Anda di halaman 1dari 147

`DIKTAT KULIAH

SOSIOLOGI HUKUM

OLEH :
TRUBUS RAHARDIANSAH

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
2011

HANYA UNTUK PERKULIAHAN


DILARANG MEMFOTOKOPI/MEMPERBANYAK

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENGERTIAN DAN MANFAAT SOSIOLOGI HUKUM
A. PENGERTIAN SOSIOLOGI HUKUM
B. BERBAGAI VARIASI DARI SOSIOLOGI HUKUM
C. TEORI-TEORI DALAM SOSIOLOGI HUKUM
D. SOSIOLOGI HUKUM, FILSAFAT HUKUM, DAN MASYARAKAT
E. SOSIOLOGI HUKUM DAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
F. MANFAAT MEMPELAJARI SOSIOLOGI HUKUM
BAB II PERKEMBANGAN SOSIOLOGI HUKUM
A. LATAR BELAKANG LAHIRNYA DISIPLIN SOSIOLOGI HUKUM
B. STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT
C. TAHAP PERKEMBANGAN SOSIOLOGI HUKUM
BAB III SOSIOLOGI HUKUM MENURUT PARA PERINTISNYA
A. SOSIOLOGI HUKUM DARI EMILE DURKHEIM
B. SOSIOLOGI HUKUM DART MAX WEBER
C. SOSIOLOGI HUKUM DART EUGEN EHRLICH
D. SOSIOLOGI HUKUM DART ROSCOE POUND
BAB IV FUNGSI HUKUM DALAM MASYARAKAT
A. FUNGSI HUKUM DALAM MASYARAKAT
B. HUKUM SEBAGAI SARANA PERUBAHAN SOSIAL
BAB V KESADARAN HUKUM MASYARAKAT
BAB VI PERKEMBANGAN HUKUM
BAB VII TEORI KONFLIK DAN PENYELESAIAN KONFLIK
A. DASAR DASAR TEORI TENTANG KONFLIK
B. TEORI KONFLIK MODERN

2
BAB VIII PENERAPAN DAN EFEKTIVITAS HUKUM
A. PERRSOALAN LAW ENFORCEMENT
B. PENERAPAN HUKUM OLEH PENGADILAN
C. MASALAH EFEKTIVITAS HUKUM
BAB IX POSTMODERNISME HUKUM
A. BANGKITNYA PAHAM POSTMODERNISME
B. PAHAM POSTMODERNISME DALAM BIDANG HUKUM
BAB X AKHIR RIWAYAT ILMU HUKUM
A. AKHIR RIWAYAT ILMU PADA UMUMNYA
B. APAKAH ILMU HUKUM SUDAH MATI

DAFRAR BACAAN

3
BAB I
PENGERTIAN DAN MANFAAT SOSIOLOGI HUKUM

The Life of the law has not been logic, It has been experience ( Benjamin Cardozo )

A. PENGERTIAN SOSIOLOGI HUKUM


Sosiologi hokum merupakan disiplin yang sudah sangat berkembang dewasa ini,
Bahkan, kebanyakan penelitian hokum sekarang di Indonesia dilakukan dengan
menggunakan metode yang berkaitan dengan sosiologi hikum,
Dalam sejarah tercatat bahwa istilah “sosiologi hukum” pertama sekali
dipergunakan oleh seorang kebangsaan Itali yang bernama Anzilotti pada tahun 1882.
Akan tetapi, istilah sosiologi hokum tersebut baru bergema setelah munculnya tulisan-
tulisan Roscoe Pound ( 1870-1964 ), Eugen Ehrlich ( 1862-1922 ), Max Weber ( 1864-
1920), Karl Llewellyn ( 1893-1962 ), dan Emile Durkhei, ( 1858-1917 ).
Pada prisipnya, sosiologi hokum ( sociologi of law ) merupakan derivative atau
cabang dari ilmu sosiologi, bukan cabang dari ilmu hokum. Memang ada studi tentang
hokum yag berkenaan dengan masyarakat yang merupakan cabang dari ilmu hokum,
tetapi tidak disebut sbagai sosiologi hukum, melainkan disebut sebagai sosiological
jurisprudence.
Di samping itu, ada kekhawatiran dari ahli sosiologi terhadap perkembangan
sosiologi hukum mengingat sosiologi bertugas hanya untuk mendeskripsikan fakta-fakta.
Sedangkan ilmu hukum berbicara tentang nilai-nilai di mana nilai-nilai ini memang inign
dihindari oleh ilmu sosiologi sejak semula. Kekhawatiran tersebut adalah berkenaan
dengan kemungkinan dijerumuskannya ilmu sosiologi oleh sosiologi hukum untuk
membahas nilai-nilai. Sebagaimana diketahui, bahwa pembahasan tentang nilai-nilai
sama sekali bukan urusan ilmu sosiologi. Meskipun begitu, terdapat juga aliran dalam
sosiologi hukum, seperti aliran Berkeley, yang menyatakan bahwa mau tidak mau, suka
tidak suka, sosiologi hukum merupakan juga derivative dari ilmu hukum sehingga harus
juga menelaah masalah-masalah normative yang sarat dengan nilai-nilai.
Bahkan, yang tampak dari luar seakan Antara ilmu sosiologi dan ilmu hukum
tidak akan pernah dapat dipertemukan karena yang satu berbicara tentang fakta,
sedangkan yang lainnya berbicara tentang nilai/norma. Akan tetapi, kesan tersebut

4
sebenarnya, sebagaimana yang dikatakan oleh seorang ahli sosiologi hukum dari Prancis,
Maurice Hauriou, bahwa: “ A Little sociology leads away from the law but much
sociology leads back to it” (Georges Gurvitch, t.t: 2).
Dengan demikian, sangatlah mungkin untuk dilakukan pendalaman tentang
hukum dengan jalan menggunakan ilmu sosiologi sehingga muncullah disiplin yang
disebut dengan”sosiologi hukum” itu.
Ada perbedaan pendekatan secara metodik yang dilakukan oleh ilmu hukum
dengan yang dilakukan oleh ilmu-ilmu social, termasuk ilmu sosiologi. Perbedaan
tersebut pada prinsipnya berkisar pada hal-hal sebagai berikut:
1. Hukum tidak terlalu mementingan hubungan yang intens Antara tujuan dan cara
untuk mencapai tujuan. Karena itu, hukum lebih berkepentingan dengan apa yang
telah terjadi dan apa yang seang terjadi. Banyak putusan hukum yang tidak terlalu
melihat jauh ke depan. Sedangkan ilmu social atau bahkan ilmu alam sangat
menekankan pentingnya tujuan yang akan dicapai dalam posisinya yang
memandang jauh ke depan.
2. Hukum lebih menekankan hal hal yang khusus /individual, sedangkan ilmu-ilmu
social, khususnya ilmu sosiologi lebih menekankan pada hal-hal yang
umum/kelompok masyarakat.
3. Putusan hukum bersifat ini atau itu, ada atau tidak sama sekali, sedangkan
putusan-putusan dalam ilmu social lebih bersifat kompromistis atau pilihan satu di
Antara dua atau tiga pilihan, yang masing-masing didukung oleh hipotesisnya
sendiri-sendiri.
4. Konsekuensi hukum tetap valid meskipun tidak pernah terwujud dalam
kenyataan. Misalnya, di Negara yang berlaku hukuman mati, jika hukuman mati
tidak pernah dijatuhkan, bukan berarti bahwa hukum tentang hukuman mati
tersebut menjadi tidak valid. Sedangkan dalam ilmu social. Jika akibat yang dituju
tidak pernah terwujud, hipotesis dianggap tidak benar.
5. Hukuman berbicara tenatang benar-salah, baik-buruk, dan sah atau tidak sah. Jadi,
kebenaran menurut hukum bersifat normative, tetapi lebih bersifat bebas nilai dan
netral sehingga sering berbicara mengenai teori kemungkinan (probability
theory).

5
Sebelum kita melangkah lebih jauh, kita perlu meninjau terlebih dahulu
tentang pengertian sosiologi hukum itu.
J.Hall memberikan pengertian pada sosiologi hukum sebagai suatu ilmu
teoretis yang berisikan generalisasi tentang fenomena masyarakat,sejauh yang
menyangkut dengan substansi, aplikasi, dan akibat dari suatu aturan hukum (Otje
Salman, 1993: 27).
Selanjutnya, Dragan Milovanovic memberikan arti pada sosiologi hukum
sebagai suatu evolusi, stabilisasi, fungsi, dan justifikasi dari bentuk-bentuk control
social; suatu bentuk pemikiran hukum dan reasoning yang berhubungan dengan
ketertiban ekonomi dan poliik tertentu; suatu prinsip legitimasi dan efek yang
ditimbulkannya; sebab-sebab terjadinya pengembangan bentuk-betuk control
social dan para spesialis sebagai para promotornya; suatu transmisi dari metode
reasoning hukum yang benar; suatu kreasi subjek yuridis dengan hak-hak formal;
suatu evolusi dari penggunaa system koordinasi juridico-linguistic, (diskurdud
hukum ) dalam lingkup ekonomi politik; dan suatu tingkat kemerdekaan dan
paksaan yang terdapat dalam bentuk hukum ( Dragan Milovanovic, 1988: 4 ).
Kemudian, seorang ahli sosiologi hukum terkenal dari Amerika Serikat,
yaitu Roscoe Pound memberikan arti pada sosiologi hukum sebagai suatu studi
tentang hukum sebagai sarana control social (Otje Salman, 1993: 35)
Georges Gurvitch memberikan arti pada sosialogi hukum sebagai suatu
disiplin yag merupakan bagian dari ilmu sosiologi hukum sebagai suatu disiplin
yang merupakan bagian dari ilmu sosiologi. Dalam hal ini sosiologi jiwa manusia
(sociology of human spirit), yang mempelajari realisasi social dari hukum secara
lengkap, yang dimulai dari pengungkapan yang dapat diobservasi yang bersifat
eksternal dan dapat berwujud, dalam suatu sikap kolektif yang efektif ( yang
terkristal dalam organisasi, praktik kebiasaan dan tradisi atau inovasi tentang
sikap ), dan yang didasari atas dasar-dasar materiil ( struktur yang luas dan
kepadatan demografis dari insitusi hukum ). Dalam hal ini, sosiologi hukum
bertugas untuk menafsirkan manifestasi material dan sikap dari hukum menurut
pengertian internalnya sambil melakukan penetrasi serta memberikan inspirasi
dan transformasi. Penelaahnya dimulai dari bentuk-bentuk simbolik dari hukum,

6
seperti hukum yang terorganisasi, prosedur, sanksi, dan simbol-simbol hukum,
seperti hukum yang fleksibel dan hukum yang spontan. Oleh karena itu, sosiologi
hukum menelaah berbagai pengalaman masyarakat dan kelompok yang bersifat
kuasi dan tidak terbatas, yang menjelaskan substansi yang konkret dari setiap tipe
atas pengalaman ( sejauh menyangkut dengan pengungkapan fenomena yang
dapat diobservasi secara eksternal), dan menggunakan semua realitas hukum yang
memiliki patron dan simbol-simbol ( Georges Gurvitch, t.t.: 61 ).
Kemudian, Satjipto Rahardjo memberikan arti pada sosiologi hukum
sebagai :
Suatu ilmu yang mempelajari fenomena hukum dengan karakteristik
sebagai berikut :
1. Bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang hukum, baik oleh
hakim maupun dalam masyarakat.
2. Berusaha untuk menguji keabsahan empiris dari suatu aturan atau
pernyataan hukum,
3. Tidak melakukan penjelasan tentang hukum. Jadi, berbeda dengan
ilmu hukum karna perhatian utama dari sosiologi hukum hanyalah
memberikan penjelasan semata-mata.
(Otje Salman, 1993:28 )
Menurut hemat penulis, sebenarnya yang dimaksud dengan,
sosiologi hukum adalah suatu studi yang mempelajari fenomena
masyarakat yang berkenan dengan hukum, realitas hukum, dan
penelaahan empiris dari hukum, interaksi antara masyarakat dan
hukum, pengontrolan masyarakat terhadap hukum ataupun mengontrol
hukum terhadap kehidupan masyarakat, dengan mengamai pola-pola
perasaan hukum, kesadaran hukum, ketaatan hukum, perilaku hukum,
penerapan hukum, dan efektivitas hukum dalam masyarakat.
Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, disiplin sosiologi hukum
berusaha untuk memotret gejala hukum dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang bagi ilmu hukum normative dilewatkan

7
begitu saja. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, antara lain, sebagai
berikut:
1. Apakah hukum benar-benar dapat mewujudkan kaidahnya
kedalam kenyataan di masyarakat?
2. Apakah benar bahwa hukum itu mengatur masyarakat dan
rakyat?
3. Apakah hukum dapat menimbulkan efek sebagaimana yang
dikehendaki oleh hukum tersebut atau yang ditimbulkan justru
efek yang berbeda atau malah tidak menimbulkan efek sama
sekali?
4. Kalaupun ada efek yang ditimbulkan, apakah memang efek
tersebut ditimbulkan oleh hukum?
5. Mengapa hukum menjadi seperti itu, apa tidak ada alternative
pengaturan yang lain atau apa memang harus begitu?
( Satjipto Rahardjo, 2002:56 ).
Selanjutnya, dapat pula disebutkan bahwa lahirnya disiplin
sosiologi hukum dilatarbelakangi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Pengaruh dari aliran sejarah hukum yang dipelopori oleh
Von Savigny dan Maine
2. Pengaruh dari teori dalam ilmu politik yang menganalisi
hukum dalam konteks social.
3. Sebagai respons terhadap pesatnya perkembangan social
yang perlu dikaji oleh sector hukum pada abad ke-20 ini.
4. Sebagai akibat dari berkembangnya konsep masyarakat
kapitalisme dan industry sejak decade 1890-an Amerika
Serikat, Inggris, dan meskipun agak pelan juga di Jerman
dan Prancis serta Negara-negara Eropa Barat lainnya.
5. Sebagai akibat dari perkembangan demokrasi politik di
berbagai Negara yang membuat kelas pekerja memiliki
akses ke kekuasaan Negara, dengan berbagai gerakan dari
serikat pekerja.

8
6. Dengan beradanya kelas kaum pekerja, maka kuat
keinginan untuk dilakukan perubahan-perubahan hukum
dan legislasi yang kala itu masih dianggap terlalu borjuis.
7. Sebagaimana akibat perkembangan paham berhaluan kiri
(Marxism) yang menyebabkan timbulnya perubahan dalam
cara berfikir masyarakat yang lebih social dengan
menentang paham borjuis.
Berikut, yang menjadi objek kajian dari sosiologi hukum,
antara lain, sebagai berikut:
1. Hukum dari system social;
2. Hukum dan kekuasaan;
3. Hukum dan Negara;
4. Hukum dan ekonomi;
5. Hukun dan lain-lain social budaya;
6. Struktus social dan hukum;
7. Hukum sebagai symbol;
8. Modernisasi hukum;
9. Kesadaran hukum dan perasaan hukum;
10. Hukum, kapitalisme, sosialisme, dan Marxisme;
11. Hukum dan globalisasi;
12. Persamaan dan perbedaan antarsistem hukum;
13. Fungsi hukum untuk membangun msyarakat;
14. Control social melalui hukum;
15. Efektivitas hukum;
16. Penerapan hukum di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan;
17. Sosialisasi hukum;
18. Konflik social dan musyawarah;
19. Konsep stratifikasi;
20. Hukumdan ketidakadilan;
21. Kepastian hukum dan kesebandingan hukum;
22. Hukum dan teknologi;

9
23. Pola perilaku kejahatan;
24. Legalitas dan legitimasi hukum;
25. Profesi hukum;
26. Pendidikan hukum; dan
27. Perbedaan antara das sollen dan da sein.
Dalam hubungan dengan objek kajian dari sosiologi hukum
Ehrlich menyatakan sebagai berikut:

The societal phenomena in yhe areas of law which are


important for a scientific explanation pf law are above all
the facts of law them selves : the practice, whice defines the
status and the tasks of every individual within the social
networks, the relation of power (Herr shafi) and property,
the contracts, statutes, last wills and other disposition as a
mere fact, its origin and its impacts and not with reference
to its practical application and interpretation; finally all
those societal forces which make law a reality.
(Klaus A. Ziegert, 1979:240)

Kemudian, Donald Black menanyakan bahwa jika ilmu


hukum analitis positivis mendekati hukum secara preskriptif,
sosiologi hukum mendekatinya secara deskriptif. Selanjutnya
tentang perbedaan antara model hukum analitis positivis dan model
sosiologi hukum, dapat dilihat dalam table berikut ini:

10
Perbandingan antara Model Hukum Analitis-Positivis
dan Model Sosiologi Hukum
Model Hukum analitis- Model Soosiologi
positivis (jurispruential) (Sosiological)
Fokus Proses Peraturan logika Sruktur social perilaku
( behavior)
Lingkup sasaran Universal pelaku (participant) Variable pengamat (observer)
Tujuan sasaran Praktis keputusan (decision) Ilmiah (penjelasan)
(Satjipto Rahardjo, 2002: 57)
Dari table di atas terlihat adanya perbedaan pandangan dan perbedaan konsekuensi di
antara pendekatan pada hukum secara analititis-positivis di satu pihak dan pendekatan secara
sosiologi di lain pihak. Kedua macam pendekatan tersebut sama-sama memberikan kontribusi
yang besar terhadap perkembangan pemikiran dalam hukum dalam rangka mencari suatu hukum
yang baik dan menegakkan hukum secara lebih baik.
Di samping itu, Emile Durkheim (1858-1917) juga telah banyak mengembangkan
disiplin sosiologi hukum ini. Akan tetapi, Durkheim juga menemukan dan meningkatkan
beberapa hambatan dalam usaha untuk menjelaskan peranan sosiologi hukum kepada jurist
ataupun sociologist. Hambatan-hambatan tersebut adalah sebagai berikut: (George Gurvitch,
t.t.:35)
1. Durkheim tidak menanggalkan kecendrungan sifat agresivitas dari ilmu sosiologi yang
menafikan eksistensi dari semua ilmu sosial lain yang telah ada sebelumnya, seperti ilmu
hukum, ekonomi, fisiologi, dan lain-lain.
2. Konsep Durkheim tentang kesadaran kolektif (collective consciousness) dari masyarakat
yang dapat mengalahkan kesadaran individual, yang menyebabkan ilmu sosiologi tidak
memberi tempat pada filsafat hukum, etika, epistemology, dan lain-lain.
3. Kecendrungan Durkheim untuk membatasi ilmu sosiologi hukum hanya pada genetic
sociology of law, dengan mengidentifikasi tipe masyarakat yang tradisional semata-mata,
yang terpisah dengan tipe masyarakat modern.
Karena adanya hambatan-hambatan yang ditinggalkan oleh Durkheim tersebut,

11
menyababkan ajaran-ajarannya perlu ditelaah ulang dan dikritisi lebih lanjut, meskipun ajaran-
ajarannya itu tetap dianggap sebagai fundemen yang penting bagi perkembangan disiplin
sosiologi hukum ini.
A. BERBAGAI VARIASI DARI SOSIOLOGI HUKUM
Ada dua model kajian dari sosiologi hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Kajian Konvensional
2. Kajian Kontemporer
Kajian sosiologi hukum secara konvensional lebih menitikberatkan pada control sosial
yang dikaitkan dengan konsep sosialisasi, yang merupakan konsep dan proses untuk
menjadikan para individual sebagai anggota masyarakat untuk menjadi sadar tentang
eksistensi aturan hukum yang berlaku dalam tingkah laku dan pergaulan sosialnya.
Sedangkan yang merupakan kajian sosiologi hukum secara kontemporer adalah
pengkajian terhadap masalah-masalah yuridis empiris atas hukum yang hidup dalam
masyarakat yang heterogeny dan multikultur.
Di samping itu, dilihat dari segi objek yang teliti, sosiologi hukum dapat dibagi ke dalam
tiga kelompok berikut:
1. Sosiologi hukum yang berobjekan hukum;
2. Sosiologi yang berobjekkan para pelaku hukum; dan
3. Sosiologi yang berobjekkan pendapat orang mengenai hukum.
Yang dimaksud sosiologi hukum yang berobjekan hukum adalah sosiologi hukum yang
mengamati tentang hukum positif sehingga sering kali sosiologi hukum seperti ini akan
terjerumus ke dalam masalah nilai, yang memang selalu dihindari oleh ilmu sosiologi.
Hukum mengatur tingkat laku manusia. Karena itu, sosiologi hukum juga ikut berbicara
tentang tingkah laku yuridis dari manusia, yang ternyata sangat legal oriented, padahal
sosiologi hukum tidaklah boleh masuk menyatu menjadi ilmu hukum, tetapi mestinya tetap
sebagai ilmu sosiologi. Di samping itu, karena berbagai kaidah dan institusi hukum sangat
kompleks dan sering kali mempunyai pengertian bahkan logika. Sendiri, sosiologi hukum
seperti ini sangat sulit dimasukkan oleh para sosiolog. Oleh sebab itu, masalahmasalah
seperti ini hanya pantas dimasuki oleh ahli hukum.
Selain itu, sosiologi yang berobjekan para pelaku hukum adalah pengamatan sosiologi
hukum yang khusus mengamati para pelaku hukum atau apparat penegak hukum dalam hal

12
ini, yang diamati adalah peranan dan tingkah laku hukum dari advokat, jaksa, hakim, polisi,
dan sebagainya. Misalnya, yang diamati oleh sosiologi hukum adalah sikap prejudice dari
hakim pidana terhadap pra tersangka yangberlainan ras, bagaimana hakim satu sama lain
memutus dalam latar belakang strata social yang berbeda, bagaimana latar belakag politik
dan kepercayaan dari haki, berpengaruh terhadap putusan yang dijatuhkannya, bagaimana
efektivitas polisi dalam menajalankan tugasnya untuk suatu keamanan umum, dan
sebagainya.
Kemudian, sosiologi yang berobjekan pendapa orang tentang hukum yang dimaksud
ialah bahwa objek kajian dari sosiologi hukum seperti itu adalah bukan hukum, melainkan
pendapat tentang hukum. Kajian tersebut dilakukan, misalnya, bagaimana pengaruh dari
perbedaan umur, pendidikan, golongan atau status, dan kelas social dari masyarakat terhadap
tingkat pengetahuan hukum, pendapat hukum, dan kesadaran hukum dari masyarakat
tersebut. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap para penegak hukum, seperti hakim,
jaksa dan advokat, dan lain-lain.
Disamping itu, dikenal pula apa yang disebut sosiologi hukum empiris. Meskipun istilah
ii sebenarnya kurang tepat, mengingat bahwa sosiologi adalah ilmu empiris sehingga semua
sosiologi hukum mestinya juga bersifat empiris. Akan tetapi, dengan sosiologi hukum
empiris di sini yang ingin ditekankan adalah bahwa adanya penekanan empiris terhadap
kajian-kajian hukum yang sebenarnya merupakan suatu area yang luas dan kompleks
sehingga memerlukan suatu metode khusus untuk mengkajinya. Bahkan dengan
menggunakan alat bantu statistic sekalipun, metode khusus tersebut belum sepenuhnya
terbentuk. Kecuali haanya batas penggunaan pendekatan dengan menggunakan cybernetics
dan functionalism.
Kemudian, ada juga yang membedakan anatara istilah’ “sosiologi hukum” ( sociology of
law ) dan “ sosiologi dalam hukum” (sociology in the law) sebagaimana yang dikemukakan
oleh Harry C. Bredemeier, yang menyatakan bahwa sosiologi hukum memfokuskan diri
pada investigasi yang bersifat sosiologi dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh
“voting” dan “kelompok kecil”. Tujuannya adalah untuk menjelaskan signifikasi hukum
dalam kelompok masyarakat luas dan/atau untuk menjelaskan proses internal. Sedangkan
“sosiologi dalam hukum” bertujuan untuk memfasilitasi fungsi performance dari hukum
dengan jalan menambah pengetahuan sosiologi sebagai salah satu alatnya. Sosiolog i dalam

13
hukum bergantung pada sosiologi hukum. Tidak ada pengetahuan sosiologi yang penting
bagi hukum, kecuali yang merupakan pengetahuan sosiologi tentang fungsi dari hukum dan
mekanisme dalam melaksanakan fungsi tersebut (Otje Salman, 2004;27).
Ada dua aliran yang saling bersebrangan dalam sosiologi hukum meskipun kedua aliran
tersebut pada prinsipnya sama-sama mengamati hubungan antara hukum dan masyarakat.
Aliran tersebut adalah aliran positif dan aliran nomatif. Aliran positif dalam sosiologi hukum
pada prinsipnya mengajarkan bahwa sosiologi hukum hanya ingin membicarakan fakta-fakta
social yang dapat diobservasi semata-mata, tanpa keinginan sedikit pun untuk masuk ke
bidang-bidangyang tidak dapat diamati, seperti persoalan nilai, maksud, tujuan, dan
sebagainya. Bukankah disiplin sosiologi hukum tersebut merupakan derivative dari ilmu
sosiologi. Aliran positif ini, anatara lain, dianut oleh sosiolog Amerika Donald Black.
Sosiologi hukum menurut Donald Black hanya berurusan dengan fakta yang dapat
diamati (observable facts) sehingga hukum adalah apa yang nyata dilihat dan terjadi dala
masyarakat. Sosiologi hukum tidak perlu masuk ke bidang lebih jauh dari kenyataan yang
dapat diamati tersebut. Karena itu, hal-hal yang bersifat subjektivitas bukan merupakan
subjek kajian disiplin sosiologi hukum. Dengan demikian, sosiologi hukum tidak perlu
mempertanyakan dan mengamati tentang maksud hukum, tujuan hukum, nilai dalam hukum,
dan sebagainya. Singkatnya, sosiologi hukum hanya berbicara tentang pengamatan empiris
degan variable variable yang bersifat kuantitatif saja.
Sementara itu, ada juga aliran dalam sosiologi hukum yang disebut dengan aliran
normatif, yang menganggap sosiologi hykym merupakan derivative dari ilmu hukum. Yang
di maksukan dengan aliran normal adalah bahwa karena ilmu hukum merupakan ilmu yang
normatif, maka sosiologi hukum sebagai ilmu yang bersifat derivative, tidak dapat
dipisahkan pengkajiannya dari ilmu pokoknya, yaitu ilmu hukum. Karena itu, mau tidak
mau ilmu sosiologi hukum pun harus mengkaji bahan-bahan yang bersifat normative yang
penuh dengan nilai –nilai. Jadi, hukum dipandang buka sekedar kumpulan fakta yang dapat
diamati, melainkan merupakan institusi dari nilai-nilai. Pendapat tentang sosiologi hukum
yang juga harus berbicara tentang fakta normative, termasuk tentang iide-ide hukum dianut,
antara lain, oleh ahli sosiolgi hukum, seperti Philip Selznick, Philippe Nonet, Jerome
Skolnick, dan Charlin. Mereka mengembangkan konsep konsep yang disebut dengan
“aliran Berkeley’ (the Berkeley Perspective). Denganadanya aliran normative dalam

14
sosiologi hukum ini menyebabkan semakin tipisnya perbedaan anatara disiplin sosiolgi
hukum dan aliran sociological jurisprudence dalam filsafat hukum.
Namun, terlepas dari aliran apapun yang dianut, menurut hemas penulis, sosiologi hukum
tetap merupakan bagian dari ilmu sosiologi, bukan merupakan bagian dari ilmu hukum.
Meskipun begitu, harus pula diakui bahwa teramat sulit bagi seseorang yang buka ahli
hukum yang ingin mendalami disiplin sosiologi hukum ini, mengingat banyaknya konsep
hukum yang abstrak yang bersentuhan dengan bidang sosiologi hukum ini. Akan sulit bagi
yang bukan ahli hukum untuk mencerna konsep konsep hukum tentang tindakan
administrasi hukum, validitas hukum (rechtskraftersstreckung), tanggung jawab mutlak
( strict liability), kepastian hukum, ketertiban hukum, dan lain-lain konsep yang sudah
sangat berkembang (well developed) dalam ilmu hukum. Untuk itu, simak pendapat berikut
ini:

It would not be possible to advance sociologically without an understanding of the


concepts, symbols, and methods of argumentation used by lawyers. How could one
examine, for example, whether the social background of the judge influences his
jurisdiction, if one can not judge whether his arguments and decisions are right or
wrong, or constitute a legally just acceptable, but significant, variation? (Niklas
Luhmann, 1985:2).

Seorang sbsiologi hukum Prancis, Georges Gurvitch, membagi sosiologi hukum


menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:

1. Sosiologi hukum sistematik


2. Sosiologi hukum diferensial
3. Sosiolohi hukum genetik
( Georges Gurvitch, t.t. : 198).
Untuk sosiologi hukum sistematik (systematic sociology of law) disebut juga dengan
istilah sosiologi hukum mikro (Microsociology of law). Sosiologi hukum sistematik ini
mempelajari hubungan fungsional antara kenyataan sosisl dan berbagai jenis hukum, yang
diimulai dengan mempelajari klasifikasi terhadap masyarakat.

15
Sosiologi hukum diferensial (differential sociology of law) dimulai dengan mempelajari
klasifikasi terhadap bentuk-bentuk kelompok masyarakat di unit-unit kolektif.
Sedangkan sosiologi hukum genetic (genetic sociology of law) dimulai dengan
mempelajari keteraturan (regularities) sebagai kecenderungan bagi perubahan setiap tipe dari
hukum dan mempelajari juga terhadap berbagai factor yang menyebabkan adanya transformasi
dari keteraturan tersebut terhadap kehidupan hukum.
Selanjutnya, terdapat juga dua mazhab dalam sosiologi hukum, yaitu mazhab sosiologi
neopositivisme atau anatikal dan mazhab sosiologi dialektis atau kritis. Mazhab neopositivisme
beranggapan bahwa sosiologi hukum hanya merupakan suatu alat ilmiah untuk menjelaskan
gejala atau fenomena social yang berkenaan dengan hukum secara empiris belaka. Sedangkan
mazhab sosiologi dialektis tidak nerhenti pada deskripsi fenomena social saja, tetapi juga
mengevaluasi dan mengkritisnya. Evaluasi dan kritik tersebut tidak dapat diuji secara empiris
karena sudah masuk pada sifat dan hakikat masyarakat.
Dari berbagai mazhan dan aliran dalam sosiologi hukum seperti tersebut di atas terlihat
dengan jelas bahwa meskipun menurut penulis disiplin sosiologi hukum sebenarnya tetap
merupakan cabang dari ilmu sosiologi, tetapi karena yang menjadi objek kajian adalah hukum
yang notabene tergolong ilmu yang normative (bukan ilmu empiris), maka mau tidak mau
sosiologi hukum harus bergeser dari induknya ilmu sosiologi yang merupakan ilmu empiris
(yang bersifat deskriptif) tersebut.

B. TEORI-TEORI DALAM SOSIOLOGI HUKUM

Dalam bidang sosiologi hukum dikenal beberpa macam teori, yaitu sebagai berikut :
1. Teori klasik
2. Teori Makro
3. Teori Empiris

Salah satu penganut, bahkan pelopor sosiologi zman kiasik ialah Eugen Ehrlich
(Austria), yang terkenal dengan konsep “living law”—nya, yakni hukum yang hidup dalam
masyarakat. Menurut teori kiasik ini, tempat hukum dan berkembangnya hukum bukanlah
dalam undang-undang atau doktrin (juristic science), melainkan dalam masyarakat. Dalam Hal
ini, studi tentang hukum dilakukan dengan kelompok social dan masyarakat.

16
Sedangkan teori makro sebenarnya juga sudah dikembangkan oleh pelopor sosiologi
hukum zaman kiasik, yaitu oleh Max Weber dan Durkheim. Inti dari teori makro dalam
sosiologi hukum ini adalah bahwa perlu didalami keterkaitan antara hukum dan bidang-bidang
lain diluar hukum, seperti ekonomi, politik kekuasaan, dan budaya. Menurut teori makro ini,
hukum mempuyai habitatnya dalam masyarakat sehingga kajian-kajian terhadap hukum tidak
dapat dipisahkan dengan kajian dalam masyarakat secara keseluruhan

Disamping itu, seperti yang dikatakan oleh Durkheim, bahwa hukum tampil sebagai
suatu instirusi spesialis yang merupakan bagian dari proses perubhan masyarakat yang
terpolakan sebagai suatu diferensial social. Dengan teori solidaritas social, Durkheim
menjelaskan mengapa manusia hisup dalam masyarakat, sedangkan dia dilahirkan ke dunia ini
sebagai individu.

Selanjutnya, menurut teori empiris dalam sosiologi hukum, hukum dapat diamati secara
eksternal hukum, dengan mengumpukan berbagai data dari luar hukum, yang disebut dengan
perilaku hukum (behaviour of law), sehingga dapat memunculkan dalil-dalil tertentu tentang
hukum, misalnya, dalil-dalil hukum sebagai berikut :

1. Jumlah hukum meningkat dengan menurunnya control social di luar hukum.


2. Hukum mempunyai korelasi dengan jarak social. Semakin lemah tingkat keintiman dalam
masyarakat, semakin berperan sektor hukum.
3. Hukum berkorelasi dengan status orang yang menggunakan hukum. Semakin timggi
status orang yang menggunakan hukum terhadap lawannya yang berstatus social rendah,
semakin bereaksi hukumnya.
4. Jumlah peraturan bagi orang yang berstatus tinggi lebih tinggi daripada mereka yang
berstatus rendah.

Meskipun banyak analisis dan kesimpulan yang ditarik oleh sosiologi hukum berkenaan
dengan berbagai hal dalam hukum seperti tersebut di atas, kesimpulan dan analisis tersebut
tetap merupakan analisis dan kesimpulan dari luar hukum. Jadi, outputnya ukan kesimpulan
hukum, melainkan suatu kesimpulan sosiologis tentang hukum.

17
Ajaran-ajaran mengenai teori empiris dalam sosiologi hukum ini banyak ditelaah, antara
lain, oleh seorang sosiolog hukum yang bernama Donald Black, yang kemudian banyak
dikembangkan oleh para sosiolog hukum lainnya karena sebenarnya memang teori empiris ini
merupakan cabbang dari ilmu sosiologi (bukan cabang ilmu hukum) yang tidak lain merupakan
ilmu empiris itu?

Kemudian, ada juga teori yang juga disebut dengan teori “sibernetika” dari Talcott
Parsons, yang tergolong ke dalam teori yang bersifat structural dan fungsional, yang
mengajarkan bahwa suatu system masyarakat ini terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem-
subsistem tersebut adalah :

 Subsistem budaya ;
 Subsistem social;
 Subsistem politik; dan
 Subsistem ekonomi.

Masing-masing subsistem tersebut tidak memiliki kekuatan yang sama, saling


memengaruhi, bahkan saling berbenturan satu sama lain. Benturan-benturan antarkekuatan dari
subsistem tersebut menimbulkan energy, dimana muatan energi paling kuat ada pada subsistem
ekonomi, kemudia terus melemah berturut-turut pada subsistem politik, social, dan budaya.
Menurut Parsons, sektor hukum berada dalam subsistem budaya, yang berfungsi untuk
melakukan integrasi di antara proses-proses yang berlangsung dalam masyarakat sehingga
integrasi diantara proses-proses yang berlangsung dalam masyarakat sehingga tercapai suatu
ketertiban.

C. SOSIOLOGI HUKUM, FILSAFAT HUKUM, DAN MASYARAKAT

Sebenarnya, sosiologi hukum banyak dipengaruhi oleh filsafat hukum dan ilmu hukum.
Pengaruh tersebut adalah dalam bidang-bidang dari sosiologi hukum sebagai berikut:

1. Pengaruh aliran hukum alam (Aristoteles, Thomas, Aquinas, Grotius) :


Hukum dan moral
Kepastian hukum dan keadilan
2. Pengaruh dari mazhab formalisme (John Austin, Hans Kelsen) :

18
Logika hukum
Fungsi kekekalan dari hukum
Peranan petugas hukum (kedaulatan)
3. Pengaruh dari mazhab sejarah dan kebudayaan (Von Savigny, Maine) :
Kerangka budaya dari hukum (termasuk hubungan antara hukum dan system nilai-
nilai).
Hukum dan Perubahan sosial.
4. Pengaruh dari mazhab utilitilianisme dan sociological jurisprudence (Jeremy Bentham,
Jhering, Ehrlich, dan Roscoe Pound) :
Konsekuensi sosial dari hukum.
Klasifikasi tujuan makhluk hidup dan tujuan sosial.
5. Pengaruh dari mazhab sociological jurisprudence (Ehrlich dan Roscoe Pound) dan legal
realism (Holmes, Karl Llewellyn, Jerome Frank) :
Hukum sebagai mekanisme pengadilan sosial.
Faktor politis dan kepentingan dalam hukum, termasuk masalah stratifikasi sosial.
Hubungan antara hukum tertulis dan kenyataan social.
Masalah hukum dan kebijakan hukum.
Segi perikemanusiaan dari hukum
Telaah mengenai keputusan pengadilan dan pola per
Adanya pengaruh dari ajaran-ajaran filsafat hukum terhadap sosiologi hukum sangat
wajar mengingat ketika sosiologi hukum menganalisis tentang hukum, dia akan
menganalisisnya mengenai gejala-gejala hukum yang tentunya terkait dengan konsep-konsep
hukum. Dan, konsep-konsep hukum tersebut tidak bias dilepaskan dari telaahan filsafat hukum.
Ada tiga elemen utama yang terdapat dalam huungan antara hukum dan masyarakat, yaitu
elemen-elemen sebagai berikut:
1. Adat kebiasaan dan kesepakatan (custom and consent).
2. Moralitas dan alasan (morality and reason).
3. Hukum positif.
Selanjutnya, dalam hubungan antara adat dan kebiasaan/kesepakatan dengan hukum
positif, terdapat beberapa elemen lagi yaitu:

19
1. Hukum Positif berisikan norma-norma yang umumnya berasal dari adat kebiasaan dan
praktik hukum.
2. Hukum positif berasal dari ketertiban sosial yang kebanyakan diatur oleh adat dan atau
kebiasaan.
3. Hukum positif yang tidak konsisten dengan adat dan kebiasaan akan tidak legitimate dan
tidak efektif
4. Adat kebiasaan juga merupakan hukum. Bahkan, menurut Blackstone, hukum Anglo
Saxon tidak lain dari suatu kumpulan adat kebiasaan semata.
Disamping Itu, dalam hubungan anatara hukum positif dan moralitas/ reasoning, terdapat
elemen sebagai berikut:
1. Menurut Cicero, hukum merupakan reasoning yang paling tinggi (the highest reasoning).
2. Perkembangan hukum positif merupakan suatu sifat dari civilization, yang juga cara
mengatur masyarakat berdasarkan adat keabiasaan dan reason.
3. Hukum positif berasal dari komunitas dimana kebiasaan dan moralitas bercampur baur.
4. Sumber dari norma hukum positif adalah moralitas dan reason
5. Moralitas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan hukum positif.
6. Mengikuti dan patuh pada ukum positif merupakan tindakan yang benar secara moral.
7. Hukum positif yang bertentangan dengan moral dan reasoning adalah tidak sah, tidak
legitimate, bahkan menurut ajaran hukum alam sama sekali tidak dianggap sebagai
hukum.

D. SOSIOLOGI HUKUM DAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE

Meskipun antara sosiologi hukum dan sociological jurisprudence memiliki persamaan,


yaitu sama-sama mempelajari tentang interaksi antara hukum dan masyarakat, tetapi
sebenarnya diantara kedua disiplin tersebut mengandung banyak perbedaan.
Seperti telah dijelaskan bahwa Roscoe Pound memberikan arti terhadap sosiologi hukum
sebagai suatu studi tentang hukum sebagai sarana kontrol sosial. Sedangkan sociological
jurisprudence diartikan sebagai suatu studi tentang karakteristik khusus dari ketertiban hukum,
yaitu sebagai suatu aspek dari ilmu hukum.

20
Aliran sociological jurisprudence dalam ilmu hukum banyak meletakkan dasar bagi
aliran realisme hukum, sedangkan aliran realisme hukum banyak meletakkan dasar pada aliran
critical legal studies. Dengan demikian, ajaran-ajaran dari sociological jurisprudence, dengan
pelopor utamanya adalah Roscoe Pound, telah banyak memengaruhi aliran critical legal
studies tersebut.
Aliran sociological jurisprudence mencapai puncak perkembangan antara tahun 1900-an-
1920-an. Sedangkan aliran critical legal studies baru mulai berkembang sejak tahun-tahun
1970-an.
Baik aliran sociological jurisprudence maupun aliran realisme hukum, sama-sama
merupakan antithesis dari ajaran yang telah yang telah berkembang sejak abad ke-19, yaitu
ajaran formalisme atau formal rationality.
Hanya saja, jika aliran sociological jurisprudence melakukan serangan yang frontal
terhadap paham formalisme, aliran realisme hukum meneruskan serangan tersebut, tetapi
dengan cara yang lebih kritis.
Dalam mengembangkan ajaran sociological jurisprudence, Rosco Pound menggunakan
pendekatan yang bersifat pragmitis dengan penekanan lebih pada masalah praktis dari
persoalan teoretis. Jadi, tidak seperti pendekatan oleh disiplin sosiologi hukum yang bersifat
teori murni.
Dalam ajarannya tentang sociological jurisprudence, Roscoe Pound menekankan pada
beberapa prinsip sebagai: (Dragon Milovanovic, 1988: 93)
1. Roscoe Pound mengubah focus analisis tentang hukum dari semata-mata memfokuskan
diri pada doktrin-doktrin hukum (aturan dan praktik hukum) ke focus pada efek hukum
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, dilakukan dengan menggunakan metode,
praktik, dan temuan dari ilmu-ilmu sosial..
2. Tentang penerapan hukum, Roscoe Pound berpendapat bahwa hakim tidak hanya
menerapkan undang-undang untuk semua kasus. Hakim harus diberikan ruang diskresi
(kebebasan) yang luas dalam menerapkan hukum dan aturan hukum hanya merupakan
pedoman umum bagi hakim.
3. Titik sentral ajaran Roscoe Pound adalah teori tentang kepentingan (theory of interest)
dan “rekayasa sosial” (sosial engineering). Ada berbagai kepentingan dalam masyarakat,
yaitu kepentigan individu, sosial dan public (kepentingan public merupakan bagian dari

21
kepentingan sosial). Kepentingan-kepentingan tersebut satu sama lain saling bersaing,
merupakan naluri dasar manusia/masyarakat, yang tidak diciptakan oleh hukum.
Kepentingan-kepentingan tersebut dilegitimasi dan diseimbangkan oleh hukum sehingga
hukum dalam hal ini akan dipandang sebagai alat untuk rekayasa masyarakat (social
engineering).
4. Roscoe Pound juga mengajarkan tentang adanya prinsip-prinsip etika suatu masyarakat
beradab (civilized society). Bahkan, masyarakat beradab tersebut merupakan tujuan dan
sasaran akhir dari hukum substantive, yakni adanya suatu pengaturan bahwa seorang
tidak boleh menyakiti atau merugikan orang lain; seseorang dapat memiliki dan
mengawasi harta bendanya; orang-orang harus bertindak dengan iktikad baik dalam
membuat kontrak satu sama lain; jika seseorang memiliki benda-benda berbahaya, dia
harus menjaganya dengan baik sehingga tidak mengancam keselamatan, harta benda, atau
kesenangan orang lain seseorang harus diberikan upah yang layak atas pekerjaannya; dan
sebagainya.
5. Selanjutnya, Roscoe Pound juga mengembangkan teorinya tentang perkembangan
hukum dari bentuk-bentuk primitive ke bentuk sosialisasi hukum. Bentuk sosialisasi
hukum mempunyai tujuan akhir untuk memaksimumkan pemenuhan keinginan dan
kehendak manusia dan masyarakat.
Berikutnya, tentang perbedaan antara sosiologi hukum dan sociological prudence dapat
dilihat dalam table berikut ini:

Sosiologi Hukum Sociological Jurisprudence

1. Cabang dari ilmu sosiologi Cabang dari ilmu hukum

2. Cabang dari ilmu deskriptif Cabang dari ilmu normatif

3. Mempelajari bagaimana hukum Mempelajari bagaimana agar hukum


bekerja menjadi efektif

4. Berdasarkan nilai objektif Berdasarkan nilai Subjektik

22
Dengan demikian, antara ilmu sosiologi, ilmu hukum, sosiologi hukum, sociological
jurisprudence sangat erat kaitannya. Yang jelas, sebagaimana dikatakan oleh Nicholas S.
Timasheff bahwa akan sia-sialah setiap usaha untuk memahami dan mengembangkan sosiologi
hukum tanpa pengetahuan yang cukup mengenai ilmu hukum (Rita James Simon, t.t.:63).

E. MANFAAT MEMPELAJARI SOSIOLOGI HUKUM

Ketika disiplin sosiologi hukum berkembangm mulai terasa manfaatnya bagi dunia
hukum. Dan ternyata dari data lapangan yang diamati oleh sosiologi hukum disiplin sosiologi
hukum memang sangat besar manfaatnta bagi ilmu hukum. Misalnya, unruk mempertahankan
atau tidaknya hukuman mati, tersedia data lapangan yang menyatakan bahwa ternyata hukuman
mati diterapkan dengan sikap yang prejudice dan rasial. Penelitian di USA menunjukkan bahwa
hukuman mati lebih banyak dijatuhkan terhadap orang kulit hitam yang membunuh orang kulit
putih daripada orang kulit putih yang membunuh sesame kulit putih. Hal ini banyak terjadi di
Negara bagian Ohio sebanyak hamper 15 kali lipat, di Negara bagian Georgia sebanyak lebih
dari 30 kali lipat, di Florida sebanyak hamper 40 kali lipat, dan di Texas sebanyak hamper 90
kali lipat (Satjipto Rahardjo, 2002: 56).
Mengingat pentingnya data lapangan yang berkenaan dengan kehidupan hukum dalam
kenyataannya, maka akhir-akhir ini telah dilakukan pengamatan secara terus-menerus terhadap
berjalannya hukum di lapangan (law in action). Bahkan, dewasa ini telah dilakukan pendekatan
secara counter normative. Yang dimaksud dengan pendekatan secara counter normative adalah
pendekatan yang dimulai oleh suatu sikap kecurigaan intelektual terhadap hukum. Kemudian,
terus-menerus disikapi secara krritis. Metode seperti ini disebut dengan metode “falsifikasi”.
Tentang manfaat sosiologi hukum ini, kritikan Gerry Spencer terhadap hukum dapat
menolong memperjelas masalah. Menurutnya, hukum (analisis positif) berkeyakinan benar,
kalimat yang terpampang pada dinding Mahkamah Agung Negara USA bahwa “equal justice
under law” tetapi data yang dikumpulkan oleh sosiologi hukum di lapangan menunjukkan
bahwa kalimat yang bbenar adalah “Eual Jusruce under Law, to All who can afford it” (Satjipto
Rahardjo, 2002: 58.
Data yang didapati oleh sosiologi hukum akan berguna bagi seseorang dalam melakukan
hal-hal sebagai berikut:

23
 Melakukan konkretisasi terhadap pengertian-pengertian hukum yang masih tidak jelas atau
kurang pasti.
 Melakukan konkretisasi terhadap kaidah-kaidah hukum referensial.
 Membentuk kaidah-kaidah hukum dalam hal adanya kekurangan atau kekosongan dalam
system hukum.
 Mengadakan interpretasi secara teleologis terhadap kaidah-kaidah hukum.
Disamping itu, dengan mempelajari sosiologi hukum, diharapkan seseorang akan
memiliki kemampuan sebagai berikut:
 Memahami hukum dalam konteks sosialnya.
 Menganalisis tentang efektivitas hukum dalam masyarakat.
 Mengadakan evaluasi mengenai efektivitas hukum dalam masyarakat.
Kemampuan seperti tersebut diatas dapat dipunyai oleh seseorang karena dia tekah
mengetahui beberapa hal penting yang diperolehnya dari sosiologi hukum, yaitu hal-hal sebagai
berikut:
 Ideologi yang memengaruhi perencanaan dan pembentukan hukum.
 Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang memengaruhi pembentukkan hukum secara
langsung atau tidak langsung.
 Elemen-elemen dari kebudayaan masyarakat yang memengaruhi substansi hukum.
Golongan-golongan masyarakat yang memengaruhi pembentukan dan penerapan hukum.
 Golongan-golongan masyarakat yang diuntungkan dan dirugikan oleh suatu ketentuan
hukum.
 Kesadaran hukum dari golongan-golongan tertentu dalam masyarakat.
 Elemen-elemen hukum yang mengubah perilaku warga masyarakat.
 Kekuatan, kemampuan, dan kesungguhan dari para penegak hukum.
 Kepatuhan hukum dari warga masyarakat.
 Hukum yang berfungsi atau tidak berfungsi dalam masyarakat.
(Soerjono Soekanto, 1979: 95)

24
Dengan demikian, fungsi dan peranan sosiologi hukum dangat penting sebab menurut
pandangan sosiologi hukum yang kontemporer, hukum tidak hanya berfungsi sebagai sarana
pengontrol yang konservatif yang berorientasi pada unsur normative-tekstual, tetapi hukum
juga dipakai sebagai sarana untuk merancang masa deoan individu dan masyarakat, sesuai
dengan fungsi hukum sebagai sarana rekayasa masyarakat (a tool of social engineering).
Selain itu, adalah sarigat bermanfaat mengetahui analisis sosiolohgi tentang konsep
hukum, yakni untuk mengetahui dan mengevaluasi hukum yang sedang berlaku, misalnya,
apakah hukum sudah berjalan menurut relnya atau hukum hanya digunakan sebagai alat oleh
penguasa. Dalam hal ini, menurut analisis sosiologi hukum, munculnya hukum dalam
masyarakat terjadi karena berlakunya satu atau lebih prinsip sebagai berikut.
1. Hukum merupakan refleksi keinginan kolektif dari masyarakat karena itu hukum bersifat
netral.
2. Hukum dikonstruksikan dan dibagun secara positif untuk mengantisipasi dan
memfasilitasi transaksi dalam masyarakat.
3. Hukum dibuat sebagai alat untuk mengontrol masyarakat karena itu hukum bersifat
represif.
Di sepanjang sejarah hukum, hukum akan bermuara ke satu atau lebih prinsip hukum
tersebut di atas dan penekanannya ke masing-masing prinsip tersebut berubah-ubah pula dari
satu masa ke masa yang lain, dari suatu Negara ke Negara yang lain, atau dari satu undang-
undang/putusan hukum ke undang-undang/putusan hukum lainnya.

25
BAB II
PERKEMBANGAN SOSIOLOGI HUKUM

The centre of gravity of legal development lies not in legislation, not in juristic science, not in
judicial decision, but in the society itself.
(kecenderungan dasar dari perkembangan hukum tidak terletak pada parlemen, tidak pada ilmu
hukum, dan tidak juga pada putusan pengadilan, tetapi terletak di dalam masyarakat itu
sendiri).
(Eugen Ehrlich dalam bukunya Fundamental Principles of Sociology of law)

A. LATAR BELAKANG LAHIRNYA DISIPLIN SOSIOLOGI HUKUM.

Seorang sosiolog hukum asal USA, yaitu Donald Black berpendapat bahwa abad kedua
puluh adalah abad sosiologi (the age of sociology) (Satjipto Rahardjo, 2002: 19). Pendapat
tersebut memang benar adanya karena disiplin sosiologi pada prinsipnya baru berkembang
pesat di abad kedua puluh meskipun cikal bakalnya sudah ada sejak pertengahan abad ke-19.
Meskipun begitu, perjalanan sejarah sosiologi hukum ternyata tidak mulus. Banyak juga
kalangan ahli hukum yang meragukan kegunaan sosiologi hukum ini. Bahkan, ahli hukum
sekaliber Hans Kelsen sekalipun masih berpendapat bahwa dogmatic hukum tidak perlu latah
untuk mengkaitkan diri dengan kenyataan karena ilmu hukum bukanlah ilmu tetang kenyataaan
dan tujuan hukum bukanlah untuk menjelaskan kenyataan. Apa yang katanya ojek dari
sosiologi hukum bukanlah hukum, melainkan mungkin saja merupakan hgejla-gejala lain yang
parallel dengan hukum.
Namun begitu, kenyataan menunjukkan bahwa gerakan-gerakan bidang hukum yang
berorientasi sosiologis ternyata marak berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Gerakan hukum sosiologis ini telah mengembangkan dasar-dasar intelektuai dan teorikai
terhadap sosiologi hukum. Karena itu, gerakan ini bersama-sama dengan berbagai pandangan
sebelumnya telah melahirkan suatu disiplin baru dalam hukum yang disebut dengan sosiologi
hukum (sociology of law).

26
Bahkan, seorang filosof hukum, yaitu Gustav Radbrugh mengindikasikan pentingnya
pendekatan kemasyarakatan pada sektor hukum. Gustav Radbrugh berpendapat bahwa dalam
hukum ada tiga nilai dasarnya, yaitu nilai keadilan, nilai kegunaan, dan nilai kepastian hukum
(Satjipto Rahardjo, 2002: 15). Terutama dalam kaitannya dengan nilai kegunaan dari hukum
menyebabkan studi tentang manfaat hukum bagi masyarakat menjadi sangat penting sehingga
hal ini membuka jalan masuk bagi munculnya disiplin sosiologi hukum ini.
Meskipun sudah berkembang sejak awal abad ke-20, bahkan sejak akhir abad ke-19,
sebenarnya dalam arti perkembangan yang pesat terhadap sosiologi hukum, baru terjadi setelah
Perang Dunia Kedua pada abad ke-20 tersebut. Sebelumnya, masih sangat kuat anggapan
bahwa hukum tidak mungkin dapat mengubah kebiasaan dan karenanya sosiologi hukum tidak
mendapat perhatian sebagaimana yang dikemukakan oleh Wiliam Graham Summer.
Masalah rasial yang terjadi sejak perang dunia kedua merupakan pemicu bangkitnya lagi
gerakan menelaah hukum secara sosiologis. Waktu itu, mulai ada kesadaran bahwa masalah
rasial ini mesti diselesaikan secara hukum sehingga memerlukam hukum yang berorientasi
pada pandangan dan kesadaran hukum dalam masyarakat. Perkembangan pola ppikir yang
demikian terjadi, baik di USA maupun banyak Negara di Eropa.
Di sepanjang abad ke-19, dunia hukum sangat dipengaruhi oleh paham formalisme yang
menyatakan bahwa hukum merupakan ilmu yang tertentu dan pasti, seperti juga dengan ilmu
fisika, ilmu kimia, ilmu hewan, dan ilmu pertanian, dengan menggunakan perpustakaan sebagai
laboratoriumnya. Dengan menganalisis kasus-kasus hukum (terutama di Negara-negara yang
berlaku hukum Anglo Saxon) akan ditemukan pengertian-pengertian yang ilmiah tentang
hukum pandangan seperti ini, antara lain, dipelopori oleh ahli hukum abad ke-19 yang terkenal,
yaitu Langdell.
Kemudian, pandangan seperti ini dibantah oleh para penganut aliran realisme hukum dan
sociological jurisprudence yang lahir dan berkembang pada awal abad ke-20 yang lebih
melihat ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu sosial, dengan laboratoriumnya adalah dunia
nyata, dengan filosofinya adalah pragmatism, dan dengan focus sentralnya adalah proses
pembuatan putusan pengadilan. Karena itu, berkembangnya aliran-aliran tersenut juga sangat
dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi bebas saat itu yang sangat pesat, di mana orang tidak
suka jika pemerintah ikut campur ke dalam masalah-masalah masyarakat, termasuk tentunya

27
jika pengadilan memutus perkara tanpa metode yang jelas, di mana para hakimnya sangat
dipengaruhi oleh kekuasaan atau ideologi politik tertentu.
Karena itu, bersama dengan berkembangnya disiplin sosiologi hukum ini, berkembang
pula aliran sociological jurisprudence (antara lain, dikembangkan oleh Roscoe Pound) dan
legal realism (antara lain, dikembangkan oleh Karl Llewellyn dan Joreme Frank). Ketiga
pandangan ini mempunyai kemiripan dalam hal penekanannya terhadap studi hukum dalam
hubungannya dengan masyarakat. Hanya saja, jika sosiologi hukum merupakan cabang ilmu
sosiologi, sociological jurisprudence dan legal realism merupakan cabang dari ilmu hukum.

B. STUDI HUKUM DAN MASYARAKAT

Penelaah hukum secara sosiologis menunjukkan bahwa hukum merupakan refleksi dari
kehidupan masyarakat, yakini merupakan refleksi dari unsur-unsur sebagai berikut:

1. Hukum merupakan refleksi dari kebiasaan, tabiat, dan perilaku masyarakat.


2. Hukum merupakan refleksi, baik dari moralitas masyarakat maupun moralitas universal.
3. Hukum mempunyai refleksi dari kebutuhan masyarakat terhadap suatu keadilan dan
ketertiban sosial dalam menata interaksi antar anggota masyarakat.
Pada mulanya studi tentang hukum tetap saja ditekankan pada ilmu hukumnya sendiri.
Akan tetapi, dimulai kira-kira pertengahan dasawarsa 1970-an, penekanan-penekanan terhaap
sosiologi hukum sangat gencar dilakukan. Sejak saat itu, para ahli mulai berpaling kembali ke
pandangan-pandangan ahli teori yang klasik, seperti Weber, Durkheim, dan Karl Marx,
berkenaan dengan pendekatan hukum secara sosiologis yang dipandang memiliki hubungan
dengan ketertiban ekonomi dan politik.
Jika kita mengkaji lebih jauh ke belakang, akan terlihat bahwa gerakan hukum yang
berorientasi sosiologis ini sebenarnya dipengaruhi oleh beberapa factor berikut:
1. Sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu-ilmu baru tentang manusia dan masyarakat,
terutama ilmu sosiologi, antropologi, psikologi, manajemen, dan informatika.
2. Sebagai akibat pesatnya perkembangan masyarakat, teknologi, dan informasi yang tidak
dapat diikuti oleh perkembangan hukum.

28
3. Sebagai akil at berkembangnya aliran-aliran dalam filsafat hukum, misalnya, aliran
realisme hukum, yang lebih menekankan pada “hasil” daripada “proses” dari hukum,
menyebabkan orang tidak puas dengan kenyataan hukum yang ada
4. Sebagai akibat pesatnya perkembangan industrialisasi telah menyebabkan berbagai sektor
hukum harus dikaji ulang untuk disesuaikan dengan kebutuhan sektor industri tersebut.
5. Sebagai akibat arus urbanisasi ataupun imigrasi yang cukup deras yang menyebabkan
terjadi berbagai percampuran hukum.
6. Sebagai akibat perkembangan demokrasi yang juga cukup pesat yang telah meminta
sektor hukum untuk turun tangan dalam rangka mengamankan demokrasi dan terlebih
dahulu dilakukan demokratisasi dalam bidang hukum itu sendiri. Sebagaimana diketahui
bahwa konsep demokrasi dalam hukum berarti konsep yang mendekatkan hukum dengan
masyarakat.
7. Berbagai efek samping dari kemajuan teknologi telah menyebabkan menurunnya
kehidupan manusia, dunia, dan lingkungan hidup, yang memaksa hukum juga harus
mengkaji ulang kaidah-kaidahnya.
8. Berbagai percekcokan dan konflik dalam masyarakat, bahkan peperangan (terutama
Perang Dunia Kesatu dan Kedua), Perang Dingin, dan perang pasca Perang Dingin juga
ternyata tidak dapat diantisipasi dan dibereskan oleh sektor hukum.
9. Berbagai perlombaan senjata nuklir, kimia, dan lain-lain telah menyebabkan orang
semakin was-was hidup di dunia sehingga berpaling harapan pada sektor hukum untuk
dapat mengatasinya.
10. Terjadi berbagai ketidakadilan dalam masyarakat, seperti yang berhubungan dengan
maslah gender; rasial; serta perbedaan agama, kepercayaan, dan haluan politik
menyebabkan orang sanfar mengharapkan peranan dari sektor hukum untuk
mengatasinya.
11. Pengaruh dari globalisasi dan informasi pada abad ke-20 sehingga orang cepat
mengetahui perubahan hukum di Negara-negara lain, untuk minta diterapkan di
negaranya.
12. Pengaruh dari aliran hukum yang sebelumnya telah berkembang, yaitu alirran sejarah
hukum (historical jurisprudence), yang dipelopori oleh Von Savigny dan Maine.
13. Pengaruh dari teori dalam ilmu politik yang menganalisis hukum dalam konteks sosial.

29
14. Sebagai respons terhadap pesatnya perkembangan sosial yang perlu direspons oleh sektor
hukum pada abad ke-20 ini.
15. Sebagai akibat dari berkembangangnya konsep masyarakat kapitalisme sejak decade-
1890-an di Amerika Serikat dan di Inggris dan meskipun agak pelan juga di jerman dan
di Prancis serta Negara-negara Eropa Barat lainnya, yang membentuk masyarakat
kapitalsme industri yang berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi.
16. Sebagai akibat dari perkembangan demokrasi politik di berbagai Negara yang membuat
kelas pekerja memiliki akses ke kekuasaan Negara, dengan berbagai gerakan dari serikat
pekerja yang menyerukan berbagai perubahan radikal dalam bidang politik,
pemerintahan, dan kemasyarakatan.
17. Dengan beradanya kelas kaum pekerja di pemerintahan dan gerakan-gerakannya dalam
masyarakat, maka kuat keinginan untuk dilakukan perubahan-perubahan hukum dan
legislasi yang saat itu masih dianggap terlalu borjuis.
18. Sebagai akibat berkembangnya oaham dan pemerintahan berhakuan kiri (Marxism) yang
meyebabkan timbulnya perubahan dalam cara berpikir masyarakat yang lebih sosialis
dengan menentang paham borjuis dan kapitalis.
Di samping itu, berkembangnya studi tentang hubungan antara hukum dan masyarakat,
yang melahirkan disiplin sosiologi hukum ini, juga dipicu oleh teori tradisional tentang
kemasyarakatan yang menyatakan bahwa masyarakat tidak lain dari suatu ikatan hubungan
hukum (legal relation), bahkan suatu ikatan hubungan kontrak. Dalam hal ini, jika manusia
merupakan pribadi yang abstrak, kontrak merupakan kategori yang merefleksi dimensi sosial
kehiduupan manusia.
Khususnya teori klasik yang menyatakan adanya semacam “hubungan kontrak” antar
masing-masing anggota masyarakat untuk saling hidup dalam suatu kebersamaan untuk
mencapai tujuan-tujuan yang terbaik yang dapat mereka capai. Teori ini berasal dari pola pikir
dari hukum alam yang modern yang berorientasi pada rasio dan logika.
Akan tetapi, yang lebih popular dari pandangan Sir Henry Summer Maine, yang justru
menyatakan bahwa hukum dalam masyarakat modern yang berdasar pada kontrak, Hukum
justru berkembang secara evolutif, bahkan kadang-kadang juga secara revolutif dari “status” ke
“kontak”. Konsep status dan kontrak dalam hal ini ditujukan terhadap prinsip-prinsip hukum,
ketertiban hukum, serta pengaturan hak dan kewajiban individu dan masyarakat. Konsep

30
hukum yang berdasarkan status terdapat pada masyarakat yang bersifat kekeluargaan dengan
statifikasi sosial dan pemberian hak serta kewajiban individu kepada anggota masyarakat
disadarkan pada hubungan kekeluargaan dan kesukuan dalam masyarakat tersebut. Oleh
karenanya, dalam masyarakat yang bersifat feodalistik tersebut, status menentukkan kapasitas
hukum seseorang, yakni statuslah yang menentukan siapa yang mempunyai hak atau
kewajiban, siapa yang dapat kawin dengan siapa, siapa yang dapat memiliki tanah, siapa yang
boleh berburu binatang, siapa yang boleh berbisnis, dan sebagainya.
Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, di mana tata pergaulan masyarakat tidak
lagi didasarkan pada hubungan keluarga atau kesukuan, di mana mobilitas masyarakat dan para
pendatang sudah semakin besar, serta hak dan kewajiban anggota masyarakat tidak lagi
didasarkan pada pertalian keluarga atau kesukuan tersebut. Jika seseorang mendapatkan hak
tertentu, dia mendapatkannya bukan karena dia sebagai anggota keluarga atau suku tertentu,
atau bangsa tertentu, atau agama tertentu, melainkan dia mendapatkannya karena dia adalah
manusia. Cara baru untuk mendistribusi hak dan kewajiban ini disebut dengan “kontrak”. Hal
tersebut sejalan dengan perkembangan kesadaran masyarakat akan semakin pentingnya
penghormatan terhadap hak-hak manusia yang berdasarkan prinsip-prinsip liberalisme, yang
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum alam dalam arti modern (berdasarkan logika).
Bahkan, pandangan yang sangat popular dari Maine bahwa perkembangan hukum
berubah dari status ke kontrak, sekarang telah memasuki suatu lingkaran penuh. Jika semula
hukum berkembang dari status ke kontrak, kemudian berkembang lagi dari kontak kembali ke
status.
Kemudian, konsep tentang hukum yang berdasarkan status dan kontrak tersebut
mendapat telaahan yang lebih mendalam pada abad berikutnya, antara lain, oleh Emile
Durkheim, yang mendapatkan lahirnya disiplin sosiologi hukum tersebut, dengan
mengetengahkan konsep kontrak yang tidak kontraktual (noncontractual basis of contract).
Menurutnya, meskipun terdapat regulasi yang bersifat kontraktual dalam masyarakat, misalnya,
dalam hubungan dengan perburuhan, hal tersebut tidak mengubah fakta bahwa hukum sebagai
kaidah moral adalah ekspresi dari prinsip “solidaritas” dalam masyarakat tersebut. Dengan
demikian, terjadi suatu peeubahan dan rekonstruksi secara gradual dalam masyarakat, dari
masyarakat yang “segmental” ke masyarakat yang “functional”. Dengan masyarakat yang
segmental, yang dimaksudkan adalah pembagian anggota masyarakat (berikut hak dan

31
kewajibannya) pada unit-unit serupa yang tidak signifikan, seperti pembagian berdasarkan
kerabat/keluarga dan kesukuan. Sedangkan perbedaan strata masyarakat secara fungsional
membedakan masing-masing anggota masyarakat berdasarkan fungsi-fungsi khusus dalam
masyarakat yang semakin kompleks. Dalam hal tersebut, fungsi-fungsi dalam masyarakat
dibangun dengan suatu kesadaran kolektif (collective conscience), dimana konsep representasi
kolektif kemudian diganti dengan konsep solidaritas organik. Dan, hukum direstrukturisasi dari
pemberian sanksi yang bersifat represif menjadi bersifat restitutif. Dengan begitu, fungsi dari
sanksi hukum berubah dari memberikan pembalasan denda, dalam suatu kesadaran kolektif
terhadap suatu kesalahan individu. Akan tetapi, sanksi hukum telah menjadi suatu cara untuk
mengeliminasi kerugian (ganti rugi) sehingga fungsi-fungsi dalam masyarakat dapat berjalan
normal kembali. Oleh karena itu, Durkheim telah membangun suatu teori “rekonstruksi”
dengan bukti-bukti ko-variasi dari struktur masyarakat yang melahirkan suatu disiplin sosiologi
hukum yang bersifat empiris pada level system masyarakat yang makro (macrosocial system).
Di samping itu, sama dengan ajaran hukum alam yang modern, sosiologi hukum juga
mempelajari bahwa di dalam setiap komunitas masyarakat suatu ketertiban hukum (legal
order). Akan tetapi, kemudian antara ajaran hukum alam dan ajaran sosiologi hukum berpisah
jalan dalam hal system hukum yang berlaku, di mana sosiologi hukum tidak percaya pada tesis
hukum alam yang menyatakan bahwa ada norma hukum tertentu yang berlaku bagi setisp
komunitas masyarakat di mana pun dan kapan pun. Dalam hal ini, kaum sosiologi hukum
berkeyakinan bahwa masing-masing kelompok masyarakat mempunyai norma hukumnya
sendiri yang berkembang sesuai dengan sejarah, etnografi, dan perkembangan masyarakat itu
sendiri, di mana masing-masing norma hukum tersebut saling bervariasi satu sama lain.
Selanjutnya, ada beberapa prinsip ilmu sosiologi hukum yang sekarang sudah menjadi
ajaran klasik dari sosiologi hukum tersebut, yang membedakannya dengan ajaran hukum alam.
Ajaran-ajaran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hukum sebagai struktur normatif dibedakan dengan masyarakat sebagai kehidupan
factual dan sebagai aksi yang bersifat interrelasi.
2. Hukum dan masyarajat merupakan dua variabel yang independen, di mana variasi hukum
dari satu masyarakat dengan masyarakat yang lain dipengaruhi oleh karakter evolutif dari
hukum, dan pada abad ke-19 dipengaruhi pula perkembangan peradaan manusia.

32
3. Dapat dilakukan suatru uji hipotesis yang empiris tentang hubungan antara hukum dan
masyarakat, dimana terdapat variabel tentang observasi terhadap variasi hukum yang
berlaku.
Seperti telah disebutkan bahwa studi hukum dalam hubungannya dengan msyarakat
berkembang pada abad ke-20, menggantikan pendekatan sebelumnnya terhadap hukum yang
sangat normative-dogmatis. Hal ini, antara lain, sebagai akibat dari pesatnya perkembangan
cabang-cabang ilmu kemasyarakatan sejak awal abad ke-20, terutama ilmu sosiologi,
antropologi, psikologi, informatika, manajemen dan lain-lain. Karena itu, cabang ilmu sosiologi
yang disebut dengan sosiologi hukum (sociology of law) juga ikut berkembang. Bahkan, dapat
dikatakan bahwa perkembangan ilmu hukum pada abad ke-20 itu lebih banhyak berkembang ke
bidang metodologinya ketimbang substansinya, khususnya jika dilihat dari segi teoretis.
Sebagian besar riset hukum pada abad ke-20, termasuk yang dilakukan di Indonesia, banyak
dilakukan dengan menggunakan metode riset hukum sosiologis, ketimbang yang semata-mata
normative. Bahkan, jika sebelumnya hukum hanya mengenal dua dimensi, yaitu dimensi
substantive dan dimensi procedural, maka abad ke-20, bertambah menjadi tiga dimensi, dimana
dimerisi ketiganya adalah dimensi sosiologis.
Di samping itu, pesatnya perkembangan masyarakat, teknologi, dan informasi pada abad
kedua puluh tersebut dan umumnya sulit diikuti oleh sektor hukum, telah menyebabkan orang
berpikir ulang tentang hukum, dengan mulai memusatkan perhatiannya terhadap interrelasi
antara sektor hukum dan masyarakat dimana hukum tersebut diterapkan. Studi tentang hukum
dam masyarakat seperti ini tidak lagi berusaha untuk mengungkapkan kebenaran, tetapi akan
mengungkapkan kenyataan. Dalam hal ini, Max Weber menyatakan bahwa:
“… legal order … refers not a set of norms of logically demonstrable correctness, but rather to
a complex of actual determinants (bestimmungsgruende) of actual human conduct” (Max
Rheinstein, 1967:12).
Di universitas-universitas, sosiologi hukum ini telah sering menjadi mata kuliah sendiri,
baik di fakultas hukum maupun di jurusan sosiologi. Akan tetapi, kadang-kadang sosiologi
hukum ini dipelajari juga di departemen criminology.
Perkembangan disiplin sosiologi hukum ini telah menyimpang dari pendekatan
sebelumnya terhadap hukum yang menjadikan ilmu hukum sebagai cabang ilmu yang
eksekutif, tanpa dapat dimasuki oleh telaahan dari bidang lain, termasuk dari bidang sosiologi.

33
Tradisi eksklusivitas hukum ini dipertahankan dengan sangat rigid oleh aliran-aliran hukum
yang berkembang saat itu, yaitu aliran anatical jurisprudence ataupun maupun aliran yang
bersifat positivisme lainnya.
Kemudian dalam hubungannya dengan bidang filsafat, berbeda dengan induknya, yaitu
filsafat dan hukum yang telah berpisah jalan dan masing-masing telah merupakan bidang yang
berdiri sendiri, tetapi antara filsafat hukum dan sosiologi hukum tidak dapat dipisahkan dan
saling berjalan seiring, saling memengaruhi dan saling mengisi satu sama lain.

C. TAHAP PERKEMBANGAN SOSIOLOGI HUKUM

Tentang tahap-tahap perkembangan sosiologi hukum dalam sejarah, Philip Seiznick


membaginya pada tahap-tahap sebagai berikut:

1. Tahap Primitif/missioner.
2. Tahap keahlian dan keterampilan sosiologis.
3. Tahap otonomi dan kematangan intelektual. (Satjipto Rahardjo, 2002: 22).
Dalam tahap primitif/missioner, perkembangan sosiologi hukum masih sangat lamban.
Karena hukum masih dianggap sebagai suatu wilayah yang tertutup, yang hanya dapat
dimasuki oleh orang-orang tertentu yang terdidik secara khusus untuk itu. Dalam hal ini,
sosiologi hukum berperan sebagai pendorong agar dimasukkannya suatu pendekatan lain
terhadap suatu kajian hukum, dengan mendorong untuk menghargai dan memasukkan
kebenaran-kebenaran sosiologis terhadap wilayah hukum yang tertutup tersebut. Dapat
dikatakan bahwa tahap ini baru merupakan tahap memperkenalkan disiplin sosiologi hukum
tersebut.
Sedangkan dalam tahap keahlian dam keterampilan sosiologis, hukum sudah mulai
membuka diri, tidak lagi merupakan wilayah yang tertutup. Orang-orang hukum sudah mulai
turun ke lapangan dan masyarakat untuk melakukan penelitian-penelitian hukum. Karena itu,
penelitian hukum yang bersifat sosiologis/empiris sudah mulai banyak dilakukan.
Kemudian, dalam tahap ketiga, dimana setelah melakukan penelitian-penelitian sosiologi
di bidang hukum, maka sektor hukum berbicara tentang fakta- fakta sosiologis secara lebih
mendalam. Sosiologi hukum milai melangkah ke bidang yang umum dengan menarik asas-asas
hukum dari penelitian-penelitian tersebut.

34
Meskipun perkembangan disiplin sosiologi hukum sudah mencapai tahap ketiga tersebut,
sosiologi hukum tetap belum bias menghasilkan suatu teori-teori barunya. Bahkan, metode dan
bidang kajiannya juga masih belum jelas, yakni masih mencari bentuk. Padahal, matangnya
suatu disiplin pengetahuan biasanya ditandai oleh banyaknya dan berkualitasnya teori-teori
baru yang dihasilkannya serta kejelasan dari metode dan bidang kajiannya.
Bagaimanapun, ketika muncul paham-paham fungsional dalam hukum sebagaimana yang
dipelopori, antara lain, oleh Roscoe Pound, yang menggantikan paham-paham yang bersifat
analitis, sebenarnya telah terjadi perubahan yang mendasar dalam pemikiran tentang filsafat
hukum. Dan semula yang hanya menelaah aturan hukum normatif semata-mata, kemudian
memasukkan juga unsur-unsur sosiologi ke dalamnya. Oliver Wendell Holmes dengan tegas
melukiskan bahwa:
“The life of law has not been logic; it has been experience.”
Kemudian, Oliver Wendell Holmes menambahkan dengan menyatakan bahwa :
1. Hukum adalah apa yang akan diputuskan oleh pengadilan. Hukum bukanlah suatu prinsip
yang abstrak dan bukan pula suatu pemikiran (state of mind), melaikan hukum
merupakan suatu sikap tindak (behaviour), dan
2. Penting untuk mengetahui konsekuensi sosial dari aturan hukum. Kepentingan sosial dan
implikasi sosial dari suatu aturan hukum perlu lebih ditekankan dalam penelitian hukum,
dan penerapan hukum. (Rita James Simon, t.t.: 4)
Peranan sosiologi hukum sudah lama diperbincangkan meskipun ajarannya itu sering
disebut dengan sociological jurisprudence atau aliran hukum bebas.
Di Amerika Serikat, ahli hukum, seperti Roscoe Pound, Oliver Wendell Holmes, Karl
Llewellyn, dan Benjamin Cardozo adalah beberapa pelopor yang menganjurkan dilakukan
pendekatan secara sosiologis terhadap ilmu hukum dan riset hukum. Roscoe Pound
menganjurkan agar dilakukan pendekatan baru dan mengubah pendekatan lama terhadap
hukum, yakni mengubah dari prnggunaan standard “keadilan hukum” (legal justice) pada
standard “keadilan sosial” (social justice), yang merupakan aturan hukum yang berpegang
teguh secara konsisten pada nilai dan standar public, dan menggantikan pendekatan lama
terhadap hukum berupa pendekatan yang bersifat individual. Karena itu, Roscoe Pound
menyerukan agar ditinggalkan penekanan terhadap keadilan hukum dan “hukum murni” (pure

35
law) karena pendekatan seperti itu tidak cukup memerhatikan aspek sosial, politik, dan
ekonomi dari suatu aturan hukum.
Perkembangan ilmu sosiologi menunjukkan bahwa disiplin ilmu ini semakin melakukan
transformasi yang semakin memberikan tempat pada sosiologi hukum dan pendidikan sosiologi
tentang nilai-nilai spiritual. Dengan demikian, muncullah sosiologi terhadap jiwa manusia yang
dicakupi oleh sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) dan sosiologi etika. Tentu saja,
kecenderungan dalam ilmu sosiologi tersebut juga akan semakin mendorong tumbuh dan
berkembangnya disiplin sosiologi hukum ini.
Akan tetapi, sosiologi hukum dalam arti klasih sangat tersendat-sendat perkembangannya
disebabkan tidak kuatnya hubungan antara perkembangan teori sosiologi hukum yang sangat
lamban dan perkembangan masyarakat yang sangat cepat. Dengan demikian, masalah
penyesuaian hukum yang terus-menerus terhadap perkembangan masyarakat, atau yang disebut
dengan istilah “positivisasi hukum” luput dari pantauan sosiologi hukum, yang disebabkan oleh
factor-faktor sebagai berikut:
1. Tidak terklarifikasinya proses dasar terhadap formasi hukum, dengan tidak jelasnya arti
kata “yang seharusnya” (ought) dan tidak jelasnya fungsi dari peranan hukum sebagai
suatu struktur dari system sosial yang dalam kenyataannya semakin kompleks.
2. Ketika sosiologi hukum memulai perkembangannya, terjadi kemerosotan perkembangan
ilmu-ilmu sosial, khususnya ketika munculnya kontroversi secara meluas terutama di
daratan Eropa, di mana analogi Eropa yang sekatang sudah menjadi klasik, menyatakan
bahwa ada analogi antara masyarakat dan organisme biologis, kemudian dihidupkan
kembali oleh ilmu biologi pada abad ke-19. Dalam hal ini, telah terjadi peletakan yang
salah (mistaken positions) dari ilmu biologi yang, antara lain, mendalilkan bahwa bagian
yang besar dari masyatakat, bahkan kehidupan secara keseluruhan terdiri atas bagian-
bagian kehidupan yang kecil, yakni bagian dari kehidupan manusia. Dengan demikian,
dalam hal ini terjadi usaha-usaha yang kemudian ternyata gagal yang menghubungkan
masyarakat dan hukumnya dengan manusia dalam arti konkret (concrete human being).
Hal yang demikian telah meletakkan dan menganalisis masalah sosiologi hukum dan
tataran yang konkret, padahal sosiologi hukum nyatanya merupakan hal yang abstrak
sehingga akhirnya terjadi stagnasi dalam perkembangan sosiologi hukum.

36
Namun, kenyataan kemudian menunjukkan bahwa disiplin sosiologi hukum dan
masyarakat tetap berkembang dalam menganalisis hubungan antara hukum dan masyarakat,
bahkan kemudian berkembang ke tingkat sosiologi mikro dengan berbagai studi empiris
mengenai hukum dan perkembangan pemikiran yang menghubungkan antara proses positivitas
hukum dan sosiologi hukum. Perkembangan sosiologi hukum terus terjadi saat ini sehingga jika
dalam arti kiasik terhadap buah piker tentang sosiologi hukum dari Karl Marx, Emile
Durkheim, dan Max Weber, dalam pandangan yang lebih modern terdapat doktrin-doktrin
yang berkenaan dengan sosiologi hukum dalam paham-paham sociological jurisprudence, legal
realism, structural functionalism, critical legal studies, dan pendekatan semiotik terhadap
sosiologi hukum.

37
BAB III
SOSIOLOGI HUKUM
MENURUT PARA PERINTISNYA

Agar dapat mengetahui dan memahami ilmu sosioligi hukum secara mendalam, sangat
bermanfaat untuk mengetahui bagaimana pandangan dari para pelopor dan perintis ilmu
sosiologi hukum ini, yang telah meletakkan dasar-dasar terhadap ilmu sosiologi hukum
tersebut. Dalam hal ini, yang akan kita soroe adalah para pioneer sosiologi hukum, yaitu Emile
Durkheim, Max Weber, Eugen Ehrlich, dan Roscoe Pound.

A. SOSIOLOGI HUKUM DARI EMILE DURKHEIM


1. Prinsip Dasar Sosiologi Hukum
Emile Durkheim merupakan seorang sosiolog hukum berkebangsaan Prancis yang
menulis buku De La Division du Travail Social (tahun 1893) dan beberapa karangan lainnya,
seperti Division of labour atau suicide, dan beberapa artikel dlam majalah Annee Sociologique.
Emile Durkheim boleh dikatakan adalah yang pertama di dunia ini yang mengkaji hukum
secara sosiologis, yakni mengkaji hukum sebagai fenomena sosial. Jasa dari Emile Durkheim
sebenarnya bukan hanya dalam dunia sosiologi hukum, lebih-lebih dalam bidang ilmu
sosiologi, bahkan ilmu sosial pada umumnya. Malahan, Durkheim tidak pernah dengan sengaja
atau secara langsung mengembangkan disiplin sosiologi hukum, tetapi yang dikembangkan
adalah disiplin sosiologi dengan mengambil contoh-contoh dan ilustrasi-ilustrasi dalam bidang
hukum. Karena menurut Durkheim hukum merupakan symbol yang paling nyata (visible
symbol) dari masyarakat.
Emile Durkheim adalah seotang laki-laki keturunan Yahudi di Prancis. Lahir dari
keluarga petani, tetapi terdidik dalam tradisi pencerahan (en lightenment tradition), mendalami
hukum dan filsafat, yang kemudian menjadi dosen di Prancis
Durkheim telah banyak memengaruhi jalan pikiran para ahli setelahnya sePerti George
Davy, Marcel Mauss, dan Maurice Hauriou. Bahkan, banyak dari ajaran dan metoologi yang
digunakannya telah meninggalkan banyak perdebatan di kalangan ahli dalam berbagai bidang
ilmu hukum, misalnya, perdebatan dalam ilmu antropologi tentang hukum primitive atau
perdebatan dalam ilmu kriminologi tentang hakikat dari kejahatan.

