Anda di halaman 1dari 3

TUGAS MATA KULIAH ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI (KELAS F)

MENGANALISIS PRIESTLY MODEL MENURUT ROBERT VEATCH DALAM


KONTEKS PROFESI HUKUM ADVOKAT

KELOMPOK 2:

Aghniya Amalia 11000117130242 Rizky Fajar Adzani 11000117140266

Valentino Dandi S 11000117130237 Minerva Difa Parahita 11000117140222

Carmel Arjuna Amen 11000117140390 Hafzah Chalidah Hanum 11000117130304

Ghorib iftahudin A. 11000117130240 Yustisiana Susila Atmaja 11000117130175

Kevin Dion M. 11000117130370 Almira Janissa Nerayani 11000117140160

Luthfi Imam Prakoso 11000117130275 Astrila Putri 11000117130337

Edelweiss Aura I. 11000117130331 Muhammad Iqbal P. 11000117130190

PRODI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2019
Priestly Model dalam Model atau Paradigma Hubungan Dokter dengan Pasiennya
menurut Robert Veatch

Priestly model merupakan salah satu model atau paradigma dari empat model
hubungan profeional dengan pasiennya yaitu engineering model, priestly model, collegial
model, dan contract atau covenant model. Priestly model yang jika diterjemahkan menjadi
model pendeta/pastur memiliki arti bahwa seorang profesional menjadi penuntun dari segala
tindakan dan keputusan dari pasien atau kliennya. Dalam priestly model, seorang profesional
dianggap mampu menguasai segala kompleksitas yang barkaitan dengan bidangnya
(misalnya seorang dokter yang dianggap menguasai ilmu medis) dan mampu untuk
mengetahui nilai-nilai personal dari pasien/kliennya sehingga pembuat keputusan dari hal
yang teknis sekaligus yang etis dilakukan sepenuhnya oleh profesional tersebut. Hal ini
disebabkan karena adanya perbedaan atau jarak pengetahuan yang jauh dari si profesional
dengan pasiennya sehingga seorang profesional dianggap tahu mana yang terbaik untuk
pasiennya.

Arahan dan pengambilan keputusan oleh profesional ini bisa dilakukan dengan cara
yaitu pada bentuk yang lebih halus dengan cara konsensual atau meminta persetujuan dari
pasiennya dan dengan bentuk yang lebih kuat yaitu si profesional meminta secara otoritatif
dan memaksa persetujuan dari pasiennya. Dalam model ini, seorang profesional tidak akan
ragu untuk memberitahu segala kabar atau kemungkinan terburuk bahkan jika hal itu akan
menurunkan keyakinan dan kepercayaandiri dari pasien. Seorang profesional akan
mengambil opsi yang dianggap paling buruk tersebut namun dengan implikasi yang terbaik
untuk pasiennya. Semua hal ini bisa berlaku selama si pasien tidak keberatan atau menolak
mendapat penanganan atau perlakuan yang paternalistik seperti ini. Selama pasien memiliki
keyakinan penuh terhadap profesional maka priestly model ini dapat berjalan.

Dalam konteks hukum sendiri, priestly model dalam model atau paradigma hubungan
dokter dengan pasiennya dapat disamakan dengan hubungan pengacara dengan kliennya.
Pengambilan model hubungan pengacara dengan kliennya tentu bergantung pada keadaan
atau situasinya. Pengambilan priestly model sendiri dapat dilakukan jika pihak klien
merupakan seseorang yang minim pengetahuan soal masalah hukum atau buta hukum sama
sekali atau jika klien tersebut memerlukan penanganan yang cepat dan sedang dalam kondisi
mendesak, misalnya klien tidak bisa menghadiri sidang secara langsung dan harus diwakili
sepenuhnya oleh pengacaranya. Pada contoh situasi pertama, jika seorang pengacara
mendapat klien yang minim pengetahuan hukum maka hal ini menyebabkan timbulnya suatu
hierarki bahwa pengacara menjadi pihak yang berkedudukan diatas kliennya. Hal seperti ini
dirasa perlu karena klien membutuhkan tuntunan atau arahan sepenuhnya dalam memenuhi
kepentingannya. Mengambil pertimbagan bahwa adanya jarak pengetahuan hukum yang jauh
dari pengacara dan klien maka kompromi antara klien dan pengacara tidak dimungkinkan
karena hal itu justru akan menghambat pemenuhan kepentingan klien itu sendiri, yang perlu
pihak klien lakukan adalah menjelaskan segala perincian dari permasalahannya serta
keinginan dan kepentinganya lalu biarkan pengacara yang melakukan proses debat dan
negosiasi di muka pengadilan karena berdasarkan pengetahuan objektif (pengetahuan ilmu
hukum) dan pengetahuan subjektif (kepentingan klien) yang dimiliki oleh pengacara maka
pengacara dianggap tahu apa yang terbaik untuk klien dan segala tindakan serta keputusan
klien harus diambil sepenuhnya oleh pengacara demi kefektifan dalam memenuhi
kepentingan klien.

Pertanyaan:

1. Dalam situasi apa model hubungan priestly itu akan terbangun?


2. Jika situasi itu terjadi, bagaimana sikap Anda sebagai lawyer?

Jawaban:

1. Hubungan priestly itu akan terbangun dalam situasi:


a) Pihak klien merupakan seseorang yang minim pengetahuan hukum atau
bahkan buta hukum sama sekali.
b) Pihak klien memerlukan penanganan yang cepat dan sedang dalam kondisi
terdesak, misalnya klien tidak bisa hadir di persidangan dan harus diwakili
sepenuhnya oleh pengacara.

2. Sikap Saya sebagai Lawyer:


a) Bersedia mendengarkan segala permasalahan, kepentingan, dan keinginan
klien.
b) Mampu Memberitahu informasi apa adanya, bahkan jika hal itu merupakan
suatu kabar buruk.
c) Mampu memberikan solusi dan pencerahan hukum bagi klien.
d) Sebisa mungkin memenuhi kepentingan dan keinginan klien.

Anda mungkin juga menyukai