Anda di halaman 1dari 13

UNIVERSITAS INDONESIA

TUGAS RINGKASAN DAN TANGGAPAN


“HAK ASASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK DI INDONESIA”

MATA KULIAH POLITIK HUKUM


PROF. DR. SATYA ARINANTO, S.H., M.H.

MUHAMMAD WILDAN MUA’FFAA


2206132466
HUKUM KENEGARAAN PAGI
NOMOR ABSEN 16

PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
MARET 2023
RINGKASAN

1. Transisi Politik Menuju Demokrasi

Sekitar tahun 1970-an diberbagai negara dunia telah terjadi pergolakan

yang cukup besar mengenai sistem otoriter dan totaliter, dimana dalam hal ini per-

golakan tersebut tujuannya ialah merubah sistem otoriter menuju kepada sistem

demokrasi. Harapan dirubahnya menjadi sistem negara demokrasi yakni agar

kesalahan dan ketidakinginan dimasa lalu ketika di negara otoriter tidak terulang

dan terjadi lagi Menurut Samuel P. Huntington, dalam dua hingga tiga dekade ter-

akhir telah banyak sekali revolusi di berbagai negara yang pada akhirnya men-

gubah pada transisi otoritarianisme menuju demokrasi yang mana telah terjadi di

lebih 40 negara. Rezim yang pada awalnya bersistem otoritarian berubah drastis.

Anthony Giddens berpendapat bahwasannya, dalam segala usaha dan

upaya revolusi politik dalam suatu negara, secara otomatis sang revolusioner atau

tokoh dan subyek dari perubahan politik itu akan muncul dengan sendirinya ter-

gantung pada situasi pada masing-masing negara. Bahasan mengenai be-

rakhirnya politik dan negara yang terkena perkembangan ekonomi pasar global be-

gitu pesat dan sangat terlihat sehingga banyak yang kemudian tercapai oleh pe-

merintahan suatu negara, tentu dalam masa kontemporer hari ini hal itu layak un-

tuk di ulang kembali. Berdasarkan kepada penilitian bahwa rezim yang memiliki

sistem otoriter tidak bisa disama ratkan antara satu dengan yang lainnya. Dalam

hal ini tidak ada rezim otoritarian yang kemudian disebut monolitik, serta tidak ada

pula kekuatan daripada sistem demokrasi yang mempunyai kekuatan demikian.

1
2. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik

Steven Biko, pendiri dari Black Consciousness Movement, tepatnya tanggal

18 Agustus 1977, ditangkap dan ditahan di pos polisi. Tidak lama berselang se-

lama penahanannya kemudian ia meninggal dalam keadaan terbaring telanjang di

atas tikar dari lantai batu di rumah sakit penjara, dengan kondisi mulut penuh

bekas pukulan dan berbusa. Pembunuhan semacam ini seringkali terjadi Ketika

ada suatu sistem bernama apartheid yang ketika itu di terapkan, dalam hal ini PBB

pun menyebutkan bahwa ini adalah suatu bentuk kejahatan kemanusiaan.

Bronkhorst berpendapat bahwasannya, dimana pelaku pelanggaran berat

atau pelaku kejahatan manusia adalah termasuk kedalam pelanggaran HAM berat,

oleh karenanya harus dihukum, sehingga banyak negara yang kemudian memiliki

hukum pidana terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM. Lebih dari itu dalam

hukum internasional pun sudah diatur secara khusus mengenai hukuman bagi

pelanggar HAM. Kemudian di dalam hukum internasional terdapat 2 sudut pan-

dang mengenai prinsip “inward looking” dengan “outward looking”. Pertama men-

genai kelompok inward looking memiliki sebuah pendirian bahwa kepu-

tusan-keputusan internasional perlu untuk dihormati dan dilaksanakan, sebab kon-

sep “kedaulatan negara, yang mana juga sudah dibahas didalam PBB. Di lain sisi,

kelompok outward looking berpandangan bahwa segala macam bentuk hukum in-

ternasional haruslah di jalankan dan ditaati, yang mana dalam hal ini adanya ke-

beradaan konvensi, hukum internasional, dan international customary law dirasa

perlu dan menjadi kesepakatan dunia internasional.

2
3. Pengalaman Beberapa Negara

Transisi politik terjadi di beberapa negara khususnya bagian Amerika Latin

namun dalam skala internasional tidak sebanding apa yang terjadi dengan Eropa

Selatan. Para ahli ilmu politik menyampaikan bahwa situasi politik pada rezim di

suatu negara pada bagian Amerika Latin pra transisi politik disebut sebagai “otori-

terisme birokratis”. Sedangkan ciri khas transisi politik wilayah Eropa Selatan dapat

dilihat dan digambarkan secara umum pada Yunani dan Eropa, dalam hal ini di-

gambarkan sebagai negara “otoriterisme populis”. Sehingga bentuk daripada tran-

sisi politik dalam berbagai negara khususnya Amerika Latin dan Eropa Selataan

memiliki karakteristiknya masing-maisng tergantung pada situasi dan kondisi politik

pada wilayah suatu negara tersebut.

KEADILAN TRANSISIONAL

1. Pengantar

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hamper negaraa di seluruh pen-

juru dunia mulai untuk merubah sistem otoritarianisme menuju sistem demokrasi

sesuai dengan karakteristik negaranya masing-masing. Lebih dari 20 bangsa

dalam tempo 25 tahun terakhir berupaya untuk mencari pemaknaan dan menuju

kepada “keadilan transisional” dengan kosa kata “keadilan retributif”, “keadilan

restoratif”, “klarifikasi historis”, dan sebagainya. Menurut Daan Bronkhorst, ada tiga

elemen yang perlu di kaji dalam hal transisi politik suatu negara yaitu kebenaran,

rekonsiliasi, dan keadilan. Menurutnya, keadilan adalah suatu pembahasan yang

3
paling sering menimbulkan pro dan kontra. Keadilan dalam ranah transisi politik

tentu akan menyesuaikan pada masa lalu negara tersebut. Maka dari itu tentu

adanya perbedaan penanganan HAM yang berlaku bergantung bagaimana negara

tersebut melihat sistem yang sebelumnya berlaku dan yang akan berlaku.

2. Konteks Internasional pada Waktu Transisi

Para analis berpendapat bahwa dari faktor-faktor yang mempengaruhi arah

dari keadilan pascaotoritarian, yang paling menentukan adalah faktor

keseimbangan antara kekuatan masa lampau dan para elit penggantinya pada

masa transisi. Para analis juga membuat beberapa skenario mengenai masa

depan pascakomunisme dalam empat kemungkinan, yaitu:

a. Skenario pertama, booming like west. Dalam gambaran ini negara

pascakomunis secara gradual bertransformasi menjadi negara demokrasi

pluralis yang stabil.

b. Skenario kedua adalah dari suatu sistem otoritarian. Menurut Holmes,

menghasilkan gradasi dan diargumentasikan suatu pembedaan harus dibuat

antara kelompok populis, nasionalis, militer dan ada asusmsi adanya kembali ke

komunis.

c. Skenario ketiga tidak mengarah pada transisi jagka panjang, dimana pemerintah

berubah dengan reformasi yang abnormal dan tetap berupaya mengubah arah.

d. Skenario keempat adalah skenario yang tidak dapat atau tidak seharusnya

dideskripsikan; tidak dapat diprediksi sejak ia tidak dapat disesuaikan dengan

kategori-kategori yang eksis sebelumnya. Jika kejatuhan komunis belum

4
mengajarkan sesuatu dalam model kesempurnaan ilmu sosial, kita tidak dapat

meramal kemungkinan di masa depan.