38
Hanya saja, sebagaimana juga para ilmuwan lain yang sejaman dengannya, maka dalam
pekerjaan dan pengkajian Durkheim, pengaruh paham positivism sangatm menonjol. Karena
memang, ditahap-tahap awal berkembangnya Iilmu-ilmu sosial, peran dari paham positivism
sangat besar. Hal ini disebabkan karena perkembangan ilmu-ilmu sosial pada saat itu
dilatarbelakangi oleh semangat untuk menelaah masyarakat secara logical, scientific, dan
metodologis. Akan tetapi, perkembangan selanjutnyadari ilmu-ilmu sosial tersebut
menunjukkan bahwa dalam mempelajari masyarakat, telaahan-telaahan yang bersifat kesadaran
manusia (human consciousness), dan kesadaran diri (self consciousness) yang bersifat subjectif
dan introspektif justru menjadi sangat dominan. Pendekatan kepada msyarakat sebagai suatu
“benda” yang objektif kemudian diganti dengan pendekatan nonmaterial yang subjektif.
Meskipun begitu, Durkheim sendiri masih memandang masyarakat sebagai material yang
objektif dan nonmaterial yang subjektif sekaligus.
Durkheim insists upon the possibility of defining a subject matter for sociology which
encompasses non material reality, yet which at the same time meets the criteria of scientific
objectivity. In so doing he makes what is perhaps his most distinctive and enduring contribution
to sociological most fundamental rule is: consider social facts as things (Alan Hunt, 1978: 62).
Durkheim berpendapat bahwa terdapat suatu pergerakan paralel antara hukum yang
represif dan solidaritas mekanikal, dan hukum yang restitutif dengan solidaritas organik.
Hukum yang represif memberikan sanksi (termasuk sanksi pidana) kepada pelaku kejahatan,
dengan membentuk solidaritas mekanikal. Sedangkan sanksi restitutif akan melindungi
perbedaan-perbedaan dalam masyarakat, mendorong divisi buruh, dan lain-lain.
Metodologi yang digunakan oleh Durkheim berdasarkan suatu preposisi bahwa ketika
mempelajari fenomena sosial, kita harus melakukannya dengan menggunakan "manifestasi
yang terobservasi" (observable manifestations). Misalnya, ketika Durkheim berbicara tentang
konsep "fakta sosial" (social facts), dia berbicara tentang aksi sosial yang subjektif, yakni yang
merupakan manifestasi dari elemen subjektif atau elemen mental, yaitu nilai (values). sentimen,
dan pendapat yang semuanya merupakan suatu "fakta sosial" sehingga dapat dianalisis objektif
dan scientific, yang kemudian membentuk "perwakilan kolektif (collective representation).

39
Society is not mere sum of individuals. Rather, the system formed by their association
represents a specific reality which has its own characteristics. (Alan Hunt, 1978: 63).
(Masyarakat tidak hanya merupakan sekumpulan individu. Tetapi, lebih merupakan suatu
sistem yang dibentuk oleh perkumpulannya yang mewakili realitas tertentu dan memiliki
karakteristik tertentu pula).
Di samping itu, dalam telaahannya Durkheim banyak menggunakan konsep, seperti
kesadaran kolektif" (collective conscience), "pikiran kelompok" (group mind), "pemikiran
kolektif" (collective thinking), dan yang paling dikenal adalah konse tentang "solidaritas sosial"
(social solidarity) yang menempatkan kedudukan masyarakat jauh di atas kedudukan individu
sehingga pendapatnya sangat bertentangan dengan paham individualisme, khususnya paham
individualisme ekonomi dari teori ekonomi politik yang klasik. Karena itu, oleh banyak
kalangan, Durkheim dianggap sebagai sosiolog yang konservatif, yang juga merupakan tren
saat itu tentang keberadaan ahli-ahli Prancis yang konservatif pada abad ke-19 (nineteenth
century French conservatism). Mengapa masyarakat harus berkedudukan jauh di atas individu?
Jawabannya terdapat dalam kata-kata Durkheim berikut ini:
The individual finds himself in the presence of a force which is superior to him and
before which he bows ... Society command us because it is exterior and superior to us
(Alan Hunt, 1978: 63).
2. Hukum dan Solidaritas sosial
Emile Durkheim berpendapat bahwa suatu solidaritas sosial dapat dibagi ke dalam
solidaritas mekanis (mechanic solidarity) dan solidaritas organik (organic solidarity). Dengan
solidaritas mekanik, yang dimaksudkan oleh Durkheim adalah solidaritas dari masyarakat yang
sederhana, di mana para anggota masyarakatnya memiliki kesamaan pandangan dan keinginan.
Kesamaan pandangan yang membentuk kesamaan nilai tersebut akhirnya membentuk suatu
solidaritas kolektivisme. Dalam hal ini, karena suatu kesadaran kolektif yang besar,
menempatkan nilai individu pada tempat yang sangat lemah dan sering kali ditekan.
Sedangkan yang dimaksud dengan solidaritas organik adalah terdapatnya pembagian
pekerjaan yang tajam dalam masyarakat. Masyarakat saling membutuhkan karena
pertimbangan ekonomi dan sosial, di mana dalam masyarakat yang demikian, terjadi
spesialisasi pekerjaan dalam suatu patron yang rumit. Kesamaan pandangan berubah menjadi

40
perbedaan pandangan. Kesadaran kolektif yang sangat rendah digantikan apa yang oleh
Durkheim disebut dengan istilah "moralitas okupasional (occupational morality). Karena itu,
kesadaran kolektif semakin tertekan oleh penghargaan kepada individualisme.
Sejalan dengan perbedaan solidaritas dalam masyarakat antara kesadaran kolektif dan
moralitas okupasional, maka Durkheim kemudian membagi hukum pada hukum yang represif
dan hukum yang restitutif, di mana pergeseran dalam masyarakat dari hukum yang represif ke
hukum yang restitutif memerlukan suatu masa transisi yang berjalan secara evolutif.
Hukum represif yang dimaksudkan oleh Durkheim adalah hukum yang mengutamakan
konsep hukuman, seperti yang dimaksudkan dalam hukum pidana, dengan sanksi-sanksinya
yang menekan hak, kebebasan, dan kemerdekaan individu, demi kebersamaan/kolektivisme
dalam masyarakat. Dalam hal ini, rasa sentimen sosial dalam masyarakat sangat kuat.
Sedangkan dengan hukum yang restitutif, yang dimaksudkan oleh Durkheim adalah hukum
yang umumnya berisikan berbagai penyesuaian hubungan sosial yang terbit dari suatu
pembagian kerja yang tajam antar anggota masyarakat. Hukum yang restitutif ini berlaku bagi
masyarakat yang di dalamnya tidak ada kesadaran kolektif (conscience collective). Dengan
demikian, tidak ada yang namanya hilangnya kehormatan, kemerdekaan, hak-hak pribadi atas
penjatuhan sanksi-sanksi masyarakat yang bersifat restitutif tersebut.
Karena itu, sekilas pembagian hukum pada hukum yang represif dengan hukum yang
restitutif oleh Durkheim tersebut mirip dengan pembagian hukum antara hukum pidana dan
hukum perdata atau antara hukum public dan hukum privat. Akan tetapi, sebenarnya tidak
demikian yang dimaksudkan oleh Durkheim. Menurut Durkheim, semua hukum adalah
hukum public. Oleh karena itu, semua hukum adalah sosial (all law is social).
Hukum yang restitutif mengatur masyarakat dalam hubungan masyarakat yang terdiri
atas dua macam, yaitu:
a. Hubungan masyarakat yang negative, dan
b. Hubungan masyarakat yang positif.
Dalam hubungan masyarakat yang negatif, masyarakat berkepentingan dengan
"penghilangan" tertentu sehingga hukum dalam hubungan masyarakat yang negatif akan selalu
berurusan dengan hubungan antara manusia dan benda tertentu. Dengan demikian, hukum
tentang property dan hukum tentang perbuatan melawan hukum menurut Durkheim merupakan
hukum yang negatif karena kedua bidang hukum tersebut tidak berhubungan dengan hak-hak

41
positif, tetapi berhubungan dengan paksaan untuk "tidak merugikan" sesama anggota
masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hubungan masyarakat yang positif adalah suatu
hubungan yang berasal dari kerja sama antaranggota masyarakat sebagai akibat dari pembagian
kerja dalam masyarakat tersebut. Karena itu, hukum kontrak jelas merupakan ekspresi
masyarakat terhadap suuatu bentuk kerja sama tersebut.

A. SOSIOLOGI HUKUM DARI MAX WEBER


Max Weber (1864-1920) adalah seorang berkebangsaan Jerman yang berasal dari
keluarga upperclass yang beragama Protestan, yang hidup dalam lingkungan keluarga politis
dan menjalani studi bidang hukum. Akan tetapi, sebenarnya, Max Weber mempunyai latar
belakang bidang hukum, ekonomi, sejarah, filosofi, dan teleology. Karyanya yang terkenal,
antara lain, Economics and Sociality (1913) dan Sociology of Religion (1920).
Suatu Ketika Weber pernah menyatakan bahwa:
“Saya merupakan anggota dari kelas borjuis”
Pandangan-pandangan Weber kemudian juga sama sekali tidak lepas dari pandangan
golongan borjuis ini. Di samping itu, karena dia berasal dari lingkungan orang-orang politik,
maka masalah politik ini juga berpengaruh terhadap ajaran-ajarannya kelak.
Bahkan, dalam hidupnya, Weber ikut dalam berbagai kegiatan politik praktis di samping
kegiatannya di bidang akademik. Hanya saja, kegiatannya di bidang akademik jauh lebih
berhasil ketimbang kegiatannya dalam bidang politik. Meskipun begitu, dalam bidang politik
praktis, dia tidak pernah menjadi figur yang diperhitungkan. Sebagai seorang nasionalis sejati,
Weber merasa sangat kecewa, bahkan tertekan dengan suasana kevakuman politik pada akhir
era Bismarck. Dibandingkan dengan Marx, Weber lebih borjuis sehingga disebut- sebut
bahwa Weber adalah Marx yang borjuis (bourgeois Marx).
Ketika Weber meninggal dunia, banyak pekerjaan dalam bidang politik ataupun dalam
bidang ilmiah yang tidak terselesaikan. Akan tetapi, berbeda dengan sosiologi hukum dari
Emile Durkheim yang dewasa ini ajarannya sudah mulai dilupakan orang. Pandangan-
pandangan dari Max Weber sampai saat ini masih menghiasi berbagai perdebatan dan diskusi
yang berkenaan dengan sosiologi hukum karena memang sosiologi hukum dari Weber sangat

42
komprehensif. Talcott Parsons adalah di antara ahli sosioiogi hukum modern yang banyak
mengembangkan ide-ide dan konsep-konsep dari Max Weber.
Yang merupakan konsep sentral dari sosiologi Max Weber adalah konsepnya tentang
apa yang disebutnya sebagai "herrschaft". Herrschaft merupakan suatu konsep yang bersifat
subjektif, di mana antara satu individu dan individu lainnya saling memengaruhi. Menurut
konsep ini, seseorang yang dapat mendominasi akan memengaruhi yang lainnya. Pada
akhirnya, dominasi akan bersesuaian dengan otoritas, yang memberikannya suatu kekuasaan.
Konsep "dominasi" ini kemudian dalam sosiologi hukum menjadi "dominasi hukum" (legal
domination). Karena itu, sosiologi hukum menurut Weber tidak berurusan dengan karakteristik
internal dari suatu ketertiban hukum, tetapi sosiologi hukum berkepentingan dengan analisis
tentang hubungan antara sistem hukum dan sistem sosial lainnya. Dihubungkan dengan
konsepnya tentang "dominasi hukum," maka hukum bukan hanya merupakan bentuk khusus
dari ketertiban politik, melainkan juga merupakan suatu ketertiban sentral yang bersifat
mengatur secara independen. Di samping itu, Max Weber mengakui adanya dua kategori
hukum, yaitu:
1. Kategori hukum yang dibuat (law making); dan
2. Hukum yang ditemukan (law finding)
Max Weber mengakui pentingnya kedua kategori hukum tersebut.
Dalam hubungannya dengan dominasi hukum, Max Weber membagi tahap
perkembangannya ke dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Bentuk tradisional;
2. Bentuk otoritas karismatik; dan
3. Bentuk hukum rasional.
Selanjutnya, bagaimana ketiga bentuk dominasi hukum tersebut berpengaruh ke dalam
masyarakat, dapat dilihat dalam table berikut ini:

Legitimasi Administrasi Kepatuhan Proses Format Corak


Judisial Keadilan pikir
hukum

Tradisional Tradisional Patrimonial Tradisional Kombinasi Keadilan Format


antara empiris Irasional
43
empiris, yang dan
keadilan sekuler substantive
substantive, atau rasional
dan teokratis
personal
(kadi)

Karismatik Otoritas Tidak ada Respons Wahyu, Keadilan Format


Karismatik administrasi terhadap keadilan yang irasional,
pimpinan empiris, karismatiik sustantif
yang formalisme irasional
karismatik

Rasional Rasional Birokrasi Impersonal, Rasional, Keadilan Format


Legal legal professional patuh Profesional Rasional rasional
terhadap dan logis
system

(Alan Hunt, 1978:119)


Selanjutnya, menurut Max Weber, dominasi hukum atau otoritas hukum dijalankan atas
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Norma-norma umum dibentuk atas dasar imposition atau perjanjian.
2. Hukum merupakan sistem yang konsisten, yang secara sadar dibuat dari aturan-aturan yang
abstrak.
3. Superior selalu harus tunduk pada aturan. Segala sikap tindaknya harus sesuai dengan
ketertiban yang bersifat impersonal. 4. Kepatuhan hukum harus langsung pada rule of law.
4. Kepatuhan kepada pemimpin bukanlah kepada pemimpin itu sendiri, melainkan pada
ketertiban yang bersifat impersonal. Sedangkan birokrasi hanyalah bentuk asli dari
dominasi hukum.
Sebagai ahli hukum dari negara Eropa Kontinental, maka Max Weber sangat memahami
hukum Romawi. Akan tetapi, menurutnya, perkembangan kapitalisme di Eropa bukan didasari
atas hukum Romawi, melainkan atas konsep-konsep hukum zaman pertengahan.

44
Weber membagi tiga tipologi dalam hal perkembangan hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Pembuatan hukum;
2. Kualitas formal dari hukum yang dihasilkan; dan
3. Tipe keadilan yang dihasilkan.
Disamping itu, perkembangan pembangunan hukum dalam sejarah hukum menurut
pandangan Max Weber dilakukan dalam berbagai tahap sebagai berikut:

Model Penciptaan Kualitas Formal Tipe Keadilan

Karismatik Formalism magis Keadilan yang karismatik

Bergantung kepada
Empirikal Keadilan Khadi
honoratiores

Rasional Secara Substantif-


Teoretis Sekuler Keadilan Empiris
teoritis

Profesional Logis Keadilan yang rasional

(Alan Hunt, 1978:107)


Dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan, masalah sentral dari sosiologi hukum dari
Max Weber berkisar pada tiga persoalan berikut ini:
1. Masalah hubungan antara hukum dan dominasi.
2. Masalah hubungan antara hukum dan struktur politik/negara.
3. Masalah hubungan antara hukum dan sistem ekonomi.
Di samping itu, Max Weber juga banyak berbicara tentang perkembangan hukum dari -
suatu bangsa yang dimulai dengan suatu sistem hukum yang primitif. Menurutnya, suatu sistem
hukum yang primitif merupakan suatu sistem hukum yang formal irasional. Ciri-ciri hukum
primitif menurut Weber adalah sebagai berikut:
1. Validitas hukum sangat bergantung pada kesakralan pencipta hukum.
2. Sangat bergantung pada hal-hal yang bersifat magis.
3. Karakteristik magisnya inherent dalam formalismenya.

45
4. Keadilan khadi, artinya kepada hakim diberikan kebebasan sebesarbesarnya untuk mencari
keadilan.
5. Hukum menjadi tidak rasional.
6. Sangat bergantung pada prosedur yang detail.
7. Pada awalnya, hukum dikembangkan oleh pidato-pidato hukum dan putusan pejabat
hukum.
8. Kemudian, hukum dikembangkan oleh para penerap hukum yang karismatis dan
menjalankannya dengan bersandarkan pada kebijaksanaan hukum (legal wisdom)
9. Karena unsur karismatik, maka kurang diperhatikan pengembangan hukum substansif yang
konsisten.
Max Weber percaya akan proses rasionalisasi hukum, yang dipersepsinya sebagai transisi
dari hukum substantif yang rasional menjadi hukum formal yang rasional. Proses ini menjurus
pada formulasi hukum yang abstrak dan hukum dipandang sebagai suatu operasi mesin rasional
yang bersifat teknis. Oleh karena itu, hukum yang diinginkan oleh Max Weber sangat mirip
dengan hukum murni (pure law) dari Hans Kelsen.
Rasionalisasi hukum menurut Max Weber juga terkait dengan eksistensi hukum alam,
yang dianggap lebih tinggi kedudukannya dari hukum positif. Hukum alam berpengaruh
terhadap rasionalisasi hukum dan Weber melihatnya dari sudut pandang sosiologi hukum,
bukan dari sudut pandang yuridis atau filosofis. Menurut teori sosiologi, hukum alam menjadi
relevan manakala dapat memengaruhi secara langsung terhadap kehidupan manusia. Sering kali
proses rasionalisasi atau perubahan hukum dilakukan atas nama hukum alam.
Dapat dikatakan bahwa Max Weber tidak hanya telah mengukir sejarah dengan telah
meletakkan dasar-dasar teoretis tentang sosilogi hukum, tetapi juga telah membuka mata para
ahli akan eksistensi dan pentingnya peran yang dimainkan oleh cabang ilmu yang disebut
dengan sosiologi hukum. Karena itu, seperti telah disebutkan di muka bahwa banyak dari teori
Max Weber mengenai berbagai bagian dari sosiologi hukum ini masih tetap saja didiskusikan
sampai saat ini.

B. SOSIOLOGI HUKUM DARI EUGEN EHRLICH


. Eugen Ehrlich (1862-1922), seorang profesor hukum dari Austria keturunan Yahudi,
merupakan salah seorang pelopor sosiologi hukum yang juga banyak jasanya dalam

46
mengembangkan disiplin sosiologi hukum ini. Eugen Ehrlich hidup sezaman dengan para
pelopor sosiologi hukum yang lain, yaitu Emile Durkheim dan Max Weber. Pada awalnya,
Ehrlich mendalami ilmu hukum Romawi dengan spesialisnya di bidang hukum perdata, dan
pada akhir hayatnya Eropa sendiri sedang berada di ambang Perang Dunia Pertama. Jadi,
Eugen Ehrlich memang hidup pada zaman perang, di mana akibat perang, negaranya, yaitu
Austria menjadi tercabik-cabik, dan suku Austria sendiri merupakan suku minoritas.

Sampai saat meninggal dunia (karena penyakit diabetes), Ehrlich belum sempat
merefleksi dalam pikiran dan hasil karyanya tentang perubahan politik yang sedang terjadi di
Eropa pada umumnya dan khususnya di Austria. Perlu diketahui bahwa Ehrlich meninggal
dengan tiba-tiba sehingga banyak di antara pekerjaannya yang tidak sempat diselesaikannya.

Dalam perkembangannya, Ehrlich mulai mempertanyakan, bahkan menggugat paham


begrifssjurisprudence, suatu paham yang semata-mata mengembangkan suatu ketertiban
hukum atas dasar susunan yang logis dalam tatanan suatu hukum positif dengan mengabaikan
sama sekali perkembangan masyarakat dan interrelasi antara perkembangan masyarakat dan
perkembangan hukum.

Ehrlich memperkenalkan konsep "hukum yang hidup" (living law) dan "kehidupan
hukum" (legal life) yang merupakan dasar bagi suatu "penemuan hukum yang bebas" (free
finding of law) agar hukum tertulis dapat selalu mengadaptasi perkembangan masyarakat dalam
wujud dogmatisme dan begriffsjurisprudenz. Ehrlich berharap agar ilmu hukum dapat
dikembangkan menjadi suatu "teknologi sosial" (social technology).

Ehrlich juga sangat menentang ilmu hukum dogmatis. Karena itu, dia lebih menonjolkan
fakta ketimbang fiksi.

Juga, harapan Ehrlich adalah agar praktik hukum dapat ditingkatkan mutunya dengan
bantuan dari lain dan teknologi yang lagi berkembang saat itu. Di samping itu, ajaran dari
Ehrlich banyak kesamaannya dengan konsep liberalisme dan evolusionisme. Harapan dari
Ehrlich adalah agar dapat tercapai program besarnya, yaitu penjelasan yang scientific terhadap
hukum.

Pandangan dari Erhlich dalam bidang sosiologi hukum juga dapat terliha dalam beberapa
pernyataan berikut ini:

47
1. Akan ada situasi dalam hidup ini di mana seorang ahli hukum harus mengambil keputusan
hukum tanpa dapat berpedoman pada norma hukum manapun. Namun, mereka sampai juga
pada keputusan hukumnya. Bagaimana mereka mengambil keputusan tersebut.
2. Jika para ahli hukum dapat mengambil keputusan hukum tanpa berdasarkan norma hukum
yang tegas, berarti hukum lebih dari hanya sekadar apa yang terdapat dalam undang-
undang, kitab-kitab komentar hukum, atau kumpulan putusan pengadilan. Jadi, apakah
hukum dalam kenyataan itu (the law in action).
3. Jika memang ada kehidupan hukum (legal life) yang terpisah dari norma hukum tertulis
atau putusan hakim, bagaimanakah hubungannya dengan ilmu hukum atau dengan
tindakan-tindakan dari ahli hukum. Bukankah akan menjadi ahli hukum yang baik
seandainya mereka dapat mengetahui bukan hanya hukum yang tertulis, melainkan juga
kehidupan hukum (legal life).
4. Jika ada hubungan antara kehidupan hukum dan tindakan dari para ahli hukum, apakah
berfungsi atau tidak berfungsinya hukum secara historikal mengindikasikan bagaimana
baik atau jelek suatu ilmu hukum atau praktik hukum telah disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat secara bertahap dalam perkembangannya.
5. Jika hubungan antara kehidupan hukum di satu pihak dan praktik hukum serta ilmu hukum
di lain pihak dapat menjadi indicator terhadap berfungsi atau tidaknya suatu hukum,
bukankah pengetahuan tersebut dapat menolong hukum agar sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
(Klaus A. Ziegert, 1979: 237)
Dalam hubungan dengan konsepnya tentang living law, Eugen Ehrlich memberikan
pendapatnya sebagai berikut:
1. Hukum memberikan bentuk pada organisasi kemasyarakatan dan organisasi
kemasyarakatan diorganisasi oleh masyarakat.
2. Hukum tidak diciptakan atau dipertahankan oleh sanksi. Sanksi itu sendiri hanyalah
sebagai konsekuensi dari organisasi faktual dalam masyarakat.
3. Hukum tamanya bukanlah alat untuk menyelesaikan konflik, melainkan hanyalah
merupakan ekspresi dari ketertiban faktual dalam masyarakat. Namun, praktik hukum dan
ilmu hukum diperlukan untuk menerapkan norma- norma dalam masyarakat sehingga
menjadi hampir satu-satunya penyelesai sengketa dalam masyarakat.

48
4. Hukum bukan merupakan alat dari kekuasaan politik, melainkan parlemen yang dapat
menjadi sarana penting untuk perubahan sosial dan perubahan hukum.
5. Hukum bukanlah negara dan pengadilan bukanlah lembaga negara. Akan tetapi, hukum
negara dapat merupakan faktor yang dominan dalam hukum positif meskipun bukan faktor
dominan dalam living law.
Selanjutnya, dalam rangka kodifikasi dari suatu undang-undang, terdapat tahap-tahap
yang menurut Eugen Ehrlich adalah sebagai berikut:
1. Tahap terorganisasinya norma-norma dalam masyarakat.
2. Tahap terbentuknya putusan-putusan para ahli hukum.
3. Tahap terbentuknya suatu pendapat dalam ilmu hukum.
4. Tahap pembuatan peraturan-peraturan legislasi.
5. Tahap pembuatan kodifikasi.
Dalam hubungan dengan pembentukan suatu undang-undang, Eugen Ehrlich
memberikan tiga prasyarat yang bersifat fungsional, yaitu, sebagai berikut:
1. Organizational norms: yang merupakan norma-norma yang terorganisasi yang terdapat
dalam masyarakat.
2. Norms for decisions: yang merupakan peranan dan prosedur hukum yang berbasiskan
kasus per kasus.
3. State law yang merupakan undang-undang yang sarat dengan kepentingan politik.
Kemudian, di samping tiga model norma tersebut di atas, ada satu norma lagi yang
mempunyai kedudukan paling atas, tetapi tidak disentuh oleh Ehrlich, yaitu norma-norma
konstitusional, yang berisikan pokok-pokok nilai hidup yang bersifat normatif, yang didasari
pada kepentingan dan konsensus politik.
Selanjutnya, menurut Erhlich, sebagai suatu bidang dari ilmu sosiologi, maka sosiologi
hukum menggunakan metode induktif, empiris, dan deskriptif, di mana metode-metode tersebut
tidak dipergunakan oleh ilmu hukum. Karena itu, ilmu hukum dari tradisi Eropa Kontinental
yang bersifat dogmatis, deduktif, dan teoritikal membutuhkan banyuan dari sains modern.

C. SOSIOLOGI HUKUM DARI ROSCOE POUND


Perkembangan disiplin sosiologi hukum di Amerika Serikat tentu saja tidak terlepas dari
hasil kerja selama pufuhan tahun dari Roscoe Pound, seorang dekan dari Fakultas Hukum di
Universitas Harvard, meskipun dia menamakan hasil renungannya sebagai sociological

49
jurisprudence, yang sebenarnya sedikit saja berbeda dengan sociology of law (sosiologi
hukum). Hasil karya Roscoe Pound menjadi tidak tertandingi di USA karena hasil karyanya
yang dikerjakannya dengan tekun dalam hidupnya yang panjang (1870-1964). Meskipun
begitu, harus diakui pula bahwa tidak mudah mencerna, menganalisis, apalagi menyimpufkan
terhadap pendapat-pendapat dari Roscoe Pound, berhubung pendapat dan hasil karyanya yang
sangat berserakan dalam berbagai jurnal dan buku-bukunya.
Ucapannya yang sangat terkenal dalam bidang sosiologi hukum adalah penggunaan
hukum sebagai a tool of social engineering (alat rakayasa masyarakat), yang sampai saat ini
banyak dipergunakan orang.
Pemikiran-pemikiran dari Roscoe Pound tentang sosiologi hukum dihasilkan umumnya
berkisar pada adanya konfrontasi yang konstan dari berbagai masalah berikut ini:
1. Masalah sosiologi (tentang kontrol dan kepentingan masyarakat).
2. Masalah filosofis (tentang teori nilai yang pragmatis dan eksperimental).
3. Masalah sejarah hukum (tentang metode pengukuran stabilitas dan fleksibilitas dalam
putusan yang berdasarkan sistem juri).
4. Masalah proses kerja dari pengadilan Amerika (tentang diskresi administratif dari proses
pengadilan).
Sedangkan yang menjadi tema dari.pandangan Roscou Pound beraneka ragam, tetapi
dapat dikatakan bahwa yang merupakan tema-tema pilihan adalah:
1. Studi tentang efek sosial yang aktual dari doktrin dan institusi hukum. Dalam hal ini,
proses bekerjanya hukum lebih banyak mendapat perhatian daripada hukum yang abstrak.
2. Studi sosiologis dalam hubungannya dengan pembentukkan hukum di parlemen. Dalam hal
ini, hukum dipandang sebagai institusi masyarakat, tetapi dapat ditingkatkan mutunya
dengan usaha-usaha yang cerdas.
3. Studi tentang cara-cara membuat suatu aturan agar menjadi efektif. Dalam hal ini hukum
lebih dipersepsikan sebagai kehendak masyarakat daripada sebagai kumpulan sanksi-
sanksi.
4. Studi tentang sejarah hukum secara sosiologis, di mana diamati adalah efek sosial yang
dihasilkan oleh hukum pada masa lalu dan bagaimana memproduksikan efek sosial
tersebut.

50
5. Studi tentang penerapan hukum yang berkeadilan (equitable application of law) dengan
penggunaan kaidah-kaidah hukum lebih sebagai pedoman saja.
6. Studi tentang bagaimana agar suatu tujuan hukum dapat dicapai secara efektif.
Dalam menganalisis hukum dalam hubungannya dengan masyarakat, Roscoe Pound
membeda-bedakan hukum ke dalam berbagai kategori berikut ini:
1. Proses pengadilan (administration of justice).
2. Hukum (law).
3. Ketertiban hukum (legal order).
4. Pendapat jury aural value).
Dalam kategori hukum (law) dalam pandangan sosiologis, dapat dipilah ke dalam
tingkatan sebagai berikut:
1. Tingkatan aturan (rules) yang tentunya sangat rigid.
2. Tingkatan prinsip. Konsep dan standar hukum (lebih fleksibel).
3. Tingkatan hukum discretionary yang berdasarkan intuisi (sangat fleksibel).
Menurut Roscoe Pound, suatu hukum yang baik adalah hukum yang ideal- realistik,
yang merupakan kombinasi dari paham idealisme dan paham pragmatisme, yang menurut
Pound, merupakan kombinasi antara unsur-unsur sebagai berikut:
1. Unsur realitas sosial dari hukum berupa kebutuhan sosial (social needs), kepentingan sosial
(social interest), penyesuaian sosial (social adjustment), dan
2. Elemen ideal dalam masyarakat berupa nilai-nilai spiritual.
Dengan adanya usaha mengombinasikan dua unsur tersebut, menyebabkan ajaran dari
Roscoe Pound saling bercampur-baur antara pendekatan terhadap hukum secara sosiologis
(realitas masyarakat) dan unsur filosofis (khususnya sociological jurisprudence) atau unsur
moral/spiritual. Meski pun harus diakui, peranan dari Roscoe Pound sangat luar biasa dalam
mengambangkan disiplin sosiologi hukum di bumi Amerika Serikat dan pengaruhnya dapat
dirasakan di seluruh dunia sampai saat ini.
Di samping itu, Roscoe Pound dalam karya-karyanya sangat mementingkan kepentingan
masyarakat dari suatu hukum sehingga ada sebagian ahli yang berpendapat bahwa ajaran-ajaran
Roscoe Pound bersesuaian atau bahkan mengikuti paham utilitiarisme. Akan tetapi,
sebenarnya ajaran Roscoe Pound tidak berasal dari paham utilitiarisme, bahkan dalam banyak
hal Roscoe Pound berseberangan dengan Otto von Jhering (salah seorang pelopor paham

51
utilitiarisme). Pandangan Roscoe Pound tersebut bergerak dari adanya fakta tentang selalu
terjadinya konflik antarkelompok-kelompok dalam masyarakat, konflik mana mestilah
diselesaikan dengan cara mengombinasikan kebijaksanaan administratif, standar hukum yang
fleksibel, dan penerapan hukum common law yang lebih tegas.

BAB IV
FUNGSI HUKUM DALAM MASYARAKAT

A. FUNGSI HUKUM DALAM MASYARAKAT MAJU


Fungsi hukum dalam masyarakat yang sudah maju dapat dilihat dari dua sisi. Sisi
pertama, di mana kemajuan masyarakat dalam berbagai bidang membutuhkan aturan hukum
untuk mengaturnya. Dengan demikian, sektor hukum pun ikut ditarik-tarik eleh perkembangan

52
masyarakat tersebut. Dan sisi kedua, adalah di mana hukum yang baik dapat mengembangkan
masyarakat atau mengarahkan perkembangan masyarakat.

Bagaimanapun, fungsi hukum dalam masyarakat sangat beraneka ragam, bergantung


pada berbagai faktor dan keadaan masyarakat. Di samping itu, fungsi hukum dalam masyarakat
yang belum maju juga akan berbeda dengan yang terdapat dalam masyarakat maju. Dalam
setiap masyarakat, hukum Lebih berfungsi untuk menjamin keamanan dalam masyarakat dan
jaminan pencapaian struktur sosial yang diharapkan oleh masyarakat. Namun, dalam
masyarakat yang sudah maju, hukum menjadi Lebih umum, abstrak, dan lebih berjarak dengan
konteksnya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi hukum dalam masyarakat adalah sebagai
berikut:

1. Fungsi Memfasilitasi
Dalam hal ini termasuk memfasilitasi sehingga tercapai suatu ketertiban.
2. Fungsi Represif
Dalam hal ini termasuk penggunaan hukum sebagai alat bagi elite berkuasa untuk
mencapai tujuan-tujuannya.
3. Fungsi Ideologis
Dalam hal ini termasuk menjamin pencapaian legitimasi, hegemoni, dominasi, kebebasan,
kemerdekaan, keadilan, dan lain-lain.
4. Fungsi Reflektif
Dalam hal ini hukum merefleksi keinginan bersama dalam masyarakat sehingga mestinya
hukum bersifat netral.

Selanjutnya, Aubert menyatakan bahwa fungsi hukum dalam masyarakat adalah sebagai
berikut:
1. Fungsi mengatur (governance).
2. Fungsi distribusi sumber daya.
3. Fungsi safeguard terhadap ekspektasi masyarakat.
4. Fungsi penyelesaian konflik.
5. Fungsi ekspresi dari nilai dan cita dalam masyarakat.
(Dragan Milovanovic, 1988:120).

53
Sedangkan seorang sosiolog hukum dari Polandia, yaitu Podgorecki, menyatakan bahwa
fungsi hukum dalam masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Fungsi Integrasi
Yakni bagaimana hukum merealisasi saling berharap (mutual expectation) dari masyarakat.
2. Fungsi Petrifikasi
Yakni bagaimana hukum melakukan seleksi dari pola-pola perilaku manusia agar dapat
mencapai tujuan-tujuan sosial.
3. Fungsi Reduksi
Yakni bagaimana hukum menyeleksi sikap manusia yang berbedabeda dalam masyarakat
yang kompleks sehingga sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, hukum
berfungsi untuk mereduksi kompleksitas ke dalam pembuatan putusan-putusan tertentu.
4. Fungsi Memotivasi
Yakni hukum mengatur agar manusia dapat memilih perilaku yang sesuai dengan nilai-
nilai dalam masyarakat.
5. Fungsi Edukasi
Yakni hukum bukan saja menghukum dan memotivasi masyarakat, melainkan juga
melakukan edukasi dan sosialisasi.
Selanjutnya, menurut Podgorecki, fungsi hukum yang aktual harus dianalisis melalui
berbagai hipotesis sebagai berikut:
1. Hukum tertulis dapat ditafsirkan secara berbeda-beda, sesuai dengan system sosial dan
ekonomi masyarakat.
2. Hukum tertulis ditafsirkan secara berbeda-beda oleh berbagai subkultur dalam masyarakat.
Misalnya, hukum akan ditafsirkan secara berbeda-beda oleh mahasiswa, dosen, advokat,
polisi, hakim, artis, tentara, orang-bisnis, birokrat, dan sebagainya.
3. Hukum tertulis dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh berbagai personalitas dalam
masyarakat yang diakibatkan oleh berbedanya kekuatan/kepentingan ekonomi, politik, dan
psikososial. Misalnya, golongan tua lebih menghormati hukum daripada golongan muda.
Masyarakat tahun 1960-an Lebih sensitif terhadap hak dan kebebasan dari pekerja.
4. Faktor prosedur formal dan frameworks yang bersifat semantik lebih menentukan terhadap
suatu putusan hukum dibandingkan faktor hukum substantif.

54
5. Bahkan, jika sistem-sistem sosial bergerak secara seimbang dan harmonis, tidak berarti
bahwa hukum hanya sekadar membagibagikan hadiah atau hukuman.
(Dragan Milovanovic, 1988:122).
Sebagaimana diketahui bahwa antara hukum, kekuasaan, dan politik sangat erat
kaitannya, serta studi tentang hubungan antara komponen hukum, kekuasaan, dan politik juga
merupakan bidang yang mendapat kajian dari sosiologi hukum. Sementara bagaimana
hubungan antara kekuasaan dan administrasi peradilan dalam berbagai tahapan perkembangan
hukum, dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Bentuk Dominasi
Tradisional Karismatik Rasional Legal
1. Legitimasi Tradisional. Otoritas Karismatik Rasional Legal
Otoritas dari raja para pemimpin
2. Administrasii Patrimonial Tidak ada Birokrasi
administrasi, tetapi professional
hanya rutinitas
3. Kepatuhan Tradisional respons Respons terhadap Kepatuhan bukan
terhadap pemegang pemimpin karismatik terhadap personal
kekuasaan tradisional melainkan terhadap
(misalnya raja) system
4. Proses Judicial Kombinasi antara Wahyu: keadilan Rasional, dengan
keadilan empiris, empiris, penekanan peraturan yang
keadilan substantive, terhadap formalisme abstrak
dan personal (khadi) dan otoritas intuisi
dari pemimpin
karismatik
5. Keadilan Keadilan yang Keadilan yang Keadilan yang
empiris (secular atau karismatik rasional
empiris)
6. Pemikiran Irasional formal/ Irasional formal/ Rasional formal yang
Hukum rasional substantif irasional substantif logis
Sumber: (Satjipto Rahardjo, t.t.: 42)

55
B. HUKUM SEBAGAI SARANA PERUBAHAN SOSIAL
Perubahan sosial dalam hubungannya dengan sektor hukum merupakan salah satu kajian
penting dari disiplin sosiologi hukum. Hubungan antara perubahan sosial dan sektor hukum
tersebut merupakan hubungan interaksi, dalam arti terdapat pengaruh perubahan sosial terhadap
perubahan sektor hukum sementara di pihak lain perubahan hukum juga berpengaruh terhadap
suatu perubahan sosial. Perubahan hukum yang dapat memengaruhi perubahan sosial sejalan
dengan salah satu fungsi hukum, yakni fungsi hukum sebagai sarana perubahan sosial atau
sarana rekayasa masyarakat (social engineering).

Dalam sistem hukum yang maju dengan pembuatan dan perkembangan hukum didesain
secara profesional dan logis, tidak disangsikan lagi bahwa produk hukum dapat memengaruhi,
bahkan mengubah sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Hanya saja sebelum suatu produk hukum diubah, baik oleh parlemen, pemerintah,
maupun pengadilan, terlebih dahulu sudah ada teriakan/ kebutuhan dalam masyarakat akan
perubahan tersebut. Semakin cepat hukum merespons suara pembaruan/perubahan hukum
dalam masyarakat, semakin besar pula peran yang dimainkan oleh hukum untuk perubahan
masyarakat tersebut. Sebaliknya, Hsemakin lamban hukum merespons suara-suara pembaruan
dalam masyarakat, semakin kecil fungsi dan andil hukum dalarri mengubah masyarakat
tersebut karena masyarakat sudah terlebih dahulu mengubah dirinya sendiri. Dalam hal ini,
hukum hanyalah berfungsi sebagai ratifikasi dan legitimasi saja sehingga dalam kasus seperti
ini bukan hukum yang mengubah masyarakat, melainkan perkembangan masyarakat yang
mengubah hukum.

Perubahan hukum, yang kemudian dapat mengubah suatu pandangan/ sikap dan
kehidupan suatu masyarakat berasal dari berbagai stimulus sebagai berikut:

1. Berbagai perubahan secara evolutif terhadap norma-norma dalam masyarakat.


2. Kebutuhan dadakan dari masyarakat karena adanya keadaan khusus atau keadaan darurat
khususnya dalam hubungan dengan distribusi sumber daya atau dalam hubungan dengan
standar baru tentang keadilan.
3. Atas inisiatif dari kelompok kecil masyarakat yang dapat melihat jauh ke depan yang
kemudian sedikit demi sedikit memengaruhi pandangan dan cara hidup masyarakat
4. Ada ketidakadilan secara teknikal hukum yang meminta diubahnya hukum tersebut.

56
5. Ada ketidakkonsistenan dalam tubuh hukum yang juga meminta perubahan terhadap
hukum tersebut.
6. Ada perkembangan pengetahuan dan teknologi yang memunculkan bentukan baru terhadap
bidang hukum tertentu, seperti penemuan alat bukti baru untuk membuktikan sesuatu fakta.
(W. Friedman, 1972:45)
Adalah Roscoe Pound yang pertama sekali menyatakan bahwa hukum merupakan sarana
pembangunan masyarakat (a tool of social engineering). Ungkapan ini berbeda dengan
pandangan yang umumnya dianut saat itu bahwa bukan perubahan hukum yang memengaruhi
perkembangan masyarakat, melainkan perubahan dalam masyarakat yang memengaruhi
perkembangan hukum. Akan tetapi, ilmu sosiologi hukum kemudian membuktikan bahwa
kedua statement tersebut sama benarnya. Artinya, di satu pihak perubahan masyarakat
memengaruhi perkembangan hukum, tetapi sebaliknya juga benar bahwa perubahan hukum
dapat memengaruhi perkembangan masyarakat. Misalnya, perkembangan revolusi di bidang
hubungan seksual dalam masyarakat telah banyak memengaruhi perkembangan hukum di
bidang hukum keluarga, hukum perkawinan dan perceraian, hukum waris, hukum pidana,
tentang aborsi, pornografi, dan sebagainya. Namun, di lain pihak perkembangan hukum-hukum
di bidang tersebut selanjutnya juga telah memengaruhi perkembangan pandangan dan sikap
seksual dalam masyarakat.
Kemudian, dalam suatu masyarakat terdapat aspek positif dan negatif dari suatu gaya
pemerintahan yang superaktif. Negatifnya adalah kecenderungan menjadi pemerintahan yang
tirani dan totaliter. Sedangkan positifnya adalah bahwa gaya pemerintahan yang superaktif
tersebut biasanya menyebabkan banyak dilakukannya perubahan hukum dan perundang-
undangan yang dapat mempercepat terjadinya perubahan dan perkembangan dalam masyarakat.
Jadi, perkembangan masyarakat seperti ini bisa ke arah yang positif, tetapi bisa juga ke hukum
dengan sendirinya juga merupakan lembaga (agency) kontrol sosial.
Meskipun peran hukum sebagai alat kontrol sosial bervariasi di antara masing- masing
tipe masyarakat, di antara semua alat kontrol sosial tersebut hukum merupakan alat kontrol
sosial yang:
 Paling khusus
 Paling jelimet
 Paling pasti

57
 Paling konklusif
 Paling final
 Paling renovatif
Menurut E.A. Ross, sebagai alat kontrol sosial, hukum merupakan:
"The cornerstone of the edifice of order, the most specialized and highly finished engine
of control employed by society" (Georges Gurvitch, 1982: 24).
Jadi, sebagai alat kontrol sosial, hukum akan mempertahankan model kehidupan sosial
yang ada, khususnya kehidupan sosial yang dianggap baik dan diterima oleh mayoritas
masyarakat. Ini merupakan tampilan hukum sebagai alat kontrol sosial yang konservatif. Di
samping itu, terdapat juga tampilan hukum sebagai alat kontrol sosial yang dinamis. Dalam hal
ini, hukum akan berwujud sebagai alat untuk menghentikan model-model kehidupan sosial
yang dianggap tidak baik dan tidak diterima oleh mayoritas masyarakat dan mengamankan
pergantiannya dengan model realitas sosial yang baru.
Dalam berperannya hukurn sebagai alat kontrol sosial tersebut, hukum akan berperan
dalam setiap lapisan realitas sosial yang merupakan wujud konkret dari kehidupan sosial.
Menurut sosiolog asal Prancis, Emile Durkheim (1858-1917) terdapat beberapa lapisan dari
suatu realitas sosial. Lapisan dari realitas sosial tersebut adalah sebagai berikut:
1. Lapisan dalam Bentuk Dasar-Dasar Geografis dan Demografis
Ini merupakan lapisan paling atas dari realitas sosial. Dalam hal ini, kebutuhan masyarakat,
seperti makanan atau komunikasi menjadi dasar bagi masyarakat manakala faktor-faktor
tersebut merupakan hasil transformasi dari tindakan kolektif masyarakat atas desakan dari
simbol, cita-cita, dan nilai-nilai dalam masyarakat.
2. Lapisan Institusi dan Tabiat Kolektif (Collective Behaviour).
Lapisan institusi dan tabiat kolektif (collective behaviour) ini merupakan lapisan kedua
dalam suatu realitas sosial. Dalam lapisan yang bersifat morfologis ini, dijumpai institusi
masyarakat dan tingkah laku masyarakat yang mengkristal dalam bentuk-bentuk kebiasaan
praktik atau organisasi.
3. Lapisan Simbol-Simbol
Lapisan ini berhubungan langsung dengan institusi yang berfungsi sebagai tanda atau
sarana praktik, seperti lambang, bendera, objek suci, dogma- dogma, prosedur, sanksi, atau
kebiasaan.

