Anda di halaman 1dari 14

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN

RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JAMBI

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

POLITIK HUKUM DALAM PENGATURAN


KEBIJAKAN TERHADAP LGBT

Disusun Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Politik Hukum

DHIA SALSABILA FITRIADILA


P2B122070
Kelas : B

Dosen Pengampu :
Dr. Hartati, S.H., M.H.

JAMBI
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Menurut Utrecht Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan


(perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu
masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.1 Maka dariitu
produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah harusnya memuat aturan yang
tegas dalam menciptakan ketertiban dan kepatuhan masyrakat akan hukum yang
berlaku. Namun muatan dalam produk hukum tidak dapat terlepas dari kekuatan
politik yang ada. Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, maka segala
sesuatu harus dilakukan secara demokratis dengan memperhatikan kehendak dan
aspirasi masyarakat luas agar produk yang dihasilkan sesuai dengan keinginan
hati nurani rakyat. Namun apabila sebaliknya menunjukkan bahwa produk hukum
yang dikeluarkan dapat membuat masyarakat resah dan cenderung melanggar
ketentuan hukum itu.

Pada era sekarang dimana Hak Asasi Manusia sangat diperhatikan


oleh berbagai kalangan menjadi bahasan menarik karena dengan perubahan zaman
yang signifikan membuat arah kehidupan bermasyarakat menjadi masyarakat
yang bebas karena masih ada aturan yang belum tegas. Negara Indonesia kini
dalam keadaan darurat terhadap kejahatan seksual. Beberapa pengamatan yang
sering dilakukan dalam masyarakat seringkali mengejutkan karena ditengah
masyarakat orientasi seksual yang menyimpang makin marak ditemukan seperti
penyimpangan orientasi seksual yang ada di antaranya berupa Lesbian, Gay, yang
dapat dikategorikan sebagai homoseksual, atau memiliki orientasi dengan sesama
jenis, Biseksual yang memiliki orientasi seksual terhadap semua jenis, dan
Transgender. Meskipun banyak penyimpangan seksual yang terjadi di seluruh
dunia dapat dikatakan LGBT dapat mewakili penyimpangan orientasi seksual di
seluruh dunia. Indonesia yang memiliki histori-religius yang kuat, nampaknya

1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 38.
kian tergerus arus kebebasan dunia. Pesta seksual, baik heteroseksual maupun
sesama jenis, banyak ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia. Orang-orang
yang menyatakan diri sebagai LGBT juga semakin berani menunjukkan diri dan
mengajak orang lain untuk bergabung dengan mereka. Di tengah berbagai
permasalahan hukum di Indonesia yang tidak kunjung tuntas, masalah LGBT
semakin memprihatinkan.

Perkembangan zaman ternyata tidak selalu dapat mencapai tujuan


dalam perbaikan moral masyarakat. Terbukti dengan makin banyaknya kejahatan
moralitas, terutama dalam hal penyimpangan orientasi seksual. Sekalipun
memang benar bahwa kaum LGBT tidak untuk dijauhi, namun orientasi
seksualnya yang menyimpang, secara langsung maupun tidak dapat berpengaruh
negatif bagi masyarakat luas.Perkembangan kejahatan LGBT juga dirasa sangat
memprihatinkan, misalnya adanya penggerebekan yang dilakukan oleh Polres
Metro Jakarta Utara terhadap prostitusi Gay di Kelapa Gading pada 2017, ada
juga penggerebekan oleh Polres Cianjurterhadap pesta seks yang terjadi di
wilayah hukumnya, pesta seks yang terjadi dilakukan oleh kaum Gay bahkan
mengajak seorang remaja didalamnya, bahkan pada November 2022 ini 2 prajurit
TNI AD dipecat dan di penjara selama 7 bulan oleh pengadilan militer akibat dari
perilaku menyimpang merekatersebut. Belum lagi maknya kejahatan serupa yang
telah dilaporkan dari berbagai wilayah.