3. Keadilan dalam Masa Transisi Politik

Dalam hal keadilan ada perdebatan diantara antara kelompok realis dan

idealis mengenai hubungan hukum dan keadilan dengan liberalisasi, yang mana

dalam hal ini berpendapat bahwa apakah perubahan politik harus didahulukan

setelah itu aturan menyusul, atau sebaliknya, dimana langkah hukum justru harus

dilakukan sebelum politik. Teifel berpandangan bahwa, dilema awal dimulai dari

konteks keadilan dalam transformasi politik yakni hukum berada pada posisi masa

lalu dan masa depan, antara retrospektif dan prospektif, antara individual dan

kolektif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keadilan transisional adalah keadilan

yang menyesuaikan keadaan politik. Dalam fungsi sosial yang umum, hukum

berfungsi untuk memberikan ketertiban dan stabilitas; namun dalam masa

pergolakan politik yang luar biasa, hukum berfungsi menjaga ketertiban disamping

ia juga memungkinkan transformasi.

4. Dilema Penerapan Aturan Hukum

Dalam suatu periode transisi politik yang substansial, akan muncul suatu

dilema transisional yang hadir pada keseluruhan masa sejarah politik. Menurut

Teitel, dalam transformasi politik masalah legalitas berbeda dengan masalah teori

hukum sebagaimana ia muncul dalam demokrasi-demokrasi yang mantap dalam

waktu-waktu yang normal. Terdapat suatu penyusunan dari pertanyaan-

5
pertanyaan inti tentang legitimasi dari rezim baru, termasuk kondisi, peranan, dan

pengadilan transisional.

Dilema keadilan transisional akan muncul dalam periode-periode terjadinya

perubahan politik substansial. Masalah institusional mengenai bagaimana

membentuk suatu hukum sesuai dengan rule of law dalam periode-periode ini

dibebankan kepada mahkamah-mahkamah konstitusi untuk menetapkan pema-

haman-pemahaman baru dari aturan hukum. Beban transformasi ke sistem rule of

law dalam beberapa konteks berpindah ke pengadilan, terutama pada mahkamah-

mahkamah konstitusi.

Mengenai pelanggaran HAM yang terjadi pada masa NAZI Hitler, prinsip-

prinsip Nuremberg sebagai Pengadilan Militer pada tahun 1945-46 menyatakan

bahwa kejahatan kemanusiaan dapat diadili di pengadilan internasional.

Pengadilan Nuremberg memiliki kewenangan untuk mengadili crimes against

peace, war crimes, dan crimes against humanity.

6
TANGGAPAN

George Orwell dalam bukunya Animal Farm menyatakan bahwa penguasa

totaliter tidak hanya memimpin tanpa gangguan dari bawah; ia tidak hanya mau

memiliki monopoli kekuasaan, tetapi juga mau secara aktif menentukan

bagaimana masyarakat hidup dan mati; bagaimana mereka bangun dari tidur,

makan, belajar dan bekerja. Ia juga mau mengontrol apa yang mereka pikirkan;

dan siapa yang tidak ikut akan dihancurkan 1. Setelah 32 tahun orde baru memerin-

tah pada Indonesia akhirnya menuju transisi dari era orde baru menuju era re-

formasi yang kemudian lebih kental dengan demokrasinya pun dimulai. Dalam hal

ini seringkali diartikan bahwasannya demokrasi adalah sebuah pemerintahan dari

rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, oleh karena itu berbicara mengenai

demokrasi adalah membicarakan tentang kekuasaan, atau lebihnya pengelolaan

kekuasaan secara beradab.

Menurut Jimly Ashidiqie, semua peristiwa yang berupaya mendorong mun-

culnya gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai karakteristik

hubungan kekuasaan yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur hubungan

antara satu bangsa dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan antara

satu pemerintahan dengan rakyatnya.2 Kondisi politik di suatu negara pada pada

masa transisi umumnya sulit untuk distabilkan. Pada tahun 1985, kekuasaan

hukum, politik, sosial, dan militer, praktis berada pada pimpinan puncak kekuasaan

1
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015), hlm.102.
2
Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia,” (makalah disampaikan dalam sta-
dium generale pada The 1st National Conference Corporate Forum for Community Development,
Jakarta, 19 Desember 2005), hlm. 10-11.

7
eksekutif, yaitu mantan Presiden Soeharto.3 Proses transisi politik di Indonesia

dimulai pada tahun 1998 dengan munculnya gerakan reformasi yang diprakarsai

dan di gemuruhkan oleh para mahasiswa. Gerakan tersebut ditunjang juga dengan

melemahnya kondisi ekonomi Indonesia akibat krisis moneter. Gerakan ini

menganggap banyak terjadi ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh

pemerintah Orde Baru.

Banyak yang menganggap bahwa dengan adanya demokrasi makan segala

macam bentuk kesalahan sistem otoriter akan teratasi, namun kita ketahui

bersama bahwa sistem demokrasi pun tidak berjalan semulus yang diharaokan.

Contohnya pelaku kejahatan masa lalu yang kemudian sukar untuk di adili yang

mana dalam hal ini seluruh permasalahan yang ditimbulkan adalah tidak terlepas

dari Human Rights (Hak Asasi Manusia) dan bagaimana penyelesaiannya. HAM

adalah dasar fundamental manusia yang seharusnya disepakati sebagai hal yang

harus dihormati. Kita sepakat bahwa dalam skala kecil maupun besar, baik secara

hukum nasional bahkan sampai hukum internasional, HAM selalu dijunjung tinggi

dalam aturan apapun.

Otoriter dan totaliter adalah suatu ideologi negara yang kekuasaan

tertingginya dipegang oleh militer sehingga muncul apa yang kita sebut sebagai

diktator. Negara-negara yang tadinya otoriter, lama kelamaan berubah menjadi

demokrasi dikarenakan oleh keengganan masyarakatnya yang ditindas.

Demokrasi adalah suatu ideologi negara yang berasal, dari, dan untuk rakyat. Bagi

negara-negara yang baru menganut demokrasi maka diperlukan untuk

3
Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, (Jakarta: Gramedia, 2006), hal. 14.

8
memisahkan hubungan antara sipil–militer, membangun kekuasaan wilayah publik,

merancang konstitusi baru, menciptakan sistem kompetisi partai dan institusi-

institusi demokrasi, liberalisasi, privatisasi, dan bergerak ke arah ekonomi pasar,

meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menahan laju inflasi dan

pengangguran, mengurangi defisit anggaran, membatasi kejahatan dan korupsi,

serta mengurangi ketegangan dan konflik antar etnis dan kelompok agama.

Era demokrasi memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk

berorganisasi, seperti mendirikan partai-partai politik dan ikut serta didalamnya.

Selain itu, rakyat bebas untuk mendirikan organisasi-organisasi kemasyarakatan,

seperti serikat petani, serikat buruh, perkumpulan masyarakat adat dan lain

sebagainya. Kebebasan berorganisasi ini memberikan peluang bagi rakyat untuk

memperjuangkan kepentingan bersama, dan memberikan peluangyang luas bagi

anggota sipil untuk dapat ikut serta terjun dalam kegiatan politik. Namun,

bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan di era demokrasi ini

tampak belum mencapai sebuah keberhasilan, khususnya dalam penegakan HAM.

Berbagai permasalahan penegakan HAM di Indonesia antara kurangnya pema-

haman tentang HAM, hak kelompok minoritas terusik, kurangnya pengalaman, dan

kemiskinan.

Untuk memajukan negara yang sudah melakukan transisi menuju

demokrasi, maka tidak terlepas dari rekonsiliasi dengan masa lampau negaranya

yang berupa pelanggaran HAM. Belum terungkapnya banyak kasus HAM di In-

donesia pada masa lalu, antara lain tragedi kemanusiaan 1965-1966, Sabtu

Kelabu 27 Juli 1996, kasus Petrus, Trisakti, Semanggi I dan II (TSS), Tanjung

9
Priok, Talangsari, kematian Marsinah dan Udin si wartawan, peristiwa Ambon dan

Aceh, dan masih banyak lagi menjadi catatan hitam dalam penegakan HAM di In-

donesia hingga hari ini. Keadaan ini diperparah dengan semakin banyaknya keja-

dian serupa yang terjadi pula di era demokrasi sekarang. Kematian Munir, Salim

Kancil, kasus kematian Patmi si petani Kendeng, penggusuran di Kulon Progo,

pengusiran dan kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah, Syiah, dan Gafatar, pelar-

angan pembangunan gereja di beberapa kota di Indonesia, salah satunya ker-

usuhan Tolikara, dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan semuanya, adalah kasus-

kasus pelanggaran HAM yang terjadi di era demokrasi sekarang. Upaya yang

dilakukan pemerintah sampai sekarang belum mampu menuntaskan kasus

pelanggaran Hak Asasi Manusia, padahal kasus hukumnya tidak pernah ditutup

atau kadaluarsa sampai mayatnya ditemukan. Pemerintah dianggap kurang tegas

dan tidak serius dalam menangani dan menanggapi banyaknya pelanggaran HAM

yang terjadi dan seakan-akan berusaha melupakan kasus-kasus pelanggaran

HAM yang terjadi sehingga jumlahnya terus bertambah tanpa ada satupun yang

terselesaikan secara utuh. Berbagai upaya yang telah dilakukan, mulai dari aksi

demonstrasi sampai dengan Aksi Kamisan seakan-akan tidak digubris oleh pemer-

intah. Selain itu, produk hukum di era demokrasi hari ini juga semakin mem-

persempit ruang gerak masyarakat antara lain Perppu Ormas, RKUHP, dan revisi

UU Terorisme, yang mana ini membatasi kebebasan berserikat dan berkumpul

dan sebagai alat untuk menekan kelompok tertentu dalam masyarakat

Penegakan HAM pada era demokrasi masih bisa dibilang kurang tegas ter-

hadap oknum-oknum pelanggar HAM, kurang adanya tindak lanjut dari pemerintah

10
untuk mengatasi para pelaku pelanggar HAM dan masih belum bisa menyele-

saikan perkara pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Orde Baru, seolah olah

pemerintah melupakan kasus tersebut yang sampai saat ini belum selesai

perkaranya. HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan

kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi

satu hal yang perlu kita ingat bahwa jangan pernah melanggar atau menindas

HAM orang lain, karena jelas itu suatu pelanggaran HAM dan artinya pelanggaran

HAM adalah pelanggaran hukum. Dimana dalam hal ini Hak Asasi Manusia

merupakan hak kodrat yang harus dimiliki oleh setiap manusia, apabila seseorang

di cabut salah satu hak kodratnya maka tidak dapat hidup secara normal, serta

akan jauh daripada nilai-nilai keadilan yang harusnya dijunjung tinggi dalam sistem

demokrasi. Hak kodrat ini bukan merupakan pemberian dari sebuah negara, akan

tetapi sudah ada sejak kita terlahir sebagai manusia. Penegakan HAM di Indonesia

tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga tanggung jawab

semua umat manusia. Hak Asasi Manusia merupakan hak kodrati manusia.

Melanggar dan menciderai HAM berarti juga menciderai kasih dan kebaikan Tuhan

Yang Maha Esa bagi umat manusia.

“…dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti teran-
cam, apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang
tanpa alasan, dituduh subversif dan menganggu keamanan, maka hanya
satu kata: lawan!”

(Puisi Widji Thukul, Peringatan, 1987


DAFTAR PUSTAKA

11
Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2015.

Asshiddiqie, Jimly. “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia,” Makalah disampaikan


dalam stadium generale pada The 1st National Conference Corporate Forum
for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005.

Himawan, Charles. Hukum Sebagai Panglima. Jakarta: Gramedia, 2006.

12

Anda mungkin juga menyukai