Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Komersial atau Hukum Dagang adalah hukum atau aturan yang
mengatur hubungan antara orang-orang yang terlibat dalam perdagangan atau
perniagaan. Hukum dagang ini dapat dikatakan sebagai hukum perdata khusus.
Pengertian hukum komersial atau hukum dagang tersebut merupakan pengertian
secara umum. Ada beberapa ahli yang mengungkapkan pendapatnya mengenai
pengertian dari hukum dagang in. Salah satunya Ridwan Halim yang mengungkapkan
bahwa hukum dagang merupakan hukum yang mengatur hubungan beberapa pihak
yang berkaitan dengan perdagangan.

Arbitrase bukanlah merupakan suatu tindakan sederhana dari pembelian


produk disuatu pasar dan menjualnya dipasar lain dengan harga yang lebih tinggi
kelak. Transaksi arbitrase harus terjadi secara kesinambungan guna menghindari
terungkapnya risiko pasar ataupun risiko perubahan harga pada salah satu pasar
sebelum kedua transaksi selesai dilaksanakan. Dalam segi praktik, hal ini umumnya
hanya dimungkinkan untuk dilakukan terhadap sekuriti dan produk keuangan yang
dapat diperdagangkan secara elektronis.

Lembaga arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa di bidang bisnis


sudah semakin berperan penting. Lembaga arbitrase lazim dipandang sebagai suatu
badan peradilan para pengusaha atau merchant’s court. Bahkan profesor terkemuka di
bidang hukum perdagangan internasional, profesor Alexander Goldstain menyebutkan
arbitrase sebagai salah satu prinsip dasar dalam hukum perdagangan internasional.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prosedur arbitrase berjalan.
2. Apa saja alternatif penyelesaian arbitrase.
3. Apa fungsi dari penyelesaian sengketa arbitrase.

C. Tujuan Penulisan

Dalam penulisan makalah ini penulis mempunyai tujuanuntuk


mengidentifikasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan arbitrase serta cara
penyelesaiannya.

1
BAB II

PRMBAHASAN

A. Pengertian arbitrase
Arbitrase mempunyai banyak arti di berbagai sektor. Arbitrase sendiri
mempunyai arti yang secara umum, menurut Prof. Subekti : “Arbitrase adalah
penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang atau beberapa orang wasit
(debitur) yang bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak
diselesaikan lewat pengadilan (Priyatna Abdurrasyid, 2000:8).
Dalam dunia akademis, istilah "arbitrase" ini diartikan sebagai suatu transaksi
tanpa arus kas negatif dalam keadaan yang bagaimanapun, dan terdapat arus kas
positif atas sekurangnya pada satu keadaan , atau dengan istilah sederhana disebut
sebagai "keuntungan tanpa risiko" (risk-free profit).
Arbitrase (bahasa inggris: arbitrage), yang dalam dunia ekonomi dan keuangan
adalah praktik untuk memperoleh keuntungan dari perbedaan harga yang terjadi di
antara dua pasar keuangan. Arbitrase ini merupakan suatu kombinasi penyesuaian
transaksi atas dua pasar keuangan dimana keuntungan yang diperoleh adalah berasal
dari selisih antara harga pasar yang satu dengan yang lainnya.
Arbitrase statistik merupakan suatu ketidakseimbangan atas nilai yang
diperkirakan. Seperti permainan yang menawarkan kesempatan menang.

B. Jenis-jenis Arbitrase

Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad hoc) maupun arbitrase melalui
badan permanen (institusi).

1. Arbitrase ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk


untuk tujuan arbitrase, misalnya Undang-undang noor 30 tahun 1999 tentang
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa atau UNCITRAL Arbitation Rules.
Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang
menyebutkan penunjukkan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang
disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase ad-hoc perlu disebutkan dalam
sebuah klausul arbitrase
2. Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai
badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini
dikenal berbagai aturan arbtrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase
seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional
seperti The Rules of Arbitation dari The International Chamber of Commerce
(ICC) di paris, The Arbitation Rules dari The Internatonal Washingtn. Badan-
badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.

2
C. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan Arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa
melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan, keunggulan itu adalah:
1. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin.
2. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat
dihindari.
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang
yang cukup mengenai masalah yang disengketakan serta jujur dan adil.
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyesuaian masalahnya.
5. Para pihak dapat memilih tempat penyelenggara arbitrase.
6. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur
sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.

Disamping itu arbitrase juga memiliki kelemahan yaitu masih sulitnya upaya eksekusi
dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase
cukup jelas.

D. Prosedur dilaksanakannya Arbitrase


Pada prinsipnya, prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase melalui
lembaga institusional dan ad hoc tidak terlalu banyak berbeda. Berikut ini adalah
prosedur yang harus dilakukan dalam menyelesaikan sengketa:
1. Pendaftaran dan Peromohonan Arbitrase.
Kesepakatan penyelesaian sengketa melalui arbitrase harus disetujui dua belah
pihak. Sebelum berkas permohonan dimasukkan, Pemohon harus lebih dulu
memberitahukan Termohon bahwa sengketa akan diselesaikan melalui jalur
arbitrase. Surat pemberitahuan ini wajib diberikan secara tertulis dan memuat
lengkap informasi seperti yang tertuang pada Undang-Undang No. 39 Tentang
Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2, yakni:
a. Nama dan alamat lengkap Pemohon dan Termohon.
b. Penunjukan klausula arbitrase yang berlaku.
c. Perjanjian yang menjadi sengketa.
d. Dasar tuntutan.
e. Jumlah yang dituntut (apabila ada).
f. Cara penyelesaian sengketa yang dikehendaki, dan
g. Perjanjian tentang jumlah arbiter.
2. Penunjukkan Arbiter.
Merujuk pada UU Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2 yang disebutkan sebelumnya,
pemohon dan termohon dapat memiliki kesepakatan mengenai arbiter.
Kesepakatan ini dituliskan pada permohonan arbitrase yang disampaikan
Pemohon dan dalam jawaban Termohon (dijelaskan pada poin 3 mengenai
Tanggapan Pemohon).Forum arbitrase dapat dipimpin hanya oleh seorang arbiter
(arbiter tunggal) atau Majelis. Hal ini berdasarkan kesepakatan dua belah pihak.
Maksut dari arbiter tunggal atau majelis adalah :
a. Jika diinginkan cukup arbiter tunggal, Pemohon dan Termohon wajib
memiliki kesepakatan tertulis mengenai hal ini. Pemohon mengusulkan

3
kepada Termohon sebuah nama yang akan dijadikan sebagai arbiter tunggal.
Apabila dalam kurun waktu 14 hari sejak usulan diterima tetapi tidak
mencapai kesepakatan, maka Ketua Pengadilan dapat melakukan
pengangkatan arbiter tunggal.

b. Jika diinginkan Majelis, maka Pemohon dan Termohon masing-masing


menunjuk seorang arbiter. Karena jumlah arbiter harus ganjil, arbiter yang
ditunjuk oleh dua belah pihak harus menunjuk seorang arbiter lagi untuk
menjadi arbiter ketiga (akan menjadi Ketua Majelis). Jika dalam kurun waktu
14 hari belum mencapai kesepakatan, maka Ketua Pengadilan Negeri akan
mengangkat arbiter ketiga dari salah satu nama yang diusulkan salah satu
pihak.

Sementara itu apabila salah satu pihak tidak dapat memberikan keputusan mengenai
usulan nama arbiter yang mewakili pihaknya dalam kurun waktu 30 hari sejak
termohon menerima surat, maka seorang arbiter yang telah ditunjuk salah satu pihak
menjadi arbiter tunggal. Putusan arbiter tunggal ini tetap akan mengikat dua belah
pihak.

3. Tanggapan Termohon.
Setelah berkas permohonan didaftarkan, Badan Pengurus BANI akan memeriksa
dan memutuskan apakah BANI memang berwenang untuk melakukan
pemeriksaan sengketa, maka Sekretaris Majelis harus segera ditunjuk. Jumlah
Sekretaris Majelis boleh lebih dari satu dan bertugas untuk membantu pekerjaan
administrasi kasus. Sekretariat menyiapkan salinan permohonan arbitrase
pemohon dan dokumen-dokumen lampiran lainnya dan menyampaikannya kepada
Termohon.Termohon memiliki waktu sebanyak 30 hari untuk memberi jawaban
atas permohonan tersebut. Hal ini merupakan kewajiban Termohon. Termasuk di
dalam jawaban tersebut adalah usulan arbiter. Apabila dalam jawaban tersebut
tidak disampaikan usulan arbiter, maka secara otomatis dan mutlak penunjukan
menjadi kebijakan Ketua BANI.Batas waktu 30 hari dapat diperpanjang melalui
wewenang Ketua BANI dengan syarat tertentu. Termohon menyampaikan
permohonan perpanjangan waktu untuk menyampaikan jawaban atau menunjuk
arbiter dengan menyertakan alasan-alasan yang jelas dan sah. Maksimal
perpanjangan waktu tersebut adalah 14 hari.

4. Tuntutan Balik.
Dalam jangka waktu 30 hari tersebut, Termohon harus mengajukan tanggapannya
kepada BANI untuk kemudian diserahkan kepada Majelis dan Pemohon. Jawaban
tersebut harus mengandung keterangan mengenai fakta-fakta yang mendukung
permohonan arbitrase berikut butir-butir permasalahannya. Di samping itu,
Termohon juga berhak melampirkan data dan bukti lain yang relevan terhadap
kasus tersebut.Jika ternyata Termohon bermaksud untuk mengajukan suatu
tuntutan balik (rekonvensi), maka tuntutan tersebut dapat pula disertakan
bersamaan dengan pengajuan Surat Jawaban. Tuntutan balik ini juga dapat
diajukan selambat-lambatnya pada saat sidang pertama. Namun pada kondisi

4
tertentu, Termohon dapat mengajukan tuntutan balik pada suatu tanggal dengan
memberi jaminan yang beralasan. Tentu saja, hal ini juga dilakukan atas
wewenang dan kebijakan Majelis.
Prosedur permohonan arbitrase di awal, pihak Pemohon yang mendapat tuntutan
balik dari Termohon diberi waktu selama 30 hari (atau sesuai dengan kebijakan
Majelis) untuk memberi jawaban atas tuntutan tersebut. Yang perlu diingat,
tuntutan balik ini dikenakan biaya tersendiri dan harus dipenuhi oleh kedua belah
pihak. Apabila tanggungan biaya ini terselesaikan oleh kedua belah pihak, barulah
tuntutan balik akan diperiksa dan diproses lebih lanjut bersama-sama dengan
tuntutan pokok. Namun apabila ada kelalaian dari salah satu atau bahkan kedua
belah pihak untuk membayar biaya administrasi tuntutan balik (selama biaya
tuntutan pokok telah selesai dilaksanakan) maka hanya tuntutan pokok yang akan
dilanjutkan penyelenggaraan pemeriksaannya.

5. Sidang Pemeriksaan.
Dalam proses pemeriksaan arbitrase, ada beberapa hal penting yang telah diatur
dalam Undang-Undang, antara lain: pemeriksaan dilakukan secara tertutup,
menggunakan bahasa Indonesia, harus dibuat secara tertulis, dan mendengar
keterangan dari para pihak.
Batas maksimal pemeriksaan sengketa adalah 180 hari terhitung sejak Majelis
atau arbiter ditetapkan. Adapun hal-hal yang dapat menjadi faktor Majelis atau
arbiter memperpanjang masa pemeriksaan adalah:
a. salah satu pihak mengajukan permohonan hal khusus.
b. merupakan akibat ditetapkannya putusan provisional atau putusan sela lainnya.
c. dianggap perlu oleh Majelis atau arbiter.

E. Alternatif Penyelesaian Sengketa

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang tentang Arbitrase, penyelesaian sengketa


dengan jalur arbitrase dinilai lebih efektif dibandingkan penyelesaian sengketa
melalui jalur ligitasi alias peradilan. Adapun dua hal utama terkait efektivitas ini
meliputi efektivitas dari segi waktu dan biaya serta terkait dengan efisisensi dari
putusan yang dihasilkan.

1. Segi waktu, pemeriksaaan kasus sengketa melalui arbitrase telah jelas ditetapkan
jangka waktunya. Sesuai dengan undang-undang, pemeriksaan sengketa melalui
arbitrase paling lama diselesaikan dalam jangka waktu 180 hari. Jangka waktu ini
bisa saja menjadi lebih lama apabila terdapat keadaan-keadaan khusus dan
kompleksnya sengketa yang harus diselesaikan. Akan tetapi, perpanjangan ini
dilakukan setelah diberikannya pemberitahuan kepada para pihak yang
bersengketa.
2. Segi biaya, menyelesaikan kasus sengketa melalui arbitrase juga dinilai lebih
hemat. Pihak-pihak yang berselisih dapat menyelesaikan sengketa dengan seadil-
adilnya tanpa perlu mengeluarkan banyak biaya untuk menyewa penasihat

5
hukum. Keberadaan arbiter yang ahli dan objektif cukup menjadi penengah dan
pemutus perselisihan.
3. Putusan yang bersifat mengikat, final, dan mandiri. Setiap pihak harus
melaksanakan putusan secara sukarela. Hal ini dipertegas dengan keharusan
diserahkan dan didaftarkannya putusan arbitrase kepada kepaniteraan pengadilan
negeri. Selain itu, putusan arbitrase juga merupakan putusan tingkat pertama
sekaligus terakhir.
F. Fungsi Abritrase dalam Penyelesaian Sengketa

fungsi arbitrase dalam penyelesaian sengketa tidak hanya sekadar mendengar


kesaksian, memeriksa bukti, dan menetapkan putusan secara kaku. Majelis atau
arbiter tetap lebih dulu mengusahakan adanya perdamaian antara kedua pihak yang
tengah berselisih. Hal ini pun tercantum dalam pasal 1 Peraturan Prosedur Arbitrase
BANI yang berbunyi,

“…penyelesaian sengketa secara damai melalui arbitrase di BANI dilandasi itikad


baik para pihak dengan berlandaskan tata cara kooperatif dan nonkonfrontatif.”

Pernyataan ini pun diperjelas pada pasal 20 mengenai Upaya Mencari Penyelesaian
Damai. Majelis atau arbiter wajib mengusahakan jalan damai bagi kedua belah pihak,
baik atas usaha sendiri atau dengan bantuan pihak ketiga. Jika persetujuan damai ini
disepakati, maka Majelis atau arbiter menyiapkan sebuah memorandum yang berisi
persetujuan damai kedua belah pihak secara tertulis.

Memorandum ini memiliki kekuatan hukum dan mengikat kedua belah pihak. Namun
apabila jalur mediasi tidak berhasil dan tidak ada kesepakatan untuk damai dari kedua
belah pihak, maka prosedur pemeriksaan dan persidangan arbitrase tetap dijalankan
sebagaimana mestinya. Dalam proses pemeriksaan, apabila Termohon tidak hadir
tanpa memberikan alasan yang sah pada hari yang ditentukan, Majelis atau arbiter
akan sekali lagi melakukan pemanggilan. Jika dalam kurun waktu paling lama 10 hari
setelah pemanggilan kedua, Termohon tetap juga tidak menghadap di muka
persidangan tanpa memberikan alasan yang sah, maka pemeriksaan akan diteruskan
sebagaimana mestinya. Majelis atau arbiter akan mengabulkan tuntutan Pemohon
seluruhnya selama tuntutan tersebut beralasan dan sesuai dengan hukum yang
berlaku.

G. Contoh Permasalahan Arbitrase

Di Indonesia sendiri, minat untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase ini
meningkat semenjak diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999 tersebut. Adapun
beberapa hal yang menjadi keuntungan Arbitrase dibandingkan menyelesaikan
sengketa melalui jalur litigasi adalah :

1. Sidang tertutup untuk umum.


2. Prosesnya cepat (maksimal enam bulan).
3. Putusannya final dan tidak dapat dibanding atau kasasi.

6
Beberapa contoh kasusnya adalah :

Sengketa antara Cemex Asia Holdings melawan Indonesia yang diselesaikan melalui
International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) pada 2004 sampai
2007

Sengketa antara Pertamina melawan Commerz Asia Emerald yang diselesaikan


melalui Singapore International Arbitration Center (SIAC), Singapore pada tahun
2008

Sengketa terkait Bank Century dimana dua pemegang sahamnya menggugat


Pemerintah Indonesia yakni Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al Warraq yang diselesaikan
melalui ICSID, Singapore

Sengketa antara Newmont melawan Pemerintah Indonesia yang diselesaikan di


ICSID, Washington DC.

Di tahun 2013, kerjasama Indosat dengan IM2 mengenai dugaan kasus korupsi
frekuensi 2,1 Ghz atau 3G terus memanas. Kasus ini sudah memutuskan mantan
direktur utama IM2 Indar Atmanto sebagai tersangka. Kasus ini juga direncanakan
akan dibawa ke pengadilan arbitrase internasional. Namun, langkah ini dinilai hanya
mempermalukan nama Indonesia di mata dunia.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas bahwa Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar pengadilan umum berdasarkan perjanjian antara pihak
berperkara. Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang
atau beberapa orang wasit (debitur) yang bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang
berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan.
Dari pembelajaran diatas dalam mengatasi berbagai masalah dalam perkara
arbitrase harus sesuai dengan prosedur penyelesaian perkara. Dalam hal ini akan
mempermudah para pihak berperkara dapat menyelesaiakan masalah dengan baik dan
sesuai peraturan perundang-undangan yang telah di terbitkan.

B. Saran
1. Untuk Pembaca
Sebaiknya pemabaca perlu mengikuti alur deskripsi penelitian mulai judul hingga
kesimpulan. Alangkah baiknya lihat sampai penutup.
2. Untuk Penulis
Sebaiknya penulis perlu lebih banyak menambahkan berbagai sumber yang ada
untuk dapat memperkuat isi makalah.

8
DAFTAR PUSTAKA

Gautama, Sudargo. 2004. Arbitrase Luar Negeri dan Pemakaian Hukum Indonesia.
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Harahap, M.Yahya. 2004. Arbitrase. Jakarta : SINAR GRAFIKA.

Widjaja, Gunawan& Ahmad Yani. 2003. Hukum Arbitrase. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.

Gatot Soemartono, 2006 Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama)

Badan Pembinaan Hukum Internasional, Dapartemen Hukum dan HAM RI. 2009. Arbitrase
Negara-Negara ASEAN. Jakarta

Rahayu Hartini, 2006 Hukum Komersial, Universitas Muhamadiyah Malang, UMM Press.

Anda mungkin juga menyukai