Terlebih di masa kini banyak kaum pro LGBT dengan perilakunya


yang menyimpang menjadikan dasar HAM untuk menuntut kebebasannya kepada
negara maupun menjadikannya sebagai hal normal di negara Indonesia. Ada pula
yang menginginkan bahwa negara harusnya tidak perlu ikut campur hingga
persoalan ke kamar tidur. Di era demokrasi dan keadilan HAM, memberi
kebebasan dan ruang untuk mereka berkreasi adalah sebuah keniscayaan yang
seharusnya mendapat dukungan oleh negara, bukan untuk ditentang. Tidak hanya
itu, kaum LGBT justru menganggap dan meyakini bahwa apa yang terjadi dan
dirasakan olehnya merupakan takdir Tuhan yang tidak bisa dilawan. Realita masa
kini yang terjadi memang begitu adanya, mungkin saja kaum LGBT akan makin
memiliki dasar yang kuat di kemudian hari untuk mempertahankan anggapannya
tersebut.

Hal ini adalah tugas bagi seluruh aspek masyarakat tentang isu-isu
LGBT. Penyimpangan dari nilai-nilai luhur harus ditindak secara tegas dengan
mengembalikannya kepada cita hukum bangsa yaitu Pancasila. Agar pengaturan
LGBT tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia,maka harus mencerminkan
nilai-nilai dari cita-cita hukum yang terkandung dalam setiap sila Pancasila.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana kebijakan pemerintah mengenai LGBT di Indonesia?

C. Tujuaan penulisan

Untuk mengetahui kebijakan pemerintah tentang LGBT di Indonesia.

D. Manfaat penulisan

Makalah ini diarapkan dapatmemberikan kontribusi terhadap ilmu


pengetahuan pada umumnya terutama dalam lingkup LGBT.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kebijakan Pemerintah Mengenai LGBT
1.1 LGBT dalam perspektif Pancasila

Indonesia adalah negara hukum, sesuai pasal 1 ayat (3) Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sehinggamenurut hukum di
Republik Indonesia perilaku dan akivitas LGBT tidak dapat dikenakan sanksi
hukum, asalkan tidak menyalahi aturan yaitu berada di bawah umur atau telah
terikat pernikahan. Meski aktivitas LGBT tidak diberikan sanksi hukum, namun
aktivitas seksual LGBT bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, dan
kesopanan di Indonesia, sehingga akanmendapatkan sanksi sosial yaitu
pengucilan dan pencelaan. Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 28I ayat (2) yang berbunyi “setiap orang bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Hak yang terdapat dalam pasal ini adalah hal yang absolut(tidak
dapatdikurangi). Perbuatan LGBT bertentangan dengan norma-norma dasar
negara Indonesia yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 8 B ayat (1), namun hal ini kaum minoritas yakni
kaum LGBT berhak mendapat perlindungan oleh negara karena mereka sudah
mengalami diskriinatif yang dilakukan oleh masyarakat luas sendiri. Oleh kareana
itu tak heran bila kaum LGBT sendri mendesak pemerintah untuk melegalkan
LGBT, agar mereka tidak didiskriminasi oleh masyarakat luas.

Namun kedudukan dan fungsi Pancasila pada hakekatnyasebgai


dasar negara Republik Indonesia adalah muncul dari unsur-unsur yang digali dari
nilai-nilai yang terdapat pada bangsa Indonesia itu sendiri yang berupa pandangan
hidup bangsa Indonesia. Sebagai dasar negara, Pancasila memliki kekuatan
mengikat secara yuridis.seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang
bertentangan dengan pancasila sebagai kaidah yuridis-konstitusional pada
dasarnya tidak berlaku dan harus dicabut dan dihapus. Dengan demikian
penetapan pancasila sebagai dasar negara berarti bahwa moral bangsa telah mejadi
moral negara.

Sila pertama pada Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” ini
mengisyaratkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berketuhanan atau
negara yang beragama bukan sekuler. Sebagaimana kita ketahuibahwa agama
yang diakui oleh Negara ada 6 agama; Islam, Kristen Potestan, Katholik,Hindu,
Buddha,dan Konghucu. Dari 6 agamayang diakui ini, tidak satu agama pun dalam
kitab sucinya yang melegalakan LGBT. Sehingga, jika ada pihak yang berwacana
melegalkan LGBT, selain akan betentangan dengan agama juga akan sangat
bertentangan dengan sumber hukum negara yakni Pancasila.

1.2 Kebijakan terhadap LGBT dalam KUHP

KUHP merupakan hukum pidana positif, hukum pidana yang


berlakudi Indonesia dan dibelakukan pada saat ini. Hukum pidana merupakan
bagian keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara dan berisi norma beserta
sanksi serta larangan yanga ada di dalamnya. Hukum pidana berfungsi bagaikan
pedang bermata dua. Di satu sisi mengatur tentang bagaimana negara, mengatur
perilaku tatanan sosial yang berlaku dalam masyarakat, dalam artian negara
melindungi setiap warga negaranya, di sisi lainnya, yaitu hukum pidana ini
sebagai obat terakhir. Jadi jangan sampai hukum pidana itu digunakandi saat awal
adanya perbuatan yang mencederai tatanan sosial. Hukum pidana ituibaratnya hal
yang terakhir, karena obat terakhir, maka sebelumnya harus didahului dengan
upaya-upaya atau kebijakan-kebijakan selain hukum pidana. Namun, sekarang
yang tejadi salah kaprah. Kesalahan yang menyangkut adanya ancaman tehadap
perbuatan-perbuatan yang melanggar tata kesusialaan itu sudah otomatis
perbuatan pidana. Hal ini yang seharusnya jadi penegasan bahwasanya hukum
pidana adalah berfungsi sebagai obat terakhir.

Pasal ayat (1) KUHP, “tiada suatu pebuatandapat dipidana, kecuali


berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yangtelah ada sebelumnya.”
Jadi, sebagai perbuatanpidana jika tidak ada ketentuan peraturan peundang-
undangan yang mengatur khusus tentang pidana tersebut. Pasal 29 KUHPyang
berbunyi “Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan
orang lain samakelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
belum cukup umur, diancam dengan pidanapenarapaling lama lima tahun.”

Jika terdapat penalaran atau pengertian pasal ini yang mengandung


kelemahan antara seorang dewasa dan seorang anak yang sejenis. Misalnya
seorang laki-laki dewasa denganlaki –laki yang masih dibawah umur, dengan kata
lain perbuatan homoseks dua orang laki-laki atau lebih yang sudah dewasa tidak
dapat dijerat hukum pidana, dan pelakunya tak bisa dihukum dan juga kalau
‘korbannya’ orang dewasa sedang pelakunya masih anak di bawah umur. Dengan
hal yang seperti ini penulis kurang sependapat karena menurut kamus besar
bahasa Indonesia (KBBI) cabul adalah perbuatan keji, tidak sopan, melanggar
HAM, tidak senonoh, memperkosa atau dapat dikatakan kejahatan seksual.
Sedangkan kejahatan seksual adalah perilaku seksual dimana di dalamnya tidak
terdapat konsen melainkan paksaan secara seksual. Bila pasal 292 KUHP
dianggap terdapat kekosongan hukum oleh pemohon karena tidak menerangkan
tentang pencabulan antara orang dewasa laki-laki dengan anak laki-laki,
sebenarnya tidak. Karena setiap pelaku pencabulan dapat dijerat oleh pasal 289
KUHP yang berbunyi “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaaan
dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.”

Aturan mengenai LGBT dalam KUHP Indonesia dinilai belum


terlalu spesifikasi atau belum lengkap karena dalam Pasal tersebut hanya
mengatur mengenai perbuatan cabul sesama jenis (lesbian maupun gay) terhadap
anak-anak atau seseorang yang belum dewasa tidak ada aturan hukum
terhadapmereka yang melakukannya dalam keadaan sama-sama dewasa maupun
aturan lain mengenai biseksual dan juga transgeder. Ini berarti perbuatanLGBT di
Indonesia masih dilegalkan atau diolehkan hanya saja dibatasi oleh Undang-
Undang 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwasanya perkawinan hanya dapat
dilakuakn terhadap pasangan laki-laki denganperempuan bukan sesama jenis.

1.3 Kebijakan terhadap LGBT dalam RKUHP

RUU KUHP yang menjadi terobsan baru hukum di Indonesia,


menjadi pencapaian tersendiri jika RUU KUHP disahkan. Walaupun dengan
beberapa Pasal yang termuat di dalamnya masih menjadi kontrovesi berbagai
kalangan karena dianggap tidak sesuai jika diterapkan dalam perundangannya.
Salah satu isu kontrovesi yang menadi banyak perbincangan dari berbagai
kalangan yaitu tentang isu LGBT yang masih menuai pro dan kontra.
Dalam UU KUHP terdapat 627 pasal, namun dalam ratusan pasal
tersebut tidak disebutkan bahwa LGBT merupakan suatu delik tindak pidana.
Kasus perluasan asusila yang diatur dalam RUU KUHP adalah
perzinaan dan kumpul kebo, yakni RUU KUHP melarang zina having sex dan
tinggal serumah tanpa adanya dalam ikatan pernikahan. Pasal 413 berbunyi:
1) Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang
yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana
denda paling banyak kategori II.
2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a.suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b.Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat
perkawinan.
3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25, Pasal 26, dan Pasal 30.
4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di
sidang pengadilan belum dimula.
Jika dalam KUHP tedapat Pasal 292 yang meyatakan larangan
terhadaporang dewasa yang melakukan perbuatancabul dengan orang lain sesama
jenis yang masih dibawah umur, serta dipidana dengan pidana penjara paling lama
lima tahun. Namun dalam RUU KUHP dijelaskan dalam Pasal 495 ayat (1)
dengan batasan usia, yaitu hanya dipidana jika dilakukan terhadap orang di bawah
umur 18 tahun. Selain itu, Pasal 495 ayat (1) RUU KUHP memuat sanksi pidana.
Pidana yang dijeratkan semula pidana penjara paling lama 5 tahun, menjadi
pidana penjara paling lama 9 tahun.
Sementara dalam pasal 469 RUU KUHP dijelaskan telah diatur
hukum pidana bagi perbuatan cabul yang dilakukan oleh sesama jenis maupun
berbeda jenis kelamin, karena hukum dalam RUU KUHP netral terhadap gender.
Mengingat KUHP adalah konsep hukum peninggalan zaman belanda maka sangat
diharapkan bahwa KUHP yang baru yang pada saat ini masih dalam rancangan
yang telh disahkan dapat menyerap nilai-nilai Pancasila sebagai cita
hukum/ideologi negara. Namun nyatanya fomulasi hukum pidana terhadap LGBT
tidak dimuat dalam RKUHP yang diharapkan membawa banyak perubahan dan
perbaikan urgensi pidana terhadap LGBT yang mana bertolak belakang atau tidak
sesuai dengan norma dan budaya luhur negara Indonesia yang tertuang dalam cita
hukum bangsa yaitu Pancasila.
1.4 Kebijakan terhadap LGBT dalam Peraturan lainnya

Indonesia sebagai salah satu negara hukum (Rechtstaat)


