1 PEMBIAYAAN KONSUMEN (CONSUMER FINANCE) A. PENDAHULUAN
• Pembiayaan konsumen merupakan salah
satu model pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan finansial, di samping kegiatan seperti leasing, factoring, kartu kredit dan sebagainya. Target pasar dari model pembiayaan konsumen ini sudah jelas, bahwa para konsumen. Suatu istilah yang dipakai sebagai lawan dari kata produsen. • Di samping itu, besarnya biaya yang diberikan per konsumen relatif kecil, mengingat barang yang dibidik untuk dibiayai secara pembiayaan konsumen adalah barang-barang keperluan konsumen yang akan dipakai oleh konsumen untuk keperluan hidupnya. Misalnya barang-barang keperluan rumah tangga seperti televisi, lemari es, mobil, dan sebagainya. Karena itu, risiko dari bisnis pembiayaan konsumen ini juga menyebar, berhubung akan terlibat banyak konsumen dengan pemberian biaya yang relatif kecil. Ini lebih aman bagi pihak pemberi biaya Ibarat menempatkan telur tidak dalam satu keranjang. • Namun demikian, tidak berarti bahwa bisnis pembiayaan konsumen ini tidak punya risiko sama sekali. Sebagai suatu pemberian kredit, risiko tetap ada. Macetnya pembayaran tunggakan oleh konsumen merupakan hal yang sering terjadi. • 1. Pengertian Lembaga Pembiayaan Konsumen • Kegiatan pembiayaan konsumen mulai diperkenalkan dalam usaha perusahaan pembiayaan dimulai pada waktu dikeluarkannya keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan yang diikuti dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor.1251/KMK.013/1988 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, terakhir diubah, dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor. 448/KMK.017/2000 Tentang Perusahaan Pembiayaan. • Pembiayaan konsumen merupakan salah satu model pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan finansial, disamping kegiatan seperti leasing, factoring, kartu kredit dan sebagainya. Target pasar dari model pembiayaan konsumen ini sudah jelas yaitu konsumen. Suatu istilah yang dipakai sebagai lawan produsen. Di samping itu besarnya biaya yang diberikan per konsumen relatif kecil mengingat barang yang dibidik untuk dibiayai secara pembiayaan konsumen adalah barang-barang keperluan yang akan dipakai oleh konsumen untuk keperluan hidupnya, misalnya barang-barang keperluan rumah tangga seperti televisi, lemari es, mobil dan sebagainya. Karena itu, risiko dari pembiayaan ini juga menyebar, berhubung akan terlibat banyak konsumen dengan pemberian biaya yang relatif kecil, ini lebih aman bagi pihak pemberi biaya. • Definisi pembiayaan konsumen (consumer finance) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor.448/KMK.017/2000 Tentang Perusahaan Pembiayaan, pembiayaan konsumen (consumer finance) adalah kegiatan yang dilakukan dalam bentuk dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen. • Menurut Abdulkadir Muhammad Perusahaan pembiayaan adalah badan usaha diluar Bank dan Lembaga Keuangan bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan. • Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami dan dirinci unsur-unsur pengertian Pembiayaan Konsumen sebagai berikut: 1. Subjek adalah pihak-pihak yang terkait dalam hubungan hukum Pembiayaan Konsumen, yaitu Perusahaan Pembiayaan Konsumen (kreditur), Konsumen (debitur), dan Penyedia Barang (Pemasok, Supplier). 2. Objek adalah barang bergerak keperluan Konsumen yang akan dipakai untuk keperluan hidup atau keperluan rumah tangga, misalnya televisi, kulkas, mesin cuci, alat-alat dapur, perabot rumah tangga, kendaraan. 3. Perjanjian adalah perbuatan persetujuan pembiayaan yang diadakan antara Perusahaan Pembiayaan Konsumen dan Konsumen, serta jual beli antara Pemasok dan Konsumen. Perjanjian tersebut didukung oleh dokumen-dokumen. 4. Hubungan kewajiban dan hak, dimana Perusahaan Pembiayaan Konsumen wajib membiayai harga pembelian barang keperluan konsumen dan membayar tunai kepada Pemasok untuk kepentingan konsumen, sedangkan Konsumen wajib membayar harga barang secara angsuran kepada Perusahaan Pembiayaan Konsumen, dan Pemasok wajib menyerahkan barang kepada Konsumen. 5. Jaminan berupa kepercayaan terhadap Konsumen (debitur) merupakan jaminan utama bahwa Konsumen dapat dipercaya untuk membayar angsurannya sampai selesai. Barang yang dibiayai oleh Perusahaan Pembiayaan Konsumen merupakan jaminan pokok secara fiducia, semua dokumen kepemilikan barang dikuasai oleh Perusahaan Pembiayaan Konsumen (Fidury Transfer of Ownership) sampai angsuran terakhir dilunasi. Di samping kedua jaminan yang disebutkan itu, pengakuan hutang (promissory notes), dan kuasa menjual merupakan jaminan tambahan. • 2. Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen • Konsumen yang diartikan sebagai pemakai barang-barang hasil produksi dan jasa merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris “consumer”, dan bahasa Belanda “consument”, yang secara harfiah diartikan sebagai “orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu”;. Ada juga yang mengartikan “setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa ada pembedaan antara konsumen sebagai orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai perusahaan atau badan hukum. Pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi lagi • Pasal 1 angka 2 UUPK mendefinisikan konsumen sebagai “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Kemudian Penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK mengatakan bahwa “Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara, Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam pengertian ini adalah konsumen akhir”. • Pengertian konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna dan atau pemanfaat barang dan atau jasa untuk tujuan tertentu. Sedangkan pengertian menurut Undang Undang Perlindungan Konsumen di atas adalah setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. • Berdasarkan pengertian di atas, subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut “natuurlijke person” atau termasuk juga badan hukum (rechts person). • Menurut AZ. Nasution, orang yang dimaksudkan adalah orang alami bukan badan hukum. Sebab yang memakai, menggunakan dan atau memanfaatkan barang dan atau jasa untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain tidak untuk diperdagangkan hanyalah orang alami atau manusia.
• Hondius, menyimpulkan bahwa para ahli hukum pada
umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa. Artinya ada pembedaan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dengan konsumen pemakai terakhir. • 3. Pembiayaan Konsumen • Kegiatan pembiayaan konsumen mulai diperkenalkan dalam usaha perusahaan pembiayaan dimulai pada waktu dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor. 61 Tahun 1988 yang diperbaharui dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Lembaga Pembiayaan yang diikuti dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor.1251/KMK.013/1988 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, terakhir diubah, dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor. 448/KMK. 017/2000 Tentang Perusahaan Pembiayaan. • Definisi pembiayaan konsumen (consumer finance) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor.448/KMK.017/2000 Tentang Perusahaan Pembiayaan, pembiayaan konsumen (consumer finance) adalah kegiatan yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen. • Uraian mengenai unsur-unsur dalam pembiayaan konsumen dapat diketahui bahwa merupakan satu kesatuan yang harus ada dalam setiap bentuk pembiayaan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, sehingga dalam pelaksanaannya akan terjalin hubungan yang baik antara pihak yang ada dalam perjanjian pembiayaan yaitu Konsumen, Pemasok dan Perusahaan Pembiayaan Konsumen. • B. Perkembangan Perjanjian Pembiayaan Konsumen diIndonesia 1. Perjanjian Sewa Beli Sebagai Dasar Perkembangan Perjanjian Pembiayaan Konsumen di Indonesia • Perjanjian sewa beli bahasa Belanda (huurkoop), dan Bahasa Inggris(Hire-puschase) adalah suatu ciptaan praktik (kebiasaan) yang sudah diakui sah oleh yurisprudensi, dan di Belanda sudah pula dimasukan dalam B.W. dan di Inggris telah diatur dalam suatu undang-undang tersendiri, yaitu “Hire-purchase Act” tahun 1965 yang diadakan di samping “Sale of Goods Act” dari tahun 1893. • Perjanjian yang ditentukan sendiri di dalam praktik itu memang diperbolehkan karena sebagaimana diketahui, hukum perjanjian KUHPerdata menganut sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak sebagaimana terkandung dalam Pasal 1338 Ayat (1) yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah , berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. • Sewa beli mula-mula timbul dalam praktik untuk menampung persoalan bagaimana memberikan jalan keluar apabila pihak penjual menghadapi banyak permintaan atau hasrat untuk membeli barangnya tetapi calon pembeli tidak mampu membayar harga barang-barang sekaligus. Penjual bersedia untuk menerima bahwa harga barang itu diangsur, tetapi ia memerlukan jaminan bahwa barangnya (sebelum barangnya dibayar lunas) tidak akan dijual oleh pembeli. • Dijadikannya pembeli menjadi penyewa, si pembeli terancam oleh hukum pidana (penggelapan) apabila pembeli menjual atau memindahtangankan barang sebagai objek dalam perjanjian. Dengan perjanjian seperti ini kedua belah pihak tertolong, artinya pembeli dapat mengangsur harga barang dan seketika dapat menikmati barang, sedangkan dipihak penjual merasa aman karena barang sebagai objek tidak akan dipindahtangankan oleh pembeli selama harga belum dibayar lunas. • Ketentuan mengenai perjanjian sewa beli pada dasarnya belum diatur dalam undang-undang secara khusus dan terperinci, baik dalam KUHPerdata maupun dalam KUHDagang. Oleh karena itu, menurut hukum perdata di Indonesia berlakulah ketentuan dalam bagian Umum Buku III KUHPerdata yang menganut sistem terbuka (open system) yang mengandung pengertian bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. • Sistem terbuka ini biasanya juga disebut dengan “asas kebebasan berkontrak” (partij autonomie) yang merupakan inti Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa semua perjanjian yang memenuhi syarat-syarat hukum, oleh karenanya sah dan isinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan, mengikat para pihak yang membuatnya dan mereka wajib mentaatinya, dan apabila diingkari maka hukum memberi sanksi bagi pelaksanaannya. • Sewa beli telah dimanfaatkan sebagai alternatif cara memperoleh hak milik atas suatu barang seperti kendaraan bermotor. Perjanjian sewa beli kendaraan bermotor banyak ditemukan baik kendaraan pribadi maupun kendaraan untuk kegiatan usaha. Di lihat dari sudut hukum perjanjian kenyataannya di lapangan menunjukkan sebagian besar naskah perjanjian sewa beli kendaraan bermotor dibuat dalam bentuk perjanjian baku (standard contract). Perjanjian baku ini sebenarnya adalah suatu bentuk perjanjian yang isinya telah ditentukan secara sepihak dan dicetak secara massal. • Keberadaan perjanjian baku ini oleh pemerintah ternyata telah memberikan adanya peraturan melalui perangkatnya yang berupa surat keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi. Menteri Perdagangan dan Koperasi pada tahun 1980 pernah mengeluarkan Surat Keputusan tentang Sewa Beli yaitu SK. Menperdagkop No. 34/KP/II/1980 tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli. Namun surat keputusan itu sesungguhnya hanya mengatur masalah perijinan perusahaan yang bergerak pada usaha sewa beli. Keputusan Menperdagkop ini merupakan dasar perkembangan perjanjian sewa beli di Indonesia. • Selain SK Menperdagkop No. 34 tahun 1980 tersebut. Menteri Perdagangan telah mengeluarkan Surat Edaran dan Surat Pengantar sehubungan dengan izin usaha Sewa Beli. Surat Edaran Direktur Bina Usaha Perdagangan No. 408/Binus-3/IX/85 tertanggal 27 September 1985 tentang Permohonan Izin Usaha Sewa Beli. Kemudian dikeluarkan kembali Surat Direktur Bina Usaha No. 719/Binus- 3/VIII/1986, tanggal 8 Agustus 1986 mengenai penjelasan tentang izin usaha Sewa Beli dan Pengertian Sewa Beli (Hire-purchase) dan Jual Beli Angsuran, yang memperjelas tentang izin usaha Sewa Beli juga pengertian Sewa Beli (Hire-purchase) dan Jual beli Angsuran yang didasarkan pada SK No. 34/Kp/II/80. • SK Menperdagkop No. 34/KP/II/1980 merupakan dasar eksistensi lembaga sewa beli di Indonesia. SK Menperdagkop ini, diberlakukan sebagai antisipasi terhadap tumbuh dan berkembangnya variasi pemasaran barang. Dalam konsiderans “Menimbang” disebutkan: a. Bahwa berbagai variasi sistem pemasaran barang telah tumbuh dan berkembang sebagai akibat dari perkembangan kehidupan perekonomian pada umumnya dan industri pada khususnya; b. Bahwa variasi sistem pemasaran dengan cara sewa beli (hire purchase), jual beli dengan angsuran, dan sewa (renting), perlu dibina dan diarahkan; c. Bahwa untuk pembinaan dan pengarahan tersebut, dipandang perlu untuk menetapkan peraturan tentang perizinan kegiatan usaha sewa beli (hire purchase), jual beli dengan angsuran dan sewa (renting).