58
4. Lapisan Nilai (Value) dan Tujuan Kolektif
Lapisan yang berada di bawah lapisan simbolis ini merupakan produk dari suatu kehidupan
sosial yang mengarahkan suatu pemikiran kolektif yang bebas.
5. Lapisan Pikiran Kolektif (Collective Mind)
Lapisan pikiran kolektif ini merupakan memori kolektif, representasi kolektif, perasaan
kolektif, kecenderungan, dan aspirasi kolektif, dalam suatu kesadaran individual.
(Georges Gurvitch, 1982: 31).
Ketika orang mulai menelaah hukum dalam hubungannya dengan perubahan masyarakat,
dengan mudah kita dapat menarik suatu asumsi bahwa perubahan dan kekuatan-kekuatan dalam
masyarakat ikut memberi warna pada sektor hukum. Hanya saja, belakangan ini mulai dikaji
oleh sosiologi hukum tentang hal yang sebaliknya, yaitu bagaimana hukum menyebabkan
perubahan sosial.
Meskipun begitu, tidak semua dan kalangan para ahli (terutama yang bukan ahli hukum)
dapat melihat pentingnya peranan hukum dalam mengubah kehidupan masyarakat. Tanpa
menyebutkan sektor hukum yang dapat menyebabkan suatu perubahan sosial, William F.
Ogburn berpendapat bahwa faktor perkembangan teknologi dan organisasi ekonomi yang
menyebabkan terjadinya suatu perubahan sosial. Selanjutnya, Arnold M. Rose dalam teorinya
menyebutkan tiga faktor yang menyebabkan suatu perubahan sosial, tidak Mtermasuk faktor
hukum. Ketiga faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kumulasi penemuan teknologi.
2. Kontrak atau konflik antarkebudayaan.
3. Gerakan sosial (social movement).
(Soerjono Soekanto, 2005:108).
Kemudian, teori kebudayaan yang tentunya dianut oleh para ahli kebudayaan
mengemukakan bahwa penyebab utama terjadinya perubahan masyarakat adalah bertemunya
dua atau Lebih kebudayaan yang berbeda sehingga masing-masing masyarakat akan
menyesuaikan kebudayaannya dengan kebudayaan baru untuk mendapatkan sistem kebudayaan
yang lebih baik menurut penilaian mereka. Sementara itu, teori gerakan sosial menyatakan
bahwa perubahan masyarakat terjadi karena adanya gerakan sosial di mana gerakan sosial
tersebut terjadi karena unsur ketidakpuasan yang menimbulkan protes-protes di kalangan
masyarakat yang akhirnya menghasilkan suatu tatanan masyarakat baru, termasuk di dalam

59
suatu tatanan hukum yang baru. Jadi, menurut teori-teori tersebut, justru perubahan hukum
sehingga menghasilkan suatu tatanan hukum yang baru. Ini merupakan akibat dari adanya
perubahan masyarakat tersebut, bukan sebaliknya.
Namun, perubahan sistem, tatanan, dan nilai dalam masyarakat tidak serta- merta diikuti
oleh perubahan hukum. Untuk dapat mengubah suatu hukum perlu suatu mekanisme tertentu
yang tidak serta-merta dapat dilakukan. Oleh karena itu, sering terjadi dalam masyarakat.
seperti yang terjadi dalam banyak bidang hukum di Indonesia bahwa perubahan dalam
masyarakat tidak diikuti oleh perubahan hukum atau tidak sejalan dengan arah perubahan
hukum, baik secara teoretis maupun praktis. Daiam hal seperti ini, hukum dikatakan tertinggal
di belakang yang mengakibatkan hukum tersebut tidak dihormati lagi oleh masyarakat dan law
enforcement menjadi terpuruk. Dengan demikian, peran sangat penting dimainkan oleh disiplin
sosiologi hukum untuk dapat menganalisis dan menyimpulkan kemenduaan antara kesadaran
hukum dalam masyarakat dan kaidah hukum yang ada, untuk kemudian dapat disatukan
kembali. Perubahan hukum dapat terjadi sekaligus dengan perubahan kelembagaan yang ada
dalam masyarakat tersebut. Perubahan kelembagaan itu sendiri akan banyak mendapat
tantangan dari masyarakat karena berbagai alasan. Selo Soemardjan merumuskan keberhasilan
perubahan kelembagaan masyarakat dengan rumus sebagai berikut:
(Soerjono Soekanto, 2005: 127)
Efektivitas menanamkan Kekuatan menentang
Proses Kelembagaan Unsur-unsur baru dari masyarakat
Kecepatan menanamkan unsur-unsur baru.
Menurut rumus yang dikemukakan oleh Selo Soemardjan tersebut di atas, jelas terlihat
bahwa semakin besar kekuatan menentang dalam masyarakat, semakin besar pula kemungkinan
kegagalan terhadap suatu perombakan kelembagaan dalam masyarakat. Kekuatan menentang
perubahan hukum dan kelembagaan dalam masyarakat terjadi karena satu atau lebih dari hal-
hal sebagai berikut:
1. Karena ketidakmengertian masyarakat akan maksud dan tujuan perubahan tersebut.
2. Karena kurang informasi terhadap masyarakat akan manfaat dari perubahan tersebut.
3. Karena perubahan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai yang cukup kuat dianut.
4. Karena pemilik kekuasaan merasa kepentingannya terancam dengan perubahan tersebut.

60
5. Karena dengan perubahan akan mempunyai risiko yang besar, bahkan lebih besar jika
dibandingkan dengan tidak dilakukannya perubahan tersebut.
6. Karena masyarakat tidak mengakui kekuasaan dan kewenangan pelaku perubahan
dimaksud.
Selanjutnya, menurut William Evan, ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
berhasil tidaknya penggunaan hukum sebagai alat untuk melakukan perubahan dalam
masyarakat, yaitu faktor-faktor sebagai berikut:
1. Apakah sumber hukum itu otoritatif dan dihormati?
2. Apakah hukum itu mempunyai legitimasi secara yuridis ataupun secara sosiologis?
3. Apakah model kepatuhan hukum bisa ditemukan dan dipublikasi?
4. Apakah ada waktu yang cukup untuk masa peralihan?
5. Apakah ada komitmen dari para penegak hukum?
6. Apakah sanksi-sanksi dapat diterapkan?
7. Apakah ada jaminan perlindungan kepada korban hukum?
(Satjipto Rahardjo, t.t.: 121).
Peran hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat sebenarnya sudah
dikumandangkan oleh banyak sarjana, terutama oleh sarjana hukum yang berhaluan sosiologis.
Misalnya, Roscoe Pound dengan istilah populernya "hukum sebagai alat rekayasa masyarakat"
(law as a tool of social engineering) atau istilah-istilah lain yang kadang kala dipakai, seperti
hukum sebagai agent of change atau social planning. Bahkan, dengan dipelopori oleh Mochtar
Kusumaatmaja, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, di Indonesia pernah populer istilah
hukum sebagai alat pembangunan (a tool of development) karena memang saat itu sektor
hukum sangat didayaupayakan untuk ikut menyukseskan pembangunan. Namun, sangat
disayangkan karena rendahnya kesadaran hukum dari para pembuat dan penegak hukum saat
itu menyebabkan hukum sebagai alat pembangunan berubah fungsi menjadi alat untuk
mengamankan pembangunan yang mempunyai konsekuensi munculnya banyak hukum yang
sangat represif dan melanggar hak-hak masyarakat yang meng- antarkan banyak aktivis ke
rumah penjara atau ke liang kubur.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Emile Durkheim bahwa hukum merupakan refleksi
dari solidaritas sosial dalam masyarakat (Soerjono Soekanto, 2005: 103) Dalam hal ini,
terdapat dua macam solidaritas dalam masyarakat, yaitu:

61
 Solidaritas mekanis (mechanical solidarity) dan
 Solidaritas organis (organic solidarity).
Solidaritas mekanis merupakan solidaritas yang terdapat dalam masyarakat yang masih
sederhana dan homogen di mana jalinan ikatan antarwarganya terjadi berdasarkan hubungan-
hubungan pribadi dengan tujuan yang sama. Hukum dalam masyarakat dengan solidaritas
mekanis ini lebih bersifat represif di mana pelanggaran kaidah hukum dalam masyarakat sangat
dirasakan kerugiannya secara langsung oleh masyarakat. Sedangkan masyarakat dengan
solidaritas organis lebih bersifat heterogen di mana di dalamnya terdapat pembagian kerja yang
kompleks dan ikatan dalam masyarakat tersebut lebih bersifat fungsional. Hukum dalam
masyarakat dengan solidaritas organis lebih bersifat restitutif dengan penekanan yang ditujukan
pada perlindungan korban kejahatan yang se dapat mungkin korban dikembalikan pada keadaan
sebelum kejahatan terjadi.
Fungsi hukum sebagai sarana perubahan masyarakat dapat juga dilihat dari berubahnya
pola pikir masyarakat atau terbentuknya pola pikir baru dari masyarakat setelah adanya putusan
pengadilan tentang masalahmasalah khusus. Di USA, misalnya, di sana banyak putusan
pengadilan yang telah secara nyata dan konkret mengubah/mengembangkan kehidupan
masyarakat, seperti putusan- putusan Mahkamah Agung USA, terutama sejak tahun 1950-an
tentang masalah- masalah hak asasi, kesejahteraan sosial, proteksi lingkungan, perlindungan
konsumen, dan lain-lain. Misalnya, putusan Mahkamah Agung USA tentang pemisahan murid
kulit putih dengan kulit hitam di sekolah-sekolah (school desegregation case) di mana putusan
tersebut telah sangat mengubah pandangan dan sikap masyarakat tentang hak asasi selama
bergenerasi-generasi. Sebelumnya, masalah segregasi di sekolah-sekolah merupakan hukum
yang eksplisit di negara- negara bagian Selatan dan merupakan hukum yang implisit di negara-
negara bagian Utara di USA. Bahkan, sejak putusan Mahkamah Agung tersebut, ada perubahan
kesadaran hukum di USA di mana sudah menjadi karakteristik masyarakat Amerika untuk
membawa ke pengadilan terhadap kasus-kasus hak asasi dan kasus lain yang bertentangan
konstitusi. Dengan begitu, atas nama hukum, pengadilan telah menjadi sarana untuk
melegitimasi terhadap masalah atau tindakan tertentu yang sedang terjadi atau kontroversi
dalam masyarakat.
Selain itu, litigasi pengadilan sering juga dimaksudkan untuk maksud-maksud yang tidak
langsung, seperti untuk sekadar menarik perhatian masyarakat, meningkatkan kesadaran

62
masyarakat, atau untuk mendramatisasi masalah sehingga yang diinginkan oleh pembawa
litigasi ke pengadilan bukan lagi hasil/putusan dari pengadilan tersebut. Bahkan, putusan
pengadilan yang menolak tuntutan masyarakat sering kali lebih baik bagi masyarakat yang
bersangkutan karena masalah yang bersangkutan dapat lebih menarik perhatian dan simpati
banyak orang dan menjadi lebih baik untuk suatu pergerakan perubahan untuk jangka panjang.
Tidak jarang pula terjadi bahwa terdapat kasus di mana para pembaru hukum yang merupakan
para demonstran menolak untuk dibela (jail without bail), tetapi Lebih memilih tetap di dalam
tahanan hanya untuk menambah efek dramatis dari persoalan yang sedang diangkatnya,
misalnya, untuk menarik rasa simpati dari masyarakat dan agar ada pemberitaan yang terus-
menerus dari media massa. Oleh karena itu, penggunaan upaya pengadilan ternyata sangat
efektif bagi suatu gerakan pembaruan hukum. Beberapa halaman gugatan sering kali jauh lebih
penting daripada beratusratus halaman surat kabar dan majalah.
Bahkan, para tokoh pergerakan, seperti Ralp Nader di USA pernah menekankan akan
pentingnya hukum dan pengadilan sebagai sarana untuk mengubah masyarakat. Mereka dengan
sadar membina kelompok masyarakat penentang kebijakan pemerintah (countervailing group)
agar dengan gerakan tersebut dapat tercipta suatu equilibrium terhadap masalah tertentu,
terutama lewat putusan pengadilan.
Karena itu, sejak tahun 1950-an, ada fenomena di USA yang berhubungan dengan
peranan hukum sebagai sarana perubahan masyarakat, yaitu:
1. sarana utamanya.
2. Banyak putusan pengadilan yang memang pro pada perubahan dalam masyarakat.

3. Terutama sejak awal dekade 1970-an, banyak bermunculan kantor hukum yang menangani
kasus-kasus masyarakat (public interest) yang bemuara ke arah perubahan masyarakat,
yang umumnya dibiayai oleh yayasan-yayasan tertentu. Mula-mula menangani kasuskasus
di bidang lingkungan hidup dan perlindungan konsumen. Kemudian, diikuti oleh kasus-
kasus, seperti dalam bidang penyandang cacat, kenakalan remaja, anak-anak, wanita, atau
masyarakat pemirsa TV. Mereka melakukan apa yang disebut dengan tindakan advokasi
masyarakat. Kantor-kantor hukum yang menangani perkara-perkara public interest ini
umumnya melakukan kegiatan di bidang litigasi, pembuatan perundang-undangan,
negosiasi, dan monitoring.

63
Beberapa kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan oleh pengadilan dalam menangani
gugatan yang bermuara ke arah perubahan hukum adalah sebagai berikut:
 Preventive injunction;
 Regulatory or impose solution;
 Court can impose solution;
 Matter has to be refer back to agency;
 Order readily monitored, for example: monetary damages;
 Order complex or involving large number of claimants.
(Joel F. Handler, 1978: 25).
Sedangkan dari pihak pembaru hukum dengan membawa masalah masyarakat ke
pengadilan mempunyai harapan agar pengadilan dapat menjalankan fungsinya, yaitu untuk
mendapatkan hal-hal sebagai berikut:
1. Equality Before the Law
Yakni untuk diperlakukan sama tanpa memandang warna kulit, kedudukan, dan status dart
masyarakat.
2. Opportunity to be Heard
Yakni untuk mendapatkan kesempatan untuk didengar atas keluhan dan pembelaannya.
3. Law Enforcement
Yang merupakan hak setiap warga negara untuk minta otoritas dalam menjalankan hukum
dan putusan pengadilan.
Penggunaan sarana pengadilan untuk mengubah suatu hukum secara langsung bisa
berhasil dan bisa juga tidak berhasil. Jadi, sifatnya relatif. Misalnya, keberhasilan kelompok
para pencinta lingkungan dan para pengubah hukum yang berusaha secara panjang dan
melelahkan untuk melawan pembuatan proyek raksasa (dengan nilai USA $ 3,5 juta) berupa
power plant Kaiparowits di negara bagian Utah, USA pada tahun 1975, akhirnya berhasil
dengan disetopnya pembangunan tersebut dengan alasan resmi berupa adanya gugatan yang
sedang berjalan di pengadilan dan ancaman ke pengadilan. Meskipun begitu, harus diakui
bahwa sebenarnya banyak juga alasan lain terhadap penyetopan proyek tersebut yang tidak
disebutkan secara eksplisit, bahkan mungkin lebih signifikan, seperti sikap oposisi dart
pemerintahan daerah California, perubahan situasi finansial, berkurangnya permintaan pasokan
listrik, peningkatan biaya, dan lain-lain.

64
Namun, banyak masalah yang akan dihadapi manakala kita mengandalkan pengadilan
sebagai ujung tombak perubahan hukum, khususnya jika yang kita inginkan adalah hasil
langsung dan nyata dart putusan pengadilan tersebut. Akan tetapi,. upaya lewat pengadilan
untuk mengubah hukum akan lebih memberikan hasil yang tidak langsung, seperti publikasi
perubahan tersebut ke masyarakat, menumbuhkan kesadaran masyarakat akan perlunya
perubahan, dan sebagainya yang dapat dipakai untuk memperkuat upayanya yang nonlitigasi.
Misalnya, memaksa pihak lawan untuk duduk ke meja perundingan, sebagaimana terlihat
dalam kutipan berikut ini:
"Social-reform group find it difficult to optain tangible results directly from law-reform
activity. It can be accomplished, ... but, on the whole, special circumtances are needed...
most important controversies ... are not amenable to this kind of solution. Instead, they
require hard-fought, long- term battles. The judicial process is best suited to resolve
discrete disputes between two parties.... But, of course, there is a great deal more to the
story than seeking tangible benefits directly from law-reform activities" (Joel F.
Handler, 1978: 209).
Beberapa akibat/hasil tidak langsung yang terjadi dart adanya pembaruan hukum lewat
litigasi pengadilan adalah sebagai berikut:
1. Digunakan sebagai alat tambahan dart tindakan-tindakan nonlitigasi.
2. Untuk publikasi, fund raising, menambah kesadaran dan penghayat an terhadap perlunya
perubahan serta memberikan legitimasi terhadap masalah yang sedang dibicarakan dan
perubahan yang di harapkan. Tentang fungsi fund raising, kenyataan menunjukkan bahwa
terhadap suatu masalah yang sudah dikuatkan oleh pengadilan biasanya penyandang dana
akan lebih cenderung untuk membantu dananya.
Perubahan masyarakat yang didahului oleh perubahan hukum/peraturan perundang-
undangan biasanya didahului oleh keinginan-keinginan dalam masyarakat yang berkepentingan
untuk mengubah hukum/peraturan perundang- undangan tersebut. Selanjutnya, apabila
perubahan hukum tersebut berhasil dilaksanakan, akan berakibat pada berubahnya pola pikir
dan sikap masyarakat tersebut.
Akan tetapi, perubahan hukum yang bersangkutan tidak selamanya persis sama seperti
yang dinginkan oleh masyarakat/kelompok masyarakat/organisasi masyarakat yang mendorong

65
dilakukannya perubahan hukum tersebut. Berbagai kemungkinan dapat terjadi, yaitu sebagai
berikut:
1. Hukum benar-benar berubah, seperti yang diinginkan oleh masyarakat (full compliance).
2. Hukum mempertajam persepsi perubahan dalam masyarakat.
3. Hukum hanya melakukan ratifikasi terhadap perubahan yang telah benar- benar terjadi
dalam masyarakat.
4. Hukum berubah, tetapi tidak seperti yang diinginkan oleh masyarakat. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor berikut:
 Keengganan dari otoritas pembentuk/pengubah hukum untuk menyerap sepenuhnya
aspirasi masyarakat.
 Pengaruh pendapat publik yang muncul ke permukaan yang tidak selamanya identik
dengan keinginan masyarakat.
 Pengaruh perjalanan waktu di mana keinginan masyarakat kemudian telah berubah
seperti yang diputuskan/dipikirkan oleh pembentuk hukum/undang-undang atau
pengadilan.
Meskipun pihak pembentuk hukum/undang-undang dan pengadilan berusaha untuk
mengubah atau berpikir untuk mengubah hukum yang ada, boleh jadi hasilnya tidak seperti
yang diinginkan oleh masyarakat atau tidak seperti yang tersebut dalam opini publik di mana
hasil dari perubahan tersebut bisa lebih baik atau bahkan lebih buruk dari apa yang diinginkan
oleh masyarakat tersebut.

BAB V
KESADARAN HUKUM MASYARAKAT

Masalah kesadaran hukum ini merupakan salah satu objek kajian yang penting bagi
disiplin sosiologi hukum. Perhatian para ahli terhadap masalah kesadaran hukum ini
sebenarnya sudah lama terjadi. Akan tetapi, studi yang mendalam dan penelitian yang
komprehensif tentang kesadaran hukum tersebut masih relatif baru terutama setelah
dilakukannya penelitian oleh para sarjana yang berasal dari negara-negara Eropa, misalnya, P.
Vinke (dari negeri Belanda), A. Podgorecki (dari negara Polandia), atau B. Kutchinsky (dari
Denmark).
66
Sering disebutkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.
Artinya, hukum tersebut haruslah mengikuti kehendak dari masyarakat. Di samping itu, hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan perasaan hukum manusia (perorangan).
Maksudnya, sebenarnya sama. Hanya jika kesadaran hukum dikaitkan dengan masyarakat
sementara perasaan hukum dikaitkan dengan manusia perorangan sehingga dapatlah disebutkan
bahwa kesadaran hukum sebenarnya tidak lain merupakan generalisasi dari perasaan hukum.
Dalam hal ini, perasaan hukum merupakan lapis pertama dan kesadaran hukum merupakan
lapis kedua. Selain itu, masih ada lapis ketiga, yaitu jiwa bangsa (volkgeist) dan lapis keempat
berupa budaya hukum (legal culture). Dengan demikian, sebenarnya ada teori "empat lapis"
yang berhubungan dengan kaitan antara hukum dan masyarakat.

Apabila ditilik dari proses perkembangan hukum dalam sejarah terhadap hubungan
dengan eksistensi dan peranan dari kesadaran hukum masyarakat ini dalam tubuh hukum
positif, terdapat suatu proses pasang surut dalam bentangan waktu yang teramat panjang.
Hukum-hukum masyarakat primitif jelas merupakan hukum yang sangat berpengaruh, bahkan
secara total merupakan penjelmaan dari kesadaran hukum masyarakatnya. Dalam hal ini,
eksistensi dan pentingnya peranan kesadaran hukum masyarakat sangat penting. Meskipun
terdapat juga kodifikasi kuno yang sekuler. seperti Kitab Undang-Undang Hammurabi di
Babilonia (sekitar 2.000 tahun sebelum Masehi) atau Kitab Undang-Undang Dua Belas Pasal
(The Twelve Tables) di Romawi (sekitar 400 tahun sebelum Masehi), tetapi ketentuan-
ketentuan dalam kitab undang-undang tersebut dipercaya sebagai penjelmaan dari kehendak
dan kepercayaan masyarakat tentang perbuatan baik atau buruk dan perbuatan yang dilarang
atau diperbolehkan. Jadi, ketentuan- ketentuan dalam kitab undang-undang kuno yang sekuler
tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai hal yang sesuai dengan kesadaran hukumnya.

Kemudian, ketika berkembangnya paham scholastic yang dipercaya hukum berasal dari
perintah Tuhan (Abad Pertengahan) dan berkembangnya mazhab hukum alam modern (abad
ke-18 dan ke-19), yang mengultuskan rasio manusia, eksistensi dan peranan kesadaran penting
sangat kecil. Dalam hal ini, kesadaran hukum tidak penting bagi hukum. Yang terpenting
adalah titah Tuhan, sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab suci (mazhab scholastik) atau
hasil renungan manusia dengan menggunakan rasionya (mazhab hukum alam modern).

67
Selanjutnya, ketika berkembangnya paham-paham sosiologi pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20, yang masuk juga ke dalam bidang hukum, masalah kesadaran hukum
masyarakat mulai lagi berperan dalam pembentukan, penerapan, dan penganalisisan hukum.
Dengan demikian, terhadap hukum dalam masyarakat maju berlaku ajaran yang disebut dengan
co-variant theory. Teori ini mengajarkan bahwa ada kecocokan antara hukum dan bentuk-
bentuk perilaku hukum. Di samping itu, berlaku juga doktrin Volksgeist (jiwa bangsa) dan
rechtsbewustzijn (kesadaran hukum) sebagaimana yang diajarkan oleh Eugen Ehrlich,
misalnya. Doktrin-doktrin tersebut mengajarkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan jiwa
bangsa/kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum dipandang sebagai mediator antara
hukum dan bentuk-bentuk perilaku manusia dalam masyarakat.

Menurut Prof. Soerjono Soekanto, ada emnat indikator yang membentuk kesadaran
hukum yang secara berurutan (tahap demi tahap), yaitu:

1. Pengetahuan Hukum
Dalam hal ini, merupakan pengetahuan seseorang berkenaan dengan perilaku tertentu yang
diatur oleh hukum tertulis, yakni tentang apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan.
2. Pemahaman Hukum
Yang dimaksudkan adalah bahwa sejumlah informasi yang dimiliki oleh seseorang
mengenai isi dari aturan hukum (tertulis), yakni mengenai isi tujuan, dan manfaat dari
peraturan tersebut.

3. Sikap Hukum (Legal Attitude)


Merupakan suatu kecenderungan untuk menerima atau menolak hukum karena adanya
penghargaan atau keinsafan bahwa hukum tersebut bermanfaat atau tidak bermanfaat bagi
kehidupan manusia. Dalam hal ini, sudah ada elemen apresiasi terhadap aturan hukum.
4. Pola Perilaku Hukum
Yang dimaksudkan adalah tentang berlaku atau tidaknya suatu aturan hukum dalam
masyarakat. Jika berlaku suatu aturan hukum, sejauh mana berlakunya itu dan sejauh mana
masyarakat mematuhinya.
(Otje Salman, 2004: 56).

68
Berikutnya, Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa efektivitas hukum dalam
masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor berikut:
1. Faktor Hukumnya Sendiri
Yakni apakah hukumnya memenuhi syarat yuridis, sosiologis, dan filosofis.
2. Faktor Penegak Hukum
Yakni apakah para penegak hukum sudah betul-betul melaksanakan tugas dan
kewajibannya dengan baik.
3. Faktor Fasilitas
Yakni, misalnya, apakah prasarana sudah mendukung dalam proses penegakan hukum.
4. Faktor Kesadaran Hukum Masyarakat
Dalam hal ini, apakah, misalnya, masyarakat tidak main hakim sendiri terhadap para
penjahat.
5. Faktor Budaya Hukum
Dalam hal ini, adanya budaya "malu" atau budaya perasaan bersalah dari warga
masyarakat
(Soerjono Soekanto, 2004: 8).
Sementara itu, menurut Emile Durkheim, ada lima lapis kesadaran, re- presentasi, dan
aspirasi kolektif dari masyarakat yang disebut dengan lapisan realitas sosial, yaitu sebagai
berikut:

1. Lapisan Geografi dan Demografi


Lapisan ini merupakan lapisan permukaan dari suatu realitas sosial yang merupakan dasar
geografis dan demografis, di samping juga gedung, hubungan komunikasi, sarana,
produksi makanan, dan lain-lain.
2. Lapisan Sikap dan Institusi Kolektif
Lapisan kedua berupa lapisan sikap (behaviors) dan institusi kolektif. Ini terkristal dalam
bentuk praktik kebiasaan dan organisasi.
3. Lapisan Simbol

69
Lapisan simbol ini berhubungan dengan institusi yang muncul dalam bentuk lambang,
bendera, tempat ritual, dogma, praktik agama, sanksi, prosedur, aturan, atau kebiasaan.
4. Lapisan Nilai dan Ide
Lapisan nilai dan ide ini secara simultan memproduksi suatu kehidupan sosial sehingga
membimbing pemikiran kolektif yang berkembang saat itu dan menjelma menjadi istilah-
istilah aspirasional.
5. Lapisan Paling Dalam
Lapisan paling dalam dari suatu realitas sosial adalah representasi kolektif, memori
kolektif, perasaan kolektif, kecenderungan, dan aspirasi kolektif yang sebagiannya kekal
dan abadi, tetapi sebagiannya lagi tidak kekal.
(Georges Gurvitch, t.t.: 31)

LAPISAN REALITAS SOSIAL MENURUT EMILE DURKHEIM


Bertitik tolak dari pembagian pada lima lapisan tersebut, selanjutnya Emile Durkheim
membaai ilmu sosioloai ke dalam berbagai cabana sebagai berikut:

1. Morfologi Sosial
Disiplin ini mempelajari tentang bagian permukaan dari mas rakat yang dapat dikalkulasi
dan diukur.
2. Fisiologi Sosial
Disiplin yang disebut juga dengan "sosiologi jiwa manusia" (sociology of human spirit) ini
mempelajari tentang institusi, simbol kolektif, nilai, dan ide yang mencakup juga tentang
sosiologi agama, sosiologi moral, sosiologi pengetahuan, sosiologi hukum, sosiologi
ekonomi, sosiologi bahasa, dan sosiologi kesenian.
3. Psikologi Kolektif
Ini merupakan ilmu psikologi yang mengkaji masyarakat secara kolektif.
4. Sosiologi Umum
Sosiologi umum ini mempelajari tentang integrasi dari semua aspek pada semua level dari
realitas sosial yang oleh Mauss disebut dengan "fenomena masyarakat total" (total social
phenomena).
Seperti yang telah dijelaskan bahwa sebenarnya yang disebut dengan ke- sadaran hukum
masyarakat adalah generalisasi dari perasaan-perasaan hukum individu dalam masyarakat

70
tersebut yang secara lebih luas kemudian menjadi jiwa bangsa dan selanjutnya menjadi suatu
budaya hukum.

PERANAN KESADARAN HUKUM DALAM SEJARAH


Selanjutnya, tentang peranan kesadaran hukum dalam sejarah hukum berbeda- beda
menurut aliran yang dianut pada masing-masing zaman tersebut. Untuk itu, tentang peranan
tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok berikut:

 Hukum masyarakat primitif secara totai merupakan penjelmaan dari kesadaran hukum
masyarakatnya. Kitab undang-undang dipercaya sebagai penjelmaan dari kehendak dan
kepercayaan masyarakat tentang perbuatan baik atau buruk.
 Paham scholastic, percaya bahwa hukum berasal dari perintah Tuhan (Abad Pertengahan).
Dalam hal ini, kesadaran hukum tidak penting bagi hukum, yang terpenting adalah titah
Tuhan.
 Mazhab hukum alam modern (abad ke-18 dan ke-19), percaya bahwa hukum merupakan
hasil renungan manusia dengan menggunakan rasionya.
 Paham sosiologi (akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20). Kesadaran hukum masyarakat
berperan dalam pembentukan, penerapan, dan penganalisisan hukum.

ELEMEN KESADARAN HUKUM


Kesadaran hukum dalam masyarakat bukanlah merupakan proses sekali jadi, melainkan
merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap, yaitu tahap-tahap sebagai-
berikut:

1. Tahap Pengetahuan Hukum


Pengetahuan seseorang berkenaan dengan yang dilarang atau diperbolehkan.
2. Tahap Pemahaman Hukum
Sejumlah informasi yang dimiliki oleh seseorang mengenai isi dari aturan hukum.
3. Tahap Sikap Hukum (Legal Attitude)
Kecenderungan untuk menerima atau menolak hukum.
4. Tahap Pola Perilaku Hukum
Dipatuhi atau tidaknya suatu aturan hukum.

71
Kesadaran hukum masyarakat berpengaruh pada kepatuhan hukum, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Dalam masyarakat maju, faktor kesadaran hukum berpengaruh secara
langsung pada kepatuhan hukum masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, orang patuh pada
hukum karena mereka memang jiwanya sadar bahwa mereka membutuhkan hukum dan hukum
itu bertujuan baik dan telah mengatur masyarakat secara baik, benar, dan adil. Sebaliknya,
dalam masyarakat yang tradisional, kesadaran hukum masyarakat berpengaruh secara tidak
langsung pada kepatuhan hukumnya. Dalam hal ini, mereka patuh pada hukum bukan karena
keyakinannya secara langsung bahwa hukum itu baik atau karena mereka memang
membutuhkan hukum, melainkan mereka patuh pada hukum lebih karena dimintakan, bahkan
dipaksakan oleh para pemimpinnya (formal atau informal) atau karena perintah agama atau
kepercayaannya. Jadi, dalam hal pengaruh tidak langsung ini, kesadaran hukum dari
masyarakat lebih untuk patuh kepada pemimpin, agama, kepercayaannya, dan sebagainya.
Oleh karena itu, faktor kesadaran hukum ini sangat memainkan peranan yang penting
bagi suatu masyarakat berhubung faktor tersebut mempunyai korelasi langsung dengan kuat
atau lemahnya faktor kepatuhan hukum masyarakat. Artinya, semakin lemah tingkat kesadaran
hukum masyarakat, semakin lemah pula kepatuhan hukumnya. Sebaliknya, semakin kuat
kesadaran hukumnya, semakin kuat pula faktor kepatuhan hukum. Dan sayangnya,
pembentukan kesadaran hukum dalam masyarakat bukanlah merupakan langkah sekali jadi,
melainkan memerlukan proses yang berlanjut.

BAB VI
PERKEMBANGAN HUKUM

Dalam tubuh hukum itu sendiri terjadi semacam perkembangan sehingga sampai pada
hukum yang maju atau diasumsi maju, seperti yang dipraktikkan saat ini oleh berbagai negara.
Perkembangan hukum itu sendiri umumnya terjadi sangat lamban meskipun sesekali terjadi
agak cepat. Pembuatan berbagai kode semasa Napoleon berkuasa di Prancis yang kemudian

72
dikenal dengan Kode Napoleon itu dapat dipandang sebagai suatu perubahan hukum yang
sangat cepat, bahkan dapat dianggap sebagai suatu revolusi hukum untuk ukuran saat itu.
Namun, perkembangan dari hukum kuno pada hukum modern merupakan perjuangan
manusia yang tidak ada batas akhir. Satu dan lain hal disebabkan masyarakat di mana hukum
berlaku berubah terus-menerus. Dalam perkembangan hukum itu sendiri, terkadang dilakukan
dengan revisi atau amendemen terhadap undang-undang yang sudah ada, tetapi sering pula
dilakukan dengan mengganti undang-undang lama dengan undang-undang baru. Bahkan,
hukum modern telah menentukan prinsip dan asas hukum yang baru dan meninggalkan prinsip
dan asas hukum yang lama dan sudah cenderung ketinggalan zaman. Dalam hubungannya
dengan perkembangan masyarakat, hukum mengatur tentang masalah struktur sosial, ekonomi,
nilai-nilai, dan larangan-larangan atau hal-hal yang menjadi tabu dalam masyarakat.
Dan ternyata, pada masing-masing zaman ada stressing tertentu terhadap hukum di mana
pada zaman yang lain stressing tersebut berubah. Misalnya, pada zaman pertengahan, banyak
aturan hukum yang berkutat pada masalah pengaturan tentang tanah. Saat itu, tidak ada,
ketentuan yang mengatur korban kecelakaan lalu lintas. Memang masalah lalu lintas belum
menjadi masalah saat itu. Kemudian, pada masa pemerintahan Raja Jenghis Khan di Cina
terdapat ketentuan hukum tertulis yang mengatur tentang organisasi militer dan juga terdapat
aturan tertulis tentang berburu binatang karena berburu binatang kala itu dianggap sebagai cara
melatih prajurit. Sedangkan dalam hukum bangsa Mongol merupakan perbuatan kriminal yang
sangat keji jika seseorang kencing ke dalam api. Beberapa undang-undang yang sangat
mendasar pada ajaran Injil melarang orang memakan burung, binatang, dan ikan karena
dianggap benda tersebut tidak bersih. Selama ribuan tahun, banyak undang-undang di dunia ini
mengatur dan membolehkan penggunaan manusia menjadi budak. Pengaturan tentang budak ini
sudah dikenal sejak kitab undang-undang pertama yang pernah ditemukan dalam sejarah, yaitu
Kitab Undang-Undang Hammurabi (dibuat kirakira 2.000 tahun sebelum Masehi), di samping
juga pengaturan tentang budak sudah dikenal dalam hukum Romawi Kuno, hukum di Jamaica
dan Brazil pada abad ke-18, dan di negara-negara bagian Selatan dari Amerika Serikat sebelum
perang saudara. Kemudian, pada abad ke-20, banyak ditemukan undang-undang yang mengatur
tentang pencemaran air dan udara, landuse dan zoning, aborsi, pemakaian kontrasepsi, dan
sebagainya.

73
Hukum yang berlaku di Inggris sebagai akar dari hukum yang berlaku di negara-negara
Anglo Saxon juga mengalami perkembangan-perkembangan. Hukum tanah di Inggris yang
semula sangat aristokrasi dan tidak logis, sangat lamban berkembang sementara hukum tentang
perbuatan melawan hukum (tort), tidak dikenal dalam hukum Inggris sebelum abad ke-19.
Namun, karena perkembangan berbagai pabrik dan sarana transportasi, terutama kereta api
pada abad ke-19 yang menimbulkan banyak kecelakaan, berkembanglah hukum tentang
perbuatan melawan hukum di Inggris yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain, seperti
Amerika Serikat. Bahkan, bidang hukum tentang perbuatan melawan hukum merupakan hukum
yang berkembang tercepat pada abad ke-19 tersebut. Buku pertama tentang perbuatan melawan
hukum di Inggris terbit pada tahun 1850. Demikianlah, bidang hukum ini terus berkembang
sehingga dewasa ini perbuatan melawan hukum merupakan hukum privat yang sangat
mendasar dalam sistem hukum Anglo Saxon, bersama-sama dengan hukum kontrak.
Dalam abad kedua puluh, terjadi perkembangan di berbagai bidang hukum di mana
sebagian hukum di sebagian negara sudah menyelesaikan pengaturannya secara tuntas, tetapi
sebagian hukum di negara lain masih dalam proses pengaturannya yang berarti hukum dalam
bidang tersebut masih dalam proses perubahannya. Perkembangan di berbagai bidang hukum
pada abad ke-20 di negara-negara di dunia ini paling terasa dalam bidang-bidang hukum
sebagai berikut:
 Dalam Bidang Hukum Pidana
Tentang masalah berat ringannya hukuman, perlindungan saksi, perlindungan korban,
presumption of innocent, dan genetic engineering.
 Dalam Bidang Hukum Keluarga
Tentang masalah perceraian, status anak luar kawin, perkawinan bawah tangan, aborsi,
perkawinan sejenis, dan harta perkawinan.

 Dalam Bidang Perbuatan Melawan Hukum


Kompensasi dari asuransi dan bentuk-bentuk ganti rugi.
 Dalam Bidang Hukum Tata Negara
Hubungan antara warga negara dan negara/pemerintah sehubungan dengan perubahan
mekanisasi negara dan sentralisasi/desentralisasi kekuasaan.
 Dalam Bidang Hukum Internasional

74
Menguat dan melemahnya peran Perserikatan Bangsa-Bangsa, peningkatan kerja sama
perdagangan internasional, regional, atau bilateral.
Hukum merupakan kaidah untuk mengatur masyarakat. Karena itu, hukum harus dapat
mengikuti irama perkembangan masyarakat. Bahkan, hukum harus dapat mengarahkan dan
mendorong berkembangnya masyarakat secara lebih cepat dan terkendali. Terkendali, karena
terdapatnya untuk ketertiban sebagai salah satu tujuan hukum. Dengan begitu, terdapat
interelasi dan interaksi antara hukum dan perkembangan masyarakat. Di satu pihak, hukum
harus dapat mengembangkan/mengarahkan/mempercepat perkembangan masyarakat karena
hukum merupakan sarana rekayasa masyarakat atau meminjam istilah Roscoe Pound, hukum
berfungsi sebagai a tool of social engineering. Akan tetapi, di lain pihak, perkembangan
masyarakat itu sendiri menyeret-nyeret hukum untuk dapat mengembangkan dirinya. Hal ini
karena by definition, hukum cenderung statis dan konservatif sementara masyarakat
cenderung ,dinamis. Oleh sebab itu, tarik- menarik antara hukum dan perkembangan
masyarakat terus saja berlangsung di sepanjang zaman.
Karena masyarakat terus berkembang dari zaman ke zaman dan dari masa ke masa,
hukum harus dapat mengimbanginya sehingga pada zaman yang sudah maju ini, hukum da'n
pelaksana hukum juga harus maju. Suatu masyarakat yang sudah maju mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
 Jujur;
 Tepat waktu;
 Efisien;
 Orientasi ke masa depan;
 Produktif,
 Tidak status simbol.
(Otje Salman, 2004: 91).
Sementara itu, ciri-ciri hukum yang maju, antara lain, seperti yang dike- mukakan oleh
Marc Galanter adalah:
 Terdapatnya aturan yang seragam, baik substansinya maupun pelaksanaannya.
 Hukum bersifat transaksial, yang berarti bahwa hak dan kewajiban timbul dari perjanjian
tanpa dipengaruhi oleh usia, kelas, agama, gender, ras, dan lain-lain.
 Bersifat universal, yang berarti hukum dapat diterima oleh umum.

75
 Hierarkis peradilan yang tegas.
 Bersifat birokratis, artinya prosedur dilaksanakan sesuai yang telah ditetapkan oleh
undang-undang.
 Hukum haruslah rasional.
 Profesional, pelaksana hukum haruslah orang-orang profesional.
 Karena menjurus pada spesialisasi, harus ada jembatan penghubung antara satu spesialisasi
dan spesialisasi yang lain.
 Fleksibel, yakni mudah diubah untuk disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
 Hukum dilaksanakan oleh negara atau lembaga-lembaga negara.
 Berlaku prinsip trias politika.
(Otje Salman, 2004: 92).
Selanjutnya, Soerjono Soekanto memberikan syarat-syarat bagi suatu hukum agar hukum
tersebut menjadi hukum yang baik. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
 Hukum merupakan aturan umum yang tetap (bukan ad hoc).
 Hukum harus jelas, diketahui, dan dimengerti oleh masyarakat.
 Hukum tidak retroaktif (berlaku surut).
 Aturan hukum tidak boleh sating bertentangan.
 Hukum harus sesuai dengan kemampuan masyarakat untuk mengikutinya.
 Perubahan-perubahan hukum jangan dilakukan terlalu sering dan berlebihan.
 Ada korelasi antara aturan hukum dan pelaksanaan hukum.
(Soerjono Soekanto, 2005:148).

Di samping itu, dalam pandangan sosiologi hukum, dapat dikatakan bahwa hukum yang
baik harus dapat memperlancar dan mengamankan interaksi sosial dalam masyarakat. Menurut
Arnold M. Rose, interaksi sosial dalam masyarakat tersebut mengambil beberapa pola sebagai
berikut:
1. Pola traditional integrated group;
2. Pola audience;
3. Pola public;

76
4. Pola crowd.
(Soerjono Soekanto, 1979:129).
Pola traditional integrated group pada pokoknya mengajarkan bahwa warga masyarakat
akan berperilaku terhadap warga masyarakat lainnya atas dasar kaidah-kaidah dan nilai-nilai
yang sama yang diajarkan oleh warga-warga masyarakat.
Pola audience merupakan interaksi yang didasarkan pada pengertian- pengertian yang
sama yang diajarkan oleh suatu sumber individual.
Pola public merupakan interaksi yang didasarkan pada pengertian-pengertian yang sama
yang diperoleh melalui komunikasi langsung.
Sedangkan pola crowd merupakan interaksi yang didasarkan pada perasaan yang sama
dan keadaan-keadaan fisiologis yang sama.
Selanjutnya, bagaimana sebenarnya sistem hukum dalam masyarakat tradisional jika
dibandingkan dengan yang terdapat dalm masyarakat maju, dapat dilihat dalam tabel berikut
ini:
Hukum dalam Masyarakat Tradisional
dan Masyarakat Maju

Sistem Masyarakat Sistem Hukum


Masyarakat Tradisional 1. Komunitas Kecil 1. Peraturan tidak terperinci
2. Berdasarkan ikatan 2. Hanya mengenal standard
kekerabatan tingkah laku
3. Memiliki kepercayaan dan 3. Tidak ada differensiasi
sentimen umum dan spesialisasi dari
4. Lingkungan yang stabil badan-badan penegak
hukum
4. Tidak ada kepastian
hukum
5. Tidak efisien
6. Statis
7. Tidak birokratis
8. Tidak rasional

77
9. Informal
10. Doktin setiap orang
mengetahui undang-
undang bersifat Rill
Masyarakat Maju Kehidupan yang luas, 1. Differensisasi dan
terbbuka, dan kompleks institusionalisasi
pekerjaan hukum berupa:
a. Rules of recognition
b. Rules of change
c. Rules of adjusication
2. Terdapat kepastian hukum
3. Lebih efisien
4. Lebih dinamis
5. Lebih birokratis
6. Lebih rasional
7. Lebih formal
8. Doktrin setiap orang
mengetahui undang-
undang hanya fiktif
belaka.
Sumber: (Satjipto Rahardjo, t.t.: 44)

Tentang kedudukan dan peranan hukum dalam masyarakat, terdapat suatu teori dalam
sosilogi hukum, yaitu yang dapat disebut dengan “Teori Parsons” yang dikembangkan oleh
Talcott Parsons. Menurut teori Parsons ini, dasar dari suaru tindakan manusia bukanlah suatu
kelakuan biologis, melainkan merupakan tindakan berstruktur dalam suatu kaitan sosial
tertentu.
Suatu system umum dari masyarakat yang terdiri atas beberapa subsistem dengan fungsi
dan bidang kemasyarakatan masing-masing, seperti terlihat dalam table dibawah ini.
Subsistem Tindakan Fungsi Primer Bidang Kemasyarakatan
1. Sosial Integrasi Sosial
2. Kebudayaan Mempertahankan pola Budaya

78
3. Kepribadian Mencapai tujuan Politik
4. Organisme kekuasaan Adaptasi Ekonomi

(Otje Salman, 2004: 73).


Disamping itu menurut Donald Black bahwa ada dua model hukum yaitu model hukum
yurisprudensi dan model hukum sosiologis. Perbedaan antara model yurisprudesi dan sosiologis
adalah seperti terlihat dalam table berikut ini.
Dua Model Hukum
Model Normatif Model Sosiologi
Fokus Aturan hukum Struktur sosial
Proses Logis Sikap tindak
Ruang lingkup Universal Variabel
Perspektif Participant Observer
Maksud Praktikal Scientific
Sasaran Keputusan Penjelasan

Akan tetapi, menurut Nonet dan Selznick, sebenarnya jika ditinjau secara sosiologis, ada
tiga macam hukum. Ketiga macam hukum (represif, autonomous dan responsif) tersebut
memiliki perbedaan-perbedaan dalam penjabarannya. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat
dilihat dari table berikut ini:
Penjabaran Hukum Yang Reprensif, Autonomous Dan Responsif
Repressive Law Autonomous Law Responsive Law
Tujuan Hukum Ketertiban Legitimasi Kompeten
Legitimasi Pertahanan Keadilan Procedural Keadilan social
masyarakat dan raison
d’etat
Peraturan Kasar dan detail, Luas, mengikat yang Tunduk pada prinsip
tetapi tidak terlalu mengatur ataupun dan kebijaksanaan
mengikat pembuat yang diatur
hukum
Reasoning Ad hoc, Berpegang teguh pada Berorientasi pada

79
kebijaksanaan dan otoritas hukum, tujuan,
khusus berlaku prinsip mengembangkan
formalisme dan kognitif, kompeten
legalisme
Diskresi Merembes, Ditahan oleh aturan, Luas, tetapi tetap
opportunitis delegasi yang sempit mengacu pada tujuan
Paksaan Luas, kurang dibatasi Dikontrol oleh hukum Secara positif mencari
alternative, seperti
insentif, kewajiban
karena kesadaran
pribadi
Moralitas Moralitas komunal, Moralitas Moralitas civil,
moralitas hukum, institusional, yaitu moralitas kerja sama
moralitas keterbatasan mengikuti interitas
dari proses hukum
Politik Hukum di bawah Hukum independen Terintegrasi antara
kekuasaan politik dari politik berlaku aspirasi hukum dan
pemisahan kekuasaan politik, campuran
kekuasaan
Kepatuhan yang Tanpa syarat, Penyimpangan Ketidakpatuhan di
diharapkan ketidakpatuhan terhadap aturan dapat anggap bahaya
dianggap perbuatan dijustifikasi, misalnya substantive;
melawan untuk menguji memunculkan
validitas dari suatu masalah legitimasi
aturan atau ketertiban
Partisipasi Patuh, menuruti, kritik Dibatasi oleh Mendapat akses yang
dianggap tidak loyal prosedur, muncul besar karena interasi
kritik hukum hukum dengan
advokasi masyarakat
(Philippe Nonet, 1978: 16)

80
Selanjutnya, perkembangan hukum yang sangat signifikan adalah jika ide-ide perubahan
hukum dapat ditampung oleh suatu kodifikasi sebagaimana yang dilakukan oleh Napoleon
Bonaparte di Prancis, yang berhasil dengan membuat Code Napoleon. Akan tetapi, pembaruan
hukurn meialui suatu kodifikasi tidak selamanya mudah dilakukan. Karena dalam rangka
kodifikasi dari suatu undang- undang, terdapat tahap-tahap yang menurut Eugen Ehrlich
adalah sebagai berikut:

1. Tahap terorganisasinya norma-norma dalam masyarakat.


2. Tahap terbentuknya putusan-putusan para ahli hukum.
3. Tahap terbentuknya suatu pendapat dalam ilmu hukum.
4. Tahap pembuatan peraturan-peraturan legislasi.
5. Tahap pembuatan kodifikasi.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Emile Durkheim bahwa hukum merupakan refleksi
dari solidaritas sosial dalam masyarakat (Soerjono Soekanto, 2005: 103). Dalam hal ini,
terdapat dua macam solidaritas dalam masyarakat, yaitu:
 Solidaritas mekanis (mechanical solidarity), dan
 Solidaritas organis (organic solidarity).
Solidaritas mekanis merupakan solidaritas yang terdapat dalam masyarakat yang masih
sederhana dan homogen di mana jalinan ikatan antarwarganya terjadi berdasarkan hubungan-
hubungan pribadi dengan tujuan yang sama. Hukum dalam masyarakat dengan solidaritas
mekanis ini lebih bersifat represif di mana pelanggaran kaidah hukum dalam masyarakat sangat
dirasakan kerugiannya secara langsung oleh masyarakat. Sedangkan masyarakat dengan
solidaritas organis lebih bersifat heterogen di mana di dalamnya terdapat pembagian kerja yang
kompleks dan ikatan dalam masyarakat tersebut lebih bersifat fungsional. Hukum dalam
masyarakat dengan solidaritas organis lebih bersifat restitutif, dengan penekanan yang
ditujukan pada perlindungan korban kejahatan yang se- dapat mungkin korban dikembalikan
pada keadaan sebelum kejahatan terjadi.
Meskipun hukum modern masih dianggap sebagai hukum yang paling ideal untuk suatu
masyarakat, sejak bangkitnya paham "pascamodernisme" (postmodern), ajaran-ajaran hukum
modern ini mulai digugat oleh hanyak kalangan. Perlu diketahul bahwa paham postmodern ini
ikut melahirkan aliran terbaru dalam teori dan filsafat hukum, yaitu aliran "hukum kritis"
(critical legal studies).

81
BAB VII
TEORI KONFLIK DAN PENYELESAIAN KONFLIK

A. DASAR-DASAR TEORI TENTANG KONFLIK


Hukum akan memainkan peranannya yang penting dalam suatu masyarakat, baik dalam
masyarakat yang masih mengandalkan kekerabatan maupun dalam masyarakat yang majemuk
(pluralistia) Hukum akan berperan penting untuk mencegah dan menyelesaikan konflik jika

82
yang berlaku teori konflik atau sebagai alat perekat jika yang berlaku adalah teori konsensus
(teori harmonis) dalam suatu konflik atau teori interaksi simbolis.
Yang dimaksud dengan konflik adalah suatu perbedaan atau pertentangan ide, persepsi,
dan kepentingan di antara dua pihak atau lebih, baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk
nonfisik, baik sudah terbuka maupun yang belum terbuka.
Tedd Robert Gurr memberikan kriteria bagi sebuah konflik, yaitu sebagai berikut:
1. Melibatkan dua atau lebih para pihak.
2. Para pihak terlibat dalam aksi yang saling memusuhi.
3. Cenderung berperilaku kejam kepada musuh.
4. Interaksi pertentangan dapat dideteksi secara nyata.
(Trubus Rahardiansah, 2005:166).
Suatu konflik memiliki paradigma konvensional dan paradigan kontemporer sebagaimana
terlihat dalam tabel berikut ini:
No Paradigma Konvensional Paradigma Kontemporer
.
1. Konflik tidak dapat dihindarkan Konflik dapat dihindarkan
2. Konflik disebabkan oleh kesalahan Konflik disebabkan oleh banyak sebab
manajemen atau penguasa termasuk karena struktur organisasi,
perbedaan tujuan, perbedaan persepsi, nilai
– nilai pribadi, dan sebagainya
3. Konflik mengganggu organisasi dan Konflik dapat membantu atau menghambat
menghalangi pelaksanaannya secara pelaksanaan organisasi (masyarakat) dalam
optimal berbagi derajat
4. Tugas manajemen/pemimpin adalah Tugas manajemen/pemimpin adalah
menghilangkan konflik mengelola tingkat dari konflik dan
penyelesaiannya
5. Pelaksanaan kegiatan organisasi yang Pelaksanaan kegiatan organisasi yang
optimal membutuhkan penghapusan optimal membutuhkan tingkat konflik yang
konflik moderat
Sumber: (Trubus Rahardiansah,,2005: 175)
Selanjutnya, terdapat teori model konflik (conflict model, dwang model) bagi suatu
masyarakat, yaitu model konflik yang memiliki anggapananggapan dasar sebagai berikut:
1. Ciri yang melekat pada setiap masyarakat adalah proses perubahan.
2. Pada setiap masyarakat terdapat konflik dan hal tersebut merupakan gejala yang wajar.
3. Pada setiap bagian dari masyarakat terdapat peluang jadinya disintegrasi dan perubahan-
perubahan sosial.
4. Adanya sejumlah orang yang mempunyai kekuasaan merupakan faktor integrasi yang
penting.
5. Pengendalian konflik dilakukan oleh lembaga-lembaga sosial tertentu yang berfungsi untuk
menciptakan akomodasi.

83
(Soerjono Soekanto, 1979:124).
Sedangkan yang merupakan anggapan dasar dari teori konsensus (teori harmonis) adalah
sebagai berikut:
1. Sistem sosial dalam masyarakat merupakan suatu sistem aksi yang terbentuk dan interaksi
sosial yang terjadi antara berbagal individu yang tumbuh atas dasar suatu standar penilaian
yang telah disepakati.
2. Konsensus di antara warga masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu
merupakan faktor integratif yang paling utama.
3. Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem yang mencakup bagian-bagian yang saling
berhubungan dan sating memengaruhi.
4. Ada kecenderungan yang kuat dari masyarakat untuk bergerak ke arah suatu ekuilibrium
tertentu.
5. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat lamakelamaan akan teratasi
melalui suntu proses penyesuaian dan proses pelembagaan.
6. Perubahan-perubahan yang terjadi biasanya bersifat gradual.
7. Kontinuitas sistem sosial dapat dipelihara dengan dua mekanisme sosial yang pokok, yaitu
sosialisasi dan kontrol sosial.
Selanjutnya, ada teori yang disebut dengan teori interaksi-simbolis yang pada prinsipnya
menyatakan bahwa masyarakat memerlukan suatu ketertiban sosial tertentu yang dapat
dikembalikan pada proses interaksi sosial antara warganya Teori interaksi simbolis ini pada
pokoknya mempunyai asumsi-asumsi dasar sebagai berikut:
1. Dasar dari pendekatan masyarakat sebagai suatu sistem sosial adalah subjektivitas perilaku
individu.
2. Subjektivitas perilaku manusia terproses dan terbentuk melalui hubungan-hubungan
intersubjektivitas atau komunikasi.
3. Proses komunikasi antarmanusia yang dilakukan secara kontinu membentuk pribadi
manusia dan kesadaran sosialnya.
4. Melalui proses interaksi yang kontinu, manusia akan dapat membatasi pribadinya terhadap
pengaruh sosial ataupun alam, sebagaimana bersamaan dengan jalannya proses simbolisasi
melalui pembentukan bahasa dan tanda- tanda.
5. Dengan berdasarkan proses tersebut di atas, manusia akan mengetahui apa peranannya dan
peranan pihak lainnya, yaitu rekan-rekan sesama anggota masyarakat.
6. Perilaku manusia bukanlah sekadar gerak badaniah belaka. Karena itu, melalui pendekatan
tersebut di atas, dapatlah diketahui dasardasar perilaku manusia, baik yang nyata maupun
yang tidak nyata.
Menurut ajaran ilmu sosiologi, yang merupakan latar belakang dari suatu konflik
sehingga menimbulkan teori konflik adalah sebagai berikut:
1. Faktor Kondisi Sosial, Yaitu:
a. Dominasi politik
b. Eksploitasi sosial; dan

84
c. Perkembangan ekonomi.

2. Faktor Kondisi Eksploitasi Intelektual, yang Terdiri atas:


a. Idealisme,
b. Naturalisme,
c. Paham evolusi sosial; dan
d. Perkembangan ekonomi.

3. Faktor Kondisi Biografis, yang Terdiri atas:


a. Mayoritas berasal dari kelas bawah;
b. Mengalami pendidikan tipe pencerahan, yakni mempelajari ilmu-ilmu klasik, filsafat,
sejarah, ekonomi, atau hukum; dan
c. Karier politik dan akademik.

B. TEORI KONFLIK MODERN


Teori konflik terus berkembang dalam ilmu sosiologi sampai kemudian timbul teori
konflik modern. Teori konfiik modern meliputi pembahasan dan penganalisisan terhadap
masalah-masalah berikut:
 Konflik rasial dan sosial yang keras, terutama di USA.
 Proses industrialisasi.
 Birokrasi yang represif.
 Pengaruh permikiran Eropa terhadap teori kelas modern.
 Orientasi kelompok reformis terhadap problema-problema masyarakat modern,
industrialisasi, dan urbanisasi.
 Elaborasi pemikiran Neo-Marxist berkaitan dengan kompleksitas teori konflik sosial
modern.
Sedangkan yang menjadi faktor-faktor yang melatarbelakangi teori konflik modern
adalah sebagai berikut:

1. Kondisi Sosial, yang Terdiri atas Unsur-Unsur:


a. Konflik sosial dan rasial dan
b. Efek birokratis

2. Kondisi Intelektual, yang Terdiri atas Unsur-Unsur:


a. Idealisme;
b. Reformisme;
c. Progresivisme; dan d. Neo-Marxisme.

3. Kondisi Biografis, yang Terdiri atas Unsur-Unsur:

85
a. Wawasan Eropa,
b. Terlibat dalam isu-isu politik; dan
c. Meniti karier akademik.
Menurut teori konflik modern, masyarakat sebagai suatu sistem di mana sistem evolusi
persaingan kelompok dilakukan derrii sumber-sumber ekonomi dan dikontrol oleh sekelompok
elite tertentu yang mendominasi kelompok tersebut.
Oleh karena itu, teori konflik modem berisikan analisis sosiologis tentang konflik
kekuasaan dalam masyarakat industri kontemporer dengan asumsi asumsi dasar sebagai
berikut:
 Terjadinya suatu sistem kompetisi kelompok atau kepentingan.
 Industrialisasi memberikan kontribusi terhadap bentuk-bentuk dominasi kapitalis,
sentralisasi, dan para elitisme.
 Berdasarkan beberapa kondisi tertentu dari organisasi sosial, timbullah konflik sosial/kelas.
 Suatu konflik sosial akan muncul manakala terjadi kelangkaan sumber dari luar dan
monopoli.
 Kontribusi dari suatu konflik sosial selanjutnya adalah evaluasi masyarakat dan adaptasi.
Dengan demikian, dalam menganalisis konflik modern, teori konflik modem masih
menggunakan paradigma-paradigma lama, seperti paradigma dari Karl Marx, Max Weber,
dan Summer. Selanjutnya, teori konflik modern ini mendeskripsikan sebuah sistem, evaluasi,
dan reaksi radikal terhadap bentuk konflik dan dominasi dengan struktur dari teori konflik
modern, yaitu sebagai berikut:
1. Paradigma: Masyarakat sebagai kelompok terkoordinasi, bentuk-bentuk kepatuhan
masyarakat, dan perubahan sosial.
2. Reaksi terhadap: Konflik industri dan perubahan modem.
3. Dasar penjelasan: Minat, demografi, industrialisasi, dan tipe-tipe struktur masyarakat.
4. Prediksi: Konflik dan perubahan sosial.
Teori konflik modem kemudian muncul dalam dua model utama, yaitu:

1. Model Sistemik
Dalam hal ini, faktor sosial dianggap sebagai pemicu konflik.
2. Model Naturalistik
Menjelaskan konteks demografis dan nonsosiologis dari timbulnya suatu konflik.
Mengenai kedua model teori konflik modern tersebut, berikut akan diuraikan satu per
satu.
1. Model Sistemik dalam Konflik Modern
Model sistemik dalam teori konflik modern dipelopori oleh Ralf Dohrendorf (lahir tahun
1929) dan C. Wright Mills (1916-1962). Dohrendorf mengkaji aspek kondisi tertentu yang

86
menjadi penyebab munculnya konflik kelas, sedangkan Mills mengulas tentang kekuasaan elite
Amerika dan kelompok eksekutif muda.
Dengan teori pemaksaan, Dohrendorf berasumsi bahwa di mana pun bisa terjadi
perubahan sosial, konflik sosial, pemaksaan, dan kontribusi tiap-tiap elemen tersebut terhadap
perubahan dan disintegrasi masyarakat.
Dohrendorf memandang subkelompok masyarakat sebagai elemen yang memiliki
semangat ketertiban dan dibentuk oleh kepentingan laten. Di bawah kondisi sosial tertentu,
kepentingan itu diartikan ke dalam kepentingan konkret dan konflik kelas
Dengan demikian, masyarakat memiliki aspek dinamis dan perubahan sosial yang
kontinu. Sedangkan pendekatan teari Dohrendorf adalah sintesis dari teori Marx dan Weber
tentang konflik dan perubahan sosial dalam masyarakat industri modern.
Selanjutnya C. Wright Mills, yang juga pelopor dan penganut model sistemik dalam
teori konflik modern sangat memerhatikan perkembangan social imagination yang memahami
pandangan sejarah yang lebih luas dari artinya bagi kehidupan dan karier di luar
keanekaragaman individu.
Kenyataan sosial dalam pandangan Mills menggambarkan kombinasi, bio- grafi, sejarah,
dan antarbagian dalam struktur sosial. Mills mendukung metode. metode "pengrajin klasik"
sebagai pusat bagi imajinasi sosial. Dalam hal ini akan kesadaran sejarah tingkat tinggi,
fleksibilitas, konsepsi yang jelas, deduksi-induksi, sintesis teori, dan penelitian.
Oleh karena itu, dengan menggunakan gagasan dari Marx dan Weber, Mills
mengembangkan sebuah analisis orientasi kekerasan kapitalisme modern Amerika yang
merupakan pengaruh-pengaruh rasionalitas yang meningkat.
2. Model Naturalls dalam Konflik Modern
Teori konflik modern yang bersifat naturalis ini, antara lain, dikembangkan oleh Lewis
Coser dan David Reisman. Coser lebih memusatkan perhatiannya pada fungsi konflik yang
dapat membawa penyesuaian sosial yang lebih baik dengan mendasarkan pikirannya pada
gagasan-gagasan yang telah dikembangkan oleh Simmel. Pendekatan Coser disebut alami
(naturalis) karena dia mendasarkan pendapatnya pada analogi organik dari Simmel.
Sedangkan pendekatan Reisman dikatakan naturalistik karena dia memandang konflik
sosial, dominasi, dan perubahan sebagai fungsi dari faktor demografi yang berubah dalam tren
populasi khusus.
Coser berasumsi bahwa suatu konflik akan cenderung lebih meningkatkan (bukan
menurunkan) penyesuaian sosial, adaptasi, dan memelihara batas-batas kelompok.
Konflik merupakan perjuangan atas nilai-nilai dan menuntut status yang langka,
kekuasaan, dan sumber yang dapat menetralisasi tujuan-tujuan lawan untuk merusak atau
mengeliminasi lawan-lawan mereka.

87
Suatu konflik, menurut Coser, muncul ketika ada akses dari penuntut untuk memperoleh
imbalan sesuai dengan kerjanya.
Di samping itu, Coser juga berpendapat bahwa suatu struktur sosial berbeda- beda
bentuknya, yaitu berbentuk sebagai berikut:
a. Bentuk mobilitas sosial;
b. Bentuk eksistensi institusi katup keselamatan (safety salve institution).
c. Bentuk konflik institusionalisasi; dan
d. Bentuk toleransi
Suatu konflik yang realistis dan terbuka dalam suatu masyarakat yang terbuka dapat
mengakibatkan suatu integritas dan fleksibilitas yang tinggi. Sedangkan konflik yang tidak
realistis dalam masyarakat yang tertutup akan menghasilkan suatu disintegrasi dan kekerasan.
Jadi, menurut Coser, suatu konflik sosial akan mempunyai konsekuensi yang fungsional.
Sumbangan utama dari Coser pada ilmu sosiologi modem adalah usahanya untuk
mengembangkan suatu teori yang mengkhususkan pada kondisi dan pengaruh proses dinamis
dalam masyarakat kontemporer. Akan tetapi, kemudian Coser dituduh telah jatuh ke dalam
perangkap yang sama dengan pandangan yang memandang konflik sebagai yang bersikap
adaptif dan integratif.
Sedangkan David Reisman memusatkan perhatiannya pada tipe utama dari karakteristik
sosial masyarakat dan sangat peduli dengan cara perubahan karakter sosial yang mendominasi
Amerika pada abad ke-1 9, yang secara bertahap diganti oleh karakteristik dari jenis yang
sangat berbeda.
Menurut Reisman, hubungan antara karakter sosial dan masyarakat dijumpai dengan cara
memastikan tingkat penyesuaian diri dari individuindividu. Jadi, karakter sosial
menggambarkan penyesuaian yang normatif.
Cara penyesuaian dari karakter sosial bergantung pada demografi khusus atau perubahan
jumlah penduduk tertentu pada masyarakat Barat sejak Abad Pertengahan Perubahan tersebut
telah mengambil bentuk "S Shape" Garis horizontal S mewakili masyarakat tradisional yang
lahir dan meninggal hampir menyamai tahap potensi pertumbuhan yang tinggi.
Pertumbuhan yang tinggi terjadi dalam suatu transisi yang digambarkan dengan suatu garis
vertikal dari bentuk S yang lahir dan mati rendah.
Reisman menggunakan metode kajiannya yang meliputi aplikasi demografi, teori-teori
ekonomi, dan pertumbuhan untuk tipe dari perubahan sosial, struktur sosial, atau penyesuaian
dengan menggunakan induksi sejarah Kelompok masyarakat penyesuaian sosial menurut model
Reisman adalah jenis tradisi individu terarah, yakni ciri dari potensi pertumbuhan tinggi, dasar
kekeluargaan yang tidak progresif, homogen, masyarakat tradisional, tipe cara terarah yang
menonjol dalam transisi pertumbuhan perluasan, berubah-ubah, dan dinamis, Sedangkan
individu terarah lainnya adalah ciri dari masyarakat yang mengalami kemunduran populasi,
urbanisasi, birokrasi, kontak kelompok yang meningkat, dan kelas menengah baru.

88
Dengan demikian, tipe-tipe sosial menurut Reisman dan karakteristiknya adalah
sebagai berikut:
Penyesuaian Tradisi yang terarah Cara yang terarah Yang lain
Faktor-faktor
Demografi Potensi pertumbuhan Pertumbuhan Kemunduran
yang tinggi tradisional populasi yang baru
Ekonomi Rasio tanah orang Ekspansi koloni Industrialisasi dan
yang stabil urbanisasi
Sosialisasi Peniruan dalam Cara yang Standar kelompok
tatanan social ditanamkan oleh yang lebih tua
yang lebih tua
Sanksi-sanksi Kegelisahan dalam Bersalah jika tidak Malu, takut dari
orang yang bisa menyesuaikan isolasi
menyimpang

Contoh-contoh Masyarakat Era Victoria Kelas menengah


primitive, Abad kota-kota besar di
Pertengahan orang USA, Australia, dan
Eropa New Zealand
(Graham C. Kinloch, 2005: 234).
Selanjutnya, dengan membandingkan pendapat pendapat, antara lain, dari Coser dan
Reisman, maka struktur teori konflik naturalistik modern dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sosiologi Hukum Kontemporer
REAKSI →Terhadap konflik modern dan perubahan sosial.
BASIS PENJELASAN →Faktor demografi dan model perubahan sosial, PARADIGMA
→ Masyarakat sebagai pola penyesuaian dan substruktur masyarakat.
PREDIKSI → Disintegrasi masyarakat atau integrasi perubahan-perubahan masyarakat
dalam tipe-tipe ketaatan masyarakat.
Selanjutnya, sebagaimana yang dikatakan oleh William Hendricks, suntu konflik dapat
dikelola dengan suatu manajemen konflik sosial. Gaya manajemen konflik sosial tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Model mempersatukan (integrating). Dalam hal ini, terjadi saling menukar informasi dan
saling menjajaki perbedaan dan persamaan-persamaan.
b. Model membantu (obliging), yakni model yang memberikan nilai yang tingg kepada pihak
lawan dengan mengabaikan atau menganggap rendah dirinya sendiri.
c. Model mendominasi (diminating), yang obliging.
d. Model menghindar (avoiding).
e. Model kompromistis (compromising). Dalam hal ini, perhatian atas diri sendiri dengan
perhatian terhadap orang lain sama besarnya. Yang berlaku adalah prinsip musyawarah
(win-win solution).

89
(Trubus Rahardiansah, 2005:182).
Suatu konflik dapat diselesaikan dengan berbagai mekanisme, seperti dengan mekanisme
konsiliasi, mediasi, arbitrasi, penerapan, sanksi, dan lain-lain. Dalam hal penyelesaian konflik
ini, faktor hukum berperan sangat penting dan biasanya telah menyediakan ketentuan dan tata
caranya sendiri, baik yang dilakukan lewat pengadilan maupun yang dilakukan melalui
penyelesaian sengketa alternatif selain pengadilan.

BAB VIII
PENERAPAN DAN EFEKTIVITAS HUKUM

A. PERSOALAN LAW ENFORCEMENT


Hukum tertulis dibuat untuk diterapkan dalam masyarakat. Karena itu, adalah menjadi
suatu cita hukum agar hukum yang tertulis tersebut dapat semaksimal mungkin diwujudkan
dalam kenyataan, yakni agar hukum tertulis tersebut sedapat mungkin disesuaikan dengan
kenyataan. Dengan perkataan lain, antara hukum dalam buku (law in books) dan hukum dalam
kenyataan (law in actions) mestinya tidak jauh berbeda meskipun keinginan agar hukum dalam

90
buku dengan hukum dalam kenyataan yang sama persis hanya merupakan suatu angan-angan,
bahkan hanya sebuah mitos.
Namun, dengan asumsi hukum dalam buku merupakan hukum yang paling ideal,
besarnya jurang perbedaan antara hukum dalam buku dan hukum dalam kenyataan merupakan
indikasi adanya problem dalam masalah penegakan hukumnya. Problem tersebut harus
dipecahkan dengan menggunakan alat bantu berupa sosiologi hukum.
Selanjutnya, law enforcement, yang sering diterjemahkan sebagai "penegakan hukum"
menurut hemat penulis, yang dimaksudkan adalah suatu upaya dan proses yang dilakukan dan
dipertanggungjawabkan kepada pemerintah dan aparat- aparatnya atau kepada plhak yang
didelegasikannya. Di samping itu, dalam hal- hal tertentu juga dilakukan oleh pihak swasta,
profesional, atau masyarakat untuk mewujudkan ide, konsep, dan kaidah hukum tertulis atau
tidak tertulis, yang bersifat normatif, dan umumnya abstrak untuk diwujudkan ke dalam fakta-
fakta, kasus, dan kenyataan masyarakat setelah sebelumnya dilakukan klasifikasi, kualifikasi,
dan interpretasi terhadap fakta dan kaldah hukum tersebut sehingga dapat tercapai dalam
kenyataan unsur-unsur keadilan, kepastian hukum, ketertiban, keamanan, dan apa pun lainnya
yang menjadi tujuan hukum tersebut.
Seperti yang telah disebutkan, ada juga yang mengatakan bahwa penegakan hukum
adalah suatu "mitos". Artinya, bahwa tidak pernah dan tidak akan pernah suatu aturan tertulis
dalam hukum positif tersebut dapat diterapkan 100% persis seperti yang diinginkan. Diviasi-
diviasi tetap terjadi ketika hukum akan ditegakkan. Bahkan, terkadang tingkat diviasi tersebut
terlalu besar, terutama di negara-negara yang hukumnya belum maju. Dengan demikian, terjadi
gap yang besar antara hukum tertulis (the law in the book) dan hukum dalam kenyataannya (the
law in action). Terlebih lagi jika mengikuti pendapat kontemporer tentang hukum melalui
ajaran the critical legal studies yang dipengaruhi oleh aliran postmodern itu. Menurut kaum
postmodernis itu, penegakan hukum tidak pernah objektif dan tidak pernah netral. Akan tetapi,
selalu saja dipengaruhi oleh berbagai latar belakang politik, kepentingan, perasaan, dan pikiran
dari para penegak hukum itu sendiri. Dengan begitu, keadilan yang akan dicapai oleh hukum
sebenarnya semu. Jadi, keadilan pun dianggap sebagai "mitos" juga.
Dengan demikian, jika kita berbicara tentang penegakan hukum dalam masyarakat,
berarti kita berbicara bagaimana para penegak hukum berinteraksi dalam menegakkan hukum
tersebut dan bagaimana hasilnya yang didapati oleh masyarakat itu sendiri. Jadi, kita

91
sebenarnya juga berbicara tentang sistem perbuatan manusia, yang menurut Talcott Parsons,
sistem perbuatan manusia tersebut dibagi ke dalam beberapa elemen sebagai berikut:
1. Para pelaku perbuatan.
2. Interaksinya dengan orang lain.
3. Pola budaya
(Satjipto Rahardjo, t.t.: 13).
Kemudian, penegakan hukum harus pula memberikan otonomi bagi para penegak hukum.
Otonomi ini diperlukan agar sumber daya yang tersedia dalam rangka penegakan hukum dapat
didayaupayakan dengan baik, sehingga tujuan- tujuan dari suatu organisasi penegakan hukum
dapat dicapai. Adapun yang merupakan sumber daya yang diperlukan dalam rangka penegakan
hukum adalah sebagai berikut:
1. Sumber daya manusia, seperti advokat, jaksa, hakim, panitera, dan lain-lain.
2. Sumber daya fisik, seperti gedung-gedung, perlengkapan kantor, kendaraan dinas, dan lain-
lain.
3. Sumber daya keuangan; seperti belanja negara, swakelola, dan dana dari sumber-sumber
keuangan lainnya
4. Sumber-sumber daya lainnya yang diperlukan dalam rangka menggerakkan roda organisasi
penegakan hukum.
Di samping itu, agar suatu undang-undang menjadi efektif secara sosiologis diperlukan
beberapa prasyarat, yaitu:
1. Undang-undang tidak boleh diganggu gugat.
2. Undang-undang tidak boleh berlaku surut.
3. Semakin tinggi kedudukan yang membuat peraturan, semakin tinggi pula tingkat peraturan
tersebut.
4. Undang-undang khusus mengesampingkan undang-undang yang umum.
5. Undang-undang yang lebih baru mengesampingkan undang-undang yang lama.
6. Undang-undang merupakan suatu alat untuk mencapai kesejahteraan.
Menurut ajaran sosiologi hukum, ada beberapa fase yang harus dilalui agar #suatu
penegakan hukum dapat menemukan sasarannya. Menurut Philip Selznick, fase-fase
perkembangan penegakan hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tahap primitif/penyebaran.

92
2. Tahap keterampilan sosiologis.
3. Tahap otonomi dan kematangan intelektual.
(Satjipto Rahardjo, t.t.: 8).
Dalam tahap primitif atau penyebaran (missionary) hukum sudah mulai di- tembus dan
diusik dari isolasinya oleh perspektif sosiologis, yakni dengan mengetengahkan pembenaran-
pembenaran sosiologis yang bersifat dasar dan umurn Re dalam studi tentang hukum. Pada
tahap ini sudah mulai dilakukan penelaahan-penelaahan yang bersifat teoretis dan analisis
terhadap pengalaman yang berkenaan dengan hukum. Penelitian-penelitian hukum yang
bersifat empiris sudah mulai dilakukan meskipun hanya untuk kepentingan demonstratif atau
untuk kepentingan akademis.
Dalam tahap kedua, yaitu tahap keterampilan sosiologis, tindakan yang bersifat sosiologis
tidak hanya sekadar upaya demonstratif dan teoretis, tetapi sudah mulai masuk ke dalam
penjajakan dan penelitian-penelitian secara mendalam dengan berdasarkan metode, teknik, dan
ide yang benar-benar bersifat sosiologis.
Selanjutnya, dalam tahap ketiga, yaitu tahap kematangan otonomi dan kematangan
intelektual. Para ahli kembali berbicara tentang teori-teori sosiologis, tetapi pada tingkat yang
sangat mendalam, jauh lebih mendalam dari tahap pertama tersebut. Mereka menganalisis lebih
jauh lagi tentang metode, teknik, dan ide-ide yang bersifat sosiologis.
Kemudian, agar suatu hukum itu efektif dan dapat mencapai sasarannya, beberapa elemen
dasar dalam hukum haruslah berjalan atau berfungsi dengan baik. Elemen-elemen dasar dari
hukum tersebut adalah:
1. Aturan hukum tertulis harus lengkap dan up to date.
2. Penegakan hukum harus berjalan dengan baik dan fair.
3. Penegak hukum harus bekerja dengan sungguh-sungguh, imajinatif dan tidak memihak.
4. Budaya hukum dan kesadaran masyarakat harus mendukung pelaksanaan hukum..
5. Reward/hukuman haruslah efektif, preventif, dan represif.
Kelima elemen hukum tersebut haruslah berjalan seiring. Manakala salah satu dari
elemen tersebut tidak berfungsi dengan baik, suatu hukum yang efektif tidak terjadi dan tujuan
hukum tidak tercapai. Dengan demikian, masalah penegakan hukum (law enforcement)
merupakan salah satu elemen yang perlu diperhatikan bagi suatu hukum yang efektif.

93
Sementara itu, dengan mengadaptasi pendapat dari Chamblies/Seidman, Satjipto
Rahardjo mengemukakan unsur-unsur dalam penegakan hukum, yaitu:
1. Unsur pembuatan undang-undang.
2. Unsur penegakan hukum
3. Unsur lingkungan.
(Satjipto Rahardjo, t.t.: 24).
Kemudian, menurut Roscoe Pound, dalam menerapkan hukum oleh hakim dalam
perkara-perkara yang ditanganinya terdapat tiga langkah yang harus dilalui, yaitu:
1. Menemukan Hukum
Dalam hal ini, diputuskan manakah di antara sekian banyak kaidah. yang harus diterapkan
pada kasus yang bersangkutan.
2. Menafsirkan Hukum
Dalam hal ini, terhadap kaidah yang akan diterapkan tersebut perlu diberikan penafsiran-
penafsiran yang benar dan kontekstual.
3. Menerapkan Hukum
Dalam hal ini, diterapkan kaidah hukum yang telah ditemukan dan ditafsirkan tersebut
pada kasus yang bersangkutan.
(Otje Salman, 1993: 36).

B. PENERAPAN HUKUM OLEH PENGADILAN


Banyak penelitian menunjukkan bahwa tingkat dan rating tindak pidana korupsi di
Indonesia dewasa ini sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan negara-negara lain di
dunia ini. Penegakan hukum yang berkenaan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi
disebut-sebut sudah sedemikian parah, sudah sampai di titik nadir. Prof. Andi Hamzah
melukiskan dengan jelas bagaimana parahnya wabah korupsi di Indonesia jika di bandingkan
dengan apa yang terjadi di negara-negara tetangga, dengan menyatakan sebagai berikut:

Jika komisi pemberantasan korupsi di Australia dar, Sinauwura ber_fungsi sebagai


pengisap debu (vacuum cleaner), di Malaysia dan Hongkong sebagai sapu ijuk dalam
rumah, di Thailand sebagai sapu lidi di pekarangan. Adapun di Indonesia diperlukan
bulldozer karena korupsinya sudah menggunung.
(Andi Hamzah, 2005:6).

94
Perubahan budaya dalam hal ini dapat dimulai dengan perubahan ikilm penegakan
hukum. Oleh karena itu, hakim sebagai salah satu komponen dalam penegakan hukum harus
memainkan peran yang kreatif dalam memberikan putusan-putusannya sehingga output yang
dihasilkan oleh badan-badan peradilan akan benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip
keadilan, kepastian hukum, keprofesionalan, dan sesuai pula dengan rasa keadilan yang
terdapat dalam masyarakat.

1. Putusan Hakim Sesuai Hukum Yang Berlaku


Sebagai seorang hakim yang menjalankan tugasnya di negara yang menganut sistem
hukum Eropa Kontinental, maka para hakim di Indonesia tidak dapat dilepaskan keterikatannya
dengan kaidah dan ketentuan hukum positif yang berlaku. Hal ini berbeda dengan sistem yang
berlaku di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, seperti Inggris atau
Amerika Serikat di mana dalam memberikan putusannya, hakim harus menggunakan sistem
stare decisis (system precedent), yang berarti hakim pada prinsipnya tidak boleh keluar dari
yurisprudensi yang ada, kecuali ada alasan untuk itu yang dapat diterima oleh hukum.
Meskipun begitu, seorang hakim di Indonesia sebaiknya juga mengikuti yurisprudensi
yang ada karena menurut sistem hukum Indonesia, yurisprudensi merupakan salah satu sumber
hukum di samping sumber hukum yang lainnya. Di samping itu, dalam peradilan pidana,
keyakinan hakim merupakan faktor yang menentukan juga. Karena itu, dapatlah dikatakan
bahwa ramuan dasar dari suatu putusan hakim adalah:
a. Perundang-undangan yang berlaku selaku ramuan dasar;
b. Yurisprudensi; dan
c. Keyakinan hakim selaku ramuan tambahan.
Seorang hakim yang kreatif haruslah pandai dalan, membuat putusannya dengan meracik
secara pas ketiga unsur tersebut.
Di samping itu, dalam hubungan dengan penerapan hukum yang berlaku, tentu saja
ketentuan, kaidah, dan dalil-dalil hukum yang paling utama harus dipertimbangkan oleh
seorang hakim. Misalnya, karena korupsi itu adalah kasus pidana, sangat wajar jika
pertimbangan hukum pidana mendapat porsi yang lebih besar dalam mengadili suatu tindak
pidana korupsi. Setelah itu, baru dipertimbangkan aspek hukum lain selain hukum pidana.
Kemudian, diikuti oleh aspek lain yang nonhukum. Karena itu, adalah tidak tepat, misalnya,
jika suatu putusan hakim dalam perkara korupsi yang terkait erat dengan masalah

95
penyalahgunaan kekuasaan negara, justru kaidah dan dalil-dalil hukum tata usaha negara yang
lebih dominan dalam putusannya itu melebihi dominasi hukum pidana, misalnya, karena hakim
yang bersangkutan lebih ahli dalam hukum tata usaha negara daripada hukum pidana. Dalam
hal ini, kata kuncinya adalah "profesional" dan "proporsional".
Memang, khusus dalam bidang tindak pidana korupsi, selain aspek hukum pidana juga
terlibat aspek hukum lain, terutama aspek hukum tata usaha negara, aspek hukum bisnis, dan
aspek hukum perdata. Karena itu, seorang hakim yang memeriksa kasus korupsi, di samping
harus mengetahui hukum pidana, minimal juga harus menguasai konsep-konsep dasar dari
ketiga bidang hukum tersebut. Tidak akan mungkin didapati putusan yang baik tentang korupsi
yang terjadi di dunia perbankan tanpa sebelumnya menguasai kaidah-kaidah hukum perbankan.
Demikian pula tidak akan mungkin menjatuhkan putusan yang benar terhadap tindakan korupsi
yang dilakukan oleh seorang direktur suatu perseroan terbatas, tanpa sebelumnya mendalami
kaidah-kaidah hukum perseroan.
Pendek kata, untuk mendapatkan suatu putusan yang baik dibutuhkan seorang hakim
yang mempunyai kemauan keras, pengetahuan yang komprehensif, dan dapat berpikir secara
multidimensi. Tentu saja visi, misi, dan moral yang baik juga sangat dibutuhkan.
2. Hakim Menggali Hukum yang Hidup dalam Masyarakat
Salah satu kewajiban yang diamanahkan oleh undang-undang ke pundak hakim adalah
kewajiban hakim untuk menggali hukum yang hidup da;am masyarakat. Dalam hal ini, peran
yang dimainkan oleh disiplin sosiologi hukum sangat besar. Tentunya hakim tidak sekadar
"menggali", tetapi juga ikutannya adalah "menerapkan" dalam putusannya terhadap kewajiban
hakim untuk menggali hukum yang hidup dalam masyarakat. Undang-Undang tentang
Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa:
"Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.”
Dengan demikian, memang jelas ada kewajiban hakim untuk mengetahui dan mendalami
kesadaran hukum dari masyarakat sehingga dapat pula mengetahui hukum yang hidup di
dalamnya. Khususnya dalam bidang hukum pidana, unsur keyakinan hakim yang juga
dipersyaratkan oleh undang-undang dapat dijadikan wadah yang saling menyambung dengan
unsur kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat untuk diimplementasikan ke dalam suatu
putusan hakim.

96
Dengan begitu, adalah tidak pantas jika kita masih mendudukkan hakim di menara gading
(ivory tower) yang mempunyai sekat yang tebal dengan masyarakatnya. Di samping itu,
ungkapan hakim hanya sebagai "corong undang- undang" juga tidak sepantasnya diberlakukan
secara mutlak.
kan tetapi, undang-undang juga menentukan bahwa kedudukan hakim adalah independen,
dalam arti bebas dari pengaruh siapa pun. Dalam hal ini, Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945
(amandemen ke-3) menentukan bahwa:
"Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan.”
Dari ketentuan tersebut, terlihat dengan jelas bahwa memang benar profesi hakim
merupakan profesi yang independen. Akan tetapi, independen dalam hal ini tidak berarti bahwa
seorang hakim harus selamanya menyendiri di tempat sunyi. Jika dia selalu menyepi,
bagaimana dia dapat menggali dan mengetahui hukum yang hidup dalam masyarakat.
Jadi, yang dimaksudkan dengan profesi hakim yang independen di sini adalah independen
atau bebas dari pengaruh siapa pun, terutama bebas dari pengaruh pemerintah selaku badan
eksekutif ataupun bebas dari pengaruh Dewan Perwakilan Rakyat selaku badan legislatif.
Bukankah tugas-tugas hakim itu bukan merupakan tugas eksekutif atau legislatif, melainkan
merupakan tugas badan yudikatif.
Di samping itu, masyarakat melalui lembaga-lembaga masyarakat atau pers, seperti
media cetak, televisi, atau internet tidak boleh mempengaruhi suatu putusan hakim meskipun
seorang hakim juga harus mengetahui kesadaran hukum mereka dalam rangka mengetahui
bagaimana hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian, akhirnya terpulang kepada sang hakim untuk panc pandai menggali
hukum yang hidup dalam masyarakat dan menerapl, dalam putusannya tanpa masyarakat atau
siapa pun memengaruhi putusan yang dibuat oleh hakim tersebut. Karena itu, sebaiknya
dimuncul suatu konsep berupa "kewaspadaan hakim".
Selanjutnya, paham liberalisme yang dipelopori oleh filosof Immanuel Kant, yang
merupakan paham yang muncul di dunia ini sebagai akibat dari berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, khususnya sejak zaman pencerahan, sekarang telah merasuki setiap
bidang kehidupan manusia. Dalam bidang hukum, paham liberalisme ini muncul dalam bentuk
berkembangnya hukum internasional dan konsep-konsep hukum yang universal sejak era

97
Grotius. Salah satu ciri utama dari paham liberalisme ini adalah prinsip etnocentris, yakni
menempatkan manusia sebagai pusat dari segala-galanya yang dalam bidang hukum muncul,
misalnya, dalam bentuk perlindungan yang berlebih-lebihan terhadap hak asasi manusia dan
dalam bidang hukum pidana, misalnya, memperlihatkan penampakannya dalam bentuk
perlindungan tersangka.
Dalam sistem hukum Indonesia, baik dalam hukum formal maupun dalam bidang hukum
substantif ataupun dalam undang-undang dasar (terutama dalam amandemennya), paham
liberalisme ini juga cukup mencengkeram.
Karena itu, seorang hakim dalam memutus perkara harus ekstra hati-hati jika
bersinggungan dengan prinsip liberalisme ini. Keyakinan hakim yang dimilikinya, kesadaran
hukum, dan penalaran hukum dari masyarakat yang harus digali oleh hakim ter rebut jangan
terlalu didominasi oleh paham liberalisme ini. Khususnya dalam hal mengadili kasus-kasus
pidana, kewaspadaan hakim untuk tidak terlalu didominasi oleh paham liberalisme ini
disebabkan oleh beberapa pertimbangan berikut:
 Di Eropa dan Amerika Serikat, tempat lahir dan berkembangnya paham liberalisme,
banyak juga berkembang alternatif lain selain liberalisme, misalnya, sosialisme.
 Paham liberalisme tidak sesuai atau minimal disangsikan kesesuaiannya dengan pandangan
hidup dan falsafah bangsa Indonesia.
 Bahkan, terutama menjelang akhir abad ke-20, di seluruh dunia paham liberalisme sudah
dikritik habis-habisan, bahkan liberalisme dianggap sudah gagal. Paham ini terutama
dikritik oleh pahampaham mutakhir, seperti oleh paham postmodernisme.
 Khusus dalam bidang hukum pidana, pemujaan terhadap paham liberalisme berarti
memberikan hak dan perlindungan yang berLebih-Lebihan kepada tersangka yang
notabene adalah penjahat. Hal ini sangat tidak sesuai dengan semangat yang hidup dalam
masyarakat yang tentunya tidak senang dengan kejahatan. Oleh karena itu, prinsip praduga
tidak bersalah, prinsip tidak berlaku surut pada suatu undang-undang (asas legalitas),
keengganan me- nerapkan sistem pembuktian terbalik, beberapa prinsip perlindungan
tersangka dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tersangka
oleh hakim sebaiknya tidak perlu ditafsirkan secara kaku.
Dalam hal ini, yang diperlukan adalah semacam keseimbangan antara melindungi
tersangka pelaku kejahatan dan melindungi para korban ataupun saksi dan masyarakat secara

98
keseluruhan. Sekali lagi, hakim memang dituntut untuk bertindak arif dan bijaksana. Seperti
Benjamin Cardozo, yang merupakan sedikit dari sekian banyak hakim agung di Amerika
Serikat yang hebat dan dikenang sepanjang masa karena dia mempunyai banyak kelebihan. Di
samping elok dalam menulis putusan, dia juga sebenarnya mempunyai bakat gabungan antara
filosof, penyair, dan lawyer (American Bar Association, 1987: 104).

C. MASALAH EFEKTIVITAS HUKUM


Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas penegakan
hukum adalah sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri;


2. Faktor penegak hukum;
3. Faktor sarana dan fasilitas;
4. Faktor kesadaran masyarakat; dan
5. Faktor budaya hukum.

(Soerjono Soekanto, 2005: 8).

Dari berbagai faktor tersebut di atas terlihat bahwa faktor hukum (undang- undang) dan
faktor penegak hukum merupakan dua di antara lima faktor yang sangat menentukan efektivitas
suatu hukum. Karena itu, membuat suatu aturan hukum sama pentingnya dan mungkin juga
sama susahnya dengan menegakkan aturan tersebut. Kisah ilustratif dari Lon Fuller tentang
Raja Rex yang mencoba membuat dan menerapkan hukum yang baik sangat penting untuk kita
simak dan kita ambil manfaatnya secara sosiologis. Kisahnya adalah sebagai berikut:
(Soerjono Soekanto, 2005:
Alkisah, konon terdapatlah seorang raja bernama Rex di suatu kerajaan yang kelihatan
masyarakatnya cukup dinamis dan kritis. Sebagai seorang raja ambisius yang baru
naik tahta, di benaknya banyak muncul pemikiran dan konsep-konsep perubahan bagi
masyarakatnya. Raja Rex melihat bahwa raja-raja sebelumnya mengalami kegagalan
dan tidak populer di mata rakyatnya karena sektor hukum tidak dibenahi. Sektor
hukum sudah lama tidak diubah sehingga menurutnya, sudah banyak aturan hukum
yang ketinggalan zaman karenanya harus diubah, bahkan, mestinya dirombak total.

99
Karena ketertinggalan hukum dibandingkan dengan perkembangan masyarakatnya,
banyak hukum tidak dapat menjawab kebutuhan masyarakat. Di samping itu, karena
kelemahan aturan main, banyak pihak otoritas dan yang dekat dengan otoritas
memanfaatkan hukum untuk kepentingan pribadi masing-masing. Putusan-putusan
pengadilan juga banyak yang amburadul, lamban, dan tidak prediktif. Oleh karena itu,
pikir Raja Rex, mutlak hukum harus diubah. Dan menurutnya, inilah kesempatan
untuk mengukir sejarah dengan merombak segala macam hukum dan membawa
rakyatnya ke zaman yang gemilang.
Maka, dengan penuh rasa percaya diri, proyek perubahan hukum pun mulai dilakukan
oleh Raja Rex. Seluruh penasihat raja dan cendekiawan di ring satu dan dua dalam lingkaran
kekuasaan istana dipanggil dan didengar pendapatnya. Namun, Raja Rex juga sangat paham
bahwa para penasihat dan cendekiawan itu sering tidak berbicara objektif. Mereka hanya ingin
mengatakan yang enak didengar oleh raja, dengan kata-kata yang cenderung berupa sanjungan
dan pujian kepada raja. Pikir Raja Rex dalam hatinya, mereka itu hanya ibarat keledai yang
diikat leher yang siap ditarik ke mana suka.
Setelah mendengar semua pendapat yang berkembang, Raja Rex memutuskan untuk
mengabaikan semua pendapat tersebut karena menurutnya hanya merupakan pendapat murahan
belaka. Maka, dengan kepala tegak penuh semangat, sang raja mulai mencanangkan perubahan
hukum yang ada. Ia mengumumkan ke seluruh penjuru negeri bahwa hukum akan segera
diubah untuk mendapatkan hukum yang baru yang lebih modern dan lebih sesuai dengan ke-
inginan dan perkembangan masyarakat. Dan raja sendiri yang akan memimpin perubahan
tersebut. Sukacita rakyat terdengar di manamana dan ini menambah semangat Raja Rex untuk
mempercepat perubahan hukum tersebut.
Bidikan pertamanya ialah mengubah berbagai kitab undang-undang (kodifikasi) dan
beritanya disiarkan kembali ke seluruh negeri.
Tanpa banyak basa-basi, Raja Rex langsung mulai bekerja untuk menyusun sebuah kitab
undang-undang yang baru untuk menggantikan yang sudah ada. Hanya saja, membuat
kodifikasi baru ternyata tidak semudah yang dibayangkan semula. Banyak hambatan
ditemukan, terutama karena sang raja tidak cukup berpendidikan dan berpengalaman di bidang
hukum. Maka, kepada juru penerang kerajaan diinstruksikan agar kembali mengumumkan ke

100
seluruh pelosok negeri bahwa untuk sementara pembuatan kitab undang-undang yang baru
ditunda dulu.
Raja Rex berpikir agar mendapat pengalaman, pengetahuan, dan nuansa berkenaan
dengan hukum, dia sebaiknya menjadi hakim terlebih dahulu. Nantinya, sebagai hakim, dia
akan menemukan prinsip-prinsip dan kaidah hukum yang kemudian sampai masanya nanti,
pengetahuan dan pengalamannya tersebut cukup untuk membuat sebuah kitab undang-undang.
Maka, menjadilah dia se- orang hakim di negeri itu. Semua perkara dan sengketa yang penting
diminta agar dia yang memutuskannya.
Akan tetapi, karena kurangnya pendidikan dan pengetahuan hukumnya, putusan-putusan
Raja Rex tersebut banyak yang tidak bermutu, kacau, dan parahnya lagi, satu sama lain saling
bertentangan. Sementara prinsip, kaidah, dan nuansa hukum belum juga didapatinya meskipun
dia sudah menjadi hakim.
Melihat gelagat yang tidak baik ini, sang raja berhenti sebagai hakim dan me- mutuskan
untuk masuk sekolah hukum agar ilmu hukumnya menjadi mantap, pikirnya.
Setelah hari demi hari berlalu, selesai juga sekolah hukumnya, dan dia diwisuda sebagai
sarjana hukum. Dan, serta-merta dia kembali ke ambisi lamanya untuk membuat kodifikasi di
negerinya itu. Akhirnya, dengan susah-payah, sebuah kitab undang-undang berhasil juga
diselesaikannya.
Namun, raja sendiri tidak begitu yakin akan mutu kitab undangundang yang dibuatnya
dan juga tidak yakin bahwa dia telah berhasil mengatasi masalahnya pada masa lalu tersebut.
Oleh karena itu, Raja Rex memutuskan bahwa kitab undang-undang yang baru dibuatnya
tersebut sudah mulai berlaku, tetapi tidak dapat dipublikasi. Dengan perkataan lain, bahwa
kitab undang-undang tersebut merupakan rahasia negara.
Serta-merta kebijaksanaan tidak mempublikasi kitab dangundang tersebut mendapat
kecaman keras dari rakyatnya di seluruh penjuru negeri. Rakyat mengajukan protes, bahkan
demonstrasi. Bagaimana mungkin rakyat disuruh tunduk dan patuh pada hukum yang tidak
pernah diketahui isinya sama sekali. Di mana logikanya, demikian kira-kira rakyat bertanya.
Dalam merespons reaksi dari rakyatnya tersebut, Raja Rex akhirnya memutuskan untuk
mengumumkan secara meluas tentang kitab undang-undang yang telah dibuatnya tersebut.
Setelah kitab undang-undang itu dibaca banyak orang, semua orang menjadi bingung
karena pasal-pasal dari undang-undang tersebut tidak bisa dimengerti, bahkan oleh para ahli

101
hukum sekalipun. Bahasanya kacau, logikanya tidak jalan, serta susunan dan sistematikanya
amburadul. Malahan, banyak pasal yang saling bertentangan satu sama lain.
Menyadari akan hal yang tersebut, kemudian kitab undang-undang ditarik kembali dari
peredaran dan berlakunya ditangguhkan. Sang raja kemudian memanggil kembali pembantu,
staf ahli, dan para cendekiawan. Mereka ditugaskan untuk menyempurnakan kitab undang-
undang tersebut, tetapi dengan tidak mengubah materi pengaturannya.
Kemudian, terciptalah suatu kitab undang-undang hasil revisi, dengan bahasa yang dapat
dimengerti oleh banyak orang, diumumkan dan diberlakukan kepada masyarakatnya. Akan
tetapi, rakyat kemudian kembali mengeluh karena pasal yang satu bertentangan dengan pasal
yang lain dalam kitab undang-undang tersebut. Rakyat bingung karena terhadap pasal-pasal
yang saling bertentangan tersebut, sebenarnya pasal manakah yang harus diikuti. Pasal-pasal
yang saling bertentangan tersebut tidak dapat diperbaiki oleh para ahli saat itu karena
memperbaiki hal tersebut sama dengan mengubah materi dari kitab undang- undang yang
bersangkutan. Kemudian, kodifikasi tersebut terpaksa drtank kembali untuk disempurnakan
lagi, terutama mengubah pasal-pasal yang saling bertentangan tersebut. Setelah para ahli
mengubahnya, sebuah kitab undang- undang yang sistematis daya logis siap untuk diumumkan.
Akan tetapi, kemudian timbul masalah baru. Karena terlalu lama dan bertele- tele
pembuatan kitab undang-undang baru, terdapat ketentuan di dalamnya yang sudah ketinggalan
zaman sehingga perlu diubah lagi sebelum diberlakukan. Maka sang raja pun meminta para ahii
untuk mengubah lagi kitab undang-undang tersebut untuk kemudian dipublikasi dan
diberlakukan.
Tatkala kitab undang-undang mulai diberlakukan, kelihatannya rakyat menerimanya
dengan segala sukacitanya. Dengan demikian, diberlakukan kitab undang-undang tersebut
sampai suatu masa kemudian diketahui oleh masyarakat bahwa sang raja sendiri kemudian
banyak bertindak dan memutus yang bertentangan dengan kitab undang-undang yang dibuatnya
sendiri tersebut. Maka rakyat pun resah, demonstrasi terjadi di mana-mana. Bahkan, semakin
lama semakin kuat permintaan untuk menurunkan Raja Rex tersebut dari tahtanya.
Akan tetapi, kiranya takdir tidak bisa ditolak, sebelum kegaduhan sampai ke puncaknya,
Raja Rex keburu meninggal dunia. Dia digantikan oleh seorang raja baru.
Maka singkat cerita, sang raja baru rupanya tidak mau terjebak ke dalam kesalahan yang
dilakukan oleh Raja Rex yang digantikannya, yang terlalu mengagung-agungkan hukum dan

102
undang-undang. Karenanya, raja baru tersebut kemudian melakukan tindakan yang
mengejutkan semua pihak, yakni menyingkirkan semua ahli hukum dari pemerintahan dan
menggantikannya dengan para psikiater dan ahli komunikasi dan hubungan masyarakat.
Menurut sang raja baru tersebut, rakyat akan hidup lebih berbahagia tanpa adanya para ahli
hukum dan tanpa aturan hukum.
Dari kisah Raja Rex tersebut dapat ditarik kesimpulkan bahwa ternyata membuat sebuah
hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan diterima oleh masyarakat secara
meluas ternyata bukanlah persoalan gampang. Akan tetapi, lebih tidak gampang lagi
menjalankan dan menerapkan secara konsekuen aturan hukum yang sudah dibuat itu ke dalam
masyarakat.

BAB IX
POSTMODERNISME HUKUM

A. BANGKITNYA PAHAM POSTMODERNISME


Dalam bidang sosial dan kemasyarakatan umumnya, pola pemikiran modern berasal dari
pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke pada abad ke-17. Jika kaum Hobbesian
membayangkan masyarakat sebagai segerombolan dengan teori homo homini lupus (manusia
yang satu merupakan serigala bagi yang lain) di mana yang kuat akan memangsa yang lemah
dan antarmereka akan sating berperang sehingga demi eksistensi manusia dan masyarakat,
kebebasan manusia dan masyarakat sebaiknya diserahkan kepada seorang penguasa. Atau John
Locke yang memandang masyarakat secara lebih bersahabat meskipun versi kaum Lockean,
masyarakat juga menyerahkan kebebasannya kepada penguasa untuk mengatur negara yang
dikenal dengan teori kontrak sosialnya.

103
Namun, dalam kenyataannya, munculnya gerakan postmodern itu, antara lain, disebabkan
banyak fenomena abad modern tidak sesuai dengan prinsip dan pola pikir kaum modernis.
Banyak tesis pada zaman modern yang tidak dapat mendukung teori Marxism, seperti banyak
juga perang dan pertentangan masyarakat yang terjadi antara kelompok masyarakat dalam kelas
yang sama (bukan pertentangan kelas), seperti perang antara kaum proletar Prancis melawan
kaum proletar Jerman, ketika Prancis berperang melawan Jerman dalam Perang Dunia Kedua.
Atau banyak fakta juga menunjukkan bahwa konsep nasionalisme yang merupakan salah satu
tesis besar dari kaum modernis di bidang sosial kenegaraan juga ternyata telah banyak
distorsinya, misalnya, banyaknya komunitas lokal, keagamaan, organisasi nonpemerintah
lainnya yang memiliki kekuasaan yang besar, atau desakan dari luar yang menginginkan
adanya pengaruh globalisasi yang lebih besar, seperti terbentuknya berbagai jaringan atau
organisasi internasional, desakan paham-paham universal tanpa organisasi tertentu, atau
terbentuknya MJ berbagai kawasan regional, seperti ASEAN, APEC, negara-negara Eropa
bersatu, dan lain-lain.

Namun, bagaimanapun harus diakui bahwa perkembangan zaman modern I ditandai


dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi secara cepat, di samping banyak
asumsinya yang temyata sudah tidak benar, juga tatanan sosial dan gambaran dunia yang
dihasilkannya ternyata telah banyak menimbulkan konsekuensi buruk bagi kehidupan manusia.
Konsekuensi negatif dari perkembangan modernisme tersebut, antara lain:

1. Pandangan kaum modernisme yang dualistik, yakni yang membagi seluruh kenyataan
menjadi subjek dan objek, spiritual-materiil, manusia-dunia, dan lain-lain telah
menyebabkan objektivisasi alam yang berlebihan dan semena- mena yang, antara lain,
mengakibatkan krisis ekologi.
2. Kaum modernisme hanya menganggap manusia sebagai objek dan masyarakat hanya
sebagai sebuah mesin. Jadi, sangat tidak manusiawi, sebagai akibat pandangan dari kaum
modernis tersebut yang bersifat objektivitas dan positivitas.
3. Modernisme terlalu mementingkan ilmu empiris sebagai standar kebenaran tertinggi
sehingga mengabaikan nilai-nilai moral dan religi. Akibatnya, terjadi dekadensi moral di
mana-mana.

104
4. Modernisme mengakibatkan timbulnya pola hidup materialisme sehingga materi menjadi
hal yang dipuja-puja. Akibatnya, hidup manusia akhirnya hanyalah sating mengejar materi.
5. Modernisme mengakibatkan militerisme. Karena unsur religius dan moral tidak berdaya,
manusia cenderung menggunakan kekuatan kekuasaan sehingga perang dengan senjata
canggih, kekerasan, ataupun militerisme tidak terelakan. Meskipun penggunaan agama
secara fundamentalis juga dapat mengakibatkan hal yang sama atas nama perjuangan
menegakkan agama secara kaku.
6. Sebagai konsekuensi penggunaan kekuasaan secara koersif, maka timbullah kembali
paham tribalisme, yang hanya mementingkan suku atau kelompoknya sendiri.

(1. Bambang Sugiharto, 1996: 30).

Perkembangan dunia modern yang sarat dengan ilmu dan teknologinya, dengan cara
berpikir yang sekuler dan kapital-liberalisme, ternyata telah membawa petaka berupa
kehancuran planet bumi ini, sekaligus merupakan ancaman terhadap kehidupan dan peradaban
manusia. Oleh sebab itu, di mana- mana dewasa ini semangat menyelesaikan segala persoalan
manusia dengan mengikutsertakan pertimbangan spiritual sudah mulai bergema lagi. Faktor
yang agama, yang sudah lama tidur lelap karenaa dipandang hanya sebagai candu
meninabobokan masyarakat, diundang untuk turun tangan kembali. Jika pada masa lalu,
ternyata agama dapat bersikap aktif dan komunikatif dengan adaptasi- adaptasi tertentu,
diharapkan tentunya agama tersebut dapat memainkan perannya kembali. Bahkan, pada zaman
modern sekalipun, dalam hal-hal tertentu, agama sebenarnya juga berhasil beradaptasi dengan
cara berpikir saat itu yang ilmiah sekuler. Inilah salah satu fenomena dari zaman postmodern
ini meskipun sebagai salah satu narasi besar, agama tidak terlalu disenangi oleh sebagian dari
para penganut postmodern. Hal inilah yang membedakan antara paham postmodern dan paham
neokonservatif di mana kaum neokonservatif sangat terfokus pada keluarga dan agama.

Kenyataan lain menunjukkan bahwa meskipun Tuhan sudah dianggap mati pada zaman
modern, penampakan religionalitas tetap ada dalam masyarakat. Bahkan, apa pun yang menjadi
idolanya menjadi sembahan bagi mereka. Malahan, unsur religionalitas (tanpa unsur
transedental) juga terdapat dalam paham fasisme, komunisme, nasionalisme, globalisme,
sosialisme, saintisme, estetisisme, nuklirisme, dan isme-isme yang lain. Karena itu, terhadap
isme-isme tersebut dapat disebut juga dengan istilah "semiagama" (quasi religion).

105
Suara hiruk-pikuknya zaman modern yang bersemangat individualistik tersebut memang
bisa bertahan untuk beberapa abad. Pada zaman modern tersebut, paham komunal pada zaman
sebelumnya diganti dengan paham individual. Modernitas tidak lagi melihat komunitas sebagai
titik sentral, sedangkan individu merupakan bagiannya, tetapi justru menganggap manusia
individu sebagai titik sentra sementara masyarakat dianggap sebagai kumpulan individu yang
bersatu karena mempunyai kepentingan tertentu. Modernisme terlalu membesar-besarkan
keagungan manusia sebagai individu yang satu sama lain dianggap unik, dengan hak-hak dan
kebebasan dasar yang tidak boleh diganggu gugat sehingga menyebabkan apa yang namanya
manusia tersebut merasa absah dalam mengeksploitasi habis-habisan apa saja yang ada di
depan- nya, termasuk mengeksploitasi alam, bahkan mengeksploitasi sesama manusia itu
sendiri. Karenanya, tidak heran apabila Charles Darwin dalam teori evolusinya, bahkan
mengatakan bahwa makhluk (termasuk manusia) yang bisa bertahan adalah mereka yang kuat.
Dengan ucapannya yang kesohor, yaitu the fittest of the survival. Manusia lemah harus kalah
karena seleksi alam, mereka dibiarkan hidup terlunta, menjadi sapi perahan, budak, bahkan
dibiarkan mati. Demikian juga teori Adam Smith dalam bidang ekonomi yang menyerahkan
perkembangan ekonomi pada persaingan bebas dengan teorinya berupa free fight liberalism,
yang juga membiarkan yang lemah tetap tidak ditolong karena menurutnya akan ada "tangan
bayangan" (invisible hands) yang akan mengurusinya.

Selanjutnya, pada zaman modern juga berkembang beberapa konsep pemikiran berupa:

 Relativisme
Merupakan suatu paham yang mengajarkan bahwa semua putusan terhadap nilai bersifat
relatif terhadap perspektif dan tujuan yang terbatas. Jadi, tidak ada tempat berpijak yang
secara objektif menentukan bahwa sesuatu itu secara normatif benar atau tidak.
 Saintisme
Merupakan metode ilmu pengetahuan alam yang mengajarkan cara mencari kebenaran
dengan menganalisis fakta-fakta semata-mata. Jadi, tidak bertitik pijak dari suatu nilai.
 Nihilisme Suatu paham yang mengajarkan tentang penolakan terhadap hak dasar apa pun,
termasuk tetapi tidak terbatas pada norma yang mengharuskan orang berbuat atau tidak
berbuat sesuatu.

106
 Determinisme Suatu paham yang mengajarkan bahwa segala sesuatu terjadi karena sudah
ditakdirkan untuk terjadi. Jadi, dianggap merupakan suatu ilusi terhadap pandangan
manusia yang menyatakan bahwa mereka bisa mengubah sejarah
 Positivisme
Serupa dengan saintisme.
 Desisionisme
Paham yang mengajarkan bahwa nilai tertinggi hanya bisa diterima dengan suatu
keputusan yang nonrasional. Bisa saja seseorang memilih nasionalisme, humanisme,
agama, komunisme, atau fasisme, tetapi tidak ada landasan rasional untuk menyatakan
putusan seseorang tersebut lebih baik dari yang lain.
 Rasionalitas Instrumental
Merupakan ajaran yang mengajarkan bahwa rasionalitas hanya terbatas pada rasionalitas
instrumental (zweckrationalitat). Artinya, bahwa suatu rasio hanya mampu menjawab
bagaimana cara terbaik untuk mencapai tujuan di mana tujuan itu sendiri tidak dapat
dicapai dengan rasio, tetapi dengan cara-cara lain.
Ada yang mengatakan bahwa terbitnya novel Thus Spoke Zarathustra (tahun 1883) karya
filosof terkenal Friedrich Nietzsche merupakan bunyi gong kematian bagi era modem untuk
kemudian digantikan tempatnya oleh aliran postmodern. Dalam novel tersebut dikisahkan
bahwa Zarathustra (40 tahun) setelah bertapa di gunung-gunung selama 10 tahun, kemudian
turun kembali ke dalam kehidupan masyarakat. Ketika turun gunung dan sampai ke desa, dia
melihat banyak orang berkumpul di pasar. Kepada orang banyak tersebut Zarathustra berkata
bahwa Tuhan sudah mati dan akan diganti oleh manusia superior (ubermensch, superman).
Namun, terdapat banyak versi tentang momentum tumbangnya modernisme dan mulai
munculnya postmodernisme, antara lain:
1. Dari sudut pandang poststrukturalis, modernisme sudah berakhir sejak serangan-serangan
awal terhadap fenomenologi, yang dianggap sebagai titik kulminasi dari aliran humanisme.
2. Di belahan dunia yang berbahasa Inggris, modernisme dianggap tumbang ketika
munculnya filsafat postanalitik.
3. Di Negara-negara Eropa Kontinental, modernisme dianggap sudah lebih dahulu berakhir,
yakni sejak Nietzsche melakukan kriitik dekonstruktif atau tradisi metafisik platonic.

107
4. Kaum pragmatism menganggap bahwa awal tumbangnya modernisme adalah saat
munculnya pragmatism dari William James.
5. Ada lagi yang beranggapan bahwa modenime mutal neobong pada st tampilnya paham
fenomenologi dan Edmund Husserl.
(L. Bambang Sugiharts, 1996: 34)
Akan tetapi, mit Ihab Hasan dan Charles Jencks, istilah "postmodern pertama sekali
kita baca adalah dilam wilayah seni, yakni yang dipakai oleh Federico de Onis dalam karyanya
yang berjudul Antologia de la Poesia Expanda a Hispanoamericana (1930) dan dalam hidung
histeriografi istilah postmodern tersebut dipikal olch Toynbee dalam karyanya yang berjadul &
Shady of History pada tahun 1947 (L. Bambang Sugiharts, 1996, 24)
Postmodern merupakan penolakan yang radikal terhadap pemikiran modern.
Sebagaimana diketan bahwa paham falsafah modern ini dibentuk oleb Immanuel Kant, Rene
Descartes, dan David Hume. Meskipun harus diakui bahwa pemikiran pada era modern
tersebut juga telah melakukan lompatan loempatan, terutama dengan berkembangnya secara
pesat ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menggantikan konsep pramodern/prailmiah yang
sangat menekankan pada kepercayaan, mitos, takhayal, cerita-cerita primitif, dan hal-hal yang
tidak logis lainnya. Sebaliknya, pada era modem sangat ditekankan pada fungsi ilmu
pengetahuan dan rasio sehingga melahirkan suatu teknologi dimulai sejak zaman Galileo
(1564-1642) dan diteruskan oleh Newton (1642-1727) Kemudian, tentunya juga diteruskan
Albert Einstein pada abad ke-20 meskipun konsep-konsep Einstein tentang ilmu pengetahuan,
seperti teori relativitas, sudah sangat mengarah pada paham postmodern.
Kemudian, reaksi dan kritik, bahkan revolusi terhadap permikiran pen- han/modem sudah
dimulai sejak abad ke-19 melalui perkembangan filsafat di Fro Akan tetapi, konsep kaum
modern tidak serta-merta jatuh karenanya. memasuki abad ke-20, konsep modernisme menjadi
sangat berkibar- kibar, sampai akhirnya mengkristalnya pemikiran postmodern yang dengan
tegas menghantam pemikiran kaum modernis menyebabkan konsep pemikiran modern tersebut
terseok-seok untuk kemudian hanya menunggu waktu dan menghitung hari menghadapi
kepunahannya. Demikian yang diyakini oleh kaum postmodern.
Postmodern sebenarnya merupakan suatu revolusi dalam ilmu pengetahuan. Postmodern
merupakan tanda telah berakhirnya konsep "universe", yakni suatu konsep yang menggunakan
cara pandang yang total dan utuh. Jadi, postmodern menolak usaha untuk menyusun sebuah

108
cara pandang yang tunggal, tetapi postmodern cukup merasa puas dengan adanya banyak
pandangan dan banyak dunia. Jika sebelum zaman modern (sebelum era pencerahan),
pemikiran manusia dibelenggu dan amat dibatasi oleh tokoh-tokoh agama/gereja dan tokoh-
tokoh politik (pada zaman pertengahan), pada zaman modern kedua hambatan tersebut sudah
sirna. Hal ini yang menyebabkan banyaknya terjadi penemuan besar pada zaman modern. Akan
tetapi, alam berpikir zaman modern itu sendiri sebenarnya masih juga terbelenggu oleh pola
pikir saat itu yang terlalu mencari konsensus terhadap perbedaan pendapat yang ada. Zaman
modern terlalu menekankan pada metanarasi. Maka, pada zaman postmodern ini, konsensus-
konsensus (metanarasi) dalam pola berpikir tersebut sudah dibuang dan keanekaragaman
pendapat dibiarkan saja mencari jalan dan pola sendiri-sendiri. Karena itu, pada zaman
postmodern dikatakan bahwa ilmu pengetahuan yang mencoba mencari satu kebenaran yang
total, pengetahuan tersebut sudah mati atau setidak-tidaknya sudah amat tercerai berai.
Pesatnya perkembangan dari aliran postmodern ini tidak terlepas dari kokohnya topangan
dari beberapa landasan pengorganisasian berupa gerakan- gerakan sosial yang terjadi dalam
masyarakat, yaitu gerakan sosial yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Bangkitnya kekuasaan populer, dengan semakin berkurangnya pemberian kepercayaan
penuh kepada pemerintah sentralisasi, reformasi demokrasi, dan lain-lain.
2. Munculnya gerakan sosial yang baru, seperti organisasi pencinta lingkungan, pejuang hak
asasi, organisasi feminisme, organisasi antinuklir, dan lain-lain.
3. Hukum didudukkan kembali di tempat semula, dengan kuatnya pengaruh hukum
internasional atau hukum yang global yang dapat mendobrak kebekuan/ketimpangan
hukum di suatu negara.
4. Menangnya gerakan dan kehidupan sekuler yang mengikis peranan religi.
5. Banyaknya memperoleh atau memberikan informasi secara transnasional, dengan kuatnya
fungsi dari agen-agen informasi internasional.
6. Banyaknya pemberian bantuan secara transnasional, seperti bantuan paceklik, banjir
tsunami Aceh, kemiskinan, dan lain-lain.
Adalah Michel Foucault (1926-1984), seorang Prancis, yang merupakan ahli filsafat yang
sangat banyak jasanya dalam mengembangkan aliran postmodern ini. Dapat dikatakan bahwa
Foulcault adalah bapaknya aliran postmodern ini. Foulcault ini merupakan pengikut yang
paling besar dari ajaran filosof Friedrich Nietzsche (1844-1900). Bahkan, sering disebut-sebut

109
bahwa Foulcault merupakan penerus filosof Nietzsche yang paling sejati pada abad ke-20.
Sebagaimana diketahui bahwa Nietzsche adalah yang pertama sekali melayangkan kritik (yang
cukup keras) terhadap filsafat modern meskipun tidak begitu bergema, seperti yang dilakukan
oleh para pelopor dari aliran postmodern setelahnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
Nietzsche adalah "nenek moyang" dari aliran postmodern ini. Meskipun begitu, Richard Rorty
pernah menyebutkan bahwa mentornya, yaitu John Dewey, merupakan seorang postmoder
yang mendahului zamannya.
Akan halnya dengan Michel Foulcault, seperti juga gurunya Nietzsche yang pada akhir
hayatnya menderita gila dan berpenyakit syphilis karena pola hidupnya yang sangat bebas,
maka Foulcault yang sebenarnya merupakan seorang homoseksual (gay) yang suka mencari
kesenangan dengan caranya sendiri dan bergabung ke dalam kelompok gay di California (USA)
pada musim semi tahun 1975, kemudian menderita penyakit AIDS yang merenggut nyawanya
pada tanggal 25 Juni 1984 pada usia 57 tahun di Paris. Padahal, Michel Foucault bersekolah di
sekolah Katolik meskipun setelah tamat sekolah menengahnya, dia sangat membenci agama
dan biarawan.
Di samping Michel Foulcault, pelopor lainnya dari aliran postmodern adalah Jacques
Derrida dengan dekonstruksinya terhadap logosentris, dan Richard Rorty dengan utopia
pragmatis. Jika Nietzsche merupakan nenek moyangnya aliran postmodern, sering disebut-
sebut bahwa Michel Foulcault, Jacquest Derrida, dan Richard Rorty, merupakan trio nabi
aliran postmodern yang terkadang pendapatnya berjalan seiring, tetapi yang lebih sering
berjalan tidak harmonis dan ini merupakan ciri khas dari postmodern yang lebih menekankan
pada kebhinnekaan ketimbang konsensus.

Tragisnya, seperti telah dijelaskan di atas, filosof Friedrich Nietzsche, yang lahir pada
tanggal 15 Oktober 1844, akhirnya menjadi orang gila dan berpenyakit syphilis. Nietzsche
pernah menghabiskan waktu seorang diri selama 10 tahun di Itali dan Swiss. Bahkan, karena
penyakit yang dideritanya, dia pernah jatuh di jalanan Kota Turin pada tahun 1889. Dan, dia
menjadi gila benaran selama 11 tahun sampai Tuhan (yang dikatakannya sudah mati)
merenggut jiwanya pada 25 Agustus 1900, persis pada saat orang-orang mengucapkan selamat
tinggal abad ke-19, dan selamat datang abad ke-20. Padahal, waktu kecil Nietzsche merupakan
anak yang saleh dan taat beribadah. Maklumlah karena Nietzsche sebenarnya lahir dari

110
keluarga yang taat beragama di mana ayah dan kakeknya merupakan pendeta di gereja
Lutheran. Akan tetapi, menjelang akhir masa remaja, gejolak jiwa Nietzsche sedemikian
menggoncang pikirannya, sampai-sampai dia menanggalkan iman Kristennya secara total.
Sampai timbul teorinya yang menyatakan bahwa "Tuhan itu sudah mati", yang sebenarnya dia
hanya ingin menggambarkan betapa filosofi berpikir orangorang Barat sudah tidak lagi
dipengaruhi oleh ajaran Kristus. Kebudayaan Barat sudah memisahkan diri dari prinsip-prinsip
yang transendental. Dan menurut Nietzsche, karena Tuhan sudah mati, yang tinggal hanyalah
manusia-manusia serakah yang ingin berkuasa, menjajah, dan hanya mementingkan dirinya
sendiri. Dengan demikian, timbullah cara berpikir yang pragmatis. Menurut Nietzsche, sesuatu
mempunyai nilai hanya jika manusia ingin memberikan nilai kepadanya. Tidak ada yang
disebut halhal yang berada di luar kehendak manusia.
Tidak dapat disangkal, filsafat Nietzsche sangat banyak memengaruhi ajaran postmodern
ini. Beberapa ajaran Nietzsche yang tetap eksis, bahkan menjadi tulang punggung dari ajaran
postmodern, antara lain:
1. Dalam banyak hal, Nietzsche menentang secara tegas terhadap konsep kaum modernis.
Modernisme sedang menuju kepunahan. Konsep diri yang transenden, yang selama ini
dibangun oleh filosof modern (seperti Kant dan Descartes) sudah menemui ajalnya.
2. Terdapat kemajemukan dalam hidup ini. Tidak ada dua konsep yang persis sama.

3. Tidak ada yang namanya hukum alam karena hukum alam adalah ciptaan manusia juga.
Kenyataan alam yang sebenarnya jauh melampaui konsep pikiran manusia.
4. Yang dianggap sebagai pengetahuan hanya sebuah ilusi.
5. Pengetahuan hanyalah penafsiran dan penafsiran hanyalah kebohongan belaka.
6. Kebenaran hanya sebagai suatu fungsi. dari bahasa dan kebenaran hanya ada dalam
lingkup bahasa.
7. Dimensi estetika (seni) sama dengan dimensi intelektual, bukan merupakan usaha untuk
mencari kebenaran, melainkan merupakan usaha melarikan diri dari kebenaran. Baik
dimensi intelektual maupun dimensi seni, sama-sama merupakan sebuah dongeng belaka.
8. Tidak ada dunia yang nyata. Yang ada hanyalah penampakan yang berasal dari diri
manusia dan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Jadi, kebenaran hanya sebuah kepalsuan
di mana manusia tidak bisa hidup tanpa kepalsuan tersebut

111
9. Dunia adalah karya seni yang diciptakan dan senantiasa diciptakan kembali untuk diri
sendiri dari manusia yang menciptakan tersebut yang kesemuanya hanyalah sebuah ilusi
semata.
10. Insting dari segala makhluk hidup adalah keinginannya untuk berkuasa.
11. Kebudayaan Barat telah mengubah tanggung jawab dari bersifat jujur menjadi
pembicaraan orang bersikap dusta asalkan sesuai dengan aturan yang ada.
12. Moralitas adalah masalah budaya setempat dan sentimen-sentimen yang tidak dapat
dipercaya.
13. Nilai-nilai Kristiani yang menjunjung tinggi sikap rendah diri hanyalah bentuk moralitas
budak dan keinginan balas dendam, dan moralitas budak telah membatasi mereka yang
memiliki kemampuan tinggi atas nama demokrasi.
14. Nilai transenden bagi moralitas sudah lenyap sehingga nilai-nilai juga lenyap. Karena itu,
Tuhan sudah mati.
15. Dengan konsep sikius kekal (eternal return), Nietzsche menyatakan bahwa segala yang
sudah terjadi, akan terjadi berulang-ulang sehingga melawan mitos "kemajuan" dari kaum
modernisme.
16. Mitos diperlukan oleh manusia. Hal ini berbeda dengan pandangan kaum realisme dari
pencerahan yang membuang jauh-jauh segala mitos dan membebaskan manusia dari semua
takhayul. Menurut Nietzsche, mitos yang tertata rapi adalah tanda dari kebudayaan yang
sehat.
Kemudian. Michel Foucault, yang merupakan pengikut setia Nietzsche,
mempertunjukkan cermin nyata dari prinsip postmodern yang menolak semua bentuk
"metanarasi" (teori besar tentang masyarakat dan sejarah) sehingga Foucault dianggap sebagai
"antisensialis" dan "antihistoris". Di samping itu, Foucault merombak hampir semua kategori
empiris dan melakukan pemikiran ulang tentang arti menjadi manusia.
Selanjutnya, adalah Jean Baudrillard, yang menganggap masyarakat itu sepenuhnya tidak
ada di mana masyarakat hanya tersusun atas "tandatanda". Menurut Baudrillard, pandangan-
pandangan postmodern telah menimbulkan suatu "kepanikan metateoretis". Manusia hidup
dalam masyarakat pascaindustri dan pasca lainnya di mana manusia hidup dan dirasuki oleh
informasi dan komunikasi telivisi yang serbalipstik dan tidak nyata sehingga masyarakat tidak
mampu lagi memisahkan mana yang merupakan kenyataan dan mana yang hanya lipstik.

112
Manusia hidup dalam layar raksasa pasca-infotainment yang memantul dunia secara "meta
Disney", katanya.
Sebenarnya aliran postmodern tidak sendiri dalam menganalisis masalah- masalah yang
terjadi sejak paruh kedua abad ke-20. Memang paham fungsionalisme sudah runtuh, tetapi telah
muncul paham-paham baru, di antaranya, paham postmodern ini, yang kelihatannya paling
punya gema dan nyali. Paham-paham lain yang berjalan seiring, bahkan dalam banyak hal
overlap dengan paham postmodern adalah paham-paham:
 Interaksionisme simbolik
 Feminisme
 Neo-Marxism
 Strukturalisme
 Semiotika
 Etnografi
Jika dilihat dari perkembangan pola pikir terutama sejak tahun 1960-an, dalam berbagai
disiplin ilmu banyak berkembang teori baru, baik yang radikal maupun semiradikal. Karena itu,
ada yang bersifat "neo", seperti neo-Marxism, tetapi ada juga yang bersifat "post", seperti
postmodern. Umumnya teori-teori mereka anti kemapanan dan bersifat kritis. Maka, kata
"kritis" menjadi inti utama dari perkembangan ini. Teon kritis sendiri meskipun dikembangkan
secara resmi di Eropa oleh mazhab Frankfurt, tetapi sebenarnya banyak juga dibicarakan di
banyak negara lain oleh ahli yang lain. Bahkan, dalam bukunya The Sociological Imagination
(terbit tahun 1959), ahli pikir C. Wright Mills, dengan terang- terangan menggunakan teori
kritis dalam mengkritik secara habis-habisan paham fungsionalisme yang pro terhadap
kemapanan dan bersikap melanggengkan ketimpangan sosial antara yang kaya dan yang miskin
atau antara yang berkuasa dan rakyat biasa. Terlebih, seperti ditulis oleh Daniel Bell, dalam
bukunya The End of Ideology (1960) bahwa ideologi kelas dalam sistem masyarakat kapitalis
secara alamiah sekarang di ujung kepunahannya dan akan digantikan dengan sistem
konvergensi yang membagi kekuasaan yang adil sehingga tercipta keharmonisan sosial.
Malahan, sebelumnya, Antonio Gramsci (1891-1937), dengan konsepnya tentang hegemoni
telah menjadi inti perdebatan mengenai kelas dan kekuasaan dalam masyarakat. Konsep
hegemoni mengatakan bahwa pihak kelas berkuasa memperoleh dan melanggengkan
kekuasaannya bukannya tanpa alas hak yang sah. Mereka juga dipilih secara demokratis

113
(demokrasi semu atau demokrasi sungguhan), jadi bertentangan dengan konsep perjuangan
kelas dari ajaran Marxisme. Karena itu, menurut Gramsci, masyarakat bukan komunitas yang
stabil, melainkan selalu tegang. Yang menarik adalah seperti perkembangan neo-Marxism, di
mana sungguhpun selama puluhan tahun ajaran Marxisme terbelenggu dengan "anak" dari
paham Marxism, yaitu munculnya kekejaman dalam bentuk diktatorial, sebagai mana yang
terjadi di negara Uni Soviet di bawah Stalin dan penerus-penerusnya atau seperti yang terjadi di
Cina di bawah Mao Tse Tung, atau pun di Vietnam kala itu. Akan tetapi, sejak tahun 1960-an,
ajaran Marxism, yang memang penuh dengan fantasi itu, dengan susah payah ternyata berhasil
keluar dan jebakan dan belenggu kediktatoran dan berhasil mekar kembali dengan teori
pertentangan kelasnya, seperti mekarnya kuntum bunga melati pada waktu pagi. Tidak heran
jika kemudian muncul konsep neo- Marxist itu. Mereka mengkritik, baik kapitalisme maupun
sosialisme dan sangat anti kemapanan.
Pola pikir dan gaya hidup dari aliran postmodern saat ini sudah memasuki ke segenap
aspek kehidupan manusia dan menerobos ke segenap bidang ilmu pengetahuan. Dia sudah
masuk ke bidang politik dan sosial (termasuk ke bidang hukum), bidang science dan teknologi,
bidang seni, arsitektur, dan ini yang penting, telah masuk juga ke bidang kebudayaan. Karena
postmodern juga masuk ke bidang kebudayaan, sekarang manusia sudah mulai hidup pada era
postmodern dengan budaya dan gaya hidup post modern yang antimodern itu.
Dewasa ini, kita sudah menemukan penggunaan istilah dan konsep post- modern ke
dalam berbagai bidang sebagai berikut:
 Bidang musik, antara lain, oleh Cage, Stockhousen, dan Glass.
 Bidang seni rupa, antara lain, oleh Rauschenberg, Baselitz, dan Warhol
 Bidang fiksi, antara lain, oleh Vonnegut, Barth, Pynchon, dan Burroughs.
 Bidang film, antara lain, oleh Lynch, Greenaway, dan Jarman.
 Bidang drama, antara lain, dalam teater dari Artaud.
 Bidang fotografi, antara lain, oleh Sherman dan Levin.
 Bidang arsitektur antara lain, oleh Jenks, Venturi, dan Bolin.
 Bidang kritik sastra, antara lain, oleh Spanos, Hassan, Sontag, dan Fiedler
 Bidang antropologi, antara lain, oleh Clifford, Tyler, dan Marcus. Bidang sosiologi, antara
lain, oleh Denzin.
 Bidang geografi, antara lain, oleh Soja.
114
 Bidang filsafat, antara lain, oleh Derrida, Rorty, Lyotard, Baudrillard, dan Vattimo.
(L Bambang Sugiharto, 1996: 24).
Sangat sulit mendefinisikan postmodern dalam satu atau dua kalimat saja karena
postmodern pada hakikatnya berisikan aneka ragam, saling berserakan, dan sering kali isinya
saling bertolak belakang, bahkan terkesan seperti "kapal pecah" sehingga suatu definisi untuk
itu memang tidak di butuhkan. Itulah dia watak postmodern, suatu ungkapan sangat populer,
tetapi tanpa definisi yang jelas.
Namun, ada juga pihak yang mencoba memberikan deskripsi tertentu terhadap pengertian
"postmodern"terutama eksistensinya ke dalam bidangbidang tertentu, seperti terlihat sebagai
berikut:
1. Secara umum, Jean Baudrillard mengartikan postmodern sebagai meleburnya segala
batas wilayah dan meleburnya pembedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah, antara
penampilan dan kenyataan, dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dijunjung
tinggi oleh teori sosial dan filsafat konvensional. Dengan demikian, postmodern
merupakan suatu proses dediferensiasi dan munculnya peleburan di segala bidang.
2. Dalam bidang sosial ekonomi, Daniel Bell mengartikan postmodern sebagai
perkembangan kecendrungan yang saling bertolak belakang, di mana bersamaan dengan
semakin terbebasnya daya instingtual dan semakin berkembangnya kesenangan dan
keinginan menyebabkan logika modernisme semakin hilang pamornya. Hal ini terutama
disebabkan melalui intensifikasi keteganganketegangan struktural masyarakat.
3. Dalam bidang kebudayaan, Federic Jameson mengartikan postmodern sebagai suatu
logika kultural yang menyebabkan timbulnya transformasi budaya pada umumnya. Jika
modernisme erat kaitannya dengan kapitalisme monopoli, postmodern terkait dengan
kapitalisme pasca-Perang Dunia Kedua. Diyakini pula bahwa postmodern muncul karena
adanya dominasi teknologi reproduksi dalam jaringan global kapitalisme multinasional saat
ini.
4. Dalam bidang filsafat, Jean Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition:
A Report on Knowledge (versi bahasa Inggris terbit tahun 1984), menyatakan bahwa
postmodern merupakan intensifikasi dinamis, yang merupakan upaya terus-menerus untuk
mencari eksperimentasi, dan revolusi kehidupan yang menentang dan tidak percaya
terhadap segala bentuk narasi besar berupa penolakannya terhadap filsafat metafisis,

115
filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran totalitas, seperti Hegelian, Liberalisme,
Marxisme, dan lain-lain. Dengan perkataan lain, post- modern dalam bidang filsafat dapat
diartikan sebagai segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas
metafisika pada umumnya. (L Bambang Sugiharto, 1996: 26).
Selanjutnya, percikan paham-paham inti dari aliran postmodern dapat dilihat dalam buku
Postmodernist Fiction karangan Brian McHale, sebagai mana dikutip oleh Linda Hutcheon
sebagai berikut:
 Postmodern dari John Barth: Sastra pembaharuan (replenishment).
 Postmodern dari Charles Newman: Literatur ekonomi inflasi.
 Postmodern dari Jean Francois Lyotard: Kondisi umum ilmu pengetahuan dalam rezim
informasional kontemporer.
 Postmodern dari Ihab Hassan: Tahapan menuju unifikasi umat manusia secara spiritual dan
sebagainya.
 Postmodern dari Kermode: Yang justru akhirnya meniadakannya. (Linda Hutcheon,
2004:17).
Meskipun ajaran postmodern itu sangat beraneka ragam dan ini memang hakikat dari
postmodern, tetapi kita masih dapat menggolong-golongkan ajaran dan model dari postmodern
ini pada beberapa kelompok sebagai berikut:
 Kelompok dekonstruktif, dengan penganutnya, seperti Foucault, Derrida, Rorty, dan
Lyotard.
 Kelompok konstruktif atau revisioner dari tradisi hermeneutika, dengan penganutnya,
seperti Heidegger, Gadamer, Ricoeur, dan Mary Hesse.
 Kelompok konstruktif atau revisioner dari tradisi studi proses whiteheadian, dengan
pengikutnya, seperti David R. Griffin, Frederic Ferre, dan D. Bohm.
 Kelompok konstruktif dan revisioner dan tradisi fisika yang berwawasan politik, dengan
para pengikutnya, antara lain, F. Capra, J. Lovelock, Gary Zukaf, dan I. Prigogine
(L. Bambang Sugiharto, 1996: 16)

Inti utama dari alam pikir postmodern adalah menggantikan ilmu pengetahuan yang
sangat mendewakan rasio dengan penafsiran-penafsiran dan perangkat- perangkatnya.
Perangkat-perangkat modernisme adalah metode ilmiah, pendekatan empiris terhadap realitas,

116
dan realisme akal sehat, Oleh karena itu, kaum postmodern tidak percaya pada ilmu
pengetahuan yang objektif dan baik, sebagaimana dikemukakan oleh kaum pencerahan. Tidak
ada ilmu pengetahuan yang objektif karena dunia tidak dibuat untuk menjadi objektif yang
hanya menunggu waktu untuk menguak tabir-tabirnya. Alam bukanlah mesin-mesin sehingga
alam tidaklah mekanistik, te= tapi lebih bersifat historis, relatif, dan personal. Maka dari itu,
kebenaran tidak lagi hanya ditentukan oleh rasio, tidak juga oleh unsur-unsur lain, seperti unsur
emosi, perasaan, atau unsur intuisi, bahkan juga unsur "wahyu Tuhan" atau unsur
"supranatural".
Oleh karena itu, kaum postmodern pun tidak pernah optimis dalam me- mandang dunia,
tetapi mereka memandang dunia secara pesimistis. Tidak benar bahwa alam dan kehidupan kita
semakin lama semakin baik. Masyarakat yang akan datang tidak lagi percaya bahwa mereka
dapat melakukan sesuatu secara lebih baik dari para pendahulunya. Bahkan, mereka akan
menyimpulkan bahwa hidup di dunia ini rawan dan berubah-ubah terus secara tidak beraturan.
Pemecahan masalah tidak lagi linear. Apa yang tampak bukanlah apa yang nyata dan apa yang
rasional bukanlah apa yang dapat dipercaya.
Di samping itu, karena pada era modern yang menjadi titik sentral adalah manusia
(etnocentris) sehingga timbul paham liberalisme, maka kecaman dari aliran postmodern
terhadap konsep manusia dan liberalisme tersebut merupakan topik yang sangat populer dalam
paham postmodern. Jadi, karena aspek spiritualitas dalam ajaran postmodern yang lebih
diunggulkan sehingga muncul konsep tentang realitas hubungan-hubungan internal. Hal ini
berbeda dengan paham modernis yang menganggap bahwa hubungan manusia dengan benda
atau orang lain adalah bersifat eksternal, kebetulan, dan turunan. Konsekuensi lain dari
perbedaan pandangan ini adalah masalah organisme. Karena itu, berbeda dengan konsep
manusia individu dalam aliran modernisme yang merasa sunyi, asing, dan dikucilkan oleh
masyarakat dan lingkungan yang serbajahat, tetapi manusia individu dalam konsepsi
postmodern merasa sangat kerasan dan sangat merasa adanya persaudaraan dengan spesies lain
atau dengan manusia lain dan masyarakat lingkungan. Perasaan individual yang congkak,
egois, dan keinginan untuk memiliki serta menguasai versi zaman modern diganti dengan rasa
kegembiraan, persaudaraan, dan persamaan, dengan membiarkan yang lain sebagaimana
adanya. Oleh sebab itu, kaum postmodern mengakui eksistensi agama yang pluralis dalam

117
masyarakat yang pluralis itu, bahkan memandang agama sebagai suatu faktor yang menopang
gerakan dan perjuangannya.
Selanjutnya, kebangkitan paham postmodern ini telah menamatkan riwayat beberapa
konsep berikut ini:
 Postmodern sebagai tanda berakhirnya riwayat ilmu pengetahuan.
 Postmodern sebagai tanda tamatnya riwayat dunia.
 Postmodern sebagai tanda berakhirnya riwayat metanarasi.
Pada masa postmodern ini, riwayat dunia memang sudah tamat, yakni tamatnya riwayat
dunia yang objektif khas zaman pencerahan. Cara panclang modern tentang dunia adalah
bahwa realitas itu berstruktur dan rasio manusia dapat memahami struktur hukum-hukum alam
di mana menurut paham pencerahan bahwa hukum-hukum alam tersebut mesti digunakan
untuk kesejahteraan manusia. Dalam hal ini, paham postmodern tegas-tegas menolak konsep
dunia yang objektif, yang merupakan hasil dari penolakan postmodern terhadap pandangan
kaum realis dengan memakai analisis dari kaum nonrealis. Jadi, paham postmodern berpaling
dari pandangan yang bersifat objektivis ke pandangan yang konstruksionis.
Di samping itu, bangkitnya gerakan postmodern dapat dianggap sebagai suatu tanda
tamatnya riwayat metanarasi. Postmodern merupakan penolakan total terhadap metanarasi. Para
pemikir modern (bukan postmodern) percaya bahwa mereka dapat membangun suatu
masyarakat baru atas dasar rasio universal dengan tujuan untuk menghindari perang, dan
konflik. Perang dan konflik itu sendiri merupakan dampak dari dogma orang-orang pramodern.
Di samping itu, salah satu konsep kaum modern adalah konsep mereka tentang dunia yang
objektif dan bebas dari mitosmitos. Oleh kaum postmodern, hal tersebut dianggap hanyalah
sebuah "ilusi".
Ada enam narasi di dunia ini yang menjadi tulang punggung berkembangnya aliran
postmodern, yaitu:
1. Narasi tentang mitos kemajuan versi dunia Barat.
2. Narasi Marxisme tentang revolusi dan sosialisme internasional.
3. Narasi fundamentalis Kristen mengenai perlunya kembali ke masyarakat yang diperintah
oleh nilai-nilai Kristen dan Alkitab.
4. Narasi fundamentalis Islam mengenai perlunya kembali ke masyarakat yang diperintah
oleh nilai-nilai Islam menurut Quran dan Sunnah Nabi Muhammad.

118
5. Narasi hijau mengenai penolakan terhadap mitos kemajuan dan perlunya kembali ke
masyarakat yang diatur oleh nilai-nilai ekologis.
6. Narasi paradigma baru mengenai lompatan besar dan mendadak pada cara baru untuk
menjadi manusia dan cara baru untuk mengerti dunia.
(Stanley J. Grenz, 2001: 94).
Penemuan teori kuantum dalam ilmu fisika telah memorak-porandakan teori- teori fisika
sebelumnya yang cenderung linier. Teori kuantum ini telah menunjukkan bahwa dunia tidak
tersusun secara mekanik dan pasti sebagaimana diyakini oleh para ahli fisika di zaman modern.
Teori kuantum ini membuktikan bahwa partikel subatomik tidak bergerak secara
berkesinambungan sebagaimana diyakini sebelumnya, tetapi bergerak tanpa aturan yang jelas.
Di samping itu, apa yang terjadi pada partikel yang satu belum tentu terjadi juga terhadap
partikel yang lain. Ini yang disebut dengan uncertainty principle oleh Heisenberg pada tahun
1927 meskipun dia berbeda pandangan dengan pemikir lain, yaitu David Bohm, yang dengan
teori kuantum potensialnya pada intinya menyatakan bahwa semua partikel saling berhubungan
dalarn suatu iaringan yang besar (Stanley J. Grenz, 2001: 86).
Berdasarkan prinsip ketidakpastian (uncertainty) ini, paling jauh yang dapat dilakukan
oleh manusia adalah mencoba melakukan terkaan-terkaan dengan menggunakan teori
probabilitas. Bahkan, sebelum lahir teori kuantum, teori relativitas dari Einstein sebenarnya
juga telah menunjukkan bahwa ruang dan waktu tidak bersifat absolut. Inilah yang disebut
dengan perubahan paradigma ilmu pengetahuan sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas
S. Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962). Yang jelas, fakta-fakta
yang ada semakin menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan bukanlah sekadar upaya rasional,
melainkan lebih merupakan hasil dari tindakan imajinatif yang sering kali pula bersifat
nonlogis yang merupakan hasil renungan manusia-manusia yang kreatif yang cenderung
eksentrik.
Di atas telah ditunjukkan bahwa sebenarnya ada juga kelompok konstruktif dan
revisioner dalam kalangan postmodernis ini yang mencoba memberikan jawaban dan alternatif
jalan keluar. Jadi, bukan hanya mengkritik atau membongkar pasang saja.
Beberapa penulis, seperti Sallie McFague, telah mencoba menjabarkan pola pikir
postmodern tersebut ke dalam asumsi-asumsi postmodern, seperti berikut ini:
1. Postmodern menginginkan penghargaan yang lebih besar terhadap alam.

119
2. Postmodern menekankan pada pentingnya faktor bahasa dalam kehidupan manusia.
3. Postmodern mengikis dan mengurangi kekaguman pada ilmu pengetahuan, teknologi, dan
kapitalisme.
4. Postmodern menerima tantangan agama lain terhadap agama yang dominan dianut.
5. Postmodern menerima kepekaan akan adanya ajaran/wahyu baru.
6. Postmodern menggeser dominasi pria kulit putih di dunia Barat.
7. Postmodern mendorong kebangkitan golongan tertindas, seperti golongan ras, gender,
agama, kelas sosial yang terpingggirkan.
8. Postmodern menumbuhkan kesadaran akan pentingnya interdependensi secara radikal dari
semua pihak dengan cara yang dapat terpikirkan.
(Stanley J. Grenz, 1996: 21).
Selanjutnya, pokok-pokok ajaran lain selain yang tersebut di atas dari ajaran postmodern
ini adalah sebagai berikut:
1. Postmodern cenderung mengambil sikap ganda (doubleness) dan duplisitas.
2. Postmodern cenderung membiarkan nilai-nilai yang bertentangan.
3. Metode postmodern adalah metode kritik yang rumit.
4. Postmodern mengambil sekaligus sikap-sikap:
a. Kesadaran diri (self consciousness).
b. Kontradiksi diri (self contradictory).
c. Menghancurkan diri (self undermining).
Yang jelas, paham postmodern menolak sekeras-kerasnya dominasi ilmu pengetahuan
dan rasio dari paham modern yang berkembang sejak era pencerahan.
Meskipun kelihatannya perkembangan paham postmodern sudah tidak terbendung lagi,
seperti biasanya suatu gerakan, tentu saja dia tidak luput dari berbagai kritikan. Hanya saja,
apabila kita mencoba mengambil jarak, baik dengan paham postmodern maupun dengan para
pengkritik postmodern (meskipun 19 pengambitan jarak itu sendiri tidak pernah diyakini benar
oleh paham postmodern), kelihatannya kritikan terhadapnya hanya merupakan kerikil-kerikil
kecil di jalan yang kelihatannya sudah mulus itu. Namun, bagi Terry Eagleton (1966) dan
Christopher Norris (1990, 1993, 1994), postmodern sudah habis, sudah tamat riwayatnya, dan
sudah ketinggalan zaman. Di mata mereka, postmodern adalah sebuah kegagalan, sebuah ilusi

120
(Linda Hutcheon, 2004: 272). Di antara kritikkritik terhadap ajaran postmodern tersebut
adalah:
1. Dengan teori dekonstruksinya, postmodern yang seharusnya menganalisis dengan teliti,
tetapi justru ingin membongkar cerita-cerita (narasi) besar yang tampaknya cerita-cerita
besar tersebut akan tetap eksis dan tidak mungkin ditumbangkannya. Adalah tidak
mungkin hilang cerita-cerita besar yang benar seumpama cerita yang berkenaan dengan
moralitas, cerita harkat kemanusiaan, cerita bahwa manusia tidak boleh dijadikan sebagai
sarana se mata-mata, atau cerita tentang hak asasi manusia.
2. Postmodern ingin menggantikan cerita besar dengan sekumpulan cerita-cerita kecil, tetapi
postmodern buta terhadap kenyataan bahwa dalam cerita kecil pun mengandung
kebusukan-kebusukan tertentu. Misalnya, perdebatan paham kumunitarisme melawan
liberalisme, tetapi banyak teori kumunitarian yang bertentangan, baik dengan ide abstrak
tentang martabat manusia maupun yang bertentangan dengan institusi-institusi moral.
Tradisi-tradisi yang ada di samping banyak nilai luhur, juga banyak kebusukan moral dan
kepicikan rohani, seperti budaya yang mempertahankan perbudakan, diskriminasi wanita,
dan prasangka ras yang jika ditolak cita-cita moral yang universal, keadaan dipastikan akan
semakin runyam.
3. Paham postmodern menutup mata terhadap pemisahan pada faktor ideologi dengan
prinsip-prinsip etika universal. Mereka mengkritik narasi-narasi besar, seperti liberalisme,
Marxisme, kapitalisrrte, universalisme, padahal yang sering kali jelek dalam narasi tersebut
hanya faktor ideologisnya saja.
4. Paham postmodern adalah kontradiktif. Di satu pihak paham ini mendobrak setiap narasi
besar demi narasi-narasi kecil, padahal di pihak lain usaha untuk menyingkirkan narasi
besar demi narasi kecil sendiri juga merupakan suatu narasi besar dengan jangkauan yang
universal.
(Franz Magnis Suseno, 2005: 225-232).
Namun, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa postmodern masih sedang berproses,
perjalanan (atau mungkin juga petualangan) untuk menemukan jati diri belum selesai. Yang
jelas, mereka ini. ibarat sopir yang sedang mengendarai suatu mobil besar yang disebut dunia
dengan makhluk manusia di dalamnya. Hendak ke mana dunia dan manusia ini dibawa,

121
kelihatannya masih sedang dicari-cari. Jalan di depan penuh liku-liku dan sebagiannya
merupakan fatamorgana.

B. PAHAM POSTMODERNISME DALAM BIDANG HUKUM


Paham postmodern semula dikembangkan dalam bidang kebudayaan dan seni, tetapi
kemudian dengan cepat paham ini berkembang ke berbagai bidang lainnya, seperti bidang
ekonomi dan sosial, arsitektur, sejarah, sosiologi, antropologi, buku-buku komik dengan cerita
fiksi, teater, film, televisi, kehidupan pop, dan yang tak ketinggalan tentunya dalam bidang
hukum. Dengan demikian, seiring dengan berkembangnya ajaran postmodern tersebut,
berkembang pula paham yang baru, bahkan terbaru dalam bidang ilmu hukum, dalam bentuk
apa yang kemudian dikenal dengan ajaran critical legal studies dengan berbagai derivatifnya,
seperti feminist legal theories (fem-crits), critical race theories (race- crits), radical
criminology, dan lain-lain. Bahkan, dalam aliran realisme hukum, yang merupakan salah satu
fondasi dari ajaran critical legal studies, sebenarnya juga sudah terdapat unsur-unsur
postmodern ini.
Aliran critical legal studies tersebut sebenarnya merupakan terusan dari ajaran hukum
pada awal abad ke-20 di mana hukum dipandang sebagai suatu instrumen yang dapat membawa
masyarakat mencapai tertib sosial. Karena itu, aliran hukum pada awal abad ke-20 tersebut
didominasi oleh ajaran yang bersifat pragmatis, yang hidup dan berkembang pada era yang
pragmatis pula. Sayangnya, aliran hukum yang berkembang sejak awal abad ke-20 tersebut,
yang mengatakan hukum sebagai alat untuk mencapai ketertiban sosial, ternyata telah gagal
memformulasikan ketertiban dan kepentingan sosial tersebut, di samping gagal pula
menemukan metode yang tepat untuk mencapainya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan pula
jika apa yang merupakan konsep hukum tentang negara berkesejahteraan sosial (welfare state)
kenyataannya telah berkembang tanpa sasaran dan makna yang jelas, dan telah gagal
melindungi kepentingan masyarakat luas. Keadaan ini dilihat dengan sendu oleh para ahli
hukum yang terbilang kritis sehingga secara radikal mengubah haluan dan mengembangkan
teorinya sendiri yang kemudian dikenal dengan sebutan critical legal studies, perkembangan
tersebut lebih merupakan subsistem dari aliran postmodern dalam bidang ilmu kebudayaan,
seni, dan lain-lain, yang dikembangkan oleh para pemikir, seperti Derrida, Habermas,
Lyotard, Rorty, Guattary, Macintyre, Deleuze, dan lain-lain.

122
Penetrasi dari aliran postmodern ke dalam bidang hukum telah melahirkan beberapa
paradigma dalam bidang hukum, yaitu paradigma-paradigma :
1. Otoritas hukum lebih superior dari hukum positif.
2. Teori tentang kebenaran yang bersifat "enlightened" harus diubah menjadi kebenaran
yang bersifat "systemic".
3. Tidak ada satu uniformitas dari nilai dalam suatu kebudayaan. Kebudayaan bersifat
multiplisitas dan heterogen.
4. Metodologi hukum harus berubah menjadi metodologi yang berdasarkan aksi.
5. Demikian juga telah terjadi perubahan terhadap kriteria rasionalitas, dari yang semula
bersifat uniformitas berubah ke arah heterogen karena masing-masing subkultur memiliki
perspektifnya masingmasing. Jadi, ada pergeseran dari rasionalitas yang universal pada
rasionalitas yang perspektif.
6. Keadilan yang dicari oleh aliran postmodern bukan keadilan hukum dalam artinya yang
konvensional, melainkan keadilan yang "kreatif". Dengan keadilan yang kreatif, yang
dimaksudkan adalah bahwa suatu keadilan dalam masyarakat yang aktif, yang standar
sosial, teknologi, ekonomi, dan etikanya yang terus berubah.
7. Diperlukan suatu reformulasi dan reorientasi terhadap kategori formal untuk
ditransformasi ke dalam kategori fungsional.
8. Diperlukan suatu bentukan baru terhadap proses judiciall untuk menggantikan kesan tidak
memihak dari hakim, yang membenarkan pihak yang satu dan menyalahkan pihak yang
lain. Yang diperlukan adalah suatu proses judicial yang dapat menghargai pluralitas.
Kemudian, dalam perkembangan aliran critical legal studies ini, terdapat saling menarik
dan saling memengaruhi satu sama lain antara tiga faktor yang mengisi wadah critical legal
studies, yaitu pengaruh dari faktor-faktor sebagai berikut:
1. Pengaruh dari ajaran postmodernisme ke dalam aliran critical legal studies.
2. Pengaruh dari ajaran Marxisme (sebenarnya neo-Marxisme) ke dalam aliran critical legal
studies tersebut.
3. Pengaruh dari aliran terakhir tentang hukum saat itu, yaitu aliran realisme hukum. Aliran
realisme hukum mulai berkembang pada awal abad ke-20 dan berkembang pesat dalam
dekade 1930-an, terutama berkembang di Negara Amerika Serikat.

123
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu kritik yang dilakukan oleh para pembaru hukum
pada akhir abad ke-20 adalah soal makna dari keadilan, yang merupakan sasaran dari setiap
pengaturan hukum. Para pelopor aliran critical legal studies, bahkan mengecam keadilan yang
sangat didengung-dengungkan oleh pembuat dan penegak hukum, padahal hal tersebut hanya
sebagai alat bagi kaum penindas untuk meninabobokan kaum yang tertindas secara kultur. Jadi,
apa yang namanya keadilan hanyalah suatu mitos belaka.
Akibat dari pengaruh pola pikir postmodern, salah satu perkembangan ke- hidupan
masyarakat adalah semakin kaburnya bentuk-bentuk tradisional tentang identifikasi tertentu
yang semula secara rigid dipertahankan melalui norma hukum. Identifikasi tersebut, antara lain,
konsep tentang ras, seks, kelas sosial, monogami, kelahiran anak, dan lain-lain. Kaburnya
bentuk-bentuk identifikasi tersebut menyebabkan timbulnya identifikasi jadijadian yang
bersifat ad hoc. Karena itu, lambat tapi pasti, sektor hukum pun harus menyesuaikan diri
dengan identifikasi jadi-jadian tersebut dan harus mereformulasi lagi doktrin dan kaidah-
kaidahnya.
Memang pada akhir abad kedua puluh orang mulai sadar bahwa apa yang namanya
keadilan tersebut tidak pernah disentuh oleh. hukum, bahkan keadilan itu sebenarnya tidak ada
sama sekali. Namun, para ahli hukum dari golongan yang moderat masih mengakui eksistensi
keadilan, tetapi dengan memberikan formula lain terhadap keadilan tersebut. Meskipun suatu
formula lain terhadap keadilan juga belum jelas betul wujudnya, suatu gerakan deportasi
terhadap konsep keadilan konvensional sudah mulai dilakukan. Hal tersebut pada gilirannya
akan mengubah wajah hukum dari semua hierarkis, baik secara praktis, normatif, prosedural,
teori, dan filsafat sekaligus. Tindakan tersebut memang radikal, ekstrem, tetapi belum sampai
pada revolusi.
Oleh karena itu, di mana-mana terdengar teriakan-teriakan untuk dilaku kannya
pembaruan hukum, pemikiran ulang, penataan ulang, dan formulasi ulang terhadap hukum
yang berlaku pada akhir abad ke-20, bahkan sangat nyaring terdengar, baik dari segi praktikal,
teoretikal, maupun dari segi filsafat. Dalam tataran teori dan filsafat hukum, pendapat-pendapat
para pembaru hukum kelihatannya sedang bermuara, antara lain, terhadap pengakuan atas
paradigma hukum berikut ini:

124
1. Dalam hubungannya dengan legalitas dan legitimasi hukum yang berdasarkan
otoritas/souverenitas negara harus diubah dasarnya dari konsep rasionalitas yang universal
menjadi rasionalitas yang perspektif dan kontekstual.
2. Dari segi metodologi, harus diubah haluan dari metodologi hukum yang berdasarkan
pendekatan induktif-deduktif pada metodologi yang berdasarkan "aksi".
3. Mengenai kebenaran yang juga akan dituju oleh hukum harus diputar haluan dari
kebenaran yang bergaya "enlightened" pada kebenaran yang berdasar pada suatu sistem.
4. Harus ada design ulang terhadap hukum formal (hukum acara), dengan mangubah proses
hukum yang berkesan "tidak memihak" (impartial), yang mengakibatkan salah satu pihak
dibenarkan/dimenangkan dan pihak lain dikalahkan, diubah pada suatu proses hukum yang
menghargai kemajemukan para pihak yang bersengketa sebagai agen.
Menurut hemat penulis, aliran critical legal studies adalah suatu aliran yang bersikap
antiliberal, antiobjektivisme, antiformalisme, dan antikemapanan dalam teori dan filsafat
hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola pikir postmodern, neo-Marxisme, dan realisme
hukum, secara radikal mendobrak paham hukum yang sudah ada sebelumnya, yang menggugat
kenetraian dan keobjektifan peran dari hukum, hakim, dan penegak hukum lainnya, terutama
dalam hal keberpihakan hukum dan penegak hukum terhadap golongan yang
kuat/mayoritas/berkuasa/kaya dalam rangka mempertahankan hegemoninya atau keberpihakan
hukum terhadap politik dan ideologi tertentu di mana aliran critical legal studies ini dengan
menolak unsur kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum dan menolak pula
kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum yang objektif, mereka
mengubah haluan hukum untuk kemudian digunakan sebagai alat untuk menciptakan
emansipasi dalam dunia politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Roberto Mangabeira Unger, yang merupakan salah
satu tokoh pendiri dari aliran critical legal studies ini, sebenarnya aliran critical legal studies ini
mengkritik dua hal berikut:
1. Kritik terhadap formalisme dan
2. Kritik terhadap objektivisme.
(Roberto Mangabeira Unger, 1986: 1).
Dengan formalisme di sini, yang dimaksudkan adalah suatu paham dalam 194 hukum
yang menggunakan metode justifikasi legal (dengan menggunakan metode deduksi), metode

125
mana akan bertentangan dengan sengketa yang tidak berujung (open ended) dalam kehidupan
sosial dari segi visi, ideologi, dan filosofis. Sedangkan dengan paham objektivisme, yang di
maksudkan adalah bahwa suatu paham yang mengajarkan bahwa substansi hukum yang
otoritatif, misalnya, undang-undang, cita hukum yang telah diterima, dan kasus-kasus hukum,
membentuk, bahkan mempertahankan berbagai model asosiasi kemanusiaan dan ketertiban
moral yang bernalar (intellegible moral order).
Di samping itu, yang merupakan konsep dasar dart aliran hukum kritis ini adalah bahwa
hukum sama dengan politik sehingga para penganut aliran hukum kritis ini berkeinginan untuk
menjungkirbalikkan struktur hierarkis dart dominasi dalam masyarakat modern dan mereka
memfokuskan dirt terhadap hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan dimaksud (Fx. Adji
Samekto, 2005: 58).
Setelah dibuat suatu konferensi tentang critical legal studies di University of Wisconsin,
Madison, USA, pada tahun 1977, kemudian diikuti oleh konferensi yang serupa di beberapa
negara Eropa, seperti Critical Legal Conference (Inggris) dan Critigue du Droit (Prancis).
Keseluruhan konferensi tersebut menghasilkan kesimpulan yang serupa, yakni perlu reorientasi
baru dalam hukum dan perlu berpikir secara berbeda dengan aliran hukum ortodoks yang
sedang diterapkan saat itu, gerakan yang kemudian melahirkan aliran critical legal studies itu.
Kemudian, aliran critical legal studies, yang bermula dart konferensi di Madison (USA)
tersebut, memperluas dirinya sehingga di samping mencakup ajaran-ajaran dari aliran
postmodernisme dan ajaran dart realisme hukum, mencakup juga elemen-elemen dart
lingkungan akademis berhaluan kiri, antara lain berupa:
 Neo-Marxism.
 Para teoretisi sosial dart Jerman, seperti Karl Marx, Friedrich Engels, dan Max Weber.
 Post-structuralist dart Prancis, seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida.
 Aliran Marxism di Italy, seperti Antonio Gramsci.
 Structuralist Marxism.
 The Frankfurt School, seperti Max Horkheimer dan Herbert Marcuse. Phenomenological.
 Dan lain-lain.
Meskipun dapat dikatakar bahwa aliran critical legal studies lahir di Amerika Serikat,
aliran ini pun cukup berkembang di Eropa, bahkan di beberapa negara maju lainnya. Di Inggris,
misalnya, aliran critical legal studies ini berkembang pesat dan bahkan lebih bervariatif dart

126
yang terdapat di USA. Satu dan lain hal disebabkan Inggris khususnya dan Eropa umumnya
mengembangkan aliran critical legal studies ini dart sumbersumber yang lebih banyak selain
dart sumbernya yang di USA. Sumber lain yang digunakan di Inggris adalah Marxism,
Feminism, Aliran Frankfurt, dan critical social theory.
Akan tetapi, aliran critical legal studies yang ada di Eropa dapat dibedakan pada dua
golongan berikut:
1. Golongan yang sangat memihak dan dipengaruhi oleh aliran Frankfurt.
2. Golongan seperti yang diajarkan oleh Jurgen Habermas, yang mencoba memosisikan
suatu nilai yang "matang" (mature value) yang secara moral merupakan nilai tertinggi.
Sebagaimana diketahui bahwa aliran critical legal studies belum secara eksplisit
mengkritik persoalan moral, sampai dengan munculnya gerakangerakan critical feminism,
yang merupakan generasi kedua dari aliran critical legal studies tersebut.
Meskipun kelihatannya ajaran critical legal studies ini masih terpencarpencar dan belum
menjadi suatu aliran yang utuh, seperti yang telah pernah dijelaskan bahwa aliran critical legal
studies ini mencoba menjawab tantangan zaman dengan mendasari pemikirannya pada
beberapa kerakteristik umum sebagai berikut:
1. Ajaran critical legal studies ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi
tertentu.
2. Aliran critical legal studies ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke
politik dan hukum seperti itu sama sekali tidak netral.
3. Aliran critical legal studies ini mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan
individual dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu, aliran ini banyak berhubungan
dengan emansipasi kemanusiaan.
4. Ajaran critical legal studies ini kurang memercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak
dan pengetahuan yang benar-benar objektif. Karena itu, ajaran critical legal studies ini
menolak keras ajaranajaran dalam aliran positivisme hukum.
5. Aliran critical legal studies ini menolak perbedaan antara teori dan praktik dan juga
menolak perbedaan antara fakta (fact) dan nilai (value). yang merupakan karakteristik dari
paham liberal. Menurut aliran critical legal studies ini, nilai tidak objektif, tidak universal,
dan berubah-ubah (arbitrary). Dengan demikian, aliran critical legal studies ini menolak
kemungkinan teori murni (pure theory), tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki

127
daya pengaruh terhadap transformasi sosial yang praktis. Bahkan, sebenarnya salah satu
kritikan kaum critical legal studies pada awal-awal perkembangannya itu adalah tentang
perbedaan:
 Antara moral dan pengetahuan yang ilmiah (scientific knowledge).
 Antara fakta dan nilai (value).
 Antara alasan (reason) dan keinginan (desire).
Perbedaan-perbedaan tersebut diyakini kebenarannya oleh pemikiran-pemikiran liberal
yang berkembang saat itu, misalnya, paham liberal yang berkembang dalam bidang politik,
psikologi, dan epistemologi.
Karena itu, bagi kaum critical legal studies, jika ada ketentuan hukum yang menyatakan
"dilarang berbuat jahat", hal tersebut tidak mempunyai arti apa-apa karena paradigma
"kekaburan" (vagueness). Dalam hal ini, apa yang dimaksud dengan "berbuat jahat" merupakan
nilai yang sangat individual dan subjektif. Di samping itu, pada prinsipnya critical legal studies
menolak anggapan ahli hukum tradisional yang mengatakan:
1. Hukum Itu Objektif
Artinya, kenyataan adalah tempat berpijaknya hukum.
2. Hukum Itu Sudah Tertentu
Artinya, hukum menyediakan jawaban yang pasti dan dapat dimengerti.
3. Hukum Itu Netral
Artinya, hukum tidak memihak ke pihak tertentu.
4. Hukum Itu Otonom
Artinya, hukum tidak dipengaruhi oleh politik atau ilmu-ilmu lain.
Hukum yang dalam tingkat konkretnya djterapkan oleh pengadilan sangat mencerminkan
keinginan, kepentingan, dan perasaan hakim (dan juri) dari yang memutuskan kasus tersebut.
Hal ini merupakan salah satu kesimpulan dari aliran critical legal studies. Menurut aliran
critical legal studies ini, apabila dikatakan bahwa hakim adalah netral yang semata-mata
memutus sesuai kaidah hukum yang ada, sebenarnya hakim tersebut hanya berpura-pura netral
atau secara naif berpikir atau percaya bahwa dia seolah olah netral.
Bahwa ketidaknetralan hakim dalam memutus sebenarnya dirasakan di negara-negara
yang menganut sistem Eropa Kontinental, terlebih lagi di negara- negara yang menganut sistem
precedent (di negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon).

128
Karena peranan hakim sangat penting dalam sistem hukum Anglo Saxon, wajarlah jika
para pemikir hukum di USA, misalnya, berpandangan bahwa hukum identik dengan hakim
yang memutuskannya. Hukum yang berdasar pada putusan hakim jauh lebih dominan dari
hukum yang terdapat dalam undang-undang, doktrin, teori, prinsip, atau kaidah hukum. Jadi,
hakim tidak hanya menerapkan hukum, tetapi juga membuat hukum. Hukum ciptaan hakim ini
merupakan hukum yang expost facto, tidak memenuhi unsur-unsur rule of law, efektif, efisien,
keadilan, reasonable, kepastian hukum, ketertiban, dan lain-lain yang menjadi tujuan hukum
yang baik. Dan tidak pula dapat merefieksi kesadaran hukum dan norma-norma masyarakat di
mana hakim tersebut memberikan putusannya. Sebaliknya, pada scat yang sama, aliran critical
legal studies juga mengkritik undang-undang, doktrin, metode, prinsip, teori, dan kaidah
hukum, yang dianggap sebagai produk hukum yang sarat dengan kepentingan penguasa,
kepentingan golongan mayoritas, dan sangat bersifat borjuis.
Namun, karena ujung tombak dari penerapan hukum adalah para korps baju toga (hakim),
hukum yang diciptakan oleh hakim, yang merupakan hasil penerapan/penafsirannya terhadap
undang-undang yang ada akan sangat menjadi warna dari penerapan hukum secara
keseluruhan. Sebagaimana diketahui bahwa dalam kenyataannya hakim tidak pernah
membangun atau mengembangkan hukum. Bahkan, mereka tidak pernah "berpikir" tentang
hukum, seperti yang dilakukan oleh para profesor di perguruan tinggi. Yang sebenarnya terjadi
adalah mereka (hakim) hanya "mengerjakan" (doing) hukum. Karena itu, di samping memang
sulit, bahkan mustahil bagi hakim untuk bersikap objektif dan bebas dari pengaruh
pandangan/perasaan/kepentingan hukum dari para hakim tersebut, output yang dihasilkannya
pun sering bermutu rendah, bahkan antiintelektual. Dengan demikian, penerapan hukum secara
keseluruhan pun akan berkualitas rendah meskipun undang-undang yang menjadi acuan dari
hakim dalam memutus perkara boleh jadi sudah cukup baik.

129
BAB X
AHKIR RIYAT ILMU HUKUM

Inilah akhir dari ilmu pengetahuan. Tak diragukan lagi, sains modern telah mencapal limit yang
tidak terbayangkan sebelumnya. Namun, bersamaan dengan itu, kesempurnaan sains
berbanding lurus dengan akhir petualangannya. Tidak ada lagi yang perlu dibuktikan, tidak ada
yang perlu "dicapai, tidak ada yang lebih menarik Bukan hanya dalam pengertian temuan
ilmiah an sich, melainkan juga ketiadaan penyokong secara kelembagaan, finansial, dan sosial
(John Horgan).

130
A. AKHIR RIWAYAT ILMU PADA UMUMNYA
Banyak kalangan yang berpendapat bahwa saat ini, memasuki abad ke21, berbagai
disiplin ilmu sudah berakhir (the end of science). Banyak pemikiran dan perenungan telah
dilakukan oleh para ahli untuk membuktikan dan menjelaskan bahwa memang ilmu sudah mati
atau segera akan mati. Tentu saja suara dari para penganut paham postmodern sangat hiruk-
pikuk tentang hal ini.

Di penghujung abad ke-20 dan memasuki abad ke-21, sebagian ahli dengan terang-
terangan mengatakan bahwa memang ilmu itu sudah mati, bahkan juga sudah mati atau sudah
berakhir (the end), dalam arti ilmu sudah berakhir, ideologi sudah berakhir, filsafat sudah
berakhir, kebenaran sudah berakhir, keadilan sudah berakhir, sosial sudah berakhir, seni sudah
berakhir, utopia sudah berakhir, dan lain-lain sudah menyiapkan batu nisannya.

Banyak buku dikarung untuk melukiskan tentang drama kematian tersebut misalnya:

1. Bill McKibben: End of Nature (1996).


2. Chaitin: The Limits of Mathematics (1994).
3. Clifford Geertz: After the Fact (1995).
4. Daniel Bell: The End of Ideology (1988).
5. David Lindley: The End of Physics (1993).
6. Dennis Overbye: Lonely Hearts of the Cosmos (1992).
7. Dietmar Kamper & Christoph Wulf (ed.): Looking Back on the End of the World
(1989)
8. Ernst Mayr: Toward's New Philosophy of Biology (1988).
9. Francis Fukuyama: The End of History and the Last Man (1992).
10. Frank Tipler: The Physics of Immortality (1994).
11. Freeman Dyson: Infinite of All Direction (1988).
12. George Johnson: Fire in the Mind (1995).
13. Gerald Holton: Science and Anti Science (1993).
14. Gunther Stent: The Coming of Golden Age: A View of the End of the Progress (1969).
15. Gunther Stent: The Paradoxes of Progress (1978).

131
16. Heinz Pagels: The Dream of Reason (1988).
17. J.D. Bernal: The World, The Flesh, and the Devil (1992).
18. Jean Baudrillard: The Illusion of the End (1992). (1995).
19. John Barrow: Dreams of A Final Theory
20. John Barrow: Pi in the Sky (1992).
21. John Horgan: The End of Science: Facing the Limits of Knowledge in the Twilight of
the Scientific Ages (1997).
22. John Leslie: The End of the World: The Science and Ethics of Human Extinction (1996).
23. Kenneth Baynes, et al. (ed.): After Philosophy: End of Trans formation (1987).
24. Martin Harwit: Cosmic Discovery (1981).
25. Martin Heidegger: The End of Philosophy (1975).
26. Mitchell Waldrop: Complexity: The Emerging Science of the Edge of Order and Chaos
(1992).
27. Paul Davies: The Mind of God (1992).
28. Paul Feyerabend: Against Method (1975).
29. Peter Medawar: The Limit of Science (1984),
30. Richard Dawkins: The Blind Watchmaker (1986).
31. Richard O. Selve: The End of Science/Attack and Defence (1992).
32. Robert Wright: Three Scientists and Their Gods (1993).
33. Roger Lewin: Complexity: Life at the Edge of Chaos (1992).
34. Roger Penrose: The Emperor's of New Mind (1989).
35. Steven Levy: Artificial Life (1994).
36. Steven Weinberg: Dreams of a Final Theory (1992).
37. Timothy Ferris: Coming of Age in the Milky Way (1988).
38. W.H. Freeman: The Quark and the Jaguar (1994).
39. Victor Burgin: The End of Art Theory: Criticism and Postmodernity

(1986) Di samping buku-buku tersebut, masih banyak lagi buku-buku dari banyak ahli yang
tidak mungkin disebut satu per satu di sini yang khusus membahas tentang pemikiran akhir (the
end) dari sesuatu. Di samping itu, masih banyak lagi buku yang membahasnya tidak secara
khusus, tetapi dalam satu atau dua bab saja dari bukunya tersebut. Selanjutnya, masih ada
ribuan artikel dalam berbagai jurnal atau majalah yang juga membahas hal yang sama. Karena

132
itu, menjelang pergantian abad/milenium dan memasuki abad ke-21, pemikiran tentang
berakhirnya segala-galanya termasuk berakhimya ilmu pengetahuan merupakan pemikiran
yang telah serius direnungkan dan karenanya tidak boleh dianggap enteng.

Kemudian, di samping yang secara terang-terangan mengakui tentang ke- akhiran dari
berbagai hal, termasuk akhir petualangan dari ilmu, banyak juga ahli yang tidak secara terang-
terangan mengemukakan pendapatnya meskipun jika diamati secara mendalam, sebenarnya
juga mengakui akhir dari berbagai hal tersebut. Mereka tidak mau mengakui secara terang-
terangan disebabkan beberapa alasan berikut:

1. Karena memang mereka sendiri masih ragu dan belum tuntas mengambil sikap tentang
apakah ilmu dan lainnya itu benar sudah atau akan mati.
2. Mereka takut dituduh sebagai ilmuwan yang nail, pesimis, frustasi, bahkan psikopat.
3. Mereka tidak slap menerima akibat fatal karena matinya ilmu dan matinya bidang-bidang
lain tersebut. Misalnya, timbulnya masyarakat yang apatis dan teknikal, seperti mesin
dan robot-robot.
4. Mereka takut dituduh terjangkit penyakit sindrom pergantian abad/ milenium Karetta
setidak-tidaknya dalam pergantian dari abad ke19 ke abad ke-20. pernah terjadi bahwa para
ilmuwan, terutama ilmuwan ilmu mumi menyatakan bahwa abad ke-19 sudah banyak hal
ditemukan oleh ilmu pengetahuan sehingga mereka meramalkan bahwa abad ke-20 udak
akan ada lagi penemuan ilmiah yang cukup berarti. Akan tetapi, pendapat tersebut ternyata
tidak benar dan hanya sindrom pergantian abad karena tidak lama kemudian pada abad ke-
20, Albert Einstein mengemukakan teori relativitas nya, yang merupakan suatu penemuan
besar dalam sejarah sehingga memorak-porandakan pendapat para pemikir sebelumnya.
Orang cepat mengambil kesimpulan bahwa jika pada pergantian abad saja mempunyai
sindrom seperti itu, apalagi pada pergantian milenium yang tentunya sindrom tersebut
menjadi jauh lebih besar.

Berdasarkan perkiraan yang cukup moderat, objek ilmu pengetahuan sudah semakin
habis ditemukan. Sekarang sudah 50% dari objek tersebut yang sudah ditemukan. Karena itu,
masih ada yang belum ditemukan oleh ilmu pengetahuan. Mungkin sebentar lagi ilmu
pengetahuan dan teknologi akan menemukan otak artifisial yang membuat banyak fungsi
manusia diganti oleh komputer secara total. Mungkin nanti akan ditemukan sejenis energi

133
hemat dan ramah lingkungan, mungkin akan tercipta manusia kloning. Demikian juga nanti
mungkin akan ditemukan jawaban ilmu biologi bagaimanakah kehidupan bermula, bagaimana
proses sel tunggal yang berkembang menjadi organisme multiselular, atau bagai- mana sistem
saraf memproses informasi. Atau ilmu ekonomi mungkin nantinya akan memberikan jawaban
yang pasti tentang cara menghilangkan kemiskinan di dunia ini.

Berdasarkan perhitungan yang moderat tersebut pada tahun 2200 akan ditemukan objek
ilmu pengetahuan kurang lebih 90% sehingga praktis setelah itu, ilmu pengetahuan akan hampa
tanpa temuan-temuan baru lagi (John Horgan, 2005: xvii).

Dengan demikian, ilmu pengetahuan itu berakhir justru karena perkembangan dan
kesempurnaannya sendiri yang terlalu cepat melaju.

Oleh karena itu, kehabisan objek penelitian merupakan salah satu alasan mengapa
akhirnya ilmu pengetahuan akan mati surf. Adapun alasan yang lain adalah:

1. Percampuradukan antara ilmu pengetahuan dan bidang lain, seperti seni, agama, atau
filsafat.
2. Pengetahuan melampaui batas untuk menuju ke arah yang ekstrem.
3. Ketiadaan dukungan, fasilitas, biaya, lembaga yang cukup mampu untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan, seperti pemerintah Amerika Serikat yang menghentikan penyaluran
dana terhadap penelitian superconducting supercollider. Atau tidak mungkin manusia
menghabiskan dana, tenaga, dan waktu cukup besar hanya untuk dapat mendaratkan
pesawat atau manusia ke permukaan planet-planet lain selain bumi yang gersang atau
dingin membeku dan tidak mempunyai kehidupan tersebut.

Matinya ilmu pengetahuan dan bidang-bidang lainnya tersebut sebenarnya dimaksudkan


sebagai salah satu atau lebih dari pengertian berikut ini: (John Horgan, 2005: viii)

1. Meninggalkan kondisi sebelumnya.


2. Titik balik sejarah, dalam arti kembali ke sejarah sebelumnya (historical reversal).
3. Menuju titik ekstrem (hyper),
4. Proses diskontinuitas sejarah.
5. Peleburan/persilangan (trans).
6. Kehabisan entitas/objek yang diamati.

134
Jika dahulu dipercaya bahwa objek kajian ilmu pengetahuan bersifat linear tanpa batas,
dewasa ini semakin diyakini bahwa objek kajian ilmu itu ada batasnya. Setelah ditemukan teori
evolusi oleh Charles Darwin, mekanika kuantum, fisika partikel, teori Big Bang, dan teori
realitivitas dari Einstein, hampir tidak ada lagi yang tersisa untuk diteliti dan ditemukan
selanjutnya. Sama seperti dahulu pada masa orang-orang gemar menjelajah dunia untuk
menemukan daerah baru di mana dipercaya bahwa bumi ini hampa tiada batas, tetapi kemudia
terbukti bumi ini ada batasbatasnya. Itu sebabnya, mehgapa di bidang fisik. setelah Einstein
tidak ada lagi penemu besar sekaliber dirinya tersebut. Hal ini Bukan karena ketiadaan pemikir
besar sekelas Einstein, melainkan karena dengan keunggulan dan perkembangan teknologi dan
informasi yang lebih cepat dibandingkan pada era Einstein, secara logis dunia dapat
memproduksi manusia yang jauh lebih handal dibandingkan Einstein. Yang sebenarnya terjadi
adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat menemukan sesuatu yang besar karena memang
tidak ada lagi penemuan besar yang harus ditemukan.

Kemudian, sama dengan mekanika (kuantum), di bidang fisika (fisika partikel), akhir dari
ilmu pengetahuan juga jelas kelihatan. Sesudah ditemukan quarks unsur paling kecil tempatnya
proton dan neutron, setelah itu tidak ada lagi yang dapat diselidiki oleh fisika partikel. Bahkan,
teori superstring (berarti partikel yang amat kecil) telah mengajarkan bahwa bentangan string
dalam hyperspace 10 dimensi dapat menghasilkan semua energi dan mated alam semesta.

Di bidang ilmu biologi, objek kajiannya juga sudah semakin terbatas. Setelah Charles
Darwin menemukan teori evolusinya, kemudian ditemukan unsur RNA yang bersama-sama
dengan DNA memproduksi protein, maka praktis tidak ada lagi penemuan besar setelah itu.
Dan ternyata, dalam hitungan ratusan tahun, perkembangan ilmu biologi tidak bergerak jauh
dari teori evolust Darwin tersebut.

Di bidang ilmu zoologi, keadaan lebih parah lagi. Sekarang dipercaya bahwa semua
spesies binatang sudah ditemukan oleh manusia, terakhir yang ditemukan adalah binatang
panda di Cina. Karena itu, petualangan manusia di bidang ilmu sudah tidak lagi mengasyikkan
Di bidang ilmu genetika, memang telah berbagai rekayasa ditemukan dan sudah mulai
diterapkan pada kehidupan manusia. Akan tetapi, justru teknik rekayasa tersebut yang ternyata
lebih membawa efek negatif dibandingkan positifnya bagi kesehatan dan eksistensi umat

135
manusia. Apalagi setelah nanti berhasil dibuat manusia-manusia kloning, yang jelas-jelas
mengancam eksistensi umat manusia di bumi ini,

Di bidang ilmu kosmologi juga sama. Setelah manusia mendarat di bulan dan
kemungkinan tidak ada lagi planet dalam sistem tata surya kita yang dihuni oleh makhluk
hidup, buat apa membuang biaya sekian besar, waktu ratusan tahun, tenaga, dan pikiran yang
begitu besar untuk sesuatu yang tidak jelas manfaatnya. Manusia tidak akan dan tidak perlu
menjelajahi semua planet dalam sistem tata surya kita yang jelas-jelas tidak ada kehidupan dan
tidak ada nilai ekonomisnya.

Demikian juga dengan perkembangan filsafat yang dahulunya dikembangkan ke arah


untuk mencari kebenaran, dewasa ini hanya sekadar menggali keindahan kata-kata sehingga
membaca filsafat sekarang tidak ubahnya seperti kita membaca prosa, puisi, cerita roman, atau
cerita fiksi.

Karena sudah sampai di ujung dari perkembangan ilmu pengetahuannya, saat ini yang
kita lihat dalam ilmu pengetahuan bukan lagi objektivisme dari ilmu yang bebas nilai dengan
ukuran validitas kebenaran yang akurat, melainkan perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini
hanya memolesmoles apa yang sudah lebih dahulu ditemukan dan membuatnya menjadi lebih
mempunyai daya pesona, daya keindahan, dan daya pikat, tidak ubahnya seperti senrang staf
marketing dari suatu perusahaan yang sedang menjual obat.

Bidang-bidang ilmu noneksak juga mengalami nasib yang sama, yakni mereka juga
menuju ajalnya. Sejarah sudah mati, sebagaimana yang dikemukakan oleh Francis Fukuyama
dalam bukunya The End of History.

Kebudayaan sekarang telah menjadi semakin seragam, tanpa adanya ke- anekaragaman
sehingga tidak ada lagi sejarah dari berbagai bangsa/suku bangsa, yang ada hanyalah semacam
homogenitas budaya.

Kesadaran sosial juga sudah punah. Dalam hal ini, tidak ada lagi interaksi sosial,
peradaban rapat, dan tatap muka sudah semakin terkikis dengan aneka aktivitas artifisial
terutama karena intervensi teknologi digital.

136
Seni juga semakin terkikis dan berjalan ke arah yang semakin ekstrem. Dalam arti dewasa
ini, semua atau apa pun dapat dianggap seni dan filsafat juga sudah mati sementara ideologi
besar, seperti kapitalis, komunis, dan sosialis, juga sudah jelas-jelas punah dari muka bumi ini.
Karena itu, tidak heran juga ketika kita sadar bahwa ilmu hukum rupanya juga sudah lebih
dahulu mati. Perkembangan ilmu pengetahuan sehingga menghasilkan bom atom, yang dalam
Perang Dunia Kedua sempat dijatuhkan di Jepang, bencana nuklir, perang biologi dan
kimia; kerusakan lapisan ozon; efek rumah kaca; keracunan karena polusi; efek negatif dari
rekayasa genetik; pencemaran lingkungan; keganasan Perang Dunia Kesatu dan Kedua:
kekejaman diktator, seperti Hitler, Stalin, Mussolini; kekejaman negara adidaya tunggal
Amerika Serikat dalam menghantam negara-negara lain merajalelanya korupsi di berbagai
negara; dan lain-lain yang dapat membawa efek negatif terhadap umat manusia, kesemua itu
menunjukkan bahwa hukum memang tidak berdaya dan ilmu hukum sebenarnya sudah gagal
dan tidak sanggup lag! menyediakan pemecahannya dan gaga) menyediakan kaidah hukum
yang efektif.

B. APAKAH ILMU HUKUM SUDAH MATI


Memasuki abad ke-21, ilmu hukum sedang mengalami proses kemunduran yang luar
biasa, yang merupakan suatu gejala menuju kepunahannya. Karakteristik ilmu hukum pada
abad ke-21 tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ilmu hukum semakin frustasi dan tidak punya rasa percaya diri.
2. Ilmu hukum semakin tidak berdaya.
3. Ilmu hukum semakin tidak punya arah pegangan.
4. Ilmu hukum semakin sekuler.
5. Ilmu hukum semakin tidak rasional.
6. Ilmu hukum semakin kehilangan pekerjaan-pekerjaan besarnya.
7. Dalam hal-hal tertentu, ilmu hukum semakin kembali ke masa lalu.
8. Ilmu hukum semakin stagnan dan teknikal.
9. Ilmu hukum semakin artifisial.
10. Ilmu hukum semakin tidak natural.
11. Ilmu hukum menjadi semakin ekstrem.

137
12. Ilmu hukum semakin seragam.
13. Ilmu hukum semakin berputar-putar.

1. Ilmu Hukum Semakin Frustasi dan Tidak Punya Rasa Percaya Diri

Ilmu secara menyeluruh semakin tidak punya rasa percaya diri. Lebih-lebi ilmu hukum,
tidak memiliki rasa percaya diri lagi. Hal ini gampang dipahami. Oleh sebab itu, jika sains yang
dalam sejarah cukup berhasil yang kemudian menghasilkan teknologi canggih tersebut
sekarang dituding sudah hilang rasa percaya dirinya, konon lagi ilmu hukum yang di sepanjang
sejarah peradaban manusia lebih banyak mencatat kegagalannya daripada keberhasilannya.
Ilmu hukum belum pernah menghasilkan suatu prestasi yang spektakuler di sepanjang sejarah
peradaban manusia, kecuali hanya ada letupan-letupan kecil dalam sejarah, seperti yang
dilakukan oleh bangsa Romawi Kuno (dengan berbagai aturan hukum ciptaannya), Raja
Hammurabi (dengan Code Hammurabi-nya), dan Napoleon Bonaparte (dengan Code
Napoleon-nya), atau GATT/ WTO di bidang perdagangan internasional. Letupan-letupan kecil
tersebut tidak banyak maknanya dibandingkan dengan luasnya masalah hukum yang perlu
diatur. Lagi pula, praktik dan penerapannya tidak seindah ketentuan-ketentuan yang tertulis
tersebut.

Dengan begitu, habisnya rwayat ilmu hukum bukan disebabkan oleh ke- sempumaannya
atau kecepatannya mencapai tingkat tertinggi sebagai mana yang terjadi pada bidang sains,
melainkan perkembangan ilmu hukum berhenti justru karena frustasi dan kehabisan napas.

2. Ilmu Hukum Semakin Tidak Berdaya

Nyatanya ilmu hukum memang semakin tidak berdaya. Satu dan lain hal karena
banyaknya masalah terutama pada abad ke-20 tidak bisa dipecahkan oleh hukum, misalnya,
masalah-masalah sebagai berikut:

 Perang Dunia I dan II.


 Bom atom dan hidrogen.
 Bom bunuh diri

138
 Kerusakan lapisan ozon.
 Efek rumah kaca
 Bencana nuklir, perang kimia, dan perang biologi.
 Parang bintang.
 Kerusakan lingkungan.
 Kekejaman diktator, seperti Hitler, Stalin, Mussolini.
 Kejahatan korupsi yang semakin merajalela di banyak negara.
 Negara superpower tunggal, yang menghasilkan penyalahgunaan kekuatan tunggal.
 GATT/WTO yang terus-menerus gagal. Perserikatan Bangsa-Bangsa semakin tidak
berfungsi.
 Masalah aborsi, euthanasia, dan hukuman mati, yang semakin tidak terarah Perkembangan
biologi dan genetika yang semakin merusak kehidupan manusia tidak sanggup diatur oleh
hukum. Misalnya, makanan genetis dan manusia kloning.

3. Ilmu Hukum Semakin Tidak Ada Arah Pegangan

Tidak salah pula jika dikatakan bahwa ilmu hukurn sudah tidak ada arah pegangan lagi.
Hal ini, antara lain, disebabkan filsafat, termasuk filsafat hukum sebenarnya juga sudah
menemukan ajalnya. Sebagaimana diketahui bahwa ilmu hukum selama ini diarahkan oleh
filsafat hukum, yang menyediakan kajiannya untuk merenung tentang hukum dan ilmu hukum
sehingga hukum dan ilmu hukum tersebut dapat berkembang secara terarah. Selain dari filsafat
hukum, ideologi dalam batas-batas tertentu sebenarnya dapat mengarahkan perkembangan ilmu
hukum. Ideologi tersebut, misalnya, komunisme, kapitalisme, dan sosialisme. Sayangnya,
ideologi pun sekarang sudah bernasib sama, yaitu me- nuju kepunahannya sehingga ilmu
hukum pun semakin hilang arah dan pegangannya.

4. Ilmu Hukum Semakin Sekuler

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa sebenarnya filsafat dan ideologi saat ini sudah
berakhir. Padahal, selama ini filsafat dan ideologi mengkontribusikan prinsip-prinsip moral dan
logika ke dalam bidang ilmu hukum. Di samping it sudah menjadi kenyataan bahwa agama

139
semakin hari semakin hilang daya pikatnya, sehingga semakin ditinggalkan orang. Akibat dari
punahnya filsafat, ideologi, dan agama, ilmu hukum dalam perkembangannya juga menjadi
semakin sekuler.

5. Ilmu Hukum Semakin Tidak Objektif dan Tidak Rasional

Karena ilmu sendiri semakin bercampur-baur dengan bidang-bidang lain, seperti seni,
filsafat, dan agama, sebagaimana yang coba diterangkan oleh Nietzsche, Derrida,
Feyerabend, Deleuze, Heidegger, dan lain-lain sehingga ilmu menjadi tidak rasional. Tidak
ada lagi keobjektifan ilmu yang induktif dan tidak ada lagi posisi ilmu yang bebas nilai.
Karenanya, ilmu hukum juga semakin tidak objektif dan tidak rasional. Ketidakobjektifan ilmu
hukum merupakan salah satu ajaran dari aliran terakhir dalam ilmu hukum, yaitu aliran critical
legal studies.

6. Tidak Ada Lag! Pekerjaan Besar bagi Ilmu Hukum

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ilmu pengetahuan sudah tidak lagi. objek memiliki
penemuan-penemuan besar untuk ditemukan karena memang penemuan ilmu pengetahuan
sudah habis. Di samping itu, di sepanjang sejarah, ilmu hukum memang tidak pernah membuat
kejutan dengan melakukan tindakan- tindakan besar, kecuali letupan kecil, seperti kreativitas
bangsa Romawi Kuno atau pembuatan Kode Napoleon. Hakikat ilmu hukum yang memang
miskin penemuan baru jika dihadapkan dengan kenyataan dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan yang tidak lagi dapat menghasilkan suatu temuan besar, mengakibatkan bidang
ilmu hukum pun semakin lama semakin tidak lagi mempunyai pekerjaan-pekerjaan besarnya
untuk dikerjakan. Yang ada dalam ilmu hukum hanyalah pekerjaan rutinitas, seperti rutinitas
hewan memamah biak yang mengunyah-ngunyah makanan pada malam hari.

7. Dalam Hal-Hal Tertentu Hukum Kembali ke Masa Lalu

Ilmu hukum pada masa depan menampakkan dua tampilannya. Di satu pihak, ilmu
hukum menampilkan gayanya yang semakin seragam dengan penggunaan teknologi canggih
dalam proses pembuatan dan penerapan hukum dan dalum banyak hal akan diganti posisinya
oleh komputer atau kesadaran artifisial. Akan tetapi, di lain pihak, akibat ketiadaan objek
pengembaraan ilmu pengetahuan, utopia, dan cita-cita semakin memudar. Akibatnya, orang
akan berbalik arah ke masa lalu sehingga ilmu hukum pun akhimya, terutama dalam bidang-

140
bidang ter- tentu, akan berbalik arah ke masa lalu dengan mengatur dan menyediakan kaidah-
kaidahnya, seperti yang pernah dilakukan di masa lalu. Dalam hal ini, ilmu hukum akan
membalik arah jarum jam. Misalnya, betapa sukacitanya orang-orang dari daerah Aceh ketika
sejak tahun 2005 di daerah itu diterapkan hukuman cambuk bagi kejahatan-kejahatan tertentu
dan memang kelihatannya menjadi hukum yang efektif untuk mencegah berulangnya kejahatan
di sana meskipun sebenarnya memberlakukan hukuman cambuk tersebut sebenarnya
merupakan salah satu ajaran hukum Islam yang notabene sudah ada sejak abad ketujuh Maschi.
Dengan demikian, dalam hal tersebut, hukum berbalik arah dan menuju ke masa 14 abad yang
lalu.

8. Ilmu Hukum Semakin Stagnan dan Teknikal

Karena ilmu, filsafat, agama, ataupun seni berjalan secara pasti menuju kehancurannya
dan keadaan masyarakat menjadi semakin pragmatis, maka dalam ilmu hukum tidak lagi tersisa
adanya pesan moral, sentuhan ontologis, ataupun nilai keindahan. Karena itu, ilmu hukum akan
bersifat stagnan dan sangat teknikal. Ilmu hukum hanya dilihat sebagai suatu cara teknis untuk
menyelesaikan suatu masalah sehingga menjadi seperti ilmu bagi tukang-tukang, dalam hal ini
tukang-tukang hukum. Meskipun hakikat dari hukum memang "tukang" masalah, sifat "tukang"
semakin hari semakin menonjol.

9. Ilmu Hukum Semakin Artifisial

Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan kehidupan kemasyarakatan adalah menuju


ke kehidupan yang artifisial dan dekoratif. Gaya hidup manusia meniru gaya hidup yang
dipertontonkan dalam film dan sinetron. Seolah-olah kehidupan yang nyata adalah kehidupan
gaya film Hollywood. Semuanya sudah menjadi artificial. Agama hanya menjadi ritual dan seni
hanya menjadi dekoratif Seni dan kebudayaan lebih merupakan ajang tontonan daripada suatu
penghayatan. Kitab suci, seperti Alquran lebih untuk dibaca secara bertalu-talu, bukan untuk
digali maknanya. Acara di gereja lebih dipakai untuk bernyanyi dan menghibur diri ketimbang
untuk memanjatkan puji kepada Tuhan. Keadaan seperti ini juga berpengaruh pada
perkembangan ilmu hukum. Dalam hal ini, ilmu hukum juga akan berkembang menjadi hanya
sebagai artifisial atau mengatur masyarakat agar tetap hidup secara artifisial dan dekoratif. Ilmu
hukum hanya menjadi seperti lukisan yang digantung di dinding-dinding.

141
10. Ilmu Hukum Semakin Tidak Natural

Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan ilmu, baik ilmu eksak maupun ilmu
kemasyarakatan berjalan ke arah semakin tidak natural. Contoh yang paling nyata adalah
berkembangnya ilmu genetika yang menghasilkan makanan dan tumbuh-tumbuhan yang
genetis. Terlebih lagi, berkembangnya ilmu genetika yang menghasilkan binatang, bahkan
manusia kloning, bayi tabung, manusia rekayasa, dan lain-lain. Demikian pula halnya di bidang
hubungan kemasyarakatan, tingkah laku sosial, dan perkawinan yang tidak alami juga semakin
banyak terjadi. Perkawinan tidak alami tersebut, baik sebagai pengaruh teknologi modern
(virtual sex) maupun perkawinan menyimpang dari biasanya karena masyarakat menganut
prinsip kebebasan yang kelewat batas. Karena itu, ilmu hukum harus menjawab perkembangan
tersebut dengan menyediakan kaidah-kaidahnya untuk mengatur masalah-masalah yang tidak
alami tersebut. Misalnya, untuk mengatur tingkah laku manusia kloning, hak alimoni
perkawinan sejenis, bahkan mengatur akibat-akibatnya, seperti mengatur meluasnya penyakit
AIDS dan sebagainya. Dengan demikian, semakin hari perkembangan ilmu hukum memang
semakin tidak natural.

11. Ilmu Hukum Semakin Tidak Natural

Sebagaimana diketahui bahwa ketika ilmu pengetahuan dan anaknya berupa teknologi
berkembang sampai pada puncaknya, berbagai bentuk keekstreman akan terjadi. Bentuk
ekstrem ilma rekayasa adalah terciptanya manusia koning, Bentuk ekstrem ilmu komputer
menghasilkan artificial. Salah satu bentuk ekstrem ilmu fisika adalah terciptanya bon atom,
bom hidrogen, dan berbagai keekstreman yang lain. Berbagai perkembangan pola hidup
masyarakat menghasilkan kerusakan lingkungan dan menipisnya lapisan ozon yang luar biasa
dan ini adalah titik ekstrem dari perkembangan teknologi. Perkembangan ilmu, teknologi, dan
kehidupan masyarakat tersebut bergerak secara bebas, tidak lagi dialektis seperti sedia kala.
Menurut teori fatalitas (fatality), berbagai bentuk keekstreman tersebut melangkah dengan pasti
menuju kehancuran manusia dan bumi ini. Hal ini sebagai perwujudan dari doomsday scenerio.
Karena itu, per- kembangan ilmu hukum pun yang semula diharapkan mampu mengatur
bertambah buruknya efek negatif dari perkembangan yang bebas tersebut, ternyata, tidak dapat
menjalankan tugasnya dengan baik, berhubung sektor ekonomi atam politik (bukan hukum)
telah merupakan panglima. Hukum, misainya, tidak mampu menahan keberingasan Hitler Dada

142
Perang Dunia Kedua atau menahan Amerika Serikat untuk menjatuhkan bom atom di Nagasaki
dan Hiroshima. Mau tidak mau, ilmu hukum pun berkembang ke arah lurus menuju ke titik
ekstrem pula.

12. Ilmu Hukum Semakin Universal

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu cepat terjadi sehingga semakin
cepat pula menuju titik akhirnya. Dengan dibarengi oleh perkembangan teknologi informasi,
menyebabkan perkembangan tersebut dapat diketahui dan dirasakan oleh banyak orang di dunia
ini. Dunia menjadi semakin sempit dan global. Teknologi menjadi semakin seragam. Begitu
pun dengan aturan hukum, menjadi semakin seragam. Dengan daya evolusi dalam tubuh
hukum, akhirnya seperti biasanya, sejarah akan menyisakan hanya satu hukum yang baik, dan
hukum yang satu dan seragam itulah yang merupakan hukum yang dianut secara merata di
seluruh dunia.

13. Ilmu Hukum Hanya Berputar-Putar

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu cepat terjadi sehingga semakin
cepat pula menuju titik akhirnya. Dengan dibarengi oleh perkembangan teknologi informasi,
menyebabkan perkembangan tersebut dapat diketahui dan dirasakan oleh banyak orang di dunia
ini. Dunia menjadi semakin sempit dan global. Teknologi menjadi semakin seragam. Begitu
pun dengan aturan hukum, menjadi semakin seragam. Dengan daya evolusi dalam tubuh
hukum, akhirnya seperti biasanya, sejarah akan menyisakan hanya satu hukum yang baik, dan
hukum yang satu dan seragam itulah yang merupakan hukum yang dianut secara merata di
seluruh dunia.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu cepat terjadi sehingga semakin
cepat pula menuju titik akhirnya. Dengan dibarengi oleh perkembangan teknologi informasi,
menyebabkan perkembangan tersebut dapat diketahui dan dirasakan oleh banyak orang di dunia
ini. Dunia menjadi semakin sempit dan global. Teknologi menjadi semakin seragam. Begitu
pun dengan aturan hukum, menjadi semakin seragam. Dengan daya evolusi dalam tubuh
hukum, akhirnya seperti biasanya, sejarah akan menyisakan hanya satu hukum yang baik, dan
hukum yang satu dan seragam itulah yang merupakan hukum yang dianut secara merata di
seluruh dunia. Selanjutnya, jika seseorang sudah berumur 21 tahun ke atas, dia sudah dianggap

143
dewasa mutlak, di mana ketidakwenangan berbuat secara hukum hanya dimungkinan karena
alasan dia berada di bawah kuratele (misalnya jika din berpenyakit jiwa).

Terhadap pertanyaan apakah ilmu hukum sudah berakhir riwayatnya atau sudah mati,
maka bagi mereka yang menganggap ilmu hukum pernah ada, memang ilmu hukum sudah
mati, bahkan lebih dahulu mati dibandingkan dengan matinya ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi,
apakah memang ilmu hukum pernah ada Menurut hemat penulis, yang pernah ada hanyalah
bayang-bayang ilmu dalam hukum meskipun untuk itu kita sebut juga ilmu hukum. Padahal,
yang benar- benar ada dalam dunia hukum hanyalah keterampilan hukum, dalam arti
Keterampilan membuat hukum, menerapkan hukum, merenungkan hukum, mengajar hukum,
atau mengomentari hukum, seperti keterampilan kuda menarik pedati atau keterampilan sapi
membajak sawah.

DAFTAR BACAAN

Ali, Achmad. Sosiologi Hukum. Kajian Empiris terhadap Pengadilan. Jakarta: STIH Iblam,
2004.

American Bar Association. The Supreme Court and Its Justices. Chicago: 1987.

Andi Hamzah. Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara. Jakarta: Sinar


Grafika, 2005.

144
Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001.

Barr, Meyer Bernard. Studies in Social and Legal Theories. Colorado, USA: Littleton, 1982.

Capra, Fritjof. The Web of Life. London: Flamingo, 1997.

Feyerabend, Paul. Against Method. London: Verso, 1982.

Frank, Jerome. Law and the Modern Mind. New York, USA: Doubleday & Company, Inc., 1963.

Friedman, Lawrence M. Law and Society. An Introduction. Englewood Cliffs, New Jersey, USA:
Prentice-Hall, 1977.

Friedman, W. Law in Changing Society. New York, USA: Columbia University Press, 1972.

Fuady, Munir. Aliran Hukum Kritis. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004.

______, Perbandingan Hukum Perdata. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005.

Gilissen, John, dan Frits Gorle. Sejarah Hukum. Suatu Pengantar. Penyadur: Freddy Tengker.
Bandung: PT Refika Aditama, 2005.

Glezerman. Grigory. The Laws of Soria/ Development. Moscow Rusia: Foreign Language
Publishing House, t.t.

Grenz, Stanley J. A Primer on Postmodernism. Terjemahan: Penerbit Yayasan ANDI, 2001.

Gurvitch, George. Sociology of Law. USA: Philosophical Library and Alliance Book
Corporation, t.t.

Hall, Jerome. Living Law in Democratic Society. Indianapolis, USA: The Bobbs-
Merrill Company, Inc., 1949.
Handler, Joel F. Social Movements and the Legal System. New York, USA:
Academic Press, 1978.
Horgan;, John. The End of Science. Terjemahan: Djejen Zainuddien. Jakarta: PT
Mizan Publika, 2005.
Hunt, Alan. The Sociological Movement in Law Philadelphia, USA: Temple University Press,
1978.
______, The Radical Critique of Law. An Assessment. Dalam International Journal of the
Sociology of Law, No. 8/1980. London: Academic Press Inc., 1980.

145
Hutcheon, Linda. Politik Modernisme. Terjemahan: Apri Danarto. Yogyakarta, 2004.
Kinloch, Graham C. Perkembangan dan Paradigma Utama Sosiologi. Ter- jemahan Penerbit.
Bandung: CV Pustaka Setia, 2005.
Luhmann, Niklas. A Sociological Theory of Law. Terjemahan: Elizabeth King dan Martin
Albrow. London: Routlege & Kegan Paul, 1983.
Milovanovic, Dragan. A Primer in the Sociology of Law, New York: Harrow and Heston, 1988.
Nonet, Philippe, dan Philip Selznick. Law and Society in Transition. Toward Responsive Law.
New York, USA: Harper Colophon, 1978.
Osborne, Richard, dan Born van Loon. Sosiolog Penerbit. Batam: Scientific Press, 2005.
Patterson, Edwin W. Law in a Scientific Age. New York, USA: Columbia University Press,
1963.
Purbacaraka, Purnadi, dan Soerjono Soekanto. Menelusuri Sosiologi Hukum Negara. Jakarta: CV
Rajawali, 1983.
Rahardiansah P. dan Endar Pulungan. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: Universitas Trisakti,
2005.
Rahardjo, Satjipto. Masalah Penegakan Hukum. Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung: Sinar
Baru, t.t.
______, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode, dan Pilihan Hukum. Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2002.

Rheinstein, Max. Max Weber on Law in Economy and Society. New York, USA: Simon and
Schuster, 1967.

Salman, Otje, dan Anthon F. Susanto. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bandung: PT Alumni,
2004.

Samekto, Fx. Adji. Studi Hukum Kritis. Kritik terhadap Hukum Modern. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2005.

Simon, Rita James. The Sociology of Law. Interdisciplinary Readings. San Francisco, USA:
Chandler Publishing Company, t.t.

Soekanto, Soerjono. Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum. Bandung: Alumni,
1978.

146
______, Pengantar Sejarah Hukum. Bandung: Alumni, 1983.

______, Bahan Bacaan Perspektif Teoritis dalam Sosiologi Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1984.

______, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 2004.

______, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


2005.

Sugiharto, I. Bambang. Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Suriasumentri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: PT Gramedia, 1983.

Suseno, Franz Magnis. Pijar-Pijar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Stone, Julius. Law and Social Sciences in the Second Half Century. Minneapolis, USA:
University of Minnesota Press, 1966.

Tangley, Lord. New Law for a New World. London, Inggris: Stevens & Sons,
1965.

Teubner, Gunther. After Legal Instrumetalism? Strategic Models of Post Regulatory Law. Dalam
International Journal of the Sociology of Law, No. 12/1984. London: Academic Press
Inc., 1984.

Tourtoulon, Pierre De. Philosophy in the Development of Law. Terjemahan: Marthe McD Read,
New York, USA: The Macmillan Company, 1922.

Unger, Roberto Mangabeira. The Critical Legal Studies Movement. Cambridge: Harvard
University Press, 1983.

Ziegert, Klaus A. The Sociology behind Eugen Ehrlich's Sociology of Law. Dalam International
Journal of the Sociology of Law, No. 7/ 1979. London: Academic Press Inc., 1979.

147

Anda mungkin juga menyukai