Anda di halaman 1dari 20

A.

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaran suatu negara yang

berupa suatu kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur dalam

pemerintahan negara.1 Di Indonesia konstitusi yang sekarang kita sebut

sebagai Undan-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUDNRI

45) termasuk dalam konstitusi tertulis. Kedudukan konstitusi dalam kehidupan

ketatanegaraan pada suatu negara sangat penting karena menjadi ukuran

kehidupan dalam bernegara dan berbangsa untuk mengetahui aturan-aturan

pokok yang ditujukan baik kepada penyelenggara negara maupun

masyarakat dalam ketatanegaraan. jika melihat dengan pendekatan Wharea,

maka perubahan konstitusi akan memiliki 3 (tiga) pengertian:2

1. menjadikan lain rumusan teks yang terdapat dalam konstitusi;

2. menambah sesuatu yang tidak (belum) terdapat dalam konstitusi; dan

3. adanya perbedaan antara apa yang tercantum dalam teks konstitusi

dengan apa yang ada dalam praktek ketatanegaraan.

secara umum, perubahan konstitusi memiliki 2 (dua) model, yaitu

“perubahan” (amandement), dan “pembaharuan” atau “penggantian”

(renewal). Amandemen biasanya berupa perubahan konsep dalam konstitusi

yang ditandai dengan perubahan teks konstitusi. Model amandemen

biasanya masih mempertahankan teks konstitusi yang lama, namun ia sudah

1
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum (PSH)
Fakultas Hukum UII). hal 32
2
K.C. Wheare, 1966, Modern Constitutions, (London : Oxford University Press), hal. 14-16
tidak memiliki kekuatan hukum lagi, melainkan sekedar menjadi dokumen

historis, dan hasil perubahan teks konstitusi yang memiliki kekuatan hukum

ditempatkan sebagai “lampiran” (adendum) dari konstitusi yang sudah diubah

tersebut. Model renewal biasanya ditandai dengan digantinya suatu

konstitusi dalam suatu negara dengan konstitusi yang lain, seperti UUD

1945 diganti dengan UUDS 1950.

Jika dilihat dari mekanismenya, perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan

beberapa cara atau prosedur. Strong menyebutkan ada 4 (empat) cara

mengubah konstitusi, antara lain:3

1. perubahan konstitusi oleh lembaga legislatif/parlemen dengan

pembatasan tertentu. Dalam hal ini biasanya ditentukan syarat

pengusulan, kuorum, dan jumlah pengambil keputusan.

2. perubahan konstitusi oleh rakyat melalui referendum, yaitu parlemen

mengajukan rancangan amandemen untuk diputuskan oleh rakyat melalui

referendum.

3. perubahan konstitusi diputuskan oleh negara-negara bagian dalam

negara serikat, yaitu usulan dapat berasal dari parlemen federal atau

sejumlah negara bagian.

4. perubahan konstitusi oleh konvensi konstitusi atau konstituante, yaitu

keanggotaan parlemen ditambah dengan pemilihan anggota baru untuk

membentuk konvensi konstitusi atau konstituante, atau dapat pula

3
Sri Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung : Penerbit Alumni), hal. 133-134.
parlemen dibubarkan terlebih dahulu kemudian dilaksanakan pemilihan

umum anggota konstituante.

Jika diartikan secarah harfiah, konstitusi berarti “pembentukan” berasal dari

bahasa Perancis “constituir”, yang berarti membentuk. Secara istilah ia

berarti peraturan dasar (awal) mengenai pembentukan negara. Dalam

bahasa Belanda disebut Grondwet, sedangkan di dalam bahasa Indonesia

disebut Konstitusi. Untuk itu maka konstitusi memuat aturan-aturan pokok

(fundamental) mengenai sendi-sendi yang diperlukan untuk berdirinya

negara.4

Di sisi lain, Hans Kelsen mengartikan konstitusi sebagai “…the highest level

within national law… the constitution in the material sense consists of those

rules wich regulate the creation of the general legal norms, in particular the

creation of statutes.”5 Senada dengan Kelsen, dengan mengacu pada kasus

Marbury versus Madison dalam Bryce juga menyatakan bahwa konstitusi

merupakan hukum tertinggi yang bersifat fundamental, karena konstitusi itu

sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk

hukum atau peraturan- peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai

dengan prinsip hukum yang bersifat universal, maka peraturan-peraturan

yang tingkatannya berlaku di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku

4
Moh.Mahfud, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: Rineka Cipta), Edisi Revisi, hal. 72.
5
Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, (New York: Russel and Russel), hal 114.
atau diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan

hukum yang lebih tinggi tersebut.6

2. Rumusan Masalah

Dengan melihat perjalanan Konstitusi Indonesia yaitu UUDNRI 45 bahwa

suasana politik dan ideologi yang dibawa oleh setiap periode kepala negara,

ikut serta dalam mengiringi perubahan haluan negara maupun kebijakan

yang akan dibentuknya selama periode menjabat. Maka dari itu, penulis

tertarik dalam membahas lebih lanjut mengenai:

1. Bagaimana perjalanan perubahan konstitusi di Indonesia

2. Apa yang dapat menyebabkan perubahan konstitusi?

3. Bagaimana peralihan peraturan perundang-undangan ketika terjadi

transisi konstitusi yang di mana konstitusi adalah payung dari peraturang

perundang-undangan?

3. Perjalanan Konstitusi di Indonesia

Seperti yang sudah dijelaskan pada latar belakang, secara umum, perubahan

konstitusi memiliki 2 (dua) model, yaitu “perubahan” (amandemen), dan

“pembaharuan” atau “penggantian” (renewal).7 Amandemen biasanya

berupa perubahan konsep dalam konstitusi yang ditandai dengan perubahan

teks konstitusi. Model amandemen biasanya masih mempertahankan teks

konstitusi yang lama, namun ia sudah tidak memiliki kekuatan hukum lagi,

melainkan sekedar menjadi dokumen historis, dan hasil perubahan teks

6
Satya Arinanto, 2001, Politik Hukum 3, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia),
Edisi Pertama, hal. 16.
7
Sri Soemantri, Op. Cit., hal. 133
konstitusi yang memiliki kekuatan hukum ditempatkan sebagai “lampiran”

(adendum) dari konstitusi yang sudah diubah tersebut. Model renewal

biasanya ditandai dengan digantinya suatu konstitusi dalam suatu negara

dengan konstitusi yang lain, seperti UUD 1945 diganti dengan UUDS

1950. Jika dilihat dari mekanismenya, perubahan konstitusi dapat dilakukan

dengan beberapa cara atau prosedur.

prosedur amandemen konstitusi dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) model

besar, yaitu amandemen dengan model elitis dan partisipatoris. 8 Model

amandemen konstitusi dikatakan elitis bila prosedur pengusulan hingga

pengambilan keputusan dilakukan sepenuhnya oleh parlemen. Model

partisipatoris bila amandemen konstitusi dilakukan dengan melibatkan peran

rakyat dari pengajuan usul amandemen hingga pengambilan keputusan lewat

referendum. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tentang “perubahan

konstitusi” dalam UUD 1945 dapat dikategorikan sebagai perubahan oleh

parlemen dengan syarat tertentu, yaitu suara mayoritas. Amandemen

konstitusi UUD 1945 juga dapat dikategorikan sebagai model amandemen

elitis, karena prosedur pengusulan, pembahasan dan pengambilan keputusan

semata-mata hanya terbatas dilakukan oleh anggota parlemen, tanpa melalui

proses partisipasi rakyat.

Model amandemen elitis tersebut harus diakui memiliki satu kelemahan yaitu

rawan subyektifitas elit, karena tidak melibatkan persetujuan rakyat secara

langsung. Sebagaimana diketahui, parlemen, bagaimanapun merupakan


8
Mohammad Fajrul Falaakh, 2002, Komisi Konstitusi dan Peran Rakyat dalam Perubahan UUD 1945, Analisis CSIS,
Tahun XXXI/2002 No. 2, hal. 188-201.
himpunan kelompok-kelompok kepentingan politik golongan (aliran), atau jika

menggunakan istilah Colhoun, konstitusi tidak lebih dari sebuah produk tawar

menawar dari berbagai kelompok kepentingan, dan dalam beberapa kasus,

konflik kepentingan tersebut justru berkontradiksi dengan tuntutan dan

kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dan bagi Barendt, amandemen seperti

itu (tanpa melibatkan partisipasi masyarakat), sama dengan ”hakim mengadili

dirinya sendiri”.

merujuk pada pemikiran Nonet dan Selznick tentang hukum responsif

dimana tatanan hukum sebaiknya dinegosiasikan, bukan dimenangkan

melalui subordinasi. Dalam model hukum responsif ini, pembuatannya

bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi

semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok

masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan

atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan

kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. 9

Dalam perkembangannya, gagasan pembentukan Komisi Konstitusi telah

diakomodir oleh MPR melalui Ketetapan MPR No.I/MPR/2002 tentang

Pembentukan Komisi Konstitusi, dan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2002

tentang Susunan, Kedudukan, Kewenangan, dan Keanggotaan Komisi

Konstitusi.10 Namun sayangnya, Komisi Konstitusi hasil bentukan MPR

tersebut hanya diberikan kewenangan terbatas, yaitu melakukan pengkajian

9
Philippe Nonet and Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition: Toward Responseve Law (New York:
Harper & Row) hal. 69 – 113
10
Krisna Harahap, 2004, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi, (Jakarta : Grafitri Budi
Utami), terutama bab Konstitusi Memasuki Era Reformasi, hal. 152-162, dan Hasil Kerja Komisi Konstitusi, hal. 163
secara komprehensif terhadap UUD 1945 hasil amandemen, bukan ikut

melakukan amandemen konstitusi itu sendiri. Pada akhirnya hasil kerja

Komisi Konstitusi sebatas hanya “hasil kajian” dan ternyata tidak memiliki

pengaruh apapun terhadap struktur dan substansi hasil amandemen

konstitusi.

Perjalanan konstitusi Indonesia pun tidak hanya sebatas benang pendek

saja, tetapi memliki banyak sejarah dalam perkembangan dan perubahan

konstitusi sepanjang sejarah negara Indonesia.

Perjalanan konstitusi di Indonesia dimulai dari awal kemerdekaan Indonesia

yang dibentuk melalui organisasi bentukan jepang yaitu BPUPKI dan berlaku

sejak tanggal 18 Agustus 1945, yang kemudian disebut UUD1945. UUD 1945

ini tidak langsung dijadikan referensi dalam setiap pengambilan keputusan

kenegaraan dan pemerintahan. UUD 1945 pada pokoknya benar-benar

dijadikan alat saja untuk sesegera mungkin membentuk negara merdeka

yang bernama Republik Indonesia. UUD 1945 memang dimaksudkan

sebagai UUD sementara yang menurut istilah Bung Karno sendiri merupakan

‘revolutie-grondwet’ atau Undang-Undang Dasar Kilat, yang memang harus

diganti dengan yang baru apabila negara merdeka sudah berdiri dan keadaan

sudah memungkinkan. Hal ini dicantumkan pula dengan tegas dalam

ketentuan asli aturan tambahan pasal II UUD 1945 yang berbunyi “dalam

enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini

bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar”.


Adanya ketentuan pasal III aturan tambahan ini juga menegaskan bahwa

UUD Negara Republik Indonesia yang bersifat tetap barulah akan ada

setelah MPR-RI menetapkannya secara resmi. Akan tetapi, sampai UUD

1945 diubah pertama kali pada tahun 1999, MPR yang ada berdasarkan UUD

1945 belum pernah sekalipun menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Negara

Republik Indonesia.

Kemudian negara Indonesia mengalami perubahan konstitusi pada tahun

1949, pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan tanggal 2 November

1949 diadakan Konperensi Meja Bundar (Round Table Conference) di Den

Haag. Konperensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Republik Indonesia dan

‘Bijeenkomst voor Federal Overleg’ (B.F.O.) serta wakil Nederland dan

Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.

Konstitusi RIS yang disusun dalam rangka Konperensi Meja Bundar di Den

Haag pada tahun 1949 itu, pada pokoknya juga dimaksudkan sebagai UUD

yang bersifat sementara. Disadari bahwa lembaga yang membuat dan

menetapkan UUD itu tidaklah representatif. Karena itu, dalam Pasal 186

Konstitusi RIS ini ditegaskan ketentuan bahwa Konstituante bersama-sama

dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik

Indonesia Serikat. Dari ketentuan Pasal 186 ini, jelas sekali artinya bahwa

Konstitusi RIS 1949 yang ditetapkan di Den Haag itu hanyalah bersifat

sementara saja.

Bentuk negara federal nampaknya memang mengandung banyak sekali

nuansa politis, berkenaan dengan kepentingan penjajahan Belanda. Karena


itu, meskipun gagasan bentuk negara federal mungkin saja memiliki relevansi

sosiologis yang cukup kuat untuk diterapkan di Indonesia, tetapi karena

terkait dengan kepentingan penjajahan Belanda itu maka ide feodalisme

menjadi tidak populer. Apalagi, sebagai negara yang baru terbentuk,

pemerintahan Indonesia memang membutuhkan tahap-tahap konsolidasi

kekuasaan yang efektif sedemikian rupa sehingga bentuk negara kesatuan

dinilai jauh lebih cocok untuk diterapkan daripada bentuk negara federal.

Karena itu, bentuk negara federal RIS ini tidak bertahan lama. Dalam rangka

konsolidasi kekuasaan itu, mula-mula tiga wilayah negara bagian, yaitu

Negara Republilk Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera

Timur menggabungkan diri menjadi satu wilayah Republik Indonesia. Sejak

itu wibawa Pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi berkurang,

sehingga akhirnya dicapailah kata sepakat antara Pemerintah Republik

Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia untuk kembali bersatu

mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia. Kesepakatan itu dituangkan

dalam satu naskah persetujuan bersama pada tanggal 19 Mei 1950, yang

pada intinya menyepakati dibentuknya kembali NKRI sebagai kelanjutan dari

negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. sejak

Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang, UUD 1945 terus berlaku dan

diberlakukan sebagai hukum dasar. Sifatnya masih tetap sebagai UUD

sementara. Akan tetapi, karena konsolidasi kekuasaan yang makin lama

makin terpusat di masa Orde Baru, dan siklus kekuasaan mengalami

stagnasi yang statis karena pucuk pimpinan pemerintahan tidak mengalami


pergantian selama 32 tahun, akibatnya UUD 1945 mengalami proses

sakralisasi yang irrasional selama kurun masa Orde Baru itu. UUD 1945 tidak

diizinkan bersentuhan dengan ide perubahan sama sekali. Padahal, UUD

1945 itu jelas merupakan UUD yang masih bersifat sementara dan belum

pernah dipergunakan atau diterapkan dengan sungguh-sungguh. Satu-

satunya kesempatan untuk menerapkan UUD 1945 itu secara relatif lebih

murni dan konsekuen hanyalah di masa Orde baru selama 32 tahun. Itupun

berakibat terjadinya stagnasi atas dinamika kekuasaan. Siklus kekuasaan

berhenti, menyebabkan Presiden Soeharto seakan terpenjara dalam

kekuasaan yang dimilikinya, makin lama makin mempribadi secara tidak

rasional. Itulah akibat dari diterapkannya UUD 1945 secara murni dan

konsekuen.

Yang merupakan pemberlakuan kembali konstitusi pertama Indonesia

dengan masa berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai sekarang.

Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar

dari gerakan reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru

pada tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi melihat

faktor penyebab otoritarian Orde Baru hanya pada manusia sebagai

pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem hukum dan ketatanegaraan.

Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia

adalah suatu hal yang pasti. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945

bahkan telah dinyatakan oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18

Agustus 1945.
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi

salah satu agenda Sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 hingga perubahan

keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan

kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan

pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan

Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.

Perubahan pertama pada tahun 1999, Perubahan kedua pada tahun 2000,

perubahan ketiga pada tahun 2001, dan perubahan keempat pada tahun

2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah

mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang

dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah

terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi

konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai

Undang-Undang Dasar 1945.

Sejak Dekrit Presiden ini, UUD 1945 terus menjadi hukum dasar. Sifatnya

masih sebagai UUD sementara, namun pada masa Orde Baru, konsolidasi

kekuasaan lama kelamaan semakin terpusat. Di sisi lain, sikus kekuasaan

mengalami stagnasi yang statis karena pucuk pimpinan pemerintahan tidak

mengalami perubahan selama 32 tahun. Akibatnya UUD 1945 mengalami

proses sakralisai yang irasional semasa rezim Orde Baru. UUD 1945 tidak

diizinkan bersentuhan dengan ide perubahan sama sekali. Padahal, UUD

1945 jelas merupakan UUD yang sementara dan belum pernah dipergunakan

dan diterapkan secara sungguh-sungguh.


Setelah jatuhnya rezim Orde Baru dan digantikan oleh Orde Reformasi,

muncul tuntusn untuk melakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD

1945. Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan

(amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD

1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan

MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang

sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes"

(sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD

1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung

ketentuan konstitusi.

Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan

dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian

kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal

lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.

Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah

Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat

structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan

presidensiil.

Pada akhirnya, Indonesia memakai UUD 1945 sebagai konstitusi nya karena

UUD dianggap paling cocok dan telah mencakup semua pemikiran-pemikiran

rakyat. Selain itu, Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis terdapat dalam

Pembukaan UUD 1945 yang merupakan kesepakatan pertama penyangga


konstitu-sionalisme. Dengan tidak diubahnya Pembukaan UUD 1945, maka

tidak berubah pula kedudukan Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis

bangunan Negara Republik Indonesia. Yang berubah adalah sistem dan

institusi untuk mewujudkan cita-cita berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini

sesuai dengan makna Pancasila sebagai ideologi terbuka yang hanya dapat

dijalankan dalam sistem yang demokratis dan bersentuhan dengan nilai-nilai

dan perkembangan masyarakat.

4. Penyebab dan Arah perubahan Konstitusi

Dikalangan praktisi, beberapa gagasan perubahan UUD 1945 dilontarkan

oleh Adnan Buyung Nasution, Bambang Widjojanto dan Todung Mulya Lubis.

Buyung mengusulkan agar segera dilakukan perubahan atau pembaharuan

terhadap UUD 1945. sebab secara konseptual negara yang dipersepsikan

oleh UUD 1945 melalui pikiran- pikiran Soepomo sebagai perumusnya ialah

negara yang bersifat feodal, otoriter, dan bahkan fasistis. Jika UUD 1945

dibiarkan, negara Indonesia akan menjurus kepada nazisme dan fasisme.

Sementara Bambang melihat UUD 1945 sengaja didesain supaya terjadi

executive heavy hingga memungkinkan terjadinya state centralism dan

penumpukan kekuasaan yang menyulitkan terjadinya internal built in control,

intra dan antar lembaga tinggi dan tertinggi negara. Dari titik inilah dapat

dilihat bahwa berbagai problem yang menjerat bangsa Indonesia sebenarnya

berasal dari konstitusi. Todung lebih menekankan pada pentingnya

menciptakan kekuasaan kehakiman yang bebas, mandiri dan berwibawa.

Dalam pandangan Todung, MA harus memiliki hak uji materiil atas semua
produk perundang-undangan sehingga MA bisa membatalkan semua

produk perundang-undangan yang menghabat, memperlemah dan menindas.

Dengan adanya hak uji materiil di tangan MA, para pembuat undang-undang

atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang akan lebih berhati-

hati.11

Secara spesifik, amandemen konstitusi Indonesia menghasilkan sejumlah

design baru format kenegaraan sebagai berikut. Pertama, Presiden dan Wakil

Presiden dipilih melalui pemilu secara langsung oleh rakyat (direct popular

vote), sedangkan kewenangan MPR hanya sebatas melantik Presiden dan

Wakil Presiden terpilih saja. Kedua, kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh

berbagai lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing

menurut konstitusi UUD 1945. Hal ini terlihat dari adanya pembagian tugas

masing-masing lembaga negara yang makin jelas dan terperinci, sehingga

menghindari terjadinya tumpang tindih dan intervensi kewenangan antar

lembaga negara. Ketiga, wajah parlemen dinilai lebih representatif karena

adanya kamar baru yaitu DPD sebagai representasi dari wakil-wakil daerah

(provinsi). Keempat, adanya jaminan terciptanya stabilitas jalannya

pemerintahan karena jabatan Presiden dibatasi dalam masa jabatan lima

tahun, dan hanya dapat diberhentikan oleh MPR dalam kondisi tertentu saja

berdasarkan UUD, serta melalui mekanisme hukum yaitu pembuktian hukum

oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian Presiden tidak dapat diusulkan

oleh DPR untuk diberhentikan semata-mata karena alasan konflik politik.

11
Ellydar Chaidir, 2007, Hukum dan Teori Konstitusi (Yogyakarta: Kreasi Total Media Yogyakarta), hal.69.
Demikian pula Presiden dilarang untuk membekukan dan/atau membubarkan

DPR.

5. Peraturan Perundang-undangan Pada masa Transisi Konstitusi

reformasi hukum adalah suatu condition sine qua non bagi bangsa Indonesia

untuk mewujudkan Negara yang berdasar atas hukum. Hukum yang

dimaksud di sini adalah hukum yang berpihak pada rakyat, yang

memperhatikan kadilan social, sebagaimana dicantumkan dalam konstitusi.

Bahwasannya hukum bukan hanya merupakan pedoman berperilaku bagi

rakyat, tapi juga bagi aparat pemerintahan dan seluruh penyelenggara

kegiatan kenegaraan, merupakan suatu norma yang telah diakui secara

universal. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa seringkali hukum

hanya dipergunakan sebagai alat untuk mengatur rakyat belaka, dan jarang

dijadikan acuan bagi diri sendiri oleh pemerintah. Hal inilah yang pertama-

tama harus disadari oleh semua pihak, agar dapat mencapai kondisi

kenegaraan yang mapan dan rakyat yang sejahtera, yakni bahwa hukum

harus diperlakukan sebagai panglima dalam negara hukum.

Reformasi hukum sebagai suatu upaya pembaruan yang menyelurujh dan

bertahap dalam masa transisi ini, seyogyanya dilakukan terhadap system

hukum yang mencakup baik substansi hukum, aparat hukum dan juga

budaya hukum, karena hanya meprioritaskan yang satu dan mengabaikan

yang lain tidak akan mencapai sasaran yang dituju. Unsur di atas merupakan
derivasi dari konsep system hukum yang bersifat sosiologis yang diajukan

oleh Lawrwnce Friedman, yang intinya memuat tiga komponen, yaitu :12

1. Komponen struktur, yakni pranata hukum yang menopang system hukum,

bentuk hukum dan proses serta kinerja mereka. Contoh klasik adalah

konstitusi, lembaga legislative dan lembaga judikatif serta aparaturnya,

juga prosedur yang dipergunakan dalam lembaga ini.

Bahwasannya banyak anggota masyarakat yang lebih suka bertransaksi

dengan penegak hukum, menunjukkan bahwa hukum telah dianggap

sebagai suatu komoditi yang dapat diperjualbelikan. Banyak orang

mengatakan bahwa ini bukanlah “budaya” dalam arti antropologis, namun

apabila perilaku semacam ini telah terpola dan dilakukan berulang kali,

sukar untuk mengingkari kenyataan yang pahit ini. Mencari siapa yang

menjadi sumber kesalahan tidak mudah, karena sebagaimana juga dalam

kegiatan ekonomi, fenomenon ini sangat dilandasi pada adanya the law of

supply and demand; tanpa adanya kedua factor ini tidak mungkin terjadi

hal demikian.

Untuk menciptakan budaya hukum yang positif dan mendukung

pembangunan masyarakat, oleh karenanya tidak mungkin terlepas dari

dua komponen yang disebutkan diatas, yakni substansi dan aparat

hukum. Apabila dapat diyakinkan bahwa hukum yang dibentuk adalah

berorientasi pada kepentingan rakyat dan berkeadilan social, serta aparat

penegak hukum dalam menjalankan tugasnya bersifat non-diskriminatif

12
Lawrence M. Friedman, 1998, “American Law”, (London: W.W. Norton & Company), hal. 7.
dan tegas, mau tidak mau secara perlahan-lahan masyarakat juga akan

mengikuti pola ini; demikian pula sebaliknya.

Hal yang disebut terakhir ini sedikit banyak merupakan tanggungjawab

pemerintah juga, khususnya dalam menciptakan masyarakat yang

terdidik, an educated public. Keberadaan masyarakat yang terdidik pada

masa colonial merupakan suatu hal yang dihindari oleh penjajah.

Alasannya sederhana saja, meningkatnya jumlah warga masyarakat yang

mampu berpikir kritis akan mengancam kekuatan penjajah, yang tentunya

lebih suka mendikte dan tidak mengikutsertakan masyarakat dalam

proses pengambilan keputusan. Denganmembiarkan rakyat dalam

kebodohan, dalam ketidaktahuan, akan lebih mudah untuk memerintah

mereka.

Pembukaan UUD 1945 telah dengan tegas mencantumkan bahwa salah

satu tugas dalam pendidikan Republik Indonesia antara lain adalah

“mencerdaskan bangsa”. Masyaraklat yang cerdas akan dengan mudah

memahami hak dan kewajibannya, baik secara sosiologis maupun yuridis.

Selain itu ia dapat berpikir bukan hanya untuk dirinya sendiri dan

lingkungan sekitarnya, namun juga akan banyak membantu pemerintah

untuk mencapai kondisi masyarakat yang sejahtera.

2. Komponen substantive, yakni ketentuan hukum itu sendiri, baik yang

dibuat oleh lembaga legislative maupun administrative, serta ketentuan-

ketentuan dan keputusan lain yang mengatur system yang ada.


Upaya Program Legislasi Nasional merupakan salah satu upaya yang

dilakukan untuk nasionalisasi ketentuan yang ada, dan ini bukan kegiatan

yang sederhana. Namun terlepas dari program ini, masih cukup banyak

produk hukum nasional yang perlu untuk dikaji kembali, bahkan

diperlukan pula perangkat-perangkat hukum yang sangat diperlukan

rakyat.

Makna reformasi hukum atas peraturan perundang-undangan terutama

ditujukan pada kegiatan lembaga legislative. Sebagai suatu lembaga

tinggi yang mewakili aspirasi rakyat dalam segala aspek kehidupan,

dituntut anggota yang memiliki bukan hanya pemahaman atas

konstituennya, tapi juga kepedulian yang besar akan kebutuhan sang

konstituen. Sudah seharusnya bila wakil rakyat ini berjuang untuk

mepertahankan dan meningkatkan hak-hak yang layak dimiliki rakyat.

Upay utama yang perlu dilakukan adalah menyusun peraturan perundang-

undangan yang mampu menciptakan suatu system yang akan

menghasilkan wakil-wakil rakyat yang tanggguh dan berorientasi pada

kepentingan rakyat.

3. Komponen budaya hukum, yang merupakan kunci pada pelbagai system

hukum.

Unsur penting lainnya dalam reformasi hukum adalah diciptakannya

lembaga-lembaga penegak hukum dengan personil-personil yang

berkualitas, dalam arti bukan hanya sekedar memahami hukum, akan

tetapi juga menegakkan hukum dan kadilan tanpa adanya diskriminasi.


Untuk ini diperlukan pula integritas moral yang tinggi, yang dapay dicari

pada proses rekrutmen, dan kemudian dibentuk lebih lanjut dalam proses

pendidikan yang khusus dirancang untuk keperluan tersebut. Penggantian

tokoh-tokoh kunci dalam lembaga hukum kemudian menjadi sangat

signifikan. Sebagai sarana pendukung untuk membentu, pada saat ini

masih diperlukan adanya mekanisme pengawasan internal yang fair dan

domokratis. Berkaitan dengan hal ini perlu pula dipikirkan prosedur yang

transparan untuk meyajini obyektivitas penilaian terhadap personal

penegak hukum, disertai dengan reward and punishment system yang

diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas produk mereka.

Bagi mereka yang menunjukkan kinerja yang baik dan produk yang

berkualitas harus diberikan reward dalam beragam bentuk, sedang yang

melanggar ketentuan harus dijatuhi punishment atau hukuman. Hukuman

ini bukan hanya dimaksuudkan untuk menunjukkan pada subyek bahwa ia

bersalah dan harus mendapat sanksi atas perilakunya, akan tetapi juga

sebagai “kaca benggala” bagi orang-orang lain agar tidak melakukan

perbuatan yang sama.

Mengingat banyaknya keluhan masyarakat terhadap perilaku

menyimpang yang dilakukan oleh penegak hukum (yang seringkali

disebut “oknum”), perlu dipikirkan adanya lembaga pengawasan

eksternal, semacam ombudsman, yang kelihatannya telah akan dibentuk

oleh pemerintahan baru ini. Sebagai contoh misalnya “civilian review

board” untuk kepolisian, suatu lembaga independent yang beranggotakan


sejumlah warga masyarakat yang mempunyai pemahaman hukum dan

integritas yang tinggi. Menerima keluhan atau pengaduan dari masyarakat

dan kemudian meneliti kebenaran pengaduan tersebut merupakan tugas

utama lembaga ini, dan kemudian akan menyerahkan hasilnya pada

lembaga yang mereka anggap berwenang ubntuk melakukan tindak

lanjut.

Anda mungkin juga menyukai