Anda di halaman 1dari 30

UNIVERSITAS INDONESIA

“RINGKASAN & TANGGAPAN


BUKU HAK ASASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK INDONESIA”

TUGAS MATA KULIAH POLITIK HUKUM


DOSEN: PROF. DR. SATYA ARINANTO S.H., M.H.

Nama: Muhammad Radi Jamhur

No. Mahasiswa: 1906453614

Kelas: A / Hukum Ekonomi Pagi

Nomor Absen: 17

PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

2020
BAB I

RINGKASAN

A. Transisi Politik Menuju Demokrasi.

1. Dari Otoritarianisme ke Demokrasi: Kemunculan Negara-Negara

Demokrasi Baru

Semenjak tahun 1970-an, telah terdapat gelombang pasang yang nyata dari

demokrasi-demokrasi baru muncul dari negara-negara yang masa lalunya

bersifat ototriter atau totaliter. Yang dimulai dari bagian Selatan Eropa, ke

Amerika Latin kemudian ke bagian Timur Eropa, dan Afrika Selatan serta

negara-negara lainnya, beberapa pemimpin demokrasi baru telah memandang

masa depan mereka dengan penuh pengharapan. Dalam mendefinisikan suatu

visi tentang masa depan bagi penduduknya, bagaimanapun, mereka harus

berekonsiliasi dengan warisan masalalunya yang berupa pelanggaran-

pelanggaran HAM yang ditinggalkan oleh rezim otoriternya yang baru berlalu.

Menurut Samuel P Huntington, dalam dua (hingga tiga) decade terakhir ini,

kita melihat terjadinya revolusi politik yan luar biasa dimana transisi dari

otoritarinsme menuju demokrasi telah terjadi di lebih dari 40 negara.

2. Reposisi Hubungan Sipil – Militer

Menurut Huntington, sesungguhnya semua rezim otoritarian, apapun tipenya,

mempunyai kesamaan dalam satu hal: hubungan sipil – militer mereka tidak

begitu diperhatikan. Hampir semua tidak memiliki karakteristik sipil – militer

2
sebagaimana yang ada di negara industrial yang demokratis , yang disebutnya

dengan istilah “control sipil obyektif”. Itilah ini mengandung hal-hal sebagai

berikut:

 Profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari pejabat

militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang

mereke;

 Subordinasii yang efektif dari militer kepada pemimpin politik

yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negri

dan militer;

 Pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut

atas kewenangan professional dan otonomi bagi militer;

 Meminimalisasi intervensi miter dalam politik dan

meminimalisasi intervensi politik dalam militer.

Hubungan sipil – militer dalam rezim otoitarian berbeda dengan model

tersebut dalam drajat yang bervariasi. Dalam rezim militer tidak ada ontrol sipil,

dan pemimpin serta organisasi militer sering melakukan fungsi yang luas dan

bervariasi yang jauh dari misi militer yang normal.

3. Perumusan Kebijakan Baru Untuk Menyelesaikan Hubungan Dengan

Rezim Sebelumnya

Di Spanyol, dan sekurang-kurangnya dalam teks tertentu di Polandia, rezim-

rezim demokrasi baru telah mencari sesuatu kebijakan untuk menjadikan mereka

sebagai suatu “negara bersih”, yakini, pencarian untuk mengubur masa lalunya

3
dan untuk mendahulukan segala bentuk pertanggungjawaban terhadap masalah

tersebut. Dalam kedua kasus tersebut telah sukses, jika sukses pertama diukur

secara ekslusif berdasarkan stabilitas politik dari pemerintahan baru. Namun,

tidak dapat dipercara, bahkan dalam konteks ini, bahwa tuntutan untuk

mewujudkan kebenaran dan keadilan akan hilang secara sederhana, jika luka-

lika di masyarakat bersifat segar dan kejahatan-kejahatan bersifat luar biasa,

perlupaan bukanlah merupakan suatu pilihan.

Dalam kasus-kasus lainnya, seperti Chile pemerintah telah memili sarana

yang berbeda untuk berhubungan dengan masa lalunya, misalnya, dengan

membuka kebenaran dari pelanggaran-pelanggaran HAM dan dorongan

terhadap suatu pengakuan public akan kejahatan-kejahatan dan bahkan suatu

perminta maaf terhadap para korban. Walaupun pada awalnya muncul

skeptisisme terhadap pola-pola pengungkapan semacam itu, yang dikuatirkan

akan menjurus kearah instabilitas, “komisi-komisi kebenaran” ini kemudian

secara cepat mendapatkan dukungan di berbagai kalangan sebagai salah satu

mekanisme simbulis untuk memutuskan hubungan dengan masa lalu.

4. Determinasi Tidak Hanya Berkaitan Dengan Militer

Dalam konteks wacana tentang transisi politik ini, salah satu hal yang paling

fundamental ialah yang berkaitan dengan perubahan imaji kita terhadap

kedudukan dan peranan miter, yang kemudian menjadi suatu institusi yang

secara optimal diarahkan untuk mengabdi kepada kepentingan bangsa, suatu

4
konsepsi yang kemudian banyak dinyatakan dalam penyusunan konstitusi

tertulis dari beberapa negara.

Konsep semacam ini seingkali dikaitkan dengan ideologi-ideologi “keamanan

nasional”, yang mengimplikasikan bahwa kekuatan militer harus memiliki

monopoli yang tidak dapa dipersengketakan tentang hal-hal apa yang menjadi

kepentingan pihak mereka, dan kapan dan bagaimana hal-hal itu dapat menjadi

ancaman. Hal ini, pada gilirannya, akan “memerintahkan” pihak militer untuk

melakukan intervensi jika mereka memandang tentang bahwa beberapa hal

yang terjadi tidak dapat diterima oleh mereka, misalnya bila ada partai “subversif”

atau “antinasional” akan naik ke puncak kekuasaan, jika terdapat beberapa

tingkat “ketidakaturan” atau konflik yang telah terjadi, atau beberapa kakuatan

yang membawa rasa permusuhan sedang melakukan tindakan-tindakan

terhadap pihak militer itu sendiri.

B. Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik

1. Kasus Pembunuhan Seteven Biko di Afrika Selatan

pada tanggal 18 Agustus 1977, Steven Biko, pendiri dari Gerakan Kesadaran

Kaum Kulit Hitam (Black Consciousness Movement) dan pemimpin kulit hitam

paling kharismatis yang muncul di Afrika dalam masa penahanan yang Panjang

dari Nelson Mandela, ditahan di suatu pos polisi penghadang jalan. Dia

ditemukan meninggal dunia pada tanggal 12 September 1977, terbaring

telanjang di atas tikar dari lantai batu di rumah sakit penjara Pretoria, dengan

mulut penuh dengan bekas pukulan dan busa. Pembunuhan terhadapnya

5
merupakan salah satu bentuk kejahatan dari sederetan kekejaman mengerikan

yang banyak terjadi sejak diterapkannya system apartheid di Afrika Selatan,

suatu system yang diberi lebel oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) sebagai suatu kejatan terhadap kemanusiaan. Dua puluh tehun kemudian,

lima orang dari kelompok polisi yang membunuh Biko mengajukan permohonan

pengampunan (amnesty) kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika

selatan.

2. Makna Keadilan dalam Proses Rekonsiliasi

Ntsiki Biko, jan da dari Steven Biko, menilai bahwa argumentasi tersebut

merupakan sesuatu pembusukan. “Kita semua menginginkan rekonsiliasi”,

katanya, “namun hal itu harus datang dengan sesuatu. Ia harus datang dengan

keadilan”. Ntsiki Biko ternyata menghendaki agar para pembunuh suaminya

dihukum. Sebelum para pembunuh Steven Biko mengajukan permohonan untuk

mendapatkan amnesti dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan,

Ntsiki Biko bahkan telah mengajukan gugatan di Mahkama Konstitusi Afrika

Selatan, dengan tuntutan bahwa kewenangan Komisi untuk memberikan amnesti

adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum internasional. Dalam

putusannya, walaupun menyatakan simpati terhadap Ntsiki Biko, Mahkama

Konstitusi menolak kedua argumen tersebut.

3. Perspektif Hukum Internasional

6
Sebagaimana diketahui, dalam gugatannya kepada Mahkama Konstitusi

Afrika Selatan, Ntsiki Biko menyatakan bahwa Kewenangan Komisi Kebenaran

dan Rekonsiliasi Afrika Selatan untuk memberikan amnesti adalah inkontitusional

dan bertentangan dengan hukum internasional. Berkaitan dengan butir kedua

gugatannya ini, akan peneliti berikan analisi tentang perspektif hukum

internaisonal dalam konteks ini. Sebagaimana diketahui, dalam berbagai transisi,

fungsi khusus dari penghukuman dan amnesti harus dibandikan; dan prioritas

relative diantara kedua hal tersebut tidak dapat disusun secara teoritis.

C. Pengalaman Beberapa Negara

sebagaimana dinyatakan di muka, semenjak tahun 1970-an telah terdapat

gelombang pasang yang nyata dari demokrasi-demokrasi beru yang muncul dari

negar-negara yang masalalunya bersifat otoriter atau totaliter. Dimulai dari

bagian Selatan Eropa, ke Amerika Latin, kemudian ke bagian Timur Eropa dan

Afrika Selatan serta negara-negara lainnya.

1. Beberapa Negara Amerika Latin

a. Beberapa Karakteristik Transisi Politik di Amerika dan Eropa Selatan

Transisi politika yang terjadi di beberapa negara Amerika Latin memang

memiliki beberapa karakteristik tersendiri apabila dibandingkan dengan

transisi politik terjadi di negara-negara lainnya, misalnya apabila kita

membandingkannya dengan pengalaman yang di alami ngera-negara Eropa

Selatan. Berbeda dengan yang terjadi di negara-negara Amerika Latin, faktor-

7
faktor internasional lebih menguntungkan transisi politik yang terjadi di

negara-negara Eropa Selatan. Perbedan-perbedan dan pertentangan-

pertentangan itu juga mendukung suatu prediksi yang lebih optimis prihal

prospek penegakan demokrasi dan, mungkin bahkan lebih jauh lagi

konsolidasi demokrasi di Eropa Selatan daripada di Amerika Latin.

b. Beberapa Rezim “Otoriterisme Birokrasi” atau “Internasional”

Sebagaimana dikatakan di muka, dari perspektif lain, dapat dikatakan

bahwa Amerika Latin lebih cenderung untuk lebih heterogen daripada Eropa

Selatan. Beberapa ahli ilmu politik menyebut situasi rezim di beberapa

negara Amerika Latin pra transisi politik sebagai “otoriterisme birokratis”. Ada

pula yang menyebutnya “tradisional”. Mereka memiliki unsur-unsur

patrimonialis, dan dalam beberapa kasus bahkan sultanistis. Ini merupaka

jenis rezim yang paling rentan trehadap transformasi revolusioner. Rezim

Somoza yang pernah memerintah di Nikaragua termasuk yang memenuhi

kategori ini, sebagaimana pula Rezim Batista di Kuba, dan Rezim Stoessner

di Paraguay, yang merupakan sisa terakhir dari sesuatu yang dulu menjadi

bentuk kekuasaan yang sangat lazim di Kawasan ini.

c. Peru Sebagai Suatu Negara Otoriterisme “Populis”

Jenis otoriterisme lain, yang bias diistilahkan “populis”, dapat digambarkan

lewat kasus Peru sebagaimana digambarkan oleh Cotler. Meskipun peran

sentral yang dimainkan angkatan bersenjata atau kalangan militernya

8
membedakan kasus Peru dari bentuk-bentuk populisme Amerika Latin yang

lebih tua dan lebih tipikal, menurut Cotler, Peru tetap termasuk dalam

“keluarga” populis rezim-rezim itu. Di satu sisi, peran kelembagaan, seperti

dipertentangkan dengan peran personal, yang dijalankan angkatan

bersenjatanya memadai untuk memisahkan kasus Peru dari bentuk

tradisional kediktatoran militer. Di sisi lain, rezim militer yang populis di Peru

berlawanan dalam beberapa aspek penting dalam rezim birokratik otoriter.

d. Perbedaan dengan Rezim Birokratik Otoriter

Di antara perbedaan-perbedaan tersebut adalah orientasi antioligarki

dalam kebijakan rezim Peru, niatnya untuk secara cepat meperluas industry

dan peran ekonomi di sebuah negara yang tidak seberapa maju dalam segi-

segi tersebut, dan ketidaan hasrat untuk menyingkirkan secara paksa sektor

rakyat, melainkan untuk mengingat dan merangkum secara politis berbagai

golongan di sektor ini. Hal ini penting bahkan bila upaya ini yang dalam pola

populis yang tipikal diwarnai oleh bias-bias “antipolitis” yang inheren di

angkatan bersenjata, hadir bersamaan dengan upaya dari atas untuk

menggabungkan dan mengkontrol perwakilan bagi sektor rakyat. Sebagai

konsekuensi dari orientasi-orientasi ini, upaya militer yang populis di peru,

berbeda dengan rezim-rezim briokratik otoriter, tidak mendapatkan dukungan

dari fraksi-fraksi modal perkotaan yang besar, atau dari sektor-sektor

pertanian yang makin dinamis.

9
e. Beberapa Kasus Lainnya

Kasus-kasus lainnya di Amerika Latin yang dapet ditinjau ialah Chile. Dari

segi konfigurasi politiknya Chile tergolong dalam tipe birokratik otoriter. Yang

sudah dilakukan hanya langkah-langkah yang sangat terbatas, mudah

dibalikkan, dan tidak pasti menuju liberalisasi. Rezim ini menunjukkan begitu

banyak tanda-tanda kemeosotan, tetapi tidak mau tunduk pada oposisi

meluas yang telah ditimbulkannya. Meski demikian langkah-langkah

liberalisasi terbatas yang dijalankan rezim Chile tampaknya menunjukan

bahwa ia telah melewati titik yang tak memungkinkan untuk melangkah

mundur berkenaan dengan pemantapan kembali kekuasaan birokratik

otoriter.

2. Beberapa Negara Non-Amerika Latin

a. Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Yunani

Kejatuhan rezim otoriter Yunani pada tangal 23 Juli 1974 telah membuka

jalan bagi pendirian suatu pemerintahan yang demokratis dalam sejarah

Yunani modern. Keadaan yang melingkupi pendirian rezim ini dan kondisi-

kondisi yang memfasilitasi konsolidasi demokrasi di Yunani telah

mendapatkan perhatian yang kurang memadai di kalangan para sarjana,

terutama kalangan para ahli ilmu politik. Padahal dalam konteks ini ada suatu

perbedaan kalua tidak disebut sebagai keunikan karakteristik dari proses

demokratisasi Yunani semenjak tahun 1974, yakini tentang peranan sentral

10
dari system kekuasaan kehakimannya untuk menyelesaikan kasus-kasus

yang berhubungan dengan pihak masa lalunya yang otoriter.

b. Konsepsi “Jalan Tengah” di Jermaan dan Cekoslovakia

Mantan blok komunis telah berjuang sevara mati-matian untuk

menemukan jalannya sendiri dalam berhubungan dengan warisan arsip

laanya yang kacau. Permasalahan tentang apa yang harus dilakukan dengan

arsip-arsip negara telah menimbulkan perdebatan publik di negara-negara

yang memiliki apparat yang represif. Halini lagi-lagi membuka kekuatan yang

sedang berlalu dari warisan-warisan yang membentuk arah dari respon

tradisional. Jerman bersatu dan bekas negara Cekoslavakia khususnya

berjuang dengan berbagai pendekatan untuk mengadapi warisan-warisan

apparat keamanan negaranya yang represif. Baik Jerman maupun

Cekoslavakia telah mengalami berbagai tingkat kebebasan dalam akses

kepada arsip rezim masalalunya. Dengan demikian resolusi-resolusi yang

dilakukan di kedua negara tersebut bersifat kompromistis, yang bersifat jalan

tengah yakini tidak terjadi perusakan terhadap arsip masalalu, namun juga

tidak dapat dilakukan akses sepenuhnya tehadap arsip tersebut.

c. Perspektif Beberapa negara lainnya

11
Berbeda dengan transisi-transisi yang melalui proses negosiasi

sebagaimana yang terjadi di Argentina dan Chile, sebagai contoh, tidak

terdapat perlawanan dari par elit militer di sayap-sayap yang menunggu saat

untuk mepertegas kembali diri mereka sendiri yang mengharuskan para

pemimpin yang terpilih secara demokratis di negara-negara tersebut untuk

melangkah jauh cukup dalam berekonsoliasi dengan masalalunya.

D. Keadilan Tansisional

1. Pemutusan Kaitan dengan Masa Lalu

a. Menghukum Masa lalu, atau Membiarkan Kaitan dengannya Tetap

Eksis

Sebagaimana diuraikan di muka, pada masa akhir abad yang baru lalu,

masyarakat di seluruh dunia sedang berupaya memutuskan kaitan dengan

pemerintahan otoriter dan mulai membangun demokrasi. Pada saat

terjadinya bagaimana perubahan radikal ini muncul suatu pertanyaan:

haruskah masyarakat menghukum masa lalunya, ataukah membiarkan kaitan

dengan masa lalu tetap eksis? Konsep keadilan transisional telah membawa

pertanyaan ini kesuatu tingkat dengan suatu pendekatan interdisipliner yang

menantang beberapa terminology perdebatan kontemporer.

b. Pencari Kebenaran, Rekonsiliasi, dan Keadilan

Dalam beragama pengalaman ini, bagaimanapun, kecenderungan yang

ada justru mengarah ke arah semacam ketertutupan. Lebih dari 20 bangsa

dalam tempo 25 tahun terakhir ini telah mencoba untuk menginstitusionalkan

12
pencarian terhadap “ kebenaran dan rekonsiliasi”, dan hal ini telah

memunculkan suatu displin akademis yang dinamakan “keadilan tradisional”,

dengan kosa katanya sebagai berikut: “keadilan retributive”, “keadilan

restorative”, “klarifikasi historis”, dan sebagainya.

2. Empat Permasalahan Utama: Politik Memori

Sebagaimana dinyatakan di muka, Ruti G. Teitel, seorang Guru Besar

Perbandingan Hukum pada Ney York Law School di Amerika Serikat,

menyatakan bahwa dalam berbagai keadaan dewasa ini, ketika muncul

gerakan-gerakan politik besar-besaran dari pemerintahan yang nonliberal,

muncul suatu permasalahan utama: bagaimana masyarakat memperlakukan

kejahatan-kejahatan yang terjadi pada masa yang lalu? Permasalahan ini

terkait dengan hal-hal lain yang membahas permasalahan dari kairan antara

perlakuan dari masa lalu suatu negara terhadap masa depannya, yang

mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu

rezim baru terhadap aturan-aturan hukum yang dilahirkan?

2. Tindakan-tindakan hukum apakah yang memiliki signifikansi

transformatif?

3. Apakah – jika ada – terdapat kaitan antara pertanggungjawaban

suatu negara terhadap masa lalunya yang represif dan prospek

untuk membentuk suatu tata pemerintahan yang liberal?

13
4. Hukum apakah yang potensial sebagai penganta ke arah

liberalisasi?

3. Beberapa Wacana Tentang “Transitology” dan “Consolidology”

Berkaitan dengan terminologi “transitology” dan “consolidology” sebagai

maa disebutkan di muka, Schmitter menjelaskan dalam bagian yang berjudul

“ The Long-Forgotten Origins of Transitology” dan selanjutnya berkaitan

dengan “consodology” ada dalam bagian yang berjudul “The More Posaic

Origins of Consodology”.

E. Konteks Internasional pada Waktu Transisi

1. Internasionalisasi Permasalahan

Dalam dunia yang sempit ini, penjelasan masalah keadilan transisional

telah meningkat menjadi suatu sumber yang saling mempengaruhuhi antara

pemerinth-pemerintahan baru yang menggantikan mereka-mereka yang

berada di luar negri. Ketika Republik Federal Czek dan Slovak

memberlakukan hukum “ilustrasi”nya untuk melakukan screening dan

membersikan suatu kelompok besar dari para mantan pejabat komunis dan

kolabolatornya, hal itu kemudian menjadi suatu focus perhatian utama dari

kalangan internasional. Kalangan Dewan Eropa dan Organisasi Buruh

Internasional masing-masing melakukan Analisa terhadapnya, sebagaimana

yang dilakukan pula oleh berbagai Lembaga swadaya masyarakat asing.

Para pengamat asing juga diperkenankan. Laporan yang disebut Chadian

14
“Commision of Inquiry into the Crimes and Misappropriations Commited by

Ex-President Harbré, his Accoplices and/or Accessories” dimulai dengan

suatu peta dan gambaran tentang negara tersebut – yang dengan nyata

dapat diartikan sebagai konsumsi luar negri.

2. Hukum Internasional dan Keadilan Retroaktif

Konsep penengah yang lain dari aturan hukum transisional adalah hukum

internasional. Hukum internasional menempatkan institusi-institusi dan

proses-proses yang melampaui hukum dan politik domestic. Dalam periode

perubahan politik, hukum internasional menawarkan suatu konstruksi

alternative dari hukum yang, walaupun terdapat suatu perubahan politik yang

subtansial, tetap berlangsung dan kekal. Pengadilan-pengadilan local

mempercayai pemahaman-pemahaman internasional ini. Potensi dari

pemahaman dari hukum internasional ini mendapatkan kekuatannya dalam

periode pasca perang. Uatu perdebatan yang berkaitan dengan ilmu hukum

pun kemudian timbul, khususnya di Amerika Serikat, tentang apakah

peradilan-peradilan pasca perang yang diselenggarakan di Nuremberg dan

Tokyo sejalan dengan prinsip aturan hukum. Hukum internasional pun

berperan sebagai konsep penengah untuk mengurangin dilemma dari aturan

hukum yang di lontarkan oleh keadilan oengganti dalam waktu transisi dan

untuk menjustifikasi legalitas dari pengadilan Nuremberg berkaitan dengan

perdebatan mengenai prinsi retroaktif.

15
3. Keadilan Retrospektif di Belgia, Perancis, dam Belanda

Dalam ruang lingkup pembahasan kentek internasional pada waktu

transisi ini, dapat pula dicatat permasalahan keadilan restrospektif di Belgia,

Perancis, dan Belanda. Keadilan di ketiga negara tersebut sam[pailah pada

waktunya ketika aturan-aturan yang bersifat supranasional tentang

penghormatan terhadap HAM dan aturan-aturan justru lemah atau tidak ada.

Hal ini setelah itu kemudian mengalami perubahan. Dewan Eropa kemudian

mempublikasikan konvesinya, yakini Europea convention for the Protection of

Human Rights and Fundamental Freedoms pada tahun 1950

4. UU Lustrasi Cekoslovakia

Komunis mendorong pengunduran suatu pemerintah koalisi dan

merampas kekuasaan di Cekoslovakia pada bulan Febuari 1948. Mengikuti

model Uni Soviet, mereka memaksakan suatu system pemerintahan dimana

partai melakukan control terhadap negara. Kerja paksa menjadi suatu yang

rutin karena ekonomi dan pertanian dinasionalisasikan. Polisi rahasia - StB –

memonitor para warga negara di rumah-rumah dan di tempat-tempat kerja,

penahanan yang sewenang-wenang merupakak sesuatu yang umum,

terutama bagi orang-orang yang sangat dibatasi. Agama, budaya, media dan

perjalanan luar negri dangat dibatasi. Selama awal tahun 1950-an, Partai

Komunis lebih dari 100.000 tahanan politik dikirim ke penjara-penjara atau

16
kamp-kam perburuhan, dan ribuan lainnya di bunuh oleh kekuatan-kekuatan

pemerintah.

5. Akibat yang Lebih Signifikan dan Empat Skenario Pascakomunis

Hal yang lebih signifikan ialah, terlepas dari berbagai referensi terhadap

sensor internasional, pemerintah, partai politik, hakim, dan sarjana hukum di

Cekoslovakia, Hongaria, dan Polandia telah secara teratur meminta

konvensi-konvensi HAM internasional ketika mepersiapkan aau melakukan

peninjauan terhadap berbagai UU yang mengatur tentang Kejahatan. Di

Polandia, misalnya, suatu Komite Helsinki local telah dibentuk dan

proposalnya untuk petunjuk-petunjuk procedural telah mendapatkan

perhatian yang besar dalamperdebatan tentang penyaringan.

F. Keadilan dalam Masa Transisi Politik

1. Pandangan Kelompok Realis bersus Kelompok Idealis

Permasalahan tentang konsepsi keadilan dalam masa transisi politik

merupakan suatu hal yang belum sepenuhna dibicarakan. Wacana tentang

“keadilan transisional” pada umumnya dibingkai oleh masalah normatf bahwa

beberapa merespon hukum harus dievaluasi berdasarkan prospek mereka

terhadap demokrasi. Dalam perdebatan tentang hubungan hukum dan

keadilan dengan liberalisasi, terdapat 2 pandangan yang saling berhadapan,

yakini pandangan kelompok realis versus kelompok idealis, dalam kaitanya

dengan kenyatan bahwa hukum harus menunjag pembangunan demokrasi.

17
Pandangan-pandangan tersebut adalah sebagai berikut: apakah perubahan

politik dianggap peting mendahului penegakkan aturan-aturan hukum, atau

sebaliknya, beberapa langkah hukum justru harus dilakukan mendahului

perubahan politik.

2. Hukum Hanyalah Suatu Produk dari Perubahan Politik

Pengistimewaan terhadap salah satu urutan pelaksanaan pembangunan

didasarka pada adanya bias disiplin atau generalisasi dari pengalaman-

pengalaman nasional tertentu terhadap norma-norma universal. Karenanya

hal ini terdapat di dalam teori politik dimana pandangan yang dominan

tentang bagaimana transisi yang liberal terjadi terdiri dari suatu urutan

dimana perubahan politik harus dilakukan telebih dahulu. Dalam pandangan

ini, respon-respon transisional dari suatu negara dijelaskan secara luas

dalam konteks desakan-desakan politik dan kelembagaan. Keadilan yang

dicari dalam masa ini hanya bias dijelaskan dengan cara yang terbaik dalam

kontek penyeimbangan kekuasaan. Hukum hanyala suatu produk dari

perubahan politik.

3. Tergantung pada Hubungan antara Hukum dan Politik

Sesungguhnya, untuk mengemukakan pendapat dinyatakan kelompok

realis, negara-negara melakukan hal-hal yang mungkin dilakukan hanya

18
menyatakan secara sederhana dengan kesimpulan-kesimpulan yang besifat

normatif. Hubungan dengan tanggung jawab negara dengan transisi dan

prospeknya terhadap liberalisasi tetap tidak terjudifikasi secara luas. Dari

perspektif kelompok idealis, sebaliknya, permasalhan tentang keadilan

transisional pada umumnya berkaitan dengan konsepsi kelompok universal

tentang keadilan. Gagasan tentang seusatu keadilan retributive atau korektif

tentang masa lalu dipertmbangkan sebagai suatu rintisan yang diperlukan

bagi transisi liberal, namun demikian penyusunan teori semacam ini tidak

mempertimbangkan dengan baik tentang hubungan antara hukum dan

perubahan politik. Pada akhirnya, pendekatan ini kehilangan butir-butir yang

membedakan tentang makna keadilan dalam masa transisi politik.

G. Dilema Penerapan Aturan Hukum

1. Dasar Hukum Membawa Rezim Masa Lalu ke Pengadilan

Dalam periode transisi politik yang subtansial, timbul suatu dilemma

tentang penghormatan terhadap aturan-aturan hukum, dimana hal ini

berkaitan dengan permasalahan keadilan bagi rezim yang menggantikan.

Dengan dasar apakah suatu rezim yang terdahulu dapat dibawa

kepengadilan? Dalam kontek pertentangan ini, apakah keadilan pidana

sesuai dengan aturan hukum? Dilemma yang dihadapi oleh keadilan yang

meggantikan ini membawa kita ke arah permaslahan yang lebih luas dari

teori mengenai sifat dan peranan hukum dalam proses transformasi menuju

ke sesuatu negara liberal.

19
2. Perdebatan Hukum tentang Penyelenggaraan Persidangan Terhadap

Para Mantan Kolaborator Nazi

Debat antara Hart dan Fuller tentang sifat hukum berfokus pada

penyelenggaraan persidangan terhadap para kolabolator Nazi dalam era

Jerman pasca perang. Har, seorang pendukung positivisme hukum,

mengatakan bahwa penghormatan terhadap aturan-aturan hukum mencakup

pula pengakuan terhadap berlakunya hukum yangmendahuluinya sebagai

suatu hal yang sah. Menurut Hart, hukum tertulis berlaku sebelumnya,

walaupun tidak bermoral, tetap harus dinyatakan berlaku dan harus I ikuti

oelh pengadilan-pengadilan sesudahnya hingga ia dinyatakan tidak berlaku

atau diganti dengan yang baru. Sedangkan dalam pandangan Fuller, aturan

hukum mengandung arti bahwa ia juga memutuskan hubungan dengan rezim

hukum Nazi. Karenanya, para mantan kolaborator Nazi harus diadili dengan

dasar hukum baru. Namun demikian perdeban di muka gagal untuk

memfokuskan diri pada permasalahan-permasalahan hukum yang

membedakan dalam masa transisi.

20
BAB II

TANGGAPAN

TRANSISI POLITIK MENUJU DEMOKRASI

Dalam hubungan tolak tarik antara politik dan hukum, maka hukumlah

yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi

energi yang lebih besar daripada hukum. 1 Dapat dilihat bahwa kedudukan hukum

lebih lemah dari politik. Sehubungan dengan “lebih kuatnya energi” politik dalam

berhubungan dengan hukum, apa yang di kemukakan oleh Dahrendorf dapat

memperjelas mengapa hukum menjadi cermin dari kehendak pemegang

kekuasan atau identik dengan kekuasaan. 2 Dalam hal memegang kekuasaan

tentu penguasa memiliki wadah untuk berkuasa. Negara berusaha

membangkitkan rasa keharusan untuk patuh, menggunakan opini publik untuk

mendukung kepatuhan kepada hukum. Dengan cara ini, negara bisa membeli
1
Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum
Nasional, (Bandung: Sinar Baru, 1985), hal. 79.
2
Ralf Dahrendor oleh Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2014), hal. 21.

21
kepatuhan yang lebih besar dibandingkan bila ia hanya menggunakan sanksi

saja. Walhasil, dalam perilaku hukum, garis batas antara pengaruh yang berasal

dari sumber negara dan sumber non-negara tidak sejalan persis dengan garis

batas antara sanksi-sanksi dan kekuatan-kekuatan “sosial”. 3

Dapat dijabarkan bahwa keberadaan politik dalam hukum membentuk

suatu tatanan yang saling mempengaruhi, terutama dampak politik untuk hukum

bahwa dengan kekuasaan melalui negara dapat memaksakan warga negaranya

untuk melakukan sesuatu apa yang diinginkan penguasa terhadap negara

tersebut.

Namun, dalam hal kekuasaan maka negara sebagai objek yang dikuasai

memiliki hakikat yang dimaksudkan sebagai suatu penggambaran tentang sifat

daripada negara. Negara sebagai wadah bangsa untuk mencapai cita-cita atau

tujuan bangsa. Tujuan negara adalah merupakan kepentingan utama daripada

tatanan suatu negara. Tetapi sayangnya banyak orang melupakan ini dalam

uraiannya atau dalam pembicaraanya lebih-lebih dalam ilmu hukum tatanegara. 4

Setelah disepakati bahwa dalam mengurus negara untuk mencapai tujuan

tertentu, maka beberapa negara telah melakukan perbuatan politik untuk

menentukan arah tujuan dari negaranya. Namun semenjak tahun 1970 telah

terdapat gelombang pasang antara sifat negara demokrasi dan sifat otoriter.

Mendambakan kestabilan tidak mensyaratkan demokrasi. Dalam sistem

otoriter yang tertutup sekalipun, kestabilan tetap ada bahkan mungkin dengan

derajat yang lebih stabil dibandingkan sistem demokratis. Hanya saja, kestabilan

3
Lawrence. M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, terj. M. Khozim, (Bandung: Nusa Media,
2011), hal. 163
4
Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hal. 149.

22
pada rezim otoriter sangat tergantung pada pribadi seorang pemimpin. Jika

memang kestabilan tidak dipengaruhi oleh sistem politik, mengapa sistem

otoritarianisme tidak didukung?. Bremmer mengatakan bahwa otoritarianisme

bertentangan dengan hasrat alami manusia untuk bebas. 5 Lalu Huntington

mengatakan orang-orang menggunakan politik tidak hanya kepentingan-

kepentingan mereka semata, tetapi juga untuk menyatakan identitas mereka. 6

Lalu untuk melepaskan hasrat alami kebebasan kiranya demokrasi perlu untuk

dijalankan dengan melihat tindakan Pemerintah yang dengan kekuasaannya

dapat melakukan apa saja sesuai keinginannya, bukan berdasarkan

keinginan/aspirasi masyarakat. Dengan adanya demokrasi pemerintah dapat

dikontrol oleh masyarakat. Dengan demokrasi masyarakat dapat membentuk

asosiasi-asosiasi sebagai penyeimbang kekuatan pemerintah. Dengan

demokrasi warga dapat mengartikulasi aspirasinya, dan dapat dengan jelas apa

yang menjadi kepentingannya. Dengan kata lain, demokrasi akan membatasi

peluang pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan yang berlawanan

dengan kehendak masyarakat luas. 7 Sedemikian pentingnya demokrasi demi

lahirnya keseimbangan antara pemerintah dan rakyat, agar tindakan yang

melampaui batas dari pemerintah selaku pemegang kekuasaan tetap terawasi.

Setelah manusia memahami bahwa pentingnya ber-demokrasi maka

timbul gerakan-gerakan revolusioner untuk melepaskan diri dari sistem otoriter


5
Mohammad Rosyidin, Dari Otoritarianisme ke Demokrasi: Bagaimana Mendorong Negara Menuju
Kestabilan danKeterbukaan?. Jurnal Penelitian Politik. Vol 10, No. 1 Juni 2013, hal. 157.

6
Samuel. P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia terj. M. Sadat Ismail
(Jakarta: Qalam, 2007), hal. 8.
7
H. Syaukani, HR, Afan Gaffar, M. Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 11.

23
yang mengekang kebebasan mereka. Salah satu gerakan bersejarah terjadi

pada masa tahun 1998 yang dimotori oleh kelompok mahasiswa, guru besar,

pekerja LSM, intelektual, teknokrat sampai para dokter dan suster. Ini tipikal

gerakan kelas menengah yang sangat cantik. Gerakan ini sangat sistematis dan

progresif karena ia melampaui batas-batas agama dan ras. Gerakan ini

disatukan oleh isu bersama menuntut perubahan sistem politik dan ekonomi

secara substansial.8

Persyaratan pertama konsolidasi demokrasi maka yang dilakukan adalah

mengembalikan fungsi ABRI dan Polri sebagai struktur totaliter militer menjadi

aparat yang profesional dalam menjalankan tugas dan fungsi. Dalam rangka

penetralan dua institusi tersebut maka dikeluarkan TAP MPR Nomor VI Tahun

2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara

Republik Indonesia dalam konsiderans menimbang huruf d, yaitu:

“bahwa peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi

Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia

yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam

kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat”

Alasan kuat untuk sesegera mungkin menghapus peranan sosial politik

militer yang disebut sebagai dwi-fungsi ABRI itu adalah ABRI telah menjadikan

perannya itu sebagai senjata utama untuk mematikan segala bentuk kehidupan

yang demokratis. Dalam posisi seperti itu, ABRI (TNI AD) menjadi satu-satunya

8
Denny J. A, Jatuhnya Soeharto dan Transisi Demokrasi Indonesia (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta,
2006), hal. 27-28.

24
institusi politik yang berkuasa dan dapat mengatur sendiri seluruh kehidupan

masyarakat. Daniel S. Lev menuliskan bahwa dwi-fungsi ABRI bukan saja

memonopoli politik dan makna politik tetapi juga menyumbang secara luar biasa

bagi kerusakan kelembagaan kenegaraan, karena seluruh lembaga negara

diposisikan berada dibawah kekuasaan institusi militer. Bibit dari perluasan

penguasaan muncul sejak masa paska kemerdekaan. Misalnya penolakan. 9

Kemudian apakah tindakan tersebut secara serta merta telah mengembalikan

hakekat dari demokrasi? Tindakan pemerintahan yang memiliki status quo

Soeharto juga dikatakan sangat demokratis dan tidak menyalahi Pancasila.

Padahal praktiknya kadang-kadang dan seringkali menangkapi dan

menjebloskan orang-orang yang berbeda pendapat dengannya kedalam sel-sel

penjara. Oleh karena demokrasi menurut Ranny merupakan suatu bentuk

pemerintahan yang ditata dan diorganisasikan berdasarkan rinsip kedaulatan

rakyat (popular sovereignity), kesamaan politik (political equality), konsultasi atau

dialog dengan rakyat (popular consultation), dan berdasarkan pada aturan suara

mayoritas.10 Demi mencapai kebaikan tertinggi prinsip bahwa manusia

seharusnya mencari kenikmatan (hedonisme etis).11

KEADILAN TRANSNASIONAL

Dalam rangka kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia rezim Orde

Baru menorehkan serangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM yang

terbentang dari Aceh hingga Papua. Latar belakangnya beraneka ragam

9
Tim KontraS, Politik Militer dalam Transisi Demokrasi Indonesia, (Jakarta: KontraS, 2005), hal. 8.
10
Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hal. 98-99.
11
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986), hal.
359.

25
menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) yaitu dari sengketa

tanah hingga tuduhan subersif, korbannya pun meluas. Orde Baru menyasar

berbagai kelompok masyarakat, perbedaan ideologi (tuduhan komunis, agama

atau keyakinan yang dianggap berbeda), kelompok minoritas, kelompok pro-

demokrasi, kelompok yang dituduh anti pembangunan, menjadi alasan

pemerintahan Soeharto untuk ‘mengorbankan’ mereka. Para korban mengalami

kekerasan fisik, kehilangan nyawa dan dihilangkan secara paksa, mereka juga

mengalami kematian perdata, berpuluh-puluh tahun. Hidup mereka terus

mengalami stigmatisasi dan diskriminasi, dan berbagai bentuk pelanggaran HAM

lainnya.12 Menurut data dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak

Kekerasan (KONTRAS) pelanggaran HAM berawal dari pembantaian massal

pada tahun 1965 sampai dengan tahun 2003 kasus di Bulukumba. 13

Oleh karena itu pada masa Orde Baru sampai Reformasi diperlukan

penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia berkaca dengan beberapa negara

terdahulu yang telah melaksanakannya. Upaya pencarian konsepsi keadilan di

Indonesia baru dilasanakan secara konkrit pada era reformasi. Langkah

Pemerintah yang dilakukan yaitu:

i. Setelah keluarnya TAP MPR Nomor V Tahun 2000 tentang Pemantapan

Persatuan dan Kesatuan Nasional dengan mandat “membentuk Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra-yudisial.

Komisi ini bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan

mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi

Tim ELSAM, Penyelesaian Pelangaran HAM di Masa Lalu, (Jakarta: Creative Common, 2012), hal. 2.
12

Sumber Litbang KontraS, diakses dari https://www.kontras.org/kamisan/data%20pelanggaran


13

%20HAM.pdf, pada tanggal 5 Oktober 2018 pukul 15.19

26
manusia di masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan

perundang-undangan yang berlaku, dan melaksanakan rekonsiliasi dalam

perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.”

ii. Kemudian diselenggarakannya Pengadilan HAM Ad Hoc terhadap kasus

Timor Timur dan Tanjung Priok, Lahir nya pengadilan ad hoc oleh amanat

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 14

iii. Lahirnya PP Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban Pelanggaran HAM Berat berdasarkan turunan dari Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang berisi mengatur mekanisme

perlindungan saksi dan korban pelanggaran HAM berat.

iv. PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi

Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat, mengatur teknis

pelaksanaan Kompensasi, Restitusi Dan Rehanilitasi.

v. Lahirnya RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. 15 Yang

kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi, mengatur mekanisme penyelesaian

pelanggaran HAM masa lalu melalui pencarian kebenaran. Walaupun

demikian UU tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada

Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006 tentang Pengujian UU No. 27 Tahun

2004 tentang KKR. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam

pembatalan undang-undang tersebut adalah asas dan tujuan KKR

Lihat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
14

Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum
15

Tatanegara Fakultas Hukum Univeristas Indonesia, 2018), hal. 369.

27
didalam pasal 2 dan pasal 3 tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak

adanya jaminan kepastian hukum (rechtsonzekerheid).16

vi. Lahirnya PP Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,

Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, mengatur teknis

pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan

Korban.

Dalam hal ini pemerintah telah melakukan berbagai macam regulasi untuk

menyelesaikan kasus-kasus internal negara dalam melahirkan keadilan

transnasional. Namun Paul Scholten memandang bahwa hukum itu menyimpan

kekuatan pendobrak (ekspansiekracht) untuk keluar dari kemandekan. Namun

kekuatan itu akan muncul (manifest) ditangan penegak hukum yang menjalankan

tugasnya dengan mesu budi.17

Dengan melihat langkah hukum telah dilakukan melalui Pengadilan Ad

Hoc lalu peraturan perundang-undanga yang lain , maka perlu pendekatan

penyelesaian kasus pelanggaran HAM dalam rangka melahirkan keadilan

transnasional, maka perlu pendekatan sosiologis terhadap para korban dan/atau

keluarga. Maka keadilan tidak hanya rasa yang ditimbulkan dari hukum dan

menunggu tindakan pemerintah untuk menyelesaikannya. Tetapi, tindakan

sosiologis dari pemerintah dengan bagaimana membuat rasa aman, damai,

tentram dan kebahagiaan (utiritarianisme) kepada korban.

16
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUUIV/ 2006 tentang Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2004 tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi Tanggal 7 Desember 2006.
17
Paul Scholten dalam Satjipto Rahardho, Penegakan Hukum Progresif di Indonesia, (Jakarta: Kompas,
2010) hal. 79.

28
Daftar Pustaka
Buku
Denny J. A, Jatuhnya Soeharto dan Transisi Demokrasi Indonesia Yogyakarta: LKIS

Yogyakarta, 2006.

H. Syaukani, HR, Afan Gaffar, dan M. Ryaas Rasyid. Otonomi Daerah Dalam Negara

Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Lawrence. M. Friedman. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial. Diterjemahkan Oleh: M.

Khozim. Bandung: Nusa Media, 2011.

Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat Diterjemahkan. Soejono Soemargono Yogyakarta:

Tiara Wacana, 1986.

Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2014.

Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

2014.

Samuel. P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia.

Diterjemahkan Oleh. M. Sadat. Ismail. Jakarta: Qalam, 2007.

Satjipto, Rahardjo. Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin dalam

Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Sinar Baru, 1985.

Satjipto. Rahardho, Penegakan Hukum Progresif di Indonesia, Jakarta: Kompas, 2010.

Satya. Arinanto. Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia. Jakarta: Pusat

Studi Hukum Tatanegara Fakultas Hukum Univeristas Indonesia, 2018.

Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. 1986.

Tim KontraS. Politik Militer dalam Transisi Demokrasi Indonesia, Jakarta: KontraS,

2005.

29
Tim ELSAM. Penyelesaian Pelangaran HAM di Masa Lalu. Jakarta: Creative Common,

2012.

Jurnal

Mohammad. Rosyidin, Dari Otoritarianisme ke Demokrasi: Bagaimana Mendorong

Negara Menuju Kestabilan danKeterbukaan?. Jurnal Penelitian Politik. Vol 10,

No. 1 Juni 2013.

Putusan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUUIV/ 2006 tentang Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2004 tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi Tanggal 7

Desember 2006.

Internet

Sumber Litbang KontraS. “Data Pelanggaran HAM”

<https://www.kontras.org/kamisan/data%20pelanggaran%20HAM.pdf >. 5 Oktober

2018.

30

Anda mungkin juga menyukai