Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pada umumnya, konstitusi diklasifikasikan dalam 2 (dua) kategori, yaitu
konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Menurut klasifikasi ini, Konstitusi
Indonesia (UUD 1945) termasuk dalam kategori sebagai konstitusi tertulis.
Dalam kategori konstitusi tertulis, jika menggunakan pendekatan Wheare maka
perubahan konstitusi akan memiliki 3 (tiga) pengertian: 1
(1) menjadikan lain rumusan teks yang terdapat dalam konstitusi;
(2) menambah sesuatu yang tidak (belum) terdapat dalam konstitusi; dan
(3) adanya perbedaan antara apa yang tercantum dalam teks konstitusi dengan
apa yang ada dalam praktek ketatanegaraan.
Namun secara umum, perubahan konstitusi memiliki 2 (dua) model, yaitu
perubahan (amandemen), dan pembaharuan atau penggantian (renewal).
Amandemen biasanya berupa perubahan konsep dalam konstitusi yang ditandai
dengan perubahan teks konstitusi. Model amandemen biasanya masih
mempertahankan teks konstitusi yang lama, namun ia sudah tidak memiliki
kekuatan hukum lagi, melainkan sekedar menjadi dokumen historis, dan hasil
perubahan teks konstitusi yang memiliki kekuatan hukum ditempatkan sebagai
lampiran (adendum) dari konstitusi yang sudah diubah tersebut. Model renewal
biasanya ditandai dengan digantinya suatu konstitusi dalam suatu negara
dengan konstitusi yang lain, seperti UUD 1945 diganti dengan UUDS 1950.
Jika dilihat dari mekanismenya, perubahan konstitusi dapat dilakukan
dengan beberapa cara atau prosedur. Strong menyebutkan ada 4 (empat) cara
1 K.C. Wheare, 1966, Modern Constitutions, (London : Oxford University Press), hal. 14-16
mengubah
konstitusi.2
Pertama,
perubahan
konstitusi
oleh
lembaga
konstitusi
oleh
rakyat
melalui
referendum,
yaitu
parlemen
wich regulate the creation of the general legal norms, in particular the creation of
statutes.4 Konstitusi dalam arti ini menunjukkan bahwa konstitusi merupakan
norma dasar yang menjadi payung terhadap seluruh peraturan perundangundangan di bawahnya.5
Senada dengan Kelsen, dengan mengacu pada kasus Marbury versus
Madison dalam Bryce juga menyatakan bahwa konstitusi merupakan hukum
tertinggi yang bersifat fundamental, karena konstitusi itu sendiri merupakan
sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturanperaturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang
bersifat universal, maka peraturan-peraturan yang tingkatannya berlaku di bawah
Undang-Undang Dasar dapat berlaku atau diberlakukan, peraturan-peraturan itu
tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. 6
2. Rumusan Masalah
Dengan melihat sejarah perjalanan konstitusi Indonesia bahwa dinamika
politik yang mengiringi setiap pembuatan maupun perubahan konstitusi ternyata
tidak bisa dilepaskan dari aliran-aliran politik maupun ideologi yang berkembang
di Indonesia. Maka penulis tertarik untuk memmbahas lebih lanjut mengenai:
1. Apakah konstitusi Indonesia merupakan kesepakatan rakyat atau
merupakan tawar-menawar (Bargains) politik?;
2. Bagaimana perubahan konstitusi di Indonesia (UUD 1945)?; dan
4 Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, (New York: Russel and Russel), hal 114.
5 Dikutip dari Catatan Perkuliahan Politik Hukum oleh Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H. Dikutip pada
18 November 2015.
6 Satya Arinanto, 2001, Politik Hukum 3, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia), Edisi Pertama, hal. 16.
3
penganut
paham
konstitusionalisme
adalah
negara
yang
dalam
7 Stephen Holmes, 1995, Constitutionalism, dalam Seymour M. Lipset (ed.), 1995, The
Encyclopedia of Democracy, (Washington : Congressional Quarterly Inc.), hal. 299-306.
8 Eric Barendt, 1998, An Introduction to Constitutional Law, (New York: Oxford University
Press), hal. 14.
9 Soetandyo, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi tentang Interaksi Politik dan
Kehidupan Ketatanegaraan (Bandung: Rineka Cipta), hlm 145.
4
10 Carl J. Friedrich dalam Miriam Budiardjo, 1993, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta:
Gramedia) hal. 57.
11 Moh.Mahfud, Op. Cit., hal. 72.
5
Sementara Kelsen mengartikan konstitusi sebagai the highest level within national
law the constitution in the material sense consists of those rules wich regulate the
creation of the general legal norms, in particular the creation of statutes .12 Konstitusi
dalam arti ini menunjukkan bahwa konstitusi merupakan norma dasar yang menjadi
payung terhadap seluruh peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Senada dengan Kelsen, dengan mengacu pada kasus Marbury versus Madison
dalam Bryce juga menyatakan bahwa konstitusi merupakan hukum tertinggi yang
bersifat fundamental, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau
landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundangundangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang bersifat universal, maka
peraturan-peraturan yang tingkatannya berlaku di bawah Undang-Undang Dasar dapat
berlaku atau diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan
hukum yang lebih tinggi tersebut.13
Jika menggunakan pendekatan Locke, konstitusi pada dasarnya memuat prinsip
mayoritas, seperti dikatakannya: and it being necessary to that which is one body to
move one way; it is necessary the body should move that way whither the greater force
carries it, which is the consent of majority.14 Setelah kontrak sosial tercapai, maka
persetujuan individu hilang dan digantikan dengan kehendak mayoritas (konstitusi). Dan
setiap pemerintahan harus tunduk terhadap kehendak mayoritas tersebut. Jika
decision-making.
Oleh karena itu bagi Andrews, konsensus sebagai alat untuk menjamin tegaknya
konstitusionalisme, di jaman modern pada umumnya difahami dengan bersandar pada
tiga elemen konsensus, yaitu:
1)
of government;
2)
3)
Dalam persoalan lain, teori Locke tentang kehendak mayoritas juga memunculkan
satu dilematika yaitu tertutupnya suara atau kehendak minoritas, sehingga mau tidak
mau kelompok minoritas harus tunduk kepada kehendak mayoritas. Jika tidak, maka
harus mengambil jalan sendiri dan pindah ke lain wilayah. Bagi Elster dan Slagstad,
sistem mayoritas sebenarnya memiliki hal yang bersifat paradoks sebab kelompok
minoritas tidak diberikan kesempatan (hak) untuk menolak secara langsung, selain
memilih patuh sebagaimana yang dikehendaki mayoritas itu sendiri. Sebab dalam
kacamata demokrasi tanpa adanya persetujuan mutlak (acquiescence) dari suara yang
kalah (minoritas) sama dengan bukan demokrasi.
Persetujuan mutlak yang diberikan kelompok minoritas tersebut biasanya disertai
dengan jaminan politik dari negara. Jaminan politik itu didasarkan pada teori multiple
membership, dimana jika setiap individu memiliki beberapa kelompok lalu sebagian
besar masyarakat tergabung dalam kedua koalisi mayoritas dan minoritas, masyarakat
yang kalah (minoritas) akan menggunakan dasar kehormatan dirinya sebagai alasan
untuk menerima keputusan yang tidak diinginkannya tersebut, dalam situasi lain, toh
mereka tetap akan mendapatkan kebaikan dari keputusan yang sebenarnya tidak
dikehendakinya. Sebaliknya, atas dasar persetujuan dari minoritas, kelompok mayoritas
akan bertoleran untuk tidak bertindak sewenang-wenang terhadap minoritas.
Atas dasar itulah maka Elster dan Slagstad dengan mengutip teori umum tentang
konstitusionalisme milik Colhoun menegaskan bahwa konstitusi pada dasarnya tidak
lebih dari proses tawar-menawar (bargains). Konstitusi diyakini pada awalnya lahir dari
konflik-konflik kepentingan antar kelas yang saling bermusuhan di dalam masyarakat,
kasus
ini,
Mahfud
MD
16
mencoba
memberikan
gambaran
dengan
membandingkan kehidupan berkonstitusi era Orde Lama dengan Orde Baru. Salah satu
poin yang ditegaskan Moh.Mahfud adalah: jalan yang ditempuh Orde Lama adalah
inkonstitusional,
sedangkan
Orde
Baru
memilih
justifikasi
melalui
cara-cara
lebih sebagai perverted constitution yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan para
penguasa yang selfish.
Namun bagaimanapun, bagi Kelsen sebagai pelopor teori hukum murni, konstitusi
akan tetap dipandang sah selama tetap dipostulasikan sah (valid) oleh masyarakat.
Sebaliknya, jika ternyata konstitusi (perubahan konstitusi) tidak dipatuhi masyarakat
(tidak efektif) bahkan berbuah protes, maka pihak-pihak yang menyusun konstitusi
tersebut akan berbalik dinilai sebagai pengkhianat dan tindakan mereka dalam
menyusun atau merubah konstitusi akan dianggap sebagai perbuatan yang illegal, atas
dasar penilaian konstitusi sebelumnya.
C. Perubahan Konstitusi
Pada umumnya, konstitusi diklasifikasikan dalam 2 (dua) kategori, yaitu konstitusi
tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Menurut klasifikasi ini, Konstitusi Indonesia (UUD
1945) termasuk dalam kategori sebagai konstitusi tertulis. Dalam kategori konstitusi
tertulis, jika menggunakan pendekatan Wheare maka perubahan konstitusi akan
memiliki 3 (tiga) pengertian:17
(1) menjadikan lain rumusan teks yang terdapat dalam konstitusi;
(2) menambah sesuatu yang tidak (belum) terdapat dalam konstitusi; dan
(3) adanya perbedaan antara apa yang tercantum dalam teks konstitusi dengan apa
yang ada dalam praktek ketatanegaraan.
Namun secara umum, perubahan konstitusi memiliki 2 (dua) model, yaitu perubahan
(amandemen), dan pembaharuan atau penggantian (renewal).18 Amandemen
17 Wheare, Op.Cit., hal. 14-16.
18 Sri Soemantri, Op. Cit., hal. 133
10
biasanya berupa perubahan konsep dalam konstitusi yang ditandai dengan perubahan
teks konstitusi. Model amandemen biasanya masih mempertahankan teks konstitusi
yang lama, namun ia sudah tidak memiliki kekuatan hukum lagi, melainkan sekedar
menjadi dokumen historis, dan hasil perubahan teks konstitusi yang memiliki kekuatan
hukum ditempatkan sebagai lampiran (adendum) dari konstitusi yang sudah diubah
tersebut. Model renewal biasanya ditandai dengan digantinya suatu konstitusi dalam
suatu negara dengan konstitusi yang lain, seperti UUD 1945 diganti dengan UUDS
1950. Jika dilihat dari mekanismenya, perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan
beberapa cara atau prosedur. Strong menyebutkan ada 4 (empat) cara mengubah
konstitusi.19 Pertama, perubahan konstitusi oleh lembaga legislatif/parlemen dengan
pembatasan tertentu. Dalam hal ini biasanya ditentukan syarat pengusulan, kuorum,
dan jumlah pengambil keputusan. Kedua, perubahan konstitusi oleh rakyat melalui
referendum, yaitu parlemen mengajukan rancangan amandemen untuk diputuskan oleh
rakyat melalui referendum. Ketiga, perubahan konstitusi diputuskan oleh negara-negara
bagian dalam negara serikat, yaitu usulan dapat berasal dari parlemen federal atau
sejumlah negara bagian. Keempat, perubahan konstitusi oleh konvensi konstitusi atau
konstituante, yaitu keanggotaan parlemen ditambah dengan pemilihan anggota baru
untuk membentuk konvensi konstitusi atau konstituante, atau dapat pula parlemen
dibubarkan terlebih dahulu kemudian dilaksanakan pemilihan umum anggota
konstituante.
Sementara Lijphart menyebut ada 3 (tiga) tipe amandemen konstitusi. Pertama,
amandemen konstitusi oleh parlemen berdasarkan suara mayoritas murni atau
19 C.F. Strong, 1952, Modern Political Constitutions, (London : Sidgwick & Jackson), hal. 146148
11
kelompok kepentingan politik golongan (aliran), atau jika menggunakan istilah Colhoun,
konstitusi tidak lebih dari sebuah produk tawar menawar dari berbagai kelompok
kepentingan, dan dalam beberapa kasus, konflik kepentingan tersebut justru
berkontradiksi dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dan bagi
Barendt, amandemen seperti itu (tanpa melibatkan partisipasi masyarakat), sama
dengan hakim mengadili dirinya sendiri.
Atas dasar persoalan itu, maka MPR walaupun memiliki kewenangan konstitusional
untuk merubah UUD tanpa harus melalui proses partisipasi masyarakat, namun MPR
tidak dapat begitu saja mengubah UUD sesuai dengan kehendak subyektif dirinya. Jika
ini terjadi, hasil amandemen tersebut dalam kacamata Kelsen dapat dinyatakan tidak
sah (tidak valid) dan illegal yang ditunjukkan dengan tidak efektifnya hasil perubahan
serta munculnya protes dan penolakan dari masyarakat. Dan jika mengacu pada
pandangan Kommers terhadap Basic Law Jerman, setiap perubahan konstitusi yang
bertentangan
dengan
nilai-nilai
dasar
atau
spirit
konstitusi
akan
menjadi
13
16
sebab secara konseptual negara yang dipersepsikan oleh UUD 1945 melalui pikiranpikiran Soepomo sebagai perumusnya ialah negara yang bersifat feodal, otoriter, dan
bahkan fasistis. Jika UUD 1945 dibiarkan, negara Indonesia akan menjurus kepada
nazisme dan fasisme. Sementara Bambang melihat UUD 1945 sengaja didesain
supaya terjadi executive heavy hingga memungkinkan terjadinya state centralism dan
penumpukan kekuasaan yang menyulitkan terjadinya internal built in control, intra dan
antar lembaga tinggi dan tertinggi negara. Dari titik inilah dapat dilihat bahwa berbagai
problem yang menjerat bangsa Indonesia sebenarnya berasal dari konstitusi. Todung
lebih menekankan pada pentingnya menciptakan kekuasaan kehakiman yang bebas,
mandiri dan berwibawa. Dalam pandangan Todung, MA harus memiliki hak uji materiil
atas semua produk perundang-undangan sehingga MA bisa membatalkan semua
produk perundang-undangan yang menghabat, memperlemah dan menindas. Dengan
adanya hak uji materiil di tangan MA, para pembuat undang-undang atau peraturan
pemerintah pengganti undang-undang akan lebih berhati-hati. 23 Jika dilihat dari alasan
normatif yang tercatat di internal MPR, latar belakang perubahan UUD 1945 disebutkan
antara lain sebagai berikut:
1) UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan
tertinggi yaitu MPR selaku pelaksana kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat tidak
terjadinya saling mengawasi dan mengimbang (ceck and balances) pada institusiinstitusi kenegaraan. Penyerahan kekuasaan tertinggi pada MPR merupakan kunci
yang menyebabkan kekuasaan pemerintahan seakan-akan tidak memiliki hubungan
dengan rakyat;
23 Ellydar Chaidir, 2007, Hukum dan Teori Konstitusi (Yogyakarta: Kreasi Total Media
Yogyakarta), hal.69.
17
secara menyeluruh, materi Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat UUD
1945 meliputi:25
(1) Mempertegas pembatasan kekuasaan presiden. Sebelum terjadinya perubahan
konstitusi, UUD 1945 memberikan kekuasaan kepada lembaga kepresidenan begitu
besar (executive heavy). Kekuasaan presiden Indonesia meliputi kekuasaan
eksekutif, legeslatif dan yudisial sekaligus. Namun kini kekuasaan presiden terbatas
pada kekuasaan eksekutif saja, sementara kekuasaan legeslatif dalam membuat UU
kini berada di tangan DPR, dan dalam kekuasaan yudisial lembaga kehakiman
diberikan jaminan independensi.
(2)
terlihat dalam pengaturan tentang kewenangan lembaga negara yang lebih terinci.
(3)
Menghapus keberadaan lembaga negara tertentu (dalam hal ini DPA), dan
Mempertegas dianutnya teori kedaulatan rakyat, yang selama ini UUD 1945
lebih terkesan menganut teori kedaulatan negara. Hal ini terlihat dari dihapusnya
klaim politik bahwa MPR adalah pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya,
dimasukkannya konsep pemilihan umum dalam mengisi jabatan anggota DPR, DPD
dan DPRD, dan digunakannya sistem pemilihan langsung oleh rakyat untuk mengisi
jabatan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah.
Secara spesifik, amandemen konstitusi Indonesia menghasilkan sejumlah design
baru format kenegaraan sebagai berikut. Pertama, Presiden dan Wakil Presiden dipilih
melalui pemilu secara langsung oleh rakyat (direct popular vote), sedangkan
kewenangan MPR hanya sebatas melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih saja. 26
Sebagai konsekuensinya, berbeda dengan sebelum perubahan UUD 1945, Presiden
tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, namun bertanggung jawab langsung
kepada rakyat pemilih (direct responsible to the people). Hal ini berbeda dengan sistem
pemerintahan sebelum perubahan UUD 1945, di mana kedaulatan rakyat dilakukan
sepenuhnya oleh MPR, dan kini kedaulatan rakyat tetap di tangan rakyat. Sebagai
konsekuensinya adalah jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan DPD
yang keduanya merupakan anggota MPR, dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
pemilu. Dengan demikian, masing-masing lembaga negara sama-sama memiliki
legitimasi politik yang kuat, dan masing-masing bertanggung jawab langsung kepada
pemegang kedaulatan asli yaitu rakyat. Kedua, kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh
berbagai lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing menurut
konstitusi UUD 1945. Hal ini terlihat dari adanya pembagian tugas masing-masing
lembaga negara yang makin jelas dan terperinci, sehingga menghindari terjadinya
tumpang tindih dan intervensi kewenangan antar lembaga negara (separation of
power). Presiden memegang kekuasaan menjalankan pemerintahan, DPR dan DPD
dapat mengawasi jalannya pemerintahan yang dilaksanakan oleh Presiden dan
26 Afan Gaffar, 2002, Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya Terhadap Perubahan
Kelembagaan, , (Jakarta : AIPI), hal. 435
20
kabinetnya, dan lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi memiliki wewenang melakukan kontrol yuridis lewat judicial review terhadap
kebijakan yang diambil oleh Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, maupun
terhadap kebijakan yang dibuat oleh DPR berupa produk undang-undang. Kondisi ini
mengarah kepada terciptanya situasi checks and balances antar lembaga negara yaitu
eksekutif, legislatif dan yudisial. Ketiga, wajah parlemen dinilai lebih representatif
karena adanya kamar baru yaitu DPD sebagai representasi dari wakil-wakil daerah
(provinsi). Keempat, adanya jaminan terciptanya stabilitas jalannya pemerintahan
karena jabatan Presiden dibatasi dalam masa jabatan lima tahun, dan hanya dapat
diberhentikan oleh MPR dalam kondisi tertentu saja berdasarkan UUD, serta melalui
mekanisme hukum yaitu pembuktian hukum oleh Mahkamah Konstitusi. 27 Dengan
demikian Presiden tidak dapat diusulkan oleh DPR untuk diberhentikan semata-mata
karena alasan konflik politik. Demikian pula Presiden dilarang untuk membekukan
dan/atau membubarkan DPR.
E. Penutup
1. Simpulan
Dengan melihat sejarah perjalanan konstitusi Indonesia bahwa dinamika
politik yang mengiringi setiap pembuatan maupun perubahan konstitusi ternyata
tidak bisa dilepaskan dari aliran-aliran politik maupun ideologi yang berkembang
di Indonesia. Sebagaimana yang diutarakan Elster dan Slagstad dengan
mengutip teori umum tentang konstitusionalisme Colhoun bahwa konstitusi
memang merupakan produk politik yang dihasilkan dari proses tawar-menawar
(bargains). Perbedaannya jika Colhoun lebih meyakini konstitusi lahir dari konflik
27 Ramlan Surbakti, 2002, Perubahan UUD 1945 Dalam Perspektif Politik, (Jakarta : AIPI), hal.
485-493
21
Sebagaimana
pendapat
Kelsen,
setiap
konstitusi
berikut
melatarbelakangi perubahannya.
22