menjamin kebebasan berekspresi dalam UUD 1945 Amendemen II, yaitu Pasal 28
E ayat (2) yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya".Selanjutnya, dalam ayat (3) diyatakan, "Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Kelompok LGBT di bawah payung “Hak Asasi Manusia” meminta
masyarakat dan Negara untuk mengakui keberadaan komunitas ini, bila kita
melihat dari Konstitusi yakni dalam Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan sebagai berikut :
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.
Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia secara lebih dalam mengatur mengenai
kebebasan berekspresi tersebut, dalam Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang itu
menyebutkan, "Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan, dan
menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan atau tulisan melalui
media cetak maupun media cetak elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai
agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa."
Begitu juga ditegaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 70 yang menyatakan:“Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.”
Pasal 73 Undang-Undang HAM yang menyatakan “Hak dan
kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan
berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain,
kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.”
Memang benar, setiap manusia mempunyai kebebasan masing–
masing, tetapi jika ditelaah lebih dalam bahwa kebebasan yang dimiliki
berbanding lurus dengan batasan yang harus dipenuhi pula, seperti apakah
melanggar agama, kesusilaan, kepentingan umum, hingga keutuhan bangsa ?
Pada kenyataanya, dengan banyaknya yang memperbincangkan
mengenai status kaum berbendera pelangi ini mengarahkan pada satu kesimpulan,
masyarakat Indonesia merasa keamanan dan ketertiban mereka terancam.
Sebagaimana menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada
amendemen II sudah secara tegas memasukkan hak atas rasa aman ini di Pasal
28A-28I. Juga, diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
39 Tahun 1999 tentang HAM, "Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram
serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu".
Juga, Pasal 35, "Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan
masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram yang menghormati,
melindungi, dan melaksakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar
manusia sebagaimana diatur dalam undang-undang ini."
Indonesia pun sebagai negara berdaulat dan memiliki hukum sendiri
sudah jelas tertera di Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai
Perkawinan bahwa "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Perkawinan bertujuan salah satunya melestarikan umat manusia.
Sangat kontras bila dibandingkan kaum LGBT yang penyuka sesama jenis. Bila
dilegalkan, LGBT akan berdampak pada timbulnya berbagai masalah. Mulai dari
menurunnya angka kelahiran karena sudah pasti sesama jenis tak bisa
menghasilkan keturunan.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Ada dua hal yang menghimpit kaum LGBT, yaitu : antara norma dan
keadilan. Begitupula negara tidak bisa lepas tangan dan berlindung di balik
penghargaan terhadap hak asasi warga negara. Dimana masyarakat Indonesia
dengan kultur timur yang menjunjung religiusitas, sangat tegas dan keras
melarang segala bentuk praktik LGBT berdasar ketentuan hukum, perundang-
undangan, nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan
keutuhan bangsa. Berbagai tontonan yang tidak layak dan melegitimasi
perilaku LGBT harus dievaluasi kembali. Oleh karena itu, Negara memiliki
kewajiban untuk menjaga nilai-nilai dan standar moral yang dianut oleh publik
mayoritas. Seharusnya produk hukum yang ditetapkan dapat membawa formulasi
hukum yang bedasarkan nilai-nilai Pancasila, yang sudah jelas bahwa LGBT
bertentangan dengan nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Namun nyatanya
di dalam RKUHP sebagai produk hukum terbaru yang disahkan masih netral
terhadap gender, sangat disayangkan jika RKUHP tidak mengatur lebih lanjut
tentang LGBT yang seharusnya menjadi urgensi hukum pidana di Indonesia.
Saran
Produk hukum yang dikeluarkan pemerintah melalui kebijakan peraturan
perundangan harusnya membuat aturan yang jelas mengenai permasalahan LGBT
agar adanya kepastian hukum terkait perilaku menyimpang tersebut. Sehingga
pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat mempunyai dasar untuk
menyikapi fenomena dan permasalahan LGBT yang berkembang di Indonesia.
Penegakan hukum bagi para pelaku LGBT di Indonesia harus segera diterapkan
dengan penanganan yang tepat dan sesuai, melihat LGBT adalah hal yang
ditentang oleh mayoritas masyarakat Indonesia dan dapat merusak moral bangsa
karena dianggap bertentangan dengan nilai luhur Pancasila. Karena LGBT
dikualifikasikan sebagai penyakit mental dan kejiwaan, maka penanganan yang
pas adalah rehabilitasi. Penegakan hukum LGBT dengan penanganan seperti itu
bukan hanya dapat menjadi upaya pencegahan permasalahan perkembangan
LGBT di Indonesia, namun juga dapat mengobati dan memulihkan kondisi mental
dan kejiwaan orang-orang yang mempunyai orientasi seksual LGBT. Dan untuk
menerapkan penegakan hukum sebagai tindakan upaya mengatasi masalah LGBT
di Indonesia, maka harus ada aturan yang mengatur larangan perbuatan tersebut,
yaitu mengkualifikasikan LGBT sebagai suatu tindak pidana dengan penanganan
dan penal (pidana) yang tepat dan sesuai. Sehingga dapat mengisi kekaburan atau
kekosongan hukum yang berbau LGBT diIndonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Adithya Bakti, Bandung, 2005.
Jurnal
I NyomanSujana, Komang Arini Setyawati, NI Made
PuspasutariUjanti, The existenceofthe Lesbian, Gay, Bisexualand Transgender
(LGBT) community in theperspectiveof a statebasedonpancasila. Vol. 30 No. 1,
2018.
Mahathoh, Wacana Melegalkan LGBT di Indonesia (Studi Analisis
LGBT dalam perspektif HAM dan Pancasila), Jurnal Raheema, 2017.
Manik, Erick Stevan, Anik Purwanti dkk, Pengaturan LGBT (Lesbian
Gay Bisexual dan Transgender) dalam Perspektif Pancasila di Indonesia.
Diponegoro Law Review, 2016.
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Lainnya
Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai