Anda di halaman 1dari 47

BAB II.

2
ASAS KEBEBASAN
BERKONTRAK
• 2. Asas Kebebasan Berkontrak Sebagai Dasar
Perkembangan Perjanjian Pembiayaan Konsumen di
Indonesia
• Asas kebebasan berkontrak atau dikenal dengan istilah
freedom of contract, party autonomy, liberty of contract
berkembang seiring dengan kapitalisme dan individualisme.
Kegiatan ekonomi apapun tidak boleh dibatasi. Setiap orang
berhak atas kenikmatan dari apa yang ia usahakan.
Kebebasan berkontrak sangat lekat dengan konsepsi hak
asasi manusia. Kebebasan membuat perjanjian merupakan
wujud nyata dari penghormatan hak asasi manusia. Oleh
sebab itu, pengaturan perjanjian dalam KUHPerdata
dikatakan bersifat terbuka, karena terbuka untuk
memperjanjikan apapun yang dikehendaki oleh para pihak.
• Dalam sistem hukum perjanjian baik dalam sistem civil
law system, common law system maupun dalam sistem
lainnya. Hal ini dikarenakan pertama, asas kebebasan
berkontrak merupakan suatu asas yang bersifat universal
yang berlaku disemua negara di dunia ini, kedua, asas
kebebasan berkontrak ini mengandung makna sebagai
suatu perwujudan dari kehendak bebas para pihak dalam
suatu perjanjian yang berarti juga sebagai pancaran atas
pengakuan hak asasi manusia.
• Kebebasan berkontak adalah merupakan refleksi dari
perkembangan pasar bebas yang dipelopori Adam Smith
pada abad ke sembilanbelas. Adam Smith dengan filsafat
ekonomi klasiknya menekankan pada ajaran laissez faire
yang menekankan prinsip non intervensi oleh negara
terhadap kegiatan ekonomi dan bekerjanya pasar.
• Jeremy Bentham menyatakan bahwa tidak seorangpun
dapat mengetahui tentang apa yang baik untuk
kepentingan dirinya, kecuali dirinya sendiri. Menurut
Bentham, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam hal
yang pemerintah sendiri tidak memahaminya.
Sebagaimana halnya para ekonom klasik, Bentham juga
mengkritik mania regulasi (mania for regulation) yang
banyak mengontrol buruh dalam bentuk Setlement Laws,
Apprenticienship Law, Wage Fixing dan lain-lain.
• Antara pemikiran Adam Smith dan Jeremy Bentham ada
persamaannya yaitu; pertama, keduanya percaya
terhadap individualisme sebagai suatu nilai dan sebagai
mekanisme sosial. Kedua, mereka yakin bahwa
kebebasan berkontrak sebagai suatu asas umum. Ketiga,
keduanya menerima sebagai starting point bahwa
manusia pada umumnya mengetahui kepentingan-
kepentingan mereka sendiri yang terbaik. Keempat,
paham keduanya menaruh perhatian utama terhadap
maksimalisasi dari kekayaan seseorang yang satu dan
kebahagiaan yang lain tanpa memperdulikan bagaimana
kekayaan atau kebahagiaan itu didistribusikan.
• Perkembangan asas kebebasan berkontrak ternyata dapat
mendatangkan ketidakadilan karena asas ini hanya dapat
mencapai tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan
seoptimal mungkin, bila para pihak memiliki bargaining
poweryang seimbang. Jika salah satu pihak lemah maka pihak
yang memiliki bargaining position lebih kuat dapat
memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain, demi
keuntungan dirinya sendiri.
• Menurut Ridwan Khairandy, paradigma kebebasan berkontrak
pada akhirnya bergeser ke arah pardigma kepatutan.
Walaupun kebebasan berkontrak masih menjadi asas penting
dalam hukum perjanjian baik dalam civil law maupun common
law, tetapi ia tidak lagi muncul seperti kebebasan berkontrak
bukanlah kebebasan tanpa batas. Negara telah melakukan
sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak melalui
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
• Ditinjau dari aspek praktis dalam proses perancangan dan
pembuatan perjanjian, maka asas kebebasan berkontrak perlu
dijadikan dasar dalam pelaksanaan perancangan dan pembuatan
perjanjian, khususnya dikaitkan dengan dua aspek utama yaitu:
1. Aspek akomodatif, dalam arti bahwa dalam perancangan dan
pembuatan perjanjian, seorang perancang perjanjian harus
mampu mengakomodasikan seoptimal mungkin kebutuhan dan
keinginan yang sah, yang terbentuk di dalam transaksi bisnis
mereka ke dalam kontrak bisnis yang dirancangnya.
2. Aspek legalitas, dalam arti bahwa seorang perancang dan
pembuat perjanjian harus berupaya semaksimal mungkin untuk
dapat menuangkan transaksi bisnis (transaksi apapun)
diantara para pihak ke dalam kontrak yang sah dan dapat
dilaksanakan. Aspek ini perlu diperhatikan hal-hal yang
mungkin dapat membatasi kebebasan para pihak dalam
mewujudkan transaksi bisnis mereka.
• Istilah kebebasan berkontrak dalam kepustakaan common
law, dituangkan dalam istilah freedom of contractatau
liberty of contract atau party outonomy. Pada
kepustakaan yang berbahasa Inggris istilah yang pertama
lebih umum dipakai dari pada istilah yang kedua atau
ketiga. Kebebasan berkontrak dalam sistem civil law
dikenal dengan istilah private outonomy.
• Bagi Konrad Zweight dan Hein Kotz, kebebasan
berkontrak berarti kebebasan untuk memilih dan
membuat kontrak, dan kebebasan para pihak untuk
menentukan isi dan janji mereka, dan kebebasan untuk
memilih subjek perjanjian.
• A.L. Terry sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini
menyatakan bahwa yang dimaksud asas kebebasan berkontrak adalah
kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian untuk
dapat menyusun dan menyetujui klausul-klausul dari perjanjian
tersebut, tanpa campur tangan pihak lain. Campur tangan tersebut
dapat datang dari negara melalui peraturan perundang-undangan yang
menetapkan ketentuan-ketentuan yang diperkenankan atau dilarang.
• Berlakunya asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian di
Indonesia antara lain dapat dilihat dari beberapa pasal KUHPerdata
sebagai berikut:
a. Pasal 1320 Ayat (1) jo. Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata
• Pasal 1320 Ayat (1) menyatakan sebagian salah satu syarat sahnya
suatu perjanjian diperlukan adanya “sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya.
• Pasal 1338 Ayat (1) menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”.
• Dalam KUHPerdata tersebut dapatlah dikatakan,
berlakunya asas kebebasan berkontrak di dalam hukum
perjanjian memantapkan adanya asas kebebasan
berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang
membuat perjanjian maka perjanjian yang dibuat tidak
sah, sehingga tanpa sepakat maka perjanjian yang dibuat
dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk
memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan
paksa adalah Contradictio Interminis. Adanya paksaan
menunjukkan tidak adanya sepakat, yang mungkin
dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan
pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri
pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak
mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi
yang diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it).
• Adanya konsensus dari para pihak, maka kesepakatan itu
menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana
layaknya undang-undang(pacta sunt servanda). Apa yang
dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan hukum
menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah yang menjadi
kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan hanya
kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang
pelaksanaannya wajib ditaati. Sebagai konsekuensinya,
maka hakim maupun pihak ketiga tidak mencampuri isi
perjanjian yang dibuat para pihak tersebut.
• Menurut Subekti, cara menyimpulkan asas kebebasan
berkontrak (beginsel der contractsvrijheid) adalah
dengan jalan menekankan pada perkataan semua yang
ada di muka perkataan perjanjian sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata.
• Mariam Darus Badrulzaman menyatakan “semua” mengandung
arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal
maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas
kebebasan berkontrak (contract-vrijheid) berhubungan dengan
isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan apa dan siapa
perjanjian itu diadakan.
• Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320
KUHPerdata ini mempunyai kekuatan mengikat.
b. Pasal 1320 Ayat (4) jo. Pasal 1337 KUHPerdata
• Pasal 1320 Ayat (4) KUHPerdata menyatakan salah satu syarat
sahnya perjanjian apabila dilakukan atas suatu sebab yang
halal.
• Pasal 1337 KUHPerdata menentukan bahwa suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
c. Pasal 1329 jo. Pasal 1330 dan 1331 KUHPerdata
• Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan setiap orang adalah
cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika ia ditentukan
tidak cakap oleh undang-undang.
• Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan tidak cakap untuk
membuat perjanjian adalah :
• Orang-orang yang belum dewasa
• Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
• Wanita yang sudah bersuami.
• Pasal 1331 KUHPerdata menyatakan orang-orang yang di
dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap, boleh
menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang telah
mereka perbuat dalam hal-hal dimana kekuasaan itu tidak
dikecualikan dalam undang-undang.
d.Pasal 1332 KUHPerdata
• Menentukan hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja dapat menjadi pokok perjanjian-
perjanjian. Pasal ini menegaskan bahwa asalkan
menyangkut barang-barang yang bernilai ekonomis, maka
setiap orang bebas untuk memperjanjikannya.
e. Ketentuan Buku III KUHPerdata kebanyakan bersifat
hukum pelengkap (aanvullend Recht) artinya para pihak
dapat secara bebas membuat syarat-syarat atau aturan
tersendiri dalam suatu perjanjian menyimpang dari
ketentuan undang-undang, namun jika para pihak tidak
mengatur dalam perjanjian maka ketentuan Buku III
KUHPerdata akan melengkapinya untuk mencegah adanya
kekosongan hukum sesuai dengan isi materi perjanjian
sebagaimana yang dikehendaki para pihak.
f. Buku III KUHPerdata juga tidak melarang kepada seseorang untuk
membuat perjanjian itu dalam bentuk tertentu. Sehingga para pihak
dapat secara bebas untuk membuat perjanjian secara lisan ataupun
tertulis, terkecuali untuk perjanjian tertentu harus dalam bentuk akta
outentik seperti perjanjian jual beli tanah harus dengan akta PPAT.
• Johanes Gunawan mengatakan bahwa asas ini mengandung arti bahwa
masyarakat memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai
dengan kehendak atau kepentingan mereka. Selanjutnya dikatakan
kebebasan yang dimaksud meliputi :
1. Kebebasan tiap orang untuk memutuskan apakah ia akan membuat
perjanjian atau tidak membuat perjanjian.
2. Kebebasan tiap orang untuk memilih dengan siapa ia akan membuat
suatu perjanjian.
3. Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian.
4. Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian.
5. Kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.
• Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem
terbuka (opensystem) dari hukum kontrak tersebut.
• Asas konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320
KUHPerdata mengandung arti “kemauan” (will) para pihak untuk
saling berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri.
• Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu
dipenuhi. Asas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang
bersumber dari moral. Asas kebebasan berkontrak ini adalah salah
satu asas yang sangat penting dalam hukum perjanjian. Kebebasan
ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi
manusia.
• Kebebasan, menurut Immanuel Kant (1724-1804) tidak mungkin
dilepaskan dari hukum moral dan dalam perjanjian dikenal dengan
itikad baik. Kebebasan yang dimiliki oleh para pihak untuk
memperjanjikan hal apapun baru akan memberikan kemanfaatan
yang adil bagi para pihak jika hal-hal yang diperjanjikan tersebut
dilandaskan
• Kebebasan berkonrak hanya dapat mencapai keadilan jika para
pihak memiliki bargaining power yang seimbang. Kebebasan
berkontrak yang sebenarnya akan dapat eksis jika dalam
perjanjian memiliki keseimbangan secara ekonomi dan sosial.
Bargaining power yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat
dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga
pihak yang lemah mengikuti saja syarat-syarat perjanjian yang
diajukan kepadanya. Sehingga tidak mungkin ada kebebasan
berkontrak tanpa pada saat yang sama ada pengakuan
keseimbangan posisi tawar dari para pihak. oleh itikad baik dari
para pihak.
• Pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkam bahwa
kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh
kecakapannya untuk membuat perjanjian.
• Pasal 1330, orang yang belum dewasa dan orang yang
diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai
kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal 108 dan 110
menentukan bahwa istri (wanita yang telah bersuami)
tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum
tanpa bantuan suami.
• Namun berdasarkan fatwa mahkamah Agung, melalui
Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5
September 1963, dinyatakan bahwa Pasal 108 dan 110
tersebut pada saat ini tidak berlaku.
• Pasal 1320 Ayat (4) jo 1337 menentukan bahwa para
pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang
menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang.
• Pasal 1320 Ayat (3) menentukan bahwa objek perjanjian
haruslah dapat ditentukan. Suatu hal tertentu
merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang
harus dipenuhi dalam suatu perjanjian.
• Mengenai objek perjanjian diatur lebih lanjut dalam
Pasal 1332 yang menyebutkan bahwa hanya barang-
barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat
menjadi objek suatu perjanjian. Dengan demikian maka
menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang
mempunyai nilai ekonomi saja yang dapat dijadikan
objek perjanjian.
• Pembatasan terhadap kebebasan berkontrak hanya bersifat terbatas
sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yaitu sepanjang
tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum.
• Hakim dapat membatasi suatu penerapan asas kebebasan
berkontrak dalam perjanjian dikarenakan, pada dasarnya hakim
dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan kehakiman diberikan
otonomi kebebasan yang mencakup:
1. Menafsirkan peraturan perundang-undangan;
2. Mencari dan menemukan asas-asas dan dasar-dasar hukum;
3. Menciptakan hukum baru apabila menghadapi kekosongan
peraturan perundang-undangan;
4. Dibenarkan pula melakukan contra legem apabila ketentuan
peraturan perundang-undangan bertentangan dengan kepentingan
umum, dan;
5. Memiliki otonomi yang bebas untuk mengikuti yurisprudensi.
• Asikin Kusuma Atmadja, dalam makalahnya menyatakan
bahwa Hakim berwenang untuk memasuki/meneliti isi
suatu kontrak apabila diperlukan karena isi dan
pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-
nilai dalam masyarakat. Dengan demikian asas kebebasan
berkontrak tidak lagi bersifat absolut, yang berarti dalam
keadaan tertentu hakim berwenang melalui penafsiran
hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan
bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian
berada dalam keadaan yang tidak seimbang, sehingga
salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan
kehendaknya. Disini terjadi suatu penyalahgunaan
keadaan (misbruik van omstandigheden).
• Suatu perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban para
pihak. Isi hak dan kewajiban tersebut selain ditentukan
oleh hukum yang memaksa (dwingen recht) juga sudah
ditentukan oleh kesepakatan yang dibuat para pihak.
Namun demikian hukum yang menambah (aanvullen recht)
juga mengisi kekosongan dalam perjanjian yang dibuat oleh
para pihak, yaitu jika para pihak tidak secara tegas
mengaturnya secara menyimpang. Adanya kesempatan
seperti itu sudah dapat diduga, bahwa kemungkinan terjadi
exonoratie clausul dapat menyebabkan adanya
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).
• Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden)
dapat digunakan dalam kategori cacat dalam menentukan
kehendaknya untuk memberikan persetujuan.
• Ajaran nengenai penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstandigheden) sebagai salah satu alasan pembatalan kontrak
telah ditentukan dalam yurisprudensi di Indonesia, seperti
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3431
K/Pdt/1985, tanggal 4 Maret 1987 tentang bunga pinjaman dan
barang jaminan yang bertentangan dengan kepatutan dan
keadilan.
• Menurut pendapat Van Dunne sebagaimana dikutip oleh Henry
P. Pangabean menyatakan bahwa:
• Tidak tepat menyatakan perjanjian yang terjadi di bawah
penyalahgunaan keadaan bertentangan dengan kebiasaan yang
baik, tetapi penyalahgunaan keadaan itu menyangkut keadaan-
keadaan yang berperan pada terjadinya kontrak, seperti
menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi kontrak
atau maksudnya menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan
kehendak yang disalahgunakan menjadi tidak bebas
• Menurut pendapat Purwahid Patrik menyatakan bahwa
terjadinya berbagai pembatasan kebebasan berkontrak
disebabkan karena:
1. Berkembangnya dalam lapangan ekonomi yang
membentuk persekutuan-persekutuan dagang, badan-
badan hukum atau perseroan-perseroan, dan golongan-
golongan masyarakat lain (misalnya golongan buruh dan
tani);
2. Terjadinya pemasyarakatan keinginan adanya
keseimbangan antara individu dan masyarakat yang
tertuju pada keadilan sosial;
3. Timbulnya formalisme perjanjian;
4. Makin banyak peraturan di bidang hukum tata usaha
negara.
• Sedangkan menurut Sri Soedewi Maschoen Sofwan, menyatakan
bahwa pembatasan kebebasan berkontrak akibat adanya:
1. Perkembangan masyarakat di bidang sosial ekonomi, misalkan
karena penggabungan atau sentralisasi perusahaan;
2. Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi
kepentingan umum atau pihak yang lemah;
3. Adanya aliran dalam masyarakat yang menginginkan adanya
kesejahteraan sosial.
• Berdasarkan pendapat Ridwan Khairandy, pembatasan
kebebasan berkontrak tersebut setidak-tidaknya dipengaruhi
oleh adanya dua faktor, yaitu:
1. Makin berpengaruhnya ajaran itikad baik dimana itikad baik
tidak hanya ada pada pelaksanaan perjanjian, tetapi juga
harus ada pada saat dibuatnya perjanjian;
2. Makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan.
• Sedangkan menurut Setiawan bahwa pembatasan kebebasan
berkontrak dipengaruhi oleh:
• Berkembangnya doktrin itikad baik;
• Berkembangnya doktrin penyalahgunaan keadaan
• Makin banyaknya kontrak baku, dan
• Berkembangnya hukum ekonomi.
• Dari segi sudut pandang formil, kebebasan berkontrak tetap
berlaku, namun muatan isi (atau jangkauan) dari hubungan
kontraktual ditentukan oleh kombinasi dari berbagai aturan-
aturan pembatasan sebagaimana tersebut di atas. Hukum
perjanjian berkembang menjadi lebih publik dengan mengubah
nuansa kepentingan privat menjadi kepentingan masyarakat.
Dapat dicermati menyurutnya elemen-elemen hukum publik.
Akibat nyata dari perkembangan ini adalah berkurangnya
kebebasan individu.
• Perjanjian Pembiayaan Konsumen yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat mendorong masyarakat
untuk ikut memiliki dan menikmati produk yang
dibutuhkannya. Tetapi di sisi lain, sebagian besar
masyarakat belum mampu membeli produk yang
dibutuhkan itu secara tunai karena mereka masih
tergolong masyarakat berpenghasilan rendah.
• Sejak diumumkannya Paket Kebijaksanaan 20 Desember
1988 (Pakdes 20, 1988), mulai diperkenalkan pranata
hukum baru di Indonesia, salah satu di antaranya adalah
lembaga Pembiayaan Konsumen, dimana sudah barang
tentu sebagai konsekuensi hukum dari suatu hubungan
hukum yang terjadi antara lembaga pembiayaan
konsumen dengan konsumen yang disebut dengan
perjanjian, yaitu perjanjian pembiayaan konsumen.
• C. Perkembangan Perusahaan Pembiayaan Konsumen
• 1. Adanya petumbuhan dan perkembangan perusahaan
yang menghasilkan berbagai macam produk kebutuhan
hidup sehari-hari, hal ini mendorong masyarakat untuk
memiliki dan menikmati produk yang dibutuhkannya.
Disisi lain masyarakat belum mampu membelinya secara
tunai.
• 2. Sejak adanya paket kebijaksanaan 20 Desember 1988
(Pakdes 20/88)mulai diperkenalkan pranata hukum,
diantaranya pembiayaan konsumen. Dimana lembaga ini
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan produk yang diharapkan/dibutuhkan.
• 3. Di samping alasan tersebut beberapa alasan yang
dapat dilihat sebagai berikut :
• a. Keterbatasan sumber dana formal dengan :
• - Sistim pembiayaan yang fleksibel
• - Tidak memerlukan penyerahan barang jaminan
• - Angsuran yang relative kecil
• b. Koperasi pembiayaan sulit berkembang, hal ini
dipengaruhi oleh
• - Manajemen koperasi di tangani oleh orang-orang yang
tidak profesional atau masih bermental individualis
(tidak berorientasi kepada kepentingan bersama).
• - Pembiayaan dan pengawasan lebih menekankan pada
keberadaannya bukan pada pemanfaatan modal usaha.
• - Apabila telah mampu menghimpun dana yang besar, maka
cenderung untuk korupsi dengan pemanfaatan modal untuk
kepentingan diri sendiri.
• c. Bank tidak melayani pembiayaan konsumen, karena :
• - Bank tidak melayani kredit yang bersifat konsumtif.
• - Bank menerapkan prinsif jaminan dalam pemberian kredit.
• d. Adanya pembiayaan lintah darat yang mencekik
(informal ).
• - Bunga yang relative tinggi
• - Sistim penagihan yang sangat ketat dengan penarikan
barang apabila menunggak.
• D. Dasar Hukum Perjanjian Pembiayaan Konsumen
• Dasar hukum dari pembiayaan konsumen di Indonesia
dapat dibedakan menjadi dua yaitu;
• 1. Dasar Hukum Substantif
• Perjanjian pembiayaan konsumen (Consumer Finance)
tidak diatur dalam KUHPerdata, sehingga merupakan
perjanjian tidak bernama. Dalam Pasal 1338 KUHPerdata
disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara
sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
• Menurut Pasal 1319 KUHPerdata bahwa semua
persetujuan baik yang mempunyai nama khusus maupun
yang tidak terkenal nama tentu tunduk pada peraturan-
peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab
sebelumnya.
• Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa
perjanjian Pembiayaan konsumen (Consumer Finance)
tunduk pada ketentuan-ketentuan umum untuk hukum
perjanjian yang terdapat dalam buku III KUHPerdata
sehingga apabila terjadi perselisihan antara para pihak
ketentuan-ketentuan tersebutlah yang dapat ditentukan
sebagai pedoman dalam penyelesaian.
• 2. Dasar Hukum Administratif
• Dasar hukum administratif pembiayaan konsumen, yaitu;
• 1) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 61 Tahun
1988 Tentang Lembaga Pembiayaan,
• 2) Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
No.1251/KMK.013 /1988 Tentang Ketentuan Dan Tata
Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, yang
diperbaharui dengan, Surat Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia No. 448/KMK.017/2000 Tentang
Perusahaan Pembiayaan.
• E. Kedudukan Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Pembiayaan
Konsumen
• Para pihak yang terkait dalam suatu transaksi pembiayaan
konsumen yaitu;
• 1. Pihak perusahaan pembiayaan konsumen (kreditur)
adalah perusahaan pembiayaan konsumen atau perusahaan
yang telah mendapatkan izin usaha dari Menteri Keuangan.
• 2. Pihak konsumen (debitur) adalah perorangan atau
individu yang mendapatkan fasilitas pembiayaan konsumen
dari kreditur.
• 3. Pihak supplier/dealer/develope atau pemasokadalah
perusahaan atau pihak-pihak yang menjual atau
menyediakan barang kebutuhan konsumen dalam rangka
pembiayaan konsumen.
• Ad. 1. Perusahaan Pembiayaaan Konsumen
• Perusahaan Pembiayaan Konsumen adalah badan usaha berbentuk
Perseroan Terbatas atau koperasi, yang melakukan kegiatan
pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan Konsumen
dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh Konsumen.
Perusahaan tersebut menyediakan jasa kepada konsumen dalam bentuk
pembayaran harga barang secara tunai kepada pemasok (Supplier).
• Ad. 2. Konsumen
• Konsumen adalah pihak pembeli barang dari pemasok atas pembayaran
oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Konsumen
tersebut dapat berstatus perseorangan (individual). Dapat pula
perusahaan bukan badan hukum. Dalam hal ini ada 2 (dua) hubungan
kontraktual yaitu :
1. Perjanjian pembiayaan yang bersifat pemberian kredit antara
perusahaan dan konsumen.
2. Perjanjian jual beli antara pemasok dan konsumen yang bersifat
tunai.
• Pihak konsumen umumnya masyarakat karyawan, buruh,
tani yang berpenghasilan menengah kebawah yang belum
tentu mampu bila membeli barang kebutuhannya itu
secara tunai. Dalam pemberian kredit, risiko menunggak
angsuran oleh konsumen merupakan hal yang biasa
terjadi. Oleh karena itu, pihak perusahaan dalam
memberi kredit kepada konsumen masih memerlukan
jaminan terutama jaminan fidusia atas barang yang
dibeli itu, di samping pengakuan hutang (promissory
notes) dari pihak konsumen.
• Ad.3. Pemasok
• Pemasok adalah pihak penjual barang kepada Konsumen
atas pembayaran oleh pihak ketiga, yaitu Perusahaan
Pembiayaan Konsumen. Hubungan kontrak jual antara
Pemasok dan Konsumen adalah jual beli bersyarat.
Syarat yang dimaksud adalah pembayaran dilakukan oleh
pihak ketiga, yaitu Perusahaan Pembiayaan Konsumen.
Antara Pemasok dan Konsumen terdapat hubungan
kontraktual, dimana Pemasok wajib menyerahkan barang
kepada Konsumen, dan Konsumen wajib membayar harga
barang secara angsuran kepada perusahaan yang telah
melunasi harga barang secara tunai.
f. Hubungan Hukum Para Pihak
• Hubungan antara pihak kreditur dengan konsumen adalah hubungan
kontraktual dalam hal ini kontrak pembiayaan konsumen. Di mana
pihak pemberi biaya sebagai kreditur dan pihak penerima biaya
(konsumen) sebagai pihak debitur.
• Pihak pemberi biaya berkewajiban utama untuk memberi sejumlah
uang untuk pembelian sesuatu barang komsumsi, sementara pihak
penerima biaya (konsumen) berkewajiban utama untuk membayar
kembali uang tersebut secara cicilan kepada pihak pemberi biaya.
• Jadi hubungan kontraktual antara pihak penyedia dana dengan
pihak konsumen adalah sejenis perjanjian kredit. Sehingga
ketentuan-ketentuan tentang perjanjian kredit (dalam
KUHPerdata) berlaku, sementara ketentuan perkreditan yang diatur
dalam peraturan perbankan secara yuridis formal tidak berlaku
berhubung pihak pemberi biaya bukan pihak bank sehingga tidak
tunduk kepada peraturan perbankan.
• Sebagai konsekuensi yuridis dari perjanjian kredit tersebut,
maka setelah seluruh kontrak ditandatangani, dan dana
sudah di cairkan serta barang sudah diserahkan oleh
supplier kepada konsumen, maka barang yang bersangkutan
sudah langsung menjadi miliknya konsumen, walaupun
kemudian biasanya barang tersebut dijadikan jaminan
hutang lewat perjanjian fidusia.
• Hubungan hukum para pihak tersebut dapat terjadi secara
demikian:
• Hubungan hukum antara perusahaan pembiayaan (kreditur)
dengan konsumen (debitur). Adalah hubungan kontrak
pembiayaan konsumen, dimana kreditur berkewajiban
memberi sejumlah uang untuk pembelian suatu barang
sementara konsumen berkewajiban membayar kembali
uang tersebut secara angsuran kepada kreditur.
1. Hubungan hukum antara pihak konsumen dengan
supplyer. Adalah hubungan jual beli bersyarat,dimana
syaratnya harga akan dibayar oleh pihak
ketiga(perusahaan pembiayaan), jika tidak perjanjian
akan batal.
2. Hubungan hukum antara perusahaan pembiayaan
dengan supplyer adalah hubungan perjanjian jual beli,
dimana perusahaan pembiayaan hanya sebagai
penyedia dana (pihak ketiga) yang disyaratkan untuk
menyediakan dana yang digunakan dalam perjanjian
jual beli antara supplyer dengan konsumen.
• G. Jaminan-Jaminan Dalam Pembiayaan Konsumen
1. Jaminan Utama.
• Adalah kepercayaan dari kreditur (perusahaan pembiayaan
konsumen) kepada debitur (konsumen) bahwa konsumen
dapat dipercaya dan sanggup membayar hutang-hutangnya.
Disini berlaku prinsip 5C yaitu terdiri dari:
• (I) Watak (Character), merupakan salah satu faktor yang
harus dipertimbangkan dan merupakan unsur yang terpenting
sebelum memutuskan memberi kredit kepadanya;
• (2) Modal (Capital), dalam hal ini bank harus meneliti modal
calon debitor selain besarnya juga strukturnya, yang
diperlukan untuk mengukur tingkat rasio likuiditas dan
solvabilitasnya. Rasio ini diperlukan berkaitan dengan
pemberian kredit untuk jangka pendek atau jangka panjang;
• Kemampuan (Capacity), dalam hal ini bank harus
mengetahui dengan pasti atas kemampuan calon debitor
dengan melakukan analisis usaha dari waktu ke waktu.
Pendapatan yang selalu meningkat diharapkan kelak
mampu melakukan pembayaran kembali atas kreditnya,
sedangkan apabila diperkirakan tidak mampu, bank
dapat menolak permohonan calon debitor;
• (4) Kondisi Ekonomi (Condition of Economic), perlu
mendapat sorotan bagi bank karena akan berdampak baik
secara positif atau negatif terhadap usaha calon debitor.
• (5) Jaminan (Collateral), dalam praktik perbankan akan
diikat suatu hak atas jaminan sesuai dengan jenis
jaminan yang diserahkan oleh debitor.
• Jaminan pokok dalam perjanjian pembiayaan konsumen
adalah barang sebagai objek dalam perjanjian, dalam
bentuk Fiducing Transfer of Ownership (Fidusia), dimana
sebagai pemilik barang konsumen menjadikan barang
tersebut sebagai jaminan atas hutangnya kepada
perusahaan pembiayaan konsumen, dengan menjaminkan
bukti kepemilikan atas barang berupa surat tanda
kepemilikan kendaraan yang sering dikenal dengan nama
Buku Pemilik kendaraan bermotor (BPKB). BPKB tersebut
akan dikembalikan oleh perusahaan pembiayaan
konsumen setelah konsumen memenuhi segala
kewajibannya yaitu dengan membayar uang angsuran
hutang sampai lunas.
2. Jaminan Tambahan
• Jaminan tambahan sering juga diminta dalam perjanjian
pembiayaan konsumen, walaupun tidak seketat jaminan
dalam perjanjian kredit perbankan. Biasanya jaminan
tambahan ini berupa:
• Pengakuan Hutang, disini konsumen mengakui bahwa ia
memiliki hutang kepada perusahaan konsumen yang akan
ia bayar secara angsuran, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan dalam perjanjian.
• Kuasa menjual barang, disini konsumen memberikan
kuasa kepada perusahaan pembiayaan untuk menjual
barang sebagai objek perjanjian apabila konsumen tidak
mampu membayar uang angsuran sebagaimana yang
telah ditetapkan di dalam perjanjian.
3. Cessie dari asuransi, dimaksudkan konsumen memberikan
atau mengalihkan hak untuk menerima uang asuransi atau
uang pertanggungandari pihak perusahaan asuransi apabila
terjadi resiko terhadap barang sebagai objek perjanjian.
4. Persetujuan suami/isteri untuk konsumen pribadi dan
persetujuan komisaris/RUPS untuk konsumen perusahaan,
sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasarnya.
• I. Dokumentasi Dalam Pembiayaan Konsumen
• Ada beberapa kelompok dokumentasi yang sering
diperlakukan dalam praktik pembiayaan konsumen, yang
dapat digolongkan ke dalam (1) dokumen pendahuluan, (2)
dokumen pokok, (3) dokumen jaminan, (4) dokumen
kepemilikan barang, (5) dokumen pemesanan dan
penyerahan barang, dan (6) supporting documents.
1. Dokumen Pendahuluan (preliminary Documents),
termasuk dalam jenis ini adalah Borang Permohonan
Kredit, Surat Laporan Pemeriksa dan Surat Persetujuan
Kredit.
2. Dokumen Pokok (Main Documents), termasuk jenis ini
adalah perjanjian pembiayaan konsumen itu sendiri.
Perjanjian mana mempunyai terms and conditions yang
mirip dengan kredit konsumsi dari perbankan,
Perjanjian Jual Beli.
3. Dokumen Jaminan (Security Documents), termasuk
jenis ini adalah Perjanjian Fiducia, Surat Pengakuan
Hutang, Surat Kuasa Menjual, Cessie Asuransi dan Surat
Persetujuan Isteri/Suami atau persetujuan
komisaris/Rapat Umum Pemegang Saham.
4. Dokumen Kepemilikan (Ownership Document), termasuk jenis ini
adalah Faktur Pembelian, Kwitansi Pembelian dan Sertifikat
Kepemilikan. Di samping itu, ada juga dokumen kepemilikan barang,
yang biasanya berupa BPKB foto copy STNK, dan sebagainya.
5. Dokumen Penyerahan dan Penerimaan (Certificate of Delivery and
Acceptance Document) Delivery Order, dan lain-lain termasuk jenis ini
adalah Surat Pemesanan Barang, Surat Penyerahan Barang dan Surat
Penerimaan Barang. Dalam hal dokumen pemesanan, penyerahan dan
penerimaan barang.
6. Untuk supporting documents berisikan dokumen-dokumen pendukung
lain-lain, yang untuk konsumen individu misalnya foto copy KTP, foto
copy Kartu Keluarga, pas foto, Daftar Penghasilan (Bersifat
Individual), dan sebagainya. Sementara untuk konsumen perusahaan,
dokumen pendukung ini dapat berupa Anggaran Dasar perusahaan
beserta seluruh perubahan dan tambahannya, foto copy KTP yang
diberi hak untuk menandatangani, dan Anggaran Dasar, Surat Izin
Usaha, Surat Tanda Daftar Perusahaan dan Nomor Peserta Wajib Pajak
(Bersifat Perusahaan), Bank Statements, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai