunasi sisa utangnya,
sementara kedudukan kreditor berubah dari kreditor preferen (separatis dalam
kepailitan) menjadi kreditor konkuren;
11. Setelah menerima pembayaran, kreditor penerima fidusia / kuasa / wakilnya
wajib memberitahukan kepada Menteri perihal hapusnya jaminan fidusia dalam
jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal
hapusnya Jaminan Fidusia (vide Pasal 16 PP No.21 Tahun 2015).
c. Penjualan objek jaminan fidusia secara di bawah tangan, adapun terhadap
penjualan objek jaminan fidusia secara dibawah tangan tanpa melalui pelelangan
umum harus memenuhi persyaratan:
1. Atas dasar kesepakatan antara debitor Pemberi Fidusia dengan kreditor
Penerima Fidusia (SMF);
2. Mengusahakan untuk memperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para
pihak;
3. Hanya dapat dilaksanakan setelah rencana penjualan tersebut terlebih dahulu
diumumkan/diberitahukan secara tertulis oleh debitor Pemberi Fidusia
dan/atau kreditor Penerima Fidusia (SMF) kepada pihak-pihak yang
berkepentingan selama 1 bulan sebelum rencana penjualan dilaksanakan dan
diumumkan setidak-tidaknya dalam 2 surat kabar yang berperedaran di daerah
yang bersangkutan.
Adapun belum diaturnya secara lebih lanjut mengenai penjualan objek jaminan
fidusia secara dibawah tangan sehingga SMF kiranya harus memperhatikan
kepentingan-kepentingan dari debitor Pemberi Fidusia.

12. Bahwa sehubungan tidak terdapatnya pengaturan mengenai wali amanat selain dari wali
amanat yang berlaku pada ketentuan di pasar modal Indonesia, maka SMF tidak dapat
melakukan penunjukkan wali amanat sehubungan dengan pemberian fasilitas pembiayaan
KPR. Mengenai opsi SMF untuk melakukan pengelolaan atas objek jaminan fidusia
memerlukan bantuan pihak ketiga lainnya baik berupa perusahaan yang bergerak dibidang
manajemen asset ataupun bentuk-bentuk perusahaan lainnya yang dimungkinkan sepanjang
tidak melanggar peraturang perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya.

13. Bahwa SMF memiliki hak untuk meminta kepada Debitur untuk mengganti dan/atau
menambahkan setiap saat terhadap Objek Jaminan Fidusia sebagaimana yang telah
diperjanjikan dalam Perjanjian Pembiayaan dan/atau Akad Mudharabah.

14. Sepanjang pengetahuan kami, bahwa belum terdapatnya pengaturan dimana SMF dapat
meminta penggantian dan/atau penambahan Objek Jaminan Fidusia pada saat Debitur
mengalami peristiwa cidera janji dan landasan hukum untuk melakukan penggantian dan/atau
penambahan Objek Jaminan Fidusia tersebut adalah laporan audit yang memuat laporan
portfolio yang dijaminkan kepada SMF dalam bentuk jaminan fidusia yang masih/sedang
berlangsung.

15. Bahwa dalam hal keadaan dimana ekonomi nasional mengakibatkan dan manajemen Debitor
tidak mampu untuk mengatasinya sehingga Debitor mengalami peristiwa cidera janji,
sepanjang pengetahuan kami belum terdapatnya pengaturan untuk melakukan eksekusi
dalam Perjanjian Pembiayaan dan/atau Akad Mudharabah.

16. Apabila terjadinya suatu keadaan dimana Objek Jaminan Fidusia tidak dapat dieksekusi
karena Objek Jaminan Fidusia tidak diakui oleh Debitur, maka SMF dapat terlebih dahulu
meminta pertanggung jawaban Debitur atas tidak bisa terlaksananya eksekusi Objek Jaminan
Fidusia, dalam hal karena terdapatnya tindakan-tindakan yang secara hukum tergolong
sebagai pelanggaran maka SMF dapat mengajukan gugatan secara terpisah atas
pelanggaran tersebut dengan memperhatikan tujuan utama bahwa SMF harus
menyelamatkan kepentingan berupa pengembalian Jumlah Terhutang sebagaimana dimuat
dalam Perjanjian Fasilitas Pembiayaan. Sebagai penyelesaian, SMF dapat meminta Debitur
untuk melakukan restrukturisasi apabila secara keuangan masih memungkinkan untuk
dilakukannya perjanjian pemberian fasilitas pembiayaan atau apabila tidak memungkinkan
maka SMF dapat meminta dilakukannya cessie atas tagihan piutang agar SMF dapat
mengamankan kepentingannya. Dalam hal ternyata cessie tidak dapat dilakukan maka SMF
masih memiliki opsi lainnya dalam bentuk mengelola hak tanggungan yang masih tersisa
(selama nominalnya mencukupi untuk pengembalian Jumlah Terhutang). Namun pengelolaan
ini harus terlebih dahulu ditinjau secara mendalam terhadap pengikatan yang telah dilakukan
antara Debitur SMF dengan Debitur KPR (end-user) karena belum tentu Debitur KPR
mengalami keadaan gagal bayar kepada Debitur SMF. Apabila masih belum dimungkinkan,
maka SMF sebagai upaya terakhir wajib menerima kedudukan SMF sebagai kreditor
konkuren (namun hal ini seharusnya tidak terjadi apabila mitigasi risiko yang dilakukan SMF
pada awal perjanjian pemberian fasilitas dilaksanakan secara baik dan benar).

17. Secara keseluruhan, bahwa setidak-tidaknya SMF memiliki opsi sebagai exit strategy dalam
bentuk:

a. Melakukan restrukturisasi perjanjian fasilitas pembiayaan


b. Melakukan cessie/ subrogasi/ novasi (yang mana pilihan terbaik)
c. Menggugat Debitur SMF dalam hal terdapatnya keadaan dimana Objek Jaminan Fidusia
tidak benar
d. Meminta penjelasan kepada Debitur SMF untuk dapat diminta pertanggung jawaban
untuk pengembalian kewajibannya kepada SMF baik menggunakan jaminan yang sama
atau jaminan lain yang diserahkan sebagai penggantinya.
e. Apabila SMF akan mengelola sendiri atas Objek Jaminan Fidusia, maka SMF wajib
menunjuk pihak ketiga lainnya sebagai pihak pemilik dimana kepemilikannya tidak
menjadi beban SMF karena apabila beralih ke SMF menjadi batal demi hukum.
f. Apabila SMF akan mengambilalih Objek Jaminan Fidusia tersebut, maka SMF wajib
menunjuk pihak ketiga untuk menjadi pemilik baru atas Objek Jaminan Fidusia tersebut,
adapun terhadap ambil alih ini tidak akan menjadi beban SMF karena kepentingan SMF
hanya terbatas kepada pelaksanaan usaha yang mana hasil dari pelaksanaan usaha
tersebut akan menjadi sumber pembayaran kembali kepada SMF selaku Kreditur.

18. Dalam hal terjadinya keadaan dimana SMF terlibat dalam gugat-menggugat kepada
pengadilan, maka sebaiknya SMF di damping advokat yang berkompeten untuk membantu
dan mewakili SMF dalam memenuhi hak-hak SMF selaku Kreditur. Mengingat setiap keadaan
yang terjadi di pengadilan tidak dapat dilakukan standarisasi sehingga setiap penyelesaiannya
sudah pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Demikianlah Pendapat Hukum ini kami berikan selaku Konsultan Hukum yang mandiri dan tidak
terafiliasi dan atau terasosiasi dengan SMF dan kami bertanggung jawab atas isi Pendapat Hukum ini.

Diberikan di Jakarta pada tanggal sebagaimana telah disebutkan pada bagian awal Pendapat
Hukum ini.

Hormat kami,
KANTOR KONSULTAN HUKUM
WARENS & PARTNERS

H.M.U. FACHRI ASAARI, S.H.


STTD.KH-4/PM.22/2018
(d/h STTD No.95/STTD-KH/1996)
Anggota HKHPM No.98016

Anda mungkin juga menyukai